PENGARUH EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia L.) TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti MENJADI STADIUM NYAMUK DEWASA

(1)

PENGARUH EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia L.) TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti MENJADI STADIUM

NYAMUK DEWASA

(Skripsi)

Oleh

FEBRINA DWIYANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACT

INFLUENCE OF Vitex trifolia L. LEAF EXTRACTS ON LARVA DEVELOPMENT OF Aedes aegypti INTO ADULT

By

FEBRINA DWIYANTI

WHO has reported Dengue has become one of fastest growing mosquito-borne disease and their control depends largely on preventive measures against mosquito vectors. Aedes aegypti is the main Dengue vector. The natural insecticides such as

plant derived compounds are generally pest specific, biodegradable and harmless to the environment. Phytochemicals constituents from leaf extracts of Vitex

trifolia include terpenoid, flavonoid, and alkaloid can act as insect growth

regulators. This research aimed to investigate the adults emergence inhibition of ethanol extracts from leaves of Vitex trifolia against Aedes aegypti larva.

The period of the research was from June to December 2012. Insect growth regulators activity of Vitex trifolia leaf extract was carried out using WHO

protocol, third instar larvae are used for testing. At the end of the observation period, the impact is expressed as IE% (Adult Emergence Inhibition) based on the


(3)

number of larvae that do not develop successfully into adults at various concentration (0,025-0,125%). Probit analysis was used for determination of IE50

and IE90.

The result show 50% and 90% of adult emergence inhibition (IE50 and IE90) were

0,042% and 0,112% against third instar larvae of Aedes aegypti. These results

suggest that the leaf extract of Vitex trifolia has influence as adult emergence

inhibitor against Aedes aegypti larva.

Keywords: Vitex trifolia leaf, ethanol extract, Aedes aegypti, insect growth


(4)

ABSTRAK

PENGARUH EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia L.) TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti MENJADI STADIUM

NYAMUK DEWASA

Oleh

FEBRINA DWIYANTI

WHO melaporkan Dengue merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui nyamuk yang tercepat pertumbuhannya dan upaya pengendaliannya sangat bergantung pada langkah-langkah pencegahan yaitu melawan vektor penyakitnya. Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit Dengue. Insektisida alami seperti senyawa derivat tumbuhan umumnya bersifat spesifik, mudah terurai secara alami, dan tidak berbahaya terhadap lingkungan. Kandungan fitokimia ekstrak daun legundi meliputi terpenoid, alkaloid, dan flavonoid dapat berperan sebagai pengatur perkembangan serangga. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh ekstrak etanol daun legundi (Vitex trifolia L.) dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium dewasa.

Waktu penelitian yaitu pada bulan Nopember sampai Desember 2012. Pengujian aktivitas pengatur perkembangan ekstrak daun legundi (Vitex trifolia L.) mengikuti pedoman WHO (2005), pengujian dilakukan terhadap larva instar III Aedes aegypti. Pada akhir penelitian, pengaruhnya dinilai sebagai IE% (Adult Emergence Inhibition) berdasarkan jumlah larva yang tidak dapat berkembang menjadi stadium dewasa pada berbagai konsentrasi (0,025-0,125%). Analisis probit digunakan untuk menentukan IE50 dan IE90.

Hambatan perkembangan larva instar III Aedes aegypti menjadi stadium dewasa sebesar 50% dan 90% (IE50 dan IE90) didapatkan pada konsentrasi 0,042%

dan 0,112%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak daun legundi memiliki pengaruh sebagai penghambat perkembangan terhadap larva Aedes aegypti.

Kata kunci: daun Vitex trifolia, ekstrak etanol, Aedes aegypti, pengatur perkembangan serangga


(5)

PENGARUH EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia L.) TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti MENJADI STADIUM

NYAMUK DEWASA

Oleh

FEBRINA DWIYANTI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(6)

Judul Skripsi : PENGARUH EKSTRAK DAUN LEGUNDI

(Vitex trifolia L.) TERHADAP

PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti

MENJADI STADIUM NYAMUK DEWASA

Nama Mahasiswa : Febrina Dwiyanti

Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011044

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed dr. Syazili Mustofa

NIP. 196405171988032001 NIP.198307132008121003

2. Dekan Fakultas Kedokteran Unila

Dr. Sutyarso, M.Biomed


(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed

Sekretaris : dr. Syazili Mustofa

Penguji

Bukan Pembimbing : dr. Betta Kurniawan, M.Kes

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Tanggal Lulus Ujian Skripsi: 21 Januari 2013

Dr. Sutyarso, M.Biomed


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Februari 1992, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, pasangan Bapak Fauzie dan Ibu Sukanti.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 01 Pagi Karet Tengsin, Jakarta Pusat pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 40 Jakarta Pusat diselesaikan pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 35 Jakarta Pusat pada tahun 2009, dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter FK UNILA melalui jalur SNMPTN.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten laboratorium Anatomi dan aktif pada sejumlah organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FK Unila dan PMPATD Pakis Rescue Team.


(9)

Skripsi Ini Saya Persembahkan Untuk

Allah SWT

MY BELOVED

Umi

Abi

Nenek Mario

Kakak Putri

Dede Fatih

Big Family

MY LOVELY

Friends and FK Unila 2009

My Almamater


(10)

SANWACANA

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT, karena atas berkah, rahmat, dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Daun Legundi (Vitex trifolia L.) terhadap Perkembangan Larva Aedes aegypti Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa” ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

2. Ibu Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed., selaku Pembimbing I atas kesediaannya dan ketelatenannya memberikan bimbingan, bantuan, saran, dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga selesai;

3. dr. Syazili Mustofa, selaku Pembimbing II atas kesediaan meluangkan waktu dan membimbing serta memberikan masukannya hingga penulis menyelesaikan skripsinya;


(11)

4. dr. Betta Kurniawan, M.Kes., selaku Pembahas atas kesediaan meluangkan waktu dan memberikan masukan, kritik, dan saran yang membangun dan bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

5. Ibu Soraya Rahmanisa, M.SC., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran dan masukkan kepada penulis;

6. Almarhum dr. H. Nurlis Mahmud, MM yang telah banyak memberikan nasehat yang berharga;

7. Umi dan Nenek yang selalu menyebut nama saya dalam doanya, membimbing, mendukung, dan memberikan yang terbaik;

8. Kakak saya (Putri Utami) yang selalu memberi doa, bantuan, dan semangat, serta Dede Fatih yang telah memberikan semangat;

9. Seluruh Keluarga besar almarhum Kakek Mario atas perhatian, dukungan, dan doa yang telah diberikan;

10. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita; 11. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang

turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;

12. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FMIPA Unila, serta pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini; 13. Ka Ibnu, Mba Giska, Mba Ima, Mbak Ani, dan Agnesi yang sudah banyak

memberikan bantuan, arahan, serta koreksi dalam skripsi ini;

14. Sahabat-sahabat saya yang merangkap sebagai Tim Bantuan Skripsi, Bian, Agnesi, Aya, Ajo, Riska, Reza Kanjeng, Hawania, Loven, Nabila, Dicky, Icha, Eka, Galih terima kasih banyak atas bantuannya yang berharga;


(12)

15. Nora, Fajar, Eka, Nanang, dan Sulaiman yang telah membantu dan menemani selama penelitian;

16. Teman-teman angkatan 2009 atas kekeluargaan yang telah terjalin selama ini, semangat, bantuan dan kebahagiaan yang telah diberikan;

17. Teman-teman asdos Anatomi 2009, Umi, Debora, Nola, DM, Muslim, Iqbal, dan Kharisma atas kerjasama, kekompakan, dan bantuannya selama ini; 18. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya (angkatan 2002–2012) yang sudah

memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi yang membacanya. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberi rahmat-Nya kepada kita. Aamiin.

Bandar Lampung, 21 Januari 2013 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR GRAFIK ... vii I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 4 C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum ... 5 2. Tujuan Khusus ... 5 D. Manfaat Penelitian ... 5 E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori ... 6 2. Kerangka Konsep ... 7 F. Hipotesis ... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aedes aegypti

1. Morfologi Larva, Pupa, dan Dewasa Aedes aegypti ... 8


(14)

ii

3. Hormon Pertumbuhan sebagai Pengatur Perkembangan ... 14

B. Tanaman Legundi (Vitex trifolia L.) 1. Taksonomi Tanaman ... 16

2. Deskripsi Tanaman ... 17

3. Kegunaan Tanaman Legundi dalam Masyarakat ... 19

4. Kandungan Kimiawi dan Mekanisme Kerja ... 19

C. Pengendalian Vektor secara Kimiawi 1. Insektisida ... 21

2. Insect Growth Regulator ... 23

3. Efek Juvenile Hormon Mimics Daun Legundi ... 25

E. Ekstraksi ... 26

III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 28

B. Tempat dan Waktu ... 28

C. Populasi dan Sampel ... 28

D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian ... 30

2. Alat Penelitian ... 30

E. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan ... 31

2. Tahap Penelitian ... 33

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel ... 35


(15)

iii G. Analisis Data ... 38 H. Diagram Alir ... 39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 40 B. Pembahasan ... 48 V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 57 B. Saran ... 58 DAFTAR PUSTAKA ... 59 LAMPIRAN


(16)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian ... 29 2. Jumlah Ekstrak Daun Legundi yang Dibutuhkan dalam Penelitian ... 33 3. Definisi Operasional ... 35 4. Hasil Perhitungan Jumlah Larva Aedes aegypti yang Berhasil Menjadi

Stadium Nyamuk Dewasa ... 41 5. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang

Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa ... 41 6. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak

Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence

Inhibition, IE%) ... 43

7. Hasil Uji Normalitas Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang

Tidak Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence

Inhibition, IE%) ... 44

8. Hasil Uji Post Hoc Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak

Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence

Inhibition, IE%) ... 46


(17)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ... 6

2. Hubungan Antar Variabel ... 7

3. Larva Instar I Aedes aegypti ... 9

4. Larva Instar II Aedes aegypti ... 10

5. Larva Instar III Aedes aegypti ... 10

6. Larva Instar IV Aedes aegypti ... 11

7. Pupa Aedes aegypti ... 11

8. Nyamuk Aedes aegypti ... 12

9. Siklus Hidup Aedes aegypti ... 13

10. Tanaman Legundi (Vitex trifolia L.) ... 18

11. Diagram Alir Penelitian ... 39

12. Penyaringan Hasil Maserasi ... 71

13. Evaporasi ... 71

14. Larutan Uji ... 71

15. Larva Perlakuan ... 71

16. Adult Emergence Konsentrasi Ekstrak Daun Legundi 0% ... 71

17. Adult Emergence Konsentrasi Ekstrak Daun Legundi 0,025% ... 71


(18)

vi

19. Adult Emergence Konsentrasi Ekstrak Daun Legundi 0,075% ... 72

20. Adult Emergence Konsentrasi Ekstrak Daun Legundi 0,100% ... 72

21. Adult Emergence Konsentrasi Ekstrak Daun Legundi 0,125% ... 72

22. Penghitungan Pupal Case Kosong ... 72

23. Mikroskopis Pupal Case Kosong ... 72

24. Larva Kontrol ... 73

25. Larva Perlakuan ... 73

26. Pupal Case Kosong ... 73

27. Pupa Aedes aegypti yang Tidak Mencapai Stadium Dewasa ... 73


(19)

vii

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman 1. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang

Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa ... 42 2. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak

Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence


(20)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

WHO melaporkan Dengue merupakan mosquito-borne disease yang

tercepat pertumbuhannya. Terdapat 1 juta kasus terkonfirmasi dilaporkan pada World Health Organization setiap tahun, akan tetapi WHO

mengestimasi jumlahnya lebih dari 50 juta setiap tahun, dengan 20 ribu kematian setiap tahunnya (WHO, 2010). Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit virus yang sangat

berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meninggal dunia dalam waktu yang sangat pendek (beberapa hari) (Ridad et al., 1999). Aedes

aegypti berperan sebagai vektor utama arbovirus yang menyebabkan

penyakit Dengue (Farnesi et al., 2012).

Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian Dengue di tingkat pusat dan di daerah. Metode pengendalian vektor Dengue tersebut yaitu: manajemen lingkungan, pengendalian biologis, pengendalian kimiawi, partisipasi masyarakat, perlindungan individu, dan peraturan perundangan (Sukowati, 2010; Hoedojo et al., 2006).


(21)

2

Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida jika digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu, dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka tertentu akan menimbulkan resistensi vektor (Sukowati, 2010).

Data penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 di Jakarta dan Denpasar pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Shinta et al., menunjukkan resistensi

vektor terhadap insektisida yang digunakan oleh program pengendalian vektor Dengue (Sukowati, 2010). Residu insektisida sintetik pada ekosistem dapat mengurangi sensitivitas larva nyamuk terhadap larvasida. Berkaitan dengan biodegradabilitasnya, ekstrak insektisida dari tanaman dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan insektisida sintetik (Ghosh et

al., 2012). Oleh karena itu, diperlukan pengembangan insektisida nabati

yang efektivitasnya setara dengan insektisida kimiawi, namun mudah didapat oleh masyarakat, murah, dan sederhana (Pidiyar et al., 2004; Gionar

et al., 2005).

Salah satu daya kerja dari insektisida nabati adalah mempengaruhi hormon pengatur pertumbuhan serangga (Insect Growth Regulation). Mekanisme


(22)

3

pematangan insekta, sehingga insekta tidak mampu moulting dan

berkembang menjadi stadium selanjutnya atau dewasa sehingga akhirnya mati (Campbell et al., 2003). Penelitian yang dilakukan Elimam et al.

(2009) dan Rajkumar et al. (2005) melaporkan bahwa senyawa seperti

phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid memilki aktivitas Juvenile

Hormone sehingga memiliki pengaruh pada perkembangan serangga.

Tanaman tradisional seperti legundi dapat menjadi alternatif insektisida alami. Legundi dipilih oleh karena tanaman ini mudah diperoleh dan banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bagian tanaman yang terpenting adalah daun. Daun legundi mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol, dan terpenoid (Sudarsono et al.,

2002; Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh ekstrak daun legundi terhadap perkembangan larva Aedes aegypti. Penelitian pendahuluan yang dilakukan Anpalakan (2012),

memberikan hasil bahwa konsentrasi 0,1% daun legundi menyebabkan kematian 50% larva nyamuk Aedes aegypti. Mengacu pada penelitian

tersebut maka peneliti menggunakan konsentrasi 0,025%; 0,050%; 0,075%; 0,100%; dan 0,125% dari ekstrak daun legundi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium


(23)

4

B. Rumusan Masalah

Dengue merupakan mosquito-borne disease yang tercepat pertumbuhannya

(WHO, 2010). Pengendalian secara kimiawi masih menjadi metode pengendalian vektor Dengue yang paling populer. Data mengenai resistensi vektor terhadap insektisida telah banyak dilaporkan, resistensi dapat terjadi karena residu insektisida di lingkungan menyebabkan berkurangnya sensitivitas larva terhadap insektisida. Insektisida nabati lebih ramah lingkungan karena biodegradabilitasnya yang baik (Sukowati, 2010; Ghosh et al., 2012). Salah satu daya kerja dari insektisida nabati adalah

mempengaruhi hormon pengatur pertumbuhan serangga (Insect Growth

Regulation). Tanaman legundi dapat menjadi alternatif insektisida.

Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) dan Sudarsono et al. (2002)

menyebutkan bahwa legundi memiliki senyawa bioaktif seperti alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol, dan terpenoid. Hasil penelitian yang dilakukan Elimam et al. (2009) dan Rajkumar et al. (2005) melaporkan

bahwa senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid memilki

aktivitas Juvenile Hormone sehingga memiliki pengaruh pada

perkembangan serangga.

Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu: Bagaimana pengaruh ekstrak daun legundi terhadap perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa?


(24)

5

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh ekstrak daun legundi terhadap perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui konsentrasi ekstrak daun legundi (Vitex trifolia L.) yang

paling efektif dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti

menjadi stadium nyamuk dewasa.

b. Mengetahui 50% dan 90% inhibition of adult emergence (IE50 dan

IE90) dari ekstrak daun legundi (Vitex trifolia L.) dalam menghambat

perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk

dewasa.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi ilmiah mengenai khasiat ekstrak daun legundi terhadap larva nyamuk Aedes

aegypti dan dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu parasitologi

khususnya entomologi dalam lingkup pengendalian vektor penyebab demam berdarah.


(25)

6

2. Bagi Peneliti

Sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.

3. Bagi Masyarakat/Institusi

Dapat memberi informasi kepada masyarakat khususnya pembaca mengenai manfaat dan khasiat daun legundi.

4. Bagi Penelitian Lebih Lanjut

Sebagai referensi atau acuan bagi penelitian serupa.

E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka Teori (Sumber: Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991) Ekstrak Ethanol Daun Legundi

(Vitex trifolia L.)

Terpenoid, Alkaloid, dan Flavonoid

Larva Tidak Berhasil Mencapai Stadium

Nyamuk Dewasa

Aktivitas Juvenile Hormone Mimics

Pengaruh terhadap Perkembangan Serangga


(26)

7

2. Kerangka Konsep

Gambar 2. Hubungan Antar Variabel

F. Hipotesis

Terdapat pengaruh ekstrak daun legundi terhadap perkembangan larva Aedes

aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa. Variabel Independen

Variabel Dependen Ekstrak etanol daun

legundi

Kelompok I (Kontrol negatif)

Persentase larva yang tidak berhasil menjadi stadium nyamuk dewasa Dosis I

Dosis II

Dosis III

Dosis IV

Dosis V

Dosis VI

Kelompok II

Kelompok III

Kelompok IV

Kelompok V


(27)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aedes aegypti

Salah satu spesies nyamuk yang paling sering ditemukan di wilayah tropis dan subtropis di dunia, termasuk Indonesia. Aedes aegypti merupakan vektor

primer penyakit virus, yaitu demam dengue, cikungunya, dan yellow fever

(CDC, 2012).

1. Morfologi Larva, Pupa, dan Dewasa Aedes aegypti

1) Larva Aedes aegypti

Ciri-ciri larva Aedes aegypti yaitu memilki corong udara pada segmen

terakhir, pada segmen-segmen abdomen tidak dijumpai adanya rambut-rambut berbentuk kipas (palmate hairs), pada corong udara

terdapat pekten, adanya sepasang rambut serta jumbai pada corong udara (siphon), pada setiap sisi abdomen segmen kedelapan terdapat

comb scale sebanyak 8 sampai 21 atau berjejer 1 sampai 3, bentuk

individu dari comb scale seperti duri. Larva nyamuk bernafas

terutama pada permukaan air, biasanya melalui satu buluh pernafasan pada ujung posterior tubuh (siphon). Saluran pernafasan pada Aedes


(28)

9

hampir tegak lurus dengan permukaan air. Segmen anal pelana tidak menutupi segmen (Prianto et al., 1994).

Ada 4 tingkatan perkembangan (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva, yaitu (Hoedojo, 1993):

a. Larva instar I; berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm atau satu sampai dua hari setelah telur menetas, duri-duri (spinae) pada dada

belum jelas dan corong pernapasan pada siphon belum menghitam

(Hoedojo, 1993).

Gambar 3. Larva Instar I Aedes aegypti

(Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)

b. Larva instarII; berukuran 2,5-3,5 mm berumur dua sampai tiga hari setelah telur menetas, duri-duri dada belum jelas, corong pernapasan sudah mulai menghitam (Hoedojo, 1993).


(29)

10

Gambar 4. Larva Instar II Aedes aegypti

(Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)

c. Larva instarIII; berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman (Hoedojo, 1993).

Gambar 5. Larva Instar III Aedes aegypti

(Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)

d. Larva instar IV; berukuran paling besar yaitu 5-6 mm berumur empat sampai enam hari setelah telur menetas dengan warna kepala gelap (Hoedojo, 1993).


(30)

11

Gambar 6. Larva Instar IV Aedes aegypti

(Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)

2) Pupa Aedes aegypti

Pupa berbentuk koma, gerakan lambat, sering ada di permukaan air. Pada pupa terdapat kantong udara yang terletak diantara bakal sayap nyamuk dewasa dan terdapat sepasang sayap pengayuh yang saling menutupi sehingga memungkinkan pupa untuk menyelam cepat dan mengadakan serangkaian jungkiran sebagai reaksi terhadap rangsang. Bentuk nyamuk dewasa timbul setelah sobeknya selongsong pupa oleh gelembung udara karena gerakan aktif pupa. Pupa bernafas pada permukaan air melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil pada toraks (Aradilla, 2009).

Gambar 7. Pupa Aedes aegypti


(31)

12

3) Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil daripada ukuran

nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus) (Djakaria, 2006). Nyamuk

Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger

mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas, yaitu dengan

adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis lengkung sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking)

(Soegijanto, 2006).

Gambar 8. Nyamuk Aedes aegypti


(32)

13

2. Siklus Hidup Aedes aegypti

Gambar 9. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

(Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2010)

Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, terdiri atas 4

stadium yaitu diawali dengan stadium telur, larva, pupa, dan akhirnya dewasa. Stadium telur, larva, dan pupa hidup di dalam air, sedangkan stadium dewasa hidup di udara (Ridad, 1999).

Nyamuk betina meletakkan telur-telurnya di batas atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding tempat perindukkannya. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak 100 butir telur setiap kali bertelur. Telur-telur Aedes aegypti diletakkan satu persatu terpisah,

biasanya pada lubang pohon dan benda-benda yang dapat menampung air (Ridad, 1999).

Setelah 2-3 hari telur menetas menjadi larva (jentik) yang selalu hidup di dalam air. Selama proses pertumbuhannya larva nyamuk mengadakan pengelupasan kulit (moulting) sebanyak 4 kali (Ridad, 1999).


(33)

14

berlangsung selama 5-7 hari. Perkembangan dari instar I ke instar II berlangsung dalam 2-3 hari, kemudian dari instar II ke instar III dalam waktu 2 hari, dan perubahan dari instar III ke instar IV dalam waktu 2-3 hari (Aradilla, 2009). Larva mengambil makanan dari tumbuhan atau mikroba di tempat perindukannya (CDC, 2012).

Larva instar IV kemudian tumbuh menjadi pupa kurang lebih selama 3 hari (Aradilla, 2009). Pupa merupakan stadium yang tidak makan tetapi masih memerlukan oksigen yang diambilnya melalui corong pernapasan (breathing trumpet). Diperlukan waktu 1-2 hari agar pupa menjadi

dewasa. Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu sekitar 14 hari (Ridad, 1999).

3. Hormon Pertumbuhan sebagai Pengatur Perkembangan

Semua kelompok artropoda mempunyai sistem endokrin yang ekstensif. Serangga mempunyai eksoskeleton yang tidak bisa meregang. Serangga terlihat tumbuh secara bertahap, dengan melepaskan eksoskeleton lama dan mengekskresikan eksoskeleton baru pada setiap pergantian kulit. Pada serangga pergantian kulit dipicu oleh hormon yang disebut ekdison (ecdysone). Pada serangga ekdison disekresi oleh sepasang kelenjar

endokrin, yang disebut kelenjar protoraks, terletak persis dibelakang kepala. Selain merangsang pergantian kulit, ekdison juga merangsang perkembangan karakteristik dewasa, seperti perubahan larva menjadi nyamuk (Campbell, 2004).


(34)

15

Pada serangga produksi ekdison itu sendiri dikontrol oleh hormon yang disebut sebagai hormon otak (brain hormone, BH). Sel-sel neurosekretori

di otak menghasilkan hormon otak (brain hormone, BH), namun hormon

tersebut disimpan dan dikeluarkan dari organ yang disebut korpus kardiakum. Hormon tersebut mendorong perkembangan dengan cara merangsang kelenjar protoraks untuk mensekresikan ekdison. Sekresi ekdison secara bertahap, dan setiap pembebasan hormon tersebut akan merangsang pergantian kulit (Campbell, 2004).

Hormon otak dan ekdison diseimbangkan oleh hormon juvenil (juvenile

hormone, JH). JH disekresikan oleh sepasang kelenjar kecil persis

dibelakang otak, yaitu korpus allata. Hormon juvenil menyebabkan karakteristik larva tetap dipertahankan. Kadar hormon juvenil dalam tubuh serangga pada stadium larva awal akan cukup tinggi, sedangkan pada stadium larva akhir mulai berkurang. Demikian juga pada stadium pupa, kadar hormon juvenil sedikit. Pada stadium dewasa kadar hormon juvenil meningkat kembali, hal ini berhubungan dengan fungsinya dalam proses reproduksi (Gilbert, 2004).

Pada konsentrasi JH yang relatif tinggi, pergantian kulit yang dirangsang oleh ekdison akan menghasilkan tahapan larva sekali lagi sehingga produknya adalah larva yang lebih besar. Dengan demikian JH menghambat metamorfosis. Ketika kadar hormon juvenil semakin berkurang, maka pergantian kulit yang diinduksi oleh ekdison baru dapat


(35)

16

menghasilkan suatu tahapan perkembangan yang disebut sebagai pupa. Di dalam pupa tersebut, metamorfosis mengubah anatomi larva menjadi bentuk serangga dewasa. Serangga yang sudah dewasa tersebut kemudian keluar dari pupa. Versi sintetik JH sekarang sedang digunakan sebagai insektisida untuk mencegah perkembangan atau pematangan serangga menjadi serangga dewasa yang bereproduksi (Campbell, 2004).

B. Tanaman Legundi (Vitex trifolia L.)

1. Taksonomi Tanaman

Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan, tanaman legundi termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Asteridae

Ordo : Lamiales

Family : Lamiaceae

Genus : Vitex L–Chastetree

Spesies : Vitex trifolia L.–Simpleleaf chastetree (USDA National Plant Database, 2006)


(36)

17

2. Deskripsi Tanaman

Tanaman legundi mempunyai nama yang beragam. Misalnya gendarasi (Palembang), lagondi (Sunda), legundi (Jawa), langghundi (Madura), galumi (Sumbawa), sangari (Bima), dunuko (Sulawesi), lanra (Makasar), lawarani (Bugis), ai tuban (Ambon), lagundi, lilegundi (Melayu). Legundi juga memiliki beberapa nama asing yaitu simpleleaf chastetree dan man

jing (Dalimartha, 2008).

Tanaman legundi tumbuh pada ketinggian 1.100 m di atas permukaan laut, dan umumnya tumbuh liar pada daerah hutan jati, hutan sekunder, tepi jalan dan pematang sawah (Warta, 2010). Tumbuhan ini mudah tumbuh di segala jenis tanah, namun lebih menyukai tempat yang agak kering dan pada daerah yang terbuka. Tumbuh dengan baik pada media tumbuh yang terdiri dari campuran pasir, pupuk kandang dan lempung (Direktorat Jederal Perkebunan, 2006). Penyebaran tanaman legundi di Indonesia terdapat di berbagai daerah diantaranya Minang, Palembang, Lampung, Sunda, Bima, Makasar dan Bugis. Selain di Indonesia, tanaman legundi dapat juga tumbuh pada ketinggian 100-1.700 m dpl yang tersebar di Taiwan, Yunan, Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia dan Kepulauan Pasifik (Warta, 2010).

Habitus : Tanaman legundi merupakan tumbuhan perdu berbatang segi empat, tajuk tidak beraturan, bercabang banyak dan tingginya 1-4 meter (Warta, 2010).


(37)

18

Batang : Batang pokok jelas, kulit batang berwarna cokelat muda atau cokelat tua, batang muda berbentuk segiempat, dan memiliki banyak cabang (Agromedia, 2008).

Daun : Daun majemuk, menjari, letak berhadapan, jumlah anak daun 1-3, anak daun bagian ujung bertangkai dengan panjang kurang dari 0,5 cm. Daun berbentuk bulat telur, oval, bulat memanjang, atau bulat telur terbalik (Agromedia, 2008).

Bunga : Bunga berbentuk malai dengan struktur dasar menggarpu, ukuran malai 3,5-24 cm, ukuran garpu 2-6,5 cm serta terdiri atas 15 bunga yang rapat. Tinggi daun kelopak sekitar 3-4,5 mm. Tabung mahkota berukuran 7-8 mm dengan diameter segmen median dari bibir bawah sekitar 4-6 mm. (Agromedia, 2008). Bunga berwarna ungu kebiruan (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006).

Buah : Buah tipe drupa, duduk, berair atau kering, dindingnya keras (Agromedia, 2008).

Gambar 10. Tanaman Legundi (Vitex trifolia L.) (Sumber: Anonim, 2010)


(38)

19

3. Kegunaan Tanaman Legundi dalam Masyarakat

Daun berbau aromatik khas dan dapat digunakan untuk menghalau serangga atau kutu lemari. Daun digunakan untuk mengatasi influenza, demam, batuk, migren, nyeri kepala, sakit gigi, sakit perut, rematik, diare, mata merah, beri-beri, menormalkan siklus haid, germisida (membunuh kuman), obat luka, prolapsus uteri, menghilangkan nyeri (analgesik), menurunkan panas (antipiretik), meluruhkan kencing (diuretik), pereda kejang dan membunuh serangga. Akar berkhasiat mencegah kehamilan dan perawatan setelah melahirkan. Buah berkhasiat sebagai antipiretik, menghilangkan nyeri (analgesik), menyegarkan badan, merawat rambut, obat cacing, dan melancarkan haid (Dalimartha, 2008; Agromedia, 2008; Hariana, 2008).

4. Kandungan Kimiawi dan Mekanisme Kerja

Tanaman legundi (Vitex trifolia L.) banyak mengandung zat aktif. Zat

tersebut tersebar luas di seluruh bagian tanaman misalnya daun, kulit batang, bunga, buah, biji, dan akar. Menurut Syamsuhidayat Hutapea (1991) daun legundi mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol, terpenoid, dan minyak atsiri. Daun legundi mengandung minyak atsiri yang tersusun dari seskuiterpen, terpenoid, senyawa ester, alkaloid (vitrisin), glikosida flavon (artemetin dan 7-desmetil artemetin) serta komponen nonflavonoid yang terdiri atas friedelin, β-sitosterol, glukosida, dan senyawa hidrokarbon (Agromedia, 2008; Sudarsono et al., 2002).


(39)

20

(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Biji legundi mengandung senyawa-senyawa hidrokarbon dan asam lemak (Sudarsono et al., 2002).

Sejak lama tanaman ini sudah dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan tanaman ini juga digunakan untuk membunuh serangga (Sudarsono et al., 2002). Aminah (1995)

mengemukakan bahwa senyawa bioaktif, seperti alkaloid, fenilpropan, terpenoid, steroid dan tanin merupakan senyawa biologi terpenting pada berbagai jenis racun dan pada konsentrasi tinggi bersifat depresan, serta mengakibatkan eksitasi, sehingga menyebabkan gangguan pada tubuh serangga (Darmansjah dan Gan, 1995).

Tanaman yang mempunyai kandungan bahan aktif flavonoid, phenylpropane derivates, nonsteroidal terpenoid, steroidal terpenoid,

gossypol, dan alkaloid mempunyai aktivitas Juvenile hormone (JH).

Perkembangan kematangan insekta tergantung pada JH yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertambahan ukuran tanpa perubahan bentuk yang radikal (Wigglesworth, 1974). Serangga akan terganggu pada proses pergantian kulit, ataupun proses perubahan dari telur menjadi larva, atau dari larva menjadi pupa, atau dari pupa menjadi dewasa. Biasanya kegagalan dalam proses ini seringkali mengakibatkan kematian pada serangga (Aradilla, 2009).


(40)

21

Saponin akan menghasilkan gula dan sapogenin yang berfungsi menghemolisis sel darah merah, sebagai antifungi dan antimikroba, mengikat kolesterol (Robinson, 1991) dan menghambat pertumbuhan sel kanker (Davidson, 2004). Menurut Davidson (2004) pada konsentrasi tinggi saponin bersifat toksin.

Polifenol menurut Arif dan Sjamsudin (1995) bersifat korosif dan kaustik pada saluran pencernaan dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada serangga. Senyawa polifenol bersifat racun bagi serangga (insektisida) (Robinson, 1991).

C. Pengendalian Vektor secara Kimiawi

1. Insektisida

Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida yang baik mempunyai sifat yaitu, mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak berbahaya bagi binatang vertebra termasuk manusia dan ternak, murah harganya dan mudah di dapat dalam jumlah besar, mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar, mudah dipergunakan dan dapat dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut, dan tidak berwarna dan tidak berbau yang tidak menyenangkan (Hoedojo, 2006).


(41)

22

Beberapa istilah yang berhubungan dengan insektisida adalah (Ridad, 1999):

1) Ovisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium telur

2) Larvasida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium larva/nimfa 3) Adultisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium dewasa 4) Akarisida, yaitu insektisida untuk membunuh tungau

5) Pedikulisida, yaitu insektisida untuk membunuh tuma

Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada bentuk, cara masuk ke dalam badan serangga, macam bahan kimia, konsentrasi dan jumlah (dosis) insektisida. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam upaya membunuh serangga dengan insektisida ialah mengetahui spesies serangga yang akan dikendalikan, ukurannya, susunan badannya, dan stadiumnya (Hoedojo, 2006).

Klasifikasi insektsida dibagi dalam (Hoedojo, 2006; Ridad, 1999): 1) Berdasarkan cara masuknya ke dalam badan serangga, yaitu:

a. Racun kontak, yaitu insektisida yang masuk ke dalam badan serangga dengan perantaraan tarsus (jari-jari kaki) pada waktu istirahat di permukaan yang mengandung residu insektisida.

b. Racun perut, yaitu insektisida yang masuk ke dalam badan serangga melalui mulut, jadi insektisida ini harus dimakan.

c. Racun pernapasan, yaitu insektisida yang masuk melalui sistem pernapasan.


(42)

23

2) Berdasarkan macam bahan kimia, yaitu:

a. Insektisida anorganik, terdiri dari golongan sulfur dan merkuri, golongan arsenikum, dan golongan flour.

b. Insektisida organik berasal dari alam, terdiri dari golongan insektsida berasal dari tumbuh-tumbuhan dan golongan insektisida berasal dari bumi (minyak tanah dan minyak).

c. Insektisida organik sintetik, terdiri dari golongan organik klorin (DDT, dieldrin, klorden, BHC, linden), golongan organik fosfor (malation, paration, diazinon, fenitrotion, temefos, DDVP, ditereks), golongan organik nitrogen (dinitrofenol), golongan sulfur (karbamat) dan golongan tiosinat (letena, tanit).

2. Insect Growth Regulator

Insect Growth Regulator (IGR) merupakan salah satu bahan yang

digunakan dalam kegiatan larvaciding. IGR adalah sejenis bahan kimia

yang dapat menghambat pertumbuhan larva sejak dari instar I sampai IV dan dapat menggangu hormon pertumbuhan larva agar tidak berhasil menjadi pupa atau nyamuk dewasa. Kematian nyamuk disebabkan karena ketidakmampuan nyamuk untuk melakukan metamorfosis. Telur gagal menetas, larva gagal menjadi pupa, pupa gagal menjadi nyamuk dewasa (Fitriani, 2004).


(43)

24

Insektisida ini dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi sistem endokrin dan yang menghambat sintesis kitin. Juvenile Hormone Mimics

merupakan tiruan hormon juvenil endogen, mencegah metamorfosis menjadi stadium dewasa yang viabel ketika diberikan pada stadium larva. Sampai sekarang, terdapat dua target primer juvenoid yang telah diketahui, yaitu menghambat juvenile hormone esterase sehingga tidak terjadi

degradasi hormon juvenil endogen dan dengan cara efek agonis pada reseptor hormon juvenil. Pada stadium dewasa serangga, hormon juvenil terlibat dalam regulasi vitelogenesis telur. Perubahan pada homeostasis pada tahap perkembangan ini dapat menyebabkan telur yang steril (Mehlhorn, 2008).

Hormon juvenil dan juvenile hormon mimics bertindak sebagai suppressor

atau stimulator terhadap ekspresi gen yang tergantung pada tahap

perkembangan dan tipe protein pengatur. Hal ini menjelaskan variasi efek yang terjadi pada serangga yang diberikan juvenoid. Fenoxycarb adalah

insect growth regulator dengan aksi sebagai racun kontak dan pencernaan.

Kandungannya memperlihatkan aktivitas hormon juvenil yang kuat, menghambat metamorfosis menjadi stadium dewasa dan menghambat proses moulting. Methoprene merupakan insect growth regulator yang

mencegah metamorfosis menjadi stadium dewasa yang viable ketika


(44)

25

Insektisida yang menghambat pembentukan kitin adalah dari golongan benzoylurea seperti lufenuron, diflubenzuron (Dimilin), teflubenzuron (Nomolt) dan hexaflumuron (Sentricon). Kitin adalah komponen utama eksoskeleton serangga. Terganggunya proses pembentukan kitin larva tidak dapat melanjutkan pertumbuhannya secara normal dan akhirnya mati (Sudarmo, 1991).

3. Efek Juvenile Hormone Mimics Daun Legundi

Daun legundi mengandung terpenoid, flavonoid, dan alkaloid (Sudarsono dkk, 2002). Elimam et al. (2009) dan Rajkumar et al. (2005) melaporkan

bahwa senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid

memilki aktivitas Juvenile Hormone sehingga memiliki pengaruh pada

perkembangan serangga.

Tanaman yang mempunyai kandungan bahan aktif phenylpropane

derivates, nonsteroidal terpenoid, steroidal terpenoid, gossypol dan

alkaloid mempunyai aktivitas Juvenile hormone (JH). Perkembangan

kematangan insekta tergantung pada JH yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertambahan ukuran tanpa perubahan bentuk yang radikal (Wigglesworth, 1974).

Penelitian oleh Tandon et al. (2008) mengenai aktivitas insect growth

regulator daun Vitex trifolia L. pada larva instar V Spilosoma obliqua


(45)

26

memperpanjang periode larva dan periode pupa, meningkatkan mortalitas larva dan deformitas pada stadium dewasa, dan menurunkan kemampuan menjadi stadium dewasa (adult emergence), daya fekunditas, dan fertilitas

telur pada serangga percobaan (Tandon et al., 2008).

Penelitian yang dilakukan Fitriani (2004) melaporkan bahwa ekstrak daun legundi yang diujikan pada larva Culex quinquefasciatus menyebabkan

terjadinya perpanjangan waktu yang diperlukan dalam perkembangan larva menjadi pupa. Pada penelitian tersebut juga dilaporkan pemberian ekstrak daun legundi meningkatkan mortalitas pada stadium larva dan pupa (Fitriani, 2004).

D. Ekstraksi

Ekstraksi adalah metode umum yang digunakan untuk mengambil produk dari bahan alami, seperti jaringan tumbuhan, hewan, mikroorganisme, dan sebagainya. Ekstraksi dapat dianggap sebagai langkah awal dalam rangkaian kegiatan pengujian aktivitas biologi tumbuhan yang dianggap atau diduga mempunyai pengaruh biologi pada suatu organisme. Untuk menarik komponen nonpolar dari suatu jaringan tumbuhan tertentu dibutuhkan pelarut nonpolar, seperti petroleum eter atau heksana, sedangkan untuk komponen yang lebih polar dibutuhkan pelarut yang lebih polar juga, seperti etanol atau metanol (Dadang dan Prijono, 2008).


(46)

27

Terdapat beberapa metode ekstraksi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan yang akan diekstrak, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain adalah maserasi, perkolasi, soxhletasi, partisi, dan ekstraksi ultrasonik. Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara dingin dan panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas antara lain yaitu metode refluk, soxhlet, digesti, destilasi uap, dan infus (Kurnia, 2010).

Maserasi merupakan proses pengambilan komponen target yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam pelarut yang sesuai dalam jangka waktu tertentu. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel. Larutan dengan konsentrasi tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi sesekali dilakukan pengadukan dan juga pergantian pelarut (Harborne, 1998).

Residu yang diperoleh dipisahkan kemudian filtratnya diuapkan. Filtrat yang diperoleh dari proses tersebut diuapkan untuk menguapkan pelarut dengan alat penguap (rotary evaporator) hingga menghasilkan ekstrak pekat (Dadang


(47)

28

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium, dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Syaratnya adalah hanya ada satu peubah bebas (variabel independen) yang disebut perlakuan, jadi tidak ada peubah lain selain perlakuan yang mempengaruhi respon hasil penelitian (variabel dependen).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Lampung pada bulan Nopember sampai Desember 2012.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar III Aedes

aegypti. Telur nyamuk ini diperoleh dari Loka Litbang P2B2 (Penelitian

dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang) Ciamis dalam bentuk kering dengan media kertas saring.


(48)

29

2. Sampel Penelitian a. Kriteria Inklusi

1) Larva Aedes aegypti yang telah mencapai instar III, dan

2) Larva bergerak aktif b. Kriteria Eksklusi

1) Larva mati sebelum perlakuan 2) Larva berasal dari alam bebas

3. Besar Sampel

Berdasarkan pedoman WHO (2005), penelitian mengenai uji larvasida menggunakan 20 larva sampai 30 larva pada setiap kelompok uji. Peneliti menggunakan 25 larva pada setiap kelompok uji. Pada penelitian ini terdapat 6 kelompok uji dengan 4 kali pengulangan pada setiap kelompok uji, maka pada penelitian ini dibutuhkan total larva sebanyak 600 larva. Rincian jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian

Perlakuan

Jumlah Larva X Jumlah

Pengulangan Total

Kontrol (-): 0% 25 larva x 4 100 larva

Perlakuan I: 0,025% 25 larva x 4 100 larva

Perlakuan II: 0,050% 25 larva x 4 100 larva

Perlakuan III: 0,075% 25 larva x 4 100 larva

Perlakuan IV: 0,1% 25 larva x 4 100 larva

Perlakuan V: 0,125% 25 larva x 4 100 larva

Jumlah total larva yang dipakai dalam penelitian


(49)

30

D. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun legundi (Vitex

trifolia L.) yang telah dihancurkan sebanyak 3 g, ethanol 96% sebanyak 3

ml sebagai pelarut dan aquades untuk tempat berkembang larva serta untuk melakukan pengenceran ekstrak. Waktu penelitian yang cukup panjang sehingga penelitian ini juga memerlukan pelet kelinci dalam bentuk padat sebagai makanan larva. Pakan berupa pelet kelinci digunakan untuk menghindari terjadinya kekeruhan pada tempat pertumbuhan larva. Pelet diberikan sebanyak 10 mg/l (WHO, 2005).

2. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Alat untuk preparasi bahan uji, yaitu:

1) Nampan plastik ukuran 30 x 15 cm untuk tempat memelihara larva. 2) Kain kasa untuk memisahkan larva dengan air.

3) Gelas plastik ukuran ±400 ml untuk tempat meletakkan larva uji. 4) Sangkar nyamuk untuk meletakkan gelas tersebut pada waktu

dilakukan uji.

b. Alat untuk pembuatan ekstrak daun legundi, yaitu:

1) Timbangan untuk menimbang daun legundi yang diperlukan. 2) Blender untuk menghaluskan daun legundi.


(50)

31

4) Gelas plastik untuk merendam daun legundi yang telah dihaluskan dengan ethanol 96%.

5) Alumunium foil untuk menutup gelas saat melakukan ekstraksi. 6) Saringan untuk memisahkan ekstrak etanol daun legundi dengan

ampasnya.

7) Pipet ukuran 1 ml untuk mengambil ekstrak daun legundi. c. Alat untuk Uji Efektivitas

1) Gelas ukur untuk mengukur jumlah air yang diperlukan. 2) Kasa nilon untuk menutup gelas tempat pertumbuhan larva. 3) Pipet larva untuk mengambil larva.

4) Lidi untuk mengetahui larva yang mati.

5) Termometer untuk mengukur suhu lingkungan.

E. Prosedur Penelitian

Penelitian dibagi dalam 2 tahap, yaitu: 1. Tahap Persiapan

a. Preparasi Bahan Uji

Telur nyamuk Aedes aegypti yang dipakai pada penelitian ini

diperoleh dari Ruang Insektarium Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Ciamis, Pangandaran, Jawa Barat. Daun legundi diperoleh dari kota Solo.

b. Rearing Larva

Telur nyamuk dipindahkan ke dalam sebuah nampan yang berisi media air selama 1-2 hari sampai telur menetas dan menjadi larva.


(51)

32

Larva akan berkembang dari stadium I sampai III yang berlangsung selama 4-5 hari. Selama masa perkembangannya larva tersebut diberi pakan berupa pelet.

c. Pembuatan Ekstrak Daun Legundi

Disiapkan ekstrak daun legundi yang diperoleh dari kota Solo. Pembuatan ekstrak daun legundi ini menggunakan pelarut berupa ethanol 96%. Daun legundi sebanyak 3 g yang telah didapat kemudian dibersihkan dengan menggunakan air kemudian dicacah halus atau diblender (tanpa air). Setelah diblender potongan daun legundi ditimbang terlebih dahulu baru kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Setelah kering, potongan daun legundi direndam selama 24 jam di dalam ethanol 96% sebanyak 3 ml. Setelah direndam selanjutnya bahan tersebut disaring sehingga diperoleh hasil akhirnya berupa ekstrak daun legundi dengan konsentrasi 100%. Untuk membuat berbagai konsentrasi yang diperlukan dapat digunakan rumus:

Keterangan:

V1 = volume larutan mula-mula M1 = konsentrasi mula-mula

V2 = volume larutan sesudah diencerkan M2 = konsentrasi sesudah diencerkan


(52)

33

Tabel 2. Jumlah Ekstrak Daun Legundi yang Dibutuhkan pada Penelitian

X1 V2 X2

Pengulangan

(V1 x 4)

100% 200 ml 0,025% 0,05 ml 0,2 ml

100% 200 ml 0,050% 0,10 ml 0,4 ml

100% 200 ml 0,075% 0,15 ml 0,6 ml

100% 200 ml 0,1% 0,20 ml 0,8 ml

100% 200 ml 0,125% 0,25 ml 1 ml

Total 3 ml

d. Disiapkan aquades ±4800 ml sebagai media dalam penelitian ini. e. Disiapkan 24 buah gelas plastik ukuran ±400 ml sebagai wadah media

dalam penelitian ini.

f. Disiapkan gelas ukur dengan ukuran 100 ml untuk mengukur media. g. Disiapkan pipet ukur dengan ukuran 1 ml untuk mengukur ekstrak

daun legundi

h. Disiapkan 6 buah lidi yang digunakan untuk menyentuh larva agar diketahui ada respon gerakan atau tidak.

2. Tahap Penelitian

Larutan uji merupakan ekstrak ethanol daun legundi (Vitex trifolia L.)

dengan konsentrasi 0% sebagai kontrol negatif dan konsentrasi 0,025%; 0,050%; 0,075%; 0,1%; 0,125% sebagai perlakuan yang ditambahkan pada masing-masing gelas uji. Kontrol negatif hanya menggunakan aquades sebanyak 200 ml dengan kedalaman 5-10 cm. Efek daun legundi dalam menghambat perkembangan larva menjadi stadium dewasa dievaluasi


(53)

34

dengan mengikuti pedoman standar pengujian Insect Growth Regulators

(WHO, 2005).

Menurut pedoman WHO (2005) larva instar III Aedes egypti yang

digunakan dalam pengujian ini. Durasi pengujian yang panjang maka larva harus diberi makan (pelet kelinci) 10 mg/l dengan cara yang sama pada masing-masing perlakuan dengan interval pemberian selama 2 hari. Larva kontrol juga diberi makan dengan cara yang sama denga larva perlakuan. Gelas-gelas uji dan kontrol ditutup dengan menggunakan kasa nilon agar terhindar dari kotoran dan serangga yang masuk kemudian disimpan di dalam sangkar nyamuk selama waktu uji untuk mencegah stadium dewasa terbang ke lingkungan luar. Mortalitas larva dan pupa dicatat setiap 24 jam (WHO, 2005).

Pada akhir pengamatan pengaruh daun legundi terhadap perkembangan larva Aedes aegypti dinilai sebagai persentase jumlah larva yang tidak

berhasil berkembang menjadi nyamuk dewasa yang viabel (Adult

Emergence Inhibition, IE%). Eksperimen selesai ketika semua larva atau

pupa pada kontrol mati atau berubah menjadi stadium dewasa. Kemudian dilakukan analisis untuk mendapatkan nilai IE50 dan IE90.


(54)

35

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel a. Variabel Independen

Variabel independen adalah konsentrasi ekstrak daun legundi (Vitex

trifolia L.).

b. Variabel Dependen

Variabel dependen adalah persentase jumlah larva yang tidak berhasil menjadi stadium nyamuk dewasa (Adult Emergence Inhibiton, IE%).

2. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3. Definisi Operasional

No Variabel Definisi

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil

Ukur Skala

1 Ekstrak

daun legundi (Vitex trifolia L.)

Daun legundi (Vitex trifolia L.) yang telah dicuci dan dipotong-potong, diangin-anginkan, diblender dan direndam selama 24 jam dengan etanol 96% kemudian disaring dan diperoleh konsentrasi sebesar 100%. Gelas ukur 100 ml dan timbang-an. Ditim-bang gram daun legundi /ml pelarut. Kadar (%) Numerik

2 Berbagai

konsentrasi ekstrak daun legundi (Vitex trifolia L.)

Ekstrak daun legundi dinyatakan dalam persen (%). Masing-masing konsentrasi dibuat dengan cara pengenceran. Pada penelitian ini dipakai konsentrasi 0,025%; Gelas ukur 100 ml dan pipet ukur 1 ml Dengan meng- guna-kan pipet ukur ambil konsen-Cairan dalam mili-liter Numerik


(55)

36

0,050%; 0,075%; 0,1%; 0,125% dan kontrol 0% yang kemudian dicari dosis untuk menghambat 50% and 90% perkembangan larva menjadi stadium dewasa atau inhibition of adult emergence

(IE50 and IE90).

trasi larutan yang diuji-kan

3 Larva

Aedes aegypti

Pada penelitian ini digunakan larva Aedes aegypti yang telah mencapai instar III (WHO, 2005), dengan ciri larva Aedes aegypti

berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman.

Kaca pembesar

- - -

4 Persentase

jumlah larva Aedes aegyti yang tidak berhasil menjadi stadium nyamuk dewasa (Adult Adult Emergence Inhibition dihitung berdasarkan rumus pada pedoman WHO (2005), yaitu:

Keterangan:

T : persentase jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada kelompok perlakuan Kaca pembesar Dihi-tung secara manual kemu-dian dihi-tung dengan rumus IE% WHO Adult Emer-gence Inhibi-tion, IE% Numerik


(56)

37

Emergence Inhibiton, IE%)

C: persentase jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada kelompok kontrol

5 Jumlah

larva Aedes aegyti yang tidak berhasil menjadi nyamuk stadium dewasa

Jumlah larva dan pupa yang mati dan hampir mati, serta jumlah nyamuk dewasa yang tidak sempurna

terpisah dari pupal case

(WHO, 2005).

Keterangan:

Larva atau pupa yang mati dan hampir mati yaitu larva atau pupa yang tidak bergerak saat disentuh dengan jarum atau larva atau pupa tidak dapat meraih permukaan air dan tidak bergerak ketika air digerakkan (WHO, 2005).

Kaca pembesar Dihi-tung secara manual Jumlah larva yang tidak berhasil menca-pai stadium dewasa Numerik

6 Jumlah

larva Aedes aegyti yang berhasil menjadi stadium nyamuk dewasa

Jumlah larva yang berhasil menjadi stadium dewasa dihitung dari jumlah

pupal case yang kosong (WHO, 2005).

Kaca pembesar Dihi-tung secara manual Jumlah pupal case yang kosong Numerik


(57)

38

G. Analisis Data

Data yang diperoleh di uji analisis statistik menggunakan program SPSS versi 17.0. Data hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan:

1. Uji normalitas data yaitu uji Saphiro-Wilk, jika hasilnya > 0,05 maka distribusi data normal maka dapat menggunakan uji parametrik ANOVA, tapi jika distribusi data tidak normal (hasilnya < 0,05) menggunakan uji alternatif yaitu uji Kruskal Wallis.

2. Analisis varians (Analysis of Variance / ANOVA)

Dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai IE% Aedes aegypti antar kelompok uji. Uji ini di pilih untuk melihat perbedaan pada data variabel numerik lebih dari 2 kelompok (Dahlan, 2008).

3. Least Significance Difference (LSD)

Dilanjutkan dengan pengujian LSD untuk mengetahui pasangan nilai mean yang perbedaannya signifikan. Uji ini dilakukan setelah uji ANOVA, uji ini di maksudkan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna pada kelompok variabel (Dahlan, 2008).

4. Analisis Probit

Dianalisis seberapa besar daya hambat ekstrak daun legundi terhadap perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium dewasa yang dinyatakan dengan IE50 dan IE90.


(58)

39

H. Diagram Alir

Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan proses penelitian dibuat diagram alir seperti dibawah ini:

Ekstrak daun legundi

Analisis Konsentrasi

0%

Konsentrasi 0,025%

Konsentrasi 0,050%

Konsentrasi 0,075%

Konsentrasi 0,1%

Konsentrasi 0,125%

Kelompok I Kelompok II Kelompok

III

Kelompok IV

Kelompok V Kelompok

IV

Setiap kelompok perlakuan dilakukan dengan empat kali pengulangan

Diamati setiap 24 jam

Hitung jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada setiap kelompok perlakuan dan jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada kelompok kontrol

Hitung IE% pada setiap kelompok perlakuan


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Agromedia. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Aminah, N.S. 1995. Evaluasi Tiga Jenis Tumbuhan Sebagai Insektisida dan Repelan terhadap Nyamuk di Laboratorium. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anpalakan, T. 2012. Uji Pengaruh Ekstrak Vitex Trifolia L. Sebagai Larvasida pada Larva Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.

Aradilla, A.S. 2009. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba (Azadirachta indica) tehadap Larva Aedes Aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Arif, A., Syamsudin, U. 1995. Obat Lokal. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara S.G., Setiabudy R., Suyatna F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Arivoli, S. dan Tennyson, S. 2011. Larvicidal and Adult Emergence Inhibition

Activity of Abutilon indicum (Linn.) (Malvaceae) Leaf Extracts Against Vector Mosquitoes (Diptera: Culicidae). Journal Of Biopesticides. 4 (1): 27 - 35 (2011).

Arnason, J.T. dan Bernards, M.A. 2010. Impact of Constituent Plant Natural Products on Herbivores and Pathogens. Can J. Zool. 88(615-627).

Becker, N., Petric, D., Zgomba, M., Boase, C., Dahl, C., Lane, J., dan Kaiser, A. 2003. Mosquitos and Their Control. Kluwer Academic/Plenum Publisher. New York.

Campbell, J.R., Kenealy, M.D., dan Campbell, K.L. 2003. Animal Sciences The Biology, Care and Production of Domestic Animals4th Edition. Mc Graw-Hill Higher Education. Singapore.

Campbell, N.A., Jane, B.R., Lawrence, G.M. 2004. Biology Fifth Edition. Diterjemahkan oleh: Manalu, W. Erlangga. Jakarta.


(60)

60

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2012. Dengue and the Aedes aegypti Mosquito. San Juan.

Dadang dan Prijono, D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dahlan, M.S. 2008. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Pustaka Bunda. Jakarta

Darmansjah, I., Gan, S. 1995. Kolinergik. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi, editor. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Davidson, M.V. 2004. Phytochemical. Http://micro.Magnet.fsu.edu? phytochemicals/pages/saponin.html (16 Agustus 2004)

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Daftar Komoditi Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/Pd.310/9/2006. Jakarta

Elimam, A.M., Elmalik, K. H., dan Ali, F.S. 2009. Larvicidal, Adult Emergence Inhibition and Oviposition Deterrent Effects of Foliage Extract from Ricinus communis L. against Anopheles arabiensis and Culex quinquefasciatus in Sudan. Tropical Biomedicine. 26(2): 130–139.

Farnesi, L.C., Brito, J.M., Linss, J.T., Marcelo, P.M., Valle, D., Rezende, G.L. 2012. Physiological and Morphological Aspects of Aedes aegypti Developing Larvae: Effects of the Chitin Synthesis Inhibitor Novaluron. PLoS One. 7(1): e30363.

Fitriani, F. 2004. Pengaruh Ekstrak Daun Legundi (Vitex trifolia L.) dalam Konsentrasi yang Sangat Rendah terhadap Perkembangan Stadium Pradewasa Nyamuk Culex quinquefasciatus. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gama, Z. P., Yanuwiadi, B., Kurniati T.H. 2010. Strategi Pemberantasan Nyamuk Aman Lingkungan: Potensi Bacillus thuringiensis Isolat Madura Sebagai Musuh Alami Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. 1: 2087-3522.

Ghosh A., Chowdhury N., dan Chandra G. 2012. Plant Extracts as Potential Mosquito Larvicides. Indian J Med Res. 135(5):581-98.


(61)

61

Gionar, Y.R., Zubaidah, S., Stoops, C.A., and Bangs, M.J. 2005. Penggunaan Metode Microtitre Plate Assay untuk Deteksi Gejala Kekebalan terhadap Insektisida OP pada Tiga Spesies Nyamuk di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Entomologi dalam Peringatan Hari Nyamuk V, Bandung, 19 Agustus 2005.

Gunasekaran, K., Vijayakumar, T., Kalyanasundaram, M. 2009. Larvicidal & Emergence Inhibitory Activities of Neemazal T/S 1.2 PerCent Ec Against Vectors of Malaria, Filariasis & Dengue. Indian J Med Res. 130(2):138-45.

Harborne, J.B. 1998. Phytochemical Methods a Guide to Modern Techniques of Plant Analysis. Chapman and Hall. London.

Hariana, A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hernández, M.M., Heraso, C., Villarreal, M.L., Vargas-Arispuro, I., Aranda, E. 1999. Biological Activities of Crude Plant Extracts from Vitex trifolia L. (Verbenaceae). J Ethnopharmacol. 67(1):37-44.

Hoedojo. 1993. DBD dan Penanggulangannya. Majalah Parasitologi Indonesia. 6:31-45.

Kabir, K.E., Tariq, M.R., Ahmed, S., Choudhary, M.I. 2011. A Potent Larvicidal and Growth Disruption Activities of Apium graveolans (Apiaveae) Seed Extract on The Dengue Fever Moquito, Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Higher Education Commission. 20(20): 1-18.

Kannathasan, K., Venkatesalu, V., Senthilkumar. 2011. Mosquito Larvicidal Activity of Methyl-P-Hydroxybenzoate Isolated from The Leaves of Vitex trifolia Linn. Acta Tropica. 120(1–2);115–118.

Kemenkes RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Pusat Data dan Surveilan Epidemiologi. Jakarta.

Krishnan, K., Senthilkumar, A., Chandrasekaran, M., Venkatesalu, V. 2007. Differential Larvicidal Efficacy of Four Species of Vitex Against Culex quinquefasciatus Larvae. Parasitology Research. 101(6);1721-1723.

Kurnia, R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Meena, A.K., Singh, U., Yadav, A.K., Singh, B., dan Rao, M.M. Pharmacological and Phytochemical Evidences for The Extracts From Plants of The Genus Vitex – A Review. International Journal Of Pharmaceutical And Clinical Research. 2(1): 01-09


(62)

62

Mehlron, H. 2008. Encyclopedia of Parasitology the 3th Edition. Springer-Verlag berlin Heidelberg. New York.

Natadisastra, D dan Ridad, A. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. EGC. Jakarta.

Pidiyar, V.J., Jangid, K., Patole, M.S., and Shouche, Y.S. 2004. Studies on Cultured and Uncultured Microbiota of Wild Culex Quinquefasciatus Mosquito Midgut Based on 16S Ribosomal RNA Gene Analysis. Am. J. Trop. Med. Hyg., 70(6): 597-603.

Prianto, Juni L.A., Tjahaya, P.U. dan Darwanto. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rajkumar, S., dan Jebanesan, A. 2005. Larvicidal and Adult Emergence Inhibition Effect of Centella asiatica Brahmi (Umbelliferae) against Mosquito Culex quinquefasciatus Say (Diptera : Culicidae). African Journal of Biomedical Research. Vol. 8 (2005); 31 – 33.

Resh, V.H., dan Carde, R.T. 2009. Encyclopedia Of Insects. Elsevier. New York.

Ridad A., Ochadian H., Natadisastra D. 1999. Bunga Rampai Entomologi Medik. Edisi ke-2. Bagian Parasitologi FK Unpad.

Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi 6. Padmawinata K. Terjemahan dari: The Organic Constituens of Higher Plants. ITB. Bandung.

Shaalan, E.A.S., Canyonb, D., Younesc, M.W.F., Wahaba, H.A. and Mansoura, A.H. 2005. A Review of Botanical Phytochemicals with Mosquitocidal Potential. Environment International.31: 1149-1166.

Soegijanto, S. 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi kedua. Airlangga University Press. Surabaya

Sudarmo, S. 1991. Pengendalian Serangga Hama Sayuran dan Palawija. Kanisius. Yogyakarta.

Sudarsono, P.N., D. Gunawan, S. Wahyuono, I.A. Donatus, dan Purnomo. 2002. Tumbuhan Obat II. Pusat Studi Obat Tradisional, 159, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sukowati, S. 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan Pengendaliannya di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah. Jakarta.


(63)

63

Syamsuhidayat, S.S., dan Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Tandon, S., Mittal, A.K., Pant, A.K. 2008. Insect Growth Regulatory Activity of Vitex trifolia and Vitex agnus-castus Essential Oils against Spilosoma obliqua. Fitoterapia. 79(4):283–286.

Tunaz, H., dan Uygun, N. 2004. Insect Growth Regulators For Insect Pest Control. Turk J Agric For. 28: 377-387.

USDA. 2006. National Plant Database, Simpleleaf Chastetree. http://plants.usda.gov/about_plants.html

Warta. 2010. Pemanfaatan Legundi sebagai Tanaman Obat. Bogor.

WHO. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. Geneva.

WHO. 2010. Dengue: The Fastest Growing Mosquito-Borne Disease in The World. Geneva.

Wigglesworth V.B. 1974. The Principles of Insect Physiology. The 7th Edition. London Chapman and Hall. Britain.

Zettel, C.M. 2010. Pupa of the Yellow Fever Mosquito, Aedes aegypti (Linnaeus). http://entnemdept.ufl.edu/creatures/aquatic/aedes_aegypti07.htm


(1)

39

H. Diagram Alir

Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan proses penelitian dibuat diagram alir seperti dibawah ini:

Ekstrak daun legundi

Analisis Konsentrasi

0%

Konsentrasi 0,025%

Konsentrasi 0,050%

Konsentrasi 0,075%

Konsentrasi 0,1%

Konsentrasi 0,125%

Kelompok I Kelompok II Kelompok

III

Kelompok IV

Kelompok V Kelompok

IV

Setiap kelompok perlakuan dilakukan dengan empat kali pengulangan

Diamati setiap 24 jam

Hitung jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada setiap kelompok perlakuan dan jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada kelompok kontrol

Hitung IE% pada setiap kelompok perlakuan


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Agromedia. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Agromedia Pustaka. Jakarta. Aminah, N.S. 1995. Evaluasi Tiga Jenis Tumbuhan Sebagai Insektisida dan

Repelan terhadap Nyamuk di Laboratorium. Tesis. Program Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anpalakan, T. 2012. Uji Pengaruh Ekstrak Vitex Trifolia L. Sebagai Larvasida pada Larva Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga. Surabaya.

Aradilla, A.S. 2009. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba

(Azadirachta indica) tehadap Larva Aedes Aegypti. Skripsi. Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Arif, A., Syamsudin, U. 1995. Obat Lokal. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara S.G., Setiabudy R., Suyatna F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Arivoli, S. dan Tennyson, S. 2011. Larvicidal and Adult Emergence Inhibition

Activity of Abutilon indicum (Linn.) (Malvaceae) Leaf Extracts Against Vector Mosquitoes (Diptera: Culicidae). Journal Of Biopesticides. 4 (1): 27 - 35 (2011).

Arnason, J.T. dan Bernards, M.A. 2010. Impact of Constituent Plant Natural Products on Herbivores and Pathogens. Can J. Zool. 88(615-627).

Becker, N., Petric, D., Zgomba, M., Boase, C., Dahl, C., Lane, J., dan Kaiser, A.

2003. Mosquitos and Their Control. Kluwer Academic/Plenum Publisher.

New York.

Campbell, J.R., Kenealy, M.D., dan Campbell, K.L. 2003. Animal Sciences The

Biology, Care and Production of Domestic Animals4th Edition. Mc Graw-Hill

Higher Education. Singapore.

Campbell, N.A., Jane, B.R., Lawrence, G.M. 2004. Biology Fifth Edition. Diterjemahkan oleh: Manalu, W. Erlangga. Jakarta.


(3)

60

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2012. Dengue and the Aedes

aegypti Mosquito. San Juan.

Dadang dan Prijono, D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan

Pengembangan. Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Dahlan, M.S. 2008. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Pustaka Bunda. Jakarta

Darmansjah, I., Gan, S. 1995. Kolinergik. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi, editor. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Davidson, M.V. 2004. Phytochemical. Http://micro.Magnet.fsu.edu? phytochemicals/pages/saponin.html (16 Agustus 2004)

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Daftar Komoditi Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor

511/Kpts/Pd.310/9/2006. Jakarta

Elimam, A.M., Elmalik, K. H., dan Ali, F.S. 2009. Larvicidal, Adult Emergence Inhibition and Oviposition Deterrent Effects of Foliage Extract from Ricinus

communis L. against Anopheles arabiensis and Culex quinquefasciatus in

Sudan. Tropical Biomedicine. 26(2): 130–139.

Farnesi, L.C., Brito, J.M., Linss, J.T., Marcelo, P.M., Valle, D., Rezende, G.L. 2012. Physiological and Morphological Aspects of Aedes aegypti Developing Larvae: Effects of the Chitin Synthesis Inhibitor Novaluron.

PLoS One. 7(1): e30363.

Fitriani, F. 2004. Pengaruh Ekstrak Daun Legundi (Vitex trifolia L.) dalam Konsentrasi yang Sangat Rendah terhadap Perkembangan Stadium Pradewasa Nyamuk Culex quinquefasciatus. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gama, Z. P., Yanuwiadi, B., Kurniati T.H. 2010. Strategi Pemberantasan Nyamuk Aman Lingkungan: Potensi Bacillus thuringiensis Isolat Madura Sebagai Musuh Alami Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Pembangunan dan

Alam Lestari. 1: 2087-3522.

Ghosh A., Chowdhury N., dan Chandra G. 2012. Plant Extracts as Potential Mosquito Larvicides. Indian J Med Res. 135(5):581-98.


(4)

Gionar, Y.R., Zubaidah, S., Stoops, C.A., and Bangs, M.J. 2005. Penggunaan Metode Microtitre Plate Assay untuk Deteksi Gejala Kekebalan terhadap Insektisida OP pada Tiga Spesies Nyamuk di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Entomologi dalam Peringatan Hari Nyamuk V,

Bandung, 19 Agustus 2005.

Gunasekaran, K., Vijayakumar, T., Kalyanasundaram, M. 2009. Larvicidal & Emergence Inhibitory Activities of Neemazal T/S 1.2 PerCent Ec Against Vectors of Malaria, Filariasis & Dengue. Indian J Med Res. 130(2):138-45. Harborne, J.B. 1998. Phytochemical Methods a Guide to Modern Techniques of

Plant Analysis. Chapman and Hall. London.

Hariana, A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hernández, M.M., Heraso, C., Villarreal, M.L., Vargas-Arispuro, I., Aranda, E. 1999. Biological Activities of Crude Plant Extracts from Vitex trifolia L. (Verbenaceae). J Ethnopharmacol. 67(1):37-44.

Hoedojo. 1993. DBD dan Penanggulangannya. Majalah Parasitologi Indonesia. 6:31-45.

Kabir, K.E., Tariq, M.R., Ahmed, S., Choudhary, M.I. 2011. A Potent Larvicidal and Growth Disruption Activities of Apium graveolans (Apiaveae) Seed Extract on The Dengue Fever Moquito, Aedes aegypti (Diptera: Culicidae).

Higher Education Commission. 20(20): 1-18.

Kannathasan, K., Venkatesalu, V., Senthilkumar. 2011. Mosquito Larvicidal Activity of Methyl-P-Hydroxybenzoate Isolated from The Leaves of Vitex

trifolia Linn. Acta Tropica. 120(1–2);115–118.

Kemenkes RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Pusat Data dan Surveilan Epidemiologi. Jakarta.

Krishnan, K., Senthilkumar, A., Chandrasekaran, M., Venkatesalu, V. 2007. Differential Larvicidal Efficacy of Four Species of Vitex Against Culex

quinquefasciatus Larvae. Parasitology Research. 101(6);1721-1723.

Kurnia, R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Meena, A.K., Singh, U., Yadav, A.K., Singh, B., dan Rao, M.M. Pharmacological and Phytochemical Evidences for The Extracts From Plants of The Genus Vitex – A Review. International Journal Of Pharmaceutical And Clinical


(5)

62

Mehlron, H. 2008. Encyclopedia of Parasitology the 3th Edition. Springer-Verlag berlin Heidelberg. New York.

Natadisastra, D dan Ridad, A. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ

Tubuh yang Diserang. EGC. Jakarta.

Pidiyar, V.J., Jangid, K., Patole, M.S., and Shouche, Y.S. 2004. Studies on Cultured and Uncultured Microbiota of Wild Culex Quinquefasciatus Mosquito Midgut Based on 16S Ribosomal RNA Gene Analysis. Am. J.

Trop. Med. Hyg., 70(6): 597-603.

Prianto, Juni L.A., Tjahaya, P.U. dan Darwanto. 2006. Atlas Parasitologi

Kedokteran. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rajkumar, S., dan Jebanesan, A. 2005. Larvicidal and Adult Emergence Inhibition Effect of Centella asiatica Brahmi (Umbelliferae) against Mosquito Culex

quinquefasciatus Say (Diptera : Culicidae). African Journal of Biomedical

Research. Vol. 8 (2005); 31 – 33.

Resh, V.H., dan Carde, R.T. 2009. Encyclopedia Of Insects. Elsevier. New York. Ridad A., Ochadian H., Natadisastra D. 1999. Bunga Rampai Entomologi Medik.

Edisi ke-2. Bagian Parasitologi FK Unpad.

Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi 6. Padmawinata K. Terjemahan dari: The Organic Constituens of Higher Plants. ITB. Bandung.

Shaalan, E.A.S., Canyonb, D., Younesc, M.W.F., Wahaba, H.A. and Mansoura, A.H. 2005. A Review of Botanical Phytochemicals with Mosquitocidal Potential. Environment International.31: 1149-1166.

Soegijanto, S. 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi kedua. Airlangga University Press. Surabaya

Sudarmo, S. 1991. Pengendalian Serangga Hama Sayuran dan Palawija. Kanisius. Yogyakarta.

Sudarsono, P.N., D. Gunawan, S. Wahyuono, I.A. Donatus, dan Purnomo. 2002.

Tumbuhan Obat II. Pusat Studi Obat Tradisional, 159, Universitas

Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sukowati, S. 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan Pengendaliannya di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Demam


(6)

Syamsuhidayat, S.S., dan Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat

Indonesia. Edisi I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Tandon, S., Mittal, A.K., Pant, A.K. 2008. Insect Growth Regulatory Activity of

Vitex trifolia and Vitex agnus-castus Essential Oils against Spilosoma

obliqua. Fitoterapia. 79(4):283–286.

Tunaz, H., dan Uygun, N. 2004. Insect Growth Regulators For Insect Pest Control. Turk J Agric For. 28: 377-387.

USDA. 2006. National Plant Database, Simpleleaf Chastetree. http://plants.usda.gov/about_plants.html

Warta. 2010. Pemanfaatan Legundi sebagai Tanaman Obat. Bogor.

WHO. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. Geneva.

WHO. 2010. Dengue: The Fastest Growing Mosquito-Borne Disease in The

World. Geneva.

Wigglesworth V.B. 1974. The Principles of Insect Physiology. The 7th Edition. London Chapman and Hall. Britain.

Zettel, C.M. 2010. Pupa of the Yellow Fever Mosquito, Aedes aegypti (Linnaeus). http://entnemdept.ufl.edu/creatures/aquatic/aedes_aegypti07.htm