6 Pacar Hantu Perawan untuk diteliti dengan alasan kisah dalam cerita ini
mengandung unsur pornografi. Beberapa unsur pornografi dalam film ini menggunakan komunikasi verbal maupun komunikasi nonverbal membuat
peneliti tertarik untuk mengetahui bentuk - bentuk unsur pornografi dalam film ini menggunakan analisis isi. Menurut Berelson dalam Analisis Isi Krippendorf,
1991:16 mendefinisikan analisis isi sebagai “teknik penelitian untuk mendeskripsikan secara objektif, sistematik, dan kuantitatif isi komunikasi yang
tampak”. Dengan menggunakan durasi, maka akan diketahui bentuk unsur pornografi yang paling banyak muncul dalam film Pacar Hantu Perawan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah seberapa banyak kemunculan unsur pornografi yang terdapat pada film
Pacar Hantu Perawan karya Yoyok Dumprink ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengukur porsi unsur pornografi dalam film Pacar Hantu Perawan karya Yoyok Dumprink.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini memberi beberapa manfaat, antara lain yaitu : 1. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu wawasan atau pengetahuan baru bagi pembaca tentang bahasan yang ada dan diharapkan
7 dapat bermanfaat sebagai bahan referensi, di Jurusan Ilmu Komunikasi
khususnya konsentrasi Audio Visual tentang kajian porno dalam film. 2. Secara Praktis
Dapat memberikan informasi tentang adanya unsur porno yang ada dan cara penyampaiannya dalam film tersebut serta sebagai bahan
referensi bagi mahasiswa pecinta dunia film untuk menciptakan karya yang sarat dengan nilai sosial kemasyarakatan yang nyata terjadi dalam
masyarakat.
E. TINJAUAN PUSTAKA E.1. Komunikasi Sebagai Hiburan
Komunikasi merupakan sarana pelepas lelah baik bagi individu maupun masyarakat. Sedangkan disfungsi dari fungsi hiburan bagi masyarakat adalah
public yang divert yaitu cenderung menghindari aksi-aksi sosial karena hiburan yang disajikan media menyebabkan masyarakat menjadi lebih individualistik.
Sedangkan bagi individu disfungsi dari fungsi hiburan adalah meningkatkan kepasifan karena hiburan yang disajikan media cenderung membuat orang terlena,
menurunkan selera akibat kecenderungan media massa menyajikan hal-hal yang disukai banyak orang, memungkinkan terjadinya pelarian yaitu upaya untuk
melarikan diri dari kenyataan hidup. Media massa sebagian besar melakukan fungsi sebagai media yang
memberikan penghiburan bagi khalayaknya. Hal ini terlihat pada acara-acara
8 humor, artikel humor, irama, musik, tarian, film komedi dan lain-lain. Dimana
pesan-pesan yang menghibur tersebut didesain sedemikian rupa sehingga menarik dan menghibur khalayak.
E.2. Film Sebagai Media Komunikasi
Komunikasi tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Adanya komunikasi membuat kita mendapatkan segala kebutuhan yang kita inginkan.
Dalam komunikasi terdapat pesan yang dibutuhkan masyarakat luas. Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan informasi terpenuhi dengan adanya media cetak dan
elektronik yang termasuk dalam komunikasi massa. Dalam komunikasi massa pesan adalah milik publik, artinya pesan diterima oleh banyak orang. Fungsi
komunikasi massa yang antara lain adalah memberikan informasi, mendidik, mempersuasi, serta memuaskan kebutuhan komunikasi. Salah satu media
komunikasi massa adalah film. Film adalah media hiburan yang mempunyai nilai persuasi yang cukup
besar. Film bisa diartikan sebagai sebuah gambar yang ditampilkan secara Audio Visual, yaitu dengan gambar bergerak, suara dan mempunyai suatu pesan tertentu
didalamnya, banyak hal pesan positif yang terkandung dalam film, tujuan khalayak menonton film adalah untuk mencari sebuah hiburan. Menurut Ron
Mottram dalam Idi Subandi, 2007 : 172 didalam film terdapat tiga fungsi yang penting, yakni fungsi artistik, industrial dan komunikatif. Fungsi Artistik diartikan
bahwa film mempunyai struktur narasi yang terdiri dari rangkaian peristiwa.
9 Fungsi Industrial diartikan bahwa film juga bagian dari produksi ekonomi
masyarakat. Fungsi Komunikatif diartikan bahwafilm adalah alat penyampaian atau pengiriman pesan.
Gambar gerak pertama dihasilkan oleh tangkapan sebuah kamera yang ditemukan tahun 1988 di laboratorium milik Thomas Alfa Edison. Kemudian
tahun 1985, dua bersaudara Lumiere menemukan proyektor di Paris, disusul diputarnya gambar hidup yang pertama dalam teater Vaudeville. Menurut Phil
Astrid 1982 : 58 esensi film adalah gambar yang bergerak. Dalam bahasa Indonesia, dahulu dikenal dengan istilah “ gambar hidup “, dan gerakan itulah
yang memberi kesan “ hidup “. Film diiringi dengan suara, bisa berupa dialog atau musik sebagai pelengkap untuk meningkatkan kesan dari film. Dengan demikian,
film merupakan suatu sarana komunikasi yang mengaktualisasi suatu kejadian untuk dinikmati pada saat tertentu oleh khalayak, seakan – akan sedang
mengalami apa yang dibawakan oleh film secara nyata. Menurut Undang – Undang No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman, yang
dimaksud film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi
dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video danatau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses
kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik,
elektronik dan atau lainnya. Sedangkan perfilman adalah seluruh kegiatan yang
10 yang berhubungan dengan pembuatan, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan,
pengedaran, pertunjukan dan atau penayangan film Abiyoga, 1997 : 3 Ada beberapa jenis film untuk membedakan bentuk film, yaitu :
a. Film Dokumenter Documentary Film Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama
karya Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan travelogues yang dibuat sekitar tahun 1890 – an. Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara
kreatif merepresentasikan realitas. Meskipun pendapatnya ini mendapat tantangan dari banyak pihak, namun tetap relevan sampai sekarang karena dokumenter
menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Kini dokumenter menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman
dunia. Ini bisa dilihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa kita saksikan melalui saluran televisi seperti program National Geographic dan Animal Planet.
b. Film Cerita Pendek Short Films Durasi film cerita pendek biasanya di bawah 60 menit. Di banyak
Negara seperti Jerman, Australia, Kanada dan Amerika Serikat, film cerita pendek dijadikan laboratorium eksperimen dan dijadikan batu loncatan bagi seseorang
sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau orang kelompok
yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik. Sekalipun demikian, ada juga yang memang mengkhususkan diri untuk
11 memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok ke rumah –
rumah produksi atau saluran televisi. c. Film Cerita Panjang Feature – Length Films
Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90 – 100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini.
Beberapa film, misalnya Dances With Wolves, bahkan berdurasi lebih 120 menit. Film – film produksi India rata – rata berdurasi hingga 180 menit.
d. Film – Film Jenis Lain Film ini diproduksi untuk kepentingan institusi tertentu berkaitan
dengan kegiatan yang mereka lakukan, misal tayangan “ Usaha Anda “ di SCTV. Film ini sendiri berfungsi sebagai alat bantu presentasi.
e. Iklan Televisi TV Commercial Film ini diproduksi untuk kepentingan penyebaran informasi, baik
tentang produk iklan produk maupun layanan masyarakat iklan layanan masyarakat atau public service announcement PSA . Iklan produk biasanya
menampilkan produk yang diiklankan ‘ secara eksplisit ‘, artinya ada stimulus audio – visual yang jelas tentang produk tersebut. Sedangkan iklan layanan
masyarakat menginformasikan kepedulian produsen suatu produk terhadap fenomena sosial yang diangkat sebagai topik iklan tersebut. Dengan demikian,
iklan layanan masyarakat umumnya menampilkan produk secara implisit.
12 f. Program Televisi TV Programme
Program ini diproduksi untuk konsumsi pemirsa televisi. Secara umum, program televisi dibagi menjadi dua jenis yakni cerita dan noncerita. Jenis
cerita terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok fiksi dan kelompok nonfiksi. Kelompok fiksi memproduksi film serial TV Series , film televisi
FTV populer lewat saluran televisi SCTV dan film cerita pendek. Kelompok nonfiksi menggarap aneka program pendidikan, film dokumenter atau profil tokoh
dari daerah tertentu. Sedangkan program noncerita sendiri menggarap variety show, TV quiz, talkshow, dan liputan berita.
g. Video Klip Music Video Sejatinya video klip adalah sarana bagi para produser musik untuk
memasarkan produknya lewat medium televisi. Dipopulerkan pertama kali lewat saluran televisi MTV tahun 1981. Di Indonesia, video klip ini sendiri
kemudian berkembang sebagai bisnis yang menggiurkan seiring dengan pertumbuhan televisi swasta. Akhirnya video klip tumbuh sebagai aliran dan
industri tersendiri. Beberapa rumah produksi mantap memilih video klip menjadi bisnis utama core business mereka. Di Indonesia, tak kurang dari 60 video klip
diproduksi tiap tahunnya Effendy, 2004 : 11-14 Dari jenis - jenis film diatas, film Pacar Hantu Perawan termasuk
dalam film cerita panjang feature-length films dengan durasi 67 menit dan diputar di bioskop.
13
E.3. Pornografi
Pornografi pada dasarnya memberi ruang yang luas terhadap penonjolan seksualitas dan unsur erotisme. Dan pada kenyataannya yang lebih
banyak menjadi objek eksploitasi dari kegiatan ini adalah perempuan. Tidak memungkiri kenyataan bahwa ada juga pria yang dijadikan objek pornografi, tapi
dari presentasi dan lingkup pemasarannya tidaklah seluas dibandingkan perempuan, sehingga dapat dikatakan bahwa pornografi adalah bentuk media
yang memang diciptakan dan diperuntukkan bagi kaum pria - walau tidak bisa dikatakan juga bahwa pornografi tidak menarik perhatian perempuan. Seperti
yang sudah kita tahu, dimana dimana pornografi menjadi komoditas maka perempuanlah yang sebenarnya telah menjadi korban. Film-film seksi semacam
ini tentunya membuka luka lama yang telah ada, dimana wajah perempuan Indonesia tidak lagi dipandang sebagai subjek namun hanya sebatas obyek yang
bisa kita nikmati, penonton sudah tidak peduli dengan apa yang bisa diambil dari film tersebut entah dari pembelajaran yang ingin disampaikan ataupun seni yang
hendak disalurkan pada kita, penonton seakan mulai bergeser dari motivasi mendapatkan tontonan yang membangun menuju penonton yang sekedar ingin
mendapat hiburan yang dianggapnya ‘segar’ dan sayangnya kesegaran itu didapat dari sebuah komoditas yang dinamakan pornografi. Dari melihat review diatas
bagaimanapun film ini seperti hendak membangkitkan kembali era ketika perfilman Indonesia didominasi produksi dengan judul-judul menggunakan kata
“seks”, “gairah” dan “ranjang”, yaitu masa-masa menjelang kehancuran industri film kita. Memang ceritanya ringan, alurnya longgar, tanpa akting yang menonjol
14 dari pemain-pemainnya, tapi sayangnya di semua frame yang ada yang penting
banyak adegan tubuh-tubuh mulus tergolek dengan hanya terbungkus pakaian dalam hitam. Penokohan yang ada tidak harus bagus yang penting punya tubuh
yang indah, karakterisasinya absurd, dengan dialog yang asal-asalan. Pornografi seakan menjadi daya tarik utama, bukan ceritayang ada di dalamnya. Dalam film
ini juga seakan pria digambarkan mempunyai power untuk mengatur perempuan, dan tindakan represif juga dianjurkan supaya perempuan menurut apa yang
dikatakan laki-laki. Sayangnya perempuan menganggap hal ini wajar dan biasa, dimana patriarkhi yang ada telah membentuk mind set perempuan bahwa tidak
ada kuasa untuk melawan atau sekedar untuk disetarakan yang membedakan di sini adalah bahwa tingkat ketertarikan perempuan terhadap pornografi tetaplah
tidak sebesar ketertarikan kaum pria. Dan ketika perempuan kerapkali dan secara intens ditampilkan sebagai objek seks, maka opini pria akan menganggap bahwa
perempuan pada dasarnya adalah kaum yang fungsi dan perannya semata hanya sebagai pemuas nafsu pria sehingga mereka merasa sah dan wajar untuk terus
memperalat perempuan dan menjadikannya bagian dari imajinasi kaum pria. Cara pandang yang demikian pada gilirannya akan mendorong kaum pria
memperlakukan perempuan sebagai kaum yang derajatnya lebih rendah dan ini akan menyebabkan banyaknya praktek pelecehan seksual yang dilakukan dengan
rasa tidak bersalah dan tanpa beban. Kebanyakan pembicaraan masalah pornografi adalah dalam kaitan dengan norma kesusilaan atau moral seksual. Selain itu,
dalam konteks sosial, pornografi dapat pula dibicarakan dalam tiga tataran, yaitu pertama
dari niai yang terkandung secara intrinsik dalam muatan informasi.
15 Untuk itu perhatian ditujukan pada nilai-nilai yang terkandung dalam materi
komunikasi, nilai yang dipandang merendahkan posisi perempuan. Wacana yang merendahkan posisi perempuan ini ada yang bersifat terbuka overt dan manifes,
sehingga mudah diidentifikasi, seperti eksploitasi bagian tubuh dalam konteks seksual dan tujuan sensualitas. Sementara ada pula bersifat tertutup covert dan
tersembunyi latent, seperti eksploitasi kualitas tubuh perempuan seperti kecantikan, kerampingan, kulit lebih putih, dalam konteks komersialisme. Dengan
demikian pornografi khususnya yang berkaitan dengan perempuan dapat diidentifikasi dari kecenderungan informasi, apakah menitik-beratkan pada bagian
atau kualitas fitur feature tubuh, bukan pada figur figure personafikasi dan peran sosialnya.
Kedua, pornografi dipandang sebagai masalah sosial karena keberadaannya dalam masyarakat. Keberadaan pornografi ikut sikap permissif dalam seks pada satu
pihak, dan pada pihak lain membentuk persepsi yang mendorong berkembangnya agresi seksual. Perkosaan terhadap perempuan misalnya, meluas karena pengaruh
yang ditimbulkan oleh pornografi. Ekspos tubuh telanjang perempuan dianggap telah membentuk persepsi tentang peluang yang ditawarkan oleh korban.
Pada tataran ketiga, pornografi membawa implikasi terhadap posisi perempuan dalam kehidupan sosial, dimulai dari persepsi yang terbentuk dalam
diri perempuan sendiri terhadap seksualitasnya. Komodifikasi seksual yang menjadi basis bagi pornografi pada umumnya menjadikan perempuan sebagai
obyek. Karenanya pornografi dipandang memiliki kekuatan politisasi dengan
16 membentuk cara pandang yang khas, yang menyebabkan perempuan menerima
posisinya yang termarginalisasi dalam kehidupan publik.
E.4. Pornografi Dalam Film
Memang tidak dipungkiri bahwa keberadaan pornografi dalam media merupakan salah satu bumbu
tayangan, tidak terkecuali pada film horor di
Indonesia. Genre-genre horor di tahun 2000-an dikenal sebagai “Horor Seksi” karena banyak menampilkan adegan-adegan syur disamping meningkatkan
adrenalin penonton dengan keterkejutan dari genre horor tersebut. Pornografi umumnya didefinisikan secara negatif, yaitu sebagai cara atau
tindakan seksual yang tidak memiliki makna spiritual dan tidak berdasarkan perasaan halus, tidak memiliki konteks dengan masalah medis dan keilmuan
umumnya, atau lebih jauh merupakan penggambaran dorongan erotis tidak untuk tujuan estetika. Dalam rumusan lain, pornografi dilihat sebagai obyek yang
menampilkan cara atau tindakan seksual secara terbuka yang dipandang menyimpang oleh khalayak.
Pornografi dapat
menggunakan dalam
berbagai media,
kata-kata pornografi dalam media massa sudah terlalu sering kita dengar. Apalagi saat
maraknya kontroversi tentang nilai-nilai pornografi dalam media massa yang bersifat media elektronik yaitu film. Kalau dilihat secara cermat banyak sekali
film-film Indonesia yang bersifat pornografi. Seperti gambar dalam film, wanita yang berpakaian minim atau adegan-adegan yang mengisahkan hubungan seks.
17 Dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi, saat ini hampir tidak ada
yang bisa mengendalikan dan melakukan sensor terhadap film yang dikategorikan pornografi.
Begitu banyak masyarakat yang pro dan kontra dengan adanya hal tersebut. Semakin merajalela lah unsur pornografi dalam media film. Sebenarnya
hal tersebut sangatlah berdampak besar bagi masyarakat khususnya penonton pecinta perfilman Indonesia. Mungkin satu-satunya yang bisa mengendalikan hal
tersebut agar tidak terjadi dan keadaannya tidak lebih buruk adalah masyarakat atau penonton film itu sendiri yang kedepannya bisa lebih baik dan lebih berkarya
yang lebih berkualitas. Struktur film seksi yang mengumbar pornografi dan pornoaksi dimana
perempuan di “benda” kan sudah ada sejak lama. Dekade tahun 90an menjadi puncak kematian film Indonesia dimana banyak film erotis yang mengarah pada
unsur pornografi mulai banyak ditemukan. Memang agaknya para sineas menggunakan unsur seks sebagai daya tarik dan tidak memperlihatkan wajah
langsung pornografi namun wajah pornografiyang disemukan. Film semacam ini memang tidak secara terus terang memperlihatkan adegan seks, justru lebih
banyak menampilkan tubuh perempuan. Melalui cara ini, penonton dapat terus melihat film untuk dapat tontonan “lebih”. Pada tahun 2011, perfilman Indonesia
tidak juga jera mengumbar pornografi dan erotisme sempait untuk ada dalam alur ceritanya, sampai-sampai kita dibuat bingung ketika film horor yang seharusnya
menakutkan malah menjadi menggairahkan karena menghadirkan terlalu banyak adegan setengah bugil dalam filmnya. Bukan soal banyak atau sedikit, tapi banyak
18 yang tidak relevan dengan alur cerita dan sengaja hanya dimaksudkan untuk
memanjakan penonton dari kalangan laki-laki. Memang ceritanya ringan, alurnya longgar tanpa akting yang menonjol dari pemain-pemainnya, tapi sayangnya
seakan di semua frame yang ada yang penting banyak adegan tubuh-tubuh mulus tergolek dengan hanya terbungkus pakaian dalam. Penokohan yang ada tidak
harus bagus yang penting punya tubuh yang indah, karakterisasinya absurd, dengan dialog yang asal-asalan. Pornografi seakan menjadi daya tarik utama,
bukan cerita yang ada di dalamnya. Kesenangan yang diterima penonton terjadi karena film horor Indonesia
menghadirkan citraan-citraan yang tidak pernah muncul dalam film-film di luar horor. Seks atau unsur pornografi yang selama ini tidak ingin dilihat dan disajikan
oleh film-film selain film horor. Horor menjadi tempat bagi hal-hal yang bersifat tabu dan terlarang yang muncul dan menjadi sesuatu yang penting. Dalam film
horor, hasrat-hasrat terpendam manusia seperti halnya hasrat seksual ditampilkan secara langsung dan terbuka.
Pengkajian fenomena-fenomena yang mengandung pornografi tidak terbatas pada perspektif moralis saja, masih banyak sudut pandang lain. Dalam
analisis unsur pornografi teori-teori yang melandasinya pun bermacam-macam. Beberapa penjelasan teori dapat menggambarkan bagaimana khalayak
mengadopsi kepercayaan, sikap dan tindakan yang menggambarkan materi pornografi. Peneliti akan mengungkap beberapa teori yang relevan terhadap
materi konten pornografi yang ada pada film Pacar Hantu Perawan.
19 a. Pembelajaran Sosial
Teori ini fokus pada pembelajaran sosial yang dipelajari dari media dengan unsur pornografi. Khalayak cenderung belajar dan mengimitasi tindakan
tertentu yang digambarkan di media sebagai dampak yang dialaminya Bandura dalam Perse, 2008. Konten seksual merupakan hal yang relevan dan adaptif
dalam keseharian khalayaknya, oleh karena itu peniruan sangat mungkin terjadi karena hal yang digambarkan merupakan sesuatu yang dekat dengan keseharian
mereka. Ketika peneliti akan melakukan analisis materi-materi yang mengandung unsur pornografi yang ada di film Pacar Hantu Perawan, penggambaran cara
melakukan hubungan seksual, memperlakukan wanita dan hal-hal erotis lain seperti berciuman tentu dapat merangsang penonton untuk mengadopsinya dalam
keseharian mereka. b. Perubahan Sikap
Teori ini dapat dirujuk, jika khalayak mendapat adegan unsur pornografi secara terus-menerus dan dalam jangka wajtu yang lama. Namun, tidak ada
salahnya mengetahui prinsip ini untuk melakukan analisis tentang unsur pornografi terhadap khalayak. Ketika teori perubahan sikap dikaitkan dengan
fenomena di film Pacar Hantu Perawan, ini seperti diafirmasi dengan adanya adegan-adegan yang mengobjektivikasi perempuan. Misalny, adegan Mandy dan
dua orang temannya sedang mandi, dan bertingkah seksi setiap saat. Ataupun ketika adegan lain yang menggambarkan bahwa wanita menjadi objek seks
dengan berpakaian mini dan ada mata lelaki yang memandang mereka dengan
20 gairah. Jika tayangan seperti ini terus-menerus beredar dan ditonton dengan orang
yang sama, bisa jadi ia akan mengalami perubahan sikap dan menganggap bahwa perempuan memang sudah semestinya diperlakukan seperti itu, dengan
mengesampingkan fungsi sosial perempuan tersebut. c. Arousal
Arousal secara psikologis dan seksual adalah reaksi umum ketika dihadapkan pada unsur pornografi di media. Arousal memfasilitasi efek dari
materi seksual, karena arousal diproduksi oleh materi seksual yang mengarah pada respon intens lebih lanjut. Arousal yang dialami oleh beberapa penonton,
seperti yang diamati oleh peneliti, adalah ketika adegan Mandy sedang mandi dan pakaian yang dikenakan akan menerawang jika terkena air, sehingga hampir
terlihat dadanya. Adegan-adegan semacam itu cukup membuat penonton berkeringat dingin. Ada juga adegan pasangan yang sedang berciuman dengan
penuh gairah dan hal itu tentu saja meningkatkan sirkulasi darah dan denyut jantung.
d. Habituation-Desensitization Hanya karena khalayak dari konten media dapat kurang terbangkitkan
aroused dengan terpaan yang berulang, mereka menjadi terhabitualisasi. Mereka tidak lagi merasakan sengatan-sengatan listrik dan kegelisahan ketika menonton
konten pornografi. Khalayak dengan terpaan konten pornografi yang lebih tinggi akan cenderung mencari bentuk baru dari konten bermateri seksual, daripada
mereka yang tidak secara massif terterpa konten pornografi. Khalayak-khalayak
21 ini akan kehilangan sensitivitasnya untuk menolak dan risih dengan konten berbau
pornografi. Jika khalayak media menyaksikan film-film semacam Pacar Hantu Perawan dan film-film sejenisnya yang muatan pornografinya cukup besar, maka
khalayak tersebut akan mati rasa desensitization terhadap konten pornografi standar karena terlalu sering melihatnya habituation. Inilah yang mendorong
mereka untuk bereksperimen dengan mencari film-film yang lebih menantang sehingga menimbulkan arousal.
e. Katarsis Teori katarsis dapat menjelaskan efek konten pornografi terhadap
khalayaknya. Khalayak dapat merasa terpuaskan hanya dengan menonton, mendengar atau membaca konten pornografi di media. Biasanya, konten
pornografi digunakan khalayak utnuk memenuhi kepuasan seksual intovert mereka, seperti membangkitkan gairah untuk masturbasi, fantasi seks, atau
meredakan kegelisahan seksual. Film Pacar Hantu Perawan bisa saja menjadi katarsis orang-orang yang memiliki kegelisahan seksual sehingga sukar
terlampiaskan, atau justru sebaliknya, setelah menonton film tersebut, khalayak justru memiliki kegelisahan seksual dan akhirnya masturbasi atau berfantasi
secara seksual. Dengan kata lain, film Pacar Hantu Perawan dapat digunakan sebagai sarana berfantasi seksual lagi untuk mereka terhadap Dewi Persik yang
berperan sebagai Mandy melakukan aktivitas-aktivitas yang merangsang, begitu jugaVicky Vette dan Misa Campo yang sering memamerkan buah dadanya dan
bertingkah seksi.
22 Pornografi dan media seakan menjadi senyawa baru yang sukar dipisahkan
dari industri. Hal ini karena begitu populernya muatan ini di benak penonton, yang juga merupakan target pasar mereka. Peredaran film-film bermuatan
pornografi ini tidak dipungkiri, tentu menimbulkan dampak tersendiri bagi khalayaknya. Ramainya frame dan adegan-adegan panas pada film Pacar Hantu
Perawan mengafirmasi bahwa unsur pornografi mejadi daya tarik tersendiri di film tersebut.
F. METODE PENELITIAN F.1. Metode dan Sifat Penelitian