UJI EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia L.) TERHADAP LARVA Aedes aegypti

(1)

ABSTRACT

LARVACIDAL EFFECTIVENESS TEST OF THE LEGUNDI’S LEAF (Vitex trifolia) EXTRACT FOR LARVAE OF Aedes aegypti

by EKA CANIA B

Popular control efforts of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) that is conducted with chemical control (synthetic insecticides) can cause poisoning in humans so we need safer botanical insecticides such as compounds derived from plants legundi (Vitex trifolia). Phytochemical content of legundi’s leaf extract include saponins, flavonoids, and alkaloids that can act as stomach poisons also fumigans that resulting in the death of the larvae. This study aims to investigate the larvacidal effectiveness of legundi’s leaf extract (Vitex trifolia L.) against third instar larvae of Aedes aegypti.

The research was conducted at the Laboratory of Zoology, Department of Biology and Chemistry Laboratory, Department of Chemistry, FMIPA Lampung University in November to December 2012. This research uses Completely Randomized Design (CRD) with total of sample are 600 larvae that contains 6 treatment groups, each group containing 25- third instar larvae of Aedes aegypti and 4 times repetitions and then the concentrations of legundi’s leaf extract are


(2)

0%, 0.25%, 0.5%, 0.75% and 1% also abate 1% as a positive control. Data were obtained and tested using Kruskall-Wallis test and post hoc test of Mann-Whitney to find out the differences at each concentration.

At concentrations of 1%, the test larvae mortality reached 95% in 4320 minutes. Found in Mann-Whitney test, effectiveness of legundi’s leaf extract 1% to abate no differences (p> 0.05). LC50 values shows a decreasing in concentration with increasing time value (480-2880 minutes) is 0.837% to 0.346%. While the LT50 values shows increasing in the time required concentration (0.5% -1%), from 2233.197 to 321.181 minutes. The results showed that the legundi’s leaf extract has larvacidal effectiveness for larvae of Aedes aegypti.


(3)

UJI EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia L.) TERHADAP LARVA Aedes aegypti

(Skripsi)

Oleh : EKA CANIA B

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2013


(4)

ABSTRAK

UJI EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia L.) TERHADAP LARVA Aedes aegypti

Oleh EKA CANIA B

Upaya pengendalian demam berdarah dengue (DBD) yang populer dilakukan secara kimiawi (insektisida sintetik) dapat mengakibatkan keracunan pada manusia sehingga perlu insektisida botanis yang lebih aman seperti senyawa yang berasal dari tumbuhan legundi. Kandungan fitokimia ekstrak daun legundi meliputi saponin, flavonoid, dan alkaloid, dapat berperan sebagai racun perut serta racun pernapasan sehingga mengakibatkan kematian larva. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki efektivitas larvasida ekstrak daun legundi (Vitex trifolia L.) terhadap larva Aedes aegypti instar III.

Penelitian dilakukan di Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi dan Laboratorium Kimia, Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung pada bulan November sampai dengan Desember 2012. Penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan total sampel sebanyak 600 larva uji, terdiri dari 6 kelompok perlakuan yang tiap kelompok berisi 25 larva Aedes aegypti instar III dan 4 kali pengulangan yaitu konsentrasi ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) sebesar 0%, 0,25%, 0,5%, 0,75% dan 1% dengan abate 1% sebagai kontrol positif. Data yang didapatkan lalu diuji menggunakan uji Kruskall-Wallis dan uji post hoc Mann-Whitney untuk mengetahui adanya perbedaan pada tiap konsentrasi. Pada konsentrasi 1% kematian larva uji mencapai 95% di menit ke 4320.

Didapatkan pada uji Mann-Whitney efektifitas ekstrak daun legundi 1% dengan abate tidak memiliki perbedaan (p>0,05). Nilai LC50 menunjukkan penurunan nilai konsentrasi seiring peningkatan waktu (menit 480-2880) yaitu 0,837% sampai dengan 0,346%. Sedangkan nilai LT50 menunjukkan penurunan waktu yang dibutuhkan seiring peningkatan konsentrasi (0,5%-1%) yaitu dari 2233,197 menit sampai 321,181 menit. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak daun legundi mempunyai efektivitas larvasida terhadap larva Aedes aegypti.


(5)

UJI EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia L.) TERHADAP LARVA Aedes aegypti

Oleh : EKA CANIA B

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(6)

Judul Skripsi : UJI EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia) TERHADAP LARVA Aedes aegypti

Nama Mahasiswa : Eka Cania B

Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011040

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed dr. Risal Wintoko NIP. 196405171988032001 NIP. 198503132010121004

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dra.Endah Setyaningrum, M.Biomed

Sekretaris : dr. Risal Wintoko

Penguji

Bukan Pembimbing : dr. Betta Kurniawan, M.Kes

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 30 Juli 1991, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari Bapak H. Achmad Bustami dan Ibu Hj. Isti Irani.

Pendidikan Taman Kanak Kanak (TK) Al-Kautsar Bandar Lampung diselesaikan tahun 1997. Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2009.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada organisasi di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan pernah mendapatkan beasiswa Penelusuran Prestasi dan Akademik (PPA).


(9)

SANWACANA

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia–Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya dan kita selaku umatnya sampai akhir zaman.

Skripsi dengan judul ” Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Daun Legundi (Vitex trifolia) terhadap Larva Aedes aegypti ” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berperan atas dorongan, bantuan, saran, kritik dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan antara lain kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Hi. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Dr. Sutyarso, M. Biomed selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.


(10)

3. Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed, selaku Pembimbing I, atas kesediaannya memberikan bimbingan, bantuan, ide, saran dan motivasi yang luar biasa dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. dr. Risal Wintoko, selaku Pembimbing II, atas kesediaannya meluangkan waktu dan bimbingan, bantuan dan saran yang bermanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. dr. Betta Kurniawan, M. Kes, selaku Pembahas, atas kesediaannya meluangkan waktu, memberikan masukan, kritik, ide dan saran yang membangun serta bermanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Soraya Rahmanisa S.Si., M.Sc dan dr. Merry Indah Sari selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi selama proses perkuliahan.

7. dr. Helmi Ismunandar selaku dosen yang ikut membimbing dan memberikan masukan dalam proses pembuatan skripsi ini.

8. Staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, atas segala ilmu pengetahuan baik teori maupun praktek, motivasi, saran dan nasihat yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

9. Bapak dan Ibu Staff Administrasi dan Tata Usaha di Fakultas Kedokteran Unila, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

10.Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibunda, Dra. Hj. Isti Irani dan Ayahanda, Hi. A. Bustami, S.H., M.H., yang selalu mendoakan dan memberi semangat dan motivasi pada penulis.


(11)

iv

11.Kedua adik penulis, M Dwi Ario dan Rahmat Triharto tersayang, terimakasih atas dukungan dan doanya, beserta keluarga besar yang selalu memperhatikan dan mendoakan penulis.

12.Partner skripsi, Febrina, Fajar, dan Bian atas kesempatan berharga untuk berbagi ilmu, ide, masukan, saling membantu dan mendukung selama proses penyelesaian skripsi ini.

13.Sahabat penulis, Rahmatika Lestari, Rahma Putri Kinasih, Raissa Mahmudah, Shella Arivia dan Aqsha Ramadhanisa yang selalu bersedia meluangkan waktunya untuk selalu bersama dalam suka maupun duka, berbagi pengalaman selama masa perkuliahan, semoga tali silaturahmi tetap terjaga.

14.Terimakasih juga untuk Tetra, Galih, Nanang, Puti R, HS Diah, kak Raden A, Desi Ilva, mas Yanto dan mba Eka yang turut membantu dan menyemangati sejak awal penelitian sampai penyelesaian skripsi ini. 15.Kelompok tutorial 8, FP Cyninthia K, Nora, Wirda, Rani, Annida, Arnia,

Sari, Wida, Rizqa, Muslim, Bian, dan Galih atas kerjasama dan keakraban yang telah berikan selama akhir masa perkuliahan.

16.Sahabatku, Hartami Dewi, Mutiara, Marlina, Eka, Vani, Lizza, Minati, Praja, Niken, Abrar, Abang, mba Winda, dan Mita, yang selalu meluangkan waktunya menerima curhatan dan mendoakan serta menyemangati penulis.

17.Untuk teman sesama komdis, Rahmatika, Ra. Siti M, Evi Febriani L, Intan Octaviani, Rino Yoga, I Putu AW, dan Raden Dicky WL, terimakasih atas pengalaman berharga dan kebersamaan yang telah kalian berikan.


(12)

18.Terimakasih juga kepada Arif Yudho, Hamidi, Nabila, Husni, Ririn, Hanif, Chyntia, Nurul, Sandi, Ghina, dan Jahe atas bantuan dan dukungannya.

19.Kedokteran Nol Sembilan (DORLAN), teman-teman seperjuangan selama menuntut ilmu di FK Unila.

20.Teman dan kakak tingkat 2002, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012 “Sai Kedokteran Sai”.

21.Seluruh Civitas Akademika Program Studi Pendidikan Dokter dan Civitas Universitas Lampung yang tidak dapat disebutkan satu–persatu.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua serta penulis berdoa semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Bandar Lampung, Februari 2013

Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Kerangka Penelitian ... 10

1. Kerangka Teori... 10

2. Kerangka Konsep... 11

F. Hipotesis ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Demam Berdarah Dengue... 12

B. Nyamuk Aedes aegypti ... 15

1. Klasifikasi Aedes aegypti ... 15

2. Morfologi Aedes aegypti ... 16

3. Bionomik Aedes aegypti ... 20

4. Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti ... 22

5. Insektisida... 30

C. Legundi (Vitex trifolia)... 32

1. Klasifikasi Legundi ... 32

2. Morfologi Legundi ... 32

3. Manfaat Tanaman Legundi... 34

4. Kandungan Kimia Legundi ... 35

D. Maserasi... 37

III. METODE PENELITIAN ... 39

A. Rancangan Penelitian ... 39

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 39


(14)

D. Alat dan Bahan ... 41

1. Alat... 41

2. Bahan... 41

E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 42

F. Prosedur Penelitian ... 44

1. Preparasi Bahan Uji ... 44

2. Pembuatan Larutan Uji ... 44

3. Uji Efektifitas Ekstrak Daun Legundi ... 46

4. Parameter Efektivitas larvasida ... 47

5. Menentukan nilai LC50 dan LT50... 47

G. Alur penelitian ... 48

H. Pengolahan dan Analisis Data ... 49

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50

A. Hasil ... 50

B. Pembahasan ... 55

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 63

A. Simpulan... 63

B. Saran ... 64 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jumlah Total Sampel ... 40

2. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 43

3. Jumlah Ekstrak Daun Legundi yang Dibutuhkan ... 45

4. Persentase Rata-rata Kematian Larva ... 50

5. Uji Analisis Post-hoc Mann-Whitney ... 52

6. Nilai LC50 ... 53


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.Kerangka Teori...10

2.Kerangka Konsep...11

3.Telur Aedes aegypti...17

4.Larva Aedes aegypti...19

5.Pupa Aedes aegypti ... 19

6.Nyamuk Aedes aegypti ... 20

7.Bunga Legundi... 33

8.Tanaman Legundi... ... 34

9.Diagram Alir Penelitian...48

10.Grafik Nilai LC50...53


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit infeksi yang umumnya ditemukan di daerah tropis dan ditularkan lewat hospes perantara jenis serangga yaitu Aedes spesies. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam berdarah akut, terutama menyerang anak-anak dengan manifestasi klinisnya perdarahan dan menimbulkan syok yang dapat berakibat kematian. Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota di Indonesia.

DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, dengan 48 penderita dan angka kematian (Case Fatality Rate / CFR) sebesar 41,3%. Epidemi pertama di Lampung dilaporkan pada tahun 1972. Pada saat ini penyakit Demam Berdarah Dengue sudah endemis di kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Pada tahun 2010, jumlah penderita DBD di Bandar Lampung mencapai 763 orang dan yang meninggal 16 orang. Pada tahun 2011, jumlah penderita DBD di Bandar


(18)

Lampung mencapai 413 orang dan yang meninggal 7 orang. Pada tahun 2012, terjadi peningkatan jumlah penderita DBD di Bandar Lampung mencapai 1111 orang dan yang meninggal 11 orang, jumlah tersebut merupakan tertinggi dibanding dengan kabupaten lain. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung mengatakan Bandar Lampung menjadi daerah endemis DBD karena kasusnya selalu tinggi dalam tiga tahun terakhir.

Perubahan iklim memiliki pengaruh negatif terhadap perkembangan penyakit DBD. Keadaan bumi uang semakin panas membuat nyamuk lebih aktif dan cepat berkembang biak sementara virusnya makin tangguh. Cuaca yang tidak menentu dengan curah hujan tinggi semakin meningkatkan terjadinya genangan air yang menjadi habitat nyamuk Aedes aegypti. Hal ini didukung dengan perilaku penduduk Indonesia yang umumnya menampung air di bejana untuk keperluan sehari-hari. Bejana tersebut dapat berada di dalam ataupun di luar rumah dengan jenis bejana yang digunakan biasanya tergantung dari tingkat sosial ekonomi, misalnya menggunakan bejana plastik, semen, drum dan tanah liat.

Nyamuk Aedes aegypti biasanya menggigit baik didalam maupun di luar rumah, pada waktu pagi dan sore hari ketika anak-anak sedang bermain. Nyamuk Aedes yang menyebabkan DBD karena telah menjadi vektor dan mengandung virus Dengue. Virus Dengue termasuk dalam kelompok Flavivirus dari famili Togaviridae. Virus ini ditularkan dari orang sakit ke orang sehat melalui gigitan nyamuk Aedes spesies sub genus Stegomya.Cara


(19)

3

penularan penyakit Demam Berdarah Dengue yang terjadi secara propagatif (virus penyebabnya berkembang biak dalam badan vektor), berkaitan dengan gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang merupakan vektor utama dan vektor sekunder penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia.

Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua (Depkes, 2011).

Upaya pencegahan yang selama ini sudah dilakukan adalah dengan pengendalian lingkungan dan pengendalian kimiawi. Pengendalian lingkungan yang telah dilakukan yaitu menutup tempat penyimpanan air bersih, membuang dan mengubur barang bekas yang dapat digenangi air hujan, sedangkan pengendalian secara kimia dapat mengurangi vektor secara efektif yaitu dengan cara penyemprotan menggunakan insektisida sintetik sebagai racun serangga, obat nyamuk semprot, obat nyamuk bakar dan obat nyamuk oles. Depkes sejak tahun 1992 juga memiliki program khusus untuk mencegah meningkatnya angka kejadian DBD salah satu diantaranya adalah dengan memberdayakan masyarakat melalui gerakan 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur). Pada tahun 2000 dikembangkan menjadi 3M plus yaitu dengan cara menggunakan larvasida, memelihara ikan, abatisasi,


(20)

memakai kelambu dan menggunakan penolak nyamuk, namun sampai saat ini upaya tersebut belum menunjukan hasil yang diinginkan karena setiap tahun masih terjadi peningkatan angka kesakitan (Depkes, 2008).

Pengendalian kimiawi dilakukan dengan penggunaan insektisida sintetik sebagai pembunuh nyamuk dewasa maupun sebagai larvasida. Penggunaan insektisida sintetik tersebut dapat mengakibatkan keracunan pada manusia dan hewan ternak, polusi lingkungan dan serangga menjadi resisten, karena dampak tersebut maka diperlukan suatu usaha mendapatkan insektisida yang aman dan sama sekali tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Berdasarkan pertimbangan itu, para ahli mengembangkan alternatif dalam pengendalian secara kimiawi yaitu dengan menggunakan insektisida botanis, yaitu insektisida yang dihasilkan oleh tanaman, yang beracun terhadap serangga tetapi tidak/sedikit mempunyai efek samping terhadap lingkungan dan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia.

Penelitian tentang insektisida botanis dalam upaya mengendalikan serangga, khususnya pada stadium jentik, pertama kali dirintis oleh Campbell dan Sulivan tahun 1933 mengenai toksisitas relatif dari nikotin, metil-anabasin dan lupinin pada larva nyamuk Culicine. Beberapa tahun kemudian, Pirayat Suparvann, Roy Sifagus, dan Fred W.K pada tahun 1974 di University of Kentucky, Lexington telah menghasilkan penelitian bahwa ekstrak daun Kemangi (Olium basikicum) pada dosis 100 ppm (bagian per sejuta) dapat menghambat pertumbuhan jentik Aedes aegypti. Ada pula penelitian yang


(21)

5

dilakukan oleh Wira Setia tahun 2010 mengenai efek larvasida dari air perasan Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) terhadap larva instar III nyamuk Aedes aegypti menyebutkan bahwa saponin dan flavonoid yang terkandung dalam buah Averrhoa bilimbi memiliki efek sebagai larvasida dan pada penelitian tersebut didapatkan LC50 sebesar 5,56 % dengan rentang konsentrasi 12,5 %, 6,25 %, 3,13 %, 1,56 % dan 0,78 %. Anpalakan (2012) melaporkan efek ekstrak legundi terhadap larva Aedes aegypti menggunakan isolat minyak atsirinya. Pada penelitian Vetty Ramadhaniah (2004) diperoleh bahwa ekstrak daun legundi memberi pengaruh nyata terhadap kematian larva Aedes albopictus.

Dari beberapa penelitian diatas menunjukkan bahwa terdapat senyawa pada tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan insektisida botanis. Salah satu tanaman yang berpotensi adalah tanaman legundi ( Vitex trifolia L). Legundi umumnya digunakan sebagai obat sesak napas dan muntah darah (Arisandi dan Andriani, 2000), bisa juga sebagai pelancar haid gatal-gatal dan obat cacing. Legundi (Vitex trifolia) termasuk dalam famili Verbenaceae.

Dari hasil penelitian, ekstrak daun legundi memiliki kandungan zat yang diharapkan dapat digunakan sebagai insektisida botanis dalam upaya membasmi jentik nyamuk Aedes aegypti. Dalam daun legundi terkandung beberapa senyawa seperti flavonoid, saponin, polifenol, minyak atsiri, dan senyawa alkaloid. Senyawa-senyawa inilah yang nantinya dapat digunakan untuk membasmi jentik nyamuk dengan cara kerja mirip bubuk Abate


(22)

(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Saponin dikenal sebagai insektisida dan larvasida. Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding traktus menjadi korosif (Aminah, et al. 2001). Flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat proses makan serangga dan juga bersifat toksis (Dinata, 2009).

Beberapa penelitian yang disebutkan diatas menginformasikan bahwa tanaman tertentu berpotensi sebagai insektisida botanis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai upaya pencegahan penyebaran suatu penyakit dari vektor serangga, salah satunya yaitu tanaman legundi (Vitex trifolia). Dalam penelitian ini upaya pencegahan yang akan dilakukan adalah dengan membunuh larva dari vektor untuk memutus rantai penularan nyamuk menggunakan ekstrak daun legundi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas ekstrak daun legundi dalam menghambat pertumbuhan larva Aedes aegypti. Diharapkan penelitian ini dapat memberi informasi kepada pengelola program pemberantasan dan pencegahan penyakit DBD serta kepada masyarakat dalam melaksanakan pengendalian vektor DBD.

B. Perumusan Masalah

Angka kejadian DBD di Bandar Lampung selalu tinggi dalam tiga tahun terakhir (763-1111 kasus dari tahun 2010 sampai 2012) bahkan menurut Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, DBD menyebabkan 11 kasus kematian


(23)

7

pada tahun 2012 sehingga ditetapkan menjadi daerah endemis DBD. Pada DBD terjadi demam tinggi dan bisa disertai dengan perdarahan dan syok dan dapat berakibat kematian sehingga perlu dilakukan pencegahan nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor DBD. Program pencegahan dan pemberantasan DBD belum berjalan secara optimal. Pengendalian kimiawi menggunakan insektisida/larvasida sintetik terbukti memiliki efek samping yang buruk bagi manusia dan lingkungannya sehingga perlu insektisida/larvasida botanis yang lebih aman karena dihasilkan oleh tanaman.

Tanaman legundi dapat menjadi alternatif larvasida. Legundi memiliki senyawa bioaktif seperti saponin, flavonoid, alkaloid dan miyak atsiri yang dapat membasmi jentik nyamuk dengan cara kerja mirip bubuk Abate (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan, saponin dan alkaloid memiliki cara kerja sebagai racun perut dan menghambat kerja enzim kolinesterase pada larva sedangkan flavonoid dan minyak atsiri berperan sebagai racun pernapasan sehingga menyebabkan kematian larva.

Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu: “Apakah larvasida ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) memiliki efektivitas larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III?”


(24)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui efektifitas larvasida ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) terhadap larva Aedes aegypti.

2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui konsentrasi yang paling efektif dari ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) sebagai larvasida terhadap larva instar III

Aedes aegypti.

2. Mengetahui Lethal Concentration 50 % (LC50) dari ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) sebagai larvasida terhadap larva instar III Aedes aegypti.

3. Mengetahui Lethal Time 50 % (LT50) dari ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) sebagai larvasida terhadap larva instar III

Aedes aegypti.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu parasitologi khususnya bidang Entomologi dalam lingkup pengendalian vektor penyebab demam berdarah.


(25)

9

2. Manfaat praktis,

a. Bagi peneliti, menambah pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan mengenai cara pengendalian larva nyamuk menggunakan tanaman yang berpotensi sebagai insektisida serta memberikan masukan kepada peneliti selanjutnya.

b. Bagi ilmu pengetahuan, memberikan informasi mengenai pengaruh ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) terhadap pertumbuhan larva nyamuk Aedes aegypti.

c. Bagi masyarakat, memberikan masukan dalam rangka upaya pencegahan DBD dan menginformasikan mengenai pengaruh ekstrak daun legundi terhadap pengendalian larva Aedes aegypti.


(26)

E. Kerangka Penelitian 1. Kerangka teori

Gambar 1. Kerangka Teori Upaya Pengendalian Vektor

Pengendalian alami Pengendalian buatan

mekanik kimia

lingkungan fisik biologik genetika legislatif

Insektisida sintetik Insektisida botanis Flavonoid : Menghambat proses makan serangga dan

bersifat toksik Saponin:

Menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan

Ekstrak daun legundi (Vitex trifolia)

Dewasa Pupa Telur

Efek

Demam berdarah Dengue (DBD)

Larva Mati Minyak Atsiri dan

Alkaloida :mempengaruhi perkembangan serangga


(27)

11

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini adalah :

= variabel bebas =variabel terikat

Gambar 2. Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) memiliki efektivitas larvasida terhadap larva instar III nyamuk Aedes aegypti.

Ekstrak daun legundi

Kelompok 1 (kontrol negatif)

Kelompok 2

Kelompok Kelompok Kelompok

3

Kelompok 6 (kontrol Abate (Temephos 1%)

Jumlah larva Aedes aegypti yang mati per satuan waktu Dosis I (konsentrasi 0%)

Dosis II (konsentrasi 0,25%)

Dosis III (konsentrasi 0,50%)

Dosis IV (konsentrasi 0,75%)


(28)

III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan yang terdiri dari 6 konsentrasi (0% ; 0,25% ; 0,5% ; 0,75% ; 1% ; dan abate 1%) dengan 4 kali pengulangan.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan November - Desember 2012 dan tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unila . Pembuatan ekstrak daun Legundi dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar, jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung.

C. Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar III Aedes aegypti. Telur nyamuk ini diperoleh dari Loka Litbang P2B2 Ciamis dalam


(29)

40

bentuk kering dengan media kertas saring. Untuk memudahkan dalam penentuan sampel maka dipakai kriteria inklusi dan ekslusi sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

1) Larva Aedes aegypti yang telah mencapai instar III 2) Larva bergerak aktif

b. Kriteria Eksklusi

1) Larva instar III yang mati sebelum pengamatan c. Besar Sampel

Berdasarkan acuan Guideline WHO (2005), disebutkan bahwa setiap seri pemeriksaan setidaknya melibatkan 4 konsentrasi, masing-masing 4 kali ulangan dari 25 larva Aedes aegypti instar III yang diuji, maka pada penelitian ini dibutuhkan total larva sebanyak 600 larva dengan rincian sebagai berikut :

Tabel 1 : Jumlah Total Sampel

Perlakuan Jumlah larva x jumlah pengulangan

Total Kontrol (-) : 0% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan I : 0,25% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan II : 0,50% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan III : 0,75% 25 larva x 4 100 larva

Perlakuan IV : 1% 25 larva x 4 100 larva

Kontrol (+) : Abate 25 larva x 4 100 larva Jumlah total larva

yang dipakai dalam penelitian


(30)

D. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat

Alat-alat yang dipakai dalam penelitian ini adalah : a. Alat Untuk Preparasi Bahan Uji

1. Nampan plastik dengan ukuran 30 x 15 cm 2. Kain kasa

3. Gelas plastik

b. Alat Untuk Pembuatan Larutan Uji 1. Timbangan

2. Blender 3. Toples 4. Baskom 5. Saringan

c. Alat Untuk Uji Efektifitas 1. Pipet larva

2. Pipet tetes

3. Batang pengaduk 4. Gelas ukur 250 ml

5. Kontainer atau gelas plastik

2. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun legundi (Vitex trifolia) sebanyak 360 gr, ethanol 96 % sebanyak 2000 ml sebagai pelarut saat pembuatan stock ekstrak, aquades sebanyak 200 ml


(31)

42

sebagai pengencer stock ekstrak untuk mendapatkan konsentrasi yang diinginkan. Penelitian ini juga memerlukan pelet ikan sebagai makanan larva.

E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

Variabel pada penelitian ini terdiri atas : a. Variabel Bebas

Berbagai konsentrasi ekstrak daun Legundi (Vitex trifolia) dengan lima taraf konsentrasi yaitu 0 % ; 0,25 % ; 0,5 % ; 0,75 % dan 1 %.

b. Variabel Terikat

Kematian larva Aedes aegypti. c. Variabel Perancu

Kotoran yang masuk ke dalam air

2. Definisi Operasional Variabel

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas maka dibuat definisi operasional sebagai berikut :


(32)

Tabel 2. Definisi Operasional

lahVVariabel Definsi Cara ukur Hasil ukur Skala

Variabel bebas : Berbagai konsentra si ekstrak daun Legundi (Vitex trifolia)

Ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) dinyatakan dalam persen (%). Masing-masing kosentrasi dibuat dengan cara pengenceran. Pada penelitian ini dipakai konsentrasi 0,25%, 0,50%, 0,75%, 1% dan kontrol 0% yang kemudian akan dicari dosis subletalnya yaitu LC50 yang akan ditentukan dengan analisis probit. Efektivitas dari ekstrak daun legundi (daun yang telah dicuci dan dipotong serta diangin-anginkan, lalu diblender dan direndam selama 1x24 jam dengan pelarut etanol sehingga diperolehkan suatu bentuk ekstrak) dapat dilihat dari jumlah larva yang mati dan disesuaikan dengan parameter efektivitas menurut guideline WHO.

Menimbang ekstrak dan dimasukkan ke rumus : V1C1= V2C2 Alat ukur : Analitical balance electric, refractomet er,gelas ukur, kalkulator Didapatkan konsentrasi ekstrak daun Legundi 0,25%, 0,50%,

0,75%, dan 1%

Nomi

nal

Variabel terikat : Larva Aedes aegypti yang mati

Larva yang tidak bergerak saat disentuh dengan jarum di daerah siphon atau lehernya. Tubuh larva kaku.Larva yang hampir mati juga

dikategorikan kedalam larva yang mati dimana ciri-ciri larva yang hampir mati adalah larva terebut tidak dapat meraih permukaan air atau tidak bergerak aktif ketika air digerakkan (WHO guideline, 2005).

Larva instar III berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman (Sikka, 2009). Melihat, mengecek larva dan dicatat Parameter : Mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti Alat ukur : Hand counter, jarum tectio, kalkulator

Larva Aedes aegypti yang mati (0-20 larva)

Nume rik (rasio)


(33)

44

F. Prosedur Penelitian

1. Preparasi Bahan Uji

Telur nyamuk Aedes aegypti yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Ruang Insektarium Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Ciamis, Pangandaran, Jawa Barat. Telur kemudian diletakkan di dalam nampan plastik yang berukuran 30 x 15 cm berisi air untuk pemeliharaan larva. Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Kemudian telur yang sudah menetas menjadi larva dipisahkan dengan menggunakan kasa untuk pengkolonisasian dan diberi makan pelet. Setelah usia larva mencapai instar III, larva dipindahan dengan menggunakan pipet larva ke dalam gelas plastik yang berisi ekstrak daun Legundi (Vitex trifolia) dengan konsentrasi berbeda di tiap gelas.

2. Pembuatan Larutan Uji

Pembuatan ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) ini menggunakan daun legundi (Vitex trifolia) dengan pelarutnya berupa etanol 96 %. Daun legundi (Vitex trifolia) yang telah dibersihkan dan dikeringkan kemudian dipotong kecil-kecil lalu diblender dan dicampur ke dalam etanol 96%. Setelah halus dan tercampur larutan tersebut disaring menggunakan kain kassa. Tahap maserasi ini dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali. Hasil maserasi yang disebut maserat, dipekatkan dengan suhu 40-50oC dalam


(34)

Rotary Evaporator sehingga dihasilkan ekstrak pekat etanol. Penggunaan pemanas di suhu 40-50oC untuk menghilangkan/menguapkan pelarut yang masih tersisa pada ekstrak pekat yang pada akhirnya diperoleh hasil berupa stok ekstrak daun legundi dengan konsentrasi 100%. Untuk membuat berbagai konsentrasi yang diperlukan dapat digunakan digunakan rumus VІ MІ = VЇ MЇ.

Keterangan :

VІ = Volume larutan yang akan diencerkan (ml)

MІ = Konsentrasi ekstrak daun legundi yang tersedia (%) VЇ = Volume larutan (air + ekstrak) yang diinginkan (ml) MЇ = Konsentrasi ekstrak daun Legundi yang akan dibuat (%)

Tabel 3. Jumlah Ekstrak Daun Legundi yang Dibutuhkan

M V M V = V . M

M

Pengulangan (V x 4)

100 % 200 ml 1 % 2 ml 8 ml

100 % 200 ml 0,75 % 1,5 ml 6 ml

100 % 200 ml 0,5 % 1 ml 4 ml

100 % 200 ml 0,25 % 0,5 ml 2 ml


(35)

46

3. Uji Efektivitas Ekstrak Daun Legundi

Larutan uji yang digunakan adalah ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) dengan konsentrasi 0,25 %, 0,50 %, 0,75 %, dan 1 %. Uji efektifitas ini dilakukan untuk menentukan konsentrasi yang paling efektif sebagai larvasida Aedes aegypti, nilai LC50 (Lethal Consentration 50), dan nilai LT50 (Lethal Time 50). Ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) dengan berbagai konsentrasi tersebut diletakkan dalam gelas plastik. Larva diletakkan ke dalam gelas plastik yang berisi berbagai konsetrasi daun Legundi (Vitex trifolia) dengan menggunakan pipet larva atau saringan. Perlakuan menggunakan ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) hanya diberikan pada kelompok eksperimen sebanyak 200 ml air yang mengandung ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) dengan berbagai konsentrasi pada tiap ulangan, sedangkan pada kelompok kontrol negatif diberikan perlakuan mengunakan air sumur dengan volume 200 ml pada tiap ulangan.

Masing-masing perlakuan berisi 25 larva Aedes aegypti instar III dengan jumlah pengulangan sebanyak 4 kali. Jumlah pengulangan berdasarkan pada WHO Guideline For Laboratory and Field Testing For Larvacide. Menurut WHO (2005) pengukuran pada kelompok-kelompok sampel dilakukan dalam 24 jam dan peneliti membagi pencatatan waktu selama perlakuan yaitu dengan interval waktu 5, 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480, 1440, 2880, dan 4320 menit. Pengukuran berakhir pada menit ke 4320 dengan cara menghitung larva yang mati di tiap patokan waktu.


(36)

4. Parameter Efektivitas Larvasida Daun Legundi

Penentuan efektivitas larvasida daun legundi pada penelitian ini adalah berdasarkan WHO dan Komisi Pestisida. Menurut WHO (2005) menyebutkan bahwa konsentrasi larvasida dianggap efektif apabila dapat menyebabkan kematian larva uji antara 10-95% yang nantinya digunakan untuk mencari nilai lethal concentration. Sedangkan menurut Komisi Pestisida (1995), penggunaan larvasida dikatakan efektif apabila dapat mematikan 90-100% larva uji.

5. Menentukan Nilai LC50 dan LT50

Kelompok perlakuan terdiri dari 1 kontrol negatif, 4 konsentrasi ekstrak daun Legundi dan 1 kontrol positif. Tiap kelompok perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali dan diamati pada menit ke-5, 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480, 1440, 2880 dan 4320. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah larva yang mati kemudian dihitung pesentase rata-rata kematian larva pada tiap kelompok perlakuan. Kemudian dari rata-rata kematian masing-masing kelompok perlakuan pada tiap masing-masing waktu pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis Probit hingga diperoleh nilai LC50 dan LT50. Nilai LC50 dan LT50 bermanfaat untuk mengetahui kerentanan dan memantau resistensi suatu insektisida.


(37)

48

G. Alur Penelitian

Untuk memperjelas proses penelitian, maka disajikan diagram alur penelitian sebagai berikut :

1. Uji Efektifitas

Gambar 9. Diagram Alir Uji Efek Ekstrak Daun Legundi (Vitex trifolia) sebagai Larvasida

Ekstrak daun legundi (100%) Abate 1%

Konsentrasi 1% Konsentrasi 0,75% Konsentrasi 0,5% Konsentrasi 0,25% Konsentrasi 0% Kelompok 5 Kelompok 6 (kontrol +) Kelompok 4 Kelompok 3 Kelompok 2 Kelompok 1 (kontrol -)

Tiap kelompok dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali

Diamati setiap menit

ke-5, 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480, 1440, 2880 dan 4320

Hitung jumlah larva yang mati


(38)

H. Pengolahan dan Analisis Data

1. ANOVA satu arah

Untuk mengetahui adanya perbedaan rata-rata kematian nyamuk pada berbagai konsentrasi maka digunakan analisis ANOVA satu arah, tetapi bila sebaran data tidak normal atau varians data tidak sama dapat dilakukan uji alternatif yaitu uji Kruskal-Wallis. Uji ini bertujuan untuk mengetahui paling tidak terdapat perbedaan antara dua kelompok perlakuan. Apabila pada uji tersebut didapatkan hasil yang signifikan (bermakna) yaitu p value < 0,05 maka dilakukan analisis post-hoc untuk mengetahui kelompok perlakuan yang bermakna. Uji post-hoc untuk ANOVA satu arah adalah Bonferroni sedangkan untuk uji Kruskal-Wallis adalah Mann Whitney.

2. Uji Probit.

Untuk menilai toksisitas suatu insektisida dapat menggunakan suatu metode pengujian dengan menggunakan analisis probit. Lethal consentration merupakan suatu ukuran untuk mengukur daya racun dari jenis pestisida. Pada uji efektifitas ditunjukkan LC50 yang berarti berapa ppm atau persen konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan. Nilai subletal ditentukan dengan analisis probit. Analisis probit ini diolah dengan menggunakan program analisis data.


(39)

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Adityani, N. 2012. Uji Efektivitas Ekstrak Batang Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai Larvasida terhadap Larva instar III Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Unila. Bandar Lampung

Agromedia. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat: 431 Jenis Tanaman Penggempur Penyakit. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.

Aminah N.S., Sigit S., Partosoedjono S. dan Chairul. 2001. S. lerak, D. metel dan E. prostata Sebagai Larvasida Aedes aegypti. Cermin Dunia Kedokteran No. 131. Grup PT Kalbe Farma. Jakarta.

Andini, W. 2010. Efek Larvasida Air Perasan Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) terhadap larva instar III Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Unila. Bandar Lampung.

Anpalakan, T. 2012. Uji Pengaruh Ekstrak Vitex Trifolia L. sebagai Larvasida pada Larva Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.

Aradilla, A.S. 2009. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba (Azadirachta Indica) tehadap Larva Aedes Aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Arisandi, Y., Andriani, Y. 2000. Tanaman Obat Keluarga dan Pengobatan Alternatif. Jakarta: Penerbit setia Kawan.

Dahlan, M.S. 2010. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 5. Seri Evidence Medicine 1. Salemba Medika. Jakarta

Davidson, M.V. 2004. Phytochemical. Http://micro.Magnet.fsu.edu? phytochemicals/pages/saponin.html (diakses : 26 Oktober 2012)

Depkes RI. 2012. Laporan Kasus Demam Berdarah Dengue. Subdit Arbovirosis, Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.


(41)

Depkes RI. 2008. Pelatihan bagi Pelatih Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dengan Pendekatan Komunikasi Perubahan Perilaku (Communication For Behavioral Impact) : Modul. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI. Jakarta.

Depkes RI. 2011. Survei Entomologi DBD. Ditjen P3M dan PLP Depkes RI. Depkes RI. 2011. Informasi Umum DBD 2011. Subdirektorat Pengendalian

Arbovirus, Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Dinata, A. 2009. Mengatasi DBD dengan Kulit Jengkol. www.miqraindonesia.blo gspot.com. Diakses tanggal 1 November 2012

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Daftar Komoditi Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/Pd.310/9/2006. Jakarta

Djakaria, S. dan S. Sungkar. 2008. Pendahuluan Entomologi. Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 383 hlm.

Djakaria S. dan S. Sungkar. 2008. Vektor Penyakit Virus, Riketsia, Spiroketa dan Bakteri : Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 383 hlm.

Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Pustaka Bunda. Jakarta

Fitriani, F. 2004. Pengaruh Ekstrak Daun Legundi (Vitex trifolia L.) dalam Kosentrasi yang Sangat Rendah Terhadap Stadium Pradewasa Nyamuk (Culex quinquefasciatus). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ghosh A., Chowdhury N., dan Chandra G. 2012. Plant Extracts as Potential Mosquito Larvicides. Indian J Med Res. 135(5):581-98.

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Institut Teknologi Bandung. Bandung

Hariana, A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hoedojo, R. dan S. Sungkar. 2008. Morfologi, Daur Hidup dan Perilaku Nyamuk : Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 383 hlm.


(42)

Hoedojo, R. dan Zulhasril. 2008. Insektisida dan Resistensi : Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 383 hlm.

Hoedojo, R. dan Zulhasril. 2008. Pengendalian Vektor : Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 383 hlm Kemenkes RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Pusat Data dan Surveilan

Epidemiologi. Jakarta.

Kesumawati, U. 2011. Penyakit Tular Vektor : Demam Berdarah Dengue. Bahan Kuliah. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Komisi Pestisida. Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida. Bandung: Komisi

Pestisida Bandung. 1995

Ramadhaniah, V. 2004. Pengaruh Ekstrak Daun Legundi (Vitex trifolia) terhadap Perkembangan Pradewasa Nyamuk Aedes albopictus. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi 6. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Sudarsono, P.N., D. Gunawan, S. Wahyuono, I.A. Donatus, dan Purnomo. 2002. Tumbuhan Obat II. Pusat Studi Obat Tradisional, 159, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suhendro. L. Nainggolan. K. Chen dan H.T. Pohan. 2009. Demam Berdarah Dengue :Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 5. Interna Publishing. Jakarta.

Supartha, I.W. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Universitas Udayana. Denpasar.

Syamsuhidayat S.S. dan Hutapea J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi I. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

Syuifri. 2010. Uji Ekstrak Metanol Bagian Tumbuhan Legundi (Vitex trifolia) terhadap larva Crocidolomia pavonana. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang.

Wardani, R.S., Mifbakhuddin, K. Yokorinanti. 2010. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Tembelekan (Lantana camara) terhadap Kematian Larva Aedes aegypti. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. 6(2): 30-38. Warta. 2010. Pemanfaatan Legundi sebagai Tanaman Obat. Bogor.


(43)

World Health Organization. Reg Publication. 2003. Prevention Control of Dengue and Dengue Haemorage Fever. Regional Office for South East Asia. New Delhi.

World Health Organization. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. Geneva.

World Health Organization. 2011. Comperhensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagiz Fever. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia. 67 hlm.


(44)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue. Seseorang dapat tertular virus Dengue jika digigit nyamuk Aedes aegypti yang mengandung virus Dengue. Di dalam tubuh nyamuk, virus tersebut berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus tersebut berada dalam kelenjar liur nyamuk. Dalam jangka waktu satu minggu, jumlahnya dapat mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu sehingga siap untuk di tularkan atau dipindahkan kepada orang lain (Suhendro, 2009).

Virus yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus (Arthropod borne virus) grup B, terdiri dari 4 tipe yaitu virus dengue tipe 1, 2, 3 dan 4. Virus Dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus ini berukuran diameter 40 nanometer dan dapat berkembang biak pada berbagai macam kultur jaringan.

Pada waktu nyamuk menggigit orang lain, maka setelah probosis nyamuk menemukan kapiler darah, sebelum darah orang tersebut dihisap, terlebih


(45)

13

dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar liurnya agar darah yang dihisap tidak membeku. Dengan cara inilah, virus dipindahkan kepada orang lain.

Melalui gigitan nyamuk, virus memasuki aliran darah manusia untuk kemudian bereplikasi (memperbanyak diri). Sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya akan terbentuk antigen-antibodi. Kompleks antigen-atibodi tersebut akan melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah, yang disebut dengan proses autoimun. Proses tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat yang salah satunya ditujukan dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler. Hal itu mengakibatkan bocornya sel-sel darah, antara lain trombosit dan eritrosit. Akibatnya tubuh akan mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai perdarahan hebat pada kulit, saluran cerna, saluran pernapasan, dan organ vital yang sering menyebabkan kematian.

Demam Berdarah Dengue ditandai oleh demam tinggi yang terjadi tiba-tiba, manifestasi pendarahan, hepatomegali atau pembesaran hati dan kadang-kadang terjadi syok manifestasi perdarahan. Berdasarkan gejalanya DBD dikelompokkan menjadi 4 tingkatan :

1) Derajat I: demam mendadak 2-7 hari disertai gejala klinik lain, satu-satunya manifestasi pendarahan adalah tes torniquet yang positif.


(46)

2) Derajat II: gejala lebih berat daripada derajat I, disertai manifestasi pendarahan kulit, epistaksis, pendarahan gusi, hematemesis atau melena. Terdapat gangguan atau sirkulasi darah perifer yang ringan berupa kulit dingin dan lembab, ujung jari dan hidung dingin.

3) Derajat III: kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.

4) Derajat IV: penderita syok berat, tensi tidak terukur dan nadi tidak teraba.

Menurut WHO (2011), kriteria diagnosis DBD adalah sebagai berikut: a. Kriteria Klinis

1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.

2. Terdapat manifestasi perdarahan (tes torniket positif, ptekiae, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi serta hematemesis dan/atau melena )

3. Pembesaran hati (hepatomegali)

4. Syok (ditandai takikardi, perfusi jaringan yang buruk,hipotensi , dan gelisah)

b. Kriteria laboratorik

1. Trombositopenia (<100.000/mm3) 2. Hemokonsentrasi (Ht meningkat>20%)


(47)

15

Jika ditemukan dua kriteria klinik (demam dan manifestasi perdarahan) serta trombositopenia dan hemokonsentrasi, maka dapat ditegakkan diagnosis klinis DBD. Kejadian perbesaran hati yang mengikuti demam dan manifestasi perdarahan merupakan tanda DBD sebelum terjadinya kebocoran plasma.

B. Nyamuk Aedes aegypti

1. Klasifikasi

Menurut Dzakaria (2008), klasifikasi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Subphylum : Uniramia Kelas : Insekta Ordo : Diptera Subordo : Nematosera Familia : Culicidae Sub family : Culicinae Tribus : Culicini Genus : Aedes


(48)

2. Morfologi Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar yang hitam dengan bintik putih pada bagian badannya terutama pada bagian kakinya (Depkes RI, 2007).

Pada nyamuk betina proboscis digunakan sebagai alat untuk menghisap darah, sedangkan pada nyamuk jantan proboscis digunakan untuk menghisap bahan-bahan cair seperti cairan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan. Antena pada nyamuk jantan berambut lebat (plumose) dan pada nyamuk betina jarang (pilose). Sayap nyamuk panjang dan langsing, mempunyai vena yang permukaannya ditumbuhi sisik-sisik sayap (wing scales) yang letaknya mengikuti vena. Nyamuk mempunyai 3 pasang kaki (heksapoda) yang melekat pada toraks dan tiap kaki terdiri atas 1 ruas femur, 1 ruas tibia dan 5 ruas tarsus (Hoedojo, 2008).

a. Telur

Telur berwarna hitam dengan ukuran sekitar 0,8mm, berbentuk oval yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat penampungan air (Ditjen PP dan PL, 2005). Seekor nyamuk betina rata-rata dapat menghasilkan 100 butir telur setiap kali bertelur dan akan menetas menjadi larva dalam waktu 2 hari dalam keadaan telur terendam air. Telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu yang lama pada keadaan kering. Hal tersebut dapat membantu


(49)

17

kelangsungan hidup spesies selama kondisi iklim yang tidak memungkinkan (Depkes RI, 2007). Telur nyamuk ini dapat bertahan hidup dalam kondisi iklim yang tidak memungkinkan. Pada keadaan kering dengan suhu -20C sampai 420C telur nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan selama berbulan-bulan.

Gambar 3. Telur Aedes aegypti (Sumber : Supartha, 2008)

b. Larva

Telur membutuhkan waktu sekitar 2-4 hari untuk menjadi larva. Larva terdiri atas 4 substadium (instar) dan mengambil makanan dari tempat perindukannya. Pertumbuhan larva instar I-IV berlangsung 6-8 hari pada Culex dan Aedes. Pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh temperatur, nutrisi, dan binatang air yang bersifat predator nyamuk. Perubahan instar pada larva mengakibatkan proses pengelupasan (moulting).


(50)

Berdasarkan Ditjen PP & PL, 4 substadium (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva yaitu:

1. Larva instar I; berukuran 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernapasan pada siphon belum jelas. Berubah menjadi instar II setelah 2-3 hari.

2. Larva instar II; berukuran 2,5-3,5 mm, duri-duri dada belum jelas, corong kepala mulai menghitam. Berubah menjadi instar III setelah 2-3 hari. 3. Larva instar III; berukuran 4-5 mm, duri-duri dada mulai jelas dan corong

pernapasan berwarna coklat kehitaman. Berubah menjadi instar IV setelah 2-3 hari.

4. Larva instar IV; berukuran 5-6 mm dengan warna kepala gelap.

Larva Aedes aegypti memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Adanya corong udara pada segmen terakhir

2. Pada segmen abdomen tidak ditemukan adanya rambut-rambut berbentuk kipas (Palmatus hairs)

3. Pada corong udara berbentuk pectin

4. Sepasang rambut serta jumbai akan dijumpai pada corong (siphon)

5. Pada setiap sisi abdomen segmen kedelapan terdapat comb scale sebanyak 8 -21 atau sejajar 1 sampai 3

6. Bentuk individu dari comb scale seperti duri

7. Pada sisi thorax terdapat duri yang panjang dengan bentuk kurva dan adanya sepasang rambut dikepala.


(51)

19

Gambar 4. Larva instar IV nyamuk Aedes aegypti (Sumber : Supartha, 2008)

c. Pupa

Larva instar IV berkembang menjadi pupa, yang mana pada fase ini merupakan fase tidak makan, namun tetap bernafas dengan menggunakan corong dan dapat berubah manjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2 hari. Pada fase ini, tubuh pupa terbagi menjadi 2 bagian, yaitu cephalothorax dan abdomen. Tubuhnya membengkok seperti tanda koma. Pada bagian distal abdomen terdapat sepasang kaki pengayuh yang kurus dan runcing (paddle).


(52)

d. Nyamuk dewasa

Nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil dibandingkan dengan spesies nyamuk lain. Badan, kaki, dan sayap nya berwarna dasar hitam dengan bintik-bintik putih. Jenis kelamin nyamuk Aedes aegypti dibedakan dengan memperhatikan jumlah probosis. Nyamuk betina memiliki probosis tunggal, sedangkan nyamuk jantan mamiliki probosis ganda (Djakaria, 2008). Aedes aegypti mempunyai warna dasar hitam dengan bintik putih pada bagian badannya terutama pada kakinya dan dikenal dari bentuk morfologinya yang khas sebagai nyamuk yaitu gambaran lira (lyre form) yang putih pada punggungnya (Depkes RI, 2007).

Gambar 6. Nyamuk Aedes aegypti (Sumber : Supartha, 2008)

3. Bionomik Aedes aegypti

Bionomik vektor merupakan karakteristik nyamuk yang berhubungan dengan kesenangan tempat perkembangbiakan, waktu-waktu menggigit, kesengangan tempat hinggap istirahat dan jarak terbang. Tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti adalah penampungan air bersih


(53)

21

di dalam rumah ataupun berdekatan dengan rumah, dan air bersih tersebut tidak bersentuhan langsung dengan tanah (Ditjen PPM dan PL, 2002).

Aktivitas menggigit nyamuk berlainan. Ada yang menghisap darah pada waktu malam hari (night-biters), ada pula yang menghisap darah pada waktu siang hari (day-biters). Ada yang menggigit di dalam rumah (endofagik) dan ada juga yang menggigit di luar rumah (eksofagik). Nyamuk betina mempunyai jarak terbang lebih jauh daripada nyamuk jantan. Nyamuk Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menggigit pada pagi hari yaitu beberapa jam setelah matahari terbit yaitu pukul 09.00 sampai pukul 13.00 dan sore hari beberapa jam sebelum gelap yaitu pukul 15.00 sampai pukul 17.00.

Setelah menghisap darah, nyamuk mencari tempat untuk beristirahat. Tempat tersebut digunakan nyamuk selama waktu menunggu proses perkembangan telur maupun untuk istirahat sementara, yaitu pada waktu nyamuk masih aktif mencari darah. Untuk tempat istirahat ada nyamuk yang memilih di dalam rumah (endofilik) yaitu dinding rumah, ada pula yang memilih di luar rumah (eksofilik) yaitu tanaman atau kandang binatang (Hoedojo, 2008). Adanya vektor DBD ini berhubungan erat dengan beberapa faktor yaitu :

1. Kebiasaan masyarakat untuk menampung air bersih bagi kepentingan sehari-hari.

2. Sanitasi lingkungan kurang baik 3. Penyediaan air bersih yang langka.


(54)

Daerah yang dapat terjangkit Demam Berdarah Dengue adalah wilayah yang ada penduduknya, karena :

1) Jarak antara rumah yang berdekatan memungkinkan penularan, sebab jarak terbang Aedes aegypti 40-100 meter.

2) Nyamuk Aedes aegypti betina mempunyai kebiasaan menggigit berulang yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat.

Dengan makin lancarnya hubungan lalu lintas, kota kecil mudah terserang DBD akibat penjalaran penyakit ini dari suatu sumber di kota besar. Pengukuran kepadatan populasi nyamuk yang belum dewasa dilakukan dengan pemeriksaan tempat-tempat perindukan didalam dan diluar rumah dari 100 rumah yang terdapat di daerah pemeriksaan. Ada 3 ukuran/index larva nyamuk yang digunakan, yaitu house index (HI), persentase rumah yang ada Aedes aegypti, container index (CI), yaitu persentase container berisi air yang ditemukan larva, dan breteau index (BI), yaitu jumlah container yang positif per 100 rumah.

4. Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti

Pengendalian vektor bertujuan mengurangi atau menekan populasi vektor serendah-rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit. Pengendalian vektor (nyamuk Aedes aegypti) berdasarkan buku


(55)

23

Parasitologi Kedokteran FKUI (Hoedojo, R dan Zulhasril., 2008) adalah sebagai berikut:

a. Pengendalian Secara Alami

Berbagai contoh yang berhubungan dengan faktor ekologi yang sangat penting artinya bagi perkembangan serangga adalah :

1. Adanya gunung, lautan danau dan sungai yang luas yang merupakan rintangan bagi penyebaran serangga.

2. Ketidakmampuan mempertahankan hidup beberapa spesies serangga di daerah yang terletak di ketinggian tertentu dari permukaan laut.

3. Perubahan musim yang dapat menimbulkan gangguan pada beberapa spesies serangga, iklim yang panas, udara kering, angin besar dan curah hujan yang tinggi.

4. Adanya burung, katak, cicak, binatang lain yang merupakan pemangsa serangga.

5. Penyakit serangga.

b. Pengendalian Secara Buatan

Cara pengendalian ini adalah cara pengendalian yang dilakukan atas usaha manusia dan dapat dibagi menjadi :

1. Pengendalian Lingkungan

Pengendalian dilakukan dengan cara mengelola lingkungan, yaitu memodifikasi atau memanipulasi lingkungan, sehingga terbentuk


(56)

lingkungan yang tidak cocok yang dapat mencegah atau membatasi perkembangan vektor.

a) Modifikasi Lingkungan

Cara ini paling aman terhadap lingkungan, yaitu tidak merusak keseimbangan alam dan tidak mencemari lingkungan, tetapi harus dilakukan terus-menerus. Sebagai contoh misalnya : pengaturan irigasi, penimbunan tempat-tempat penampungan air dan tempat-tempat-tempat-tempat pembuangan sampah, pengaliran air yang menggenang menjadi kering, pengubahan rawa menjadi sawah dan pengubahan hutan menjadi tempat permukiman.

b) Manipulasi Lingkungan

Cara ini berkaitan dengan pembersihan atau pemeliharaan sarana fisik yang telah ada supaya tidak terbentuk tempat-tempat perindukan atau tempat-tempat istirahat serangga.

2. Pengendalian Kimiawi

Pengendalian kimiawi yaitu segala macam cara pengendalian vektor dengan menggunakan bahan kimia, baik bahan kimia sebagai racun (insektisida) atau hanya untuk menghalau serangga saja (repellent), sebagai bahan penghambat pertumbuhan atau sebagai hormon.


(57)

25

Upaya pengendalian kimia dapat dilakukan dengan cara : 1) Insektisida sintetik

Insektisida sintetik yang digunakan dalam pengendalian nyamuk adalah paration, malation, dan diklorvos (Kesumaati, 2011).

2) Insektisida nabati / botanis

Insektisida nabati adalah insektisida yang berasal dari tanaman. Tanaman sumber insektisida nabati yang telah digunakan antara lain buah lerak (S. sarak), yang mengandung senyawa saponin (Aminah, et al., 2001). 3) Insektisida anorganik

Insektisida anorganik adalah insektisida yang berasal dari bahan-bahan asorganik. Insektisida anorganik yang banyak dipergunakan adalah minyak bumi dan kapur belerang (Kesumawati, 2011).

Kebaikan cara pengendalian ini ialah dapat dilakukan dengan segera, meliputi daerah yang luas, sehingga dapat menekan populasi serangga dalam waktu yang singkat. Keburukannya karena cara pengendalian ini hanya bersifat sementara, dapat menimbulkan resistensi serangga terhadap insektisida dan mengakibatkan matinya beberapa pemangsa. Juga banyak penduduk yang menolak rumah mereka disemprot, karena khawatir


(58)

terjadinya kematian binatang-binatang yang dipelihara. Contoh cara ini adalah :

a) Pengabutan/fogging

Pengendalian Aedes aegypti pengabutan dilakukan pada pagi hari. Pengabutan tidak mempunyai efek residual, sehingga perlu dilakukan dengan ulangan dan dikombinasikan dengan pemberantasan jentik/larva. Pengabutan digunakan untuk memutus rantai penularan. Pengabutan dilakukan pada pagi hari akan membunuh nyamuk yang sudah ada, tetapi tidak mempunyai dampak untuk nyamuk yang menetas pada sore hari berikutnya. Jadi selama masih ada sumber yang dapat ditularkan, maka penularan DBD masih akan berlangsung.

b) Larvasida (larviciding)

Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti adalah tempat-tempat yang berisi air bersih yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk dan tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Maka insektisida yang digunakan harus sudah diketahui betul-betul aman untuk manusia. Pemakaian parisgreen, temefos dan fention untuk membunuh larva nyamuk. Pengendalian kimiawi sebagai larvasida ini hanya sebagai metoda pelengkap untuk basis sanitasi, biasanya dilakukan terutama didaerah endemis dimana diperlukan untuk menjaga populasi Aedes aegypti serendah mungkin.


(59)

27

Penggunaan larvasida dalam pengendalian larva nyamuk mempunyai keuntungan dan kerugian.

(1) Keuntungan pemakaian larvasida antara lain :

(a) Kematian larva dari berbagai stadium dapat terbunuh (b) Daerah yang disemprot dengan larvasida terbatas

pada tempat perindukan

(2) Kerugian pemakaian larvasida antara lain:

(a) Pengaruh larvasida bersifat sementara sehingga diperlukan aplikasi ulang

(b) Beberapa larvasida mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan terutama predator atau pemangsa larva sehingga tidak tercapainya pemberantasan secara biologik.

Penggunaan larvasida perlu diperhatikan beberapa faktor, faktor tersebut yaitu :

(1) Formulasi pestisida, antara lain mencakup : (a) Dosis dan cara aplikasinya

(b) Sifat fisik, sifat kimia, dan daya racunnya (c) Biaya

(d) Bahan pelarut dan pencampurannya (2) Kemampuan larvasida bertahan di air (3) Jenis larvasida


(60)

3. Pengendalian Mekanik

Pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan alat yang langsung dapat membunuh, menangkap atau menghalau, menyisisir, mengeluarkan serangga dari jaringan tubuh. Menggunakan baju pelindung, memasang kawat kasa di jendela merupakan cara untuk menghindarkan hubungan antara manusia dan vektor.

4. Pengendalian Fisik

Pada cara pengendalian ini digunakan alat fisika untuk pemanasan, pembekuan dan penggunaan alat listrik untuk pengadaan angin, penyinaran cahaya yang dapat membunuh atau untuk mengganggu kehidupan serangga. Suhu 60°C dan suhu beku, akan membunuh serangga, sedangkan suhu dingin menyebabkan serangga tidak mungkin melakukan aktifitasnya, selain itu dengan memasang lampu kuning dapat menghalau nyamuk.

5. Pengendalian Biologik

Pengendalian biologi merupakan semua cara pengendalian dengan menggunakan mahluk lain yang merupakan musuh-musuh alami nyamuk. Beberapa parasit dari golongan nematoda, bakteri, protozoa, jamur dan virus dapat dipakai sebagai pengendali larva nyamuk. Artropoda juga dapat dipakai sebagai pengendalian larva nyamuk terdiri dari beberapa jenis ikan seperti ikan mujair, larva


(61)

29

capung dan crustacea juga cara alternatif yaitu mengintroduksi musuh alamiahnya yaitu larva nyamuk Toxorhyncites sp. sebagai predator larva Aedesaegypti.

6. Pengendalian Genetika

Pengendalian bertujuan mengganti populasi serangga yang berbahaya dengan populasi baru yang tidak merugikan. Beberapa cara mengubah kemampuan reproduksi dengan jalan memandulkan serangga jantan.

Mengawinkan antar strain nyamuk dapat menyebabkan sitoplasma telur tidak dapat ditembus oleh sperma sehingga tidak terjadi pembuahan, disebut sytoplasmic incompatibility. Mengawinkan serangga antar spesies terdekat akan mendapatkan keturunan jantan yang steril disebut hybrid sterility. Adanya sifat rentan terhadap insektisida dapat dipakai pula untuk pengendalian genetik ini. Semua cara pengendalian dengan genetika diatas baru taraf penyelidikan, belum pernah berhasil baik di lapangan.

7. Pengendalian Legislatif

Untuk mencegah tersebarnya serangga berbahaya dari satu daerah ke daerah lain atau dari luar negeri ke Indonesia, diadakan peraturan dengan sangsi pelanggaran pemerintah. Pengendalian karantina di pelabuhan laut dan pelabuhan udara bermaksud


(62)

mencegah masuknya hama tanaman dan vektor penyakit. Demikian pula penyemprotan insektisida di kapal yang berlabuh atau kapal terbang yang mendarat di pelabuhan udara. Keteledoran oleh karena tidak melaksanakan peraturan-peraturan karantina yang menyebabkan perkembangbiakan vektor nyamuk dapat dihukum menurut undang-undang.

5. Insektisida

Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk meracuni atau membunuh serangga. Insektisida yang baik mempunyai sifat sebagai berikut :

1) Mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak berbahaya bagi binatang vertebrata termasuk manusia dan ternak (selektif)

2) Murah harganya dan mudah didapat dalam jumlah yang besar 3) Mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar

4) Mudah digunakan dan dapat dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut

5) Tidak berwarna dan tidak berbau yang menyenangkan 6) Aplikasi mudah

7) Status kekebalan vektor terhadap insektisida tersebut masih memungkinkan


(63)

31

Beberapa istilah yang berhubungan dengan insektisida adalah : 1. Ovisida = insektisida untuk membunuh stadium telur

2. Larvasida = insektisida untuk membunuh stadium larva / nimfa 3. Adultisida = insektisida untuk membunuh stadium dewasa 4. Akarisida = insektisida untuk membunuh tungau

5. Pedikulisida = insektisida untuk membunuh tuma

Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada bentuk, cara masuk ke dalam tubuh serangga, macam bahan kimia, konsentrasi dan jumlah (dosis) insektisida.

Menurut cara masuknya ke dalam badan serangga, insektisida dibagi dalam : 1. Racun kontak (contact poisons)

Insektisida masuk melalui eksoskelet ke dalam badan serangga dengan perantaraan tarsus (jari-jari kaki) pada waktu istirahat di permukaan yang mengandung residu insektisida. Pada umumya dipakai untuk memberantas serangga yang mempunyai bentuk mulut tusuk isap.

2. Racun perut (stomach poisons)

Insektisida masuk ke dalam badan serangga melalui mulut. Biasanya serangga yang diberantas dengan menggunakan insektisida ini mempunyai bentuk mulut untuk menggigit, lekat isap, kerat isap dan bentuk mengisap.

3. Racun pernapasan (fumigants)

Insektisida masuk melalui sistem pernapasan (spirakel) dan juga melalui permukaan badan serangga. Insektisida ini dapat digunakan untuk


(64)

memberantas semua jenis serangga tanpa harus memperhatikan bentuk mulutnya. Penggunaan insektisida ini harus hati-hati sekali terutama bila digunakan untuk pemberantasan serangga di ruang tertutup (Hoedojo dan Zulhasril, 2008).

C. Legundi (Vitex trifolia)

1. Klasifikasi

Klasifikasi tanaman legundi adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Sub kelas : Dialypetalae Bangsa : Solanales Suku : Verbenaceae Marga : Vitex

Jenis : Vitex trifolia L. Sinonim : Vitex rotundifolia L.

2. Morfologi Legundi (Vitex trifolia)

Tanaman legundi berupa pohon, tinggi 5-8 meter. Batang legundi berupa kayu, bulat, ranting berambut, warna putih kotor. Daun legundi majemuk,


(65)

33

terdiri atas tiga anak daun, bulat telur, ujung dan pangkal tumpul, tepi rata, pertulangan menyirip, warna hijau. Legundi memiliki bunga majemuk, diujung cabang, bentuk malai, mahkota bentuk tabung, warna ungu dan berbunga sepanjang tahun. Buah batu, bentuk bola, diameter 2-5 mm dan warna cokelat.

Tumbuhan legundi ini dapat hidup pada dataran tinggi sampai 1000 m dpl , pada umumnya tumbuh liar pada daerah hutan jati, hutan sekunder, di tepi jalan, pematang sawah. Perbanyakan tanaman legundi dapat dilakukan dengan biji atau stek batang, jika menggunakan stek batang sebaiknya diambil dari batang yang tidak terlalu muda. Stek batang tersebut mudah sekali tumbuh dan akan mulai bertunas setelah 4-5 hari terhitung dari sejak penanaman. Tumbuhan ini mudah tumbuh di segala jenis tanah, namun lebih menyukai tempat yang agak kering dan pada daerah yang terbuka. Tumbuh dengan baik pada media tumbuh yang terdiri dari campuran pasir, pupuk kandang dan lempung (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006).

Gambar 7. Bunga Legundi


(66)

Gambar 8. Tanaman Legundi

(Sumber : USDA National Plant Database, 2006)

3. Manfaat Tanaman Legundi (Vitex trifolia)

Tumbuhan legundi (Vitex trifolia) merupakan tumbuhan yang tersebar cukup luas di Indonesia. Tanaman ini cukup banyak digunakan untuk pengobatan tradisional yang memiliki barbagai manfaat. Akarnya berguna untuk pencegah kehamilan dan berguna pengobatan pasca pesalinan. Bijinya dimanfaatkan sebagai penyegar badan dan perawatan rambut. Buahnya untuk obat cacing, peluruh haid. Daunnya dipakai untuk luka, diuretik, antipiretik, spasmolitik. Selain itu dilaporkan juga sebagai obat gatal, mencret dan sakit perut (Dalimartha, 2008; Agromedia, 2008; Hariana, 2008).


(67)

35

4. Kandungan Kimia Legundi (Vitex trifolia)

Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam tanaman adalah saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri (Warta, 2010).

1. Saponin

Saponin mengandung gugus gula terutama glukosa, galaktosa, xylosa, rhamnosa atau methilpentosa yang berikatan dengan suatu aglikon hidrofobik berupa triterpenoid, steroid atau steroid alkaloid. Ikatan triterpenoid saponin dapat mengandung satu atau lebih ikatan C-C tak jenuh. Rantai oligosakarida umumnya terikat pada posisi C3, tetapi beberapa saponin mempunyai gugus gula tambahan pada C26 atau C28.

Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadaan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan (Gunawan dan Mulyani, 2004). Saponin memiliki aksi sebagai insektida dan larvasida. Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehinga dinding traktus digetivus larva menjadi korosif (Aminah, et al., 2001).


(68)

Saponin akan menghasilkan gula dan sapogenin yang berfungsi menghemolisis sel darah merah, sebagai antifungi dan antimikroba, mengikat kolesterol (Robinson, 1995) dan menghambat pertumbuhan sel kanker (Davidson, 2004). Menurut Davidson (2004) pada konsentrasi tinggi saponin bersifat toksin.

2. Flavonoid

Flavonoid merupakan termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid sering terdapat di sel epidermis. Sebagian besar flavonoid terhimpun di vakuola sel tumbuhan walaupun tempat sintesisnya ada di luar vakuola (Yunilda, 2011).

Beberapa fungsi flavonoid bagi tumbuhan adalah pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, bekerja sebagai antimikroba dan antivirus, pertahanan tumbuhan terhadap serangga, fitoaleksin merupakan komponen abnormal yang hanya dibentuk sebagai tanggapan terhadap infeksi atau luka. Flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan pada tahap perkembangan serangga dan juga bersifat toksis (Dinata, 2009).


(69)

37

3. Zat lain

Daun legundi mengandung minyak atsiri yang tersusun dari seskuiterpen, terpenoid, senyawa ester, alkaloid (vitrisin), glikosida flavon (artemetin dan 7-desmetil artemetin) serta komponen nonflavonoid yang terdiri atas friedelin, β-sitosterol, glukosida, dan senyawa hidrokarbon (Agromedia, 2008; Sudarsono et al., 2002). Polifenol menurut Arif dan Sjamsudin (1995) bersifat korosif dan kaustik pada saluran pencernaan dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada serangga. Senyawa polifenol bersifat racun bagi serangga (insektisida) (Robinson, 1995). Serangga akan terganggu pada proses pergantian kulit, ataupun proses perubahan dari telur menjadi larva, atau dari larva menjadi pupa, atau dari pupa menjadi dewasa. Biasanya kegagalan dalam proses ini seringkali mengakibatkan kematian pada serangga (Aradilla, 2009).

D. Maserasi

Maserasi merupakan proses penyarian senyawa kimia secara sederhana dengan cara merendam simplisia atau tumbuhan pada suhu kamar dengan menggunakan pelarut yang sesuai sehingga bahan menjadi lunak dan larut. Penyarian zat-zat berkhasiat dari simplisia, baik simplisia dengan zat khasiat yang tidak tahan pemanasan. Sampel biasanya direndam selama 3-5 hari, sambil diaduk sesekali untuk mempercepat proses pelarutan komponen kimia yang terdapat dalam sampel.


(70)

Maserasi dilakukan dalam botol yang berwarna gelap dan ditempatkan pada tempat yang terlindung cahaya. Ekstraksi dilakukan berulang-ulang kali sehingga sampel terekstraksi secara sempurna yang ditandai dengan pelarut pada sampel berwarna bening. Sampel yang direndam dengan pelarut tadi disaring dengan kertas saring untuk mendapat maseratnya. Maseratnya dibebaskan dari pelarut dengan menguapkan secara in vacuo dengan Rotary Evaporator.

Kelebihan cara maserasi :

Alat dan cara yang digunakan sederhana

Dapat digunakan untuk zat yang tahan dan tidak tahan pemanasan.

Kelemahan cara maserasi :

Banyak pelarut yang terpakai Waktu yang dibutuhkan cukup lama


(1)

pertulangan menyirip, warna hijau. Legundi memiliki bunga majemuk, diujung cabang, bentuk malai, mahkota bentuk tabung, warna ungu dan berbunga sepanjang tahun. Buah batu, bentuk bola, diameter 2-5 mm dan warna cokelat.

Tumbuhan legundi ini dapat hidup pada dataran tinggi sampai 1000 m dpl , pada umumnya tumbuh liar pada daerah hutan jati, hutan sekunder, di tepi jalan, pematang sawah. Perbanyakan tanaman legundi dapat dilakukan dengan biji atau stek batang, jika menggunakan stek batang sebaiknya diambil dari batang yang tidak terlalu muda. Stek batang tersebut mudah sekali tumbuh dan akan mulai bertunas setelah 4-5 hari terhitung dari sejak penanaman. Tumbuhan ini mudah tumbuh di segala jenis tanah, namun lebih menyukai tempat yang agak kering dan pada daerah yang terbuka. Tumbuh dengan baik pada media tumbuh yang terdiri dari campuran pasir, pupuk kandang dan lempung (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006).

Gambar 7. Bunga Legundi


(2)

Gambar 8. Tanaman Legundi

(Sumber : USDA National Plant Database, 2006)

3. Manfaat Tanaman Legundi (Vitex trifolia)

Tumbuhan legundi (Vitex trifolia) merupakan tumbuhan yang tersebar cukup luas di Indonesia. Tanaman ini cukup banyak digunakan untuk pengobatan tradisional yang memiliki barbagai manfaat. Akarnya berguna untuk pencegah kehamilan dan berguna pengobatan pasca pesalinan. Bijinya dimanfaatkan sebagai penyegar badan dan perawatan rambut. Buahnya untuk obat cacing, peluruh haid. Daunnya dipakai untuk luka, diuretik, antipiretik, spasmolitik. Selain itu dilaporkan juga sebagai obat gatal, mencret dan sakit perut (Dalimartha, 2008; Agromedia, 2008; Hariana, 2008).


(3)

Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam tanaman adalah saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri (Warta, 2010).

1. Saponin

Saponin mengandung gugus gula terutama glukosa, galaktosa, xylosa, rhamnosa atau methilpentosa yang berikatan dengan suatu aglikon hidrofobik berupa triterpenoid, steroid atau steroid alkaloid. Ikatan triterpenoid saponin dapat mengandung satu atau lebih ikatan C-C tak jenuh. Rantai oligosakarida umumnya terikat pada posisi C3, tetapi beberapa saponin mempunyai gugus gula tambahan pada C26 atau C28.

Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadaan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan (Gunawan dan Mulyani, 2004). Saponin memiliki aksi sebagai insektida dan larvasida. Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehinga dinding traktus digetivus larva menjadi korosif (Aminah, et al., 2001).


(4)

Saponin akan menghasilkan gula dan sapogenin yang berfungsi menghemolisis sel darah merah, sebagai antifungi dan antimikroba, mengikat kolesterol (Robinson, 1995) dan menghambat pertumbuhan sel kanker (Davidson, 2004). Menurut Davidson (2004) pada konsentrasi tinggi saponin bersifat toksin.

2. Flavonoid

Flavonoid merupakan termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid sering terdapat di sel epidermis. Sebagian besar flavonoid terhimpun di vakuola sel tumbuhan walaupun tempat sintesisnya ada di luar vakuola (Yunilda, 2011).

Beberapa fungsi flavonoid bagi tumbuhan adalah pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, bekerja sebagai antimikroba dan antivirus, pertahanan tumbuhan terhadap serangga, fitoaleksin merupakan komponen abnormal yang hanya dibentuk sebagai tanggapan terhadap infeksi atau luka. Flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan pada tahap perkembangan serangga dan juga bersifat toksis (Dinata, 2009).


(5)

Daun legundi mengandung minyak atsiri yang tersusun dari seskuiterpen, terpenoid, senyawa ester, alkaloid (vitrisin), glikosida flavon (artemetin dan 7-desmetil artemetin) serta komponen nonflavonoid yang terdiri atas friedelin, β-sitosterol, glukosida, dan senyawa hidrokarbon (Agromedia, 2008; Sudarsono et al., 2002). Polifenol menurut Arif dan Sjamsudin (1995) bersifat korosif dan kaustik pada saluran pencernaan dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada serangga. Senyawa polifenol bersifat racun bagi serangga (insektisida) (Robinson, 1995). Serangga akan terganggu pada proses pergantian kulit, ataupun proses perubahan dari telur menjadi larva, atau dari larva menjadi pupa, atau dari pupa menjadi dewasa. Biasanya kegagalan dalam proses ini seringkali mengakibatkan kematian pada serangga (Aradilla, 2009).

D. Maserasi

Maserasi merupakan proses penyarian senyawa kimia secara sederhana dengan cara merendam simplisia atau tumbuhan pada suhu kamar dengan menggunakan pelarut yang sesuai sehingga bahan menjadi lunak dan larut. Penyarian zat-zat berkhasiat dari simplisia, baik simplisia dengan zat khasiat yang tidak tahan pemanasan. Sampel biasanya direndam selama 3-5 hari, sambil diaduk sesekali untuk mempercepat proses pelarutan komponen kimia yang terdapat dalam sampel.


(6)

Maserasi dilakukan dalam botol yang berwarna gelap dan ditempatkan pada tempat yang terlindung cahaya. Ekstraksi dilakukan berulang-ulang kali sehingga sampel terekstraksi secara sempurna yang ditandai dengan pelarut pada sampel berwarna bening. Sampel yang direndam dengan pelarut tadi disaring dengan kertas saring untuk mendapat maseratnya. Maseratnya dibebaskan dari pelarut dengan menguapkan secara in vacuo dengan Rotary Evaporator.

Kelebihan cara maserasi :

Alat dan cara yang digunakan sederhana

Dapat digunakan untuk zat yang tahan dan tidak tahan pemanasan.

Kelemahan cara maserasi :

Banyak pelarut yang terpakai Waktu yang dibutuhkan cukup lama