KAJIAN LETERATUR ANALISIS PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA.

2 birokrasi pada umumnya. Banyak kasus menunjukkan bahwa PNS yang memasuki usia pensiun dari berbagai aspek masih memenuhi syarat untuk bisa bekerja dengan baik. Hanya karena peraturan pemerintah sajalah yang memaksa mereka tidak melanjutkan pengabdiannya. Pada 15 Januari 2014 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ASN. UU itu antara lain mengatur Batas Usia Pensiun BUP Pegawai Negeri Sipil PNS. Satu diantaranya yang paling urgent adalah ketentuan Pasal 90 huruf a yang menentukan bahwa “PNS diberhentikan dengan hormat karena mencapai batas usia pensiun, yaitu 58 tahun bagi Pejabat Administrasi”. Disebut yang paling urgent karena batas usia pensiun 58 tahun tersebut merupakan ketentuan yang paling awal bagi setiap PNS memasuki masa pensiun dalam keadaan normal atau tanpa sebab khusus. Sebab khusus yang dimaksud adalah meninggal dunia, atas permintaan sendiri, perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini, dan dinilai tidak cakap jasmani danatau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibannya. Penelitian ini bermaksud ingin mengetahui bagaimana Akseptabilitas Substantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS itu di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Selain BUP yang 58 tahun itu, pasal 90 UU No. 5 Tahun 2014 itu juga menentukan 2 pengecualian yaitu BUP untuk Pejabat Pimpinan Tinggi 60 tahun dan BUP pejabat fungsional ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Oleh karena itu di tingkat implementasi terdapat banyak variasi, diantaranya terlihat pada tabel 1. Akibat adanya variasi tersebut maka dimungkinkan munculnya ketidak- harmonisan suasana hati yang dikalangan PNS, yaitu manakala mereka membandingkan dan menilainya sebagai bentuk diskriminasi oleh si perancang dan pembuat kebijakan BUP tersebut. Suasana yang tidak harmonis ini lebih sering bersifat latent daripada terbuka, karena doktrin birokrasi yang mengharuskan PNS taat pada peraturan per-UU-an yang berlaku. Namun demikian secara substansial dampaknya sudah pasti, yaitu mempengaruhi perilaku produktif PNS yang bersangkutan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Berdasarkan latar belakang inilah maka ide penelitian ini dikembangkan. Tujuan dan Urgensi Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1 Memahami secara lengkap dan mendalam akseptabilitas substantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS itu di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta; 2 Mengantisipasi dan mencegah berubahnya potensi masalah penerapan peraturan BUP itu menjadi masalah nyata dalam bentuk penurunan produktivitas kerja birokrasi pemerintah ; 3 Menyusun bahan asistensi untuk pemerintah dalam menyusun strategi penerapan peraturan BUP tersebut di lapangan. Kesemuanya itu bertujuan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas dan produktivitas peraturan BUP tersebut. Prediksi berubahnya potensi masalah menjadi masalah nyata di kemudian hari menyulut interpretasi prediktif bahwa peraturan BUP yang tingkat akseptabilitasnya rendah tidak akan mampu memberdayakan SDM birokrasi secara optimal. Peraturan ini tidak akan berdampak positip pada peningkatan efektivitas, efisiensi serta peningkatan produktivitas kerja organisasi pemerintahan di kelak kemudian hari. Dalam batas-batas tertentu pemberlakukan peraturan BUP yang dipaksakan justru bisa kontra- produktif atau menjadi penghambat pelaksanaan fungsi-fungsi birokrasi yang ideal. Dengan penelitian semacam ini kekawatiran prediktif tersebut bisa diantisipasi dan dicegah kehadirannya. Inilah urgensi penelitian ini.

2. KAJIAN LETERATUR

Pada Pemerintah di semua negara senantiasa dituntut meningkatkan efektivitas, efisiensi dan produktivitas kerja jajaran birokrasi-nya. Banyak cara telah diadopsi di lingkungan birokrasi pemerintahan. Banyak bidang telah digarap untuk memenuhi tuntutan birokrasi tersebut, mencakup bidang organisasi, tata-kerja, pengembangan SDM, dan seterusnya termasuk penyempurnaan perangkat aturan untuk menjadi pedomannya. Peraturan Batas Usia Pensiun BUK Pegawai Negeri Sipil yang diformalkan dalam beberapa pasal UU No. 5 Tahun 2014 kiranya 3 merupakan salah satu kebijakan yang ditujukan untuk itu. Dalam bab ini akan diuraikan konstruksi penjelasan teoritis yang dikembangkan untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah di muka. Materi yang digunakan diambil dan dikembangkan dari teori birokrasinya Weber, teori kebijakan publik dari Ripley 1985, teori Implementasi Kebijakan publik dari Merilee Grendle 1991, Larson, Van Horn dan Mazmanian Sabatier 1983.  Pensiun dan Batas Usia Pensiun BUP Selama kurun waktu lama sebelum terbitnya UU ASN usia pensiun PNS di Indonesia berkisar antara 56 sampai dengan 70 tahun, sedangkan di negara barat usia pensiun ada dalam kisaran lebih tinggi dari itu. Pada usia pensiun itu secara psikologi perkembangan seseorang memasuki usia manula atau dewasa akhir late adulthood. Orang Indonesia pada usia pensiun itu pada umumnya masih dapat dikatakan cukup produktif. Meskipun kekuatan fisik seseorang pada masa ini mulai menurun, namun pada masa inilah seseorang mulai mencapai prestasi puncak baik itu karir, pendidikan dan hubungan interpersonal. Sebagai orang tua, pada umumnya mereka itu masih mempunyai tanggung jawab mengasuh anak-anak yang masih remaja ataupun yang sudah berkeluarga namun masih belum mandiri. Sangat mudah dipahami bahwa pada masa-masa itu sebenarnya masih banyak tantangan bagi PNS untuk memasuki masa pensiun dengan tanpa masalah. Terlebih jika seorang PNS itu masih harus membiayai kuliah anak-anak mereka, padahal dengan status pensiun keadaan keuangan menurun. Terdapat beberapa pengertian terkait dengan konsep pensiun dan batas usia pensiun ini. Secara empiris maupun normatif pensiun memiliki arti yang berbeda-beda, minimal tidak sama persis. Pandangan dari kacamata PNS sebagai individu dan pandangan dari kacamata PNS sebagai pejabat birokrasi saja menghasilkan pemahaman yang berbeda. Secara normatif, jika seorang PNS itu diangkat menjadi pejabat birokrasi, ia dituntut harus menanggalkan kepentingan pribadinya demi menjaga independensi untuk memperjuangkan kepentingan umum. Tidak boleh ada konflik kepentingan dalam konteks itu. Sementara itu dalam kenyataan empiris pada umumnya, tidak mungkin seorang PNS itu mampu menanggalkan kepentingan pribadinya secara tuntas demi independensi perjuangan kepentingan umum tersebut. Apalagi dalam konteks terkini terdapat perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat yang besar, hingga berakibat meningkatnya kebutuhan pribadi PNS yang bersangkutan. Pertanyaannya adalah, mampukah keduanya berjalan beriringan melaksanakan ketentuan BUP baru dalam UU No. 5 Tahun 2015 tersebut ? Secara lebih operasional, mampukah regulasi BUP baru itu meningkatkan efektivitas, efisiensi dan produktivitas kerja organisasi pemerintah ? Pertama, dari kacamata personal PNS, konsep pensiun ini lazim diartikan sebagai akhir masa kerja seorang PNS dengan hak pensiunnya. Bila tanpa hak pensiun pengertiannya tidak disebut dengan istilah pensiun, seperti pengunduran diri, pemberhentian dengan hormat ataupun pemecatan. Pengertian pensiun ini juga bermakna empiris berakhirnya masa pengabdian seseorang dalam status PNS dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dengan berakhirnya status dan jabatan tersebut maka berakhir pula gaji, honorarium dan berbagai macam tunjangan jabatan yang biasa mereka terima. Dihentikannya gaji, honorarium dan berbagai macam tunjangan itu berarti pula turunnya besaran pendapatan yang selama ini menopang kehidupan mereka. Oleh karena itu, bagi sementara personalia PNS masa pensiun ini bisa merupakan keadaan yang mencemaskan – bahkan menakutkan. Sebaliknya, bisa pula masa pensiun ini menjadi sesuatu yang menyenangkan, menjadi awal hidup baru dengan suasana dan lingkungan baru, serta dengan pekerjaanpenghasilan yang baru pula. Sering kali masa pensiun ini digunakan sebagai kesempatan untuk berpindah profesi ke bidang lain yang lebih sesuai dengan hobby dan harapan lama yang terpendam, profesi yang lebih bergengsi ataupun pekerjaan lain yang secara finansial lebih menjanjikan penghasilan lebih besar, atau secara sosial lebih terhormat dan lain sebagainya. Banyak fakta bisa membuktikan statemen teoritis ini. Setelah memasuki masa pensiun, pegawai negeri – baik PNS, TNI maupun Polri – langsung aktif bergabung dengan partai politik, mencalonkan diri menjadi Gubernur, menjadi BupatiWalikota, 4 menjadi anggota DPR, bersedia diangkat menjadi duta besar, menjadi menteri, menjadi anggota dewan komisaris perusahaan, dan lain sebagainya. Jadi artinya masa pensiun ini bukan berarti berakhirnya masa produktif seseorang. Hanya karena faktor harus menaati peraturan per-UU-an saja seorang PNS itu harus pensiun dan meninggalkan struktur birokrasi secara lebih awal. Kedua, dari kacamata birokrasi pemerintah yang mewakili negara memperjuangkan kepentingan publik, konsep pensiun ini diberi pengertian sebagai pelaksanaan peraturan per-UU-an yang terkait dengan pemberhentian PNS dengan hak pensiun. Pertimbangan utamanya adalah misi melaksanakan norma per-UU-an itu, bukan pertimbangan misi birokrasi ingin menyelesaikan masalah publik yang dihadapinya. Jadi ada perbedaan motivasi yang sangat mendasar dan substansial di antara keduanya. Walau demikian, idealnya di antara keduanya harus seiring dan sejalan, saling mendukung serta tidak saling bertentangan. Dengan kata lain pemecahan masalah publik oleh aktor birokrasi harus selalu sesuai dengan peraturan per-UU-an yang berlaku. Penyelesaian masalah publik oleh aktor birokrasi yang bertentangan dengan hukum positif merupakan tindakan yang illegal. Walaupun tindakan itu efektif, efisien dan produktif untuk pemecahan masalah publik di mata semua pemangku kepentingan. Bilamana tindakan itu menimbulkan kerugian negara dan menguntungkan individu birokrasi pelaksananya, maka hal itu lazim disebut dengan istilah korupsi. Singkatnya, pelaksanaan setiap peraturan per-UU-an harus selalu berdampak menyelesaikan masalah yang dituju, dan tidak menimbulkan masalah baru. Ketentuan atau regulasi BUP yang dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 itu merupakan salah satu content kebijakan publik yang harus dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah aparatur negara dan tidak memunculkan masalah baru di lingkungannya. Ketentuan regulatif BUP yang dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara itu merupakan salah satu content kebijakan publik tingkat negara, bersifat major dan strategis. Artinya, kebijakan itu mengatur materi berskala nasional, berimplikasi luas pada peningkatan beban rakyat, berimplikasi pada alokasi pos pengeluaran APBN dan penggunaan sumberdaya publik lainnya. Oleh karena itu proses penyusunan UU tersebut – mulai dari artikulasi ide, perumusan, pembahasan, pengambilan keputusan, proses legitimasi hingga ratifikasinya – tidak hanya melibatkan lembaga executive atau pemerintah saja, namun juga melibatkan lembaga legislative DPR. Ketentuan BUP dalam UU ASN ini diatur dalam pasal 87 dan 90. Esensiya berbunyi bahwa PNS diberhentikan dengan hormat karena mencapai batas usia pensiun Pasal 87 ayat 1 huruf c. Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat 1 huruf c itu ditentukan : a. 58 lima puluh delapan tahun bagi Pejabat Administrasi ; b. 60 enam puluh tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi ; c. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat Fungsional. Memang disamping alasan telah mencapai batas usia pensiun, masih ada lagi beberapa alasan lain yang dipergunakan, yaitu meninggal dunia, atas permintaan sendiri dengan usia dan masa kerja tertentu, perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini atau dinilai tidak cakap jasmani danatau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibannya. Namun alasan-alasan lain itu kebanyakan bersifat forcemajor yang tidak bisa diprediksi oleh PNS yang menjadi kelompok sasarannya. Ketentuan-ketentuan itu harus dilaksanakan oleh semua pihak yang menjadi kelompok sasarannya. Dalam kaitan ini PNS Pejabat Administrasi adalah pihak yang menjadi kelompok sasaran dan sekaligus menjadi kelompok pelaksananya Pasal 90. Jadi dalam pelaksanaan ketentuan BUP ini rawan terjadi konflik kepentingan antara kepentingan PNS sebagai individu yang tergabung dalam kelompok sasaran dan kepentingan rakyatnegara yang hendak direalisir melalui implementasi peraturan BUP tersebut dan dilaksanakan oleh pemerintah atau organisasi birokrasi. Banyak kemungkinan bisa terjadi. Posisi kepentingan individu PNS – sebagai 5 kelompok sasaran atau pihak yang diatur – bisa berjalan seiring dengan kepentingan publikpemerintah negara – sebagai pihak yang mengaturnya. Namun bisa pula terjadi, kepentingan-kepentingan tersebut tidak sejalan, bahkan bisa bertentangan satu sama lain. Akibatnya, berpotensi memuncul-kan banyak masalah pada tahap implementasi selanjutnya. Bentuk masalah implementasi dan tingkat kesulitan pemecahannya sangat bergantung pada kesesuaian maksud, tujuan dan kemampuan kebijakan itu mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut secara berkeadilan. Kesesuaian suitable antara kepentingan individu dengan kepentingan publikpeme-rintahnegara yang terkandung dalam kebijakan tersebut mutlak diperlukan demi tercapainya efektivitas maksimal implementasi kebijakan tersebut. Kesesuaian itu tercermin dalam tingkat akseptabilitas substansial acceptability atau penerimaan individu kelompok sasaran terhadap materi regulasi dalam kebijakan tersebut able to be agreed on, able to be tolerated or allowed. Bilamana tidak tercapai kesesuaian antara policy statute dengan kepentingan, keinginan dan harapan individu PNS kelompok sasaran maka tingkat akseptabilitas mereka akan menurun. Sebaliknya sikap resistensi mereka akan meningkat.  Akseptabilitas Substantif UU dalam Kontek Birokrasi Nilai kepatuhan pada peraturan per- UU-an compliant dan nilai herarkhis dalam organisasi birokrasi ideal ala Weber sangat dijunjung tinggi. Misi mengimplementasikan peraturan per-UU-an dan misi menjalankan perintah atasan adalah sumber legitimasi aktivitas birokrasi yang lebih utama daripada misi memecahkan masalah publik yang dihadapi di lapangan. Oleh karena itu perubahan peraturan yang meng-intervensi kepentingan aparatur birokrasi itu – seperti halnya perubahan BUP ini – sensitif untuk dibicarakan. Artikulasi dan aktualisasi beda pendapatketidak-setujuan – apalagi penolakan – pada sebuah peraturan per-UU-an baru kebayakan bersifat internal saja, tertutup dan tidak muncul di permukaan latent. Nyaris tidak pernah terdengar berita ada PNS mengajukan gugatan ke PTUN ataupun judicial review terhadap peraturan per-UU-an, meskipun UU tersebut kurang menguntungkan dirinya. Walaupun tidak menguntungkan, peraturan itu tetap dilaksanakan pada setiap jenjang hierarki organisasi birokrasi. Singkat kata, sesuai model birokrasi ideal ala Weber, aparatur pada setiap jenjang organisasi birokrasi itu tugasnya hanya menjalankan peraturan atau ketetapan yang sudah dibuat oleh lembaga legislatif regeling dan ketetapan yang sudah dibuat oleh pejabat birokrasi atasannya beslissing. Artinya pula, tidak ada kreativitas yang dibolehkan menabrak aturan dan perintah atasan yang sudah ditetapkan secara formal tersebut, walaupun secara nyata kreativitas itu bisa lebih mampu memecahkan masalah publik di lapangan. Bagaimana kalau kreativitas itu datang dari pucuk struktur hierarki organisasi birokrasi ? Berbicara masalah kreativitas birokrat dalam sistem hierarki birokrasi, khususnya birokrat tingkat atas yang memiliki kewenangan luas, maka netralisasi birokrat tersebut diuji. Dia harus mendasarkan diri pada peraturan perundang-UU-an dan tetap netral di atas semua kepentingan subjektif individu dan kelompok yang ada. Namun demikian birokrasi memiliki kewenangan melakukan discretion, yaitu keleluasaan membuat kebijakan manakala menemui kasus persoalan publik yang tidakbelum ada aturan penyelesaiannya. Melalui celah inilah kreativitas birokrasi mendapat tempat. Selanjutnya aparatur birokrasi tingkat bawahan wajib melaksanakan keputusan diskresi tersebut secara hierarki. Persoalan baru muncul manakala ada kepentingan lain, selain kepentingan publik, yang mengganggu netralitas birokrasi tersebut, seperti tekanan dari partai politik, masukan dari kelompok kepentingan dan kelompok penekan, dan kepentingan pribadi aparat birokrasi itu sendiri dan lain sebagainya. Kreativitas birokrat akan mengarah pada optimalisasi kepentingan siapa yang lebih berkuasa atau kelompok atau personal yang dominan mempengaruhinya. Dalam konteks penelitian ini, kepentingan individu PNS yang terkena dampak perubahan BUP itu, yaitu Pejabat Administrasi, yang patut diduga bisa menjadi faktor yang memperlancar atau menghambat implementasi BUP baru tersebut, tergantung pada tingkat akseptabilitas substansialnya. 6 Struktur penjelasan pelaksanaan peraturan per-UU-an dalam kontek organisasi birokrasi di atas menghasilkan proposisi sebagai berikut : Akseptabilitas formal peraturan per-UU-an itu relatif mudah terjaga, sedangkan akseptabilitas substansialnya lebih sulit didapatkan, karena merupakan respon individual, bagian inhern dari kebebasan bersikap setiap individu birokrat. Oleh karena itu akseptabilitas substansial ini bisa sangat bervariasi, tergantung pada seberapa besar kemampuan peraturan per-UU-an itu mengakomodasi kepentingan individu- individu tersebut. Jadi artinya, substansi norma regulatif peraturan per-UU-an itu bisa diterima dan bisa pula ditolaknya. Idealnya, tingkat akseptabilitas formal dan substansialnya itu sama-sama tinggi. Bila hal ini terwujud maka pada tahap implementasi berikutnya akan mendapatkan dukungan maksimal dari semua individu yang menerima. Artinya tidak akan muncul masalah yang terkait dengan variabel ini. Kondisi seperti ini sangat ideal dan menjadi harapan semua pihak. Namun sebaliknya, apabila akseptabilitasnya substansialnya rendah, maka akseptabilitas formalnya akan cenderung bersifat formalitas belaka. Pada kondisi seperti ini tingkat kepatuhan cenderung bersifat semu, perilaku pelaksananya cenderung bersifat mekanistis atau prosedural belaka. Para pelaksana hanya sekadar menjalankan peraturan saja, tidak peduli apakah pelaksanaan aturan itu efektif, efisien, berkeadilan dan produktif bagi pemecahan masalah publik yang dituju oleh peraturan per- UU-an itu atau tidak. Improvisasi nilai dan norma perilaku akan beku dan seolah-olah mati. Norma yang sifatnya soft tidak tertulis – yang sifatnya memang tidak bisa ditulis secara definitif – seperti nilai kewajaran, nilai etika, konvensi, karakteristik khusus kasus persoalan publik yang dihadapi, nilai-nilai kearifan lokal dan lain sebagainya tidak digunakan sebagai pertimbangan dalam menjalankan tugas-tugas birokrasi. Keadaan bisa menjadi lebih parah lagi manakala di tubuh birokrasi itu sendiri – yang seharusnya netral kepentingan – terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan lain yang disusupkan oleh pihak tertentu, seperti partai politik, kelompok kepentingan interest group, kelompok penekan pressure group, ataupun individu aparatur birokrasi itu sendiri. Dengan kontaminasi itu, birokrasi akan tidak efektif mengakomodasi kepentingan umum dan berubah menjadi alat kekuasaan, alat politik danatau alat bagi individu birokrat yang berpengaruh untuk memperjuangkan kepentingannya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik makna bahwa kebijakan publik yang mengandung perdebatan pendapat debatable, mengandung perbedaan kepentingan conflict of interest dan tidak mampu mengakomodasi dan menyatukan banyak kepentingan yang terlibat maka tingkat acceptability-nya akan rendah pula – minimal tidak diterima sepenuhnya oleh pejabat birokrasi pelaksana dan oleh kelompok sasarannya. Oleh karena itu efektivitas implementasinya bisa diprediksi tidak akan maksimal. Maksud, tujuan dan bahkan semangat kebijakan yang diimplementasikan tidak akan tercapai sesuai dengan yang diharapkan para pembuatnya. Dari aspek proses implementasinya, substansi kebijakan yang masih dalam perdebatan – terbuka maupun latent – itu akan dilaksanakan tidak dengan sepenuh hati. Dalam kondisi seperti ini tidak akan tumbuh semangat memecahkan realitas masalah publik sasaran kebijakan tersebut secara lebih efektif dan lebih efisien. Kegiatan pelaksanaan cenderung minimalis, mengalir hanya sekedar melaksanakan aturan tertulis sebagai tugas normatif birokrat saja. Proses ini bisa menjadi indikator yang menunjukkan produktivitas aparatur birokrasi itu stagnant, tidak meningkat, dan bahkan bisa menurun.  Harmoni Kepentingan sebagai Faktor Determinan Akseptabilitas Substantif UU Berdasarkan logika deduktif hubungan sebab-akibat yang terurai di atas, dapat ditarik kesimpulan tentatif bahwa rendahnya akseptabilitas substansial contents UU itu ditentukan oleh banyaknya kepentingan yang tidak harmonis dan tidak terakomodasi oleh kebijakan itu sendiri. Semakin banyak kepentingan yang tidak terakomodasi maka semakin besar kemungkinan ketidak-harmonis hubungan terjadi, yaitu antara UU itu dengan kelompok kepentingan yang menjadi sasarannya. Dengan demikian dukungan terhadap 7 implementasi kebijakan tersebut cenderung menurun. Sejalan dengan itu semakin besar kemungkinan munculnya perdebatan mempersoalkan efektivitas pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan itu, bagaimana kemampuan UU itu memecahkan masalah yang disasar, bagaimana UU itu menciptakan rasa keadilan, menumbuhkan semangat kebersamaan dan menumbuhkan semangat kerja PNS, dan lain sebagainya. Dalam kondisi given yang harus segera dilaksanakan, yaitu ketika RUU sudah disetujui DPR dan sudah disahkan oleh presiden, maka akan berakibat munculnya masalah derivatif yang berupa sikap yang tidak mendukung dan banyaknya perilaku terpaksa dalam menjalankan tugas demi ketaatan pada peraturan perundang-UU-an dan perintah atasan khas birokrasi. Demikianlah maka sudah barang tentu semangat dan produktivitas aparatur birokrasi menjadi stagnant, tidak meningkat, dan bahkan menurun walau tidak melanggar UU.  Perbedaan Interpretasi karena Perbedaan Kepentingan Keadaan yang lebih parah bisa terjadi bilamana perbedaan kepentingan itu berlanjut hingga menyulut perbedaan interpretasi di kalangan mereka yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan. Statemen ini merupakan generalisasi bebas dari pendapat Charles O. John yang mengatakan bahwa setiap kebijakan publik itu akan bias pada kepentingan si arsitek kebijakan itu sendiri John : 1984. Dalam konteks kebijakan publik yang sudah given, sebagaimana pasal 90 UU No. 5 Tahun 2014 ini, bias kepentingan akan terjadi pada pembuatan kebijakan di tahap implementasinya yang sarat dengan interpretasi substansi kebijakan awal tersebut. Kepentingan adalah fungsi dari sikap, dan selanjutnya sikap tersebut tercermin dalam tindakan yang dilakukan oleh setiap orang atau lembaga. Jadi sikap dan tindakan mereka yang terlibat bisa menjadi faktor pendukung dan bisa juga justru menjadi faktor penghambat proses implementasi. Tergantung pada kepentingan apa yang terkait dengan substansi UU itu. Bilamana dipandang merugikan, penjabaran pasal-pasal dalam UU itu akan cenderung bias – lebih tepatnya dibiaskan – ke arah optimalisasi kepentingan subjektif pelaksananya. Jadi ada kemungkinan tidak sesuai dengan maksud, tujuan dan semangat si pembuat UU yang sudah given tersebut. Statemen bahwa setiap kebijakan publik itu akan bias pada kepentingan si arsitek kebijakan itu sendiri. Akan terjadi kapan saja dan dimana saja. Tidak mungkin kebijakan yang dibuat itu nantinya justru merugikan kepentingan aktor pembuatnya sendiri, kecuali ada tekanan atau kontrol dari pihak lain yang lebih berkuasa. Terkait dengan pelaksanaan regulasi BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 – sebagai salah satu bentuk kebijakan publik – rumusan materi UU itu akan diinterpretasikan dan dijabarkan sesuai dengan kepentingan subjektif setiap implementornya, sementara itu kepentingan publik yang seharusnya lebih dikedepankan justru terabaikan. Namun, karena keterbatasan kodifikasi hukum positif, maka batasan interpretasi yang subjektif ini sering kabur. Antara tindakan memperjuangkan kepentingannya dengan patuh pada aturan hukum sering sulit dibedakan dan bersifat abu-abu. Dalam konteks ini pemahaman hanya dengan pendekatan hukum formal saja sering menemui kegagalan. Hanya logika, etika dan moral yang dipahami masyarakat saja yang mampu membedakannya, namun hal ini sering tidak diakomodasi secara hukum. Sebaliknya, kepentingan pribadi birokrat dan kepentingan lain yang merasa dirugikan justru dimasukan melalui berbagai celah kelemahan hukum positif tersebut. Bentuk akomodasi dari kepentingan ini bisa dimasukkan dalam peraturan per-UU-an lain yang secara yuridis tidak melanggar isi kebijakan yang sudah given tersebut. Misalnya dituangkan dalam UU yang lain, RUU perubahan yang diusulkan, Perpu, PP, Kepres, Kepmen, dan peraturan pelaksana lainnya. Berhadapan dengan kepentingan partai politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan dalam masyarakat dalam konteks ini, netralitas birokrasi menghadapi ujian berat. Terkadang birokrasi sebagai lembaga, danataupun sebagai individu, susah sekali untuk bertindak netral karena desakan kepentingan-kepentingan itu. Meminjam teori perilaku dan partisipasi politik, dimana perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Surbakti, 1992, maka 8 institusi birokrasi, yang sebagian besarnya isinya adalah para PNS, bisa dikatakan sebagai salah satu aktor dalam proses pembuatan kebijakan politik tersebut. Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan kebijakan politik tersebut adalah UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dirancang dan disusun dalam forum legislasi, disetujui oleh DPR dan disahkan oleh Presiden aktor politik. Sedangkan kelompok sasaran UU itu adalah Aparatur Sipil Negara ASN sebagai institusi pelaksana UU dan hampir semua keputusan politik pada umumnya. Demikianlah maka birokrasi pemerintah dimana saja memiliki peran sentral dalam melaksanakan peraturan per-UU-an semacam ini. Di sisi lain, peluang melakukan interpretasi “lain” atau “berbeda” dengan maksud, tujuan dan semangat si pembauat UU itu – karena kepentingan yang berbeda – sangat mudah dilakukan. Hal ini sangat rawan digunakan sebagai pintu masuk untuk mengakomodasi kepentingan lain yang selama kurun waktu sebelumnya merasa terpinggirkan. - Faktor-faktor yang Memepengaruhi Keberhasilan Kebijakan Publik Terdapat banyak faktor atau variabel yang bisa mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik semacam peraturan BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 ini – lihat Gambar 1 di bawah ini dan beberapa tabel berikutnya. Menurut Grindle 1980 efektivitas atau keberhasilan setiap kebijakan publik itu ditentukan oleh 2 kelompok variabel, yaitu variabel-variabel yang tergabung di dalam kelompok policy content dan kelompok policy context. Lihat gambar berikut ini. Gambar 1 : Kelompok Variabel yang mempengaruhi Keberhasilan Kebijakan Publik Sumber : Grindle 1980 Selanjutnya variabel policy content itu bisa dijabarkan lebih lanjut ke dalam variabel- variabel yang lebih kongkrit, yaitu ketidak- jelasan konsep yang dipakai dalam pasal-pasal kebijakan tersebut vague, tujuan yang tidak realistis, kontradiksi antara policy studs kebijakan awal dan target objectives, Presisi dan kejelasan sasaran, dan Teori hubungan sebab-akibat atau teori kausal yang dipakai. Selengkapnya bisa dilihat dalam tabel rangkuman teori berikut ini Variabel Kebijakan Policy content : - Materi Kebijakan - Variabel Implementasi Kebijakan Variabel Lingkungan Kebijakan Policy context Keberhasilan Kebijakan Publik Merealisir Tujuannya Peraturan Batas Usia Pensiun PNS 9 Variabel Kebijakan : Variabel Lingkungan context Implementasi : Larson Edward Mazmanian Sabatier Perubahan lingkungan ekonomi Komunikasi 1. Transisi 2. Kejelasan 3. Konsistensi 1. Variasi hukum 2. Perhatian media massa 3. Dukungan publik 4. Jumlah dukungan dan sumber daya 5. Dukungan “penguasa” Sumber : Mazmanian Sabatier 1983 : 22, dengan adaptasi penyajian Materi teori kebijakan tersebut di atas kiranya bisa untuk menjelaskan tingkat akseptabilitas kebijakan pembatasan usia pensiun di kalangan Pegawai Negeri Sipil yang menjadi obyek penelitian ini. Dalam pelaksanaan penelitian ini nanti teori tersebut akan dikembangkan sedemikian rupa menjadi instrumen pengumpulan data untuk mengetahui tingkatan dan format akseptabilitas peraturan BUP PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Akan dijawab juga pertanyaan apakah penerimaan – atau penolakan – peraturan batas usia pensiun itu disebabkan oleh policy content yang kurang pas.

3. METODE PENELITIAN