POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH DI INDUSTRI TAPIOKA RAKYAT TERPADU

(1)

ABSTRAK

POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH DI INDUSTRI TAPIOKA RAKYAT TERPADU

Oleh Dedy Aprizal

Produksi ubi kayu di Provinsi Lampung mencapai 7.885.116 ton/tahun (BPS, 2010). Produksi ubi kayu yang cukup tinggi di Provinsi Lampung menyebabkan investor tertarik untuk mendirikan industri berbahan baku ubi kayu di provinsi ini. ITTARA merupakan industri yang mengolah tapioka yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan karena memiliki keterbasan teknologi dan sumber daya dalam mengelola limbahnya. Sistem pemanfaatan dengan teknologi tepat guna sangat diperlukan untuk mengoptimalkan potensi manfaat dari limbah yang dihasilkan. Sistem usaha terpadu antara pabrik tapioka dan peternakan sangat prospektif untuk dijalankan dengan memberdayakan potensi limbah padat pabrik sebagai sumber pakan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai potensi pemanfaatan limbah industri tapioka rakyat (ITTARA) terpadu berdasarkan aspek ekonomi dan lingkungan. Objek yang diamati meliputi pemanfaatan limbah cair tapioca menjadi biogas, pemanfaatan berbagai limbah padat tapioca, dan limbah dari penggemukan sapi. Penelitian menggunakan pendekatan yang dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang bertujuan untuk menguraikan pemanfaatan limbah pada ITTARA terpadu. Pemilihan lokasi dalam penelitian ini menggunakan metode purposive atau dilakukan secara sengaja, yaitu lokasi yang diambil sesuai dengan kriteria tujuan penelitian yaitu ITTARA yang menerapkan pola usaha terpadu dengan penggemukan sapi dan merupakan satu-satunya ITTARA yang menerapkan sistem usaha tersebut di Provinsi Lampung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah di Industri Tapioka Rakyat (ITTARA) terpadu dengan rata-rata produksi 57 ton/tahun berpotensi memberikan peningkatan keuntungan ekonomi yang signifikan dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan dengan potensi produksi biogas dari limbah


(2)

cair adalah sebesar 265.747,6 m3/tahun dengan potensi keuntungan pertahun Rp741.761.030. Potensi keuntungan yang diperoleh dari onggok antara lain, onggok basah sebesar Rp267.030.400, potensi keuntungan pengolahan onggok kering Rp343.669.000, potensi keuntungan dari pengolahan onggok giling Rp611.077.400. Potensi keuntungan yang diperoleh dari penggunaan meniran sebagai pakan adalah Rp85.000.000,- dengan proyeksi jumlah ternak 352 ekor. Potensi keuntungan yang diperoleh dari pupuk kandang adalah Rp55.775.000. Pengelolaan limbah cair dapat mereduksi emisi gas CO2 sebesar 1.620,53 ton CO2e/tahun. Potensi keuntungan yang diperoleh dihitungan berdasarkan rata-rata bahan baku yang diolah pertahun dengan asumsi jumlah bahan baku yang akan diolah pada tahun berikutnya adalah tetap.

Kata Kunci : ITTARA terpadu, pemanfaatan limbah, reduksi emisi, biogas


(3)

ABSTRACT

POTENTIAL OF WASTE UTILIZATION ON INTEGRATED SMALL-SCALE TAPIOCA INDUSTRY

By Dedy Aprizal

Cassava`s productivity in Lampung province reached 7.885.116 tons/year (BPS, 2010). The high productivity of cassava in Lampung has made many investors get interested to build cassava-based industry in this province. ITTARA is one of industry that produces tapioca and potentially pollutes the environment because

it’s lack of technology and other resources. Utilization systems with appropriate technology are required to optimize the utilization potential from tapioca waste. Integrated system between tapioca industry and cattle feedlot is prospective to run by utilizing the potential of solid waste as feed source.

This research was aimed to find the potential of waste utilization from the integrated small-scale tapioca industry based on the economic and environmental aspects. The observed objects were utilizations of waste water to biogas, solid waste from tapioca industry, and waste from cattle feed. This research is categorized as quantitative research approach. The method used in this research is descriptive method to describe the utilization of waste. The selected location in this research took from purposive method in order to get an appropriate industry criteria with the research’s objectives. The chosen industry is the one and only industry which has integrated system between tapioca industry and cattle feedlot in Lampung Province.

The result showed that waste utilizations on the integrated small-scale tapioca industry with average production 57 tons/year were potentially increased the economic income and could reduce environmental pollution. The utilization from waste water potentially produce 265.747,6 m3/year biogas with potential profit per year Rp741.761.030. Potential profit from solid waste of tapioca industry are as follow, wet cassava fiber Rp267.030.400 per year, dried cassava fiber Rp343.669.000, cassava fiber flour Rp611.077.400 per year, and utilization of cassava skin and pieces to cattle feedlot could reduce Rp85.000.000 of cattle feed purchased with 352 cows projection. Potential benefit from compost of cattle manure was Rp55.775.000. Emission reduction from waste water utilization was


(4)

1.620,53 ton CO2e/year. The potential benefits from waste utilization were calculated based on the average raw material and amount of raw materials to be processed over the year a head are assumed equal.

Key word : integrated tapioca industry, waste utilization, emission reduction, biogas


(5)

POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH

DI INDUSTRI TAPIOKA RAKYAT TERPADU

Oleh DEDY APRIZAL

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER TEKNOLOGI AGROINDUSTRI

Pada

Program Studi Pascasarjana Teknologi Agroindustri Fakultas Pertanian Universitas Lampung

PROGRAM STUDI PASCASARJANA TEKNOLOGI AGROINDUSTRI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2011


(6)

Judul Tesis : POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH DI INDUSTRI TAPIOKA RAKYAT TERPADU

Nama Mahasiswa : DEDY APRIZAL No. Pokok Mahasiswa : 0924051011

Program Studi : Magister Teknologi Agroindustri Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Udin Hasanudin, M.T. Dr. Ir. Suharyono AS., M.S. NIP. 196401061988031002 NIP. 195905301986031004

2. Ketua Program Studi Magister Teknologi Agroindustri

Dr. Ir. Murhadi, M.Si. NIP. 196403261989021001


(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Udin Hasanudin, M.T.

Anggota : Dr. Ir. Suharyono AS., M.S.

Penguji

Bukan Pembimbing : Ir. Neti Yuliana, M.Si., Ph.D.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP. 196108261987021001

3. Direktur Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Abdul Kadir Salam, M.Sc. NIP. 196011091985031001


(8)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

1. Tesis dengan judul : Potensi Pemanfaatan Limbah di Industri Tapioka Rakyat Terpadu adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut Plagiarisme.

2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sangsi yang diberikan kepada saya. Saya bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Pembuat Pernyataan,

Dedy Aprizal


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kalibalangan Kota Bumi pada tanggal 30 Desember 1984, terlahir sebagai bungsu dari Sembilan

bersaudara , pasangan Bapak Kardi (Alm) dan Ibu Rasimah.

Pendidikan penulis diawali di TK. Pertiwi Kalibalangan, diselesaikan pada tahun 1990. Sekolah Dasar Negeri 1 Kalibalangan, diselesaikan pada tahun 1996. Sekolah Lanjut Tingkat Pertama Negeri 1 Kota Bumi, diselesaikan pada tahun 1999. Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Kota Bumi, diselesaikan pada tahun 2002.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Unila melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2006. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Pascasarjana (S2) Teknologi Agroindustri Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Saat ini penulis bekerja di Universitas Megou Pak Tulang Bawang.


(10)

Dengan rasa syukur atas kehadirat

Allah SWT,

Kupersembahkan karya sederhanaku ini kepada :

Kedua orang tuaku tercinta, Ibu dan Alm. Ayah


(11)

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan ,

sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

(Asy Syarh : 5-6)

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum

sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri

mereka sendiri


(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Potensi Pemanfaatan Limbah di Industri Tapioka Rakyat Tepadu“ ini. Dalam menyusun tesis ini, banyak pihak yang telah membantu baik berupa bimbingan, saran, dukungan dan motivasi. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus dari dalam hati kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Udin Hasanudin, M.T. selaku ketua komisi pembimbing atas bantuan, saran dan bimbingan yang diberikan dalam penyelesaian tesis ini. 2. Bapak Dr. Ir. Suharyono, A.S., M.S. selaku pembimbing kedua yang telah

banyak memberikan bimbingan dan saran dalam penyelesaian tesis ini.

3. Ibu Ir. Nety Yuliana, M.Si., Ph.D. selaku pembahas yang telah memberikan banyak masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

4. Bapak Dr. Ir. Murhadi, M.Si. selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana Teknologi Agroindustri Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas segala bantuan dan kemudahan yang telah diberikan selama pendidikan.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian dan Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Kadir Salam, M.Sc. selaku Direktur Pascasarjana Unila, beserta segenap dosen pengajar atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis.


(13)

6. Bapak Supar sebagai pemilik PD. Semangat Jaya yang telah bersedia menerima penulis untuk melakukan penelitian.

7. Seluruh karyawan MTA : Mas Joko, Mas Midi, Mas Hanafi, dan Mas Hendra, yang telah banyak memberikan bantuan dan kebaikan selama penulis menyelesaikan studi dan penelitian di Magister Teknologi Agroindustri. 8. Ibunda tercinta yang selalu mencurahkan cinta dan kasih sayang kepada

penulis, serta keluarga besar penulis yang senantiasa memberikan dukungan. 9. Sahabat-sahabat terbaikku : Yanti, Richad, Novri, Ferdi, Sefa, dan Mimi,

yang selalu menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini, semoga persaudaraan di antara kita tetap terjalin hingga nyawa meninggalkan raga.

10. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana angkatan 2009 dan 2010 yang telah bersama-sama berjuang menyelesaikan studi di Program Studi MTA.

11. Rekan-rekan seperjuangan di laboratorium limbah : Usman, Putri, Rinda, dan Amel terima kasih atas bantuannya dan semoga tali silatuhrahmi diantara kita tetap berlanjut.

Penulis berharap semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka dan semoga tesis ini bermanfaat. Amin.

Bandar Lampung,


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Kerangka Pemikiran ... 4

D. Hipotesis... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Proses Pengolahan Tapioka ... 8

B. Karakteristik Limbah Industri Tapioka ... 11

1. Limbah Cair Industri Tapioka ... 11

2. Limbah Padat Industri Tapioka ... 14

C. Pengolahan Limbah Industri Tapioka ... 16

1. Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Biogas ... 16

2. Limbah Padat Tapioka Sebagai Pakan Ternak ... 24

D. Pengolahan Pupuk Organik dari Limbah Peternakan ... 26

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 34

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

B. Alat dan Bahan ... 34


(15)

D. Pelaksanaan Penelitian ... 35

1. Pengumpulan Data ... 35

E. Pengamatan ... 37

1. Perhitungan Potensi Biogas ... 37

2. Potensi Ekonomi dari Pemanfaatan Limbah ... 38

3. Potensi Pemanfaatan Limbah Terhadap Lingkungan ... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 40

1. Bahan Baku ... 41

2. Tenaga Kerja ... 42

B. Potensi Pemanfaatan Limbah Industri Tapioka Rakyat Terpadu ... 43

1. Potensi Pemanfaatan Limbah Cair Menjadi Biogas ... 46

2. Potensi Ekonomi dari Pemanfaatan Limbah ... 51

a. Potensi Ekonomi Pemanfaatan Limbah Cair Tapioka dengan Sistem CIGAR ... 51

b. Potensi Ekonomi Onggok ... 53

c. Potensi Pemanfaatan Limbah Meniran sebagai Pakan Ternak 62 d. Potensi Pemanfaatan Kompos Kotoran Sapi ... 65

C. Potensi Pemanfaatan Limbah Terhadap Lingkungan ... 69

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel : Halaman

1. Baku mutu air limbah industri tapioka ... 11

2. Komposisi kimia kulit singkong... 15

3. Kondisi optimum produksi biogas ... 17

4. Komposisi biogas... 21

5. Persyaratan mutu konsentrat sapi potong berdasarkan bahan kering... 26

6. Metode pengumpulan data dan analisis data penelitian ... 36

7. Jumlah bahan baku di PD. Semangat Jaya tahun 2007-2009 ... 42

8. Jumlah pekerja PD. Semangat Jaya ... 43

9. Data potensi limbah yang dihasilkan dari pengolahan tapioka ... 45

10. Karakterisasi limbah cair yang masuk ke sistem CIGAR ... 47

11. Kesetaraan 1 m3biogas dengan berbagai sumber energi ... 49

12. Potensi energi biogas dari sistem CIGAR pertahun ... 50

13. Potensi keuntungan dari pengolahan limbah cair menjadi biogas ... 52

14. Potensi keuntungan dari penjualan onggok basah ... 55

15. Komposisi kimia onggok ... 56

16. Potensi ekonomi pengolahan onggok kering ... 57

17. Potensi keuntungan pengolahan onggok giling ... 60


(17)

19. Komposisi pakan ternak ... 63

20. Potensi keuntungan dari penghematan pembelian pakan ternak ... 64

21. Potensi produksi kotoran sapi ... 66

22. Potensi pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk kompos ... 67

23. Hasil analisis kompos organik dari kotoran sapi ... 68

24. Jumlah bahan baku ubi kayu ... 81


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar : Halaman

1. Skema potensi pemanfaatan limbah industri tapioka rakyat

terpadu ... 6

2. Diagram alir proses pengolahan tepung tapioka di skala kecil ... 9

3. Tahapan proses pembentukan gas metana ... 19

4. Diagram alir penelitian ... 36

5. Kolam limbah cair ITTARA yang tidak dimanfaatkan ... 82

6. Kegiatan penangkapan biogas dengan reaktor CIGAR ... 83

7. Pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar ... 83

8. Kegiatan penjemuran onggok ... 84

9. Pakan meniran untuk penggemukan sapi ... 84

10. Kegiatan penggemukan sapi ... 85


(19)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Ubi kayu merupakan komoditi pertanian yang utama di Provinsi Lampung. Luas areal penanaman ubi kayu di Provinsi Lampung pada tahun 2009 adalah sekitar 320.344 Ha dengan jumlah produksi sebesar 7.885.116 ton/tahun (BPS, 2010). Produksi ubi kayu yang sangat tinggi ini telah mendorong berdirinya lebih dari 70 industri tapioka yang tersebar di seluruh daerah di Provinsi Lampung dengan skala produksi yang beragam salah satunya adalah industri tapioka rakyat (ITTARA) .

Perkembangan industri tapioka memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat. Dampak tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak positif membawa dampak penyerapan tenaga kerja dan sebagai penggerak perekonomian daerah sekitar, sedangkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan antara lain adalah dampak limbah terhadap lingkungan yang tidak kecil (Kurniarto, 2006). Tapioka yang dihasilkan dari sistem pengolahan singkong hanya berkisar 20-25% dari berat singkong yang diolah. Selebihnya industri ini juga menghasilkan limbah cair dan limbah padat (onggok dan meniran kulit singkong). Pengolahan 1 ton singkong menjadi tepung tapioka menghasikan sekitar 4.000-6.000 liter limbah cair (Djarwatiet al., 1993) dan 0,114 ton onggok (Chardialani, 2008). Ciptadi dan


(20)

2

Nasution (1978) menjelaskan bahwa limbah cair tapioka bersumber dari proses pencucian singkong, pencucian alat, dan pemisahan larutan pati. Sedangkan limbah padat tapioka bersumber dari proses pengupasan, pengekstraksian dan pengepresan.

Limbah cair dan limbah padat industri tapioka merupakan sumber daya yang memiliki nilai ekonomi apabila dikelola secara tepat. Limbah cair tapioka dapat dikelola secara anaerobik untuk dimanfaatkan sebagai sumber biogas. Pada dasarnya pengolahan limbah cair secara anaerobik merupakan penguraian senyawa organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa oksigen dan menghasilkan biogas sebagai produk akhir. Biogas yang dihasilkan mengandung 50-80% metana, 20-50% karbondioksida, beberapa gas dalam jumlah kecil, cairan dan residu padat (Firdaus, 2005). Biogas merupakanrenewable energyyang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil. Metana sebagai komponen utama biogas adalah gas tidak berbau dan tidak berwarna yang apabila dibakar akan menghasilkan energi panas sekitar 1000 BTU/ft3atau 252 Kkal/0,0028 m3(Haryati, 2006).

Limbah padat tapioka berupa ampas tapioka (onggok) memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, yaitu berkisar 68% dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau dapat diolah lebih lanjut untuk dijadikan bahan baku produk pangan (Pratama, 2009). Karbohidrat dalam bentuk bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang terdapat pada onggok jika digunakan sebagai bahan pakan ternak akan mudah dicerna bagi ternak, serta penggunaannya dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum (Tarmudji, 2004). Disamping limbah padat yang


(21)

3

berupa onggok, limbah padat tapioka juga berupa limbah meniran yaitu limbah campuran kulit singkong dan bonggol yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan kompos.

Limbah industri tapioka berdasarkan potensi pemanfaatan yang dapat dikembangkan hanya sedikit ITTARA yang mampu memanfaatkannya dengan baik. Asumsi terhadap pemanfaatan limbah yang membutuhkan modal yang besar membuat pelaku industri tersebut enggan untuk memanfaatkan limbahnya. Umumnya ITTARA hanya membuang limbah cair dari proses produksi tanpa diolah atau dimanfaatkan sehingga akan menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dan terhadap limbah padat yang masih bernilai ekonomi hanya dijual tanpa terlebih dahulu diolah yang berimplikasi pada nilai jual yang rendah.

Penerapan pola usaha terpadu pada ITTARA merupakan pola usaha yang sangat prospektif untuk dikembangkan dalam meminimalisir potensi pencemaran limbah ITTARA terutama limbah padat. ITTARA terpadu dijalankan dengan mengintegrasikan pabrik dan usaha penggemukan sapi yang memanfaatkan limbah padat dari ITTARA berupa meniran sebagai pakan utama dari ternak yang digemukkan. Pola usaha ini sangat prospektif dikembangkan karena dapat menjadi sumber pendapatan alternatif bagi industri tersebut. ITTARA terpadu selain sebagai sumber pendapatan baru juga menimbulkan jenis limbah baru berupa kotoran ternak. Limbah kotoran ternak juga memiliki potensi manfaat ekonomi jika dikelola dengan benar.


(22)

4

Sistem pengelolaan yang tepat akan memaksimalkan potensi manfaat dari limbah ITTARA terpadu. Pada penelitian ini akan dibahas tentang berbagai potensi pemanfaatan limbah dengan berbagai metode pengolahan yang telah diterapkan pada ITTARA terpadu ditinjau dari aspek ekonomi dan lingkungan.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai potensi pemanfaatan limbah industri tapioka rakyat terpadu berdasarkan aspek ekonomi dan lingkungan.

C. Kerangka Pemikiran

Industri tapioka rakyat (ITTARA) merupakan salah satu jenis indusri sektor pertanian yang memberikan andil cukup besar terhadap perkembangan ekonomi masyarakat terutama di pulau Jawa dan Sumatera. ITTARA merupakan agroindustri dengan pola usaha mandiri yang dikelola oleh individu atau kelompok masyarakat yang pada umumnya didirikan atas inisiasi pemerintah dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat.

ITTARA ditinjau dari aspek teknologi tergolong industri yang lemah, hal ini dapat dilihat dari proses produksi masih menggunakan teknologi sederhana, mesin yang digunakan adalah mesin dengan kapasitas kecil dan peralatan yang digunakan masih berupa peralatan sederhana serta proses produksi umumnya dilakukan secara manual. Tidak hanya terhadap produksi tapioka, ITTARA juga memiliki kelemahan teknologi dalam mengelola limbah yang dihasilkan dari pabrik. Limbah cair yang dihasilkan biasanya hanya dibuang ke kolam penampung dan


(23)

5

limbah padat biasanya hanya dibuang ke lahan di dekat lokasi pabrik sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan.

Keterbatasan teknologi yang dimiliki oleh ITTARA memicu kelemahan ekonomi yang terjadi pada industri tersebut, kelemahan ekonomi ini terjadi akibat sistem pengelolaan industri yang kurang baik sehingga dari sekian banyak ITTARA yang berdiri, hanya ada beberapa industri saja yang mampu bertahan. Letak pabrik ITTARA yang pada umumnya berdekatan dengan pemukiman penduduk mengharuskan kegiatan industri tidak menimbulkan masalah terhadap lingkungan terutama dari limbah yang dihasilkan.

Penggunaan teknologi tepat guna sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan semua sumber daya yang ada, tidak hanya terhadap ubi kayu sebagai bahan baku tapioka tetapi juga terhadap limbah yang dihasilkan agar dapat diberdayakan menjadi sumber pendapatan baru bagi industri tersebut dan tidak memberikan dampak yang tidak baik terhadap lingkungan. Penggunaan teknologi yang tepat harus bersifat aplikatif dan cocok secara teknologi serta tidak memerlukan biaya dan tenaga kerja dalam jumlah besar agar dapat diperoleh keuntungan yang optimal.

Pola industri terpadu merupakan alternatif usaha yang cocok untuk dikembangkan pada ITTARA. Sistem integrasi antara pabrik dengan penggemukan sapi dapat mengurangi beban pencemaran limbah padat yang dihasilkan dari pabrik. ITTARA terpadu menghasilkan berbagai limbah yang berpotensi untuk dimanfaatkan lebih lanjut sehingga limbah tersebut memiliki nilai ekonomi yang baik. Limbah cair dari ITTARA dapat diolah menjadi biogas, limbah padat berupa


(24)

6

onggok dapat diolah menjadi onggok kering dan tepung onggok, limbah meniran berupa kulit dan potongan singkong dapat dijadikan pakan ternak, serta limbah kotoran ternak dapat diolah menjadi pupuk kompos. Sistem pemanfaatan dengan teknologi dan metode yang tepat guna tidak hanya dapat berpotensi meningkatkan keuntungan bagi industri tersebut, akan tetapi juga akan membentuk sistem industri yang ramah lingkungan.

Gambar 1. Skema potensi pemanfaatan limbah industri tapioka rakyat terpadu

Bahan Bakar

Peternakan

Sapi

Onggok basah

Onggok giling

Onggok kering

Kompos Limbah Cair Limbah Padat

Onggok Meniran

ITTARA

Biogas


(25)

7

D. Hipotesis

Pemanfaatan limbah di Industri Tapioka Rakyat terpadu berpotensi memberikan peningkatan keuntungan ekonomi dan mengurangi pencemaran lingkungan.


(26)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Pengolahan Tapioka

Industri tapioka merupakan salah satu industri yang dominan di Provinsi Lampung. Bahan baku utama industri ini adalah singkong yang biasanya diperoleh dari petani dan perkebunan inti rakyat yang dimiliki oleh industri tersebut (Prayati, 2005). Proses produksi tepung tapioka merupakan suatu mata rantai yang dimulai dari proses penerimaan bahan baku, pembersihan, pemotongan, pemarutan, penyaringan, pemurnian, pengeringan, pengayakan, pengemasan, dan penggudangan. Proses pengolahan tepung tapioka di industri skala kecil pada umumnya dapat dilihat pada Gambar 2.

Singkong pertama-tama dilakukan pengupasan kulit dan pencucian yang bertujuan untuk memisahkan kotoran, kerikil, pasir, dan kulit singkong. Selama pengupasan, sortasi juga dilakukan untuk memilih singkong berkualitas tinggi dari singkong lainnya. Kemudian akan dilakukan tahap pengecilan ukuran dan pemarutan yang bertujuan untuk memperkecil ukuran dari singkong serta membantu untuk menghancurkan dinding sel singkong agar diperoleh hasil yang maksimal (Prayati, 2005).


(27)

9

Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan tepung tapioka di skala kecil (Dimodifikasi)

Sumber : MENLH RI (2009)

Ubi Kayu

Pengupasan kulit Kulit + kotoran

Ubi Kayu

Pengupasan kulit

Pencucian umbi

Pemarutan

Pencucian

Penyaringan + air

Endapan pati

Penjemuran

Penggilingan

Pengayakan

Tepung Tapioka

Air Air buangan

Air Air buangan

Air buangan Onggok Kulit + kotoran Ubi Kayu


(28)

10

Tahap selanjutnya pengekstraksian yang bertujuan untuk memisahkan antara cairan yang mengandung pati dengan ampas. Pada tahap ini didapatkan ampas singkong yang disebut onggok dengan jumlah yang relatif banyak. Setelah tahap ekstraksi maka akan dilakukan tahap pemurnian yang bertujuan untuk memperoleh suspensi pati yang bebas dari komponen-komponen non pati seperti protein, lemak, serat, asam-asam terlarut, dan kotoran-kotoran lain yang tersisa. Pada tahap pemurnian ini dihasilkan suspensi pati dengan kemurnian berkisar antara 70-80% kandungan patinya. Tingginya kemurnian suspensi pati yang dihasilkan maka akan semakin baik pula mutu tapioka yang dihasilkan. Hasil pemurnian ini akan ditampung dalam tangki yang kemudian akan dipompakan untuk diproses ketahapan selanjutnya yaitu penurunan kadar air. Dalam tahapan ini bertujuan untuk memisahkan pati dengan air pada suspensi pati sehingga dihasilkan sagu basah dengan kadar air 30-35%.

Setelah dilakukan penurunan kadar air maka dilakukan tahapan pengeringan yang bertujuan untuk menurunkan kadar air tapioka basah menjadi tepung tapioka yang memiliki kadar air sekitar 12,5% kemudian diteruskan dengan dilakukannya pengayakan. Produk yang dihasilkan dari proses pengayakan berupa tepung halus yang kemudian akan dilakukan tahapan akhir proses yaitu pengemasan dengan menggunakan karung yang terbuat dari nilon (Prayati, 2005).

Pada proses pengolahan tepung tapioka dibutuhkan air bersih sekitar 5 m3/ton singkong. Air bersih tersebut digunakan pada semua proses produksi tepung tapioka baik pada proses pemarutan, ekstraksi, pemisahan, dan penurunan kadar


(29)

11

air. Selain untuk kelancaran proses produksi air bersih ini juga digunakan sebagai pembersihan alat dan lantai pabrik, sehingga dapat dikatakan limbah cair yang dihasilkan berasal dari proses pencucian, pembersihan alat produksi, lantai pabrik, serta dari proses pengolahan tepung tapioka (Prayati, 2005).

B. Karakteristik Limbah Industri Tapioka

1. Limbah Cair Industri Tapioka

Limbah cair industri tapioka merupakan limbah yang bersumber dari proses pencucian singkong, pencucian alat, dan pemisahan larutan pati (Ciptadi dan Nasution, 1978). Pengolahan 1 ton singkong menjadi tepung tapioka menghasikan sekitar 4.000-6.000 liter limbah cair (Djarwati et al., 1993). Kualitas limbah cair industri tapioka biasanya diukur dari konsentrasi padatan tersuspensi, pH, COD, dan BOD. Spesifikasi mutu standar limbah cair industri tapioka didasarkan pada ketetapan Mentri Lingkungan Hidup tahun 1995. Baku mutu untuk limbah cair industri tapioka dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Baku mutu air limbah industri tapioka

Parameter Kadar Maksimal

BOD (5 Hari, 20OC) COD

Total Padatan Tersuspensi pH

Sianida Debit

100 mg/L 250 mg/L 60 mg/L

6–9 0,2 mg/L 25 m3per ton produk Sumber : Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010


(30)

12

Menurut Fajarudin (2002), karakteristik limbah cair industri tapioka meliputi: a. Warna

Warna limbah cair industri tapioka transparan disertai suspensi berwarna putih. Zat terlarut dan tersuspensi akan mengalami penguraian hayati dan kimia yang akan mengakibatkan perubahan warna. Hal ini disebabkan karena kadar oksigen di dalam limbah cair menjadi nol, sehingga air limbah berubah menjadi warna hitam. Untuk parameter warna, bau dan kekeruhan tidak tercantum dalam Standar Baku Mutu Limbah karena ketiga parameter tersebut sulit untuk dihilangkan sehingga membutuhkan biaya yang mahal untuk dapat mencapai suatu standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

b. Bau

Limbah industri tapioka menimbulkan bau yang tidak enak, hal ini disebabkan oleh adanya pemecahan zat organik oleh mikroba. Bau menyengat yang timbul di perairan atau saluran, biasanya timbul apabila kondisi limbahnya sudah menjadi anaerob atau tidak ada oksigen yang terlarut. Bau tersebut timbul karena penyusun protein dan karbohidrat terpecah, sehingga timbul bau busuk dari gas alam sulfida.

c. Kekeruhan

Adanya padatan terlarut dan tersuspensi di dalam air limbah tapioka menyebabkan air keruh. Kekeruhan ini terjadi karena zat organik terlarut yang sudah terpecah atau zat-zat tersuspensi dari pati, sehingga air limbah berubah menjadi emulsi keruh. Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan yang lain, dimana molekul–molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tapi saling antagonistik dan biasanya terjadi pada air dan minyak (Winarno, 1992).


(31)

13

d. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Limbah cair industri tapioka mengandung pati, sedikit lemak, protein dan zat organik lainnya yang ditandai banyaknya zat-zat terapung dan menggumpal. Jumlah zat organik yang terlarut dalam limbah cair tapioka dapat diketahui dengan melihat nilai BOD. Jumlah zat organik yang terlarut dalam limbah cair tapioka dapat diketahui dengan melihat nilai BOD. Angka BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk keperluan aktivitas mikroba dalam memecah zat organik secara biologis di dalam limbah cair. Angka BOD dinyatakan dalam satuan mg/l atau ppm (part per million) dan biasanya pula dinyatakan dalam beban yaitu gram atau kilogram per satuan waktu.

e. COD (Chemical Oxygen Demand)

COD merupakan parameter limbah cair yang menunjukkan jumlah zat organik biodegradasi dan non biodegradasi dalam air limbah. Zat tersebut dapat dioksidasi oleh bahan kimia K2Cr2O7 dalam asam, misalnya sulfat, nitrit kadar tinggi, dan zat-zat reduktor lainnya. Besarnya angka COD biasanya dua sampai tiga kali lebih besar dari BOD.

f. pH

pH limbah cair tapioka sangat dipengaruhi oleh kegiatan mikroba dalam pemecahan bahan organik. Air buangan cenderung asam, dan pada keadaan asam ini terlepas zat-zat yang mudah menjadi gas. Dari hasil percobaan, pada saat pembuatan tapioka pH larutan 6,51 namun setelah air limbah berumur tujuh jam mulai terjadi penurunan pH menjadi 5.8 setelah 13 jam pH menjadi 4.91 dan setelah satu hari menjadi pH 4.84 (Nurhasanah dan Pramudyanto, 1993).


(32)

14

g. Padatan Tersuspensi

Padatan tersuspensi akan mempengaruhi kekeruhan air dan warna air. Apabila terjadi pengendapan dan pembusukkan zat-zat tersebut di dalam badan perairan penerima limbah cair, maka akan mengurangi nilai guna perairan tersebut.

h. Sianida

Industri tapioka kebanyakan menggunakan bahan baku singkong beracun, karena harganya murah. Singkong beracun adalah jenis singkong yang banyak mengandung sianida. Sianida sangat beracun, namun sejauh ini kandungan sianida bukan merupakan penyebab utama timbulnya kasus pencemaran oleh buangan industri tapioka.

Ubi kayu mengandung senyawa sianogenik linamarin. Komponen ini apabila terhidrolisis dapat menjadi glukosa, aseton, dan asam sianida (HCN). HCN terhidrolisa jika kontak dengan udara (O2), oleh karena itu kandungan sianida bukan penyebab utama timbulnya pencemaran. Menurut Barana dan Cereda (2000), limbah cair industri tapioka memiliki kandungan sianida sebanyak 33,59 ppm.

2. Limbah Padat Industri Tapioka

a. Meniran kulit singkong

Limbah padat industri tapioka berupa meniran kulit singkong (potongan singkong dan kulit singkong) yang bersumber dari proses pengupasan. Limbah meniran terdiri dari 80-90% kulit dan 10-20% potongan singkong dan bonggol. Persentase jumlah limbah kulit singkong bagian luar (berwarna coklat dan kasar) sebesar


(33)

0,5-15

2% dari berat total singkong segar dan limbah kulit singkong bagian dalam (berwarna putih kemerah-merahan dan halus) sebesar 8-15% (Hikmiyati et al., 2009).

Tabel 2. Komposisi kimia kulit singkong

Komposisi kimia Nilai (%)

Air* Abu* Lemak kasar* Serat kasar* Protein kasar* C** H** O** N** S** 67,7438 1,8629 1,4430 10,5952 6,0360 59,31 9,78 28,74 2,06 0,11

Sumber: *) Laboratorium Fakultas Peternakan,Universitas Diponegoro (2008) dalam Hikmiyati,et al. (2009)

**) Ikawati,et al. (2009)

b. Ampas tapioka (onggok)

Limbah padat industri tapioka selain meniran kulit singkong adalah ampas tapioka (onggok) yang bersumber dari pengekstraksian dan pengepresan. Komponen penting yang terdapat dalam onggok adalah pati dan selulosa. Onggok juga mengandung air dan karbohidrat yang cukup tinggi serta kandungan protein kasar dan lemak yang rendah. Jumlah kandungan ini berbeda dan dipengaruhi oleh daerah tempat tumbuh, jenis ubikayu, dan teknologi pengolahan yang digunakan dalam pengolahan ubikayu menjadi tapioka.

Pada industri tapioka yang sudah maju, limbah padat ini kebanyakan hanya mengandung serat sedangkan sisa pati yang terikut sangat sedikit sekali. Lain halnya dengan onggok yang dikeluarkan oleh industri kecil karena tingkat ilmu


(34)

16

pengetahuan dan teknologi yang dimiliki masih sangat rendah maka onggok masih mengandung pati dengan konsentrasi yang cukup tinggi (Chardialani, 2008).

C. Pengolahan Limbah Industri Tapioka

1. Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Biogas

a. Proses pembentukan biogas secara anaerobik

Limbah cair memiliki nilai kebutuhan oksigen kimia (COD) yang cukup tinggi yaitu sebesar 13.500–22.000 mg/l (Manik, 1994). Untuk menurunkan nilai COD yang cukup tinggi diperlukan waktu yang cukup lama dalam pengolahannya. Jenie (1993) menyatakan bahwa limbah dengan kandungan bahan-bahan organik dalam konsentrasi tinggi merupakan limbah yang sesuai untuk diproses dalam sistem fermentasi anaerobik. Pengolahan limbah cair secara anaerobik pada dasarnya merupakan penguraian senyawa organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa oksigen dan menghasilkan biogas sebagai produk akhir.

Efisiensi produksi biogas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi: suhu, derajat keasaman (pH), konsentrasi asam-asam lemak volatil, nutrisi (terutama nisbah karbon dan nitrogen), zat racun, waktu retensi hidrolik, kecepatan bahan organik, dan konsentrasi amonia (Hermawanet al.,2007). Kondisi optimum pada produksi biogas dapat dilihat pada Tabel 3.

Parameter-parameter ini harus dikontrol dengan cermat supaya proses pencernaan anaerobik dapat berlangsung secara optimal. Sebagai contoh pada derajat keasaman (pH), pH harus dijaga pada kondisi optimum yaitu antara 7 - 7,2. Hal


(35)

17

ini disebabkan apabila pH turun akan menyebabkan pengubahan substrat menjadi biogas terhambat sehingga mengakibatkan penurunan kuantitas biogas. Nilai pH yang terlalu tinggipun harus dihindari, karena akan menyebabkan produk akhir yang dihasilkan adalah CO2 sebagai produk utama. Begitupun dengan nutrien, apabila rasio C/N tidak dikontrol dengan cermat, maka terdapat kemungkinan adanya nitrogen berlebih (terutama dalam bentuk amonia) yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri (Hermawanet al.,2007).

Tabel 3.Kondisi optimum produksi biogas

Parameter Kondisi Optimum

Suhu

Derajat Keasaman Nutrien Utama

Nisbah Karbon dan Nitrogen Sulfida

Logam-logam Berat Terlarut Sodium

Kalsium Magnesium Amonia

35oC 7 - 7,2

Karbon dan Nitrogen 20/1 sampai 30/1

< 200 mg/L < 1 mg/L < 5000 mg/L < 2000 mg/L < 1200 mg/L < 1700 mg/L Sumber : Hermawanet al, 2007)

Fermentasi metan berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama (hidrolisis) melibatkan enzim yang bertugas merombak komponen kompleks menjadi komponen yang dapat digunakan sebagai sumber energi dan sumber karbon. Pada tahapan hidrolisis, mikrobia hidrolitik mendegradasi senyawa organik kompleks yang berupa polimer menjadi monomernya yang berupa senyawa tak terlarut dengan berat molekul yang lebih ringan. Lipida berubah menjadi asam lemak dan gliserin, polisakarida menjadi gula (mono dan disakarida), protein menjadi asam amino dan asam nukleat menjadi purin dan pirimidin. Konversi lipid berlangsung lambat pada suhu dibawah 20oC dengan bantuan enzim.


(36)

18

Tahap kedua melibatkan bakteri untuk merombak komponen yang dihasilkan pada tahap pertama menjadi hasil antara (asidogenesis). Monomer-monomer hasil hidrolisis dikonversi menjadi senyawa organik sederhana seperti asam lemak volatil, alkohol, asam laktat, senyawa mineral seperti karbondioksida, hidrogen, amoniak, dan gas hidrogen sulfida.

Pada tahap kedua dalam fermentasi metana dilakukan oleh berbagai kelompok bakteri, mayoritasnya adalah bakteri obligat anaerob dan sebagian yang lain bakteri anaerob fakultatif. Hasil pada tahap ini kemudian dikonversi menjadi hasil antara bagi produksi metana berupa asetat, hidrogen, dan karbondioksida. Sekitar 70 % dari COD (Chemical Oxygen Demand) semula diubah menjadi asam asetat.

Pembentukan asam asetat disertai dengan pembentukan karbondioksida atau hidrogen, tergantung kondisi oksidasi dari bahan organik aslinya. Tahap ketiga yaitu tahap metanogenesis yang melibatkan bakteri perombak hasil antara menjadi produk akhir berupa metana dan CO2. Metana dihasilkan dari asetat atau dari reduksi karbondioksida oleh bakteri asetotropik dan hidrogenotropik dengan menggunakan hidrogen (Grady dan Lim, 1980.


(37)

19

Makromolekul/bahan organik kompleks (lipida, polisakarida, protein)

Mikromolekul/bahan organik sederhana (as. lemak, gliserin, mono & disakarida, as. amino)

oleh enzim ekstraseluler hasil ekskresi bakteri hidrolitik Hidrolisis

Asidogenesis

HCOOH, CH3COOH,

CO2& H2

Asam volatile dan produk lain

Metanogenesis

CH4& CO2 Asetogenesis

Acidogenic Bacteria

C6H12O6+ 2H2O 2CH3COOH + 2CO2+ 4H2

(As. Asetat)

C6H12O6+ 2H2O CH3CH2CH2COOH + 2CO2+ 4H2

(As. Butirat)

C6H12O6+ 2H2O 2CH3CH2COOH + 2H2O

(As. Propionat)

Acetogenic Bacteria

CH3CH2COOH + 2H2 CH3COOH + CO2+ 3H2

(As. Propionat) (As. Asetat) CH3CH2CH2COOH + 2H2O 2CH3COOH + 2H2

(As. Butirat) (As. Asetat)

Acetogenic Bacteria

2CH3CH2OH + CO2 2CH3COOH + CH4

(Etanol) (As. Asetat) (Metana) CH3CH2OH + H2O CH3COOH + 2H2

(As. Butirat) (As. Asetat) (Hidrogen)

Methanogenic Bacteria

(1) The H2Utilizing Bacteria 4H2 + CO2 CH4 + H2O

(2) Acetoclastic Methane

CH3COOH CH4 + CO2

(3) Memanfaatkan As. Format

4HCOOH CH4 + 3CO2 + 2H2O

(4) Memanfaatkan Metanol

4/3 CH3OH CH4+ 1/3 CO2+ 2/3 H2O

4/3 CH3NH2 2/3 H2O + CH4+ 1/3 CO2


(38)

20

b. Biogas sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar minyak

Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), limbah agroindustri, sampah biodegradable atau setiap limbah organik yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Biogas merupakan gas yang tidak berwarna, sangat tinggi dan cepat daya nyalanya, sehingga sejak biogas berada pada bejana pembuatan sampai penggunaannya untuk penerangan atau memasak, harus selalu dihindarkan dari api yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan (Suriawiria, 2005). Sifat Biogas adalah 20 % lebih ringan dari udara dan mempunyai satu suhu nyala di sekitar 650ºC sampai dengan 750ºC. Nilai kalor dari biogas adalah 20 Mega Joules (MJ) per m3dan membakar dengan efisiensi 60 persen di suatu dapur biogas yang konvensional.

Biogas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembangkit listrik, pemanas ruangan, memasak, dan pemanas air. Jika dikompresi, biogas dapat menggantikan gas alam terkompresi (CNG) yang digunakan pada kendaraan. Biogas yang telah dimurnikan akan memiliki karakteristik yang sama dengan gas alam. Akan tetapi gas tersebut harus sangat bersih untuk mencapai kualitas pipeline. Air (H2O), hydrogen sulfide (H2S) dan partikulat harus dihilangkan jika terkandung dalam jumlah yang besar di gas tersebut. Jika biogas harus digunakan tanpa pembersihan yang ekstensif, biasanya gas ini dicampur dengan gas alam untuk meningkatkan pembakaran. Biogas yang telah dibersihkan untuk mencapai kualitas pipeline dinamakan gas alam terbaharui. Di Indonesia nilai potensial


(39)

21

pemanfaatan biogas ini akan terus meningkat karena adanya jumlah bahan baku biogas yang melimpah dan rasio antara energi biogas dan energi minyak bumi yang menjanjikan (Hermawanet al.,2007).

Gas metan adalah gas yang mengandung satu atom C dan 4 atom H yang memiliki sifat mudah terbakar. Gas methan yang dihasilkan kemudian dapat dibakar sehingga dihasilkan energi panas. Satu mol metana memerlukan dua mol oksigen untuk dapat dioksidasi menjadi CO2 dan air, akibatnya setiap produksi 16 gram metana dapat menurunkan COD air limbah sebanyak 64 gram. Pada suhu dan tekanan standar, setiap stabilisasi 1 pound COD dapat menghasilkan 5,62 ft3 metana atau 0,35 m3 metana/kg COD (Grady dan Lim, 1980). Komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi biogas

Komposisi %

Metana (CH4) 55 - 75

Karbon dioksida (CO2) 25 - 45 Nitrogen (N2) 0 - 0,3

Hidrogen (H2) 1 - 5

Hidrogen sulfida (H2S) 0 - 3 Oksigen (O2) 0,1 - 0,5 Sumber : Hermawanet al. (2007)

c. Berbagai reaktor yang digunakan dalam pengolahan limbah menjadi biogas

Saat ini telah banyak dikembangkan teknologi pengolahan limbah cair menjadi biogas. Limbah cair yang berpotensi untuk diolah menjadi biogas umumnya adalah limbah dari agroindustri, peternakan, dan pengelolaan sampah organik. Metode dan peralatan yang digunakan dalam mengolah limbah cair menjadi biogas juga beragam yang hampir seluruhnya menggunakan sistem anaerobik.


(40)

22

Berbagai jenis bioreaktor telah digunakan untuk pengolahan air limbah secara anaerobik menurut Yusmiati (2009), antara lain :

1). Reaktor Filter Anaerobik (Anaerobic Filter Reactor)

Reaktor ini diisi dengan material pendukung inert seperti batu kerikil, karang, polimer dan beberapa jenis plastik yang dimiliki luas permukaan yang besar untuk mengikat mikroorganisme. Reaktor ini tidak memerlukan pemisahan dan daur ulang biomasa.

2). Reaktor Kontak Anaerobik (Anaerobic Contact Reactor)

Air limbah diolah didalam reaktor tangki berpengaduk secara sinambung (continuous stirred tank reactor). Dalam reaktor ini terjadi kontak antara biomassa aktif dengan air limbah kemudian menghasilkan gas metana dan karbondioksida. Aliran keluar reaktor dimasukkan ke tangki pemisah (clarifier) dan biomassanya dikembalikan kedalam reaktor.

3). Bioreaktor Unggun Fluidisasi (Fluidized-bed Reactor)

Air limbah dilewatkan dari bawah reaktor melalui partikel-partikel padat seperti pasir (diameter 0,2-1 mm). Biomassa dalam reaktor ini tumbuh sebagai lapisan tipis (biolayer) pada partikel-partikel padat dan dipertahankan dalam keadaan terfluidakan oleh aliran air limbah yang mengalir keatas. Dengan teknik penambatan ini, aktifitas dan konsentrasi mikroorganisme dapat dipertahankan pada tingkat yang tinggi.


(41)

23

4). Upflow Anaerobic Sludge Blanket(UASB)

Air limbah diumpankan dari bagian bawah dan keluar dari puncak reaktor melalui penyekat-penyekat yang berfungsi untuk memisahkan gas, lumpur dan cairan. Lumpur-lumpur yang terpisah dari cairan dan gas terendapkan kembali didalam reaktor. Gas-gas yang terbentuk dikumpulkan pada bagian puncak reaktor melalui sistem perpipaan.

5). Bioreaktor Berpenyekat Anaerobik

Bioreaktor berpenyekat anaerobik pada prinsipnya merupakan reaktor yang memiliki sederetan sekat yang dipasang secara vertical. Limbah yang masuk kedalam reaktor ini dipisahkan oleh sekat-sekat dan proses fermentasi berlangsung pada sekat-sekat tersebut dan kemudian biogas yang terbentuk akan mengalir melalui pipa yang dipasang pada sekat-sekat yang ada pada reaktor tersebut.

6).Covered in Ground Anaerobic Reactor(CIGAR)

Sistem pengolahan limbah dengan metodeCovered in Ground Anaerobic Reactor (CIGAR) pada prinsipnya adalah menggunakan sistem penutup elastis yang menutupi kolam. Fermentasi anaerobik yang menghasilkan biogas berlangsung didalamnya. Metode penangkapan gas ini umumnya digunakan untuk mengolah limbah kotoran ternak yang memiliki volume limbah yang tidak terlalu besar. Penutup elastic yang digunakan pada reaktor jenis ini harus bersifat tahan lama dan tidak permeable sehingga biogas yang terbentuk tidak keluar melalui penutup tersebut.


(42)

24

Bahan penutup yang biasa digunakan adalah plastic jenis HDPE (High Density Polyethylene) dengan ketebalan minimum 1 mm. Plastik jenis ini dapat digunakan karena sifatnya yang tahan lama terhadap cuaca panas maupun hujan dengan proyeksi waktu 15-20 tahun masa pakai. Untuk membangun reaktor jenis ini tidak memerlukan biaya yang mahal karena sistem penggunaannya yang mudah yaitu kolam yang telah ditutup hanya dialiri limbah melalui lubang inlet dan setelah fermentasi anaerobik berlangsung limbah akan keluar melalui lubang outlet. Biogas yang terperangkap pada reaktor dialiri melalui pipa yang dipasang pada reaktor untuk kemudian ditampung dan digunakan sebagai bahan bakar. (Philipine Bio-Science, 2007)

2. Limbah Padat Industri Tapioka Sebagai Pakan Ternak

Limbah padat industri tapioka berupa onggok memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, yaitu berkisar 68%. Namun tingginya kandungan karbohidrat tersebut tidak diimbangi dengan kandungan proteinnya. Protein dalam limbah ini tidak lebih dari 3,6 %, tetapi hal ini dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi. Karena kandungan karbohidrat dalam bentuk bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) inilah, onggok jika digunakan sebagai bahan pakan ternak akan mudah dicerna bagi ternak, serta penggunaannya dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum (Tarmudji, 2004).

Pengolahan onggok dengan fermentasi dilakukan dengan cara penambahan inokulum kapang Aspergillus niger. Onggok pertama-tama dikeringkan terlebih dahulu samapai kadar kekeringannya menjadi 20%. Cara untuk mengeringkan onggok dapat dilakukan dengan secara alami yaitu dijemur dengan menggunakan


(43)

25

panas matahari atau sun drying. Tempat pengeringan yang baik biasanya

menggunakan lantai rabatan cor, sehingga hasil jemurannya tidak kotor. Selain itu pengeringan juga dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi dryer yaitu

dengan menggunakan udara panas yang dihasilkan dari uap boiler. Setelah dilakukan penurunan kadar air selanjutnya onggok digiling. Kemudian onggok difermentasikan dengan menggunakan kapang Aspergillus niger sebagai

inokulum, ditambah campuran urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen anorganik.

Untuk setiap 10 kg bahan baku pakan dibutuhkan 80 gram kapang Aspergillus

niger dan 584,4 gram campuran mineral anorganik. Sedang untuk preparasinya,

10 kg onggok kering giling dimasukkan ke dalam baskom besar berukuran 50 kg. Selanjutnya ditambah 584,4 gram campuran mineral dan diaduk sampai rata. Kemudian ditambah air hangat sebanyak 8 liter, diaduk rata dan dibiarkan selama beberapa menit. Setelah agak dingin baru ditambahkan 80 gramAspergillus niger

dan diaduk kembali. Setelah tercampur rata kemudian dipindahkan ke dalam baki plastik dan ditutup. Fermentasi berlangsung selama empat hari. Setelah terbentuk miselium yang terlihat seperti fermentasi tempe, maka onggok terfermentasi dipotong- potong, diremas-remas dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC dan selanjutnya digiling (Hidayah et al., 2010). Untuk standar kualitas pakan


(44)

26

Tabel 5. Persyaratan mutu konsentrat sapi potong berdasarkan bahan kering

Komposisi Kimia Jenis Pakan

Penggemukan Induk Jantan

Kadar air maks (%) Abu maks (%)

Protein kasar min (%) Lemak kasar maks (%) Ca (%)

P (%)

Neutral detergent fiber maks (%) Undegraded dietary protein min (%)

Aflatoksin Maks (ppb atau μ g/kg)

Total digestible nutrient min (%)

14 12 13 7 0,8 - 1,0

0,6-0,8 3 5,2 200 70 14 12 14 6 0,8-1,0 0,6-0,8 35 5,6 200 65 14 12 12 6 0,5-0,7 0,3-0,5 30 4,2 200 65 Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2009)

D. Pengolahan Pupuk Organik dari Limbah Peternakan

Kotoran ternak yang tercampur sisa-sisa pakan merupakan bahan organik yang biasa digunakan petani sebagai pupuk kandang. Namun demikian, ketersediaan pupuk ini belum dapat memenuhi kebutuhan, karena memperoleh pupuk kandang dalam jumlah besar. Kotoran sapi merupakan bahan yang baik untuk kompos karena relatif tidak terpolusi logam berat dan antibiotik. Kandungan Posfor yang rendah pada pupuk kandang dapat dipenuhi dari sumber lain. Prinsip pembuatan kompos adalah penguraian limbah organik menjadi pupuk organik melalui aktivitas mikroorganisme (BPTP Jabar, 2008).

Kompos merupakan salah satu pupuk organik yang dapat memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation, menambah kemampuan tanah menahan air, meningkatkan ketersediaan unsure mikro, serta

tidak menimbulkan polusi bagi lingkungan. Menurut Isroi (2005), untuk

mendapatkan hasil yang optimal dalam proses pengomposan yang merupakan proses biologi, perlu diperhatikan beberapa faktor lingkungan, seperti:


(45)

27

a. Rasio Karbon-Nitrogen (C/N)

C/N rasio bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Hal tersebut disebabkan pengomposan bergantung pada kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentukan sel dan bersamaan dengan nitrogen untuk pembentukan selnya. C/N rasio yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 30 : 1 hingga 40 : 1. Pada rasio di antara 30 - 40, mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Jika C/N rasio tinggi maka aktivitas biologi mikroorganisme berkurang dan diperlukan beberapa siklus mikroorganisme untuk menyelesaikan degradasi bahan kompos, sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan kompos yang akan dihasilkan bermutu rendah (Murbandono, 2000).

b. Ukuran partikel dan porositas

Proses pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah kompos dicincang menjadi ukuran yang kecil dan permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dan bahan sehingga proses dekomposisi akan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antara bahan (porositas). Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara.

c. Aerasi

Mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan melakukan aktivitas metabolisme di luar tubuhnya (ekstra metabolisme). Ekstra metabolisme membutuhkan H2O dan O2, oleh karena itu dekomposisi bahan organik oleh


(46)

28

mikroorganisme sangat tergantung pada kelembaban lingkungan dan oksigen dari rongga udara yang terdapat diantara pertikel-partikel bahan kompos. Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk kedalam tumpukan kompos. Aerasi ditetentukan oleh porositas dan kandungan air bahan.

Menurut Budiman (2008), pembalikan pada tumpukan kompos akan mengembalikan kondisi tumpukan menjadi normal kembali untuk menjaga agar pada proses pengomposan selalu ada udara segar dan kondisi anaerob dapat dihindari. Kekurangan oksigen mengakibatkan mikroorganisme aerobik mati dan akan tergantikan oleh mikroorganisme anaerobik. Kadar oksigen yang ideal adalah 10% - 18% (kisaran yang dapat diterima adalah 5% - 20%).

Menurut Gaur (1983), aerasi dan pengunaan oksigen merupakan ada tidaknya oksigen pada saat pengomposan membedakan proses menjadi anaerobik atau aerobik. Proses anaerobik adalah proses yang tidak memerlukan oksigen, sedangkan proses aerobik adalah proses yang memerlukan oksigen. Proses anaerobik dapat dilakukan dalam jangka waktu yang relatif lebih lama dari proses aerobik. Kekurangan proses anaerobik adalah timbulnya bau dari kompos karena terbentuknya senyawa indol, skatol, merkaptan dan H2S. Reaksi yang terjadi selama proses pengomposan anaerobik adalah sebagai berikut :


(47)

29

Bakteri pengahasil asam

(CH2O) CH3COOH

Methamonas

CH3COOH CH4+ CO2

N-organik NH3

Cahaya

2 H2S + CO2 (CH2O) + S + H2O

Sedangkan pengomposan aerobik adalah pengomposan yang memerlukan oksigen. Proses tersebut menurut Crawford (1984), tidak menimbulkan bau dan menghasilkan energi yang lebih besar bila dibandingkan dengan pengomposan anaerobik (energi pengomposan anaerobik sebesar 26 kkal per mol glukosa sedangkan proses aerobik menghasilkan energi sebesar 484 – 674 kkal per mol glukosa). Reaksi yang terjadi selama proses pengomposan aerobik adalah sebagai berikut :

Gula [(CH2O)] CO2 + H2O + Energi

Protein (N-organik) NH4 + NO2- + NO3- + Energi Sulfur organik (S) + O2 SO2- + Energi

Fosfor organik H3PO4 Ca(H3PO4)2

Keseluruhan reaksi : Aktifitas mikroorganisme

Bahan organik CO2+ H2O Nutrisi + Humus + Energi

Proses anaerobik dan aerobik dapat terjadi secara bersamaan dalam sebuah tumpukan. Proses anaerobik dapat terjadi pada bagian tumpukan yang tidak berongga sementara proses aerobik aktif di bagian tumpukan yang memiliki oksigen yang cukup.


(48)

30

d. Kelembaban

Kadar air atau kelembaban yang ideal untuk proses pengomposan adalah antara 40% - 60% dengan kadar air yang terbaik adalah 50% (Rochaeni dkk, 2003). Kondisi kelembaban ideal harus dijaga agar mikroorganisme aerobik dalam kompos dapat bekerja dengan baik dan tidak mati.

Menurut Crawford (1984), kelembaban pengomposan yang ideal tergantung jenis bahan organik yang digunakan. Jadi, kisaran kelembaban yang ideal harus dipertahankan dan apabila kelembaban dibawah 40% aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15% karena bahan akan menjadi kering dan mikroorganisme akan sulit tumbuh. Apabila kelembaban lebih dari 60% hara akan tercuci mengakibatkan bahan semakin lembek, melarutkan sumber makanan yang dibutuhkan mikroorganisme, dan oksigen yang masuk akan terhambat, bila volume udara berkurang dan akibatnya aktivitas mikroba akan menurun selain itu pula kelebihan kandungan air menutupi rongga udara di dalam tumpukan, sehingga membatasi kadar oksigen dalam tumpukan. Kadar oksigen yang ideal berkisar antara 10%–18%.

Kondisi air yang baik adalah sedang, tidak terlalu kering, dan tidak terlalu basah.

Menurut BPTP Jabar (2008), cara sederhana untuk mengetahui kelembaban yang ideal adalah dengan mengambil bahan dan meremasnya dalam genggaman. Apabila bahan kompos pecah atau hancur dan tidak keluar air sama sekali dari genggaman maka perlu ditambahkan air. Kondisi yang tepat adalah kompos dapat dikepal meskipun hancur lagi. Untuk menjaga kadar air sebaiknya kompos terlindung dari sinar matahari langsung dan hujan. Sinar matahari dapat


(49)

31

menyebabkan penguapan sedangkan hujan dapat menyebabkan kadar air berlebih (Yuwono, 2005).

e. Suhu

Pengomposan akan berjalan optimal pada temperatur yang sesuai dengan temperatur yang optimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Menurut Murbandono (2000), suhu optimum proses pengomposan berkisar antara 30oC

–45oC. Pada suhu 55oC - 65oC, perkembangbiakan mikroorganisme adalah yang paling baik sehingga populasinya tiga kali dibandingkan dengan suhu dibawah 55oC. Disamping itu, pada kisaran tersebut enzim yang dihasilkan untuk menguraikan bahan organik, mempunyai daya urai paling efektif. Suhu tinggi berfungsi untuk membunuh bibit penyakit (patogen), menetralisir hama (lalat) dan mematikan bibit rumput atau melokul organik yang resisten.

Keseimbangan antara panas yang dihasilkan dan dilepas akan tergantung pada kemampuan tumpukan untuk menghambat panas keluar. Besarnya kemampuan tersebut tergantung pada ukuran tumpukan. Dengan demikian, cara yang paling efektif untuk mengendalikan suhu adalah dengan ukuran tumpukan yang sesuai.

Menurut Yuwono (2005), berdasarkan perbedaan suhu, mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan terdiri dari golongan mesofilik dan termofilik. Pengomposan mesofilik terjadi pada suhu antara 30oC - 45oC, sedangkan pengomposan termofilik terjadi pada kisaran suhu antara 45oC – 65oC dengan demikian, maka pada waktu suhu tumpukan kompos kurang dari 45oC, proses pengomposan dibantu oleh mesofilik, sedangkan diatas suhu tersebut mikoorganisme yang berperan adalah termofilik. Miroorganisme mesofilik


(50)

32

berperan memperkecil ukuran partikel zat organik sehingga luas permukaan partikel bertambah sedangkan mikroorganisme termofilik yang tumbuh pada waktu terbatas berfungsi untuk mengkomsumsi karbohidrat dan protein, sehingga bahan-bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat.

f. pH

Kisaran pH optimum untuk memperoleh kecepatan pengomposan berkisar antara 6,5 – 7,5 (Yuwono, 2005). Proses pengomposan akan menyebabkan perubahan pada bahan dan pH. Pada awal proses pengomposan, derajat keasaman akan selalu menurun karena sejumlah mikroorganisme mengubah bahan organik menjadi asam organik. Dalam proses selanjutnya, mikroorganisme jenis lainnya akan mengkonversi asam organik tersebut sehingga pH akan naik kembali mendekati netral.

pH tinggi menyebabkan konsumsi oksigen meningkat dan menyebabkan unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi NH3 (amoniak) yang mengakibatkan hasil yang buruk terhadap lingkungan. Sebaliknya pH rendah dapat menyebabkan matinya sebagian besar mikroorganisme (Murbandono, 2000).

g. Kandungan hara

Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.


(51)

33

h. Kandungan hara berbahaya

Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.

Kompos bermutu adalah yang terdekomposisi sempurna dan tidak menimbulkan efek merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Penggunaan kompos yang belum matang menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan nitrogen antara tanaman dan mikroorganisme yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Kompos yang baik memiliki ciri berwarna coklat tua hingga hitam, tidak larut air meski sebagian dapat membentuk suspensi, nisbah C/N sekitar 10-20 tergantung pada bahan baku dan derajat humufikasinya, suhu kurang lebih sama dengan suhu lingkungan, dan tidak berbau (BPTP Jabar, 2008).


(52)

34

III BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung untuk karakterisasi limbah dan observasi penelitian lapangan dilakukan di PD. Semangat Jaya Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, yaitu pada bulan September 2010 sampai dengan November 2010.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan untuk analisis karakterisasi limbah meliputi mikropipet, vial, reaktor unit DBR200, HACH Spectrofotometri DR 4000, gelas ukur,box ice, pengaduk, botol semprot, sarung tangan, masker. Alat yang digunakan pada kegiatan observasi di lapangan meliputi seperangkat kamera, alat hitung (calculator) dan seperangkat komputer.

Bahan-bahan yang digunakan antara lain, reagen COD (kalium dikromat (K2Cr2O7), H2SO4, kristal merkuri sulfat (HgSO4), dan silver sulfat (Ag2SO4)) dan sampel air limbah.


(53)

35

C. Metode Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan yang dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang bertujuan untuk menguraikan pemanfaatan limbah pada ITTARA terpadu. Pemilihan lokasi dalam penelitian ini menggunakan metode purposive atau dilakukan secara sengaja, di mana lokasi yang diambil sesuai dengan kriteria tujuan penelitian yaitu ITTARA dengan kapasitas produksi 80 ton/hari yang menerapkan pola usaha terpadu dengan penggemukan sapi dan merupakan satu-satunya ITTARA yang menerapkan sistem usaha tersebut di Provinsi Lampung. Pengamatan karakterisasi COD limbah dilakukan sebanyak 6 kali dengan 6 minggu masa pengamatan. Setiap minggu dilakukan pengambilan sampel air limbah lalu dianalisis nilai COD. Setiap analisis dilakukan satu kali sebanyak 1 sampel air limbah.

D. Pelaksanaan Penelitian

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu:

a. Pengambilan data primer, yaitu semua data dan informasi, fakta, petunjuk, dan indikasi yang didapat dari hasil penyelidikan secara langsung di lapangan. Data diperoleh melalui analisis, wawancara dan pengamatan langsung di lokasi penelitian dan di laboratorium untuk karakterisasi limbah. Data digunakan untuk mendapat gambaran kondisi terkini di ITTARA terpadu meliputi jumlah produksi, kegiatan di industri, limbah


(54)

36

Gambar 4. Diagram alir penelitian

yang dihasilkan, fasilitas dan proses pengolahan limbah yang telah diterapkan.

b. Pengambilan data sekunder, yaitu semua data dan informasi, fakta, petunjuk, dan indikasi yang didapat dari hasil penyelidikan secara tidak langsung. Data diperoleh dari lokasi penelitian, penelusuran pustaka, dan lembaga yang berkaitan dengan penelitian.

Tabel 6. Metode pengumpulan data dan analisis data penelitian

No. Variabel Penelitian Metode Pengumpulan Data

Metode Analisis Data 1. Potensi limbah cair

menjadi biogas

Analisis langsung di laboratorium

Deskriptif dengan analisis matematis 2. Potensi manfaat

ekonomi dari

pengelolaan limbah

Wawancara dan studi kepustakaan

Deskriptif dengan analisis matematis 3. Potensi manfaat

pengelolaan limbah terhadap lingkungan

Wawancara dan studi kepustakaan

Deskriptif dengan analisis matematis Potensi manfaat ekonomi Potensi manfaat terhadap

lingkungan Survei lapang

Karakterisasi limbah Data primer dan data sekunder

Industri tapioka skala kecil

Potensi biogas, pupuk kompos, pakan ternak, onggok kering dan onggok giling


(55)

37

E. Pengamatan

1. Perhitungan Potensi Biogas

Limbah cair industri tapioka yang berpotensi sebagai sumber energi ditentukan karakteristiknya dengan menganalisis parameter yang berkaitan langsung dengan pembentukan gas metana yaitu nilai COD (Chemical Oxygen Demand) (HACH Company, 2004).

Pengukuran karakteristik limbah berupa COD dilakukan dengan cara : Sampel diaduk terlebih dahulu kemudian diambil sebanyak 0,2 ml atau 200 µl menggunakan mikropipet. Masukkan ke dalam vial yang berisi reagen COD, kemudian dipanaskan dengan reactor unit DRB200 pada suhu 150oC selama 2 jam. Setelah dipanaskan, vial dikeluarkan dan dibiarkan sampai suhunya sama dengan suhu ruang kemudian diukur nilai COD-nya dengan HACH Spektrofotometri DR4000 (HACH Company, 2004). Penghitungan potensi biogas dilakukan dengan menganalisis data primer, data sekunder dan hasil karakterisasi limbah. Adapun tahapan dalam menghitung potensi biogas dari pengolahan limbah cair adalah sebagai berikut:

a. Produksi gas metan

CH4 = CODr/hari x 0,3**

CODr/hari = (CODinlet–CODoutlet) mg/L X Laju alir umpan Keterangan:

CH4 = Jumlah produksi metan (m3/kg COD/hari) *) CODr sistem CIGAR


(56)

38

Laba = Total Pendapatan - Total biaya (biaya tetap + biaya variabel) b. Produksi biogas

Biogas = CH4/ % konsentrasi metana dalam biogas Keterangan:

Biogas = Jumlah produksi biogas (m3/hari)

CH4 = Jumlah produksi metan (m3/kg COD/hari) % metana = Konsentrasi gas metan dalam biogas

2. Potensi Ekonomi dari Pemanfaatan Limbah

Manfaat pengelolaan limbah industri tapioka ITTARA terpadu menggunakan metode perhitungan Gross Value Added (nilai tambah kotor) dengan analisis Laba-Rugi dari sistem pengolahan menjadi suatu produk. Komponen biaya terdiri dari biaya investasi dan operasional, pendapatan diperoleh dari nilai konversi biogas yang dihasilkan dengan harga bahan bakar untuk limbah cair dan untuk limbah padat nilai pendapatan diperoleh dari potensi penjualan limbah yang telah dilakukan pengolahan. Estimasi perhitungan dilakukan dengan mengkalkulasikan total biaya yang nilainya dikurangi dengan total pendapatan sehingga didapatkan nilai laba (Lal, 1999).

3. Potensi Pemanfaatan Limbah Terhadap Lingkungan

Manfaat terhadap lingkungan dari pengelolaan limbah dihitung berdasarkan reduksi emisi gas rumah kaca gas karbondioksida (CO2) dari pengolahan limbah cair, sementara untuk pengolahan limbah padat tidak dilakukan perhitungan karena limbah padat diasumsikan dapat direduksi sampai ke titik nol (zero). Manfaat terhadap lingkungan dari pengolahan limbah cair menjadi biogas


(57)

39

dilakukan dengan menghitung reduksi pencemaran gas rumah kaca CO2 setelah dilakukan pengolahan. Estimasi reduksi gas CO2 didapatkan setelah dilakukan pengurangan jumlah emisi setelah proyek penangkapan biogas berjalan dengan basis emisi apabila tidak dilakukan proyek penangkapan biogas. Metode perhitungan reduksi emisi menggunakan metode UNFCCC (United Nations Framework Convention for Climate Change) tentang reduction emission di pengolahan limbah dan penggunaan reaktor dengan bahan bakar terbaharui melalui modifikasi IPCC Tools (2006) dalam Purwati (2010).

Total emisi yang direduksi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

PE

BE

RE

Keterangan :

RE :Reduction Emission(Reduksi emisi dari limbah cair ) BE :Baseline emission(emisi yang ditimbulkan apabila tidak ada

pemanfaatan)

PE :Project emission(emisi yang ditimbulkan oleh adanya pemanfaatan)

Nilai basis emisi (BE) didapatkan dari perhitungan sebagai berikut : CODr/hari : (CODinlet–CODoutlet) X Laju alir umpan

Produksi CH4 : CODr X 0,3 m3*

Berat CH4 : Mol CH4** X Berat Molekul CH4 Emisi CO2 : 21 kali dari berat CH4**

Keterangan :

*) Nilai realistis untuk produksi CH4/1 kg COD

**) Mol CH4gas dalam keadaan STp yaitu setara dengan 22,4 L ***) 1 molekul CH4= 21 kali molekul CO2e (IPCC Tools (2006)

dalam Purwati (2010)

Nilai emisi proyek (PE) diperoleh dari faktor emisi CO2 yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar oleh mesin untuk menjalankan reaktor atau untuk pemanenan biogas.


(58)

74

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang dapat diambil adalah pemanfaatan limbah di Industri Tapioka Rakyat terpadu dengan rata-rata bahan baku 57 ton/hari berpotensi memberikan peningkatan keuntungan ekonomi yang signifikan dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Adapun penjabaran potensi keuntungan yang diperoleh adalah sebagai berikut :

1. Potensi produksi biogas dari pemanfaatan limbah cair adalah sebesar 265.747,6 m3/tahun.

2. a) Potensi keuntungan ekonomi dari biogas pada tahun pertama adalah Rp654.913.030,- dan pada tahun kedua adalah sebesar Rp741.761.030,-b) Potensi keuntungan yang diperoleh dari onggok antara lain, onggok

basah sebesar Rp267.030.400,- keuntungan pengolahan onggok kering pada tahun pertama Rp231.419.000,- dan pada tahun ke dua Rp343.669.000,- keuntungan dari pengolahan onggok giling pada tahun pertama Rp515.109.400,- dan pada tahun kedua Rp604.609.400,-. c) Potensi keuntungan yang diperoleh dari penggunaan meniran sebagai

pakan adalah Rp85.000.000,- dengan proyeksi jumlah ternak 352 ekor/tahun.


(59)

75

d) Keuntungan yang diperoleh dari pupuk kandang adalah Rp37.175.000,-pada tahun pertama dan Rp55.775.000,- Rp37.175.000,-pada periode tahun ke dua. 3. Pengelolaan limbah cair dapat mereduksi emisi gas CO2 sebesar 1.620,53

ton CO2e/tahun.

B. Saran

Setelah melakukan penelitian ini, maka penulis menyarankan :

1. Industri tapioka rakyat agar dapat melakukan sistem industri terpadu karena sistem ITTARA terpadu berdasarkan prospek pengembangannya memiliki potensi untuk meningkatkan keuntungan ekonomi dan dapat mengurangi dampak pencemaran.

2. Penelitian lanjut tentang analisis teknis dan ekonomi dari ITTARA hendaknya dilakukan agar dapat dibandingkan keuntungan yang diperoleh dari pengolahan tapioka dan dari pengolahan limbah.

3. Terhadap pemerintah agar dapat melakukan pembinaan terhadap pelaku industri kecil terutama industri tapioka agar dapat menerapkan sistem pengelolaan limbah yang baik agar dapat meningkatkan pendapatan industri tersebut dan menciptakan citra industri yang ramah lingkungan.


(60)

DAFTAR PANDUAN WAWANCARA

Data Responden :

Nama Lengkap :………

Alamat :………

Posisi/Jabatan :………

1. Pada bagian apakah saudara bekerja?

2. Jenis kegiatan apa yang menjadi tanggung jawab saudara?

3. Apa yang saudara ketahui tentang manfaat pengolahan limbah di bagian saudara bekerja?

4. Berapakah jumlah personil di bagian saudara kerja?


(61)

6. Apakah saudara memahami tentang prosedur pengolahan limbah di bagian saudara bekerja?

7. Apa saja yang dibutuhkan dalam memproses limbah yang saudara tangani?

8. Apakah fungsi setiap penambahan bahan di setiap proses (jika ada)?

9. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengolah limbah yang anda olah?

10. Apa saja yang mempengaruhi proses pengolahan limbah tersebut?


(62)

12. Dimanfaatkan untuk apakah hasil olahan limbah tersebut?

13. Kepada siapakah hasil olahan limbah tersebut dijual?

14. Berapakah harga jual olahan limbah tersebut?

15. Apa saja kendala yang dihadapi dalam mengolah limbah tersebut?

Catatan :

Komposisi pertanyaan dapat berubah sesuai dengan responden dan data yang diinginkan.


(63)

76

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id. Jakarta. Diakses pada tanggal 11 September 2010.

Badan Standarisasi Nasional. 2009. Pakan Standar Untuk Peternakan. http//:www.bsn.go.id. Diunduh pada Tanggal 23 Juli 2010.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2008. Membuat Kompos Kotoran Sapi Lebih Berkualitas. BPTP Jawa Barat. Bandung

Barana, C. A., and P. M. Cereda. 2000. Cassava Wastewater (Manipuera) Treatment Using A Two-Phase Anaerobic Biodigestor. J. Cienc. Tecnol. Aliment. Vol. 20. No. 2. Campinas. May/Aug. Brazil. http: // goegle.com/cassava wastewater. Diakses tanggal 2 Agustus 2010.

Bewick,M.W.P. 1980. Handbook of Organic Waste Conversion. Van Nostrand Reindhold Company. New York. 490 Pgs.

Budiman, M.E. 2008. Pengaruh Frekuensi Waktu Pembalikan Tumpukan Kompos Terhadap Kinerja Pengomposan Ampas Tebu (bagasse) di PT. Gunung Madu Plantation (GMP). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Chardialani, A. 2008. Studi Pemanfaatan Oggok sebagai Bioimmobilizer

Mikroorganisme dalam Produksi Biogas dari Limbah Cair Industri Tapioka. Skripsi. Universitas Lampung.

Ciptadi dan Z. Nasution. 1978. Pengolahan Umbi Ketela Pohon. IPB. Bogor. 43 Hal.

Crawford, J.H. 1984. Composting of Agricultural Wastes. Dalam Cheremisinoff, P.N. dan R.P. Oullette (ed.). 1984. Biotechnology. Application and Research. Techonomic Publishing Co., Inc., USA. 232-241 Pgs.

Darwin, R. 2004.Effects of Greenhouse Gas Emissions on World Agriculture, Food Consumption, and Economic Welfare. Journal of Climate Change , 66(2004) page 191-238.

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung. 2010. Upah Minimum Provinsi. Bandar Lampung. Lampung


(64)

77

Ditjen PPHP Departemen Pertanian RI. 2009. Biogas Skala Rumah Tangga, Program Bio Energi Pedesaan (BEP). Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian-Ditjen PPHP Departeman Pertanian RI. Jakarta.

Djarwati, I.F. dan Sukani. 1993. Pengolahan Air Limbah Industri Tapioka Secara Kimia Fisika, Laporan Penelitian. Departemen Perindustrian RI. Semarang.

Fajarudin. 2002. Pengaruh Jumlah Air Ekstraksi dan Lama Pengendapan Terhadap Karakteristik Limbah Cair Tapioka Pada Sistem Batch. Skripsi. Universitas Lampung.

Firdaus, F. 2005. Studi Pendahuluan Pembuatan Biogas Dari Sampah Buah-buahan. Skripsi. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 63 Hal. Gaur, A.C. 1983. A Manual of Rular Composting. FAO Journal. The United

Nations. New York. 11.815-823.

Grady Jr. C.P.L. and H.C. Lim. 1980. Biological Wastewater Treatment, Theory and Applications. Marcel Dekker Inc. New York. 180 Pgs.

HACH Company. 2004. DR/4000 Spectrophotometer Models 48000 and 481000 User Manual 08/04 3ed. HACH Company World Headquarters. Colorado. 115 p.

Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan Yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Wartazoa 16(3): 160-169.

Hermawan, B., Q. Lailatul, P. Candrarini, dan P. S. Evan. 2007. Sampah Organik sebagai Bahan Baku Biogas. Artikel. http://www.chem-is-try.org/?sect=fokus&ext=31. Diakses tanggal 28 Mei 2010.

Hidayah, S dan B. Triono. 2010. Produksi Pakan Ternak dari Onggok sebagai Income Alternatif Pengusaha Tepung Tapioka yang Peduli Peternak Ayam. PKM-GT. Universitas Negeri Malang. Malang.

Hikmiyati, Nopita, dan N.S. Yanie. 2009. Pembuatan Bioetanol dari Limbah Kulit Singkong Melalui Proses Hidrolisa Asam dan Enzimatis. Jurnal penelitian Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. 1-9 hal.

Ikawati, dan Melati. 2009. Pembuatan Karbon Aktif dari Limbah Kulit Singkong UKM Tapioka Kabupaten Pati. Jurnal Penenlitian Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. Semarang.

Isroi. 2005. Pengomposan Limbah Padat Organik. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia : Bogor. 21 Hal


(65)

78

Jenie, B. S. L., W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Yogyakarta. 42 Hal.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2009. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Pengolahan Tapioka. Jakarta. 46 Hal.

Kurniarto, A.T. 2006. Analisis Ekonomi Lingkungan Pengelolaan Limbah Industri Kecil Tapioka/Aci: Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) (Kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kurniawati, D.S. 2010. Pemanfaatan Limbah Padat Pabrik Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar Alternatif Sumber Energi Listrik. Tesis. Program Pasca Sarjana Kajian Ilmu Lingkungan. Universitas Indonesia

Lal, K. 1999.Value Added by Industry - A Problem of International. System of National Accounts Branch Statistics. Canada. 9 Pgs.

Malau, L. 2000. Pengaruh Jenis Bahan Kimia dan Jumlah Air Ekstraksi terhadap Mutu dan Rendemen Tepung Tapioka (Manihot esculenta crantz). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Manik, K.E.S. 1994. Industri Tapioka dan Lingkungan Hidup. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Murbandono Hs, L. 2000. Membuat Kompos (edisi refisi). Penebar Swadaya : Jakarta

Nugroho, C.P. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Jilid 3 Untuk SMK. Direktorat Pembinaan SMK. Kemendiknas RI. Jakarta. 132 hal.

Nurhasanah dan B. Pramudyanto. 1993. Penanganan Limbah Cair Industri Kecil Tapioka. Yayasan Bina Karya Lestari. Jakarta.

Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7. 2010. Baku Mutu Air Limbah Tapioka. Dinas Lingkungan Hidup. Pemerintah Provinsi Lampung.

Pertamina. 2011. Daftar Harga Bahan Bakar untuk Kegiatan Industri. www.pertamina.go.id. Diakses tanggal 23 Juni 2011.

Philipne Bio-Science. 2007.Waste To Energy Project. Philipne Bio-Science. Inc. Philipines.

Prayati, P. U. 2005. Mempelajari Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka PT. Umas Jaya Terbanggi Besar Lampung Tengah. Laporan Praktik Umum. Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(1)

6. Apakah saudara memahami tentang prosedur pengolahan limbah di bagian saudara bekerja?

7. Apa saja yang dibutuhkan dalam memproses limbah yang saudara tangani?

8. Apakah fungsi setiap penambahan bahan di setiap proses (jika ada)?

9. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengolah limbah yang anda olah?

10. Apa saja yang mempengaruhi proses pengolahan limbah tersebut?


(2)

13. Kepada siapakah hasil olahan limbah tersebut dijual?

14. Berapakah harga jual olahan limbah tersebut?

15. Apa saja kendala yang dihadapi dalam mengolah limbah tersebut?

Catatan :

Komposisi pertanyaan dapat berubah sesuai dengan responden dan data yang diinginkan.


(3)

76

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id. Jakarta. Diakses pada tanggal 11 September 2010.

Badan Standarisasi Nasional. 2009. Pakan Standar Untuk Peternakan. http//:www.bsn.go.id. Diunduh pada Tanggal 23 Juli 2010.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2008. Membuat Kompos Kotoran Sapi Lebih Berkualitas. BPTP Jawa Barat. Bandung

Barana, C. A., and P. M. Cereda. 2000. Cassava Wastewater (Manipuera) Treatment Using A Two-Phase Anaerobic Biodigestor. J. Cienc. Tecnol. Aliment. Vol. 20. No. 2. Campinas. May/Aug. Brazil. http: // goegle.com/cassava wastewater. Diakses tanggal 2 Agustus 2010.

Bewick,M.W.P. 1980. Handbook of Organic Waste Conversion. Van Nostrand Reindhold Company. New York. 490 Pgs.

Budiman, M.E. 2008. Pengaruh Frekuensi Waktu Pembalikan Tumpukan Kompos Terhadap Kinerja Pengomposan Ampas Tebu (bagasse) di PT. Gunung Madu Plantation (GMP). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Chardialani, A. 2008. Studi Pemanfaatan Oggok sebagai Bioimmobilizer

Mikroorganisme dalam Produksi Biogas dari Limbah Cair Industri Tapioka. Skripsi. Universitas Lampung.

Ciptadi dan Z. Nasution. 1978. Pengolahan Umbi Ketela Pohon. IPB. Bogor. 43 Hal.

Crawford, J.H. 1984. Composting of Agricultural Wastes. Dalam Cheremisinoff, P.N. dan R.P. Oullette (ed.). 1984. Biotechnology. Application and Research. Techonomic Publishing Co., Inc., USA. 232-241 Pgs.

Darwin, R. 2004.Effects of Greenhouse Gas Emissions on World Agriculture, Food Consumption, and Economic Welfare. Journal of Climate Change , 66(2004) page 191-238.

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung. 2010. Upah Minimum Provinsi. Bandar Lampung. Lampung


(4)

Djarwati, I.F. dan Sukani. 1993. Pengolahan Air Limbah Industri Tapioka Secara Kimia Fisika, Laporan Penelitian. Departemen Perindustrian RI. Semarang.

Fajarudin. 2002. Pengaruh Jumlah Air Ekstraksi dan Lama Pengendapan Terhadap Karakteristik Limbah Cair Tapioka Pada Sistem Batch. Skripsi. Universitas Lampung.

Firdaus, F. 2005. Studi Pendahuluan Pembuatan Biogas Dari Sampah Buah-buahan. Skripsi. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 63 Hal. Gaur, A.C. 1983. A Manual of Rular Composting. FAO Journal. The United

Nations. New York. 11.815-823.

Grady Jr. C.P.L. and H.C. Lim. 1980. Biological Wastewater Treatment, Theory and Applications. Marcel Dekker Inc. New York. 180 Pgs.

HACH Company. 2004. DR/4000 Spectrophotometer Models 48000 and 481000 User Manual 08/04 3ed. HACH Company World Headquarters. Colorado. 115 p.

Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan Yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Wartazoa 16(3): 160-169.

Hermawan, B., Q. Lailatul, P. Candrarini, dan P. S. Evan. 2007. Sampah Organik sebagai Bahan Baku Biogas. Artikel. http://www.chem-is-try.org/?sect=fokus&ext=31. Diakses tanggal 28 Mei 2010.

Hidayah, S dan B. Triono. 2010. Produksi Pakan Ternak dari Onggok sebagai Income Alternatif Pengusaha Tepung Tapioka yang Peduli Peternak Ayam. PKM-GT. Universitas Negeri Malang. Malang.

Hikmiyati, Nopita, dan N.S. Yanie. 2009. Pembuatan Bioetanol dari Limbah Kulit Singkong Melalui Proses Hidrolisa Asam dan Enzimatis. Jurnal penelitian Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. 1-9 hal.

Ikawati, dan Melati. 2009. Pembuatan Karbon Aktif dari Limbah Kulit Singkong UKM Tapioka Kabupaten Pati. Jurnal Penenlitian Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. Semarang.

Isroi. 2005. Pengomposan Limbah Padat Organik. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia : Bogor. 21 Hal


(5)

78

Jenie, B. S. L., W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Yogyakarta. 42 Hal.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2009. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Pengolahan Tapioka. Jakarta. 46 Hal.

Kurniarto, A.T. 2006. Analisis Ekonomi Lingkungan Pengelolaan Limbah Industri Kecil Tapioka/Aci: Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) (Kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kurniawati, D.S. 2010. Pemanfaatan Limbah Padat Pabrik Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar Alternatif Sumber Energi Listrik. Tesis. Program Pasca Sarjana Kajian Ilmu Lingkungan. Universitas Indonesia

Lal, K. 1999.Value Added by Industry - A Problem of International. System of National Accounts Branch Statistics. Canada. 9 Pgs.

Malau, L. 2000. Pengaruh Jenis Bahan Kimia dan Jumlah Air Ekstraksi terhadap Mutu dan Rendemen Tepung Tapioka (Manihot esculenta crantz). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Manik, K.E.S. 1994. Industri Tapioka dan Lingkungan Hidup. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Murbandono Hs, L. 2000. Membuat Kompos (edisi refisi). Penebar Swadaya : Jakarta

Nugroho, C.P. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Jilid 3 Untuk SMK. Direktorat Pembinaan SMK. Kemendiknas RI. Jakarta. 132 hal.

Nurhasanah dan B. Pramudyanto. 1993. Penanganan Limbah Cair Industri Kecil Tapioka. Yayasan Bina Karya Lestari. Jakarta.

Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7. 2010. Baku Mutu Air Limbah Tapioka. Dinas Lingkungan Hidup. Pemerintah Provinsi Lampung.

Pertamina. 2011. Daftar Harga Bahan Bakar untuk Kegiatan Industri.

www.pertamina.go.id. Diakses tanggal 23 Juni 2011.

Philipne Bio-Science. 2007.Waste To Energy Project. Philipne Bio-Science. Inc. Philipines.

Prayati, P. U. 2005. Mempelajari Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka PT. Umas Jaya Terbanggi Besar Lampung Tengah. Laporan Praktik Umum. Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(6)

Purwati, E. 2010. Penerapan Konsep Zero Waste Pada Pengelolaan Limbah Industri Tapioka. Program Pasca Sarjana Kajian Ilmu Lingkungan. Universitas Indonesia. 93 hal.

Rukaesih, R. 2004.Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penebar Swadaya. 145 hal.

Serasi. 2009.Clean Development Mechanism(CDM) dan Implementasinya di Indonesia. Edisi 02/2009. Kementerian Lingkungan Hidup RI. Jakarta Suriawiria, U. 2005. Menuai Biogas dari Limbah. Artikel. http

://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/07/cakrawala/penelitian 03.html. Diakses tgl 27 Maret 2011

Tarmudji. 2004. Pemanfaatan Onggok untuk Pakan Unggas. Artikel. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/171/. Diakses Tanggal 21 Agustus 2010.

Tchobanoglous G. 1991. Waste Water Engineering : Treatment, Disposal, and Re-Use. McGraw-Hill International Edition. Singapore.

Tjiptadi W. 1985. Telaah Kualitas dan Kuantitas Limbah Industri Tapioka serta Cara Pengendaliannya di Daerah Bogor. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor

Winarno, F.G. 1992. Kimia pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.

Wulandari, P. 2010. Inventarisasi Potensi Limbah Kegiatan Peternakan Sapi Sebagai Sumber Energi. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar lampung. 56 Hal.

Usman, M. 2011. Evaluasi Kinerja Bioreaktor Sistem Cigar (Covered in Ground Anaerobic Reactor) Di Industri Tapioka Rakyat. Universitas Lampung. Bandar lampung. 56 Hal.

Yusmiati. 2009. Evaluasi Kinerja Bioreaktor Skala Pilot dalam Produksi Biogas dari Air Limbah Tapioka. Tesis. Universitas Lampung. Bandar Lampung Yuwono, D. 2005. Kompos.Penebar Swadaya : Jakarta. 143 Hal