Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

LAMPIRAN

78
Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Analisis Vegetasi Mangrove
Stasiun I
Semai
Jenis Spesies

Jumlah Individu

K (ind/ha)

KR (%)

F

FR (%)

INP


H'

E

Sonneratia alba

8

4000

40

1

50

90

0,67


0,97

Sonneratia caseolaris

12

6000

60

1

50

110

Total

20


10000

100

2

100

200

Jenis Spesies

Jumlah Individu

K (ind/ha)

KR (%)

F


FR (%)

INP

H'

E

Sonneratia alba

28

2240

46,67

1

50


96,67

0,69

0,99

Sonneratia caseolaris

32

2560

53,33

1

50

103,33


Total

60

4800

100

2

100

200

Pancang

79
Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1. Lanjutan
Pohon
Jenis Spesies

Jumlah Individu

K (ind/ha)

KR (%)

F

FR (%)

D

DR

INP


H’

E

Sonneratia alba

42

840

51,22

1

50

0,26

52


153

0,69

0,99

Sonneratia caseolaris

40

800

48,78

1

50

0,24


48

147

Total

82

1640

100

2

100

0,50

100


300

Stasiun II
Semai
Jenis Spesies

Jumlah Individu

K (ind/ha)

KR (%)

F

FR (%)

INP

H'

E

Rhizophora apiculata

10

5000

55,56

0,6

60

115,56

0,69

0,99

Rhizophora mucronata

8

4000

44,44

0,4

40

84,44

Total

18

9000

100

1

100

200

80
Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Lanjutan
Pancang
Jenis Spesies

Jumlah Individu

K (ind/ha)

KR (%)

F

FR (%)

INP

H'

E

Rhizophora apiculata

10

2400

60

0,6

60

120

0,67

0,97

Rhizophora mucronata

8

1600

40

0,4

40

80

Total

18

4000

100

1

100

200

Pohon
Jenis Spesies

Jumlah Individu

K (ind/ha)

KR (%)

F

FR (%)

D

DR

INP

H’

E

Rhizophora apiculata

45

900

47,37

0,6

60

0,31

50,2

158

0,69

0,99

Rhizophora mucronata

50

1000

52,63

0,4

40

0,30

49,8

142

Total

95

1900

100

1

100

0,61

100

300

81
Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Lanjutan
Stasiun III
Semai
Jenis Spesies

Jumlah Individu

K (ind/ha)

KR (%)

F

FR (%)

INP

H'

E

Avicennia marina

12

6000

30

0,8

33,33

63,33

1,32

0,95

Bruguiera gymnorrhiza

14

7000

35

0,8

33,33

68,33

Sonneratia alba

9

4500

22,5

0,6

25

47,5

Xylocarpus granatum

5

2500

12,5

0,2

8,33

20,83

Total

40

20000

100

2,4

100

200

82
Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Lanjutan
Pancang
Jenis Spesies

Jumlah Individu

K (ind/ha)

KR (%)

F

FR (%)

INP

H'

E

Avicennia alba

8

640

16

0,8

16,67

32,67

1,78

0,99

Avicennia marina

7

560

14

0,8

16,67

30,67

Bruguiera gymnorrhiza

9

720

18

0,8

16,67

34,67

Bruguiera hainessii

8

640

16

0,8

16,67

32,67

Sonneratia alba

10

800

20

0,8

16,67

36,67

Sonneratia caseolaris

8

640

16

0,8

16,67

32,67

Total

50

4000

100

4,8

100

200

83
Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Lanjutan
Pohon
Jenis Spesies

Jumlah Individu

K (ind/ha)

KR (%)

F

FR (%)

D

DR

INP

H’

E

Avicennia alba

15

300

15,31

1

12,82

0,25

6,09

34,21

2,15

0,98

Avicennia marina

14

280

14,29

1

12,82

0,22

5,41

32,52

Bruguiera gymnorrhiza

14

280

14,29

1

12,82

0,26

6,43

33,54

Bruguiera hainessii

14

280

14,29

1

12,82

0,28

6,87

33,97

Ceriops tagal

6

120

6,12

0,6

7,69

0,23

5,64

19,46

Nypa fruticans

8

160

8,16

0,8

10,26

1,87

45,89

64,30

Sonneratia alba

10

200

10,2

0,8

10,26

0,28

6,83

27,29

Sonneratia caseolaris

10

200

10,2

1

12,82

0,23

5,70

28,72

Xylocarpus granatum

7

140

7,14

0,6

7,69

0,45

11,15

25,99

Total

98

1960

100

7,8

100

4,08

100

300

84
Universitas Sumatera Utara

85

Lampiran 2. Pemasangan Umpan, Alat Tangkap Bubu dan Transek Mangrove

a

b

c
Gambar : a) Ikan rucah yang sudah diikatkan pada kayu yang diletakkan ke dalam
bubu, b) Pembuatan petak contoh untuk transek mangrove,
c) Peletakkan bubu di dalam petak contoh transek mangrove

Universitas Sumatera Utara

86

Lampiran 3. Pengukuran Lebar Karapas dan Bobot Tubuh

a

b
Gambar : a) Pengukuran lebar karapas menggunakan jangka sorong,
b) Pengukuran bobot tubuh kepirting bakau

Universitas Sumatera Utara

87

Lampiran 4. Hasil Pengukuran Kualitas Air pada Setiap Sampling
Sampling I

Salinitas Suhu

pH

DO

Stasiun 1

21

31

6,6

4

Stasiun 2

19

31

6,5

4

Stasiun 3

24

30

7,3

4,2

Sampling II

Salinitas

Suhu

pH

DO

Stasiun 1

12

31

6,6

4,3

Stasiun 2

12

31

6,4

4,5

Stasiun 3

14

31

6,4

4,4

Suhu
29
29
30

pH
6,2
6,5
6,5

DO
5,2
5,3
5

Sampling III
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3

Salinitas
12
11
12

Sampling IV

Salinitas

Suhu

pH

DO

Stasiun 1

21

31

6,6

4,8

Stasiun 2

20

31

6,6

4

Stasiun 3

17

31

6,5

5,5

Universitas Sumatera Utara

88

Lampiran 5. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur Kelarutan Oksigen
(DO)
Sampel air
1 ml MnSO4
1 ml KOH – KI
dikocok
didiamkan
Sampel dengan endapan
putih/coklat
1 ml H2SO
dikocok
didiamkan
Larutan sampel berwarna
coklat
diambil sebanyak 100 ml
ditetesi Na2S2O3 0,0125 N
Sampel berwarna kuning
pucat
ditambahkan 5 tetes amilum
Sampel berwarna biru
dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N
Sampel berwarna bening
dihitung volume Na2S2O3 yang
terpakai
(= nilai DO akhir)
Hasil

Universitas Sumatera Utara

89

Lampiran 6. Hasil Analisis Substrat Mangrove

HASIL ANALISIS

UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
FAKULTAS
PERTANIAN
LABORATORIUM
RISET & TEKNOLOGI

Jl. Prof. A.Sofyan No.3
Kampus USU
Medan (20155)

Pemilik

:Yenni Ningsih

Jenis Sampel

: Substrat Mangrove

Parameter
Tekstur (Hydrometer)
Pasir
Debu
Liat
Nama
(%)
(%)
(%)
Tekstur

No.

No.
Lapangan

244

St. 1

72

11

17

Lp

0.911

245

St. 2

58

19

23

Llip

0.583

246

St. 3

58

23

19

Lp

0.838

C-Organik
(%)

Keterangan :
Lp

: Lempung berpasir

Llip

: Lempung liat berpasir

Kepala :
Prof. Dr. Ir. Sumono,
MS

Analis :
Rudi

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 7. Pasang Surut Selama Penelitian
Sampling I (17 Mei 2016)

90
Universitas Sumatera Utara

Lampiran 7. Lanjutan
Sampling II (31 Mei 2016)

91
Universitas Sumatera Utara

Lampiran 7. Lanjutan
Sampling III (15 Juni 2016)

92
Universitas Sumatera Utara

Lampiran 7. Lanjutan
Sampling IV (29 Juni 2016)

93
Universitas Sumatera Utara

73

DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., dan E. Liviawaty. 1993. Pemeliharaan kepiting. Kanisius.
Yogyakarta.
Akpaniteaku, R. C. 2014. Assessment of The Approach and Potential of Mud
CrabAquaculture. Global J. of Fisheries and Aquaculture. 2(3):148-151
Anggraini, E. 1991. Regenerasi Alat Gerak, Pertambahan Bobot Tubuh Pasca
LepasCangkang, dan Kajian Morfometrik Kepiting Bakau (Scylla serrata)
diRawa Payau Muara Sungai Cikaso, Kabupaten Sukabumi. Skripsi.
JurusanManajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan,Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Avianto, I., Sulistiono., I. Setyobudiandi. Karakteristik Habitat dan Potensi
Kepiting Bakau (Scylla serrata, Scylla transquaberica, danScylla olivacea)
di Hutan MangroveCibako, Sancang, Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal
Perikanan dan Sumberdaya Perairan : 98 – 106.
Bagenal,T.B., F.W.Tesch. 1978. Age and Growth inMethods For Assessment
of Fish Production in Fresh Waters. Third Edition. InternationalBiological
Programme HandbooksNo.3.BlackwellScientific Publications, Oxford.
101 – 136.
Bengen, D. G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat
KajianSumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bengen, D. G. 2004. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pedoman
Teknis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Bonine, K. M. 2008. Population Characteristics of The Mangrove Crab Scylla
serrata (Decapoda: Portunidae) in Kosrae,Federated States of
Micronesia:Effects of Harvest and Implications forManagement. Pacific
Science. 62:1- 19.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Davis, S. E.2003. Temporally Dependent C,N and P Dynamics Assocoated with
Decay of Rhizophora mucronata LeafLitter in Oligotrophic Mangrove
Wetlands ofThe ShouthernEvergaldes. Aquatic Botany.75 :199-215.
Dronkers, J.J. 1964. Tidal Computations in Rivers and Coastal Waters. NorthHollandPublishing Company. Amsterdam

Universitas Sumatera Utara

74

Effendi, M. I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Effendi, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
Fachrul, M. F. 2007. Metode SamplingBioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Ghufran, M. 2012. Ekosistem Mangrove: Potensi, Fungsi danPengelolaan. Rineka
Cipta. Jakarta.
Gunarto, R.O. Daud, Usman.1999. Kecenderungan Penurunan Populasi Kepiting
Bakau di Perairan Muara Sungai Cenranae, Sulawesi Selatan Ditinjau
dariAnalisis Parameter Sumber Daya. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. 5(3):30-37.
Hamasaki, K. 2003. Effects of Temperature on The Egg Incubation Period,
Survival andDevelopmental Period of Larvae of The Mud Crab Scylla
serrata(Forskal) (Brachyura:Portunidae) Reared in The Laboratory.
Aquaculture. 219(1–4): 561–572.
Hardjowigeno, S.2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.
Hartnoll, R. G. 1982. Growth.The Biologyof Crustacean Vol. II: Embryology,
Morphology, and Genetic.Academis Press,New York.
Irnawati, R., A. Susanto., S. L. A. Maesaroh. 2014. Waktu Penangkapan Kepiting
Bakau (Scylla serrata) di Perairan Lontar Kabupaten Serang Banten. Jurnal
Perikanan dan Kelautan 4 (4) : 277-282.
Irwanto. 2006. Keanekaragaman FaunaPada HabitatMangrove.Yogyakarta.
Jalil dan A. Mallawa. 2001. Biologi Populasi IkanBaronang Lingkis (Scylla
canaliculatus)diPerairan Kecamatan Bua Kabupaten Luwu.UjungPandang.
Karim, M. Y. 1998. Aplikasi Pakan Alami (Brachionus plicatilis dan Nauplis
Artemia salina) yang Diperkaya dengan Asam Lemak Omega-3 dalam
Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata Forsskal). Disertasi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bharata. Jakarta.
Kathirvel, M., dan S. Srinivasagam. 1992. Taxonomy of the Mud Crab, Scylla
serratafrom India.The Mud Crab,AReporton The Seminar Convened
inSurat Thani, Thailand. Bay ofBengal Programme.Madras.
King, M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. FishingNews
Books. United Kingdom.

Universitas Sumatera Utara

75

Kitamura., S. Anwar., C. Chaniago., A. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in
Indonesia-Bali and Lombok.Depertement of Sustanable Mangrove
Project.
Kohnke, H. 1995. Soil Physics.Tata McGraw-Hill Publ.NewDelhi.
Kordi, K. M. G. H. 1997. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas.
Bhratara. Jakarta.
Kusmana, C., S. Wilarso., I. Hilwan., P. Pamoengkas., C. Wibowo., T. Tiryana.,
A. Triswanto., Yunasfi dan Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove.
Fakultas Kehutanan. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
La Sara. 1994. Hubungan Kelimpahan Kepiting Bakau, Scylla spp dengan
KualitasHabitat di Perairan Segara Anakan, Cilacap.Tesis. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogar.
La Sara. 2010. Studi on The Size Structure andPopulation Parameters of Mud
CrabScylla serratain Lawele Bay,Southeast Sulawesi, Indonesia. Journal
of Coastal Development. 13(2):133-147.
Le Vay. 2001. Ecology and Management of Mud Crab Scylla spp.AsianFisheries
Science. Proceedings of the International Forum on theCultureof
Portunid Crabs. Manila. Philiphines.
Ludwig,J. A., J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: APrimer of Methods and
Computing. Wiley Press. New York.
Mardjono, M., Anindiastuti., N. Hamid., Djunaidah., W. H. Satyantani. 1994.
Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau (S.serrata). Balai Budidaya Air
Payau, Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta
Millaty, R. 2014. Penentuan Suhu Optimum untuk Meningkatkan Kelangsungan
Hidup dan Pertumbuhan Benih Kepiting Bakau Scylla SerratapadaMedia
dengan Sistem Resirkulasi. Skripsi.Institut PertanianBogor.
Miranto, A., T. Efrizal., L. W. Zen. 2014. Tingkat Kepadatan Kepiting Bakau di
SekitarHutanMangrove di Kelurahan Tembeling Kecamatan Teluk Bintan
KepulauanRiau. Universitas Maritime Raja Ali Haji. Riau.
Moosa, M. K. 1985. Beberapa Catatan Mengenai Rajungan dari Teluk Jakarta dan
Pulau-Pulau Seribu. Sumberdaya Bahari Hayati (Rangkuman Beberapa
Hasil Penelitian Pelita II). Jakarta.
Muhaerin, M. 2008. Kajian Sumberdaya Ekosistem Mangrove untuk Pengelolaan
Ekowisata di Estuari Perancak, Jembrana, Bali.Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Universitas Sumatera Utara

76

Mulya, M. B. 2000. Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) serta
Keterkaitannya dengan Karakteristik Biofisik Hutan Mangrove di Suaka
Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Provinsi Sumatera
Utara. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Motoh, H. 1979. Edible Crustaceans in Philippines, 11th in A series. Asian
Aquaculture(2) :5.
Nasution, S. R. 2005. Perbedaan Strukturdan Komposisi Hutan Mangrove di
Kawasan Muara Sungai MesjidKota Administratif Dumai.Skripsi.
FakultasPerikanan danIlmu Kelautan Universitas Riau.Pekanbaru.
Ng, P.K.L., N. Sivasothi. 2001. A Guide to Mangroves of Singapore.
Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal
Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre.
Noor, Y. R.,M.Khazali dan I.N.N.Suryadiputra. 1999. PanduanPengenalan
Mangrove di Indonesia.Wetlands International. Jakarta.
Ningsih, S.S. 2008. Inventarisasi Hutan MangroveSebagai Bagian dari Upaya
PengelolaanWilayah Pesisir Kabupaten DeliSerdang. Tesis. Sekolah
PascaSarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis.Gramedia.
Jakarta.
Odum,

E.P. 1993.
Yogyakarta.

Dasar-Dasar

Ekologi.Gajah

MadaUniversity

Press.

Onyango, S. D. 2002. The Breeding Cycle of Scylla serrata (Forskål, 1755) at
Ramisi River Estuary, Kenya. Wetlands Ecology and Management.
10: 257–263.
Opnai, L. J. 1986. Some Aspect of Phisiology and Ecology of Mud Crab. S.
serrata(Crustacea : Decapoda) in The Mangrove System of The Pruari
and the
AridDeltas.In Rep. of the Workshop on Mangrove Ecosystemof Asia
and
Hosted by the University of Papua New Guinea. Port Moresby.
Pandu, M. 2011. Laju Eksploitasi dan VariasiTemporal Keragaan Reproduksi
IkanSelikur (Scomber australasicus)Betina di Pantai Utara Jawa. IPB.
Bogor.
Peters, C. M. 2004. Sustainable Harvest ofNon-Timber Plant Resources in
Tropical Moist Forest: AnEcological Primer. Section I: TheEcology Of
TropicalTrees AndForest:Washington,D.C.A CrashCourse. Biodiversity
SupportProgram.

Universitas Sumatera Utara

77

Phelan, M., M. Grubert. 2007. The Life Cycle of the Mud Crab. Fishnote No: 11.
Coastal Research Unit, Department of Primary Industry, Fisheries and
Mines. Northern Territory Government of Australia. Darwin.
Pramudji. 2001. The Dinamic of Mangrove ForestArea in The Coastal Zone of
Kotania Bay,West Ceram. Oseana XXVI(3) : 9 – 16
Prianto, E. 2007. Peran Kepiting sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV.
Banyuasin: Balai Riset Perikanan Perairan Umum.
Quinitio, E. T. 2001. Moulting and Regeneration in Scylla serrata
Juveniles.Workshop on Mud Crab Rearing, Ecology and Fisheries. Cantho
University. Vietnam.
Robertson, 1989. Factor Affecting Catches of The Crab Scylla serrata (Forskal)
(Decapoda: Portunidae) in Baited Traps. Soak Time, Time of Day and
Assessibility of The Bait, Estuary. Coastal Shelf Science. 29 : 161-170.
Romimohtarto, K dan S. Juwana, 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Biota
Laut. Djambatan. Jakarta.
Schumacher, B. A. 2002. Methods for The Determination of Total Carbon (TOC)
in Soils and Sediments. United States Environmental ProtectionAgency.
Las Vegas.
Setyawan, A. D., Indrowuryatno., Wiryanto.,K. Winarno.,A. Susilowati. 2005.
Tumbuhan Mangrove di Pesisir JawaTengah.Jurnal Biodiversitas. 6
(2):90-94.
Setiawan, F. dan Triyanto. 2012. Studi Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan
Silvofishery Kepiting bakau di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Limnotek. 19(2):158-165
Shelley, C. 2011. Mud Crab Aquaculture a Practical Manual. FAO
Fisheries and Aquaculture Technical Paper.
Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem
Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sirait, J. M. 1997. Kualitas Habitat Kepiting bakau Scylla serrata, Scylla
Oceanica dan Scylla Transquebarica di Hutan Mangrove RPH Cibuaya
Karawang. Skripsi. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sofian, A., Harahab, N dan Marsoedi. 2012. Kondisi dan Manfaat Langsung
Ekosistem Mangrove Desa Penunggul Kecamatan Nguling Kabupaten
Pasuruan.2 (2): 56-63.

Universitas Sumatera Utara

78

Sulistiono, S. Watanabe dan S. Tsuchida. 1992. Biology and Fisheries of Crab in
Segara Anakan Lagoon. Makalah Hasil Penelitian Bersama antara
Fakultas Perikanan IPB dengan Department of Aquatic Bio Sciences,
Tokyo University of Fisheries.
Susanto, G.N. dan Murwani. 2006. Analisissecara Ekologis Tambak Alih Lahan
pada Kawasan Potensial untuk Habitat Kepiting Bakau (Syclla spp.)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi. Puslit Limnologi-LIPI.284-292.
Susanto, A., R. Irnawati., D. Yuliyanti. 2014. Perbedaan Jenis Umpan dan Waktu
Penangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) dengan Bubu LipatSkala
Laboratorium. Jurnal Perikanan dan Kelautan 4 (4) : 221-228.
Suwondo, E., Febrita, dan F. Sumanti. 2006.Struktur Komunitas Gastropoda di
Hutan Mangrove di Pulau Sipora.Jurnal Biogenesis2(1):25-291.
Syahril, A. R.1995. Studi Pola SebaranMangrove berdasarkan Variasi Salinitas
di Pantai Malili, Kabupaten Luwu. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Tanod, A. L. 2000. Studi Pertumbuhan dan Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla
serrata, Scylla Tranquebarica, Scylla oceanica) di Segara Anakan,
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ulumuddin, Y.I., Darmawan, I.W.E.2012. Keanekaragaman Tumbuhan,
Ekologi Komunitas, dan StokKarbon: Pentingnya Mangrove diPulauPulauKecil
KabupatenPangkajene
Kepulauan,
SulawesiSelatan.
Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia, Jakarta.
Warner, G. F. 1977. The Biologi of Crab. Elek Science London. England.
Wijaya, N. I., F. Yulianda., M. Boer., S. Juwana. 2010. Biologi Populasi Kepiting
Bakau (Scylla serrata) di Habitat Mangrove Taman Nasional Kutai
Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Oseanologi dan Limnologi 36(3): 443461.
Wijaya, N. I. 2011. Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui
Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di
Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zimecki, M. 2006. The Lunar Cycle: Effect on Human and Animal Behavior and
Physiology. Postepy Hig Med Dosw (60) : 1-7.

Universitas Sumatera Utara

29

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Hutan Mangrove Sicanang Kecamatan
Medan Belawan Sumatera Utara pada Mei sampai bulan Juni 2016. Peta lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah parang, tali rafia, kantong
plastik, gunting, kompas, kamera digital, GPS (Global Positioning System), alat
tulis, meteran,thermometer, salintest, pH meter, sekop, bubu (alat tangkap
kepiting), spidol permanen, kertas label, jangka sorong dan timbangan.

Universitas Sumatera Utara

30

Bahan yang digunakan adalah kepiting bakau, ikan rucah sebagai umpan,
buku identifikasi mangrove (Noor dkk., 2006).

Prosedur Kerja
Metode yang digunakan untuk penentuan lokasi dalam pengambilan
sampel menggunakan Purposive Sampling pada 3 stasiun penelitian setelah
dilakukan survey terlebih dahulu.Metode pengumpulan data menggunakan
Purposive Sampling yaitupenentuan tempat pengamatan vegetasi dengan melihat
ciri-ciri atau sifat-sifatvegetasi yang sudah diketahui sebelumnya untuk
mengetahui komposisi, strukturdan keanekaragaman mangrove serta sebagai satu
teknik pengambilan sampel yang didasarkan atas ciri atau sifat yang ditentukan
untuk mencapai tujuan tertentu.
Penelitian juga dibagi menjadi 2 lokasi yaitu di lapangan untuk
menganalisis vegetasi mangrove dan mengkaji kualitas air yang ada di lokasi
penelitian serta di laboratorium untuk melihat fraksi substrat yang diambil dari
masing-masing stasiun penelitian.

Deskripsi Stasiun Penelitian
Ada 3 titik stasiun penelitian yang dibagi menurut jenis vegetasi
mangrovenya yaitu :


Stasiun 1 : Letak geografis stasiun 1 berada pada 3ᴼ45'3,1" LU

dan

98ᴼ38'21,98" BT. Stasiun 1 ini didominasi oleh Sonneratia sp dan terdapat
banyak tambak. Lokasi Stasiun 1 dapat dilihat pada Gambar 7.

Universitas Sumatera Utara

31

Gambar 7. Lokasi Stasiun 1


Stasiun 2 : Letak geografis lokasi Stasiun 2 berada pada 3ᴼ45'16,32" LU dan
98ᴼ38'28,98" BT. Stasiun 2 didominasi oleh Rhizophora sp dan lokasi ini
dijadikan tempat penangkapan kepiting bakau yang paling dominan oleh
nelayan setempat. Lokasi Stasiun 2 dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Lokasi Stasiun 2


Stasiun 3 : Letak geografis Stasiun 3 berada pada 3ᴼ44'58,15" LU dan
98ᴼ38'50,41 BT. Stasiun 3 ini mempunyai jenis vegetasi heterogen dan di

Universitas Sumatera Utara

32

lokasi ini tidak terdapat tambak maupun penangkapan kepiting bakau. Lokasi
Stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Lokasi Stasiun 3

Pengambilan Sampel Kepiting Bakau
Sampel

kepiting

bakau

ditangkap

dengan

menggunakan

bubu

yangditempakan secara acak pada tiap substasiun (10mx 10m). Pada tiap stasiun
ditempatkan 20 buah bubu dengan diameter 32,5 cm seperti yang terlihat pada
Gambar 10, bubu diletakkan pada saat surut kemudian sampel kepiting diambil
pada saat air surut pula. Pengambilan sampel kepiting bakau dilakukan sebanyak
dua kali setiap bulannya pada waktu surut siang hari. Posisi bubu pada
tiappengulangan selalu berubah sehingga diharapkan menempati seluruh
petakpengamatan. Selanjutnya kepiting bakau

yang tertangkap dihitung

jumlahnya kemudian tiap individu kepiting diukur lebar karapas dan ditimbang
bobot kepiting.

Universitas Sumatera Utara

33

Gambar 10. Bubu Kepiting Bakau yang digunakan pada saat sampling.

Pengukuran Parameter Kualitas Air dan Substrat
Pengukuran parameter fisik-kimia air dan substrat dilakukan secarainsitudan

ex-situ.

Pengukuran

dilakukansesuai

dengan

penempatan

bubu.Pengamatan terhadapparameter kualitas tanah dilakukan secara vertikal dan
hanya sampai batas lapisan top soil (30 cm) hal ini mengingat kepiting hanya
memanfaatkan tanah tidak lebih dari batastersebut.
Parameter tanah yang diamati meliputi : tekstur, fraksi substrat dan
kandungan C-organik. Kandungan bahan organik tanah dihitung dari kandungan
C-organik. Sifatkimia tanah berdasarkan kandungan C-organik terbagi menjadi
lima yaitu; sangat rendah (5,00% C) (Hardjowigeno,
2003).

Universitas Sumatera Utara

34

Prosedur pengukuran parameter kualitas air dan substrat adalah sebagai
berikut :
a. Suhu air diukur menggunakan thermometer.
b. pH air diukur dengan pH meter.
c. Salinitas air diukur dengan salintest.
d. Oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan metode Winkler.
e. Kandungan C-organik dianalisis di laboratorium. Pengukuran kandungan
C-organik dilakukan dengan mengambil sampel substrat pada saat surut.

Pengukuran Vegetasi Mangrove
Identifikasi jenis mangrove dapat langsung ditentukan di lapangan dan
jenis mangrove yang belum diketahui jenisnya diidentifikasi di Laboratorium
Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan dengan mengacu pada buku
identifikasi Noor dkk., (2006). Pada transek pengamatan dibuat petak-petak
contoh dengan tingkat tegakan dengan jarak arah rintis sebesar 50 m menurut
Kusmana (1997). Transek Pengukuran Vegetasi Mangrove dapat dilihat pada
Gambar 11.
1. Pohon, adalah memiliki diameter batang lebih besar dari 10 cm pada petak
contoh 10 x 10 meter.Data yang diambil adalah : jenis pohon, diameter pohon
per jenis dengan ukuran 1,3 m dari tanah atau di ukur 20 cm di atas banir atau
akartunjang yang paling atas, dan jumlah jenis.
2. Pancang, adalah anakan yang memiliki diameter batang kurang dari 10 cm
dengan tinggi lebih dari 1,5 meter pada petak contoh 5 x 5 meter.Data tingkat
pancang yang diambil ialah jenis, jumlah individu dan diameter.

Universitas Sumatera Utara

35

3. Semai, adalah anakan yang memiliki tinggi kurang dari 1,5 meter pada petak

contoh 2 x 2 meter.Data semai yang diambil ialah nama jenis dan jumlah
individu

Gambar 11. Transek Pengukuran Vegetasi Mangrove berdasarkan kategori
pohon (10 x 10 m), pancang (5 x 5 m) dan semai (2 x 2 m).

Analisis Data
Analisis Vegetasi Mangrove
Menurut Kusmana(2005), perhitungan besarnya nilaikuantitatif parameter
vegetasi, khususnyadalam penentuan indeks nilai penting,dilakukan dengan
formula berikut ini :
1. Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif
Kerapatan (Density) menunjukkan jumlah nilai individu dari suatu jenis yang
terdapat dalam plot.Nilai dari kerapatan tersebut dapatdihitung menggunakan
rumus sebagaiberikut :
Kerapatan Jenis =

Jumlah individu suatu jenis
Luas areal contoh

Kerapatan relatif adalah perbandingan antara jumlah individu suatu jenis yang
diperoleh dengan jumlah kerapatan seluruh individu yang dinyatakan dalam
persen.

Universitas Sumatera Utara

36

Kerapatan Relatif (%) =

Kerapatan suatu jenis
Kerapatan seluruh jenis

x 100%

2. Frekuensi suatu jenis
Frekuensi (F) menunjukkan bagaimana penyebaran suatu jenis individu
mangrove dalam areal yang diamati dan diperoleh dengan membandingkan
antara jumlah plot yang ditemukan suatu jenis dengan jumlah seluruh plot yang
diamati.
Frekuensi =

Jumlah plot yang ditempati suatu jenis
Jumlah plot pengamatan

Frekuensi Relatif (FR) merupakan perbandingan antara frekuensi dari suatu
jenis tertentu dengan frekuensi seluruh jenis yang dinyatakan dalam persen.
Frekuensi Relatif (%) =

Frekuensi dari suatu jenis
Frekuensi dari seluruh jenis

x 100%

3. Dominansi
Dominansi memberikangambaran tentang penguasaan jenis dalamplot. Nilai ini
didapat dengan menghitungluas bidang dasar suatu jenis dankemudian dibagi
dengan luas seluruh plotyang ada.
Dominansi =

Luas bidang dasar suatu jenis
Luas plot pengamatan

Untuk mendapatkan nilai luas bidang dasar pada perhitungan dominasi dapat
digunakan rumus sebagai berikut :
LBD = ¼ π D²
Keterangan : LBD adalah Luas Bidang Dasar (m²) π adalah 3,14
D adalah Diameter pohon (cm)
Dominansi Relatif (DR) merupakan perbandingan dominansi dari suatu jenis
dengan dominansi dari seluruh jenis yang dinyatakan dalam persen.
Dominansi Relatif (%) =

Dominansi suatu jenis
Dominansi seluruh jenis

x 100%

Universitas Sumatera Utara

37

4. Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai Penting adalah nilai yang memberikan suatu gambaran mengenai
pengaruh atauperanan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam ekosistem
mangrove.
INP Pohon = KR + FR +DR
INP Pancang dan Semai = KR + FR
5.Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
Penilaian terhadap keanekaragaman mangrove dihitung berdasarkan
indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang digunakan untuk mengukur
kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah jenisspesies dan jumlah individu dari
setiap spesies pada suatu lokasi (Krebs, 1989). Semakin banyak jumlah jenis
spesies, maka semakin beragam komunitasnya. Persamaan yang digunakan
sebagai berikut :
S


H = � Pi ln Pi
L=1

Keterangan :
H’
: Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
Pi
: Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu total yaitu
Pi = ni/N dengan ni : jumlah suatu spesies i
N : total jumlah spesies
Kisaran indeks keanekaragaman Shannon-Wiener adalah sebagai berikut :
H’ ≤ 2,0
: Tingkat keanekaragaman rendah, tekanan ekologi tinggi
2,0< H’ ≤ 3,0
: Tingkat keanekaragaman sedang, tekanan ekologi sedang
H’> 3,0
: Tingkat keanekaragaman tinggi, tekanan ekologi rendah
6.Indeks Keseragaman
Untuk mengetahui seberapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu
setiap jenis digunakan indeks keseragaman, yaitu dengan cara membandingkan
indeks

keanekaragaman

dengan

nilaimaksimumnya.

Semakin

seragam

Universitas Sumatera Utara

38

penyebaran individu antar spesies maka keseimbanganekosistem akan semakin
meningkat. Indeks keseragaman ditentukan berdasarkan persamaan berikut
(Ludwig and Reynolds, 1988) :
H′
E= ′
H’ max = Ln S
H max

Keterangan :
E
:
H’
:
H’max
:
S
:

indeks keseragaman
indeks keanekaragaman
indeks keanekaragaman maksimum
jumlah jenis yang terdapat pada petak contoh

Kisaran indeks keseragaman adalah sebagai berikut :
Ekosistem berada dalam kondisi tertekan dan keseragaman
0 < E ≤ 0,5
:
Rendah
Ekosistem berada dalam kondisi kurang stabil dan
0,5 < E ≤ 0,75 :
keseragamansedang
Ekosistem berada dalam kondisi stabil dan keseragaman
0,75 < E ≤ 1,0 : tinggi
Setelah semua data perhitungan selesai dilakukan maka hasil akan
dibandingkan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201
Tahun 2004 Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.

Kepiting Bakau
Kelimpahan Kepiting Bakau
Untuk mengetahui kelimpahan kepiting bakau menggunakan rumus
(Bengen dkk., 1992) :

N=
Keterangan :

N
∑ ni
A

∑ ni
A

= kelimpahan kepiting bakau jenis I (ind/ha)
= jumlah individu jenis i
= luas daerah pengamatan contoh (ha)

Universitas Sumatera Utara

39

Hubungan Lebar Karapas dan Bobot Tubuh
Hubungan lebar karapas dan bobot dianalisis untuk dapat mengetahui pola
pertumbuhan kepiting bakau. Analisa mengenai hubungan lebar karapas-bobot
dapat digunakan untukmempelajari pola pertumbuhan. Lebar karapas pada
kepiting dimanfaatkan untukmenjelaskan pertumbuhannya, sedangkan bobot
dapat dianggap sebagai fungsidari lebar tersebut. Hubungan lebar karapas-bobot
hampir mengikuti hukum kubikyaitu bahwa bobot kepiting merupakan hasil
pangkat tiga dari lebarnya.Untuk menganalisa pola pertumbuhan kepiting bakau
dilakukan analisaregresi linier sederhana, untuk melihat hubungan lebar karapas
kepiting bakau dengan bobot tubuhnya. Rumus yang digunakan menurut Effendie
(1979) yaitu :
Y = a + bX
Untuk menduga laju pertumbuhan kedua parameter yang diamati dapat
dinilai dari nilai b yang dapat dihitung dengan rumus dibawah ini :
b=

N x ∑(Log W x Log L) − (∑ Log W x ∑ Log L)
2
N x ∑ Log 2 L − (∑ Log L)

Log L
Log W
� −b�

Log a = �
N
N
Keterangan : N = jumlah kepiting jantan atau betina (ekor)
W = Bobot Tubuh (gram)
L = Lebar Karapas (cm)

Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau
Pola pertumbuhan digambarkan dalamdua bentuk yaitu isometrik dan
alometrik. Untuk kedua pola ini berlaku persamaan (Effendi, 1997) yaitu :

W = a Lb

Universitas Sumatera Utara

40

Keterangan :
W
= bobot tubuh kepiting bakau (gr)
L
= lebar karapas kepiting bakau (cm)
a dan b = konstanta
Korelasi parameter dari hubungan lebar karapas dan bobot dapat dilihat
darinilai konstanta b (sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan kedua
parameter)yaitu, dengan hipotesis:
1. Bila nilai b = 3, maka hubungan yang isometrik (pola pertumbuhan lebar
karapas sama dengan pola pertumbuhan bobot)
2. Bila b ≠ 3, maka hubugan allometrik, yaitu:
a. Bila b > 3 maka allometrik positif (pertambahan bobot lebih dominan)
b. Bila b < 3 maka allometrik negatif (pertambahan lebar karapas lebih
dominan
Uji yang dipakai adalah uji parsial (uji t) yaitu dengan hipotesis :
H0 : b = 3 (isometrik)
H1 : b ≠ 3 (allometrik)

Thitung =

B1−B0
SB 1

Pada selang kepercayaan 95% bandingkan nilai Thitung dengan nilai
Ttabelkemudian keputusan yang diambil untuk mengetahui pola pertumbuhan
yaitu:
Thitung>Ttabel : tolak hipotesis nol (H0)
Thitung 0,7) menggambarkan hubungan erat antar

Universitas Sumatera Utara

41

keduanya, dan nilai menjauhi 1 (r < 0,7) menggambarkan hubungan yang tidak
erat keduanya (Walpole, 1992).

Faktor Kondisi
Faktor

kondisi

yaitu

suatu

keadaan

yang

menggambarkan

kemontokankepiting dan dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan data lebar
karapas danbobot.Dalam menganalisis faktor kondisi kepiting bakau terlebih
dahulu kepitingbakau dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Kepiting bakau
yang memilikijenis kelamin yang sama dilihat koefisien pertumbuhan (model
gabungan lebardan bobot). Setelah pola pertumbuhan lebar dan berat tersebut
diketahui, makabaru dapat ditentukan kondisi dari kepiting tersebut (Effendie,
2002)
a. Jika pertumbuhan kepiting bakau isometrik (b=3) maka persamaan yang
digunakan adalah:
K=

W105
L3

b. Jika pertumbuhan kepiting bakau adalah model pertumbuhan allometrik(b
≠3)
maka persamaan yang digunakan adalah:
K=

W
aLb

Keterangan : K = Faktor Kondisi, W = bobot tubuh kepiting bakau contoh
(gram), L = lebar karapas kepiting bakau contoh (cm), a adalah konstanta, dan b =
intercept.

Universitas Sumatera Utara

42

Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Kelimpahan Kepiting Bakau
Dari data kerapatan mangrove dan kelimpahan kepiting bakau dapat
diketahuikorelasi antara vegetasi mangrove dengankepiting bakau menggunakan
model regresisederhana. Rumus yang digunakan (Steel dan Torrie, 1980) adalah :
Y=a+bX
Keterangan :
Y
= Kelimpahan Kepiting Bakau
X
= Kerapatan Mangrove
A
= konstanta
B
= slope
Keeratan hubungan antarakerapatan mangrove dengan kelimpahan
kepiting

bakau

dapat

dilihat

dari

besarnyakoefisien

korelasi

(r)

dan

koefisiendeterminasi (R2). Koefisien determinasimenggambarkan besarnya variasi
indekstetap (Y) dapat diterangkan oleh indeksbebas (X). Sedangkan Koefisien
korelasimenggambarkan besarnya hubungan antaraindeks bebas dengan indeks
tetap.
Menurut Sugiyono (2000) untuk memberikan gambaran derajat hubungan
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Interpretasi Koefisien Korelasi (r)
Interval Koefisien
0,00 – 0,199
0,20 – 0,399
0,40 – 0,599
0,60 – 0,799
0,80 – 1,000

Tingkat Hubungan
Sangat lemah
Lemah
Sedang
Kuat
Sangat kuat

Universitas Sumatera Utara

43

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Ekosistem Mangrove
Kerapatan Mangrove
Vegetasi mangrove yang ditemukan di stasiun I sebanyak dua jenis yaitu
S. alba dan S. caseolaris. Total keseluruhan pohon sebanyak 82 individu, total
keseluruhan pancang sebanyak 60 individu dan total keseluruhan semai sebanyak
20 individu. Kerapatan pohon yang didapat untuk S. alba 840 ind/ha, S. caseolaris
800 ind/ha. Kerapatan pancang S. alba 2240 ind/ha, S. caseolaris 2560 ind/ha.
Kerapatan semai S. alba 4000 ind/ha, S. caseolaris 6000 ind/ha. Kerapatan relatif
pohon S. alba 51,22%, S. caseolaris 48,78%. Kerapatan relatif pancang S. alba
46,67%, S. caseolaris 53,33%. Kerapatan relatif semai S. alba 40%, S. caseolaris
60%. Kerapatan stasiun I dilihat pada Gambar 12. Perhitungan analisis vegetasi
mangrove dapat dilihat pada Lampiran 1.
7000

Kerapatan (ind/ha)

6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
S. alba S.
caseolaris

Pohon

S. alba S.
caseolaris

Pancang

S. alba S.
caseolaris

Semai

Universitas Sumatera Utara

44

Gambar 12. Kerapatan Mangrove Stasiun I
Vegetasi mangrove pada stasiun II terdapat 2 jenis mangrove yaitu
R. apiculata dan R. mucronata. Total keseluruhan pohon sebanyak 95 individu,
total keseluruhan pancang sebanyak 50 individu dan total keseluruhan semai
sebanyak 18 individu. Kerapatan pohon yang didapat untuk R. apiculata
900 ind/ha, R. mucronata 1000 ind/ha. Kerapatan pancang R. apiculata 2400
ind/ha, R. mucronata 1600 ind/ha. Kerapatan semai R. apiculata 5000 ind/ha,
R. mucronata 4000 ind/ha. Kerapatan relatif pohon R. apiculata 47,37%,
R. mucronata 52,63%. Kerapatan relatif pancang R. apiculata 60%, R. mucronata
40%. Kerapatan relatif semai R. apiculata 55,56%, R. mucronata 44,44%.
Kerapatan pada stasiun II dapat dilihat pada Gambar 13. Perhitungan analisis
vegetasi mangrove dapar dilihat pada Lampiran 1.

Kerapatan (ind/ha)

6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
R.
R.
apiculata mucronata

Pohon

R.
R.
apiculata mucronata

R.
R.
apiculata mucronata

Pancang

Semai

Gambar 13. Kerapatan Mangrove Stasiun II
Vegetasi mangrove pada stasiun III terdapat 9 jenis mangrove yaitu
A. alba, A. marina, B. gymnorrhiza, B. hainessii, C. tagal, N. fruticans, S. alba,
S. caseolaris, X. granatum. Total keseluruhan pohon sebanyak 98 individu, total
keseluruhan pancang sebanyak 50 individu dan total keseluruhan semai sebanyak

Universitas Sumatera Utara

45

40 individu. Kerapatan pohon yang didapat untuk A. alba 300 ind/ha, A. marina
280 ind/ha, B. gymnorrhiza 280 ind/ha, B. hainessii 280 ind/ha, C. tagal 120
ind/ha, N. fruticans 160 ind/ha, S. alba 200 ind/ha, S. caseolaris 200 ind/ha, X.
granatum 140 ind/ha. Kerapatan pancang A. alba 640 ind/ha, A. marina 560
ind/ha, B. gymnorrhiza 720 ind/ha, B. hainessii 640 ind/ha, S. alba 800 ind/ha,
S. caseolaris 640 ind/ha. Kerapatan semai A. marina 6000 ind/ha, B. gymnorrhiza
7000 ind/ha, S. alba 4500 ind/ha, X. granatum 2500 ind/ha. Kerapatan relatif
pohon A. alba 15,31%, A. marina 14,29%, B. gymnorrhiza 14,29%, B. hainessii
14,29%, C. tagal 6,12%, N. fruticans 8,16%, S. alba 10,20%, S. caseolaris
10,20%, X. granatum 7,14%. Kerapatan relatif pancang A. alba 16%, A. marina
14%, B. gymnorrhiza 18%, B. hainessii 16%, S. alba 20%, S. caseolaris 16%.
Kerapatan relatif semai A. marina 30%, B. gymnorrhiza 35%, S. alba 22,5%,
X. granatum 12,5%. Kerapatan pada stasiun III dapat dilihat pada Gambar 14.
Perhitungan analisis mangrove dapat dilihat pada Lampiran 1.

Universitas Sumatera Utara

46

8000

Kerapatan (ind/ha)

A. alba
7000

A. marina

6000

B. gymnorrhiza
B. hainessii

5000
C. tagal
4000

N. fruticans
S. alba

3000

S. caseolaris
2000
X. granatum
1000
0

Pohon

Pancang

Semai

Gambar 14. Kerapatan Mangrove Stasiun III
Frekuensi Mangrove
Frekuensikategori pohon, pancang, dan semai pada stasiun I memiliki
frekuensi 1 padaS. alba dan S. caseolaris dengan frekuensi relatif masing-masing
jenis adalah 50%. Frekuensi stasiun I dapat dilihat Gambar 15. Perhitungan
analisis mangrove dapat dilihat pada Lampiran 1.

Universitas Sumatera Utara

47

1,2

Frekuensi

1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
S. alba

S.
caseolaris

Pohon

S. alba

S.
caseolaris

S. alba

Pancang

S.
caseolaris

Semai

Gambar 15. Frekuensi Mangrove Stasiun I

Frekuensikategori pohon, pancang, dan semai pada stasiun II memiliki
frekuensi 0,6 padaR. apiculata dan frekuensi 0,4 pada R. mucronata dengan
frekuensi relatif R. apiculata adalah 60% dan R. mucronata adalah 40%.
Frekuensi stasiun II dapat dilihat Gambar 16. Perhitungan analisis vegetasi
mangrove dapat dilihat pada Lampiran 1.
0,7

Frekuensi

0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0

R.
R.
apiculata mucronata

Pohon

R.
R.
apiculata mucronata

R.
R.
apiculata mucronata

Semai

Pancang

Gambar 16.Frekuensi Mangrove Stasiun II
Frekuensikategori pohon pada stasiun III memiliki frekuensi 1 padaA.
alba, A. marina, B. gymnorrhiza, B. hainessii, S. caseolaris, C. tagal 0,6,

N.

fruticans 0,8, S. alba 0,8, X. granatum 0,6. Frekuensi Relatif pada A. alba12,82%,

Universitas Sumatera Utara

48

A. marina 12,82%, B. gymnorrhiza 12,82%, B. hainessii 12,82%,

C.

tagal 7,69%, N. fruticans 10,26%, S. alba 10,26%, S. caseolaris 12,82%,
X. granatum 7,69%. Frekuensi kategori pancang adalah 0,8 dan frekuensi relatif
17% pada A. alba, A. marina, B. gymnorrhiza, S. alba, S. caseolaris. Frekuensi
kategori semai A. marina 0,8, B. gymnorrhiza 0,8, S. alba 0,6, X. granatum 0,2.
Frekuensi relatif pada kategori semai adalah A. marina 33%, B. gymnorrhiza
33%, S. alba 25%, X. granatum 8,3%. Frekuensistasiun III dapat dilihat Gambar
17.

Perhitungan

analisis

mangrove

dapat

dilihat

pada

1,2

Lampiran

1.

A. alba
A. marina

1

B. gymnorrhiza

Frekuensi

0,8

B. hainessii
C. tagal

0,6

N. fruticans
S. alba

0,4

S. caseolaris
0,2

X. granatum

0

Pohon

Pancang

Semai

Gambar 17. Frekuensi Mangrove Stasiun III
Dominansi Mangrove
Dominansi stasiun I yang tertinggi adalah S. alba dengan dominansi 0,26
dan dominansi relatifnya adalah 52%. Dominansi stasiun II yang tertinggi adalah
R. apiculatadengan dominansi 0,31 dan dominansi relatifnya adalah 50,2%.
Dominansi stasiun III yang tertinggi adalah N. fruticans dengan dominansi 1,87
dan dominansi relatifnya adalah 45,89%. Dominansi setiap stasiun dapat dilihat

Universitas Sumatera Utara

49

pada Gambar 18. Perhitungan analisis vegetasi mangrove dapat dilihat di
Lampiran 1.
S. alba

Dominansi

2

S. caseolaris

1,8

R. apiculata

1,6

R. mucronata

1,4

A. alba

1,2

A. marina
B. gymnorrhiza

1

B. hainessii

0,8

C. tagal

0,6

N. fruticans

0,4

S. alba

0,2

S. caseolaris

0

X. granatum

Stasiun I Stasiun II
Stasiun III
Gambar 18. Dominansi Mangrove Setiap Stasiun
Indeks Nilai Penting
Vegetasi yang terdapat pada suatu wilayah tertentu akan memiliki
pengaruhatau peranan terhadap lingkungan sekitarnya, besarnya pengaruh atau
peranansuatu jenis vegetasi pada suatu lokasi biasa ditentukan dengan INP
(Indeks NilaiPenting), maka banyak jumlah vegetasi yang ditemukan, semakin
tinggifrekuensi yang ditemukannya, semakin besar diameter batang yang
dimilikinyatentu akan memperbesar nilai dari INP tersebut. Nilai INP dari setiap
stasiun dapat dilihat pada Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5. Perhitungan analisis
vegetasi mangrove dapat dilihat di Lampiran 1.
Tabel 3. Indeks Nilai Penting Stasiun I
No. Spesies
Pohon
1.
S. alba
153
2.
S. caseolaris
147
300

Pancang
97
103

Semai
90
110

200

200

Universitas Sumatera Utara

50

Tabel 4. Indeks Nilai Penting Stasiun II
No. Spesies
Pohon
1.
R. apiculata
158
2.
R. mucronata
142
300

Pancang
120
80
200

Semai
116
84
200

Tabel 5. Indeks Nilai Penting Stasiun III
No. Spesies
Pohon

Pancang

Semai

33
31
35
33
37
33
200

63
68
48
21
200

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

A. alba
A. marina
B. gymnorrhiza
B. hainessii
C. tagal
N. fruticans
S. alba
S. caseolaris
X. granatum

34,2
32,5
33,5
34
19,5
64,3
27,3
28,7
26
300

Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman
Nilai Indeks keanekaragaman paling tinggi terdapat pada stasiun III
padakategori pohon, nilai indeks keanekaragaman paling rendah yaitu pada
stasiun III pada kategori semai. Nilai Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada
semua stasiun dapat dilihat pada Tabel 6. Perhitungan analisis mangrove dapat
dilihat di Lampiran 1.
Tabel 6. Indeks Keanekaragaman dan Indeks KeseragamanMangrove
Stasiun Kategori Indeks Keanekaragaman
Indeks Keseragaman
Semai
0,67
0,97
I
Pancang 0,69
0,99
Pohon
0,69
0,99
Semai
0,68
0,99
II
Pancang 0,67
0,97
Pohon
0,69
0,99
III

Semai
Pancang
Pohon

0,60
1,20
2,15

0,95
0,99
0,98

Universitas Sumatera Utara

51

Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Stasiun I pada sampling pertama tertangkap sebanyak 40 ekor, pada
sampling kedua 33 ekor, pada sampling ketiga 37 ekor, pada sampling keempat 53
ekor. Stasiun 1I pada sampling pertama tertangkap sebanyak 40 ekor, pada
sampling kedua 28 ekor, pada sampling ketiga 32 ekor, pada sampling keempat 65
ekor. Stasiun 1II pada sampling pertama tertangkap sebanyak 50 ekor, pada
sampling kedua 22 ekor, pada sampling ketiga 28 ekor, pada sampling keempat 70
ekor. Kelimpahan kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 7. Pemasangan umpan,
alat tangkap bubu dan transek mangrove dapat dilihat di Lampiran 2.
Tabel 7. Kelimpahan Kepiting Bakau
Stasiun I
Stasiun II
16300 ind/ha
16500 ind/ha

Stasiun III
17000 ind/ha

Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Scylla serrata
Hubungan lebar karapas (Carapace Width/CW) dan bobot tubuh (Body
Weight/W) kepiting bakaudigunakan untuk mengetahui polapertumbuhan dan
dianalisa menggunakan analisis regresi. Hasil analisis hubunganlebar karapas dan
bobot kepiting bakau didapatkan nilai koefisien determinasi (R2) yang berbeda
pada setiap stasiun penelitian. Pada Stasiun I didapatkannilaikoefisien determinasi
(R2)kepitingbakau jantan sebesar 0,954 atau 95,4% dapat dilihat pada Gambar 19
dankepitingbetina0,895 atau 89,5% dapat dilihat pada Gambar 20 dengan
persamaanW =0,3683L2,6573(kepiting jantan)danW =0,5819L2,457(kepiting betina).
Pada Stasiun II didapatkannilaikoefisien determinasi (R2)kepitingbakau
jantan

sebesar

0,9211

atau

92,11%

dapat

dilihat

pada

Gambar

21

dankepitingbetina0,9739 atau 97,39% dapat dilihat pada Gambar 22 dengan

Universitas Sumatera Utara

52

persamaanW

=0,4252L2,5628(kepiting

jantan)danW

=0,2094L2,8727(kepiting

betina).
Pada Stasiun III didapatkannilaikoefisien determinasi (R2)kepitingbakau
jantan

sebesar

0,9089

atau

90,89%

dapat

dilihat

pada

Gambar

23

dankepitingbetina0,9589 atau 95,89% dapat dilihat pada Gambar 24 dengan
persamaanW =0,28L2,7244(kepiting jantan)danW =0,2282L2,8056(kepiting betina).
350

Bobot Tubuh (gr)

300

y = 0,3683x2,6573
R² = 0,954

250
200
150
100
50
0
0

2

4

6
8
Lebar Karapas (cm)

10

12

14

Gambar 19. Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Tubuh Jantan Scylla serrata
Stasiun I
350

Bobot Tubuh (gr)

300

y = 0,5819x2,457
R² = 0,895

250
200
150
100
50
0
0

2

4

6

8

10

12

14

Lebar Karapas (cm)
Gambar 20. Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Tubuh Betina Scylla serrata
Stasiun I

Universitas Sumatera Utara

53

350

Bobot Tubuh (gr)

300

y = 0,4252x2,5628
R² = 0,9211

250
200
150
100
50
0
0

2

4

6
Lebar
Karapas8(cm)

10

12

14

Gambar 21. Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Tubuh Jantan Scylla serrata
Stasiun II
350

y = 0,209x2,872
R² = 0,973

Bobot TUbuh (gr)

300
250
200
150
100
50
0
0

2

4

6

8

10

12

14

Lebar Karapas (cm)

Gambar 22. Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Tubuh Betina Scylla serrata
Stasiun II

Universitas Sumatera Utara

54

350

Bobot Tubuh (gr)

300

y = 0,28x2,724
R² = 0,908

250
200
150
100
50
0
0

2

4

6

8

Lebar Karapas (cm)

10

12

14

Gambar 23. Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Tubuh Jantan Scylla serrata
Stasiun III
350

Bobot Tubuh (gr)

300

y = 0,228x2,805
R² = 0,958

250
200
150
100
50
0
0

2

4

6 Karapas8(cm)
Lebar

10

12

14

Gambar 24. Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Tubuh Betina Scylla serrata
Stasiun III
Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau
Pola pertumbuhan kepiting bakau dianalisa menggunakan metode regresi
dengan melihat hubungan antara lebar karapas kepiting bakau dengan bobot
tubuhnya.Nilai

b

akan

menjadi

indikator

yang

mendeskripsikan

pola

pertumbuhankepiting bakau. Hasil uji t nilai b untuk kepiting jantan

Universitas Sumatera Utara

55

maupunkepitingbetinamenunjukkanbahwa thit lebih besar dibanding ttabel, sehingga
dapat dikatakanhubungan lebar karapas dengan bobot S. serrata tidakisometrik..
Pola pertumbuhanS. serrata jantan dan betina di ketiga stasiun menunjukkan nilai
konstantab

Dokumen yang terkait

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 16

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 6

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 22

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 6

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 16

Jenis Umpan dan Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 16

Jenis Umpan dan Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Jenis Umpan dan Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 4

Jenis Umpan dan Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 1 12