15
I.6.2 Konsep Pemekaran
UU tentang otonomi daerah telah keluarkan pada tahun 1999 yaitu dengan di keluarkannya UU No.22 dan UU No 25 mengenai otonomi daerah, namun
pelaksanaannya masing-masing UU baru pada awal tahun 2000 yaitu dengan diterapkannya pemilihan Kepala Daerah dengan sistem paket dan langsung
dikeluarkan oleh DPRD tanpa campur tangan pusat yakni Departemen Dalam negeri, kemudian pada tahun 2001 UU tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah diterapkan melalui desentralisasi fiskal yang memberi keleluasan kepada daerah untuk merancang dan melaksanakan penerimaan dan pengeluarannya.
Namun kedua UU tersebut telah mengalami revisi menjadi UU No 32 dan UU No 33 Tahun 2004. Dengan diberikan kesempatan daerah untuk merancang dan
mengatur alokasi dana pembangunan dan menetapkan prioritas pembiyaan diharapkan dapat mempercepat perluasan dan peningkatan kesejahteraan daerah
mereka. Dalam UU Otonomi Daerah tahun 2004 dijelaskan bahwa, Otonomi
Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan perundang-undangan
16
. Adapun syarat teknis dalam penyelenggaraan pemekaran daerah kabupaten yaitu : dalam pasal empat 4 meliputi faktor
kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan dan faktor lain yang mendukung. Sedangkan dalam padal lima 5 disebutkan bahwa syarat fisik
16
UUD Otonomi Daerah 2004, Citra Umbara. Bandung 2005. Hal 4
16 terlaksananya otonomi daerah kabupaten antara lain : harus terdapat paling sedikit
lima 5 kecamatan, terdapat lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintah.
Ada beberapa ahli mendefinisikan konsep Otonomi daerah dari fokus kajian yang berbeda, jika dilihat dari persfektif politik yang di utarakan oleh
Rondinelli dan Chemma, otonomi daerah di definisikan sebagai proses pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan atau pemerintahan
dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi unit-unit pelaksana daerah, kepada organisasi semi otonom dan parastatal, ataupun kepada pemerintahdaerah
atau organisasi non-pemerintah.
17
Sedangkan laporan Tahunan Bank Dunia tahun 1999:107-124 mendefinikan otonomi daerah desentralisasi sebagai pelimpahan wewenang dan
tanggung jawab untuk menjalankan fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada organisasi pemerintah bawahannya atau yang bersifat semi-independan
dan atau kepada sektor swasta. Kemudian oleh Mas’ud said definisi otonomi
daerah lebih disfesifikan menjadi sebuah proses devolusi dalam sektor publik dimana terjadi pengalihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
provinsi dan kabupatenkota. Dengan kata lain, dalam konteks Indonesia, Otonomi daerah diartikan sebagai proses pelimpahan kekuasaan dari pemerintah
provinsi dan kabupatenkota sebagaimana yang diamanatkan dalam UU.
18
Kemudian lebih lanjut mas’ud Said menambahkan bahwa terdapat semangat otonomi daerah pada daerah di suatu negara di tentukan oleh kesiapan
17
M. Mas’ud Said. Op cit, hal 5.
18
Ibid, hal 6.
17 daerah tersebut dalam menyongsong otonomi, terlebih lagi factor ekonomi. Dari
hal tersebut dapat penulis simpulkan bahwa Jika suatu daerah belum mencukupi persyaratan yang tertera pada perundang-undang yang berlaku saat itu, maka
otomatis dengan sendirinya pihak yang diberi kewenangan akan berusaha semampu mereka untuk mencukupi dan melengkapi persyaratan tersebut. MNCs
hadir dengan kekuatan ekonomi yang besar di daerah Seram Bagian Timur, dengan hadirnya MNCs tersebut maka menjadi tolak ukur awal pembentukan
perekonomian yang kuat jika MNCs tersebut dikuasai oleh Seram Bagian Timur sendiri. Maka terbentuklah wacana otonomi yang awali oleh tuntutan
kesejahteraan masyarakat dan ketidak merataan pembangunan perekonomian.
1.6.3 Konsep Corporate Social Responsibility CSR