Analisis Degradasi Hutan Angkola Dengan Fungsi Ekologi Melalui Interpretasi Land Cover Provinsi Sumatera Utara

(1)

ANALISIS DEGRADASI HUTAN ANGKOLA

DENGAN FUNGSI EKOLOGI MELALUI INTREPRETASI

LAND COVER

PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

M. HASBY HASBOLLAH

097030037/BIO

PROGRAM PACASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

ANALISIS DEGRADASI HUTAN ANGKOLA

DENGAN FUNGSI EKOLOGI MELALUI INTREPRETASI

LAND COVER

PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Biologi pada Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Oleh

M. HASBY HASBOLLAH 097030037/BIO

PROGRAM PACASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

PENGESAHAN

Judul Tesis : ANALISIS DEGRADASI HUTAN ANGKOLA DENGAN FUNGSI EKOLOGI MELALUI INTREPRETASI LAND COVER PROVINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : M. HASBY HASBOLLAH

Nomor Induk Mahaiswa : 097030037

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I

(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D) NIP: 19590815 1986 011002

Pembimbing II

(Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc.) NIP: 19630123 1990 032001

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Syafrudin Ilyas, M.Biomed) (Dr. Sutarman, M.Sc.) NIP: 19660209 199203 1003 NIP: 196310261991031003


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

ANALISIS DEGRADASI HUTAN ANGKOLA DENGAN FUNGSI

EKOLOGI MELALUI INTREPRETASI

LAND COVER

PROVINSI SUMATERA UTARA

T E S I S

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, 29 September 2011

(M. Hasby Hasbollah) NIM. 097030037


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : M. HASBY HASBOLLAH

NIM : 097030037

Program Studi : Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul :

Analisis Degradasi Hutan Angkola Dengan Fungsi Ekologi Melalui Intrepretasi Land Cover Provinsi Sumatera Utara.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 29 September 2011


(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 29 September 2011

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : 1. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc. Ph.D Anggota : 2. Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc

3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si 4. Dr. Suci Rahayu, M.Si


(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap berikut gelar : Muhammad Hasby Hasbollah, S.Si Tempat dan Tanggal Lahir : Lombok, 16 Juni 1969

Alamat Rumah : Komplek Taman Permata Surya Blok B-9 Jl. Eka Surya, Deli Tua Medan 20355 Telepon/Faks/HP : +62813 61111 189

E-mail : hhasbullah@gmail.com Instansi Tempat Bekerja : YAPEKA

Alamat Kantor : Komplek Cimanggu City Blok U XI No.12 Bogor 16166

Telp/ Fax : 0251-7535327

DATA PENDIDIKAN

SD : SD Negeri 1 Jonggat, Lombok Tengah Tamat : 1982 SMP : SMP Negeri 2 Jonggat, Lombok Tengah Tamat : 1985 SMA : SMA Negeri 1 Praya, Lombok Tengah Tamat : 1988 Strata-1 : Universitas Nasional, Jakarta Tamat : 1996


(8)

Kerendahan Hati

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya Jadilah saja jalan kecil, Tetapi jalan setapak yang Membawa orang ke mata air Tidaklah semua menjadi kapten

tentu harus ada awak kapalnya….

Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu Jadilah saja dirimu…. Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat dan Karunia Nya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Dengan selesainya penelitian tesis ini yang berjudul “Analisis Degradasi Hutan Angkola Dengan Fungsi Ekologi Melalui Interpretasi Land Cover Provinsi Sumatera Utara ”, perkenankanlah kami mengucapkan terimakasih yang sebesar -besarnya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp. A(K) atas kesempatan yang diberikan kepada Saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister

Dekan Fakultas FMIPA Universitas Sumatera Utara, Dr. Sutarman, M.Sc atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Ketua Program Studi Magister Prof. Dr. Syafrudin Ilyas, M.Biomed, Sekretaris Program Studi Dr. Suci Rahayu, M.Si beserta seluruh staf pengajar pada Program Magister pada Program Pasca Sarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara.

Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc. Ph.D selaku Pembimbing utama yang dengan penuh perhatian dan telah memberikan dorongan, bimbingan dan semangat kepada penulis, demikian juga kepada Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. yang dengan penuh kesabaran menuntun dan membimbing penulis hingga selesainya penulisan tesis ini. Juga kepada Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si dan Dr. Suci Rahayu, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah memberi masukan dan saran pada penyempurnaan tesis ini.

Direktur Partnership Conservation International Bapak Iwan Widjayanto, atas dukungan data dan berbagai literatur guna penulisan tesis ini. Kepada Ir. Syahgiman Siregar Kepala Dinas Kehutanan Tapanuli Selatan dan staf yang membantu teknis lapangan di wilayah kerja. Kepada Cardi Riswandi, SP mewakili Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Mandailing Natal atas diskusi, rekomendasi dan asupan yang diberikan. Kepada M. Khairul Rizal, M.Si,; Reonald Syahrial (BPKH), Dedy Kiswayadi (FFI Aceh), Irsan Simanjuntak (Petra) yang membantu penulis dalam diskusi dan analisis peta, juga Fitri N. Chasanatun dan Subhan (BBKASDA SU), Suer Suryadi (SW&Patners), yang membantu data dan informasi kepada penulis serta Amri Yasin Nasution (Masyarakat Tapanuli Selatan) dan Darma yang menemani penulis di lapangan


(10)

Teristimewa istriku tersayang Silfi Iriani Hasby atas pengertian dan doanya selama penulis menyelesaikan studi dan syukur yang tak terhingga kepada Orang Tua kami tercinta H. Hasbullah dan Asiah (Alm.) serta kedua mertua M. Soleh dan Sulasmi, yang telah menyemangati dan mendoakan setiap langkah dan tindakan penulis dalam menyelesaikan studi dan tesis ini

Rekan-rekan sejawat pada Program Studi Biologi khususnya angkatan 2009, Program Pasca Sarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah mendorong dan memperkuat semangat penulis untuk menyelesaikan studi ini tepat waktunya

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ataupun penyajian tesis ini masih belum sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga karya ini bermanfaat bagi kehidupan serta perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di Sumatera Utara


(11)

ANALISIS DEGRADASI HUTAN ANGKOLA

DENGAN FUNGSI EKOLOGI MELALUI INTREPRETASI

LAND COVER PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian Analisis Degradasi Hutan Angkola dengan Fungsi Ekologi Melalui Intrepretasi Land cover Provinsi Sumatera Utara telah dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli tahun 2011 di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal. Dari hasil interpretasi penelitian ini ditemukan indikasi perubahan tutupan lahan kawasan ekosistem Angkola. Sejak tahun 1994 - 2009 telah terjadi degradasi terutama pada kawasan lahan kering yang terdegradasi mencapai 8.480,35 ha (6,58%) dan hutan rawa primer 7.943,92 ha (6,16%), dan terjadi penurunan luas kawasan rawa seluas 243,94 ha (0,19%). Hasil interpretasi land cover juga menemukan adanya peningkatan luas kawasan areal perkebunan kelapa sawit seluas 11.343,90 ha dan terjadi peningkatan luas lahan terbuka sejumlah 3.037,85 ha. Hasil

groundchek membuktikan bahwa terdapat 15 Perkebunan Kelapa Sawit yang berada di wilayah Areal Penggunaan Lain (APL), Hutan Produksi tetap dan Hutan Produksi Konversi. Terdapat 3 HPH dan 1 HTI yang beroperasi di kawasan Hutan Produksi Terbatas. Dari 15 perkebunan kelapa sawit itu berada pada ketinggian kurang dari 50 mdpl yaitu dalam posisi ekologi pada kawasan penyimpan dan pengatur tata air. Kawasan ekosistem Angkola memiliki sisa kawasan yang bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value) seluas 107.127,09 ha yang terdiri dari hutan lahan kering, hutan rawa, rawa dan hutan mangrove.

Kata Kunci : Ekosistem Angkola, Interpretasi Land Cover, Degradasi, High Conservation Value.


(12)

THE ANGKOLA F OREST DEGRADATION IN ECOLOGICAL ANALYSIS THROUGH LAND COVER INTERPRETATION OF NORTH SUMATRA

ABSTRACT

Research Analysis of Degradation Angkola with Ecological Function Through interpretation of Land Cover of North Sumatra has been conducted in March to July in 2011 in South Tapanuli and Mandailing Natal district. Interpretation of the results of this study found indications of changes in land cover area Angkola ecosystem. Since 1994-2009 there has been degradation, especially in areas of degraded dry lands forest reach 8480.35 ha (6.58%) and primary swamp forest ha 7943.92 (6.16%), and the decrease of forest area ha area of swamp 243.94 (0.19%). The results of the interpretation of land cover also found an increased area of oil palm plantation area 11.343.90 ha of land area and an increase in the open land area 3037, 85 ha. Ground check results prove that there are 15 Oil Palm Plantations in the areas Other Areas of Use (APL), Forests, Forest Production and Forest Production Conversion. There are 3 and 1 HTI concessions operating in the Limited Production Forest, of the 15 oil palm plantations were located at an altitude of less than 50 meters above sea level that is in a position of ecology at regional water storage. Regions Angkola ecosystems have remaining areas of high conservation value (Hutan bernilai konservasi tinggi) area of 107,127.09 hectares of dry land forests, swamp forests, mangrove swamps and forests.

Key Words : Ecosystem Angkola, Interpretation Land Cover, Degradation, High


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB I

PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 4

1.5 Kerangka Fikir Teoritis Analisis Land Cover Penelitian 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1. Gambaran Umum Kondisi Hutan di Sumatera Utara 6 2.2. Degradasi dan Deforestasi di Indonesia 10

2.2.1. Pengertian Degradasi dan Deforestasi 11 2.2.2. Degradasi pada Periode Tahun 1950-1975 10 2.2.3. Degradasi pada Periode 1975-1990 12 2.2.4. Degradasi pada Periode 1990-1997 13 2.2.5. Degradasi pada Periode 1997 Hingga Usai Reformasi 13 2.3. Degradasi dan Deforestasi Hutan di Sumatera Utara 14 2.4. Kawasan Ekosistem Angkola di Sumatera Utara 15 2.5. Nilai Konservasi dan Fungsi Lindung Ekosistem Angkola 18

BAB III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN 22

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 22

3.2. Bahan dan Alat-alat Penelitian 22

3.3. Teknik Pengumpulan Data 23

3.3.1. Citra Satelit 23

3.3.2. Interpretasi Citra Landsat 7 ETM+ 23

3.3.3. Supervisi 24

3.4. Teknik Pengambilan Sampel dengan Observasi 24

3.5. Teknik Analisa Data 24

3.6. Metode Penelitian 24


(14)

a. Karakteristik Spasial 25

b. Karekteristik Spektral 25

c. Karekteristik Temporal 26

d. Interaksi Gelombang Elektromagnetik dengan obyek 26

e. Karekteristik Produk 27

3.6.2. Klasifikasi Multispektral 28 3.6.3. Klasifikasi Visual 28 3.6.4. Kerangka Pemikiran Metode Intepretasi yang Digunakan 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 32

4.1. Penutupan Lahan Kawasan Ekosistem Angkola 32

4.1.1. Peta Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola

Tahun 1994 32

4.1.2. Peta Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola

Tahun 2001 35

4.1.3. Peta Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola

Tahun 2005 38

4.1.4. Peta Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola

Tahun 2009 40

4.1.5. Perubahan Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola

Tahun 1994 – 2009 42

4.2. Faktor Penyebab Deforestasi Kawasan Hutan Ekosistem Angkola 45 4.2.1. Analisis Degradasi & Interpretasi melalui hasil Groundchek 45 4.2.2. Analisis Degradasi Hutan Ekosistem Angkola Tahun 1994,

2001, 2005 dan Tahun 2009 51

4.3. Penentuan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi 62

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 67

5.1. Kesimpulan 67

5.2. Saran 68

DAFTAR PUSTAKA 69


(15)

DAFTAR TABEL Nomor

Tabel J u d u l Halaman

2.1.1 Luas Kawasan Hutan per kabupaten di Sumatera Utara

berdasarkan SK Menhut No. 44 Tahun 2005 7 3.6.1 Tabel IFOV pada masing-masing saluran 25 3.6.2 Tabel Nama Gelombang dan Range Panjang

Gelombang pada masing-masing saluran 26 3.6.3 Tabel Interaksi Gelombang Elektromagnetik dengan

Obyek 26

3.6.4 Tabel Karakteristik Level Landsat 7 ETM 27 4.1.1 Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 1994 33 4.1.2 Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 2001 36 4.1.3 Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 2005 38 4.1.4 Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 2009 40 4.1.5 Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 1994,

2001, 2005 dan 2009 serta Perubahannya 42 4.2.1 Hasil Pengamatan Groundcheck di Lapangan 46 4.3.1 Prioritas Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Hutan


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar J u d u l Halaman

1.1.1 Kerangka Fikir Teoritis Analisis Land Cover 5 2.1.1 Peta Kawasan Hutan Sumatera Utara Tahun 2002 8 2.1.2 Peta Kawasan Hutan Sumatera Utara Tahun 2009 9 2.2.1 Grafik peningkatan luasan perkebunan sawit dan karet

1967-1997 13

4.1.1 Peta Interpretasi Landsat Tahun 1994 34 4.1.2 Peta Interpretasi Landsat Tahun 2001 37 4.1.3 Peta Interpretasi Landsat Tahun 2004 39 4.1.4 Peta Interpretasi Landsat Tahun 2009 41 4.1.5 Grafik Trend Laju Deforestrasi di Kawasan Ekosistem

Angkola 43

4.1.6 Grafik Tutupan Lahan pada Kawasan Hutan Ekosistem

Angkola 44

4.2.1 Peta Hasil Groudcheck di Lapangan 48 4.2.2. Peta keadaan topografi hutan angkola berdasarkan

ketinggian 49

4.2.3 Peta Degradasi Hutan Kawasan Ekosistem Angkola Tahun

1994 54

4.2.4 Peta Degradasi Hutan Kawasan Ekosistem Angkola Tahun

2001 55

4.2.5 Peta Degradasi Hutan Kawasan Ekosistem Angkola Tahun

2005 56

4.2.6 Peta Degradasi Hutan Kawasan Ekosistem Angkola Tahun

2009 57

4.2.7 Status Kawasan TGHK Paduserasi dengan RTRW Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2005 58

4.3.1. Peta prioritas kawasan bernilai konservasi tinggi untuk


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor J u d u l Halaman Lampiran

A Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan

Penggunaan Lahan L-1

B Kegiatan Selama Penelitian di Lakukan L-4 C Tabel keadaan topografi hutan angkola berdasarkan

Ketinggian L-6

D Surat Dukungan dari Pemerintah Kabupaten

Mandailing Natal L-7

E Surat Dukungan dari Pemerintah Kabupaten


(18)

ANALISIS DEGRADASI HUTAN ANGKOLA

DENGAN FUNGSI EKOLOGI MELALUI INTREPRETASI

LAND COVER PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian Analisis Degradasi Hutan Angkola dengan Fungsi Ekologi Melalui Intrepretasi Land cover Provinsi Sumatera Utara telah dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli tahun 2011 di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal. Dari hasil interpretasi penelitian ini ditemukan indikasi perubahan tutupan lahan kawasan ekosistem Angkola. Sejak tahun 1994 - 2009 telah terjadi degradasi terutama pada kawasan lahan kering yang terdegradasi mencapai 8.480,35 ha (6,58%) dan hutan rawa primer 7.943,92 ha (6,16%), dan terjadi penurunan luas kawasan rawa seluas 243,94 ha (0,19%). Hasil interpretasi land cover juga menemukan adanya peningkatan luas kawasan areal perkebunan kelapa sawit seluas 11.343,90 ha dan terjadi peningkatan luas lahan terbuka sejumlah 3.037,85 ha. Hasil

groundchek membuktikan bahwa terdapat 15 Perkebunan Kelapa Sawit yang berada di wilayah Areal Penggunaan Lain (APL), Hutan Produksi tetap dan Hutan Produksi Konversi. Terdapat 3 HPH dan 1 HTI yang beroperasi di kawasan Hutan Produksi Terbatas. Dari 15 perkebunan kelapa sawit itu berada pada ketinggian kurang dari 50 mdpl yaitu dalam posisi ekologi pada kawasan penyimpan dan pengatur tata air. Kawasan ekosistem Angkola memiliki sisa kawasan yang bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value) seluas 107.127,09 ha yang terdiri dari hutan lahan kering, hutan rawa, rawa dan hutan mangrove.

Kata Kunci : Ekosistem Angkola, Interpretasi Land Cover, Degradasi, High Conservation Value.


(19)

THE ANGKOLA F OREST DEGRADATION IN ECOLOGICAL ANALYSIS THROUGH LAND COVER INTERPRETATION OF NORTH SUMATRA

ABSTRACT

Research Analysis of Degradation Angkola with Ecological Function Through interpretation of Land Cover of North Sumatra has been conducted in March to July in 2011 in South Tapanuli and Mandailing Natal district. Interpretation of the results of this study found indications of changes in land cover area Angkola ecosystem. Since 1994-2009 there has been degradation, especially in areas of degraded dry lands forest reach 8480.35 ha (6.58%) and primary swamp forest ha 7943.92 (6.16%), and the decrease of forest area ha area of swamp 243.94 (0.19%). The results of the interpretation of land cover also found an increased area of oil palm plantation area 11.343.90 ha of land area and an increase in the open land area 3037, 85 ha. Ground check results prove that there are 15 Oil Palm Plantations in the areas Other Areas of Use (APL), Forests, Forest Production and Forest Production Conversion. There are 3 and 1 HTI concessions operating in the Limited Production Forest, of the 15 oil palm plantations were located at an altitude of less than 50 meters above sea level that is in a position of ecology at regional water storage. Regions Angkola ecosystems have remaining areas of high conservation value (Hutan bernilai konservasi tinggi) area of 107,127.09 hectares of dry land forests, swamp forests, mangrove swamps and forests.

Key Words : Ecosystem Angkola, Interpretation Land Cover, Degradation, High


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub dalam SK Menhut No. 44/Menhut-II/2005. Luasan kawasan hutan tersebut terbagi atas beberapa fungsi dan diklasifikasikan dengan luasan yang berbeda, yaitu: hutan dengan fungsi sebagai Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam seluas 447.070 ha, fungsi lindung seluas 1.297.330 ha, fungsi produksi terbatas dengan luas mencapai 879.270 ha, hutan produksi tetap seluas 3.689.360 ha, hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 52.760 ha. Secara keseluruhan luas kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki persentase mencapai 52,20% dari luas seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara yaitu 7.168.000 ha (Departemen Kehutanan, 2005).

Dari luasan kawasan hutan tersebut, berdasarkan dokumen Key Biodiversity Areas, hasil analisis dari Conservation International, LIPI, Departemen Kehutanan,

Fauna Flora International dan Wildlife Conservation Society, Universitas Andalas dan Universitas Syiah Kuala (Conservation Intertational et al. 2009) terdapat kawasan hutan yang kemudian disebut sebagai Kawasan Hutan Angkola. Kawasan ini secara geografis terletak antara 98046’ 47,2” - 99023’ 18,6” Bujur Timur dan 00 52’ 35,8” - 10 26’ 07,2” Lintang Utara, secara administratif berada dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal. Secara ekologis kawasan hutan ini memiliki bentang alam yang terpapar dalam


(21)

cakupan Daerah Aliran Sungai Batang Gadis dan Daerah Aliran Sungai Batang Angkola. Kawasan ekosistem hutan Angkola secara ekologis mewakili tipe ekosistem beragam, mulai dari lahan basah yang terdiri dari hutan rawa air tawar hingga hutan bakau, juga terdapat tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah dengan perbukitan mencapai 850 mdpl. Dalam kawasan ini terdapat dua danau yaitu Danau Siasis dan Danau Laut Bangko (Anonim, 2005).

Ekosistem Angkola memiliki vegetasi pohon khas tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah. Secara ekologi kawasan ekosistem Angkola memberikan manfaat bagi beragam spesies flora dan fauna sebagai habitatnya. Dengan sistem lingkungan biotik dan abiotik yang sedemikian, kawasan ini juga memberikan manfaat langsung berupa fungsi ekologi seperti manfaat sumber mata air, tata tanah dan udara bagi sekitar 264,108 jiwa yang penduduk di Kabupaten Tapanuli Selatan dan 386.596 jiwa di kabupaten yang tinggal di sekitar daya jangkau kawasan ekosistem Angkola.

Fungsi ekologi tersebut diduga akan mengalami penurunan drastis seiring dengan tingkat laju degradasi ekosistem hutan Angkola. Proses degradasi hutan yang menyebabkan hilangnya vegetasi pohon menjadikan fungsi hutan semakin tidak mampu menopang kebutuhan kehidupan, mulai dari krisis habitat, hingga pada taraf krisis plasma nutfah dan menurunnya fungsi ekologi yang dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup. Proses terjadinya degradasi kawasan hutan ekosistem Angkola dipicu oleh beberapa faktor yaitu; terjadinya penjarahan hutan terutama untuk produk kayu, alih fungsi hutan menjadi tempat berladang dan bertani (Anonim, 2005). Adanya aktifitas ini diduga mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah tutupan kawasan hutan yang memiliki konsekuensi logis terhadap penurunan fungsi kawasan hutan ekosistem Angkola


(22)

Dari kondisi tersebut, maka diperlukan upaya pengendalian dan penanggulangan terhadap sebab dan akibat yang memicu dan menyebabkan terjadinya degradasi.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan dengan kondisi nyata di kawasan ekosistem Angkola, terjadinya degradasi di kawasan itu dapat menyebabkan perubahan tutupan lahan kawasan ekosistem Angkola sehingga perlu dilakukan kajian dan analisis terhadap proses, beserta faktor-faktor aktual penyebab terjadinya degradasi di kawasan tersebut. Analisis dan kajian akan dilakukan melalui aspek tinjauan interpretasi Land Cover.

Degradasi secara ekologis memberikan dampak penurunan manfaat fungsi kawasan ekosistem terhadap sumber-sumber kehidupan. Apabila degradasi terjadi maka konsekuensi logis yang akan terjadi adalah penurunan kualitas fungsi ekologi, sehingga dalam rangkaian yang utuh dan komprehensif maka perlu pula dilakukan identifikasi terhadap fungsi ekologi yang terpengaruh oleh terjadinya degradasi di kawasan ekosistem Angkola.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk ;

1) Mengetahui kondisi tutupan kawasan hutan Angkola terkini secara aktual melalui interpretasi Land Cover.

2) Mengetahui perubahan dan faktor-faktor penyebab dominan terjadinya degradasi kawasan hutan ekosistem Angkola dalam rentang waktu 1994-2011. 3) Mengetahui sebaran kawasan ekosistem Angkola yang memiliki nilai

konservasi dan fungsi lindung melalui Penentuan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value).


(23)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat berupa;

1) Informasi aktual kondisi tutupan kawasan hutan Angkola sehingga dapat dipergunakan sebagai salah satu rujukan untuk upaya pengendalian dan penanggulangan akibat, sebab dan pemicu terjadinya degradasi di kawasan tersebut.

2) Memberikan informasi mengenai nilai dan fungsi hutan sebagai unsur ekosistem bagi makhluk hidup termasuk manusia sehingga hasil dari penelitian ini dapat berpartisipasi dalam hal peningkatan pemahaman dan pengertian masyarakat terhadap pentingnya upaya konservasi sumberdaya hutan beserta dengan upaya perlindungan dan pelestariannya.

1.5. Kerangka Fikir Teoritis Analisis Land Cover Penelitian

Tahapan proses teknis analisis Land Cover pada penelitian “Analisis Degradasi Hutan Angkola Dengan Fungsi Ekologi Melalui Interpretasi Land Cover Provinsi Sumatera utara” dilakukan pada ekosistem Angkola yang merupakan Key Biodiversity dan fungsi lindung bagi flora fauna di kawasan tersebut, selain itu juga sumber kebutuhan bagi masyarakat setempat. Namun, kondisi ekosistem Angkola mengalami tekanan dan ancaman serius berupa degradasi dan deforestasi kawasan sehingga terdapat faktor faktor sebab akibat dari degradasi kawasan ekosistem Angkola.

Terjadinya faktor-faktor yang mempengaruhi tutupan lahan dan fungsi lindung pada kawasan ekositem Angkola perlu analisis dan interpretasi land cover

melalui tahapan-tahapan yang konprehensif yang detail, sehingga hasilnya untuk mengetahui impilikasi terhadap fungsi ekologi di kawasan tersebut sehingga menghasilkan informasi terkini tentang tutupan hutan di kawasan Angkola. Jabaran kerangka fikir teoritis analisis Land Cover dapat dilihat pada Gambar 1.1.1.


(24)

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Kawasan Hutan di Sumatera Utara

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap (Undang Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Di Sumatera Utara luas kawasan tetap seluas 3.742.120 ha atau 52,20% dari seluruh luas Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas 7.168.000 ha, (Departemen Kehutanan, 2005).

Kawasan hutan dengan fungsi sosial, ekonomi dan ekologi yang dimilikinya tidak terbatas pada batas-batas administratif semata, namun kawasan hutan dengan fungsi ekologinya hanya dapat dibatas oleh batas-batas ekologis. Sehingga kawasan satu ekosistem hutan terkadang terpapar luas melintasi batas-batas kabupaten, bahkan provinsi. Di Sumatera Utara terdapat kawasan ekosistem hutan dengan komposisi: Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Suaka Alam (HSA). Hutan - hutan tersebut adalah segugusan ekosistem hutan yang terletak dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Utara dengan posisi geografis antara 980 50’ - 99018’ Bujur Timur dan 10 26’ - 10 56’ Lintang Utara. Kawasan gugusan ekosistem hutan ini mencapai luasan sekitar 148.570 ha. Kawasan hutan di


(26)

Provinsi Sumatera Utara tersebar di wilayah kabupaten dengan luasan berdasarkan fungsinya, dapat dilihat pada Tabel 2.1.1 berikut ini;

Tabel 2.1.1 Luas Kawasan Hutan per kabupaten di Sumatera Utara berdasarkan SK Menhut No. 44 Tahun 2005

Kabupaten Kawasan Lindung Kawasan Budidaya Jumlah

HK HL HPT HP HPK

Langkat 225.567,20 3.386,65 58.442,22 43.262,44 330.658,51

Deli Serdang 22.184,87 7.465 7.654,28 41.843,27 936.08 80.083,68

Karo 22.880,04 76.498,47 14.919,66 14.522,34 128.820,51

Dairi 0,00 60.463,89 61.701,31 12.802,83 137.968,03

Pakpak Bharat 5.657,00 45.163,61 71.303,81 10.740,66 132.865,08

Simalungun 2.031,41 27.668,09 10.841,74 98.200,48 138.741,72

Asahan 0,00 61.969,25 29.248,90 34.677,60 20.611,93 146.507,68

Labuhan Batu 2.076,31 86.353,17 43.276,17 135.827,70 1.993,00 270.156,35

Toba Samosir 23.800,00 122.084,08 17.708,10 16.781,40 180.373,58

Tapanuli Utara 1.834,76 47.771,52 95.436,36 88.853,00 233.895,64

Humbang Hasundutan 500,00 72.749,02 27.226,37 74.049,00 174.524,39

Tapanuli Tengah 0,00 54.975,11 51.896,19 7.666,41 114.537,71

Tapanuli Selatan 53.558,41 277.015,10 164.760,68 321.365,70 1.511,90 818.211,79 Mandailing Natal 108.000,00 120.675,05 164.572,51 18.204,22 411.451,78

Nias 0,00 80.836,68 26.063,01 4.759,97 7.739,06 11.398,72

Nias Selatan 8.350,00 71.469,76 22.753,14 75.205,44 19.968,03 197.746,37

Samosir 0,00 79.556,54 16.690,44 96.246,98

Serdang Bedagai 0,00 1.228,83 8.465,55 20.237,10 29.931,48

Jumlah 476.440,00 1.297.330,00 879.270,00 1.035.690,00 52.760,00 3.742.120,00

Sumber: SK Menhut No. 44 Tahun 2005

Apabila dilihat dalam konteks spasial maka kondisi tutupan lahan kawasan hutan di Sumatera Utara dengan luasan yang sedemikian mengalami perubahan, terdapat perbandingan kondisi tutupan hutan pada tahun 2002 dan Tahun 2009 yang tampak pada Gambar 2.1.1 dan 2.1.2


(27)

(28)

(29)

2.2. Degradasi dan Deforestasi di Indonesia 2.2.1. Pengertian Degradasi dan Deforestasi

Menurut Lamb (1994), degradasi difahami dengan beragam pengertian dalam pemikiran masyarakat Indonesia. Jika hutan telah mengalami kerusakan sampai pada titik dimana penebangan kayu maupun non kayu menyebabkan terhambatnya fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan. Ahli kehutanan lainnya, Oldeman (1992) menyebutkan bahwa degradasi adalah proses terjadinya penurunan kapasitas hutan dalam memberikan manfaat serta fungsinya dalam jangka waktu tertentu. Degradasi Hutan dalam perundangan di Indonesia diartikan dalam dua segmen. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 30 Tahun 2009 disebutkan bahwa degradasi adalah penurunan kuantitas dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Sementara itu, dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 8250/Kpts-II Tahun 2002 disebutkan bahwa degradasi adalah penurunan fungsi dan potensi hutan tersebut.

Secara bahasa kata Deforestasi adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan suatu kondisi saat luas areal hutan menunjukkan penurunan secara kualitas maupun kuantitas. Sementara itu, FAO (1990) dan World Bank (1990) menyatakan bahwa makna deforestasi adalah hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara. Sedangkan pengertian deforestasi dalam konteks perundangan di Indonesia disebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut No. 30 Tahun 2009). Sementara itu, Saharjo (1994) menyebutkan bahwa deforestasi bukan hanya kondisi dimana hilangnya tutupan hutan saja, namun deforestasi juga menyebabkan hilangnya ciri-ciri kelengkapan hutan (Forest attributes) seperti hal yang menyangkut kelebatan hutan, struktur hutan dan juga komposisi spesies.


(30)

2.2.2. Degradasi pada Periode Tahun 1950-1975

Pengelolaan hutan di Indonesia telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, sejak masa penjajahan Belanda, masa pemerintahan pasca kemerdekaan, masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru hingga kini di masa pemerintahan era reformasi.

Menurut Nawir et al (2008), dalam periode waktu tahun 1950-1975 semasa penjajahan Belanda dan Inggris, proses penebangan kayu sebagai hasil hutan terjadi di bawah kebijakan perdagangan Belanda yang dikenal sebagai kebijakan perdagangan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Di masa ini, kebijakan dibuat dengan memberikan izin penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan pembuatan kapal. Kekuatan ini juga diperkuat oleh kebijakan pemberian izin untuk pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian sehingga dapat diperoleh pendapatan dari pajak bumi melalui sistem tanam paksa atau dikenal dengan istilah cultuurstelsel. Dalam kebijakan ini sistem yang dibuat adalah dengan menjalankan sistem tanam paksa dengan memaksa perubahan fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan kopi, tebu, nila dan karet. Kegiatan sedemikian, berlangsung hingga masa penjajahan Jepang pada tahun 1942-1945. Terjadinya deforestasi pada masa itu disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam yang berjumlah dua kali lipat jatah tebang tahunan. Kegiatan ini dimanfaatkan untuk pembiayaan perang. Setelah melakukan penebangan lahan kemudian disewakan kepada penduduk untuk ditanami tanaman pangan.

Di Pulau Jawa, pada masa Jepang berkuasa telah terjadi deforestasi seluas 4.428 ha. Kondisi ini terus berlangsung hingga masa kemerdekaan, penebangan hutan telah berhasil menghilangkan vegetasi hutan yang menyebabkan deforestasi sekitar 500.000 ha di masa itu atau sekitar 17% dari total luas kawasan hutan. Hingga di tahun 70’an kebijakan pemerintah untuk peningkatan laju ekonomi nasional telah memicu kebijakan pemerintah untuk memberikan izin untuk pengusaha di untuk


(31)

melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan hutan di Indonesia (Nawir et al., 2008).

2.2.3. Degradasi pada Periode 1975-1990

Dalam kurun waktu dua dasawarsa, seiring dengan kenaikan harga minyak dunia, pemerintah menerima pemasukan keuangan dari sektor kehutanan terutama dalam bisnis pemberian izin pemanfaatan hasil hutan kayu, kala itu disebut dengan Hak Pengusahaan Hutan atau disingkat dengan HPH. Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa wilayah hutan yang dikelola oleh perusahaan pemegang izin HPH hingga tahun 2000 mencapai hingga 41 juta ha. Sementara itu, studi lain yang dilakukan oleh ahli kehutanan di Indonesia menunjukkan angka yang berbeda yaitu bahwa pemerintah telah memberikan izin pengusahaan hutan seluas lebih dari 60 juta ha kepada perusahaan HPH dalam kurun waktu 30 tahun. Hingga tahun 1998 deforestasi hutan akibat HPH mencapai 16,57 juta ha (Nawir et al., 2008)

Selanjutnya dijelaskan oleh Nawir et al (2008) selain HPH, kegiatan yang ditimbulkan oleh proses relokasi penduduk dengan tujuan pemerataan penduduk terutama dari Jawa dan Bali pada masa ini juga telah mendukung para pemegang HPH dengan penyediaan tenaga kerja dan pemukiman dalam proses produksi hasil hutan yang diserap dari kawasan hutan. Hal ini berlangsung sejak tahun 1980-an. Akibat proses relokasi penduduk ini telah memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan seperti alih fungsi kawasan hutan menjadi wilayah pertanian, pembukaan jalan yang membuka akses langsung menuju hutan. Tingkat deforestasi di masa ini juga semakin meningkat dengan adanya kebakaran hutan yang disebabkan oleh El Nino yang menyebabkan kebakaran hutan terbesar dalam tahun 1982-1983 yang menyebabkan deforestasi dalam waktu itu mencapai 3,2 juta ha, padahal 2,7 juta ha bagiannya adalah hutan hujan tropis di Kalimantan dan Sumatera.


(32)

2.2.4. Degradasi pada Periode 1990-1997

Dalam masa ini, sewindu telah berlangsung. Dalam periode ini pemerintah melakukan perubahan jenis pemberian izin. Di masa sebelumnya pemberian izin berupa pengusahaan hasil hutan, maka pada periode ini pemberian izin diberikan kepada perubahan fungsi hutan untuk diubah menjadi perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit. Hingga di tahun 1997 pemerintah telah memberikan perizinan perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit seluas sekitar 6,7 juta ha, (Kertodihadjo & Supriono, 2000)

Sumber: Center for International Forestry Research

Gambar 2.2.1 Grafik peningkatan luasan perkebunan sawit dan karet 1967-1997.

2.2.5. Degradasi pada Periode 1997 Hingga Usai Reformasi

Dalam periode ini deforestasi disebabkan oleh beragam faktor mulai dari faktor politik daerah terutama dengan berlakunya pelaksanaan otonomi daerah dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan terhadap pengelolaan sumberdaya yang ada dalam wilayah pemerintahannya, hingga faktor penebangan liar, serta peningkatan


(33)

kasus perambahan hutan yang kemudian berakibat pada penyusutan hutan menjadi hanya sekitar 120,35 juta ha saja (Nawir et al., 2008)

2.3. Degradasi dan Deforestasi Hutan di Sumatera Utara

Dalam rentang waktu sejak tahun 1985 hingga tahun 1998 laju degradasi hutan di Sumatera Utara mencapai 76.000 ha/ tahun. Hingga di tahun 2004 kerusakan tersebut bertambah hingga mencapai 694.295 ha atau telah rusak sekitar 18,5% dari keseluruhan luas hutan di Sumatera Utara (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006).

Kawasan hutan di Sumatera Utara secara nyata mengalami penurunan kondisi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pada tahun 2007, sekitar 891 ha hutan di Sumatera Utara terbakar. Kawasan hutan yang terbakar tersebut mencakup 123 ha merupakan kawasan hutan lindung dan 764 ha adalah kawasan hutan yang telah beralih fungsi menjadi ladang dan kebun masyarakat. Di tahun yang sama menunjukkah angka perambahan hasil hutan kayu mencapai angka 694.295 ha. Perambahan hutan ini terjadi di dalam luasan 207.575 ha hutan lindung dan dalam luasan 32.500 ha hutan konservasi. Termasuk juga perambahan di kawasan tipe hutan bakau mencapai 54.220 ha dan hutan produksi sekitar 400.000 ha. Kondisi kerusakan hutan ini secara sporadis terjadi di berbagai wilayah di Sumatera Utara. Perambahan hutan juga terjadi di wilayah hutan lindung dan suaka margasatwa Barumun dan wilayah hutan Register 6,7 dan 8 di Kabupaten Tapanuli Selatan (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006).

Kerusakan hutan di Kabupaten Tapanuli Selatan semakin meningkat sehingga secara logis juga meningkatkan frekuensi terjadinya bencana banjir dan longsor di wilayah Kecamatan Siais, Kecamatan Sayurmatinggi dan di Kecamatan Batang Angkola. Luas kawasan Tapanuli Selatan 373.437 ha atau sekitar 30,4% dari luas


(34)

kabupaten yaitu 1.227.580 ha. Seiring terjadinya kerusakan hutan di wilayah itu diduga luasan tutupan lahan di kawasan ini telah berkurang di bawah 30,4%. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan lindung seluas 128.570 ha, hutan produksi terbatas seluas 180.570 ha, hutan produksi seluas 13.300 ha, hutan suaka alam seluas 10.770 ha dan hutan suaka margasatwa seluas 40.300 ha (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006).

Kondisi ini mempengaruhi tutupan lahan kawasan hutan di Sumatera Utara. Pada tahun 2004 jumlah tutupan lahan pada kawasan hutan konservasi di Sumatera Utara berkurang hingga tertinggal hanya 88% atau setara dengan 237.600 ha dari luasan seluruhnya yaitu 269.900 ribu ha. Kondisi tutupan kawasan hutan pada kawasan hutan lindung di Sumatera Utara pada tahun 2004 luasnya sekitar 725,1 ha atau sekitar 46,8% dari luas total kawasan hutan lindung yaitu 1.550.004 ribu ha. Kondisi tutupan lahan hutan dengan presentase yang kecil juga terjadi pada kawasan hutan produksi yang hanya berjumlah sekitar 237.600 ha atau 43,4% dari luas total 546.009 ribu ha. Kondisi ini juga tak jauh berbeda dengan kondisi tutupan lahan pada kawasan hutan produksi terbatas. Provinsi Sumatera Utara hanya memiliki tutupan lahan hanya 36,3% atau 632.100 ribu ha dari luas total seluruh kawasan hutan produksi terbatas seluas 1.742.000 ha. Diikuti dengan luas tutupan lahan kawasan hutan produksi konversi dengan angka lahan yang berhutan sekitar 16,6% atau hanya 59.700 ha dari luas keseluruhan sekitar 360.400 ribu ha. Sementara itu luas tutupan lahan pada kawasan areal penggunaan lain di Sumatera Utara adalah 92.000 ha setara dengan 3,4% dari seluruh total areal penggunaan lain seluas 2.667.900 ha (Badan Planologi Departemen Kehutanan, 2005).

2.4. Kawasan Ekosistem Angkola di Sumatera Utara

Salah satu kawasan hutan di Sumatera Utara yang memiliki potensi penting sebagai kawasan ekologis yang memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan di Sumatera Utara terbentang melintasi dua kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan dan


(35)

Kabupaten Tapanuli Selatan. Kawasan tersebut dikenal dengan kawasan Siondop Angkola atau lebih sering disebut sebagai kawasan ekosistem Angkola (Pemkab Tapsel, 2006). Secara geografis kawasan ini terletak di antara 980 46’ 47,2” - 990 23’ 18,6” Bujur Timur dan 00

52’ 35,8” - 10 26’ 07,2” Lintang Utara. Berdasarkan analisa citra satelit, ekosistem yang masih relatif utuh tersebut meliputi kawasan hutan seluas ± 195.000 hektar.

Kawasan ini merupakan bagian Daerah Aliran Sungai Batang Gadis dan Batang Angkola dan mewakili tipe-tipe ekosistem lahan basah, hutan hujan dataran rendah dan perbukitan (850 meter dpl), batuan gamping (limestone) sampai hutan pegunungan rendah dan juga terdapat dua danau yaitu Danau Siasis dan Danau Laut Bangko. Secara geomorfologis, kawasan ini mempunyai keunikan geologis sebelumnya sekitar 75.000 tahun yang lalu, Sungai Batang Gadis dan Batang Angkola diduga mengalir ke utara bertemu dengan Sungai Batangtoru akibat terjadinya gempa tektonik dan letusan Gunung Berapi Toba, sungai-sungai tersebut berubah arahnya dan terbentuk lembah dataran tinggi. Peristiwa itu menyebabkan terbentuknya Sungai Batang Gadis atau Siondop yang membentang diantara dua daerah pegunungan bagian Barat dan Timur. Diketahui lembah tersebut merupakan lembah graben, terbentuk akibat depresi memanjang yang terjadi ketika permukaan bumi tenggelam diantara dua garis patahan geologis. Selain graben terbentuk pula dataran banjir berawa. Dataran tinggi rawa Siondop disebut dataran lacustrine dalam lembah sungai geotektonik yang tertutup. Daerah lahan basah ini adalah rawa air tawar yang selalu mengalami banjir musiman dan dikelilingi pegunungan rendah dan perbukitan yang mengandung petak hutan berisikan jenis tumbuhan yang telah beradaptasi dengan lingkungan basah, dataran rendah dan hutan batuan gamping, seperti Dolok Tarapung Godang (238 meter dpl), Dolok Nagor (260 meter dpl) dan Dolok Tanggasamulu (493 meter dpl) (Nawir et al., 2008).


(36)

Pada tahun 2006, kawasan ini juga pernah diusulkan oleh Pemerintah Daerah Tapanuli Selatan sebagai kawasan taman nasional dengan nama Taman Nasional Siondop Angkola yang disebutkan dalam dokumen usulan tersebut, bahwa kawasan ini merupakan perubahan fungsi kawasan hutan produksi HPH PT. Teluk Nauli Blok Batumundom (Reg.33), eks HPH Aik Gadis Timber (Reg.5, Reg.6) eks HPH PT. Bhara Induk (Reg. 32, Reg. 35, Reg. 34 dan Reg.6), HPH PT. Multi Sibolga Timber (Reg.33), HPH PT. Keang Nam Dev (Reg 37), Hutan Lindung Siondop Selatan (Reg.33), Hutan Lindung Siondop Utara (Reg.34) dan Hutan Lindung Angkola Komp. 1 dan II (Reg.6) (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2005).

Usulan untuk menjadikan kawasan ini sebagai kawasan konservasi berupa taman nasional secara faktual belum memenuhi persyaratan yang cukup. Salah satu penyebabnya adalah, bahwa jika kawasan ini dijadikan kawasan taman nasional dengan sistem zonasi maka akan memberikan dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat sekitar kawasan. Masyarakat memanfaatkan kawasan ini sebagai kawasan pemanfaatan hasil hutan non kayu berupa kayu manis, dan apabila menjadi kawasan taman nasional maka masyarakat tidak dapat lagi memanfaatkan hasil hutan tersebut (Sirait, 2007).

Hasil hutan bukan kayu bukan semata-mata manfaat yang diberikan oleh kawasan ekosistem ini, akan tetapi kawasan ini hingga sekarang masih menjadi sumber jasa lingkungan bagi kehidupan di sekitarnya. Dalam tinjauan habitat dan ekosistem, kawasan ini adalah habitat penting bagi flora dan fauna termasuk di dalamnya spesies yang dilindungi diantaranya Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Kambing Hutan (Naemorhedus sumatrensis), Tapir (Tapirus indicus) dan 99 jenis burung, diantaranya ditemukan 9 jenis burung Rangkong (Buceros spp, Anthracoceros spp, Anorrhinus spp, Aceros spp, Anthoceros spp,) dari 10 jenis yang ditemukan di Pulau Sumatera. Bahkan kawasan ini merupakan habitat bagi populasi jenis burung yang paling dinilai rentan terhadap kepunahan, yaitu Mentok Rimba


(37)

(Cairina scutulata) yang populasinya di Pulau Sumatera berdasarkan data tahun 2006 tersisa hanya 150 individu dan Burung Bangau tong-tong (Leptoptilus javanicus) yang populasinya di Sumatera diperkirakan hanya 2000 individu (Conservation International, 2005).

Ekosistem di kawasan ini memiliki karakteristik khas mulai dari vegetasi hutan bakau, rawa, tanah gambut dan juga memiliki dataran tinggi dan dataran rendah yang secara kolektif bertindak sebagai bagian dari habitat sisa yang terakhir untuk hutan dengan status kritis berbahaya dan endemik di Indonesia (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006). Kawasan ekosistem Angkola juga merupakan habitat penting bagi populasi Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) (Perbatakusuma & Rahayuningsih, 2004).

2.5. Nilai Konservasi dan Fungsi Lindung Ekosistem Angkola

Kawasan hutan dengan nilai konservasi yang tinggi akan memiliki fungsi lindung yang baik bagi satu kesatuan biotik dan abiotik. Suatu kawasan hutan memiliki nilai konservasi yang tinggi (HCV) apabila memenuhi ciri ciri sebagai berikut (Tropenbos International Indonesia, 2008);

a) Memiliki konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati penting secara global, regional dan lokal, misalnya adanya spesies endemik, spesies yang hampir punah serta dengan lansekap yang khas.

b) Mempunyai tingkat lansekap yang penting secara global, regional dan lokal yang berada di dalam atau memiliki unit pengelolaan dimana sebagian besar populasi spesies atau seluruh spesies yang secara alami ada di kawasan tersebut berada dalam pola distribusi dan kelimpahan alami.

c) Berada di dalam atau mempunyai ekosistem yang langka, terancam punah atau hampir punah

d) Memiliki fungsi pengatur alam dalam situasi yang kritis, misalnya perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendalian erosi.


(38)

e) Memiliki sumberdaya yang mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal.

Ciri-ciri kawasan hutan dan lahan dengan nilai konservasi tinggi tersebut saat ini menjadi konsep yang sangat bermanfaat dan telah diterapkan di beberapa wilayah dengan tujuan untuk melindungi area yang tersisa dan berada dalam kondisi kritis secara ekologi dan sosial (Stanley & The Nature Conservancy, 2006). Melakukan konservasi tidak hanya dilakukan pada areal kawasan hutan dan lahan tertentu, akan tetapi juga diwajibkan dilakukan pada kawasan-kawasan areal konsesi. Pada kawasan atau areal konsesi disarankan kurang lebih 10% disisihkan bagi tujuan-tujuan konservasi (Blockhus et al., 1992; Mason & Putz 2001). Kawasan 10% ini harus merupakan tambahan dari setiap kawasan yang telah disisihkan berdasarkan pada peraturan dan perundangan yang berlaku (Bennet & Gumal 2001), atau kawasan yang disisihkan akibat rendahnya potensi kayu atau aksesibilitas rendah seperti kawasan yang termasuk dalam lereng E, dengan kemiringan >40%, dan hutan-hutan penyangga tepian sungai tidak boleh dimasukkan dalam ke 10% kawasan konservasi yang disisihkan. Pada areal konsesi tujuan menyisihkan kawasan untuk kepentingan konservasi adalah menjamin perlindungan habitat yang memungkinkan bagi jenis-jenis langka, terancam punah dan jenis-jenis endemik dan juga yang mewakili tipe habitat yang ada dalam konsesi serta membantu melindungi nilai konservasi tinggi yang sudah teridentifikasi (Fimbel, Grajal & Robinson, 2001).

Jaringan zona konservasi yang dirancang dengan baik akan dapat membantu memelihara nilai konservasi tinggi keragaman hayati, lansekap, tingkat kelangkaan dan fungsi perlindungan DAS. Disarankan bahwa kawasan konservasi yang disisihkan minimum 10.000 ha di dalam suatu wilayah yang cukup besar untuk memelihara kebanyakan spesies burung hutan (Zakaria & Francis, 2001). Penyisihan kawasan juga akan membantu melestarikan konsentrasi keanekaragaman serangga, amfibia, reptilia dan mamalia (Fimbel, Grajal & Robinson, 2001). Pelarangan


(39)

konstruksi jalan dan pengembangan infrastruktur lainnya di dalam kawasan yang disisihkan untuk konservasi mengurangi fragmentasi hutan-hutan skala lansekap luas (landscape level forest) dan ekosistem-ekosistem langka terlindungi secara lebih baik. Wilayah-wilayah daerah aliran sungai yang penting terlindungi dari gangguan dan perangkat pengontrol aliran air terpelihara.

Penempatan yang hati-hati dari kawasan yang disisihkan juga dapat merupakan strategi efektif untuk memelihara atau meningkatkan nilai-nilai sosial budaya (Marcot et al., 2001). Merancang kawasan konservasi hendaknya mempertimbangkan beberapa faktor penting (Marcot et al., 2001) yaitu ;

a) Ukuran, semakin luas suatu zona konservasi maka semakin banyak habitat yang dilindungi sehingga jumlah jenis dan populasi yang terlindungi akan lebih banyak.

b) Bentuk; bentuk kawasan konservasi pada umumnya dipilih dengan menekan besarnya efek tepi (edge to area). Bentuk kawasan yang membulat akan lebih menguntungkan, karena akan memiliki daerah pusat yang jauh dari tepi sehingga akan memiliki daya lindung lebih besar dibandingkan berbentuk persegi.

c) Gradien ekosistem: Jika mungkin gradien ekosistem harus dicakup dalam zona konservasi. Keberadaan beberapa spesies tergantung pada berbagai tipe hutan pada berbagai ketinggian atau tipe tanah. Memelihara kelengkapan gradien dari suatu sungai sampai puncak gunung, sebagai contoh akan membantu keterkaitan/ kesinambungan habitat bagi jenis-jenis nomadik.

d) Tata guna lahan yang berbatasan dengan kawasan konservasi: Untuk meningkatkan efektivitas suatu zona konservasi, lebih baik jika zona tersebut berbatasan dengan hutan-hutan yang dilindungi lainnya atau kawasan-kawasan dimana penutupan hutan akan dijaga (misal kawasan-kawasan yang dilindungi – KPA, KSA, atau hutan tangkapan air - HL). Pembukaan atau konversi hutan di sekitar kawasan konservasi akan memiliki dampak di dalam kawasan konservasi.


(40)

e) Koridor: Apabila mungkin, disarankan untuk menghubungkan zona-zona konservasi dengan koridor-koridor hutan-hutan yang tidak terganggu yang lebarnya 200-400 m (Fimbel, Grajal & Robinson, 2001). Hal ini akan memfasilitasi pergerakan dan dispersal (pemencaran) jenis-jenis ke seluruh wilayah konsesi (Davies et al., 2001; Fimbel, Bennett & Kremen, 2001). Dalam banyak kasus, kawasan-kawasan zona penyangga tepi sungai dapat membentuk koridor-koridor yang sesuai, tetapi jika sungai jarang ditemukan atau jika tidak terhubung dengan kawasan yang disisihkan untuk konservasi; maka koridor-koridor tambahan harus ditetapkan.

f) Perwakilan ekosistem: Semua formasi hutan yang ada di dalam konsesi harus diwakili dalam zona-zona konservasi termasuk kawasan yang biasanya ditebang.

Kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi, tidak hanya dapat diketahui melalui penghitungan biodiversitas, namun juga dapat dilakukan melalui bantuan teknologi yang relevan dan dirancang untuk kepentingan penentuan tersebut. Salah satu pendekatan yang telah dikenal dalam dunia biologi konservasi adalah dengan melakukan analisis land cover pada kawasan tertentu dengan mempergunakan

Geografhic Information System atau Sistem Informasi Geografi. Pendekatan ini dilakukan untuk memadukan data yang melimpah dari sumber-sumber yang telah ditentukan dari lingkungan alami dengan informasi mengenai kawasan yang dilindungi serta keanekaragaman hayati (Stokes & Morisson, 2003). Melalui pendekatan GIS/SIG memungkinkan kawasan-kawasan penting untuk dikenali kemudian dimasukkan dalam sistem perlindungan dan konservasi. Dengan sistem ini, juga dapat diketahui wilayah yang rentan dan semestinya tidak diganggu oleh manusia, sehingga akan lebih mudah diketahui dan diselamatkan.


(41)

BAB III

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Ekosistem Angkola pada kawasan hutan yang berada dalam cakupan dua kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara yang lokasinya berjarak 230 - 300 km dari Kota Medan. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Maret sampai Juli tahun 2011.

Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan pertimbangan bahwa kawasan hutan ini mengalami proses degradasi yang cepat akibat dari pengembangan perkebunan kelapa sawit, penebangan liar dan pembukaan lahan pertanian.

3.2. Bahan dan Alat-alat Penelitian

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari peta Citra Landsat ETM7+ dengan tahun perekaman 1994, 2001, 2005 dan 2009. Peta-peta yang berisikan informasi kawasan hutan di Sumatera Utara dalam rentang tahun 1994 sampai dengan 2009.

Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari: GPS (Global Positioning Siste), meteran, komputer dengan perangkat lunak ArcView dengan spesifikasi Intel Core 2 Duo, 4 GB RAM, 500 GB HD untuk mendukung proses pencitraan data. Dua jenis software dengan basis data raster dan vektor akan dipakai


(42)

pada setiap komputer, seperti ERDAS 8.7 atau ENVI untuk proses citra satelit dan

ArcView 3.3 untuk pengolahan data vektor.

3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1. Citra Satelit

Tahap pertama dari kegiatan penelitian ini diawali dengan mencari data landsat 7 ETM tahun 1994, 2001, 2005 dan 2009, studi literatur-literatur referensi dalam menentukan klasifikasi hutan selain berdasarkan jenis vegetasi juga didasarkan pada kondisi geografis lahan (topografi). Secara umum, manual panduan interpretasi masih menggunakan 22 kelas kriteria penutupan lahan yang disusun oleh Badan Planologi (BAPLAN), Departemen Kehutanan (2002). Sebagai tambahan, beberapa habitat non hutan alami penting di Kawasan Hutan Angkola dibedakan dari lahan terbuka akibat aktivitas manusia. Hutan lahan kering primer dibagi ke dalam dua atau tiga kategori berdasarkan ketinggian (seperti contoh: 0 - 800 m, 800 - 2500 m, 2500 m ke atas).

3.3.2. Interpretasi Citra Landsat 7 ETM+

Tahapan dalam Pemetaan Land Cover dari Citra Penginderaan Jauh Landsat 7 ETM adalah sebagai berikut:

1. Loading data digital citra satelit (Landsat 7 ETM).

2. Pembuatan citra komposit dan Penajaman citra (image enhancement). Komposit citra yang digunakan adalah 543 dan 453 dengan dilakukan penajaman.

3. Pelaksanaan interpretasi dengan metode visual interpretation. Metode ini dilakukan dengan cara melakukan super imposed antara citra Landsat 7 ETM+ dengan Peta Land Cover Kawasan Hutan Angkola tahun sebelumnya yang akan di

update. On screen digitizing merupakan teknik yang digunakan untuk melakukan

updating land cover tahun 1994.

4. Pelaksanaan reinterpretasi dilakukan untuk mengecek kembali kelas penutupan lahan yang diinterpretasi dengan kondisi sebenarnya di lapangan hasil dari survey lapang.


(43)

3.3.3. Supervisi

Teknis kerja supervisi ini adalah melakukan pengecekan baik pengecekan kelas penutupan lahan maupun kualitas dari digitasi terkait keakuratan pengambilan batas kelas Tutupan Lahan maupun tingkat kehalusan/smoothness hasil digitasi.

3.4. Teknik Pengambilan Sampel dengan Observasi (Survey Lapangan)

Survey lapangan dilakukan untuk melihat kondisi sebenarnya di lapangan seperti Tutupan lahan, kondisi bentuk lahan, penentuan tipe penggunaan lahan pada setiap lokasi sampel dengan melakukan transek (penarikan contoh) sebanyak 20 titik di dalam kawasan hutan Ekosistem Angkola, dengan pendekatan:

- Menyesuaikan semua informasi dari hasil interpretasi citra satelit dengan data lapangan.

- Mengidentifikasi jenis tutupan lahan yang tidak diketahui dari hasil interpretasi citra satelit dan pemetaan potensi degradasi kawasan hutan Ekosistem Angkola jika jalur akses tersedia.

3.5. Teknik Analisis Data

Analisis data untuk menentukan kawasan yang mengalami degradasi dengan menggunakan:

- Analisis data citra satelit dengan menggunakan metode interpretasi citra untuk menentukan klasifikasi hutan

- Raw data dan tabel data spasial untuk pengecekan silang dalam memastikan konsistensi degradasi kawasan hutan ekosistem Angkola dengan fungsi hutan.

3.6. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metoda deskriptif. Secara harfiah dimaksudkan untuk membuat gambaran mengenai situasi, kondisi, atau kejadian, sehingga lebih


(44)

mengarah menghimpun data dasar. Metoda ini secara lebih umum sering disebut sebagai metoda survey. Penelitian dilakukan untuk memperoleh fakta dari gejala-gejala yang ada secara faktual (Nasir, 1988)

3.6.1. Penentuan Metode Intepretasi Land Cover Karakteristik Citra Landsat 7 ETM

a. Karakteristik Spasial

Karakteristik spasial ditandai dengan resolusi spasial yang digunakan sensor untuk mendeteksi obyek. Resolusi spasial adalah daya pilah sensor yang diperlukan untuk bisa membedakan obyek-obyek yang ada dipermukaan bumi. Istilah lain yang umum digunakan untuk resolusi spasial adalah medan pandang sesaat (Intantenous Field of View /IFOV) (Aronoff, 1989)

Tabel 3.6.1. Tabel IFOV pada masing-masing saluran:

No Saluran IFOV (meter)

1 – 5,7 30 x 30

6 60

8 15

b. Karakteristik Spektral

Karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan untuk mendeteksi obyek-obyek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit julat (range) panjang gelombang yang digunakan maka, semakin tinggi kemampuan sensor itu dalam membedakan obyek.


(45)

Tabel 3.6.2. Tabel nama gelombang dan range panjang gelombang pada masing-masing saluran

No.

Saluran Nama gelombang Range panjang gelombang (um)

1 Biru 0,45 – 0,52

2 Hijau 0,53 – 0,61

3 Merah 0,63 – 0,69

4 Inframerah dekat 0,78 – 0,90

5 Inframerah gelombang pendek 1,55 – 1,75

6 Inframerah tengah 10,4 – 12,5

7 Inframerah gelombang pendek 2,09 – 2,35

8 Pankromatik 0,52 – 0,90

c. Karakteristik Temporal

Landsat 7 merupakan satelit dengan orbit yang selaras matahari (sun synchronous), dan melintas di ekuator pada waktu lokal pukul 10:00 pagi. Landsat TM memiliki kemampuan meliput scenes yang sama (revisit oppotunity) setiap 16 hari.

d. Interaksi Gelombang Elektromagnetik dengan Obyek

Ketika energi matahari mengenai obyek maka terdapat 5 kemungkinan interaksi yang terjadi seperti tercantum pada Tabel 3.6.3. yaitu:

Tabel 3.6.3. Tabel interaksi gelombang elektromagnetik dengan obyek

Interaksi Keterangan

Tranmisi Energi akan ditransmisi (diteruskan) oleh objek Absorpsi Energi akan diserap oleh objek tersebut

Refleksi Energi akan dipantulkan sempurna dengan sudut datang energi tersebut sama dengan sudut pantulnya oleh objek. Panjang gelombang yang dipantulkan oleh objek (bukan yang diserap) akan mengindikasikan warna dari objek tersebut

Hamburan Energi akan dihamburkan secara acak ke segala arah oleh objek. Hamburan Rayleigh dan Hamburan Mei merupakan tipe hamburan yang paling sering terjadi di atmosfir

Emisi Energi yang telah diserap, akan dipancarkan lagi, biasanya pada panjang gelombang yang lebih panjang


(46)

Sistem pada Landsat 7 dirancang untuk mengumpulkan energi pantulan yang dilakukan oleh saluran 1 – 5, 7,8 (7 saluran) dan energi pancaran yang dilakukan oleh saluran 6 (1 saluran). Sensor Landsat akan mengkonversi energi pantulan matahari yang diterimanya menjadi satuan radiansi. Radiansi adalah flux energi per satu satuan sudut ruang yang meninggalkan satu satuan area permukaan, pada arah tertentu. Radiansi ini terkait erat dengan kecerahan pada arah tertentu terhadap sensor. Radiansi adalah sesuatu yang diukur oleh sensor dan agak terkait dengan pantulan. Nilai radiansi kemudian dikuantifikasi menjadi nilai kecerahan (brightness value) citra yang tersimpan dalam format digital.

e. Karakteristik Produk

Pada Tabel 3.6.4 Produk keluaran satelit Landsat 7 dibagi menjadi 3 yaitu:

Tabel 3.6.4. Tabel karakteristik level Landsat 7 ETM

Level Karakteristik

0R Level ini dapat dikatakan sebagai data mentahnya Landsat 7, dimana dalam data Landsat belum mengalami koreksi radiometrik dan geometrik

1R Produk pada level ini adalah level 0-R yang telah mengalami koreksi radiometrik

1G Produk pada level ini adalah level 1-R yang telah mengalami koreksi geometrik pada proyeksi tertentu. Terdapat 7 pilihan proyeksi yang bisa digunakan yaitu:

- Universal Tranverse Mercator - Lambert Conformal Conic - Polyconic

- Tranverse Mercator - Polar Stereografik

- Hotine Oblique Mercator A - Space Oblique Mercator

Citra Landsat yang digunakan memiliki level 1G dengan mengunakan proyeksi


(47)

3.6.2. Klasifikasi Multispektral

Klasifikasi multispektral merupakan suatu algoritma yang dirancang untuk menyajikan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan satu kriteria yaitu nilai spektral pada beberapa saluran sekaligus. Tiap obyek cenderung memberikan pola respon spektral yang spesifik. Semakin sempit dan banyak saluran yang digunakan, semakin teliti hasil klasifikasi multispektral tersebut. Klasifikasi multispektral diawali dengan menentukan nilai pixel representatif tiap obyek secara sampling. Nilai pixel dari tiap sampel tersebut digunakan sebagai masukan dalam proses klasifikasi. Ektraksi informasi Tutupan Lahan dikerjakan berdasarkan warna pada citra komposit, analisis statistik dan analisis grafis. Analisa statistik digunakan dengan memperhatikan nilai rerata, standar deviasi, varians, dan

kovarians, dari setiap kelas sampel yang diambil guna menentukan keterpisahan sampel. Analisis grafis digunakan untuk melihat sebaran piksel-piksel suatu kelas yang diasumsikan sebagai kelas yang homogen apabila piksel-piksel yang diambil sebagai sampel, bergerombol dalam satu gugus, dengan memperhatikan posisi gugus sampel dalam diagram pencar.

3.6.3. Klasifikasi Visual

Klasifikasi Visual merupakan metode semi automatic dengan teknik on screen digitizing. Adapun kombinasi band yang yang umum digunakan pada saat penafsiran citra satelit secara manual/ visual yaitu 4-5-3 dan 5-4-2 dimana berbagai kenampakkan vegetasi baik alami maupun yang ditanam dapat terlihat dengan jelas.

Untuk mempermudah pengenalan tipe-tipe Tutupan Lahan pada suatu citra, dapat digunakan kunci penafsiran yang dikembangkan untuk penafsiran citra Landsat-TM warna tidak standar (band 2-3-4). Namun hal ini bisa pula diterapkan pada citra dengan kombinasi band lainnya dengan menerapkan elemen-elemen penafsiran lainnya selain warna. Kunci eliminasi teresebut pada prinsipnya disusun agar interpretasi berlanjut langkah demi langkah dari yang umum ke yang khusus,


(48)

dan kemudian menyisihkan semua kenampakan atau kondisi kecuali satu yang diidentifikasi. Kunci eliminasi sering tampil dalam bentuk kunci dua pilihan (dichotomous key) dimana penafsir dapat melakukan serangkaian pilihan antara dua alternatif dan menghilangkan secara langsung semuanya, kecuali satu jawaban yang mungkin (Lillesand & Kiefer, 1990).

Untuk penafsiran manual/visual (on screen digitation), perlu memperhatikan pola jaringan sungai, danau atau garis pantai di delineasi yang diikuti dengan pola jaringan jalan, hal ini akan membantu dalam penafsiran obyek-obyek atau vegetasi yang terliput pada citra yang ada. Selanjutnya dilakukan deteksi pada obyek-obyek dengan melakukan delineasi batas luar pada kelompok yang yang mempunyai warna yang sama dan memisahkannya dari yang lain. Langkah terakhir adalah mengidentifikasi dan analisis obyek atau tipe vegetasi dengan menggunakan informasi spasial seperti ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan asosiasi dan situs (Lillesand & Kiefer, 1979; Sutanto, 1985).

Integrasi data hasil klasifikasi penginderaan jauh dan GIS dilakukan dengan cara menggabungkan citra hasil klasifikasi awal dengan peta referensi. Langkah yang dilakukan adalah melakukan overlay data digital citra asli dan peta landcover dengan peta-peta penunjang (misalnya: vegetasi, topografi, konsesi, tanah dan persebaran lahan kritis) sebagai referensi.

3.6.4. Kerangka Pemikiran Metode Intepretasi yang Digunakan

Untuk lebih mendayagunakan citra satelit sehingga bisa digunakan oleh banyak kalangan, maka citra satelit tersebut harus diinterpretasi (ditafsirkan) menjadi informasi. Salah satu proses interpretasi yang paling sering dilakukan adalah interpretasi untuk pemetaan Tutupan Lahan dan vegetasi. Dalam teori penginderaan jauh, terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk proses interpretasi citra satelit yaitu interpretasi otomatis atau yang juga disebut dengan klasifikasi


(49)

multispektral dan interpretasi visual (manual). Interpretasi otomatis hanya bisa dilakukan pada citra satelit format digital dengan bantuan sistem komputer. Interpretasi otomatis ini semata-mata hanya mengandalkan nilai kecerahan untuk membedakan obyek-obyek yang terekam pada citra. Garis besar proses interpretasi otomatis ini adalah, interpreter harus memilih sekelompok nilai kecerahan yang homogen sebagai daerah contoh (sampel area) dan dianggap mewakili obyek tertentu. Diambil beberapa sampel untuk mewakili setiap kelas tutupan lahan.

Berdasarkan sampel-sampel tersebut komputer akan mencocokan nilai kecerahan sampel (dengan aturan matematis tertentu) dengan nilai-nilai kecerahan pada keseluruhan citra dan menggolongkannya ke dalam kelas tutupan lahan tertentu. Kelebihan dari teknik interpretasi otomatis ini adalah cepat, karena dilakukan dengan bantuan komputer. Namun dalam pelaksanaannya teknik ini akan optimal jika daerah kajian memiliki obyek-obyek yang relatif homogen dengan cakupan yang luas. Disamping itu karena teknik ini mengandalkan nilai kecerahan, maka gangguan atmosfir seperti hamburan dan awan juga harus sekecil mungkin. Sayangnya kondisi ini sulit ditemui di daerah tropis seperti Indonesia. Tutupan Lahan di Indonesia sebagian besar adalah heterogen dan gangguan atmosfir seperti hamburan dan awan juga cukup tinggi.

Disisi lain terdapat teknik interpretasi visual (manual) citra satelit yang merupakan adaptasi dari teknik interpretasi foto udara. Citra satelit yang dimaksudkan disini adalah citra satelit pada saluran tampak dan perluasannya. Adaptasi teknik ini bisa dilakukan karena baik citra satelit tesebut dan foto udara, sama-sama merupakan rekaman nilai pantulan dari obyek. Namun karena perbedaan karakteristik spasial dan spektralnya, maka tidak keseluruhan kunci interpretasi dalam teknik interpretasi visual ini bisa digunakan. Kelebihan dari teknik interpretasi visual ini dibandingkan dengan interpretasi otomatis adalah dasar interpretasi tidak semata mata kepada nilai kecerahan, tetapi konteks keruangan pada daerah yang dikaji juga


(50)

ikut dipertimbangkan. Interpretasi manual ini peranan interpreter dalam mengontrol hasil klasifikasi menjadi sangat dominan, sehingga hasil klasifikasi yang diperoleh relatif lebih masuk akal. Dengan Kondisi Citra Landsat7 ETM+ sekarang yang mengalami kerusakan SLC Off maka metode secara manual/ visual atau delineasi secara on screen digitation lebih realistis dengan kondisi di lapangan.


(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penutupan Lahan Kawasan Ekosistem Angkola

Dari hasil analisis interpretasi terhadap peta tutupan lahan yang berasal dari peta Lansat dihasilkan empat Peta Tutupan Lahan yaitu Peta Tutupan Lahan Kawasan Hutan Ekosistem Angkola berdasarkan periode Landsat tahun 1994, 2001, 2005 dan 2009, sesuai dengan periode kalkulasi tutupan lahan yang dilakukan setiap 5 tahun sekali (Baplan, Dephut RI, 2008). Masing-masing peta Tutupan Lahan Kawasan Ekosistem Angkola dijabarkan sebagai berikut.

4.1.1. Peta Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 1994

Dalam periode ini luas keseluruhan wilayah Kawasan Hutan Angkola yang dipetakan yaitu 128.944,99 ha. Hasil interpretasi menunjukkan bahwa dalam periode ini tutupan lahan di Kawasan Hutan Angkola didominasi Hutan Lahan Kering Primer dengan luas 49.414,17 ha atau 38,32% dari luas daratan Kawasan Hutan Angkola. Hutan Rawa Primer mempunyai luas terbesar kedua setelah Hutan Lahan Kering Primer mencapai luas 26.520,51 ha atau 20,57% dari luas daratan Kawasan Hutan Angkola.

Interpretasi peta landsat tutupan lahan Kawasan Hutan Angkola tahun 1994 menggunakan peta dengan tingkat ketelitian skala 1:275.000. Pada penelitian ini, untuk klasifikasi Hutan Rawa (Swamp Forest) dibedakan dengan tutupan awan, jadi tutupan awan menjadi kelas tersendiri. Hal ini karena kenampakan tutupan awan di


(52)

Kawasan Hutan Angkola merupakan tutupan lahan yang unik yaitu seluas 13.988,00 ha atau 10,85%. Untuk kelas Hutan Rawa (Hutan Rawa primer dan sekunder serta rawa) merupakan kawasan rawa yang terjadi akibat adanya penumpukan air di dalamnya. Di tahun 1994, kawasan ini memiliki Hutan Rawa dengan luas sebesar 44.305,68 ha atau 34,36% dari luas Kawasan Hutan Angkola, seperti tampak pada Tabel 4.1.1.

Tabel 4.1.1. Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 1994. Tutupan Lahan Landsat

1994

Luas (Ha)

Prosentase (%)

Awan 13.98

8,00

1 0,85

Hutan lahan kering primer 49.41

4,17

3 8,32

Hutan lahan kering sekunder 14.81 6,64

1 1,49 Hutan mangrove sekunder 120,1

6

0 ,09

Hutan rawa primer 26.52

0,51

2 0,57

Hutan rawa sekunder 17.78 5,17

1 3,79 Pertanian lahan kering 245,5

5

0 ,19

Rawa 259,2

4

0 ,20

Semak/ belukar 2.344

,46

1 ,82 Semak/ belukar rawa 1.629

,46

1 ,26

Tubuh air 1.821

,64

1 ,41 Total 128.944,99 100,00


(53)

Dari Tabel 4.1.1. diketahui bahwa pada tahun 1994 tutupan lahan terdiri dari 11 klasifikasi dengan total luas 128.944,99 ha. Dari total luas yang teridentifikasi, terbagi dalam 3 klas utama yaitu hutan, bukan hutan serta tubuh air dan awan. Tutupan lahan berupa hutan seluas 84% atau 108.656,65 Ha, non hutan seluas 3,47% atau 4.479 ha dan tutupan lahan yang tertutup awan serta tubuh air seluas 12,26% atau 15.809,64 ha. Peta interpretasi tutupan lahan di kawasan ekosistem Angkola disajikan pada Gambar 4.1.1.


(54)

(55)

4.1.2. Peta Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 2001

Di tahun 2001, luas keseluruhan Wilayah Kawasan Hutan Angkola yang dipetakan yaitu 128.944,99 ha. Pada periode ini, luas Tutupan Lahan di Kawasan Hutan Angkola didominasi Hutan Lahan Kering Primer dengan luas 52.059,19 ha atau 40,37% dari luas daratan Kawasan Hutan Angkola, dibandingkan dengan luasan di tahun 1994, luasan ini mengalami peningkatan, hal ini diduga diakibatkan oleh berkurangnya frekuensi masuknya masyarakat ke dalam hutan. Melalui interpretasi peta landsat tahun 2001, Hutan Rawa Sekunder mempunyai luas terbesar kedua setelah Hutan Lahan Kering Primer mencapai luasan hingga 26.990,64 ha atau 20,93% dari luas daratan Kawasan Hutan Angkola.

Pada penelitian ini, untuk klasifikasi tanah terbuka dibedakan dengan tutupan awan, jadi tutupan awan menjadi kelas tersendiri. Hal ini karena kenampakan tutupan awan di Kawasan Hutan Angkola merupakan tutupan lahan yang unik. Sedangkan untuk kelas tanah terbuka (bare land) disini merupakan lahan terbuka yang terjadi akibat adanya intervensi aktivitas manusia di dalamnya. Tanah terbuka mempunyai luas yang tidak signifikan 21,99 ha atau 0,02% dari luas daratan Kawasan Hutan Angkola. Untuk kelas Perkebunan juga dibedakan menjadi kelas Perkebunan dan Perkebunan Lama. Untuk luas per Tutupan Lahan bisa dilihat pada Tabel 4.1.2


(56)

Tabel. 4.1.2. Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 2001.

Tutupan Lahan Landsat 2001 Luas (Ha)

Prosentase (%)

Hutan lahan kering primer 52.059,19 40,37 Hutan lahan kering sekunder 17.258,54 13,38

Hutan mangrove sekunder 120,16 0,09

Hutan rawa primer 22.471,73 17,43

Hutan rawa sekunder 26.990,64 20,93

Lahan terbuka 21,99 0,02

Perkebunan 358,99 0,28

Pertanian lahan kering 177,49 0,14

Pertanian lahan kering

bercampur semak 234,20 0,18

Rawa 356,82 0,28

Semak/ belukar 2.424,74 1,88

Semak/ belukar rawa 4.646,94 3,60

Tubuh air 1.823,56 1,41

Total

128.944,9

9 100,00

Pada periode tersebut, klasifikasi tutupan lahan kawasan Hutan Angkola bertambah dari 11 klasifikasi di tahun 1994 menjadi 13 klasifikasi di tahun 2001 dengan tanpa adanya tutupan awan. Terdapat 3 klas yang bertambah pada periode ini yaitu tutupan lahan kelompok non hutan terdiri dari kelas lahan terbuka, perkebunan dan kelas pertanian lahan kering bercampur semak. Kondisi tutupan lahan di kawasan hutan Angkola dapat dilihat pada peta landsat tahun 2001 dengan gambarnya yang disajikan pada Gambar 4.1.2


(57)

(58)

4.1.3. Peta Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 2005

Pada periode ini luas keseluruhan wilayah Kawasan Hutan Angkola yang dipetakan juga sama dengan pemetaan yang dilakukan di tahun 1994 dan 2001 yaitu 128.944,99 ha. Tahun 2005, luas Tutupan Lahan di Kawasan Hutan Angkola didominasi Hutan Lahan Kering Primer dengan luas 60.601,99 ha atau 47,00% dari luas daratan Kawasan Hutan Angkola, kondisi ini memberikan gambaran keadaan bentang alam dengan kondisi yang sangat terjal. Hutan Rawa Primer mempunyai luas terbesar kedua setelah Hutan Lahan Kering Primer mencapai luas 31.530,96 ha atau 24,45% dari luas daratan Kawasan Hutan Angkola.

Seperti halnya pada tutupan lahan di tahun 1994 dan 2001, tutupan awan juga menjadi bagian tersendiri. Tutupan awan di tahun 2005 pada kawasan hutan Angkola seluas 2.407,35 ha atau 1,87%. Pada kelas tanah terbuka (bare land) disini merupakan lahan terbuka yang terjadi akibat adanya intervensi aktivitas manusia di dalamnya. Tanah terbuka mempunyai luas yang tidak signifikan yaitu sekitar 1.984,01 ha atau 1,54% dari luas daratan Kawasan Hutan Angkola. Untuk kelas Perkebunan juga dibedakan dengan kelas Perkebunan dan Perkebunan Lama. Luas per Tutupan Lahan dapat dilihat pada Tabel 4.1.3 dan Gambar 4.1.3

Tabel 4.1.3 Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 2005.

Tutupan Lahan Landsat 2005 Luas

(Ha)

Prosentase (%)

Awan 2.407,35 1,87

Hutan lahan kering primer 60.601,99 47,00 Hutan lahan kering sekunder 5.297,92 4,11

Hutan mangrove sekunder 151,64 0,12

Hutan rawa primer 31.530,96 24,45

Hutan rawa sekunder 19.744,84 15,31

Lahan terbuka 1.984,01 1,54

Perkebunan 1.447,76 1,12

Pertanian lahan kering bercampur semak 610,17 0,47

Rawa 45,65 0,04

Semak/ belukar rawa 3.630,68 2,82

Tubuh air 1.492,02 1,16


(59)

(60)

4.1.4. Peta Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 2009

Luas Keseluruhan Wilayah Kawasan Hutan Angkola yang dipetakan yaitu 128.944,99 ha. Tutupan Lahan di Kawasan Hutan Angkola didominasi Hutan Lahan Kering Primer dengan luas 62.243,48 ha atau 48,27% dari luas daratan Kawasan Hutan Angkola. Hutan Rawa Sekunder mempunyai luas terbesar kedua setelah Hutan Lahan Kering Primer mencapai luas 19.803,79 ha atau 15,36% dari luas daratan Kawasan Hutan Angkola.

Pada penelitian ini, untuk klasifikasi tanah terbuka dibedakan dengan tutupan awan, jadi tutupan awan menjadi kelas tersendiri luas tutupan lahan di tahun 2009 seluas 721,14 ha atau 0,56%. Untuk kelas tanah terbuka (bare land) disini merupakan lahan terbuka yang terjadi akibat adanya intervensi aktivitas manusia di dalamnya teridentifikasi seluas 3.037,85 ha atau 2,36% dari luas daratan Kawasan Hutan Angkola. Sedangkan untuk kelas Perkebunan juga dibedakan dengan kelas Perkebunan dan Perkebunan Lama. Luas per Tutupan Lahan di kawasan Hutan Angkola tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.1.4 dan Gambar 4.1.4.

Tabel 4.1.4. Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 2009.

Tutupan Lahan Landsat 2009 Luas

(Ha)

Prosentase (%)

Awan 721,14 0,56

Hutan lahan kering primer 62.243,48 48,27 Hutan lahan kering sekunder 6.336,29 4,91

Hutan mangrove sekunder 151,64 0,12

Hutan rawa primer 18.576,59 14,41

Hutan rawa sekunder 19.803,79 15,36

Lahan terbuka 3.037,85 2,36

Perkebunan 11.343,90 8,80

Rawa 15,30 0,01

Semak/ belukar 1.857,15 1,44

Semak/ belukar rawa 3.096,67 2,40

Tubuh air 1.761,19 1,37


(61)

(62)

4.1.5. Perubahan Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 1994 - 2009

Luas total area pemetaan Kawasan Hutan Angkola dari tahun 1994, 2001, 2005 dan 2009 tidak mengalami kenaikan 128.944,99 ha. Dari Tabel 4.1.5. dapat dilihat bahwa luas Hutan Lahan Kering Sekunder berkurang seluas 10.922,25 ha pada tahun 2001 ke tahun 2009. Citra Landsat yang digunakan pada perekaman tahun 2005 sampai 2009 cukup bersih dari tutupan awan (cloud cover) jika dibandingkan pada perekaman tahun 1994 sampai 2001 hal ini bisa dilihat dari berkurangnya luas tutupan awan. Tutupan Lahan untuk awan pada perekaman tahun 2001 berkurang sangat signifikan yaitu 13.988,00 ha dibandingkan tahun 1994. Dalam rentang tahun 1994-2009 Hutan Rawa Primer berkurang secara signifikan dengan luas mencapai 7.943,92 ha. Sedangkan Hutan Rawa Sekunder dalam rentang tahun 2001 hingga 2009 juga berkurang secara signifikan juga dengan luas mencapai 7.245,80 ha. Perubahan selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 4.1.5 dan Gambar 4.1.5.

Tabel 4.1.5. Tutupan Lahan Kawasan Hutan Angkola Tahun 1994, 2001, 2005 Dan 2009 serta Perubahannya.


(63)

Pada Tabel 4.1.5. menunjukkan bahwa berkurangnya tutupan lahan di kawasan hutan Ekosistem Angkola terjadi pada kelompok kawasan hutan terutama pada hutan lahan kering primer mencapai angka degradasi akibat deforestasi seluas kurang lebih 8,480 ha atau sekitar 6,58%, bahkan pada tahun 2009 juga terjadi hilangnya kawasan pertanian lahan kering dan kawasan pertanian lahan kering primer bercampur semak. Hutan rawa primer juga mengalami penurunan luas tutupan lahan hingga mencapai 7.943,92 ha. Secara umum, data pada Tabel 4.1.5. menunjukkan kecenderungan atau trend deforestasi sebagaimana tampak pada Gambar 4.15. dibawah ini.

Gambar 4.1.5. Grafik Trend Laju Deforestrasi di Kawasan Ekosistem Angkola

Pada Gambar 4.1.5 diketahui bahwa trend atau kecenderungan perubahan tutupan lahan di kawasan Ekosistem Angkola yang paling banyak terdegradasi atau berkurang tutupan lahannya adalah pada kelas Hutan Lahan Kering Sekunder diikuti oleh hutan rawa sekunder.


(1)

Lampiran B. Kegiatan Selama Penelitian di Lakukan

Gambar. 1. Lokasi Penelitian yang sudah menjadi Lahan Terbuka di Kecamatan Siais Kabupaten Tapanuli Selatan

Gambar 2. Lokasi Penelitian yang berubah Fungsi menjadi APL di Kecamatan Muara Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal


(2)

l

Gambar 3. Lokasi Penelitian di Tanam Padi semusim Sebelum Menjadi Perkebunan Sawit di Kabupaten Mandailing Natal


(3)

Lampiran C. Tabel keadaan topografi hutan Angkola berdasarkan ketinggian

No Hasil Temuan di Lapangan Bujur Timur

Lintang Utara

Ketinggian (meter) 1 Perkebunan Kelapa Sawit (PT PIA) 98,79671 1,44794 22 2 Perkebunan Kelapa Sawit (PT Maju

Indo Raya) 98,84065 1,36905 11

3 Perkebunan Kelapa Sawit (PT PIA) 98,86701 1,29455 16 4 Perkebunan Kelapa Sawit (PT PIA) 98,89143 1,26600 73 5 Rawa Kering dan Perkebunan Kelapa

Sawit (PT Rendi Permata Raya) 98,89020 1,23353 73 6 Rawa Kering dan Perkebunan Kelapa

Sawit (PT Rendi Permata Raya) 98,92066 1,14089 31 7 Rawa Kering dan Perkebunan Kelapa

Sawit (PT Rimba Mujur Makmur) 98,94532 1,08409 10 8 Perkebunan Kelapa Sawit (PT Anugrah

Langkat Makmur) 98,97902 1,03845 18

9 Perkebunan Kelapa Sawit (PT Anugrah

Langkat Makmur) 98,96986 0,96422 26

10 Perkebunan Kelapa Sawit (PT Rimba

Mujur Mahkota) 98,99333 0,89874 12

11 Hak Pengelolaan Hutan (PT Rimba

Mujur Mahkota) 99,08439 0,93555 110

12 Hak Pengelolaan Hutan (PT Rimba

Mujur Mahkota) 99,10953 0,96099 176

13 Hak Pengelolaan Hutan (PT Rimba

Mujur Mahkota) 99,16606 1,02194 218

14 Hutan Tanaman Industri 99,18114 1,07459 375 15 Perkebunan Kelapa Sawit (PT Agri

Nusantara Jaya) 99,17666 1,10685 297

16 Perkebunan Kelapa Sawit (PT Agri

Nusantara Jaya) 99,14065 1,17150 44

17 Perkebunan Kelapa Sawit (PT Agri

Nusantara Jaya) 99,09946 1,22249 53

18 Perkebunan Kelapa Sawit Masyarakat 99,04385 1,29275 144

19 Rawa 98,98497 1,34079 93

20 Perkebunan Kelapa Sawit (PT Samukti


(4)

(5)

(6)