2
birokrasi  pada  umumnya.  Banyak  kasus menunjukkan bahwa PNS yang memasuki usia
pensiun dari berbagai aspek masih memenuhi syarat untuk bisa bekerja dengan baik. Hanya
karena  peraturan  pemerintah  sajalah  yang memaksa
mereka tidak
melanjutkan pengabdiannya.
Pada  15  Januari  2014  telah  disahkan Undang-Undang  Nomor  5    Tahun  2014
tentang Aparatur Sipil Negara ASN. UU itu antara  lain  mengatur  Batas  Usia  Pensiun
BUP  Pegawai  Negeri  Sipil  PNS. Satu
diantaranya  yang  paling  urgent  adalah ketentuan  Pasal  90  huruf  a  yang  menentukan
bahwa  “PNS  diberhentikan  dengan  hormat karena mencapai batas usia pensiun, yaitu 58
tahun  bagi Pejabat  Administrasi”.    Disebut
yang  paling  urgent  karena batas  usia  pensiun 58  tahun  tersebut  merupakan  ketentuan  yang
paling  awal  bagi  setiap  PNS  memasuki  masa pensiun  dalam  keadaan  normal  atau  tanpa
sebab  khusus.  Sebab  khusus  yang  dimaksud adalah  meninggal  dunia,    atas  permintaan
sendiri, perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini,
dan dinilai tidak cakap jasmani danatau rohani sehingga  tidak  dapat  menjalankan  tugas  dan
kewajibannya. Penelitian ini bermaksud ingin mengetahui
bagaimana Akseptabilitas
Substantif  Peraturan Batas Usia Pensiun PNS itu
di Lingkungan
Pemerintah Kota
Yogyakarta. Selain  BUP  yang  58  tahun  itu,  pasal
90 UU No. 5 Tahun 2014 itu juga menentukan 2  pengecualian  yaitu  BUP  untuk  Pejabat
Pimpinan  Tinggi  60  tahun  dan  BUP  pejabat fungsional ditentukan sesuai dengan ketentuan
peraturan    perundang-undangan  lain  yang berlaku.
Oleh karena
itu di
tingkat implementasi
terdapat banyak
variasi, diantaranya terlihat pada tabel 1.
Akibat  adanya  variasi  tersebut  maka dimungkinkan
munculnya ketidak-
harmonisan  suasana  hati  yang  dikalangan PNS, yaitu manakala mereka membandingkan
dan  menilainya  sebagai  bentuk  diskriminasi oleh si perancang dan pembuat kebijakan BUP
tersebut. Suasana yang tidak harmonis ini lebih sering bersifat latent daripada terbuka, karena
doktrin  birokrasi  yang    mengharuskan  PNS taat  pada  peraturan  per-UU-an  yang  berlaku.
Namun
demikian secara
substansial dampaknya  sudah  pasti,  yaitu  mempengaruhi
perilaku  produktif  PNS  yang  bersangkutan, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Berdasarkan  latar  belakang  inilah  maka  ide penelitian ini dikembangkan.
Tujuan dan Urgensi Penelitian Penelitian
ini bertujuan
: 1
Memahami  secara  lengkap  dan  mendalam akseptabilitas substantif  Peraturan Batas Usia
Pensiun  PNS  itu  di  Lingkungan  Pemerintah Kota  Yogyakarta;  2  Mengantisipasi  dan
mencegah
berubahnya potensi
masalah penerapan peraturan BUP itu menjadi masalah
nyata  dalam  bentuk  penurunan  produktivitas kerja  birokrasi  pemerintah  ;  3  Menyusun
bahan  asistensi  untuk  pemerintah  dalam menyusun  strategi  penerapan  peraturan  BUP
tersebut  di  lapangan.  Kesemuanya  itu bertujuan  agar  bisa  dicapai  peningkatan
efektifitas  dan  produktivitas  peraturan  BUP tersebut.
Prediksi  berubahnya  potensi  masalah menjadi  masalah  nyata  di  kemudian  hari
menyulut interpretasi
prediktif bahwa
peraturan BUP yang tingkat akseptabilitasnya rendah  tidak  akan  mampu  memberdayakan
SDM  birokrasi  secara  optimal.  Peraturan  ini tidak
akan berdampak
positip pada
peningkatan efektivitas,
efisiensi serta
peningkatan  produktivitas  kerja  organisasi pemerintahan  di  kelak  kemudian  hari.  Dalam
batas-batas  tertentu  pemberlakukan  peraturan BUP  yang  dipaksakan  justru  bisa  kontra-
produktif
atau menjadi
penghambat pelaksanaan  fungsi-fungsi  birokrasi  yang
ideal.  Dengan  penelitian  semacam  ini kekawatiran prediktif tersebut bisa diantisipasi
dan  dicegah  kehadirannya.  Inilah  urgensi penelitian ini.
2. KAJIAN LETERATUR
Pada  Pemerintah  di  semua  negara senantiasa  dituntut  meningkatkan  efektivitas,
efisiensi  dan  produktivitas  kerja  jajaran birokrasi-nya.  Banyak  cara  telah  diadopsi  di
lingkungan  birokrasi  pemerintahan.  Banyak bidang telah digarap untuk memenuhi tuntutan
birokrasi
tersebut, mencakup
bidang organisasi,  tata-kerja,  pengembangan  SDM,
dan  seterusnya  termasuk  penyempurnaan perangkat aturan untuk menjadi pedomannya.
Peraturan Batas Usia Pensiun BUK Pegawai Negeri  Sipil  yang  diformalkan  dalam
beberapa pasal  UU No. 5 Tahun 2014 kiranya
3
merupakan  salah  satu  kebijakan    yang ditujukan  untuk  itu.  Dalam  bab  ini  akan
diuraikan  konstruksi  penjelasan  teoritis  yang dikembangkan  untuk  menjawab  pertanyaan
dalam rumusan masalah di muka. Materi yang digunakan  diambil  dan  dikembangkan  dari
teori  birokrasinya  Weber,  teori  kebijakan publik dari Ripley 1985, teori Implementasi
Kebijakan publik dari Merilee Grendle 1991, Larson, Van Horn dan Mazmanian  Sabatier
1983.
  Pensiun dan Batas Usia Pensiun BUP Selama  kurun  waktu  lama  sebelum  terbitnya
UU  ASN  usia  pensiun  PNS  di  Indonesia berkisar  antara  56  sampai  dengan  70  tahun,
sedangkan  di  negara  barat  usia  pensiun  ada dalam kisaran lebih tinggi dari itu. Pada usia
pensiun  itu  secara  psikologi  perkembangan seseorang memasuki usia manula atau dewasa
akhir late adulthood. Orang Indonesia pada usia  pensiun  itu  pada  umumnya  masih  dapat
dikatakan
cukup produktif.
Meskipun kekuatan fisik seseorang pada masa ini mulai
menurun,  namun  pada  masa  inilah  seseorang mulai mencapai prestasi puncak baik itu karir,
pendidikan  dan  hubungan  interpersonal. Sebagai orang tua, pada umumnya mereka itu
masih mempunyai tanggung jawab mengasuh anak-anak  yang  masih  remaja  ataupun  yang
sudah  berkeluarga  namun  masih  belum mandiri. Sangat mudah dipahami bahwa pada
masa-masa  itu  sebenarnya  masih  banyak tantangan  bagi  PNS  untuk  memasuki  masa
pensiun  dengan  tanpa  masalah.  Terlebih  jika seorang  PNS  itu  masih  harus  membiayai
kuliah  anak-anak  mereka,  padahal  dengan status pensiun keadaan keuangan menurun.
Terdapat  beberapa  pengertian  terkait dengan  konsep  pensiun  dan    batas  usia
pensiun ini. Secara empiris maupun normatif pensiun  memiliki  arti  yang  berbeda-beda,
minimal  tidak  sama  persis.  Pandangan  dari kacamata
PNS sebagai
individu dan
pandangan dari kacamata PNS sebagai pejabat birokrasi saja menghasilkan pemahaman yang
berbeda. Secara normatif, jika seorang PNS itu diangkat menjadi pejabat birokrasi, ia dituntut
harus
menanggalkan kepentingan
pribadinya demi menjaga independensi untuk memperjuangkan  kepentingan  umum.  Tidak
boleh ada konflik kepentingan dalam konteks itu.  Sementara  itu  dalam  kenyataan  empiris
pada umumnya, tidak mungkin  seorang PNS itu
mampu menanggalkan
kepentingan pribadinya secara tuntas demi independensi
perjuangan  kepentingan  umum  tersebut. Apalagi  dalam  konteks  terkini  terdapat
perubahan dan
dinamika kehidupan
masyarakat  yang  besar,  hingga  berakibat meningkatnya  kebutuhan  pribadi  PNS  yang
bersangkutan. Pertanyaannya
adalah, mampukah  keduanya  berjalan  beriringan
melaksanakan ketentuan BUP baru dalam UU No.  5  Tahun  2015  tersebut  ?  Secara  lebih
operasional, mampukah regulasi BUP baru itu meningkatkan
efektivitas, efisiensi
dan produktivitas kerja organisasi pemerintah ?
Pertama, dari kacamata personal PNS, konsep  pensiun  ini  lazim  diartikan  sebagai
akhir  masa  kerja  seorang  PNS  dengan  hak pensiunnya.
Bila tanpa
hak pensiun
pengertiannya  tidak  disebut  dengan  istilah pensiun,
seperti pengunduran
diri, pemberhentian
dengan hormat
ataupun pemecatan.  Pengertian  pensiun  ini  juga
bermakna empiris
berakhirnya masa
pengabdian  seseorang  dalam  status  PNS dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya.
Dengan  berakhirnya  status  dan  jabatan tersebut maka berakhir pula gaji, honorarium
dan  berbagai  macam  tunjangan  jabatan  yang biasa  mereka  terima.    Dihentikannya  gaji,
honorarium dan berbagai macam tunjangan itu berarti pula turunnya besaran pendapatan yang
selama ini menopang kehidupan mereka. Oleh karena  itu,  bagi  sementara  personalia  PNS
masa  pensiun  ini  bisa  merupakan  keadaan yang mencemaskan
– bahkan menakutkan. Sebaliknya,  bisa  pula  masa  pensiun
ini  menjadi  sesuatu  yang  menyenangkan, menjadi  awal  hidup  baru  dengan  suasana
dan lingkungan
baru, serta
dengan pekerjaanpenghasilan yang baru pula.
Sering kali
masa pensiun
ini digunakan
sebagai kesempatan
untuk berpindah profesi ke bidang lain yang  lebih
sesuai  dengan hobby dan harapan lama yang terpendam,  profesi  yang  lebih  bergengsi
ataupun  pekerjaan  lain  yang  secara  finansial lebih  menjanjikan  penghasilan  lebih  besar,
atau  secara  sosial  lebih  terhormat  dan  lain sebagainya.  Banyak fakta bisa membuktikan
statemen teoritis ini. Setelah memasuki  masa pensiun,  pegawai  negeri
–  baik  PNS,  TNI maupun  Polri
–  langsung  aktif  bergabung dengan  partai  politik,  mencalonkan  diri
menjadi  Gubernur,  menjadi  BupatiWalikota,
4
menjadi  anggota  DPR,  bersedia  diangkat menjadi duta besar, menjadi menteri, menjadi
anggota dewan komisaris perusahaan, dan lain sebagainya.  Jadi  artinya  masa  pensiun  ini
bukan  berarti  berakhirnya  masa  produktif seseorang. Hanya karena faktor harus menaati
peraturan  per-UU-an  saja  seorang  PNS  itu harus  pensiun  dan  meninggalkan  struktur
birokrasi secara lebih awal.
Kedua,  dari  kacamata birokrasi
pemerintah yang
mewakili negara
memperjuangkan kepentingan publik, konsep pensiun
ini diberi
pengertian sebagai
pelaksanaan peraturan per-UU-an yang terkait dengan  pemberhentian  PNS  dengan  hak
pensiun. Pertimbangan utamanya adalah misi melaksanakan  norma  per-UU-an  itu,  bukan
pertimbangan
misi birokrasi
ingin menyelesaikan
masalah publik
yang dihadapinya.  Jadi  ada  perbedaan  motivasi
yang  sangat  mendasar  dan  substansial  di antara keduanya. Walau demikian, idealnya di
antara  keduanya  harus  seiring  dan  sejalan, saling
mendukung serta
tidak saling
bertentangan.    Dengan  kata  lain  pemecahan masalah  publik  oleh  aktor  birokrasi  harus
selalu  sesuai  dengan  peraturan  per-UU-an yang  berlaku.  Penyelesaian  masalah  publik
oleh aktor birokrasi yang bertentangan dengan hukum  positif  merupakan  tindakan  yang
illegal. Walaupun tindakan itu efektif, efisien dan  produktif  untuk  pemecahan  masalah
publik di mata semua pemangku kepentingan. Bilamana tindakan itu menimbulkan kerugian
negara dan menguntungkan individu birokrasi pelaksananya,  maka  hal  itu  lazim  disebut
dengan
istilah korupsi.
Singkatnya, pelaksanaan setiap peraturan per-UU-an harus
selalu  berdampak  menyelesaikan  masalah yang dituju, dan tidak menimbulkan masalah
baru.  Ketentuan  atau  regulasi  BUP  yang dituangkan  dalam  UU  No.  5  Tahun  2014  itu
merupakan  salah  satu  content  kebijakan publik  yang  harus  dilaksanakan  untuk
menyelesaikan  masalah  aparatur  negara  dan tidak
memunculkan masalah
baru di
lingkungannya. Ketentuan
regulatif BUP
yang dituangkan  dalam  UU  No.  5  Tahun  2014
tentang Aparatur Sipil Negara itu merupakan salah  satu  content  kebijakan  publik  tingkat
negara,  bersifat  major  dan  strategis.  Artinya, kebijakan  itu  mengatur  materi  berskala
nasional, berimplikasi luas pada  peningkatan beban  rakyat,  berimplikasi  pada  alokasi  pos
pengeluaran APBN
dan penggunaan
sumberdaya  publik  lainnya.  Oleh  karena  itu proses  penyusunan  UU  tersebut
– mulai dari artikulasi  ide,  perumusan,  pembahasan,
pengambilan  keputusan,  proses  legitimasi hingga ratifikasinya
– tidak hanya melibatkan lembaga  executive  atau  pemerintah  saja,
namun  juga  melibatkan  lembaga  legislative DPR.
Ketentuan  BUP  dalam  UU  ASN  ini diatur  dalam  pasal  87  dan  90.  Esensiya
berbunyi  bahwa  PNS  diberhentikan  dengan hormat  karena  mencapai  batas  usia  pensiun
Pasal  87 ayat 1 huruf c. Batas usia pensiun sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  87  ayat
1 huruf c itu ditentukan :
a. 58  lima  puluh  delapan  tahun  bagi
Pejabat Administrasi ; b.
60  enam  puluh  tahun  bagi  Pejabat Pimpinan Tinggi ;
c. Sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan bagi
Pejabat Fungsional.
Memang  disamping  alasan  telah  mencapai batas  usia  pensiun,  masih  ada  lagi  beberapa
alasan lain
yang dipergunakan,
yaitu meninggal  dunia,  atas  permintaan  sendiri
dengan  usia  dan  masa  kerja  tertentu, perampingan  organisasi  atau  kebijakan
pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini atau  dinilai  tidak  cakap  jasmani  danatau
rohani  sehingga  tidak  dapat  menjalankan tugas dan kewajibannya. Namun alasan-alasan
lain  itu  kebanyakan  bersifat  forcemajor yang  tidak  bisa  diprediksi  oleh  PNS  yang
menjadi kelompok sasarannya.
Ketentuan-ketentuan itu
harus dilaksanakan oleh semua pihak yang menjadi
kelompok sasarannya.  Dalam kaitan ini PNS Pejabat  Administrasi  adalah  pihak  yang
menjadi  kelompok  sasaran  dan  sekaligus menjadi  kelompok  pelaksananya  Pasal  90.
Jadi  dalam  pelaksanaan  ketentuan  BUP  ini rawan  terjadi  konflik  kepentingan  antara
kepentingan  PNS  sebagai  individu    yang tergabung  dalam  kelompok  sasaran  dan
kepentingan  rakyatnegara  yang  hendak direalisir melalui implementasi peraturan BUP
tersebut  dan  dilaksanakan  oleh  pemerintah atau organisasi birokrasi.
Banyak  kemungkinan  bisa  terjadi. Posisi  kepentingan  individu  PNS
–  sebagai
5
kelompok  sasaran  atau  pihak  yang  diatur –
bisa  berjalan  seiring  dengan  kepentingan publikpemerintah  negara
–  sebagai  pihak yang  mengaturnya.  Namun  bisa  pula  terjadi,
kepentingan-kepentingan tersebut
tidak sejalan,  bahkan  bisa  bertentangan  satu  sama
lain.  Akibatnya,  berpotensi  memuncul-kan banyak  masalah  pada  tahap  implementasi
selanjutnya.  Bentuk  masalah  implementasi dan  tingkat  kesulitan  pemecahannya  sangat
bergantung  pada  kesesuaian  maksud,  tujuan dan kemampuan kebijakan itu mengakomodir
kepentingan-kepentingan
tersebut secara
berkeadilan. Kesesuaian
suitable antara
kepentingan  individu  dengan  kepentingan publikpeme-rintahnegara  yang  terkandung
dalam  kebijakan  tersebut  mutlak  diperlukan demi
tercapainya efektivitas
maksimal implementasi  kebijakan  tersebut.  Kesesuaian
itu  tercermin  dalam  tingkat  akseptabilitas substansial  acceptability  atau  penerimaan
individu  kelompok  sasaran  terhadap  materi regulasi dalam kebijakan tersebut able to be
agreed  on,  able  to  be  tolerated  or  allowed. Bilamana  tidak  tercapai  kesesuaian  antara
policy statute dengan kepentingan, keinginan dan harapan individu PNS kelompok sasaran
maka  tingkat  akseptabilitas  mereka  akan menurun.  Sebaliknya  sikap  resistensi  mereka
akan meningkat.
  Akseptabilitas  Substantif  UU  dalam  Kontek Birokrasi
Nilai  kepatuhan  pada  peraturan  per- UU-an  compliant dan nilai herarkhis dalam
organisasi  birokrasi  ideal  ala  Weber  sangat dijunjung  tinggi.  Misi  mengimplementasikan
peraturan  per-UU-an  dan  misi  menjalankan perintah  atasan  adalah  sumber  legitimasi
aktivitas birokrasi yang lebih utama daripada misi  memecahkan  masalah  publik  yang
dihadapi  di  lapangan.      Oleh  karena  itu perubahan  peraturan  yang  meng-intervensi
kepentingan  aparatur  birokrasi  itu
–  seperti halnya  perubahan  BUP  ini
–  sensitif  untuk dibicarakan.    Artikulasi  dan  aktualisasi  beda
pendapatketidak-setujuan –  apalagi
penolakan – pada sebuah peraturan per-UU-an
baru kebayakan bersifat internal saja, tertutup dan  tidak  muncul  di  permukaan  latent.
Nyaris tidak pernah terdengar berita ada PNS mengajukan  gugatan  ke  PTUN  ataupun
judicial review terhadap peraturan per-UU-an, meskipun
UU tersebut
kurang menguntungkan  dirinya.  Walaupun  tidak
menguntungkan, peraturan
itu tetap
dilaksanakan  pada  setiap  jenjang  hierarki organisasi  birokrasi.  Singkat  kata,  sesuai
model birokrasi ideal ala Weber, aparatur pada setiap  jenjang  organisasi  birokrasi  itu
tugasnya hanya menjalankan peraturan atau ketetapan  yang  sudah  dibuat  oleh  lembaga
legislatif regeling dan ketetapan yang sudah dibuat  oleh  pejabat  birokrasi  atasannya
beslissing. Artinya pula, tidak ada kreativitas yang  dibolehkan  menabrak  aturan  dan
perintah atasan yang sudah ditetapkan secara formal  tersebut,  walaupun  secara  nyata
kreativitas itu bisa lebih mampu memecahkan masalah publik di lapangan.
Bagaimana  kalau  kreativitas  itu datang dari pucuk struktur hierarki organisasi
birokrasi  ?  Berbicara  masalah  kreativitas birokrat  dalam  sistem  hierarki  birokrasi,
khususnya birokrat tingkat atas yang memiliki kewenangan  luas,  maka  netralisasi  birokrat
tersebut  diuji.  Dia  harus  mendasarkan  diri pada  peraturan  perundang-UU-an  dan  tetap
netral  di  atas  semua  kepentingan  subjektif individu  dan  kelompok  yang  ada.  Namun
demikian  birokrasi  memiliki  kewenangan melakukan  discretion,  yaitu  keleluasaan
membuat kebijakan manakala menemui kasus persoalan publik yang tidakbelum ada aturan
penyelesaiannya.
Melalui celah
inilah kreativitas
birokrasi mendapat
tempat. Selanjutnya
aparatur birokrasi
tingkat bawahan  wajib  melaksanakan  keputusan
diskresi tersebut secara hierarki. Persoalan baru muncul manakala ada
kepentingan  lain,  selain  kepentingan  publik, yang
mengganggu netralitas
birokrasi tersebut,  seperti  tekanan  dari  partai  politik,
masukan  dari  kelompok  kepentingan  dan kelompok  penekan,  dan  kepentingan  pribadi
aparat  birokrasi  itu  sendiri  dan  lain sebagainya.
Kreativitas birokrat
akan mengarah pada optimalisasi kepentingan siapa
yang  lebih  berkuasa  atau  kelompok  atau personal  yang  dominan  mempengaruhinya.
Dalam  konteks  penelitian  ini,  kepentingan individu PNS yang terkena dampak perubahan
BUP  itu,  yaitu  Pejabat  Administrasi,  yang patut  diduga  bisa  menjadi  faktor  yang
memperlancar
atau menghambat
implementasi  BUP  baru  tersebut,  tergantung pada tingkat akseptabilitas substansialnya.
6
Struktur penjelasan
pelaksanaan peraturan per-UU-an dalam kontek organisasi
birokrasi  di  atas  menghasilkan  proposisi sebagai berikut :
Akseptabilitas formal peraturan per-UU-an itu relatif
mudah terjaga,
sedangkan akseptabilitas
substansialnya  lebih  sulit didapatkan,
karena merupakan
respon individual,  bagian  inhern  dari  kebebasan
bersikap setiap individu birokrat. Oleh karena itu  akseptabilitas  substansial  ini  bisa  sangat
bervariasi,  tergantung  pada  seberapa  besar kemampuan
peraturan per-UU-an
itu mengakomodasi
kepentingan individu-
individu  tersebut.  Jadi  artinya,  substansi norma regulatif peraturan per-UU-an itu bisa
diterima  dan    bisa  pula  ditolaknya.  Idealnya, tingkat
akseptabilitas formal
dan substansialnya itu sama-sama tinggi. Bila hal
ini  terwujud  maka  pada  tahap  implementasi berikutnya  akan  mendapatkan  dukungan
maksimal dari
semua individu
yang menerima. Artinya tidak akan muncul masalah
yang  terkait  dengan  variabel  ini.  Kondisi seperti  ini  sangat  ideal  dan  menjadi  harapan
semua  pihak.  Namun  sebaliknya,  apabila akseptabilitasnya substansialnya rendah, maka
akseptabilitas  formalnya  akan  cenderung bersifat  formalitas  belaka.  Pada  kondisi
seperti  ini  tingkat  kepatuhan  cenderung bersifat
semu, perilaku
pelaksananya cenderung bersifat mekanistis atau prosedural
belaka.  Para  pelaksana  hanya  sekadar menjalankan  peraturan  saja,  tidak  peduli
apakah pelaksanaan aturan itu efektif, efisien, berkeadilan  dan  produktif  bagi  pemecahan
masalah publik yang dituju oleh peraturan per- UU-an  itu  atau  tidak.  Improvisasi  nilai  dan
norma  perilaku  akan  beku  dan  seolah-olah mati. Norma yang sifatnya soft tidak tertulis
– yang sifatnya memang tidak bisa ditulis secara
definitif – seperti nilai kewajaran, nilai etika,
konvensi, karakteristik
khusus kasus
persoalan  publik  yang  dihadapi,  nilai-nilai kearifan  lokal  dan  lain  sebagainya  tidak
digunakan  sebagai  pertimbangan  dalam menjalankan tugas-tugas birokrasi.
Keadaan bisa menjadi lebih parah lagi manakala di tubuh birokrasi itu sendiri
– yang seharusnya
netral kepentingan
– terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan
lain  yang  disusupkan  oleh  pihak  tertentu, seperti  partai  politik,  kelompok  kepentingan
interest group, kelompok penekan pressure group, ataupun individu aparatur birokrasi itu
sendiri.  Dengan  kontaminasi  itu,  birokrasi akan
tidak efektif
mengakomodasi kepentingan umum dan berubah menjadi alat
kekuasaan,  alat  politik  danatau  alat  bagi individu  birokrat  yang  berpengaruh  untuk
memperjuangkan kepentingannya.
Dari  penjelasan  di  atas  dapat  ditarik makna
bahwa kebijakan
publik yang
mengandung perdebatan
pendapat debatable,
mengandung perbedaan
kepentingan  conflict  of  interest  dan    tidak mampu  mengakomodasi  dan  menyatukan
banyak  kepentingan  yang  terlibat  maka tingkat  acceptability-nya  akan  rendah  pula
– minimal  tidak  diterima  sepenuhnya  oleh
pejabat  birokrasi  pelaksana  dan  oleh kelompok  sasarannya.  Oleh  karena  itu
efektivitas  implementasinya  bisa  diprediksi tidak  akan  maksimal.  Maksud,  tujuan  dan
bahkan
semangat kebijakan
yang diimplementasikan tidak akan tercapai sesuai
dengan yang diharapkan para pembuatnya. Dari  aspek  proses  implementasinya,
substansi  kebijakan  yang  masih  dalam perdebatan
– terbuka maupun latent – itu akan dilaksanakan  tidak  dengan  sepenuh  hati.
Dalam  kondisi  seperti  ini  tidak  akan  tumbuh semangat  memecahkan  realitas  masalah
publik sasaran kebijakan tersebut secara lebih efektif dan lebih efisien. Kegiatan pelaksanaan
cenderung  minimalis,  mengalir  hanya sekedar melaksanakan aturan tertulis sebagai
tugas  normatif  birokrat  saja.  Proses  ini  bisa menjadi
indikator yang
menunjukkan produktivitas  aparatur  birokrasi  itu  stagnant,
tidak meningkat, dan bahkan bisa menurun.   Harmoni Kepentingan sebagai Faktor
Determinan Akseptabilitas Substantif UU Berdasarkan
logika deduktif
hubungan  sebab-akibat  yang  terurai  di  atas, dapat  ditarik  kesimpulan  tentatif  bahwa
rendahnya  akseptabilitas  substansial  contents UU
itu ditentukan
oleh banyaknya
kepentingan  yang  tidak  harmonis  dan  tidak terakomodasi  oleh  kebijakan  itu  sendiri.
Semakin  banyak  kepentingan  yang  tidak terakomodasi
maka semakin
besar kemungkinan  ketidak-harmonis  hubungan
terjadi, yaitu antara UU itu dengan kelompok kepentingan
yang menjadi
sasarannya. Dengan
demikian dukungan
terhadap
7
implementasi  kebijakan  tersebut  cenderung menurun.  Sejalan  dengan  itu  semakin  besar
kemungkinan munculnya
perdebatan mempersoalkan  efektivitas  pasal-pasal  dalam
peraturan perundang-undangan itu, bagaimana kemampuan  UU  itu  memecahkan  masalah
yang disasar, bagaimana UU itu menciptakan rasa
keadilan, menumbuhkan
semangat kebersamaan  dan  menumbuhkan  semangat
kerja  PNS,  dan  lain  sebagainya.  Dalam kondisi given yang  harus segera dilaksanakan,
yaitu  ketika  RUU  sudah  disetujui  DPR  dan sudah  disahkan  oleh  presiden,  maka  akan
berakibat  munculnya  masalah  derivatif  yang berupa    sikap  yang  tidak  mendukung  dan
banyaknya
perilaku terpaksa
dalam menjalankan  tugas  demi  ketaatan  pada
peraturan  perundang-UU-an  dan  perintah atasan  khas  birokrasi.  Demikianlah  maka
sudah barang
tentu semangat
dan produktivitas  aparatur  birokrasi  menjadi
stagnant,  tidak  meningkat,  dan  bahkan menurun walau tidak melanggar UU.
  Perbedaan  Interpretasi  karena  Perbedaan Kepentingan
Keadaan yang lebih parah bisa terjadi bilamana  perbedaan kepentingan itu berlanjut
hingga  menyulut  perbedaan  interpretasi  di kalangan  mereka  yang  terlibat  dalam  proses
implementasi kebijakan.
Statemen ini
merupakan  generalisasi  bebas  dari  pendapat Charles  O.  John  yang  mengatakan  bahwa
setiap  kebijakan  publik  itu  akan  bias  pada kepentingan  si  arsitek  kebijakan  itu  sendiri
John : 1984. Dalam konteks kebijakan publik yang  sudah  given,  sebagaimana  pasal  90  UU
No. 5 Tahun 2014  ini, bias kepentingan akan terjadi  pada  pembuatan  kebijakan  di  tahap
implementasinya
yang sarat
dengan interpretasi substansi kebijakan awal tersebut.
Kepentingan adalah fungsi dari sikap, dan  selanjutnya  sikap  tersebut  tercermin
dalam  tindakan  yang  dilakukan  oleh  setiap orang  atau  lembaga.  Jadi  sikap  dan  tindakan
mereka  yang  terlibat  bisa  menjadi  faktor pendukung dan bisa juga justru menjadi faktor
penghambat proses implementasi. Tergantung pada  kepentingan  apa  yang  terkait  dengan
substansi  UU  itu.  Bilamana  dipandang merugikan,  penjabaran  pasal-pasal  dalam
UU itu akan cenderung bias
– lebih tepatnya dibiaskan
– ke arah optimalisasi kepentingan subjektif pelaksananya. Jadi ada kemungkinan
tidak  sesuai  dengan  maksud,  tujuan  dan semangat  si  pembuat  UU  yang  sudah  given
tersebut.  Statemen  bahwa  setiap  kebijakan publik  itu  akan  bias  pada  kepentingan  si
arsitek  kebijakan  itu  sendiri.  Akan  terjadi kapan  saja  dan  dimana  saja.  Tidak  mungkin
kebijakan  yang  dibuat  itu  nantinya  justru merugikan  kepentingan  aktor  pembuatnya
sendiri, kecuali ada tekanan atau kontrol dari pihak lain yang lebih berkuasa.
Terkait  dengan  pelaksanaan  regulasi BUP dalam  UU No. 5 Tahun 2014
– sebagai salah satu bentuk kebijakan publik
– rumusan materi  UU  itu  akan  diinterpretasikan  dan
dijabarkan sesuai
dengan kepentingan
subjektif  setiap  implementornya,  sementara itu kepentingan publik yang seharusnya lebih
dikedepankan  justru  terabaikan.  Namun, karena keterbatasan kodifikasi hukum positif,
maka  batasan  interpretasi  yang  subjektif  ini sering
kabur. Antara
tindakan memperjuangkan  kepentingannya  dengan
patuh  pada  aturan  hukum  sering  sulit dibedakan  dan    bersifat  abu-abu.  Dalam
konteks  ini  pemahaman  hanya  dengan pendekatan  hukum  formal  saja  sering
menemui kegagalan.  Hanya logika, etika dan moral  yang  dipahami  masyarakat  saja  yang
mampu membedakannya, namun hal ini sering tidak diakomodasi secara hukum. Sebaliknya,
kepentingan pribadi birokrat dan kepentingan lain yang  merasa dirugikan justru dimasukan
melalui  berbagai  celah  kelemahan  hukum positif  tersebut.  Bentuk  akomodasi  dari
kepentingan  ini  bisa  dimasukkan  dalam peraturan per-UU-an lain yang secara yuridis
tidak  melanggar  isi  kebijakan  yang  sudah given  tersebut.  Misalnya  dituangkan  dalam
UU  yang  lain,  RUU  perubahan  yang diusulkan,  Perpu,  PP,  Kepres,  Kepmen,  dan
peraturan pelaksana lainnya.
Berhadapan dengan
kepentingan partai  politik,  kelompok  kepentingan  dan
kelompok  penekan  dalam  masyarakat  dalam konteks  ini,  netralitas  birokrasi  menghadapi
ujian  berat.  Terkadang  birokrasi  sebagai lembaga, danataupun sebagai individu, susah
sekali  untuk  bertindak  netral  karena  desakan kepentingan-kepentingan itu.
Meminjam teori
perilaku dan
partisipasi  politik,  dimana  perilaku  politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan
dengan pembuatan
dan pelaksanaan
keputusan  politik  Surbakti,  1992,  maka
8
institusi  birokrasi,  yang  sebagian  besarnya isinya adalah para PNS, bisa dikatakan sebagai
salah  satu  aktor  dalam  proses  pembuatan kebijakan  politik  tersebut.  Dalam  kaitan  ini
yang  dimaksud  dengan  kebijakan  politik tersebut adalah UU No. 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara. Dirancang dan disusun dalam forum legislasi, disetujui oleh DPR dan
disahkan  oleh  Presiden  aktor  politik. Sedangkan  kelompok  sasaran  UU  itu  adalah
Aparatur Sipil Negara ASN sebagai institusi pelaksana  UU  dan  hampir  semua  keputusan
politik  pada  umumnya.  Demikianlah  maka birokrasi  pemerintah  dimana  saja  memiliki
peran  sentral  dalam  melaksanakan  peraturan per-UU-an semacam ini. Di sisi lain, peluang
melakukan  interpretasi
“lain” atau “berbeda” dengan  maksud,  tujuan  dan  semangat  si
pembauat UU itu – karena kepentingan yang
berbeda –  sangat  mudah  dilakukan.  Hal  ini
sangat rawan digunakan sebagai pintu masuk untuk mengakomodasi kepentingan lain yang
selama  kurun  waktu  sebelumnya  merasa terpinggirkan.
- Faktor-faktor yang Memepengaruhi
Keberhasilan Kebijakan Publik Terdapat  banyak  faktor  atau  variabel
yang bisa
mempengaruhi keberhasilan
kebijakan  publik  semacam  peraturan  BUP dalam  UU  No.  5  Tahun  2014  ini
–  lihat Gambar  1  di  bawah  ini  dan  beberapa  tabel
berikutnya. Menurut
Grindle 1980
efektivitas atau keberhasilan setiap kebijakan publik  itu  ditentukan  oleh  2  kelompok
variabel, yaitu
variabel-variabel yang
tergabung  di  dalam  kelompok  policy  content dan  kelompok    policy  context.  Lihat  gambar
berikut ini. Gambar 1 :
Kelompok Variabel yang mempengaruhi Keberhasilan Kebijakan Publik
Sumber : Grindle 1980 Selanjutnya  variabel  policy  content  itu  bisa
dijabarkan  lebih  lanjut  ke  dalam  variabel- variabel  yang  lebih  kongkrit,  yaitu  ketidak-
jelasan konsep yang dipakai dalam pasal-pasal kebijakan  tersebut  vague,  tujuan  yang  tidak
realistis,  kontradiksi  antara  policy  studs kebijakan  awal  dan  target  objectives,
Presisi  dan  kejelasan  sasaran,  dan  Teori hubungan sebab-akibat atau teori kausal yang
dipakai. Selengkapnya bisa dilihat dalam tabel rangkuman teori berikut ini
Variabel Kebijakan Policy content :
- Materi Kebijakan
- Variabel
Implementasi Kebijakan
Variabel Lingkungan
Kebijakan Policy context
Keberhasilan Kebijakan Publik
Merealisir Tujuannya
Peraturan Batas Usia Pensiun PNS
9
Variabel Kebijakan :
Variabel  Lingkungan context Implementasi :
Larson Edward
Mazmanian  Sabatier
Perubahan lingkungan ekonomi
Komunikasi 1.
Transisi 2.
Kejelasan 3.
Konsistensi 1.
Variasi hukum 2.
Perhatian media massa 3.
Dukungan publik 4.
Jumlah dukungan dan sumber daya
5. Dukungan “penguasa”
Sumber : Mazmanian  Sabatier 1983 : 22, dengan adaptasi penyajian Materi teori kebijakan tersebut di atas kiranya
bisa untuk menjelaskan tingkat akseptabilitas kebijakan  pembatasan  usia  pensiun  di
kalangan Pegawai Negeri Sipil yang menjadi obyek  penelitian  ini.  Dalam  pelaksanaan
penelitian  ini  nanti  teori  tersebut  akan dikembangkan  sedemikian  rupa  menjadi
instrumen
pengumpulan data
untuk mengetahui
tingkatan dan
format akseptabilitas
peraturan BUP
PNS di
lingkungan  Pemerintah  Kota  Yogyakarta. Akan  dijawab  juga  pertanyaan  apakah
penerimaan – atau penolakan – peraturan batas
usia  pensiun  itu  disebabkan  oleh  policy content yang kurang pas.
3. METODE PENELITIAN