Penggunaan Penginderaan Jauh Untuk Deteksi Kebakaran Gambut Di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau (Application Of Remote Sensing On Peat Fire Detection In Bengkalis District Riau Province)
53
PENGGUNAAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK DETEKSI KEBAKARAN GAMBUT DI KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU
(APPLICATION OF REMOTE SENSING ON PEAT FIRE DETECTION IN BENGKALIS DISTRICT RIAU PROVINCE)
Achmad Siddik Thoha
Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara email: achmadsiddik@hotmail.com
Abstract
District of Bengkalis Riau Province has been known as one of the most frequently fire prone areas occurrence in Indonesia. According to Ministry of Environment Indonesia, Forest conversion into plantation caused risk to pea and land fire.Fire occurrences mostly found on peat land as result of land clearing activities. To decrease damage and environment impact from peat fire, it is important to identify and predict peat fire occurrence. The objectives of research were to compare accuracy of hotspot from data supply source and to detect fire location and land use change. Methods used in the study were descriptive statistical and spatial analysis of hotspot data. Image analysis of Landsat TM imagery was applied to detect land use change. The result of research showed that number of hotspot from JICA is greater than ASMC and LAPAN. Accuracy of hotspot distribution from ASMC is greater than that of JICA and LAPAN namely 60% whereas JICA 47% and LAPAN 40% respectively. Accuracy of hotspot location from JICA is greater than of LAPAN and ASMC namely1.75 km, whereas ASMC 4.46 km and LAPAN 3.70 km respectively. Keywords: detection, peatland fire, hotspot
Abstrak
Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu daerah rawan kebakaran di Propinsi Riau. Sebagian besar lahan di kabupaten ini merupakan lahan gambut yang telah dikonversi menjadi areal budidaya seperti perkebunan, hutan tanaman, dan perladangan. Kebakaran sebagian besar ditemukan pada lahan gambut sebagai akibat aktivitas pembukaan lahan. Pembukaan kawasan gambut sangat beresiko karena dapat mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungan seperti kebakaran dan kabut asap. Oleh karena itu, identifikasi dan prediksi kejadian kebakaran gambut sangat penting untuk mengurangi kerusakan dan dampak lingkungan akibat kebakaran gambut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keakuratan data titik panas (hotspot) data beberapa sumber penyedia data, menjelaskan dampak kondisi biofisik dan aktifitas manusia pada lokasi terindikasi kebakaran. Dalam penelitian ini dipergunakan analisa deskriptif dan analisis spasial dari data hotspot. Analisa citra satelit Landsat TM digunakan untuk identifikasi lahan terbakar dan perubahan penutupan lahan. Hotspot merupakan indikasi kebakaran hutan yang dibuktikan dengan hasil interpretasi dan analisa citra dengan warna merah muda hingga merah muda tua untuk kombinasi Band 543 dan hijau muda hingga hijau muda tua untuk kombinasi Band 453. Jumlah hotspot yang dikeluarkan sumber penyedia hotspot dari terbesar ke terkecil yaitu JICA, ASMC dan LAPAN. Hotspot dari ASMC mempunyai akurasi sebaran yang lebih tinggi yaitu 60%, JICA 47% dan LAPAN 40%. Adapun JICA memiliki akurasi lokasi yang lebih tinggi yaitu 1,75 km, ASMC 4,46 km,dan LAPAN 3,70 km. Kata kunci: deteksi, kebakaran gambut, titik panas (hotspot)
PENDAHULUAN
Kegiatan deteksi dini dalam penanggulangan kebakaran lahan gambut memegang peranan sangat penting. Deteksi dini adalah upaya untuk mendapatkan keterangan
secara dini adanya kebakaran hutan melalui penerapan teknologi sederhana seperti adanya asap dan kondisi kekeringan hingga teknologi canggih seperti aplikasi penginderaan jauh dan pemataan digital (Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan 2001). Penggunaan teknologi
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara
54 Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
sederhana dalam deteksi dini kebakaran lahan bisa berupa kondisi kekeringan sedangkan teknologi canggih yaitu aplikasi penginderaan jauh dan pemataan digital. Deteksi dini dapat menentukan pengambilan keputusan untuk menentukan kesiapsiagaan penanggulangan kebakaran hutan. Deteksi yang akurat akan dapat membantu tahap pemadaman kebakaran dan tahap penanganan pasca kebakaran yang tepat. Disamping itu, pada pelaksanaan di lapangan, keakuratan proses deteksi akan menentukan alokasi dana, kelancaran operasi pemadaman, dan kebutuhan investigasi dalam kasus pelanggaran hukum lingkungan.
Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia telah menetapkan Kabupaten Bengkalis sebagai salah satu daerah yang paling rawan terjadi kebakaran (KLH 2002). Konversi hutan menjadi perkebunan menjadikan daerah ini rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Sebagian besar wilayah perkebunan ini tidak cocok untuk budidaya kelapa sawit karena berada pada kawasan gambut. Pembukaan kawasan gambut sangat beresiko karena dari beberapa laporan didapatkan bahwa kebakaran hutan/lahan yang terjadi di Bengkalis sebagian besar terjadi di lahan gambut. Oleh karena itu, identifikasi dan prediksi kejadian kebakaran gambut sangat penting untuk mengurangi kerusakan dan dampak lingkungan akibat kebakaran gambut.
Tujuan penelitian ini adalah: Membandingkan keakuratan data hotspot dari berbagai sumber penyedia data hotspot serta mendeteksi areal kebakaran dan perubahan penutupan lahan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kabupaten
Bengkalis, Propinsi Riau sebagai salah satu daerah yang rawan terjadi kebakaran. Analisis data dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan IPB pada bulan Juni 2005 – Januari 2006. Verifikasi lapangan dilakukan Bulan Mei 2005.
Bahan dan Alat Bahan penelitian berupa: peta digital
sistem lahan, penutupan lahan, batas administrasi (PPLH-IPB), Areal HPH/HTI (BAPLANDephut), peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bengkalis (Bappeda-Bengkalis), Data Hotspot Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) dari FFPMP2 (DephutJICA), ASMC (KLH-ASEAN) dan LAPAN, Citra
Satelit Landsat TM Path 126-127 Row 059 Tahun 2002-2004 dari ICSEA-BIOTROP dan LAPAN serta data penunjang dari Badan Pusat Statistik, Dinas Kehutanan dan Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah di Kabupaten Bengkalis.
Alat yang digunakan yakni: GPS, Kamera Personal Computer dengan pengolah citra ERDAS IMAGINE, pengolah peta Arc View 3.2 dan R2V, serta MS Word dan MS Excell.
Metode
Verifikasi Hotspot
Data Hotspot dari 3 sumber yaitu
LAPAN, JICA, dan ASMC menunjukkan gambaran
sebaran dan lokasi hotspot. Data dari ketiga
sumber tersebut dianalisis secara deskriptif
untuk mengetahui jumlah, prosentase dan
kecenderungan peningkatan dan penurunan
menurut waktu (bulan dan tahun). Dengan
analisis spasial menggunakan perangkat lunak
Arcview 3.2. pada Tool View, Geoprocessing
Wizard, Join Table, dapat diketahui jumlah dan
sebaran hotspot per kecamatan.
Verifikasi
dilakukan
dengan
membandingkan ketepatan antara lokasi hotspot
yang terdeteksi dari satelit NOAA dengan hasil
cek lapangan. Data cek lapangan diambil pada
areal bekas terbakar dan sedang terbakar yang
terjadi tidak berselang lama (Januari – Mei 2005)
dari kegiatan observasi lapangan. Data hasil
verifikasi lokasi kebakaran dan sebaran hotspot
kemudian dilakukan analisis spasial untuk
mengetahui jarak terdekat antara data verifikasi
dan data hotspot satelit. Satuan analisis jarak
terdekat adalah batas desa pada peta
administrasi. Rata-rata jarak terdekat terkecil
menunjukkan bahwa data hotspot paling akurat
menunjukkan lokasi daerah kebakaran lahan.
Pengolahan Citra Landsat TM Pengolahan citra mencakup tahapan
interpretasi visual citra (pemilihan kombinasi band terbaik, pra pengolahan (koreksi
geometrik, radiometrik, filtering, mosaiking dan clipping), pengecekan lapangan (ground truth),
Analisis Digital (unsupervised dan supervised
classification).
Analisis Perubahan Lahan Metode perubahan penutupan lahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik perbandingan klasifikasi (comparison classification). Perbandingan hasil klasifikasi adalah metode deteksi perubahan lahan dengan membandingkan citra-citra yang telah diklasifikasikan piksel demi piksel untuk mengidentifikasi perubahan yang terjadi
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara
Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
55
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Hotspot terbanyak dijumpai pada sumber JICA kemudian ASMC dan terendah LAPAN. Jumlah hotspot tertinggi terjadi pada tahun 2002 dimana sumber JICA mencapai jumlah 4040, ASMC 836 dan LAPAN 467 seperti ditunjukkkan oleh Gambar 1 (A). Hotspot meningkat mulai bulan Februari dan mencapai puncaknya pada bulan Maret kemudian menurun pada bulan April-Mei dan meningkat kembali pada bulan Juni - Juli. Hotspot mencapai jumlah terendah atau hampir tidak dijumpai hotspot pada bulan November dan Desember dari tahun 1999-2004 dari ketiga sumber.
Peningkatan dan penurunan jumlah hotspot pada bulan-bulan tertentu berkaitan dengan peningkatan dan penurunan jumlah curah hujan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1 (B). Pada saat curah hujan mengalami peningkatan maka jumlah hotspot berkurang bahkan tidak dijumpai sama sekali yaitu mulai bulan Agustus-Desember. Sebaliknya, pada saat curah hujan rendah jumlah hotspot tercatat dalam jumlah yang tinggi seperti pada bulan Januari – Maret dan Juni –Juli. Hal ini juga ditunjukkan oleh penelitian Soewarno (2003) yang menyebutkan bahwa rendahnya curah hujan mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan karena menyebabkan bahan bakar di hutan relatif mudah terbakar.
Perbandingan Hotspot dari Berbagai Sumber Perbedaan jumlah hotspot antar sumber
antara lain disebabkan: Pertama, sumber JICA memiliki jumlah hotspot relatif lebih banyak karena memiliki threshold paling rendah yaitu 315oK (siang) dan 310oK (malam) dibandingkan ASMC yaitu 320oK (siang) dan 314oK (malam). Sedangkan jumlah terendah diperoleh pada sumber LAPAN yang memiliki threshold paling tinggi dibandingkan JICA dan ASMC yaitu sebesar 322oK.
Kedua, waktu pengamatan yang berbeda antar stasiun pengamatan. Hidayat et. al. (2003) lebih lanjut menjelaskan, salah satu kemungkinan penyebab terjadinya perbedaan itu adalah tidak dilakukannya pengamatan pada malam hari. Sehingga banyak kejadian kebakaran yang lolos dari pengamatan LAPAN. Terdapat perbedaan waktu pengamatan antara LAPAN dengan ASMC, dimana LAPAN hanya melakukan pengamatan (perekaman data) setiap hari dari pukul 06.00 hingga 19.00 WIB,
sementara ASMC dan JICA melakukannya selama 24 jam setiap hari.
Menurut Solichin (2004), waktu lintasan satelit sangat berpengaruh terhadap pendeteksian kebakaran karena terkait dengan adanya perilaku pembakaran lahan di beberapa tempat di Indonesia atau dengan adanya perubahan penyebaran awan yang bergerak dalam hitungan beberapa menit, sehingga mempengaruhi kemampuan satelit dalam pemantauan hotspot.
Ketiga, Menurut Hidayat et. al. (2003) kemungkinan lain adalah, sistem pengolahan hotspot LAPAN (Sea Scan) yang operasional saat ini tidak bisa mengolah data NOAA 15 dan 16. Jadi ada kemungkinan ada hotspot yang seharusnya bisa dipantau dengan NOAA 15 dan 16, menjadi tidak terpantau oleh LAPAN.
Verifikasi Hotspot Hasil verifikasi lapangan terhadap data
hotspot menunjukkan adanya perbedaaan sebaran dan akurasi lokasi areal kebakaran yang terjadi di lapangan. Hasil verifikasi hotspot seperti ditampilkan pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1, data ASMC memiliki karakteristik data yang memiliki sebaran yang luas dalam menangkap sinyal suhu permukaan bumi yang kemudian menjadi informasi titik panas (hotspot). Hal ini ditunjukkan oleh tercatatnya hotspot pada hampir setiap desa yang telah terjadi kebakaran. Bila memakai jumlah desa sebagai satuan keakuratan hotspot maka data ASMC mempunyai tingkat keakuratan sebesar 60%, JICA; 47% dan LAPAN hanya 40%. Sedangkan bila jarak lokasi kebakaran (cek lapangan) dengan catatan lokasi hotspot dari sumber penyedia data maka sumber JICA memiliki akurasi terbaik yaitu rata-rata 1.75 km dibandingkan ASMC sebesar 4.46 km dan LAPAN sebesar 3.70 km.
Bila diterapkan dalam upaya pemadaman dan investigasi kebakaran lahan, maka data ASMC sangat baik dalam skala desa untuk memberikan informasi pada tingkat organisasi terkecil yaitu perangkat desa dan masyarakatnya. Sedangkan data JICA akan sangat membantu mencari lokasi yang paling tepat terutama bila kebakaran terjadi pada areal yang berbatasan dalam hal kepemilikan dan pengelolaan.
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara
56 Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
Jumlah Hotspot
500 300
ASMC
Curah Hujan
450 JICA
Jumlah Hotspot
400
LAPAN
250
350
200 300
250 150
200
150 100
100
50 50 0
Januari Februari
Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Bulan
0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
(A) (B) Gambar 1. (A) Perbandingan Jumlah Hotspot Tahunan di Kabupaten Bengkalis dari Sumber JICA, ASMC dan LAPAN,
(B) Rata-rata Curah Hujan Bulanan dan Jumlah Hotspot Bulanan di Kabupaten Bengkalis Tahun 1999 – 2000.
Tabel 1. Lokasi Verifikasi, Jumlah dan Jarak Hotspot antara Lokasi Cek Lapangan dengan Lokasi dari Penyedia Data (JICA, ASMC dan LAPAN)
No. Desa Verifikasi ASMC JH JT JVer JICA JH JT JVer LAPAN JH JT JVer
1 Petani
V 1 0.44 1
2 Pematang Pudu
V 2 1.9 7
3 Duri Barat
V 1 2.84 3
4 Batang Serosa
5 Muara Basung
6 Tasik Serai
V 17 2.19 5
7 Beringin
V 6 1.83 3 V 16 2.14 3
V 37 4.53 5
8 Titian Antui
V 1 17.68 1
V 3 3.03 2
9 Semunai
V 2 4.43 1
10 Kuala Penaso Rimba
11 Sekampung
V 3 5.62 1 V 1 7.25 1 V 4 1.21 1
12 Senggoro
V 2 4.71 1 V 16 0.27 1
13 Air Putih
V 6 0.25 3 V 18 0.25 3
14 Penampi
V 10 1.76 1 V 4 0.1 1
V 2 5.46 1
15 Tanjung Kapal
V 8 5.67
V 25 1
1
Jumlah
9 54
16 7 84
11 6 47
19
Rata-rata
4.46 1.75
3.70
Keterangan: V : Terdapat Hotspot JH : Jumlah Hotspot JT : Jarak Hotspot Terdekat (km) antara titik cek lapangan (lokasi kebakaran) dengan sumber penyedia
data Jver : Jumlah Titik Verifikasi/Cek Lapangan
Identifikasi Lahan Terbakar dengan Citra Landsat TM
Berdasarkan pengolahan citra dan cek
lapangan diperoleh karakteristik obyek dan areal
terbakar seperti disajikan pada Tabel 2. Identifikasi pada Tabel 2 tidak termasuk awan,
bayangan awan, sungai dan badan air/perairan.
Hasil identifikasi dari citra satelit dan verifikasi dengan data hotspot menunjukkan bahwa lahan terbakar dicirikan dengan penampakan warna yang terang atau cerah. Menurut Sunuprapto (2000) kombinasi band 543 dan 453 memiliki keunggulan dalam mendeteksi areal kebakaran. Kombinasi 543 merupakan kombinasi yang
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara
Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
57
dapat menghasilkan tampilan obyek yang serupa dengan pandangan manusia (natural color). Band 543 dapat membedakan antara obyek vegetasi hidup dan vegetasi mati (terbakar). Band 453 selain dapat membedakan antara vegetasi hidup dan vegetasi mati (terbakar), juga menunjukkan tingkat intensitas kerusakan dari vegetasi terbakar.
Pemantauan Perubahan Penutupan Lahan Telah terjadi perubahan luas penutupan
lahan antara tahun 2002 dan tahun 2004. Perubahan luas penutupan lahan diperoleh dari perbandingan citra klasifikasi tahun 2002 dan
tahun 2004. Perubahan luas pada masing-masing kelas penutupan lahan disajikan pada Gambar 2.
Terjadi penurunan luas areal terbakar antara tahun 2002 dan tahun 2004 dengan persentase penurunan sebesar 5% atau seluas 63.298,00 Ha. Disamping itu terjadi pula peningkatan luas yang cukup besar pada tahun 2004 di areal perkebunan, hutan bekas tebangan
(Logged Over Area/LOA) dan tanah terbuka dengan persentase masing-masing 4.63% atau seluas 58.529,34 Ha, 9.37% atau seluas 118.451,10 Ha dan 13.70% atau seluas 173.096,20 seperti ditunjukkan oleh Gambar 2
Tabel 2. Hasil identifikasi obyek dan areal terbakar dengan citra landsat TM di Kabupaten Bengkalis
Obyek
Kombinasi Band 543 Kombinasi Band 453 Keterangan
Hutan Primer Terbakar Merah muda terang Hijau muda terang Lokasi berada di pinggiran huran,
pinggir sungai dan perkebunan
Lahan Terbakar di HTI Merah muda lebih Hujau muda lebih
Berada di pinggir jalan, pinggir sungai
terang
terang (bersih)
dan areal pembukaan lahan.
Hutan Sekunder/Hutan Merah muda agak Hijau muda agak
Berada di pinggir jalan, pinggir sungai,
Bekas Tebangan
keruh
keruh,
dekat HTI dan pembukaan lahan
Terbakar (LOA)
untuk perkebunan
Lahan Terbakar di
Merah keruh
Hijau keruh
Berada di pinggir jalan, pinggir sungai,
Perkebunan
dekat HTI dan Logged Over Area (LOA)
Semak Belukar/Lahan Merah muda
Hijau semakin
Dekat jalan sungai, LOA dan
Pertanian Terbakar
semakin mendekati mendekati putih
perkebunan.
putih
Hutan Primer
Hijau tua
Coklat tua
Lokasi memiliki aksesibilitas rendah,
sebagian dekat sungai dan rawa
Hutan Bekas Tebangan Hijau terang
Coklat terang
Terdapat di pinggiran Hutan Primer
atau membentuk gap di tengah hutan
HTI
Hijau agak gelap
Coklat agak gelap
Areal terlihat teratur seperti terbagi
dalam petak
Perkebunan
Hijau muda
Coklat oranye
Lokasi dekat jalan dan pinggiran hutan
Semak
Kuning kehijauan
Coklat kekuningan Lokasi dekat jalan, sungai dan
Belukar/Pertanian
pemukiman
Sumber: Pengolahan Citra Landsat TM Path 059 Row 129 Tahun 2002 dan 2004
700000,00 600000,00
2002 2004
500000,00
400000,00
Luas (Ha)
300000,00
200000,00
100000,00
0,00
Badan Air
Hutan Perkebunan
LOA
Pemukiman Rawa
Penutupan Lahan
Semak dan Lahan
Pertanian
Lahan Terbakar
Tanah Terbuka
Gambar 2. Perubahan Luas Penutupan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2002 - 2004
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara
58 Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
Di samping itu terjadi peningkatan luas pemukiman, rawa dan badan air dengan persentase masing-masing 1.62%, 2.71% dan 0.09%. Penurunan luas areal tebakar pada tahun 2004 diduga terjadi karena makin menurunnya jumlah kejadian kebakaran yang dapat diindikasikan oleh menurunnya jumlah hotspot dari tahun 2002 – 2004.
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan data hotspot antara JICA, ASMC dan LAPAN. Akurasi berdasarkan jumlah desa yang terpantau hotspot untuk sumber JICA, ASMC dan LAPAN masingmasing adalah 47%, 60% dan 40%. Sedangkan bila jarak lokasi kebakaran (cek lapangan) dengan catatan lokasi hotspot dari sumber penyedia data maka sumber JICA memiliki akurasi terbaik yaitu rata-rata 1.75 km dibandingkan ASMC sebesar 4.46 km dan LAPAN sebesar 3.70 km.
Berdasarkan analisis citra Landsat TM dan data hotspot lahan terbakar dapat diidentifikasi dengan karakteristik warna merah muda hingga merah muda tua pada kombinasi Band 543 dan warna hijau muda hingga hijau muda tua pada Kombinasi Band 453. Penurunan luas areal tebakar pada tahun 2004 diduga terjadi karena makin menurunnya jumlah hotspot dari tahun 2002 – 2004.
SARAN
Data hotspot ASMC dan JICA disarankan
untuk digunakan sebagai input data dalam
menunjang
pengambilan
keputusan
penanggulangan kebakaran gambut. Untuk itu
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
mendeteksi areal kebakaran menggunakan data
citra satelit dengan resolusi spasial dan temporal
yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan
2001.
Perangkat
Organisasi
Penanggulanagn Kebakaran Hutan
Propinsi dan Kabupaten/Kota. Makalah
dalam Pelatihan Kebakaran Hutan
Tingkat Manajemen Medan, 26 – 27
Juni 2001. Medan: Unit Manajemen
Leuser
Forest Fire Prevention Management Project 2. 2004. Sistem Deteksi dan Peringatan Dini. http://ffpmp2.hp.infoseek.co.jp/ earlypageindo.htm [23 April 2004]
Hidayat, A. Kushardono D, Asriningrum W,
Zubaedah A dan Efendy, I. 2003.
Laporan Verifikasi dan Validasi Metode
Pemantauan Mitigasi Bencana
Kebakaran Hutan dan Kekeringan.
Jakarta:
Pusat
Pengembangan
Pemanfaatan dan Teknologi
Penginderaan Jauh-LAPAN.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2002. Status Lingkungan Hidup Daerah 2002: Kabupaten Bengkalis. www.menlh.go.id/ terbaru/soe/artikel.php?article?_ id=821 [12 Maret 2005]
Soewarso 2003. Penyusunan Pencegahan Kebakaran Hutan Rawa Gambut dengan Menggunakan Model Prediksi. [Disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasi)
Solichin 2004. Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran (Mengenal Hotspot Bagian 1). Palembang: South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP) Newsletters Hotspot,. Februari 2004; 1: 2-3.
Sunuprapto H. 2000. Forest Fire Monitoring and Damage Assesment Using Remotely Sensed Data and Geographical Information Systems (A Case Study in South Sumatera Indonesia). [Thesis]. Enschede The Netherlands: Internastional Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC) (tidak dipublikasi).
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara
PENGGUNAAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK DETEKSI KEBAKARAN GAMBUT DI KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU
(APPLICATION OF REMOTE SENSING ON PEAT FIRE DETECTION IN BENGKALIS DISTRICT RIAU PROVINCE)
Achmad Siddik Thoha
Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara email: achmadsiddik@hotmail.com
Abstract
District of Bengkalis Riau Province has been known as one of the most frequently fire prone areas occurrence in Indonesia. According to Ministry of Environment Indonesia, Forest conversion into plantation caused risk to pea and land fire.Fire occurrences mostly found on peat land as result of land clearing activities. To decrease damage and environment impact from peat fire, it is important to identify and predict peat fire occurrence. The objectives of research were to compare accuracy of hotspot from data supply source and to detect fire location and land use change. Methods used in the study were descriptive statistical and spatial analysis of hotspot data. Image analysis of Landsat TM imagery was applied to detect land use change. The result of research showed that number of hotspot from JICA is greater than ASMC and LAPAN. Accuracy of hotspot distribution from ASMC is greater than that of JICA and LAPAN namely 60% whereas JICA 47% and LAPAN 40% respectively. Accuracy of hotspot location from JICA is greater than of LAPAN and ASMC namely1.75 km, whereas ASMC 4.46 km and LAPAN 3.70 km respectively. Keywords: detection, peatland fire, hotspot
Abstrak
Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu daerah rawan kebakaran di Propinsi Riau. Sebagian besar lahan di kabupaten ini merupakan lahan gambut yang telah dikonversi menjadi areal budidaya seperti perkebunan, hutan tanaman, dan perladangan. Kebakaran sebagian besar ditemukan pada lahan gambut sebagai akibat aktivitas pembukaan lahan. Pembukaan kawasan gambut sangat beresiko karena dapat mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungan seperti kebakaran dan kabut asap. Oleh karena itu, identifikasi dan prediksi kejadian kebakaran gambut sangat penting untuk mengurangi kerusakan dan dampak lingkungan akibat kebakaran gambut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keakuratan data titik panas (hotspot) data beberapa sumber penyedia data, menjelaskan dampak kondisi biofisik dan aktifitas manusia pada lokasi terindikasi kebakaran. Dalam penelitian ini dipergunakan analisa deskriptif dan analisis spasial dari data hotspot. Analisa citra satelit Landsat TM digunakan untuk identifikasi lahan terbakar dan perubahan penutupan lahan. Hotspot merupakan indikasi kebakaran hutan yang dibuktikan dengan hasil interpretasi dan analisa citra dengan warna merah muda hingga merah muda tua untuk kombinasi Band 543 dan hijau muda hingga hijau muda tua untuk kombinasi Band 453. Jumlah hotspot yang dikeluarkan sumber penyedia hotspot dari terbesar ke terkecil yaitu JICA, ASMC dan LAPAN. Hotspot dari ASMC mempunyai akurasi sebaran yang lebih tinggi yaitu 60%, JICA 47% dan LAPAN 40%. Adapun JICA memiliki akurasi lokasi yang lebih tinggi yaitu 1,75 km, ASMC 4,46 km,dan LAPAN 3,70 km. Kata kunci: deteksi, kebakaran gambut, titik panas (hotspot)
PENDAHULUAN
Kegiatan deteksi dini dalam penanggulangan kebakaran lahan gambut memegang peranan sangat penting. Deteksi dini adalah upaya untuk mendapatkan keterangan
secara dini adanya kebakaran hutan melalui penerapan teknologi sederhana seperti adanya asap dan kondisi kekeringan hingga teknologi canggih seperti aplikasi penginderaan jauh dan pemataan digital (Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan 2001). Penggunaan teknologi
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara
54 Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
sederhana dalam deteksi dini kebakaran lahan bisa berupa kondisi kekeringan sedangkan teknologi canggih yaitu aplikasi penginderaan jauh dan pemataan digital. Deteksi dini dapat menentukan pengambilan keputusan untuk menentukan kesiapsiagaan penanggulangan kebakaran hutan. Deteksi yang akurat akan dapat membantu tahap pemadaman kebakaran dan tahap penanganan pasca kebakaran yang tepat. Disamping itu, pada pelaksanaan di lapangan, keakuratan proses deteksi akan menentukan alokasi dana, kelancaran operasi pemadaman, dan kebutuhan investigasi dalam kasus pelanggaran hukum lingkungan.
Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia telah menetapkan Kabupaten Bengkalis sebagai salah satu daerah yang paling rawan terjadi kebakaran (KLH 2002). Konversi hutan menjadi perkebunan menjadikan daerah ini rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Sebagian besar wilayah perkebunan ini tidak cocok untuk budidaya kelapa sawit karena berada pada kawasan gambut. Pembukaan kawasan gambut sangat beresiko karena dari beberapa laporan didapatkan bahwa kebakaran hutan/lahan yang terjadi di Bengkalis sebagian besar terjadi di lahan gambut. Oleh karena itu, identifikasi dan prediksi kejadian kebakaran gambut sangat penting untuk mengurangi kerusakan dan dampak lingkungan akibat kebakaran gambut.
Tujuan penelitian ini adalah: Membandingkan keakuratan data hotspot dari berbagai sumber penyedia data hotspot serta mendeteksi areal kebakaran dan perubahan penutupan lahan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kabupaten
Bengkalis, Propinsi Riau sebagai salah satu daerah yang rawan terjadi kebakaran. Analisis data dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan IPB pada bulan Juni 2005 – Januari 2006. Verifikasi lapangan dilakukan Bulan Mei 2005.
Bahan dan Alat Bahan penelitian berupa: peta digital
sistem lahan, penutupan lahan, batas administrasi (PPLH-IPB), Areal HPH/HTI (BAPLANDephut), peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bengkalis (Bappeda-Bengkalis), Data Hotspot Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) dari FFPMP2 (DephutJICA), ASMC (KLH-ASEAN) dan LAPAN, Citra
Satelit Landsat TM Path 126-127 Row 059 Tahun 2002-2004 dari ICSEA-BIOTROP dan LAPAN serta data penunjang dari Badan Pusat Statistik, Dinas Kehutanan dan Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah di Kabupaten Bengkalis.
Alat yang digunakan yakni: GPS, Kamera Personal Computer dengan pengolah citra ERDAS IMAGINE, pengolah peta Arc View 3.2 dan R2V, serta MS Word dan MS Excell.
Metode
Verifikasi Hotspot
Data Hotspot dari 3 sumber yaitu
LAPAN, JICA, dan ASMC menunjukkan gambaran
sebaran dan lokasi hotspot. Data dari ketiga
sumber tersebut dianalisis secara deskriptif
untuk mengetahui jumlah, prosentase dan
kecenderungan peningkatan dan penurunan
menurut waktu (bulan dan tahun). Dengan
analisis spasial menggunakan perangkat lunak
Arcview 3.2. pada Tool View, Geoprocessing
Wizard, Join Table, dapat diketahui jumlah dan
sebaran hotspot per kecamatan.
Verifikasi
dilakukan
dengan
membandingkan ketepatan antara lokasi hotspot
yang terdeteksi dari satelit NOAA dengan hasil
cek lapangan. Data cek lapangan diambil pada
areal bekas terbakar dan sedang terbakar yang
terjadi tidak berselang lama (Januari – Mei 2005)
dari kegiatan observasi lapangan. Data hasil
verifikasi lokasi kebakaran dan sebaran hotspot
kemudian dilakukan analisis spasial untuk
mengetahui jarak terdekat antara data verifikasi
dan data hotspot satelit. Satuan analisis jarak
terdekat adalah batas desa pada peta
administrasi. Rata-rata jarak terdekat terkecil
menunjukkan bahwa data hotspot paling akurat
menunjukkan lokasi daerah kebakaran lahan.
Pengolahan Citra Landsat TM Pengolahan citra mencakup tahapan
interpretasi visual citra (pemilihan kombinasi band terbaik, pra pengolahan (koreksi
geometrik, radiometrik, filtering, mosaiking dan clipping), pengecekan lapangan (ground truth),
Analisis Digital (unsupervised dan supervised
classification).
Analisis Perubahan Lahan Metode perubahan penutupan lahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik perbandingan klasifikasi (comparison classification). Perbandingan hasil klasifikasi adalah metode deteksi perubahan lahan dengan membandingkan citra-citra yang telah diklasifikasikan piksel demi piksel untuk mengidentifikasi perubahan yang terjadi
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara
Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
55
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Hotspot terbanyak dijumpai pada sumber JICA kemudian ASMC dan terendah LAPAN. Jumlah hotspot tertinggi terjadi pada tahun 2002 dimana sumber JICA mencapai jumlah 4040, ASMC 836 dan LAPAN 467 seperti ditunjukkkan oleh Gambar 1 (A). Hotspot meningkat mulai bulan Februari dan mencapai puncaknya pada bulan Maret kemudian menurun pada bulan April-Mei dan meningkat kembali pada bulan Juni - Juli. Hotspot mencapai jumlah terendah atau hampir tidak dijumpai hotspot pada bulan November dan Desember dari tahun 1999-2004 dari ketiga sumber.
Peningkatan dan penurunan jumlah hotspot pada bulan-bulan tertentu berkaitan dengan peningkatan dan penurunan jumlah curah hujan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1 (B). Pada saat curah hujan mengalami peningkatan maka jumlah hotspot berkurang bahkan tidak dijumpai sama sekali yaitu mulai bulan Agustus-Desember. Sebaliknya, pada saat curah hujan rendah jumlah hotspot tercatat dalam jumlah yang tinggi seperti pada bulan Januari – Maret dan Juni –Juli. Hal ini juga ditunjukkan oleh penelitian Soewarno (2003) yang menyebutkan bahwa rendahnya curah hujan mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan karena menyebabkan bahan bakar di hutan relatif mudah terbakar.
Perbandingan Hotspot dari Berbagai Sumber Perbedaan jumlah hotspot antar sumber
antara lain disebabkan: Pertama, sumber JICA memiliki jumlah hotspot relatif lebih banyak karena memiliki threshold paling rendah yaitu 315oK (siang) dan 310oK (malam) dibandingkan ASMC yaitu 320oK (siang) dan 314oK (malam). Sedangkan jumlah terendah diperoleh pada sumber LAPAN yang memiliki threshold paling tinggi dibandingkan JICA dan ASMC yaitu sebesar 322oK.
Kedua, waktu pengamatan yang berbeda antar stasiun pengamatan. Hidayat et. al. (2003) lebih lanjut menjelaskan, salah satu kemungkinan penyebab terjadinya perbedaan itu adalah tidak dilakukannya pengamatan pada malam hari. Sehingga banyak kejadian kebakaran yang lolos dari pengamatan LAPAN. Terdapat perbedaan waktu pengamatan antara LAPAN dengan ASMC, dimana LAPAN hanya melakukan pengamatan (perekaman data) setiap hari dari pukul 06.00 hingga 19.00 WIB,
sementara ASMC dan JICA melakukannya selama 24 jam setiap hari.
Menurut Solichin (2004), waktu lintasan satelit sangat berpengaruh terhadap pendeteksian kebakaran karena terkait dengan adanya perilaku pembakaran lahan di beberapa tempat di Indonesia atau dengan adanya perubahan penyebaran awan yang bergerak dalam hitungan beberapa menit, sehingga mempengaruhi kemampuan satelit dalam pemantauan hotspot.
Ketiga, Menurut Hidayat et. al. (2003) kemungkinan lain adalah, sistem pengolahan hotspot LAPAN (Sea Scan) yang operasional saat ini tidak bisa mengolah data NOAA 15 dan 16. Jadi ada kemungkinan ada hotspot yang seharusnya bisa dipantau dengan NOAA 15 dan 16, menjadi tidak terpantau oleh LAPAN.
Verifikasi Hotspot Hasil verifikasi lapangan terhadap data
hotspot menunjukkan adanya perbedaaan sebaran dan akurasi lokasi areal kebakaran yang terjadi di lapangan. Hasil verifikasi hotspot seperti ditampilkan pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1, data ASMC memiliki karakteristik data yang memiliki sebaran yang luas dalam menangkap sinyal suhu permukaan bumi yang kemudian menjadi informasi titik panas (hotspot). Hal ini ditunjukkan oleh tercatatnya hotspot pada hampir setiap desa yang telah terjadi kebakaran. Bila memakai jumlah desa sebagai satuan keakuratan hotspot maka data ASMC mempunyai tingkat keakuratan sebesar 60%, JICA; 47% dan LAPAN hanya 40%. Sedangkan bila jarak lokasi kebakaran (cek lapangan) dengan catatan lokasi hotspot dari sumber penyedia data maka sumber JICA memiliki akurasi terbaik yaitu rata-rata 1.75 km dibandingkan ASMC sebesar 4.46 km dan LAPAN sebesar 3.70 km.
Bila diterapkan dalam upaya pemadaman dan investigasi kebakaran lahan, maka data ASMC sangat baik dalam skala desa untuk memberikan informasi pada tingkat organisasi terkecil yaitu perangkat desa dan masyarakatnya. Sedangkan data JICA akan sangat membantu mencari lokasi yang paling tepat terutama bila kebakaran terjadi pada areal yang berbatasan dalam hal kepemilikan dan pengelolaan.
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara
56 Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
Jumlah Hotspot
500 300
ASMC
Curah Hujan
450 JICA
Jumlah Hotspot
400
LAPAN
250
350
200 300
250 150
200
150 100
100
50 50 0
Januari Februari
Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Bulan
0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
(A) (B) Gambar 1. (A) Perbandingan Jumlah Hotspot Tahunan di Kabupaten Bengkalis dari Sumber JICA, ASMC dan LAPAN,
(B) Rata-rata Curah Hujan Bulanan dan Jumlah Hotspot Bulanan di Kabupaten Bengkalis Tahun 1999 – 2000.
Tabel 1. Lokasi Verifikasi, Jumlah dan Jarak Hotspot antara Lokasi Cek Lapangan dengan Lokasi dari Penyedia Data (JICA, ASMC dan LAPAN)
No. Desa Verifikasi ASMC JH JT JVer JICA JH JT JVer LAPAN JH JT JVer
1 Petani
V 1 0.44 1
2 Pematang Pudu
V 2 1.9 7
3 Duri Barat
V 1 2.84 3
4 Batang Serosa
5 Muara Basung
6 Tasik Serai
V 17 2.19 5
7 Beringin
V 6 1.83 3 V 16 2.14 3
V 37 4.53 5
8 Titian Antui
V 1 17.68 1
V 3 3.03 2
9 Semunai
V 2 4.43 1
10 Kuala Penaso Rimba
11 Sekampung
V 3 5.62 1 V 1 7.25 1 V 4 1.21 1
12 Senggoro
V 2 4.71 1 V 16 0.27 1
13 Air Putih
V 6 0.25 3 V 18 0.25 3
14 Penampi
V 10 1.76 1 V 4 0.1 1
V 2 5.46 1
15 Tanjung Kapal
V 8 5.67
V 25 1
1
Jumlah
9 54
16 7 84
11 6 47
19
Rata-rata
4.46 1.75
3.70
Keterangan: V : Terdapat Hotspot JH : Jumlah Hotspot JT : Jarak Hotspot Terdekat (km) antara titik cek lapangan (lokasi kebakaran) dengan sumber penyedia
data Jver : Jumlah Titik Verifikasi/Cek Lapangan
Identifikasi Lahan Terbakar dengan Citra Landsat TM
Berdasarkan pengolahan citra dan cek
lapangan diperoleh karakteristik obyek dan areal
terbakar seperti disajikan pada Tabel 2. Identifikasi pada Tabel 2 tidak termasuk awan,
bayangan awan, sungai dan badan air/perairan.
Hasil identifikasi dari citra satelit dan verifikasi dengan data hotspot menunjukkan bahwa lahan terbakar dicirikan dengan penampakan warna yang terang atau cerah. Menurut Sunuprapto (2000) kombinasi band 543 dan 453 memiliki keunggulan dalam mendeteksi areal kebakaran. Kombinasi 543 merupakan kombinasi yang
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara
Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
57
dapat menghasilkan tampilan obyek yang serupa dengan pandangan manusia (natural color). Band 543 dapat membedakan antara obyek vegetasi hidup dan vegetasi mati (terbakar). Band 453 selain dapat membedakan antara vegetasi hidup dan vegetasi mati (terbakar), juga menunjukkan tingkat intensitas kerusakan dari vegetasi terbakar.
Pemantauan Perubahan Penutupan Lahan Telah terjadi perubahan luas penutupan
lahan antara tahun 2002 dan tahun 2004. Perubahan luas penutupan lahan diperoleh dari perbandingan citra klasifikasi tahun 2002 dan
tahun 2004. Perubahan luas pada masing-masing kelas penutupan lahan disajikan pada Gambar 2.
Terjadi penurunan luas areal terbakar antara tahun 2002 dan tahun 2004 dengan persentase penurunan sebesar 5% atau seluas 63.298,00 Ha. Disamping itu terjadi pula peningkatan luas yang cukup besar pada tahun 2004 di areal perkebunan, hutan bekas tebangan
(Logged Over Area/LOA) dan tanah terbuka dengan persentase masing-masing 4.63% atau seluas 58.529,34 Ha, 9.37% atau seluas 118.451,10 Ha dan 13.70% atau seluas 173.096,20 seperti ditunjukkan oleh Gambar 2
Tabel 2. Hasil identifikasi obyek dan areal terbakar dengan citra landsat TM di Kabupaten Bengkalis
Obyek
Kombinasi Band 543 Kombinasi Band 453 Keterangan
Hutan Primer Terbakar Merah muda terang Hijau muda terang Lokasi berada di pinggiran huran,
pinggir sungai dan perkebunan
Lahan Terbakar di HTI Merah muda lebih Hujau muda lebih
Berada di pinggir jalan, pinggir sungai
terang
terang (bersih)
dan areal pembukaan lahan.
Hutan Sekunder/Hutan Merah muda agak Hijau muda agak
Berada di pinggir jalan, pinggir sungai,
Bekas Tebangan
keruh
keruh,
dekat HTI dan pembukaan lahan
Terbakar (LOA)
untuk perkebunan
Lahan Terbakar di
Merah keruh
Hijau keruh
Berada di pinggir jalan, pinggir sungai,
Perkebunan
dekat HTI dan Logged Over Area (LOA)
Semak Belukar/Lahan Merah muda
Hijau semakin
Dekat jalan sungai, LOA dan
Pertanian Terbakar
semakin mendekati mendekati putih
perkebunan.
putih
Hutan Primer
Hijau tua
Coklat tua
Lokasi memiliki aksesibilitas rendah,
sebagian dekat sungai dan rawa
Hutan Bekas Tebangan Hijau terang
Coklat terang
Terdapat di pinggiran Hutan Primer
atau membentuk gap di tengah hutan
HTI
Hijau agak gelap
Coklat agak gelap
Areal terlihat teratur seperti terbagi
dalam petak
Perkebunan
Hijau muda
Coklat oranye
Lokasi dekat jalan dan pinggiran hutan
Semak
Kuning kehijauan
Coklat kekuningan Lokasi dekat jalan, sungai dan
Belukar/Pertanian
pemukiman
Sumber: Pengolahan Citra Landsat TM Path 059 Row 129 Tahun 2002 dan 2004
700000,00 600000,00
2002 2004
500000,00
400000,00
Luas (Ha)
300000,00
200000,00
100000,00
0,00
Badan Air
Hutan Perkebunan
LOA
Pemukiman Rawa
Penutupan Lahan
Semak dan Lahan
Pertanian
Lahan Terbakar
Tanah Terbuka
Gambar 2. Perubahan Luas Penutupan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2002 - 2004
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara
58 Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
Di samping itu terjadi peningkatan luas pemukiman, rawa dan badan air dengan persentase masing-masing 1.62%, 2.71% dan 0.09%. Penurunan luas areal tebakar pada tahun 2004 diduga terjadi karena makin menurunnya jumlah kejadian kebakaran yang dapat diindikasikan oleh menurunnya jumlah hotspot dari tahun 2002 – 2004.
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan data hotspot antara JICA, ASMC dan LAPAN. Akurasi berdasarkan jumlah desa yang terpantau hotspot untuk sumber JICA, ASMC dan LAPAN masingmasing adalah 47%, 60% dan 40%. Sedangkan bila jarak lokasi kebakaran (cek lapangan) dengan catatan lokasi hotspot dari sumber penyedia data maka sumber JICA memiliki akurasi terbaik yaitu rata-rata 1.75 km dibandingkan ASMC sebesar 4.46 km dan LAPAN sebesar 3.70 km.
Berdasarkan analisis citra Landsat TM dan data hotspot lahan terbakar dapat diidentifikasi dengan karakteristik warna merah muda hingga merah muda tua pada kombinasi Band 543 dan warna hijau muda hingga hijau muda tua pada Kombinasi Band 453. Penurunan luas areal tebakar pada tahun 2004 diduga terjadi karena makin menurunnya jumlah hotspot dari tahun 2002 – 2004.
SARAN
Data hotspot ASMC dan JICA disarankan
untuk digunakan sebagai input data dalam
menunjang
pengambilan
keputusan
penanggulangan kebakaran gambut. Untuk itu
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
mendeteksi areal kebakaran menggunakan data
citra satelit dengan resolusi spasial dan temporal
yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan
2001.
Perangkat
Organisasi
Penanggulanagn Kebakaran Hutan
Propinsi dan Kabupaten/Kota. Makalah
dalam Pelatihan Kebakaran Hutan
Tingkat Manajemen Medan, 26 – 27
Juni 2001. Medan: Unit Manajemen
Leuser
Forest Fire Prevention Management Project 2. 2004. Sistem Deteksi dan Peringatan Dini. http://ffpmp2.hp.infoseek.co.jp/ earlypageindo.htm [23 April 2004]
Hidayat, A. Kushardono D, Asriningrum W,
Zubaedah A dan Efendy, I. 2003.
Laporan Verifikasi dan Validasi Metode
Pemantauan Mitigasi Bencana
Kebakaran Hutan dan Kekeringan.
Jakarta:
Pusat
Pengembangan
Pemanfaatan dan Teknologi
Penginderaan Jauh-LAPAN.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2002. Status Lingkungan Hidup Daerah 2002: Kabupaten Bengkalis. www.menlh.go.id/ terbaru/soe/artikel.php?article?_ id=821 [12 Maret 2005]
Soewarso 2003. Penyusunan Pencegahan Kebakaran Hutan Rawa Gambut dengan Menggunakan Model Prediksi. [Disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasi)
Solichin 2004. Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran (Mengenal Hotspot Bagian 1). Palembang: South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP) Newsletters Hotspot,. Februari 2004; 1: 2-3.
Sunuprapto H. 2000. Forest Fire Monitoring and Damage Assesment Using Remotely Sensed Data and Geographical Information Systems (A Case Study in South Sumatera Indonesia). [Thesis]. Enschede The Netherlands: Internastional Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC) (tidak dipublikasi).
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343 Universitas Sumatera Utara