Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse

EVALUASI PENERAPAN SANITASI, SISTEM PEMOTONGAN,
SISTEM JAMINAN HALAL DAN KEAMANAN DAGING
SAPI DI RPH KOTA PEKANBARU

BAMBANG KUNTORO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Penerapan Sanitasi,
Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH
Kota Pekanbaru adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak
diterbitkan dari penulisa lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Januari 2012

Bambang Kuntoro
NIM. D151090081

ABSTRACT
BAMBANG KUNTORO. Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering
Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse.
Supervised by RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and HENNY NURAINI
Meat is animal origin food and serve as a source of animal protein for human
nutrition. High demand for meat is not always followed by improvement of facilities and
condition in slaughterhouses. This study is to evaluate the application of standard
sanitation operational procedures (SSOP), good slaughtering practices (GSP) and halal
assurance system (HAS) as well as to evaluate establishment number to slaughterhouse
in Pekanbaru City and meat quality analysis include physical quality (pH, color and
water holding capacity), the microbial contamination, residues of heavy metals (Pb, Cd,
Hg) and organophosphate pesticide (OP) residues. Random sampling was done on a
population of livestock owners that slaughtered at Pekanbaru City slaughterhouse. Five
livestock owners were sampling randomly for evaluate analysis. The cattle used way
three heads for each. Carcass parts analyzed were Bicep femoris (BF) and Longissimus

dorsi et lumbarum (LD), liver and kidneys. The results for evaluation of SSOP that was
implemented is 54.65% and the assessment establishment number deviations indicate that
there are 57 minor, 35 major, 14 serious and 8 critical. Implementation of GSP was
59.00% and assessments establishment number deviations showed 10 minor, 14 major, 6
serious and 2 critical, while the evaluation of the implementation of the HAS was
54.50% and deviations has 15 minor, 5 major, 2 serious and 1 critical. The microbial
contamination in meat analysis showed that is above the maximum threshold set by the
Indonesian National Standard (INS), while the results for physical quality, heavy metal
residues and OP residues are under the maximum limit set by INS. The concluded this
research is Pekanbaru City slaughterhouse is not implementing SSOP, GSP and HAS as
evidenced by deviations in the assessment establishment number. The physical quality of
meat was in the normal range of fresh meat. In addition, meat, liver and kidney from
slaughterhouse Pekanbaru City has residual heavy metal and OP residues of under the
INS, but the meat (BF and LD) contains very high microbial contamination of the INS
has been determined.
Key word : meat safety, halal assurance, heavy metal residues, pesticide recidues,
slaughterhouse

RINGKASAN


BAMBANG KUNTORO. Evaluasi Penerapan Sanitasi, Sistem Pemotongan, Sistem
Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota Pekanbaru. Dibimbing oleh
RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI dan HENNY NURAINI.
Penyediaan bahan pangan dengan nilai gizi tinggi merupakan masalah penting
sebagai upaya meningkatkan kesehatan dan kecerdasan masyarakat. Salah satu bahan
pangan yang mengandung nilai gizi tinggi adalah daging sapi. Pemenuhan kebutuhan
masyarakat akan daging perlu dilakukan dengan cara meningkatkan produksi dan
kualitas hasil ternak secara optimal serta menjamin mutu daging yang aman sampai ke
konsumen. Peningkatan permintaan daging tidak selalu diikuti dengan perbaikan sarana
rumah potong hewan (RPH) yang memadai, sehingga keamanan dan kehalalan daging
menjadi suatu permasalahan yang belum terselesaikan. Kualitas dan keamanan daging
yang dihasilkan salah satunya ditentukan oleh pelaksanaan penyediaan daging di rumah
potong hewan (RPH). Proses penanganan ternak dan daging di RPH yang kurang baik
dan tidak memperhatikan faktor-faktor sanitasi dan higienis, akan berdampak pada mutu,
kehalalan dan keamanan daging yang dihasilkan. Selain itu, diperlukan penetapan aturan
atau standar operasional maupun teknis sebagai dasar untuk menyelenggarakan fungsi
RPH sebagai tempat pelaksanaan pemotongan ternak guna menghasilkan daging yang
ASUH (aman, sehat, utuh dan halal).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan standard sanitation
operational procedure (SSOP), good slaughtering practices (GSP) dan sistem jaminan

halal (SJH) serta nilai kontrol veteriner (NKV) terhadap rumah potong hewan (RPH)
Kota Pekanbaru. Selain itu, penelitian ini bertujuan mengevaluasi keamanan daging asal
RPH Kota Pekanbaru ditinjau dari kualitas daging yang meliputi mutu fisik, tingkat
cemaran mikroba, cemaran residu logam berat (Pb, Cd, Hg) serta cemaran residu
pestisida golongan organofosfat.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sample)
terhadap sejumlah pemilik ternak yang melakukan pemotongan di RPH Kota
Pekanbaru. Sejumlah pemilik ternak, diambil lima pemilik ternak yang melaksanakan
pemotongan di RPH sebagai sampel pengamatan SSOP, GSP, SJH dan NKV. Tiga ekor
ternak diambil dari masing-masing pemilik ternak untuk dianalisis mutu fisik daging
(pH, warna, persentase air bebas), cemaran mikroba (Salmonella, Eschericia coli,
Coliform dan total plate count/TPC), cemaran residu logam (Pb, Cd dan Hg) serta
cemaran residu pestisida organofosfat. Sampel yang dianalisis berupa sampel daging
sapi bagian otot Bicep femoris (BF) dan Longissimus dorsi et lumbarum (LD), organ
hati dan ginjal.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pelaksanaan SSOP di RPH Kota
Pekanbaru belum maksimal. Pelaksanaan SSOP baru mencapai 54.65%, sedangkan
sekitar 45.35% belum dapat terlaksana. Hasil evaluasi NKV RPH Kota Pekanbaru
memiliki 57 penyimpangan minor, 35 penyimpangan mayor, 14 penyimpangan serius
dan 8 penyimpangan kritis. Selain itu, pencapaian pelaksanaan GSP sekitar 59.00%,

sedangkan 41.00% masih belum dapat terselenggara dengan baik dan hasil evaluasi
penilaian NKV memiliki 10 penyimpangan minor, 14 penyimpangan mayor, 6
penyimpangan serius dan 2 penyimpangan kritis, sedangkan pelaksanaan SJH mencapai
54.50%, sedangkan kriteria yang belum terlaksana secara sempurna adalah sebesar

44.50% dan penyimpangan NKV sebanyak 15 penyimpangan minor, 5 penyimpangan
mayor, 2 penyimpangan serius dan 1 penyimpangan kritis, tetapi tata cara penyembelihan
sapi secara halal telah sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam dan persyaratan yang
ditetapkan oleh LPPOM-MUI.
Hasil analisis kualitas daging didapatkan pH pada bagian otot Longissimus dorsi
et lumbarum lebih rendah dibandingkan otot bagian Bicep femoris yaitu 5.37 pada otot
Longissimus dorsi et lumbarum dan 5.56 pada otot Bicep femoris. Hal yang sama juga
terjadi pada penilaian warna daging, otot Longissimus dorsi et lumbarum memiliki skor
penilaian 6 yang berarti bahwa daging berwarna merah terang, sedangkan otot Bicep
femoris memiliki skor penilaian 7 dengan warna merah agak sedikit gelap. Persentase air
bebas otot Longissimus dorsi et lumbarum mencapai 61.80%, sedangkan otot Bicep
femoris sekitar 53.53%. Penilaian mutu fisik daging ini masih berada pada kisaran
normal daging segar menurut SNI.
Jumlah cemaran mikroba pada daging berada di atas batas maksimum yang telah
ditetapkan SNI 3932:2008. Hasil analisis mikrobiologis daging menunjukkan bahwa

jumlah TPC berkisar antara 1.0 x 106 - 4.5 x 107cfu/g, sedangkan jumlah E. coli berkisar
35->1100 MPN/g, cemaran Coliform >1100 MPN/g dan negatif untuk cemaran
Salmonella. Cemaran residu logam berat Pb berkisar 0.00-0.92 ppm, Cd berkisar 0.000.60 ppm dan Hg berkisar 0.00-0.03 ppm, sedangkan residu pestisida golongan
organofosfat lebih kecil dari 0.005 ppm atau berada di bawah batas maksimum yang telah
ditentukan oleh SNI 7313: 2008 tentang batas maksimum residu pestisida pada hasil
pertanian.
Pelaksanaan SSOP, GSP, SJH di RPH Kota Pekanbaru belum terlaksana secara
menyeluruh yang dibuktikan dengan masih adanya penyimpangan-penyimpangan pada
penilaian NKV. Selain itu, untuk meminimalkan kontaminasi mikroba khususnya TPC,
E. coli, Coliform perlu diupayakan perbaikan fasilitas RPH serta pembinaan dan
pelatihan terhadap sumber daya manusia di RPH Kota Pekanbaru tentang pentingnya
sanitasi dan higienis pada proses produksi, sehingga kriteria produksi daging ASUH
dapat tercapai.

Kata kunci: keamanan daging, jaminan halal, residu logam berat, residu pestisida,
rumah potong hewan.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

EVALUASI PENERAPAN SANITASI, SISTEM PEMOTONGAN,
SISTEM JAMINAN HALAL DAN KEAMANAN DAGING
SAPI DI RPH KOTA PEKANBARU

BAMBANG KUNTORO

Tesis
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. H. Trioso Purnawarman, M.Si

Judul Tesis
Nama

: Evaluasi Penerapan Sanitasi, Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal
dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota Pekanbaru
: Bambang Kuntoro

NIM

: D151090081

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si

Anggota

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Ketua

Diketahui
Ketua Mayor
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 29 Desember 2011

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia
yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian dan
penulisan Tesis ini dengan baik. Tesis ini berjudul Evaluasi Penerapan Sanitasi,
Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota
Pekanbaru.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari,
DEA dan Dr.Ir. Henny Nuraini, M.Si selaku pembimbing, yang selalu memberikan
arahan dalam penyelesaian tesis ini dari awal hingga akhir. Ucapan terima kasih juga
tak lupa penulis sampaikan kepada Dr. drh. H. Trioso Purnawarman, M.Si selaku
penguji luar komisi atas segala saran dan masukkan untuk kesempurnaan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pemerintah Provinsi Riau dan
Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang telah memberikan bantuan sehingga penulis
dapat menyelesaikan studi pascasarjana ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Pimpinan dan Staff RPH Kota Pekanbaru yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melaksanakan penelitian di RPH. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Rektor UIN Suska Riau yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan ini, dan kepada Dekan (Dr.Ir. Tantan R. Wiradarya, M.Sc)
dan seluruh dosen beserta staf Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska yang
telah memberikan motovasi selama ini. Terima kasih untuk drh. Jully, Idil, Pajri,Rike
dan Jume yang telah banyak membantu pengamatan dan pengambilan sampel selama

proses penelitian. Terima kasih untuk teman-teman mahasiswa Pascasarjana Mayor
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Angkatan 2009 yang telah banyak
memberikan semangat selama perkuliahan, penelitian sampai pada penulisan tesis ini.
Akhirnya penulis mempersembahkan Tesis ini untuk Ibunda ku tercinta
Kamsiah (Alm) dan Ayahnda H. Ahmad Arifin serta saudara-saudaraku yang telah
memberikan motivasi dan dorongan hingga Tesis ini dapat terselesaikan.
Bogor, Januari 2012

Bambang Kuntoro

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Selatbaru Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis –
Riau pada tanggal 11 April 1982 sebagai anak ke enam dari delapan bersaudara dari
pasangan Ayahanda H. Ahmad Arifin dan Ibunda Kamsiah (Alm).
Tahun 2001 penulis lulus dari SMUN 1 Selatbaru – Bantan. Pada tahun 2002
penulis melanjutkan studi di perguruan tinggi negeri dan tahun 2007 lulus program
Sarjana dari Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Tahun 2008 penulis diangkat sebagai staf
pengajar di universitas yang sama. Tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan
melanjutkan pendidikan pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan di
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

ABSTRACT

BAMBANG KUNTORO. Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering
Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse.
Supervised by RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and HENNY NURAINI
Meat is animal origin food and serve as a source of animal protein for human
nutrition.. Demand for meat in Indonesia is become higher with increasing income and
community awareness. High demand for meat is not always followed by improvement of
facilities and condition in slaughterhouses, thus making the safety and halal meat demand
to be an unresolved issue. This study is the objective to evaluate the application of
standard sanitation operational procedures (SSOP), good slaughtering practices (GSP)
and halal assurance system (HAS) as well as to evaluate establishment number to
slaughterhouse in Pekanbaru City. In addition, this study aims to evaluate the meat safety
of Pekanbaru City slaughterhouse. Meat quality parameter include physical quality (pH,
color and percentage of free water), the level of microbial contamination (Salmonella,
Eschericia coli, Coliform and total plate count / TPC), contamination residues of heavy
metals (Pb, Cd, Hg) and the organophosphate pesticide residues. Random sampling was
done on a population of livestock owners that slaughtered at Pekanbaru City
slaughterhouse. Five livestock owners were sampling randomly for SSOP, GSP, HAS
and establishment number analysis. The cattle used way three heads for each. All fifteen
carcasses used were analyzed for meat quality consist of pH value, color, water holding
capacity, microbial contamination and heavy metal residues (Pb, Cd and Hg) and
organophosphate pesticide residue. Carcass parts analyzed were Bicep femoris (BF) and
Longissimus dorsi et lumbarum (LD), liver and kidneys.
The results for evaluation showed SSOP that was implemented is 54.65% and the
results of the assessment establishment number indicate that there are 57 minor
deviations, 35 major deviations, 14 serious deviations and 8 critical deviations.
Evaluation of the implementation of GSP was 59.00% and assessments establishment
number showed 10 minor deviations, 14 major deviations, 6 serious deviations and 2
critical deviations, while the evaluation of the implementation of the HAS was 54.50%
and has 15 minor deviations, 5 major deviations, 2 serious deviations and 1 critical
deviation. The results of microbial contamination in meat analysis showed that beef
slaughterhouse is above the maximum threshold set by the Indonesian National Standard
(INS), while the results for physical quality, heavy metal residues and organophosphate
pesticide residues contamination are under the maximum limit set by INS.
Based on the results of this study it is concluded that Pekanbaru City
slaughterhouse is not implementing SSOP, GSP and HAS as evidenced by deviations in
the assessment establishment number. The physical quality of meat was in the normal
range of fresh meat, in addition, meat, liver and kidney from slaughterhouse Pekanbaru
City has residual heavy metal and organophosphate pesticide residues of under the INS,
but the resulting meat contains very high microbial contamination of the INS has been
determined.
Key word : meat safety, halal assurance, heavy metal residues, pesticide recidues,
slaughterhouse

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ...........................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

vii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

viii

PENDAHULUAN ...........................................................................................
Latar Belakang .......................................................................................
Tujuan .....................................................................................................
Manfaat ...................................................................................................
Hipotesis Penelitian ................................................................................

1
1
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
Rumah Potong Hewan (RPH) .................................................................
Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP) ............................
Good Slaughtering Practices (GSP) .......................................................
Nomor Kontrol Veteriner (NKV) ...........................................................
Daging .....................................................................................................
Cemaran Mikrobiologi Daging ...............................................................
Cemaran Kimia pada Daging .................................................................

5
5
6
7
8
9
13
16

MATERI DAN METODE ...............................................................................
Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................
Materi Penelitian .....................................................................................
Metode Penelitian ...................................................................................
Rancangan Percobaan .............................................................................
Peubah yang Diukur ................................................................................
Analisis Data ...........................................................................................

27
27
27
27
28
28
39

HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................ 41
Profil Rumah Potong Hewan Kota Pekanbaru ........................................ 41
Evaluasi Pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru ............................ 42
Evaluasi Pelaksanaan GSP di RPH Kota Pekanbaru .............................. 72
Evaluasi Penerapan SJH di RPH Kota Pekanbaru .................................. 82
Mutu Fisik Daging Sapi .......................................................................... 97
Cemaran Mikrobiologi pada Daging Sapi .............................................. 100
Cemaran Logam Berat pada daging dan Jeroan Sapi ............................. 102
Cemaran Residu Pestisida OP pada Daging dan Jeroan Sapi ................. 107
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 111
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 113
LAMPIRAN ..................................................................................................... 120

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan ............. 10

2

Syarat mutu mikrobiologi daging sapi .......................................................... 16

3

Jumlah mikroba pada daging setelah proses pemotongan ........................... 16

4

Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak
menurut NRC (mg/kg) ................................................................................. 17

5

Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan (daging dan
olahannya) ..................................................................................................... 18

6

Batas maksimum cemaran persisida pada daging ......................................... 25

7

Hasil uji Salmonella pada TSA dan LIA ...................................................... 33

8

Reaksi biokimia Salmonella sp ..................................................................... 34

9

Hasil reaksi indole, Methyl red, Voges-proskauer, citrate (iMViC)
terhadap E. coli ........................................................................................... 36

10 Hasil rekapitulasi evaluasi pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru ....... 43
11 Hasil evaluasi pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru .......................... 50
12 Hasil rekapitulasi evaluasi penerapan GSP di RPH Kota Pekanbaru ............ 73
13 Hasil evaluasi pelaksanaan GSP di RPH Kota Pekanbaru ............................. 76
14 Hasil rekapitulasi evaluasi penerapan sistem jaminan halal (SJH) di
RPH Kota Pekanbaru .................................................................................... 84
15 Hasil evaluasi pelaksanaan SJH di RPH Kota Pekanbaru ............................. 87
16 Rataan mutu fisik daging sapi asal RPH Kota Pekanbaru ............................. 97
17 Jumlah cemaran bakteri pada daging sapi dan sampel air asal RPH
Kota Pekanbaru ............................................................................................. 100
18 Hasil analisis total plate count (TPC) terhadap sanitasi ruang,
peralatan dan higienis personal di RPH Kota Pekanbaru ............................ 102
19 Hasil analisis cemaran logam dan standar batas maksimal (maximal
residue limit/MRL) cemaran Pb, Cd dan Hg pada daging, hati dan ginjal
sapi…………………………………………………………………………. 103
20 Hasil analisis cemaran residu pestisida OP pada daging, hati dan ginjal
sapi asal RPH Kota Pekanbaru...................................................................... 108

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1

Jalur cemaran logam timbal (Pb) ................................................................ 19

2

Jalur cemaran logam cadmium (Cd) ............................................................. 23

3

Kondisi bangunan utama RPH Kota Pekanbaru ........................................... 44

4

Kondisi tempat penyembelihan ternak di RPH Kota Pekanbaru .................. 45

5

Kondisi tempat penanganan karkas dan jeroan di RPH Kota
Pekanbaru ...................................................................................................... 46

6

Kondisi sanitasi tempat produksi dan higiene personal yang tidak baik
di RPH Kota Pekanbaru ................................................................................ 47

7

Penanganan ternak sesaat setelah disembelih di RPH Kota
Pekanbaru ...................................................................................................... 74

8

Kondisi alat angkut daging dan jeroan sapi di RPH Kota Pekanbaru ........... 75

9

Kondisi penanganan karkas/daging di RPH Kota Pekanbaru ....................... 84

10 Penanganan karkas/daging pasca evicerasi ................................................... 85

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1

Check list standard sanitation operational procedure (SSOP) Rumah
Potong Hewan (RPH) ................................................................................... 121

2

Check list good slaughtering practices (GSP) Rumah Potong Hewan
(RPH) ............................................................................................................ 133

3

Check list sistem jaminan halal (SJH) Pemotongan Hewan di RPH ........... 137

4

Standar penilaian warna daging sapi berdasarkan SNI 3932:2008 ............... 143

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyediaan bahan pangan dengan nilai gizi tinggi merupakan masalah
penting sebagai upaya meningkatkan kesehatan dan kecerdasan masyarakat. Salah
satu bahan pangan yang mengandung nilai gizi tinggi adalah daging sapi.
Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan daging perlu dilakukan dengan cara
peningkatan produksi dan kualitas hasil ternak secara optimal serta penjaminan
mutu daging yang aman sampai ke konsumen. Rerata konsumsi daging per kapita
di Indonesia tergolong masih rendah, dengan kisaran dari 0-50 kg/kapita/tahun.
Hal ini tidak terlepas dari tingkat daya beli masyarakat yang masih rendah dan
produktivitas ternak yang belum optimal. Kontribusi ternak ruminansia, terutama
sapi terhadap konsumsi daging nasional baru mencapai 21%, sedangkan sebagian
besar (63%) berasal dari unggas dan sebagian lainnya dari kambing dan domba
(Departemen Pertanian 2008).
Potensi pengembangan ternak potong di Provinsi Riau sangat menjanjikan,
yang diukur berdasarkan jumlah ternaknya.Populasi sapi sekitar 105.253 ekor,
kerbau 47.799 ekor, kambing 256.324 ekor (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau
2005). Populasi ternak pada tahun 2008 mengalami peningkatan yaitu ternak sapi
sekitar 161.202 ekor, kerbau 49.116 ekor, kambing 240.809 ekor, ayam ras
pedaging 30.679.920 ekor, ayam buras 3.466.760 ekor, ayam ras petelur 592.404
ekor. Jumlah pemotongan ternak pada tahun 2009 mencapai 41.732 ekor,
sedangkan produksi daging mencapai 7.639 ton dengan konsumsi daging sebesar
4.1 kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau 2010).
Misi Departeman Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan adalah
pencanangan Program Swasembada Daging 2014 yang bertujuan untuk
menyediakan pangan asal ternak yang cukup secara kuantitas dan kualitas.Selain
itu, berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan,
maka tuntutan masyarakat terhadap pelaku pasar dalam menyediakan pangan
hewani harus mempertimbangkan aspek aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

2

Kualitas dan keamanan daging yang dihasilkan salah satunya ditentukan
oleh pelaksanaan penyediaan daging di rumah potong hewan (RPH). Proses
penanganan ternak dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak memperhatikan
faktor-faktor sanitasi dan higienis, akan berdampak pada mutu, kehalalan dan
keamanan daging yang dihasilkan. Penetapan aturan atau standar operasional
maupun teknis di RPH adalah sebagai dasar untuk menyelenggarakan fungsi RPH
sebagai tempat pelaksanaan pemotongan ternak guna menghasilkan daging yang
ASUH (aman, sehat, utuh dan halal).
Daging yang berasal dari ternak ruminansia umumnya dipelihara secara
tradisional oleh masyarakat. Sumber pakan yang diberikan umumnya hanya
hijauan atau rumput lapang, sehingga kontaminasi pakan oleh logam berat dan
cemaran pestisida merupakan sumber utama terjadinya toksisitas pada hewan
ternak. Logam berat tidak dapat terdegradasi secara alami dan cenderung
terakumulasi dalam air, tanah dan tubuh makhluk hidup. Selain itu, logam berat
seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd) dan timbal (Pb) dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan bagi manusia. Efek toksik logam berat akan terakumulasi
dalam waktu lama yang mampu menghambat kerja enzim sehingga mengganggu
metabolisme tubuh, menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen, atau
karsinogen bagi hewan bahkan ke manusia.
Nilai gizi yang terkandung dalam daging sangat mendukung bagi
kehidupan mikroorganisme terutama bakteri. Adanya aktivitas mikroorganisme
dalam daging akan menurunkan kualitas daging yang ditunjukkan dengan
perubahan warna, rasa, aroma dan pembusukanyang dipengaruhi oleh kondisi
ternak, kondisi lingkungan, kondisi tempat pemotongan dan proses penanganan
daging mulai dari pemotongan sampai pengolahan. Penerapan sistem

hazard

analysis critical control point (HACCP) pada usaha peternakan secara terpadu
akan meminimalkan terjadinya bahaya pada produk pangan asal ternak.
Di Indonesia kejadian foodborne disease yang diakibatkan oleh
mengkonsumsi daging sapi jarang dilaporkan meskipun kejadiannya tidak sedikit.
Di Provinsi Riau, informasi yang berhubungan dengan keamanan daging sapi
yang dilihat dari status mikrobiologi masih sangat kurang. Umumnya daging yang
ada dipasaran dipotong pada skala tradisional dan tidak sesuai dengan aturan

3

pemotongan yang berlaku di RPH. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa
sampel daging sapi yang beredar dibeberapa pasar tradisional di Pekanbaru,
mengandung cemaran bakteri lebih tinggi dibanding Standar Nasional Indonesia
(SNI). Selain itu, informasi cemaran residu logam berat dan pestisida dalam
daging belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang evaluasi
penerapan sanitasi, sistem pemotongan, sistem jaminan halal dan

keamanan

daging sapi yang dipotong di RPH Kota Pekanbaru.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi penerapan sanitasi
(standard sanitation operational procedure/SSOP), sistem pemotongan (good
slaughtering practices/GSP), sistem jaminan halal (SJH) serta menguji status
keamanan daging sapi yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) Kota
Pekanbaru yang dilihat dari kualitas fisik, cemaran logam berat, residu pestisida
organoposfat dan status mikrobiologi (Salmonella, E. coli, Coliform dan TPC)
sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3932: 2008 tentang mutu
karkas dan daging sapi, SNI nomor 7317: 2008 tentang batas maksimum residu
pestisida pada hasil pertanian dan SNI 7387: 2009 tentang batas maksimum
cemaran logam berat dalam pangan.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
gambaran kualitas dan keamanan daging sapi yang dihasilkan dari RPH Kota
Pekanbaruserta dapat memberikan masukan tentang manajemen pemotongan
ternak dengan menerapkan sistem jaminan halal guna mendapatkan daging yang
berkualitas, aman dan halal untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah bahwa daging sapi yang
dihasilkan dari rumah potong hewan (RPH) Kota Pekanbaru berada diatas batas
maksimum yang ditetapkan berdasarkan SNI 3932: 2008 tentang mutu karkas dan
daging sapi dan SNI nomor 7317: 2008 tentang batas minimum residu pestisida
pada hasil pertanian dan SNI 7387: 2009 tentang batas maksimum cemaran logam
berat dalam pangan, serta belum menerapkan sistem jaminan halal.

4

5

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan (RPH)
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan
dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan
hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Pemotongan hewan merupakan kegiatan
untuk menghasilkan daging hewan yang terdiri atas pemeriksaan ante-mortem,
penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post-mortem
(Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010). Berdasarkan
SNI 01-6159-1999 disebutkan bahwa RPH adalah kompleks bangunan dengan
desain khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higien tertentu serta
digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi
masyarakat.
Berdasarkan

Keputusan

13/Permentan/OT.140/1/2010

tentang

Menteri
persyaratan

Pertanian
rumah

potong

Nomor
hewan

ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plant) telah ditetapkan
persyaratan teknis RPH. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam
penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal serta berfungsi sebagai
sarana untuk melaksanakan :
1. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
2. Tempat melaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-mortem
inspection), pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk
mencegah penularan penyakit zoonosa ke manusia;
3. Tempat pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang
ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di
daerah asal hewan;
Selain itu, rumah potong hewan harus memenuhi beberapa syarat seperti :
a. Berlokasi didaerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran
lingkungan serta mudah dicapai oleh kendaraan;

6

b. Komplek RPH harus dipagar yang berfungsi untuk memudahkan penjagaan
keamanan;
c. Memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan, dinding
dan lantai kedap air, ventilasi yang cukup;
d. Mempunyai perlengkapan yang memadai;
e. Pekerja berpengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner, dan
f. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan alat-alat untuk
pemotongan babi harus terpisah dengan alat dan tempat pemotongan sapi,
kerbau dan kambing.
Berdasarkan luasan peredaran daging yang dihasilkan oleh usaha
pemotongan hewan, RPH terdiri atas empat kelas yaitu: kelas A untuk penyediaan
daging kebutuhan ekspor, kelas B menyediakan kebutuhan daging antar Provinsi
Daerah Tingkat I, kelas C untuk penyediaan daging antar Kabupaten/ Kotamadya
Daerah Tingkat II dalam satu provinsi dan kelas D untuk penyediaan kebutuhan
daging di wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II. Berdasarkan jenis
kegiatan usaha pemotongan hewan, RPH terbagi menjadi 3 kategori yaitu:
kategori I untuk usaha pemotongan hewan yang meliputi kegiatan melaksanakan
pemotongan hewan milik sendiri di RPH milik sendiri, kategori II untuk usaha
pemotongan hewan yang melaksanakan kegiatan menjual jasa pemotongan hewan
atau melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain, dan kategori III untuk
usaha pemotongan hewan yang berupa kegiatan melaksanakan pemotongan
hewan milik orang lain.
Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)
Standard sanitation operating procedure (SSOP) merupakan standar
operasi suatu perusahaan yang mencakup kebijakan perusahaan, tahap kegiatan,
nama petugas, cara pemantauan dan cara dokumentasi sebagai pertimbangan
dalam melakukan inspeksi. SSOP memberikan manfaat dalam suatu unit usaha
dalam menjamin sistem keamanan produk pangan antara lain memberikan jadwal
prosedur sanitasi, memberikan landasan program monitoring berkesinambungan,
mendorong perencanaan yang menjamin untuk proses koreksi, mengidentifikasi
kecenderungan dan mencegah kontaminasi silang, menjamin setiap personil,
mendemonstrasikan komitmen kepada pembeli dan inspektor serta meningkatkan

7

praktek sanitasi dan kondisi diunit usaha. Luning et al. (2003) menyatakan bahwa
secara umum praktik higiene dan sanitasi dalam suatu industri atau perusahaan
pangan meliputi higiene personal, bangunan, peralatan produksi, proses produksi,
penyimpanan dan distribusi.
Tujuan SSOP menurut Winarno dan Surono (2002) adalah agar setiap
karyawan teknis maupun administrasi mampu: (1) mengerti bahwa program
kebersihan dan sanitasi dapat meningkatkan kualitas dan keamanan produk yang
ditandai dengan menurunnya tingkat kontaminasi, (2) mengetahui adanya
peraturan good manufacturing practices (GMP) yang mengatur penggunaan zat
tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program higiene dan sanitasi, (3)
mengetahui tahapan proses higiene dan sanitasi, (4) mengetahui persyaratan
minimum penggunaan sanitasi dan klorin pada air pendingin, khususnya pada
industri pengolahan makanan, (5) mengetahui adanya faktor seperti pH, suhu dan
konsentrasi disinfektan yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi dan
(6) mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul apabila sanitasi tidak
dijalankan.
Good Slaughtering Practices (GSP)
Good slaughtering practices (GSP) merupakan seluruh praktik di RPH
yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk menjamin
keamanan dan kelayakan pangan pada seluruh tahapan dalam rantai pangan (CAC
2004). Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan ternak yang
baik yaitu: (1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak tidak
mengalami stres, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan
sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, (5) cara pemotongan
harus higienis, (6) ekonimis dan (7) aman bagi para pekerja abatoar (Swatland
1984).
Harris & Jeff (2003) menyatakan bahwa pelaksanaan GSP berfungsi untuk
meminimalkan kontaminasi mulai dari pra-pemotongan, penanganan ternak
dikandang, memandikan ternak,stunning, penyembelihan, bunging, skinning,
eviserasi, splitting, final trim, pencucian karkas sampai dihasilkan produk akhir.
Selain itu, tahapan GSP juga ditinjau dari kebersihan fasilitas produksi, air yang
digunakan selama proses, pelaksanaan program sanitasi, dan proses validasi.

8

Soeparno (2005) menyatakan bahwa terdapat dua teknik pemotongan
ternak yaitu a) teknik pemotongan ternak secara langsung dan b) secara tidak
langsung. Pemotongan ternak secara langsung dilakukan setelah ternak
dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memutuskan
arteri karotis, vena jugularis dan esofagus. Pemotongan ternak secara tidak
langsung adalah dengan perlakuan pemingsanan terlebih dahulu yang bertujuan
untuk memudahkan penyembelihan ternak, agar ternak tidak stres, agar kualitas
kulit dan karkas lebih baik.
Nomor Kontrol Veteriner (NKV)
Setiap unit usaha produk pangan hewan wajib memiliki nomor kontrol
veteriner (NKV). NKV merupakan sertifikat kelayakan usaha yang merupakan
registrasi usaha pemotongan, pengolahan dan pemasaran produk peternakan yang
diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab menangani suatu unit usaha atau
bidang kesehatan masyarakat veteriner. Usaha produk pangan asal hewan dapat
dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia
dalam bentuk perusahaan daerah, perseroan terbatas atau koperasi. Unit usaha
produk

pangan

asal

hewan

antara

lain

meliputi:

usaha

rumah

potongahewan/unggas (RPH/RPU), usaha industri pengolahan produk pangan asal
hewan, dan usaha importir/eksportir/penampung/distributor produk pangan asal
hewan.
Menurut Direktorat Kesmavet (2001) untuk mendapatkan NKV pada unit
usaha produk pangan asal hewan, harus memenuhi dua persyaratan utama yaitu
persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan teknis meliputi
persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak, peralatan, suplai air, higiene
karyawan dan perusahaan, kendaraan produk pangan asal hewan, ruangan
penyimpanan produk asal hewan, proses pengemasan, pengendalian hama,
mampu telusur (traceability), penarikan produk kembali dan pengawasan
kesehatan masyarakat. Tata cara pemberian NKV pada prinsipnya dapat
diklasifikasikan dalam dua kelas yaitu: kelas A untuk unit usaha produk pangan
asal hewan klasifikasi ekspor, dan kelas B untuk unit usaha produk pangan asal
hewan klasifikasi non-ekspor (lokal).

9

Daging
Daging adalah salah satu komoditi pertanian khususnya sektor peternakan
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi seperti protein,
lemak,mineral dan komponen lainnya. Secara umum konsumsi protein dalam
menu masyarakat masih di bawah kebutuhan minimum, terutama protein yang
berasal dari hewani. Menurut “Food and Drug Administration” dalam Muchtadi
et al. (2010) daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi,
domba atau unggas yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong,
tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat yaitu yang berasal dari
muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan esofagus, tidak termasuk
moncong, bibir, telinga dengan atau syaraf dan pembuluh darah. Soeparno (2005)
dan Aberle et al. (2001) mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan dan
semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk
dimakan

serta

tidak

menimbulkan

gangguan

kesehatan

bagi

yang

mengkonsumsinya. Berdasarkan SNI 3932:2008 disebutkan daging adalah bagian
otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh
manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku.
Daging sapi mempunyai peran yang cukup besar dalam konteks ketahanan
pangan nasional. Seperti halnya dengan komoditas susu ataupun daging unggas,
daging sapi menjadi salah satu komoditas sumber protein yang sangat dibutuhkan
tubuh manusia untuk kesehatan dan pertumbuhan. Daging sapi merupakan
komoditas daging yang disukai konsumen Indonesia selain daging ayam, daging
kambing/domba, dan daging dari ternak lainnya. Alasan–alasan konsumen
menyukai daging sapi ini antara lain karena, pertimbangan gizi, status sosial,
pertimbangan kuliner dan pengaruh budaya barat (Jonsen 2004), disamping itu
tingkat kecernaan protein daging sapi mencapai 95-100% dibandingkan kecernaan
protein tanaman yang hanya 65-75% (Aberle et al. 2001).
Tabrany (2004) menjelaskan bahwa komposisi kimia daging terdiri atas air
(56%-72%), protein (15%-22%), lemak (5%-34%) dan substansi bukan protein
terlarut (3.5%) yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen
terlarut, mineral dan vitamin. Hasbullah (2005) menyatakan bahwa terdapat

10

perbedaan komposisi zat gizi antara daging sapi, kerbau dan ayam seperti
diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan
Zat gizi
Air (gram)
Protein (gram)
Energi (K)
Lemak (gram)
Kalsium (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (SI)

Sapi
66.0
18.8
207.0
14.0
11.0
2.8
30.0

Daging
Kerbau
84.0
18.7
84.0
0.5
7.0
2.0
0.0

Ayam
18.2
302.0
25.0
14.0
1.5
810.0

Sumber : Hasbullah (2005).

Kualitas Fisik Daging
Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain
metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging.
Parameter spesifik untuk menilai kualitas fisik daging meliputi warna, nilai pH,
daya mengikat air, susut masak, keempukan dan tekstur daging (Soeparno 2005).
Warna Daging. Faktor yang menentukan warna daging antara lain adalah
bangsa ternak, spesies, umur, jenis kelamin, pakan, aktivitas ternak, tingkat stress,
pH daging, tipe otot dan ketersediaan oksigen. Karakteristik warna daging
merupakan salah satu parameter kualitas daging. Warna daging juga dipengaruhi
oleh pigmen yaitu mioglobin. Jenis molekul dan status kimia mioglobin, serta
kondisi kimia dan fisik yang terdapat dalam daging berperan besar dalam
menentukan warna daging (Lawrie 2003; Jeong et al. 2009). Mioglobin sebagai
salah satu dari protein sarkoplasmik terbentuk dari suatu rantai polipeptida
tunggal terikat disekeliling groupheme yang membawa oksigen. Group heme
tersusun dari suatu atom Fe dan suatu cincin porfirin. Perbedaan warna daging
antar spesies disebabkan konsentrasi mioglobin, yang akan meningkat seiring
dengan meningkatnya umur ternak (Soeparno 2005).
Warna daging yang disukai konsumen adalah merah cerah yang
menunjukkan mutu daging. Perubahan warna daging dipengaruhi oleh banyak
faktor. Daging yang terekspos dengan udara (O2), mioglobin dan oksigen dalam
daging akan bereaksi membentuk ferrous-oxymioglobin (OxyMb) sehingga

11

daging akan berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara mioglobin
dengan oksigen berlangsung lama, maka akan terjadi oksidasi membentuk ferricmetmyoglobin (MetMb), sehingga daging berwarna coklat dan tidak menarik
(Aberle et al. 2001; Jeong et al. 2009).
Daya Mengikat Air (DMA). DMA oleh protein daging atau dikenal
dengan water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan daging untuk
mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,
misalnyapengaruh pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan.
Absorbsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara
spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (Soeparno 2005). Jumlah air
yang terikat dalam daging tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan pH
serta jumlah denaturasi protein. Secara umum DMA dipengaruhi oleh faktorfaktor yang mengakibatkan diferensiasi dalam otot seperti spesies, umur dan
fungsi otot (Forrest et al.1975).
Lawrie (2003) menyatakan bahwa DMA daging sangat dipengaruhi oleh
pH, semakin tinggi pH akhir maka penurunan DMA juga sedikit. DMA sangat
penting dalam proses pengolahan daging sebagai protein yang mampu menahan
lebih banyak air menjadi lebih mudah larut. Daya mengikat air dari daging pada
pH titik isoelektrik protein daging berkisar antara 5.0-5.1. Protein daging ini tidak
bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan
solubilitasnya minimal, sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik
protein daging, maka sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus
muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberikan
lebih banyak ruang untuk molekul air. Meningkat atau menurunnya pH daging
dari titik isoelektrik akan mengakibatkan meningkatnya kapasitas DMA dengan
cara menciptakan ketidakseimbangan muatan.
pH Daging. Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman
dan kebasaan suatu substansi. Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai
nilai pH sekitar 5.1-7.2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami
glikolisis dan menghasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH. pH ultimat
daging tercapai setelah glikolisis otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim
glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau glikogen tidak lagi sensitif

12

terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5.5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar
protein daging termasuk protein miofibril (Lawrie 2003).
Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat
dengan penurunan pH karkas post-mortem.Temperatur tinggi pada dasarnya
meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju
penurunan pH (Soeparno 2005). Nilai pH sangat penting untuk diperhatikan
karena pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging yang berkaitan
dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan
(Lukman et al. 2007). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa secara umum laju
penurunan pH daging dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6–5.7 dalam
waktu 6-8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.7.
Pola penurunan seperti ini disebut pola penurunan pH secara normal.
2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan
dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5-6.8. Sifat daging yang
dihasilkan berwarna gelap, keras dan kering atau dikenal dengan daging dark
firm dry (DFD).
3. Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam pertama
setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.6. Sifat daging yang
dihasilkan berwarna pucat, lembek dan berair atau dikenal dengan daging pale
soft excudative (PSE).
Nilai pH daging akan berubah setelah ternak dipotong. Perubahan pH
tergantung pada jumlah glikogen sebelum ternak dipotong. Apabila jumlah
glikogen dalam tubuh ternak normal, maka menurut Aberle et al. (2001) akan
mendapatkan daging yang berkualitas baik dan begitu sebaliknya. Henckle et al.
(2000) menambahkan bahwa penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan
oleh kondisi fisiologis otot yang berhubungan dengan produksi asam laktat atau
kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP.

13

Cemaran Mikrobiologi Daging
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang digolongkan sebagai
perisable food atau bersifat mudah rusak. Daging juga merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan mikroorganisme karena banyak mengandung air, kaya
akan zat-zat gizi serta memiliki pH yang sangat menguntungkan untuk
pertumbuhan mikroorganisme (Lawrie 2005). Nilai pH rendah berhubungan
dengan reduksi air pada daging (Vada-Kovacs 1996). Selain itu, suhu
penyimpanan, ketersediaan air dan oksigen berpengaruh terhadap pertumbuhan
bakteri. Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah 15-40 °C,
tetapi beberapa organisme dapat tumbuh dengan baik pada suhu refrigerator
bahkan tumbuh dengan baik pada suhu dibawah nol (Aberle et al. 2001).
Kontaminasi awal pada daging berasal dari mikroorganisme yang
memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan. Daging segar umumnya
terkontaminasi dengan sejumlah besar bakteri termasuk bakteri patogen yang
dapat mengkontaminasi makanan seperti Bacillus cereus,Clostridium perfringens,
Clostridium jejuni, Eschericia coli, Listeria monocytogenes, Salmonella sp dan
Staphylococcus aureus (Mosupye & Holy 2005). Ternak yang dipotong secara
higienis mengandung sekitar 103-104 koloni/cm2 yang terdapat pada permukaan
daging. Jumlah awal dapat mencapai 106 koloni/cm2 setelah pemotongan (Bem &
Hechelmann1995), dan menurut Buckle et al. (1986) jumlah bakteri pencemar
pada daging adalah berkisar 102-104 koloni/cm2. Lebih lanjut Buckle et al. (2009)
dan Mead (2007) menyatakan bahwa jumlah bakteri dalam daging akan terus
meningkat tergantung penanganan dan pencemaran selanjutnya. Perkembangan
bakteri pada daging umumnya dapat diketahui dengan adanya pembentukan
lendir. Bakteri akan tampak berlendir, berbau busuk dan rusak jika jumlahnya
mencapai 107-108 koloni/cm2. Dinyatakan juga bahwa timbulnya bau disebabkan
produksi hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh mikroorganisme.
Bakteri patogen yang ditemukan dalam daging adalah Salmonella,
Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitico, Clostridium perfringens dan
C. botulinum. Mikroba yang terdapat pada bagian dalam seperti koliform fekal
dan streptokokus fekal yang sering ditemukan dalam daging menunjukkan bahwa
isi usus merupakan sumber kontaminasi. Isolasi bakteri dipermukaan karkas

14

mendapatkan
Lactobacillus,

jenis

bakteri

Micrococcus,

Pseudomonas,
Brochotrix

Moraxella,

thermosphacta

Acinetobacter,
dan

beberapa

Enterobactericeae seperti Klebsiella, Yersinea, Serratia dan Proteus. Mikroba
berbahaya yang meracuni makanan khususnya daging yang dikaitkan dengan
kontaminasi

saluran

pencernaan

adalah

Salmonella,

S.

aureus

dan

enteropathogenic Eschericia coli (ICSMF 1980).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba pada Daging
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada dag