Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse

(1)

EVALUASI PENERAPAN SANITASI, SISTEM PEMOTONGAN,

SISTEM JAMINAN HALAL DAN KEAMANAN DAGING

SAPI DI RPH KOTA PEKANBARU

BAMBANG KUNTORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Penerapan Sanitasi, Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota Pekanbaru adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulisa lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Bambang Kuntoro NIM. D151090081


(4)

(5)

ABSTRACT

BAMBANG KUNTORO. Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse. Supervised by RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and HENNY NURAINI

Meat is animal origin food and serve as a source of animal protein for human nutrition. High demand for meat is not always followed by improvement of facilities and condition in slaughterhouses. This study is to evaluate the application of standard sanitation operational procedures (SSOP), good slaughtering practices (GSP) and halal assurance system (HAS) as well as to evaluate establishment number to slaughterhouse in Pekanbaru City and meat quality analysis include physical quality (pH, color and water holding capacity), the microbial contamination, residues of heavy metals (Pb, Cd, Hg) and organophosphate pesticide (OP) residues. Random sampling was done on a population of livestock owners that slaughtered at Pekanbaru City slaughterhouse. Five livestock owners were sampling randomly for evaluate analysis. The cattle used way three heads for each. Carcass parts analyzed were Bicep femoris (BF) and Longissimus dorsi et lumbarum (LD), liver and kidneys. The results for evaluation of SSOP that was implemented is 54.65% and the assessment establishment number deviations indicate that there are 57 minor, 35 major, 14 serious and 8 critical. Implementation of GSP was 59.00% and assessments establishment number deviations showed 10 minor, 14 major, 6 serious and 2 critical, while the evaluation of the implementation of the HAS was 54.50% and deviations has 15 minor, 5 major, 2 serious and 1 critical. The microbial contamination in meat analysis showed that is above the maximum threshold set by the Indonesian National Standard (INS), while the results for physical quality, heavy metal residues and OP residues are under the maximum limit set by INS. The concluded this research is Pekanbaru City slaughterhouse is not implementing SSOP, GSP and HAS as evidenced by deviations in the assessment establishment number. The physical quality of meat was in the normal range of fresh meat. In addition, meat, liver and kidney from slaughterhouse Pekanbaru City has residual heavy metal and OP residues of under the INS, but the meat (BF and LD) contains very high microbial contamination of the INS has been determined.

Key word : meat safety, halal assurance, heavy metal residues, pesticide recidues, slaughterhouse


(6)

RINGKASAN

BAMBANG KUNTORO. Evaluasi Penerapan Sanitasi, Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota Pekanbaru. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI dan HENNY NURAINI.

Penyediaan bahan pangan dengan nilai gizi tinggi merupakan masalah penting sebagai upaya meningkatkan kesehatan dan kecerdasan masyarakat. Salah satu bahan pangan yang mengandung nilai gizi tinggi adalah daging sapi. Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan daging perlu dilakukan dengan cara meningkatkan produksi dan kualitas hasil ternak secara optimal serta menjamin mutu daging yang aman sampai ke konsumen. Peningkatan permintaan daging tidak selalu diikuti dengan perbaikan sarana rumah potong hewan (RPH) yang memadai, sehingga keamanan dan kehalalan daging menjadi suatu permasalahan yang belum terselesaikan. Kualitas dan keamanan daging yang dihasilkan salah satunya ditentukan oleh pelaksanaan penyediaan daging di rumah potong hewan (RPH). Proses penanganan ternak dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak memperhatikan faktor-faktor sanitasi dan higienis, akan berdampak pada mutu, kehalalan dan keamanan daging yang dihasilkan. Selain itu, diperlukan penetapan aturan atau standar operasional maupun teknis sebagai dasar untuk menyelenggarakan fungsi RPH sebagai tempat pelaksanaan pemotongan ternak guna menghasilkan daging yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal).

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan standard sanitation operational procedure (SSOP), good slaughtering practices (GSP) dan sistem jaminan halal (SJH) serta nilai kontrol veteriner (NKV) terhadap rumah potong hewan (RPH) Kota Pekanbaru. Selain itu, penelitian ini bertujuan mengevaluasi keamanan daging asal RPH Kota Pekanbaru ditinjau dari kualitas daging yang meliputi mutu fisik, tingkat cemaran mikroba, cemaran residu logam berat (Pb, Cd, Hg) serta cemaran residu pestisida golongan organofosfat.

Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sample) terhadap sejumlah pemilik ternak yang melakukan pemotongan di RPH Kota Pekanbaru. Sejumlah pemilik ternak, diambil lima pemilik ternak yang melaksanakan pemotongan di RPH sebagai sampel pengamatan SSOP, GSP, SJH dan NKV. Tiga ekor ternak diambil dari masing-masing pemilik ternak untuk dianalisis mutu fisik daging (pH, warna, persentase air bebas), cemaran mikroba (Salmonella, Eschericia coli, Coliform dan total plate count/TPC), cemaran residu logam (Pb, Cd dan Hg) serta cemaran residu pestisida organofosfat. Sampel yang dianalisis berupa sampel daging sapi bagian otot Bicep femoris (BF) dan Longissimus dorsi et lumbarum (LD), organ hati dan ginjal.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru belum maksimal. Pelaksanaan SSOP baru mencapai 54.65%, sedangkan sekitar 45.35% belum dapat terlaksana. Hasil evaluasi NKV RPH Kota Pekanbaru memiliki 57 penyimpangan minor, 35 penyimpangan mayor, 14 penyimpangan serius dan 8 penyimpangan kritis. Selain itu, pencapaian pelaksanaan GSP sekitar 59.00%, sedangkan 41.00% masih belum dapat terselenggara dengan baik dan hasil evaluasi penilaian NKV memiliki 10 penyimpangan minor, 14 penyimpangan mayor, 6 penyimpangan serius dan 2 penyimpangan kritis, sedangkan pelaksanaan SJH mencapai 54.50%, sedangkan kriteria yang belum terlaksana secara sempurna adalah sebesar


(7)

44.50% dan penyimpangan NKV sebanyak 15 penyimpangan minor, 5 penyimpangan mayor, 2 penyimpangan serius dan 1 penyimpangan kritis, tetapi tata cara penyembelihan

sapi secara halal telah sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam dan persyaratan yang

ditetapkan oleh LPPOM-MUI.

Hasil analisis kualitas daging didapatkan pH pada bagian otot Longissimus dorsi et lumbarum lebih rendah dibandingkan otot bagian Bicep femoris yaitu 5.37 pada otot Longissimus dorsi et lumbarum dan 5.56 pada otot Bicep femoris. Hal yang sama juga terjadi pada penilaian warna daging, otot Longissimus dorsi et lumbarum memiliki skor penilaian 6 yang berarti bahwa daging berwarna merah terang, sedangkan otot Bicep femoris memiliki skor penilaian 7 dengan warna merah agak sedikit gelap. Persentase air bebas otot Longissimus dorsi et lumbarum mencapai 61.80%, sedangkan otot Bicep femoris sekitar 53.53%. Penilaian mutu fisik daging ini masih berada pada kisaran normal daging segar menurut SNI.

Jumlah cemaran mikroba pada daging berada di atas batas maksimum yang telah ditetapkan SNI 3932:2008. Hasil analisis mikrobiologis daging menunjukkan bahwa jumlah TPC berkisar antara 1.0 x 106 - 4.5 x 107cfu/g, sedangkan jumlah E. coli berkisar 35->1100 MPN/g, cemaran Coliform >1100 MPN/g dan negatif untuk cemaran Salmonella. Cemaran residu logam berat Pb berkisar 0.92 ppm, Cd berkisar 0.00-0.60 ppm dan Hg berkisar 0.00-0.03 ppm, sedangkan residu pestisida golongan organofosfat lebih kecil dari 0.005 ppm atau berada di bawah batas maksimum yang telah ditentukan oleh SNI 7313: 2008 tentang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian.

Pelaksanaan SSOP, GSP, SJH di RPH Kota Pekanbaru belum terlaksana secara menyeluruh yang dibuktikan dengan masih adanya penyimpangan-penyimpangan pada penilaian NKV. Selain itu, untuk meminimalkan kontaminasi mikroba khususnya TPC, E. coli, Coliform perlu diupayakan perbaikan fasilitas RPH serta pembinaan dan pelatihan terhadap sumber daya manusia di RPH Kota Pekanbaru tentang pentingnya sanitasi dan higienis pada proses produksi, sehingga kriteria produksi daging ASUH dapat tercapai.

Kata kunci: keamanan daging, jaminan halal, residu logam berat, residu pestisida, rumah potong hewan.


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(9)

(10)

EVALUASI PENERAPAN SANITASI, SISTEM PEMOTONGAN,

SISTEM JAMINAN HALAL DAN KEAMANAN DAGING

SAPI DI RPH KOTA PEKANBARU

BAMBANG KUNTORO

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(11)

(12)

Judul Tesis : Evaluasi Penerapan Sanitasi, Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota Pekanbaru

Nama : Bambang Kuntoro NIM : D151090081

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(13)

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian dan penulisan Tesis ini dengan baik. Tesis ini berjudul Evaluasi Penerapan Sanitasi, Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota Pekanbaru.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA dan Dr.Ir. Henny Nuraini, M.Si selaku pembimbing, yang selalu memberikan arahan dalam penyelesaian tesis ini dari awal hingga akhir. Ucapan terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada Dr. drh. H. Trioso Purnawarman, M.Si selaku penguji luar komisi atas segala saran dan masukkan untuk kesempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang telah memberikan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pascasarjana ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pimpinan dan Staff RPH Kota Pekanbaru yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di RPH. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor UIN Suska Riau yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ini, dan kepada Dekan (Dr.Ir. Tantan R. Wiradarya, M.Sc) dan seluruh dosen beserta staf Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska yang telah memberikan motovasi selama ini. Terima kasih untuk drh. Jully, Idil, Pajri,Rike dan Jume yang telah banyak membantu pengamatan dan pengambilan sampel selama proses penelitian. Terima kasih untuk teman-teman mahasiswa Pascasarjana Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Angkatan 2009 yang telah banyak memberikan semangat selama perkuliahan, penelitian sampai pada penulisan tesis ini.

Akhirnya penulis mempersembahkan Tesis ini untuk Ibunda ku tercinta Kamsiah (Alm) dan Ayahnda H. Ahmad Arifin serta saudara-saudaraku yang telah memberikan motivasi dan dorongan hingga Tesis ini dapat terselesaikan.

Bogor, Januari 2012


(15)

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Selatbaru Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis – Riau pada tanggal 11 April 1982 sebagai anak ke enam dari delapan bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Ahmad Arifin dan Ibunda Kamsiah (Alm).

Tahun 2001 penulis lulus dari SMUN 1 Selatbaru – Bantan. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan studi di perguruan tinggi negeri dan tahun 2007 lulus program Sarjana dari Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Tahun 2008 penulis diangkat sebagai staf pengajar di universitas yang sama. Tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(17)

ABSTRACT

BAMBANG KUNTORO. Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse. Supervised by RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and HENNY NURAINI

Meat is animal origin food and serve as a source of animal protein for human nutrition.. Demand for meat in Indonesia is become higher with increasing income and community awareness. High demand for meat is not always followed by improvement of facilities and condition in slaughterhouses, thus making the safety and halal meat demand to be an unresolved issue. This study is the objective to evaluate the application of standard sanitation operational procedures (SSOP), good slaughtering practices (GSP) and halal assurance system (HAS) as well as to evaluate establishment number to slaughterhouse in Pekanbaru City. In addition, this study aims to evaluate the meat safety of Pekanbaru City slaughterhouse. Meat quality parameter include physical quality (pH, color and percentage of free water), the level of microbial contamination (Salmonella, Eschericia coli, Coliform and total plate count / TPC), contamination residues of heavy metals (Pb, Cd, Hg) and the organophosphate pesticide residues. Random sampling was done on a population of livestock owners that slaughtered at Pekanbaru City slaughterhouse. Five livestock owners were sampling randomly for SSOP, GSP, HAS and establishment number analysis. The cattle used way three heads for each. All fifteen carcasses used were analyzed for meat quality consist of pH value, color, water holding capacity, microbial contamination and heavy metal residues (Pb, Cd and Hg) and organophosphate pesticide residue. Carcass parts analyzed were Bicep femoris (BF) and Longissimus dorsi et lumbarum (LD), liver and kidneys.

The results for evaluation showed SSOP that was implemented is 54.65% and the results of the assessment establishment number indicate that there are 57 minor deviations, 35 major deviations, 14 serious deviations and 8 critical deviations. Evaluation of the implementation of GSP was 59.00% and assessments establishment number showed 10 minor deviations, 14 major deviations, 6 serious deviations and 2 critical deviations, while the evaluation of the implementation of the HAS was 54.50% and has 15 minor deviations, 5 major deviations, 2 serious deviations and 1 critical deviation. The results of microbial contamination in meat analysis showed that beef slaughterhouse is above the maximum threshold set by the Indonesian National Standard (INS), while the results for physical quality, heavy metal residues and organophosphate pesticide residues contamination are under the maximum limit set by INS.

Based on the results of this study it is concluded that Pekanbaru City slaughterhouse is not implementing SSOP, GSP and HAS as evidenced by deviations in the assessment establishment number. The physical quality of meat was in the normal range of fresh meat, in addition, meat, liver and kidney from slaughterhouse Pekanbaru City has residual heavy metal and organophosphate pesticide residues of under the INS, but the resulting meat contains very high microbial contamination of the INS has been determined.

Key word : meat safety, halal assurance, heavy metal residues, pesticide recidues, slaughterhouse


(18)

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Rumah Potong Hewan (RPH) ... 5

Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP) ... 6

Good Slaughtering Practices (GSP) ... 7

Nomor Kontrol Veteriner (NKV) ... 8

Daging ... 9

Cemaran Mikrobiologi Daging ... 13

Cemaran Kimia pada Daging ... 16

MATERI DAN METODE ... 27

Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

Materi Penelitian ... 27

Metode Penelitian ... 27

Rancangan Percobaan ... 28

Peubah yang Diukur ... 28

Analisis Data ... 39

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

Profil Rumah Potong Hewan Kota Pekanbaru ... 41

Evaluasi Pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru ... 42

Evaluasi Pelaksanaan GSP di RPH Kota Pekanbaru ... 72

Evaluasi Penerapan SJH di RPH Kota Pekanbaru ... 82

Mutu Fisik Daging Sapi ... 97

Cemaran Mikrobiologi pada Daging Sapi ... 100

Cemaran Logam Berat pada daging dan Jeroan Sapi ... 102

Cemaran Residu Pestisida OP pada Daging dan Jeroan Sapi ... 107

SIMPULAN DAN SARAN ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113


(20)

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan ... 10

2 Syarat mutu mikrobiologi daging sapi ... 16

3 Jumlah mikroba pada daging setelah proses pemotongan ... 16

4 Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak menurut NRC (mg/kg) ... 17

5 Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan (daging dan olahannya) ... 18

6 Batas maksimum cemaran persisida pada daging ... 25

7 Hasil uji Salmonella pada TSA dan LIA ... 33

8 Reaksi biokimia Salmonella sp ... 34

9 Hasil reaksi indole, Methyl red, Voges-proskauer, citrate (iMViC) terhadap E. coli ... 36

10 Hasil rekapitulasi evaluasi pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru ... 43

11 Hasil evaluasi pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru ... 50

12 Hasil rekapitulasi evaluasi penerapan GSP di RPH Kota Pekanbaru ... 73

13 Hasil evaluasi pelaksanaan GSP di RPH Kota Pekanbaru ... 76

14 Hasil rekapitulasi evaluasi penerapan sistem jaminan halal (SJH) di RPH Kota Pekanbaru ... 84

15 Hasil evaluasi pelaksanaan SJH di RPH Kota Pekanbaru ... 87

16 Rataan mutu fisik daging sapi asal RPH Kota Pekanbaru ... 97

17 Jumlah cemaran bakteri pada daging sapi dan sampel air asal RPH Kota Pekanbaru ... 100

18 Hasil analisis total plate count (TPC) terhadap sanitasi ruang, peralatan dan higienis personal di RPH Kota Pekanbaru ... 102

19 Hasil analisis cemaran logam dan standar batas maksimal (maximal residue limit/MRL) cemaran Pb, Cd dan Hg pada daging, hati dan ginjal sapi………. 103

20 Hasil analisis cemaran residu pestisida OP pada daging, hati dan ginjal sapi asal RPH Kota Pekanbaru... 108


(22)

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Jalur cemaran logam timbal (Pb) ... 19 2 Jalur cemaran logam cadmium (Cd) ... 23 3 Kondisi bangunan utama RPH Kota Pekanbaru ... 44 4 Kondisi tempat penyembelihan ternak di RPH Kota Pekanbaru ... 45 5 Kondisi tempat penanganan karkas dan jeroan di RPH Kota

Pekanbaru ... 46 6 Kondisi sanitasi tempat produksi dan higiene personal yang tidak baik

di RPH Kota Pekanbaru ... 47 7 Penanganan ternak sesaat setelah disembelih di RPH Kota

Pekanbaru ... 74 8 Kondisi alat angkut daging dan jeroan sapi di RPH Kota Pekanbaru ... 75 9 Kondisi penanganan karkas/daging di RPH Kota Pekanbaru ... 84 10 Penanganan karkas/daging pasca evicerasi ... 85


(24)

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Check list standard sanitation operational procedure (SSOP) Rumah

Potong Hewan (RPH) ... 121

2 Check list good slaughtering practices (GSP) Rumah Potong Hewan

(RPH) ... 133

3 Check list sistem jaminan halal (SJH) Pemotongan Hewan di RPH ... 137 4 Standar penilaian warna daging sapi berdasarkan SNI 3932:2008 ... 143


(26)

(27)

(28)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyediaan bahan pangan dengan nilai gizi tinggi merupakan masalah penting sebagai upaya meningkatkan kesehatan dan kecerdasan masyarakat. Salah satu bahan pangan yang mengandung nilai gizi tinggi adalah daging sapi. Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan daging perlu dilakukan dengan cara peningkatan produksi dan kualitas hasil ternak secara optimal serta penjaminan mutu daging yang aman sampai ke konsumen. Rerata konsumsi daging per kapita di Indonesia tergolong masih rendah, dengan kisaran dari 0-50 kg/kapita/tahun. Hal ini tidak terlepas dari tingkat daya beli masyarakat yang masih rendah dan produktivitas ternak yang belum optimal. Kontribusi ternak ruminansia, terutama sapi terhadap konsumsi daging nasional baru mencapai 21%, sedangkan sebagian besar (63%) berasal dari unggas dan sebagian lainnya dari kambing dan domba (Departemen Pertanian 2008).

Potensi pengembangan ternak potong di Provinsi Riau sangat menjanjikan, yang diukur berdasarkan jumlah ternaknya.Populasi sapi sekitar 105.253 ekor, kerbau 47.799 ekor, kambing 256.324 ekor (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau 2005). Populasi ternak pada tahun 2008 mengalami peningkatan yaitu ternak sapi sekitar 161.202 ekor, kerbau 49.116 ekor, kambing 240.809 ekor, ayam ras pedaging 30.679.920 ekor, ayam buras 3.466.760 ekor, ayam ras petelur 592.404 ekor. Jumlah pemotongan ternak pada tahun 2009 mencapai 41.732 ekor, sedangkan produksi daging mencapai 7.639 ton dengan konsumsi daging sebesar 4.1 kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau 2010).

Misi Departeman Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan adalah pencanangan Program Swasembada Daging 2014 yang bertujuan untuk menyediakan pangan asal ternak yang cukup secara kuantitas dan kualitas.Selain itu, berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, maka tuntutan masyarakat terhadap pelaku pasar dalam menyediakan pangan hewani harus mempertimbangkan aspek aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).


(29)

2

Kualitas dan keamanan daging yang dihasilkan salah satunya ditentukan oleh pelaksanaan penyediaan daging di rumah potong hewan (RPH). Proses penanganan ternak dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak memperhatikan faktor-faktor sanitasi dan higienis, akan berdampak pada mutu, kehalalan dan keamanan daging yang dihasilkan. Penetapan aturan atau standar operasional maupun teknis di RPH adalah sebagai dasar untuk menyelenggarakan fungsi RPH sebagai tempat pelaksanaan pemotongan ternak guna menghasilkan daging yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal).

Daging yang berasal dari ternak ruminansia umumnya dipelihara secara tradisional oleh masyarakat. Sumber pakan yang diberikan umumnya hanya hijauan atau rumput lapang, sehingga kontaminasi pakan oleh logam berat dan cemaran pestisida merupakan sumber utama terjadinya toksisitas pada hewan ternak. Logam berat tidak dapat terdegradasi secara alami dan cenderung terakumulasi dalam air, tanah dan tubuh makhluk hidup. Selain itu, logam berat seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd) dan timbal (Pb) dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bagi manusia. Efek toksik logam berat akan terakumulasi dalam waktu lama yang mampu menghambat kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh, menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen, atau karsinogen bagi hewan bahkan ke manusia.

Nilai gizi yang terkandung dalam daging sangat mendukung bagi kehidupan mikroorganisme terutama bakteri. Adanya aktivitas mikroorganisme dalam daging akan menurunkan kualitas daging yang ditunjukkan dengan perubahan warna, rasa, aroma dan pembusukanyang dipengaruhi oleh kondisi ternak, kondisi lingkungan, kondisi tempat pemotongan dan proses penanganan daging mulai dari pemotongan sampai pengolahan. Penerapan sistem hazard analysis critical control point (HACCP) pada usaha peternakan secara terpadu akan meminimalkan terjadinya bahaya pada produk pangan asal ternak.

Di Indonesia kejadian foodborne disease yang diakibatkan oleh mengkonsumsi daging sapi jarang dilaporkan meskipun kejadiannya tidak sedikit. Di Provinsi Riau, informasi yang berhubungan dengan keamanan daging sapi yang dilihat dari status mikrobiologi masih sangat kurang. Umumnya daging yang ada dipasaran dipotong pada skala tradisional dan tidak sesuai dengan aturan


(30)

3

pemotongan yang berlaku di RPH. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa sampel daging sapi yang beredar dibeberapa pasar tradisional di Pekanbaru, mengandung cemaran bakteri lebih tinggi dibanding Standar Nasional Indonesia (SNI). Selain itu, informasi cemaran residu logam berat dan pestisida dalam daging belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang evaluasi penerapan sanitasi, sistem pemotongan, sistem jaminan halal dan keamanan daging sapi yang dipotong di RPH Kota Pekanbaru.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi penerapan sanitasi (standard sanitation operational procedure/SSOP), sistem pemotongan (good slaughtering practices/GSP), sistem jaminan halal (SJH) serta menguji status keamanan daging sapi yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) Kota Pekanbaru yang dilihat dari kualitas fisik, cemaran logam berat, residu pestisida organoposfat dan status mikrobiologi (Salmonella, E. coli, Coliform dan TPC) sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3932: 2008 tentang mutu karkas dan daging sapi, SNI nomor 7317: 2008 tentang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian dan SNI 7387: 2009 tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa gambaran kualitas dan keamanan daging sapi yang dihasilkan dari RPH Kota Pekanbaruserta dapat memberikan masukan tentang manajemen pemotongan ternak dengan menerapkan sistem jaminan halal guna mendapatkan daging yang berkualitas, aman dan halal untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah bahwa daging sapi yang dihasilkan dari rumah potong hewan (RPH) Kota Pekanbaru berada diatas batas maksimum yang ditetapkan berdasarkan SNI 3932: 2008 tentang mutu karkas dan daging sapi dan SNI nomor 7317: 2008 tentang batas minimum residu pestisida pada hasil pertanian dan SNI 7387: 2009 tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan, serta belum menerapkan sistem jaminan halal.


(31)

(32)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan (RPH)

Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Pemotongan hewan merupakan kegiatan untuk menghasilkan daging hewan yang terdiri atas pemeriksaan ante-mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post-mortem (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010). Berdasarkan SNI 01-6159-1999 disebutkan bahwa RPH adalah kompleks bangunan dengan desain khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higien tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor

13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang persyaratan rumah potong hewan ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plant) telah ditetapkan persyaratan teknis RPH. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan :

1. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);

2. Tempat melaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection), pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonosa ke manusia;

3. Tempat pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan;

Selain itu, rumah potong hewan harus memenuhi beberapa syarat seperti : a. Berlokasi didaerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran


(33)

6

b. Komplek RPH harus dipagar yang berfungsi untuk memudahkan penjagaan keamanan;

c. Memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan, dinding dan lantai kedap air, ventilasi yang cukup;

d. Mempunyai perlengkapan yang memadai;

e. Pekerja berpengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner, dan f. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan alat-alat untuk

pemotongan babi harus terpisah dengan alat dan tempat pemotongan sapi, kerbau dan kambing.

Berdasarkan luasan peredaran daging yang dihasilkan oleh usaha pemotongan hewan, RPH terdiri atas empat kelas yaitu: kelas A untuk penyediaan daging kebutuhan ekspor, kelas B menyediakan kebutuhan daging antar Provinsi Daerah Tingkat I, kelas C untuk penyediaan daging antar Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II dalam satu provinsi dan kelas D untuk penyediaan kebutuhan daging di wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II. Berdasarkan jenis kegiatan usaha pemotongan hewan, RPH terbagi menjadi 3 kategori yaitu: kategori I untuk usaha pemotongan hewan yang meliputi kegiatan melaksanakan pemotongan hewan milik sendiri di RPH milik sendiri, kategori II untuk usaha pemotongan hewan yang melaksanakan kegiatan menjual jasa pemotongan hewan atau melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain, dan kategori III untuk usaha pemotongan hewan yang berupa kegiatan melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain.

Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)

Standard sanitation operating procedure (SSOP) merupakan standar operasi suatu perusahaan yang mencakup kebijakan perusahaan, tahap kegiatan, nama petugas, cara pemantauan dan cara dokumentasi sebagai pertimbangan dalam melakukan inspeksi. SSOP memberikan manfaat dalam suatu unit usaha dalam menjamin sistem keamanan produk pangan antara lain memberikan jadwal prosedur sanitasi, memberikan landasan program monitoring berkesinambungan, mendorong perencanaan yang menjamin untuk proses koreksi, mengidentifikasi kecenderungan dan mencegah kontaminasi silang, menjamin setiap personil, mendemonstrasikan komitmen kepada pembeli dan inspektor serta meningkatkan


(34)

7

praktek sanitasi dan kondisi diunit usaha. Luning et al. (2003) menyatakan bahwa secara umum praktik higiene dan sanitasi dalam suatu industri atau perusahaan pangan meliputi higiene personal, bangunan, peralatan produksi, proses produksi, penyimpanan dan distribusi.

Tujuan SSOP menurut Winarno dan Surono (2002) adalah agar setiap karyawan teknis maupun administrasi mampu: (1) mengerti bahwa program kebersihan dan sanitasi dapat meningkatkan kualitas dan keamanan produk yang ditandai dengan menurunnya tingkat kontaminasi, (2) mengetahui adanya peraturan good manufacturing practices (GMP) yang mengatur penggunaan zat tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program higiene dan sanitasi, (3) mengetahui tahapan proses higiene dan sanitasi, (4) mengetahui persyaratan minimum penggunaan sanitasi dan klorin pada air pendingin, khususnya pada industri pengolahan makanan, (5) mengetahui adanya faktor seperti pH, suhu dan konsentrasi disinfektan yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi dan (6) mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul apabila sanitasi tidak dijalankan.

Good Slaughtering Practices (GSP)

Good slaughtering practices (GSP) merupakan seluruh praktik di RPH yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pangan pada seluruh tahapan dalam rantai pangan (CAC 2004). Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan ternak yang baik yaitu: (1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak tidak mengalami stres, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, (5) cara pemotongan harus higienis, (6) ekonimis dan (7) aman bagi para pekerja abatoar (Swatland 1984).

Harris & Jeff (2003) menyatakan bahwa pelaksanaan GSP berfungsi untuk meminimalkan kontaminasi mulai dari pra-pemotongan, penanganan ternak dikandang, memandikan ternak,stunning, penyembelihan, bunging, skinning, eviserasi, splitting, final trim, pencucian karkas sampai dihasilkan produk akhir. Selain itu, tahapan GSP juga ditinjau dari kebersihan fasilitas produksi, air yang digunakan selama proses, pelaksanaan program sanitasi, dan proses validasi.


(35)

8

Soeparno (2005) menyatakan bahwa terdapat dua teknik pemotongan ternak yaitu a) teknik pemotongan ternak secara langsung dan b) secara tidak langsung. Pemotongan ternak secara langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memutuskan arteri karotis, vena jugularis dan esofagus. Pemotongan ternak secara tidak langsung adalah dengan perlakuan pemingsanan terlebih dahulu yang bertujuan untuk memudahkan penyembelihan ternak, agar ternak tidak stres, agar kualitas kulit dan karkas lebih baik.

Nomor Kontrol Veteriner (NKV)

Setiap unit usaha produk pangan hewan wajib memiliki nomor kontrol veteriner (NKV). NKV merupakan sertifikat kelayakan usaha yang merupakan registrasi usaha pemotongan, pengolahan dan pemasaran produk peternakan yang diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab menangani suatu unit usaha atau bidang kesehatan masyarakat veteriner. Usaha produk pangan asal hewan dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia dalam bentuk perusahaan daerah, perseroan terbatas atau koperasi. Unit usaha produk pangan asal hewan antara lain meliputi: usaha rumah potongahewan/unggas (RPH/RPU), usaha industri pengolahan produk pangan asal hewan, dan usaha importir/eksportir/penampung/distributor produk pangan asal hewan.

Menurut Direktorat Kesmavet (2001) untuk mendapatkan NKV pada unit usaha produk pangan asal hewan, harus memenuhi dua persyaratan utama yaitu persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan teknis meliputi persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak, peralatan, suplai air, higiene karyawan dan perusahaan, kendaraan produk pangan asal hewan, ruangan penyimpanan produk asal hewan, proses pengemasan, pengendalian hama, mampu telusur (traceability), penarikan produk kembali dan pengawasan kesehatan masyarakat. Tata cara pemberian NKV pada prinsipnya dapat diklasifikasikan dalam dua kelas yaitu: kelas A untuk unit usaha produk pangan asal hewan klasifikasi ekspor, dan kelas B untuk unit usaha produk pangan asal hewan klasifikasi non-ekspor (lokal).


(36)

9

Daging

Daging adalah salah satu komoditi pertanian khususnya sektor peternakan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi seperti protein, lemak,mineral dan komponen lainnya. Secara umum konsumsi protein dalam menu masyarakat masih di bawah kebutuhan minimum, terutama protein yang berasal dari hewani. Menurut “Food and Drug Administration” dalam Muchtadi et al. (2010) daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi, domba atau unggas yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat yaitu yang berasal dari muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan esofagus, tidak termasuk moncong, bibir, telinga dengan atau syaraf dan pembuluh darah. Soeparno (2005) dan Aberle et al. (2001) mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Berdasarkan SNI 3932:2008 disebutkan daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku.

Daging sapi mempunyai peran yang cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional. Seperti halnya dengan komoditas susu ataupun daging unggas, daging sapi menjadi salah satu komoditas sumber protein yang sangat dibutuhkan tubuh manusia untuk kesehatan dan pertumbuhan. Daging sapi merupakan komoditas daging yang disukai konsumen Indonesia selain daging ayam, daging kambing/domba, dan daging dari ternak lainnya. Alasan–alasan konsumen menyukai daging sapi ini antara lain karena, pertimbangan gizi, status sosial, pertimbangan kuliner dan pengaruh budaya barat (Jonsen 2004), disamping itu tingkat kecernaan protein daging sapi mencapai 95-100% dibandingkan kecernaan protein tanaman yang hanya 65-75% (Aberle et al. 2001).

Tabrany (2004) menjelaskan bahwa komposisi kimia daging terdiri atas air (56%-72%), protein (15%-22%), lemak (5%-34%) dan substansi bukan protein terlarut (3.5%) yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral dan vitamin. Hasbullah (2005) menyatakan bahwa terdapat


(37)

10

perbedaan komposisi zat gizi antara daging sapi, kerbau dan ayam seperti diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan

Zat gizi Daging

Sapi Kerbau Ayam

Air (gram) 66.0 84.0 -

Protein (gram) 18.8 18.7 18.2

Energi (K) 207.0 84.0 302.0

Lemak (gram) 14.0 0.5 25.0

Kalsium (mg) 11.0 7.0 14.0

Besi (mg) 2.8 2.0 1.5

Vitamin A (SI) 30.0 0.0 810.0

Sumber : Hasbullah (2005).

Kualitas Fisik Daging

Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging. Parameter spesifik untuk menilai kualitas fisik daging meliputi warna, nilai pH, daya mengikat air, susut masak, keempukan dan tekstur daging (Soeparno 2005).

Warna Daging. Faktor yang menentukan warna daging antara lain adalah bangsa ternak, spesies, umur, jenis kelamin, pakan, aktivitas ternak, tingkat stress, pH daging, tipe otot dan ketersediaan oksigen. Karakteristik warna daging merupakan salah satu parameter kualitas daging. Warna daging juga dipengaruhi oleh pigmen yaitu mioglobin. Jenis molekul dan status kimia mioglobin, serta kondisi kimia dan fisik yang terdapat dalam daging berperan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie 2003; Jeong et al. 2009). Mioglobin sebagai salah satu dari protein sarkoplasmik terbentuk dari suatu rantai polipeptida tunggal terikat disekeliling groupheme yang membawa oksigen. Group heme tersusun dari suatu atom Fe dan suatu cincin porfirin. Perbedaan warna daging antar spesies disebabkan konsentrasi mioglobin, yang akan meningkat seiring dengan meningkatnya umur ternak (Soeparno 2005).

Warna daging yang disukai konsumen adalah merah cerah yang menunjukkan mutu daging. Perubahan warna daging dipengaruhi oleh banyak faktor. Daging yang terekspos dengan udara (O2), mioglobin dan oksigen dalam daging akan bereaksi membentuk ferrous-oxymioglobin (OxyMb) sehingga


(38)

11

daging akan berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara mioglobin dengan oksigen berlangsung lama, maka akan terjadi oksidasi membentuk ferric-metmyoglobin (MetMb), sehingga daging berwarna coklat dan tidak menarik (Aberle et al. 2001; Jeong et al. 2009).

Daya Mengikat Air (DMA). DMA oleh protein daging atau dikenal dengan water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan daging untuk mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnyapengaruh pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Absorbsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (Soeparno 2005). Jumlah air yang terikat dalam daging tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan pH serta jumlah denaturasi protein. Secara umum DMA dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mengakibatkan diferensiasi dalam otot seperti spesies, umur dan fungsi otot (Forrest et al.1975).

Lawrie (2003) menyatakan bahwa DMA daging sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir maka penurunan DMA juga sedikit. DMA sangat penting dalam proses pengolahan daging sebagai protein yang mampu menahan lebih banyak air menjadi lebih mudah larut. Daya mengikat air dari daging pada pH titik isoelektrik protein daging berkisar antara 5.0-5.1. Protein daging ini tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal, sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging, maka sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberikan lebih banyak ruang untuk molekul air. Meningkat atau menurunnya pH daging dari titik isoelektrik akan mengakibatkan meningkatnya kapasitas DMA dengan cara menciptakan ketidakseimbangan muatan.

pH Daging. Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5.1-7.2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan menghasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH. pH ultimat daging tercapai setelah glikolisis otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau glikogen tidak lagi sensitif


(39)

12

terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimat normal daging post-mortem adalah sekitar 5.5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril (Lawrie 2003).

Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan pH karkas post-mortem.Temperatur tinggi pada dasarnya meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH (Soeparno 2005). Nilai pH sangat penting untuk diperhatikan karena pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging yang berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan (Lukman et al. 2007). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa secara umum laju penurunan pH daging dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6–5.7 dalam waktu 6-8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.7. Pola penurunan seperti ini disebut pola penurunan pH secara normal.

2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5-6.8. Sifat daging yang dihasilkan berwarna gelap, keras dan kering atau dikenal dengan daging dark firm dry (DFD).

3. Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.6. Sifat daging yang dihasilkan berwarna pucat, lembek dan berair atau dikenal dengan daging pale soft excudative (PSE).

Nilai pH daging akan berubah setelah ternak dipotong. Perubahan pH tergantung pada jumlah glikogen sebelum ternak dipotong. Apabila jumlah glikogen dalam tubuh ternak normal, maka menurut Aberle et al. (2001) akan mendapatkan daging yang berkualitas baik dan begitu sebaliknya. Henckle et al. (2000) menambahkan bahwa penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologis otot yang berhubungan dengan produksi asam laktat atau kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP.


(40)

13

Cemaran Mikrobiologi Daging

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang digolongkan sebagai perisable food atau bersifat mudah rusak. Daging juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme karena banyak mengandung air, kaya akan zat-zat gizi serta memiliki pH yang sangat menguntungkan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Lawrie 2005). Nilai pH rendah berhubungan dengan reduksi air pada daging (Vada-Kovacs 1996). Selain itu, suhu penyimpanan, ketersediaan air dan oksigen berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri. Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah 15-40 °C, tetapi beberapa organisme dapat tumbuh dengan baik pada suhu refrigerator bahkan tumbuh dengan baik pada suhu dibawah nol (Aberle et al. 2001).

Kontaminasi awal pada daging berasal dari mikroorganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan. Daging segar umumnya terkontaminasi dengan sejumlah besar bakteri termasuk bakteri patogen yang dapat mengkontaminasi makanan seperti Bacillus cereus,Clostridium perfringens, Clostridium jejuni, Eschericia coli, Listeria monocytogenes, Salmonella sp dan Staphylococcus aureus (Mosupye & Holy 2005). Ternak yang dipotong secara higienis mengandung sekitar 103-104 koloni/cm2 yang terdapat pada permukaan daging. Jumlah awal dapat mencapai 106 koloni/cm2 setelah pemotongan (Bem & Hechelmann1995), dan menurut Buckle et al. (1986) jumlah bakteri pencemar pada daging adalah berkisar 102-104 koloni/cm2. Lebih lanjut Buckle et al. (2009) dan Mead (2007) menyatakan bahwa jumlah bakteri dalam daging akan terus meningkat tergantung penanganan dan pencemaran selanjutnya. Perkembangan bakteri pada daging umumnya dapat diketahui dengan adanya pembentukan lendir. Bakteri akan tampak berlendir, berbau busuk dan rusak jika jumlahnya mencapai 107-108 koloni/cm2. Dinyatakan juga bahwa timbulnya bau disebabkan produksi hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh mikroorganisme.

Bakteri patogen yang ditemukan dalam daging adalah Salmonella, Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitico, Clostridium perfringens dan C. botulinum. Mikroba yang terdapat pada bagian dalam seperti koliform fekal dan streptokokus fekal yang sering ditemukan dalam daging menunjukkan bahwa isi usus merupakan sumber kontaminasi. Isolasi bakteri dipermukaan karkas


(41)

14

mendapatkan jenis bakteri Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter, Lactobacillus, Micrococcus, Brochotrix thermosphacta dan beberapa Enterobactericeae seperti Klebsiella, Yersinea, Serratia dan Proteus. Mikroba berbahaya yang meracuni makanan khususnya daging yang dikaitkan dengan kontaminasi saluran pencernaan adalah Salmonella, S. aureus dan enteropathogenic Eschericia coli (ICSMF 1980).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba pada Daging Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada daging adalah aktivitas air (aw), potensial oksidasi, pH dan temperatur. Parameter ini berperan

pada saat otot berubah menjadi daging (Jay 2000). Menurut Garbutt (1997) dan Lawrie (2003) umumnya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di dalam daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu 1) faktor dalam (intrinsik) dan 2) faktor luar (ekstrinsik). Faktor intrinsik terdiri atas nilai nutrisi daging, kadar air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat.

Nutrisi daging. Disamping air dan oksigen, sebagian besar mikroba membutuhkan nutrien nitrogen, energi, mineral dan vitamin B untuk pertumbuhannya. Air dibutuhkan oleh semua makhluk hidup termasuk mikroba. Kadar air yang tersedia di dalam daging sangat menentukan tingkat pertumbuhan mikroba. Kebutuhan mikroba akan air dinyatakan sebagai aktivitas air atau disebut sebagai water activity (aw). Sejumlah mikroba tidak dapat tumbuh dengan baik pada aw lebih kecil dari 0.91, tetapi aw minimum untuk pertumbuhan sangat bervariasi misalnya aw minimum untuk Salmonella adalah 0.94 sedangkan aw minimum untuk Staphylococcus mendekati 0.86. Pada kondisi normal, daging mempunyai aw 0.99 dan pH 5.3–5.7. Sebagian besar mikroba tumbuh optimal pada pH kira-kira 7.0 (Garbutt 1997; Devies & Board 1998; Mead 2007).

Potensi oksidasi-reduksi. Sejumlah mikroba membutuhkan kondisi oksidasi dan sejumlah kondisi reduksi. Mikroba aerobik adalah mikroba yang dapat tumbuh pada potensial oksidasi reduksi yang tinggi. Mikroba anaerobik dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen, karena O2 dapat bersifat toksik pada mikroba ini. Mikroba anaerobik tumbuh pada potensial oksidasi reduksi yang


(42)

15

rendah. Mikroba anaerobik fakultatif dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen atau ada oksigen.

Substansi penghalang atau penghambat. Substansi penghambat dan jaringan proteolitik pada daging yang dapat menghambat aktivitas mikroba disebut bakteriostatik, sedangkan substansi yang merusak atau dapat membunuh mikroba disebut bakteriosidal. Lemak dan kulit pada karkas daging melindungi dari kontaminasi mikroba (Soeparno 2005).

Faktor ekstrinsik terdiri atas temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging. Temperatur sangat menentukan laju pertumbuhan dan jumlah mikroba pada daging. Berdasarkan temperatur maksimal dan optimum untuk pertumbuhan, mikroba dibagi menjadi tiga kelompok yaitu mesofilik, psikrofilik dan thermofilik. Mikroba mesofilik tumbuh paling baik pada temperatur 25-40 °C. Mikroba psikrofilik dapat tumbuh pada temperatur 0 °C tetapi pertumbuhan optimalnya adalah pada temperatur 20-30 °C. Mikroba termofilik memiliki pertumbuhan optimum pada temperatur 45-60 °C.

Kelembaban relatif. Pada umumnya makin tinggi temperatur penyimpanan, kelembaban relatif seharusnya makin rendah. Pada temperatur -1 °C sampai 3 °C, kelembaban relatif sebaiknya antara 88-92%. Kelembaban relatif yang terlalu tinggi, cairan akan berkondensasi pada permukaan daging, sehingga permukaan daging menjadi basah dan sangat baik untuk pertumbuhan mikroba. Jika kelembaban relatif terlalu rendah, cairan permukaan daging akan banyak yang menguap sehingga pertumbuhan mikroba terhambat oleh dehidrasi dan permukaan daging menjadi gelap yang menyebabkan nilai ekonomis daging akan menurun. Oksigen atmosfer sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba pada permukaan daging adalah mikroba aerobik dan anaerobik fakultatif, sedangkan bagian dalam daging dapat mengandung mikroba anaerobik dan anaerobik fakultatif. Keadaan fisik daging akan mampengaruhi aktivitas mikroba, misalnya besar kecilnya karkas, potongan karkas atau daging, bentuk daging cacahan, daging giling dan perlakuan selama pemrosesan (Lawrie 2003).


(43)

16

Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging

Syarat mutu mikrobiologis daging sapi mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 3932:2008 tentang mutu karkas dan daging sapi pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu mikrobiologis daging sapi (SNI 3932:2008)

No. Jenis uji Satuan Persyaratan

1. Total Plate Count cfu/g maksimum 1 x 106 2. Coliform cfu/g maksimum 1 x 102 3. Staphylococcus aureus cfu/g maksimum 1 x 102 4. Salmonella sp per 25 g Negatif 5. Eschericia coli cfu/g maksimum 1 x 101 Sumber : BSN (2008)

Pengujian jenis mikroba pada permukaan daging sapi dan domba setelah proses pemotongan meliputi mikroba mesofilik aerobik, psikrotrofik dan E. coli TPC, koliform (Tabel 3).

Tabel 3 Jumlah mikroba pada daging setelah proses pemotongan

Daging Jenis uji Jumlah mikroba

Permukaan daging sapi dan domba

Mesofilik aerobik 103-105 per cm2

Psikrotrofik 0.1-10% dari mesofilik Enterobacteriaceae, E. coli < 10 per cm2

Total Plate Count 103-105 per cm2 Koliform 101-102 per cm2 Psikrotrofik < 102 per cm2 Sumber : ICMSF (1980); Grau (1986)

Cemaran Kimia pada Daging Cemaran Logam Berat

Logam berat berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni, organik maupun anorganik. Logam merupakan bahan pertama yang dikenal oleh manusia dan digunakan sebagai alat-alat yang mempunyai peran penting bagi peradapan manusia. Sejumlah logam juga terdapat dalam tubuh makhluk hidup baik pada tanaman, hewan bahkan pada tubuh manusia yang bersifat merugikan karena mangakibatkan toksik atau racun. Logam yang menyebabkan racun bagi makhluk hidup umumnya digolongkan pada logam berat. Menurut Saeni (1989), logam berat adalah unsur yang mempunyai bobot jenis lebih dari 5 g/mc3 yang biasanya terletak di bagian kanan bawah sistem periodik diantaranya adalah ferum


(44)

17

(Fe), timbal (Pb), krom (Cr), kadmium (Cd), seng (Zn), air raksa (Hg), mangan (Mn) dan arsen (As).

Pencemaran logam berat berasal dari proses pertambangan yang kemudian dicairkan dan dimurnikan menjadi logam-logam murni. Hasil dari pertambangan logam tersebut digunakan dalam proses produksi pabrik atau industri seperti pabrik cat, aki atau baterai, pabrik percetakan bahkan sampai pabrik peralatan listrik. Dampak dari proses industrialisasi tersebut menghasilkan limbah yang dapat menyebabkan pencemaran logam berat pada air, udara, tanah bahkan makhluk hidup disekitar pabrik. Cemaran di air akan berdampak pada hewan-hewan air, sedangkan pada manusia ataupun hewan-hewan ternak pencemaran logam berat dapat berasal dari air, tanaman, udara dan tanah yang terakumulasi logam berat (Darmono 2008). Konsentrasi logam berat dalam pakan yang dikonsumsi oleh ternak sangat bervariasi, sehingga National Research Council (NRC) menentukan jumlah maksimum (maximum tolerance level/ MTL) kandungan logam yang diperbolehkan untuk dikonsumsi ternak, sehingga produk asal ternak tersebut aman untuk dikonsumsi oleh manusia (Tabel 4).

Tabel 4 Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak menurut NRC (mg/kg)

Logam Sapi Domba Babi Ayam Kuda Kelinci

Al 1000 1000 200 200 200 200

As

-inorg. 50 50 50 50 50 50

-org. 100 100 100 100 100 100

Cd 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5

Cr

-klorida 1000 1000 1000 1000 1000 1000

-oksida 3000 3000 3000 3000 3000 3000

Cu 100 25 250 300 800 200

Fe 1000 500 3000 1000 500 500

Pb 30 30 30 30 30 30

Ni 50 50 100 300 50 50

Se 2 2 2 2 2 2

Zn 500 300 1000 1000 500 500

Sumber : National Academy of Science (NAS) (1980)

Darmono (2008) menyatakan lebih lanjut bahwa ternak ruminansia baik sapi, kerbau, kambing, domba atau ternak ruminansia liar lainnya hampir 100% pakan yang diberikan adalah jenis rumput hijauan. Sumber kontaminasi hijauan pakan oleh logam berat merupakan sumber utama terjadinya toksisitas logam pada


(45)

18

ternak tersebut. Adanya toksisitas logam pada ternak akan berpengaruh terhadap produksi yang meliputi penurunan berat badan, hambatan pertumbuhan, peka terhadap penyakit infeksi bahkan kematian. Selain itu, adanya residu logam berat pada produk asal ternak akan menurunkan kualitasnya. Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan khususnya pada daging dan produk olahannya berdasarkan SNI 7387: 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan(daging dan olahannya) (SNI 7378: 2009)

Jenis logam berat Kategori pangan Batas maksimum

As Daging dan hasil olahan 0.5 mg/kg

Cd Daging dan hasil olahan 0.3 mg/kg

Hg Daging dan hasil olahan 0.03 mg/kg Sn Daging dan hasil olahan 200.0 mg/kg Pb Daging dan hasil olahan 1.0 mg/kg Sumber : BSN (2009)

Tidak semua logam berat akan menyebabkan toksisitas pada ternak. Toksisitas logam berat disebabkan oleh kemampuannya menutup sisi aktif dari sistem enzim utama dalam sel dan juga beberapa ligan yang terdapat dalam membrane sel hewan maupun manusia. Saeni (1989) menyatakan, bahwa dari sekian banyak jenis logam berat seperti : Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn, dan As, hanya terdapat empat logam berat yang bersifat merugikan dan bersifat toksik baik pada ternak maupun manusia diantaranya : As, Cd, Pb dan Hg. Darmono (2008) dan Widowati et al. (2008) menyatakan, bahwa logam yang sering menimbulkan keracunan pada ternak ruminansia adalah tembaga (Cu), timbal (Pb) dan merkuri (Hg). Menurut Anggorodi (1979), logam berat yang tergolong nonesensial dan bersifat racun bagi ternak adalah kelompok logam Pb, Cd, Hg dan As.

Efek Logam Timbal (Pb) pada Ternak dan Manusia. Timbal atau Plumbum dikenal juga dengan istilah timah hitam yang termasuk pada jenis logam tertua (Winarno 1993). Anonymous (2006) menyatakan timbal merupakan unsur kimia yang dalam tabel periodik mempunyai lambang Pb (Plumbum) dengan nomor atom 82. Pb memiliki ciri-ciri diantaranya : tampilan bluish white, masa atom 207.2 g/mol, densitas pada suhu kamar 11.34 g/cm3, densitas cair pada titik lebur 10.66 g/cm3, titik lebur 327.46 °C, titik didih 1.749 °C, kalor peleburan


(46)

19

4.77 kJ/mol, kalor penguapan 179.5 kJ/mol dan kapasitas kalor pada suhu 25 °C sebesar 26.65 J/mol.K.

Kusnoputranto (2006) menyatakan, bahwa Pb merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh ternak maupun manusia sehingga bahayanya dalam tubuh semakin meningkat. Menurut Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat akumulatif dan akumulasinya tergantung dari level dalam tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pada ternak jika jumlah logam berat berada diatas ambang batas yang telah ditetapkan. Misalnya ambang batas normal penggunaan Pb pada pakan unggas sebesar 1-10 ppm, sedangkan batas ambang tinggi sebesar 20-200 ppm dan batas ambang toksik lebih dari 200 ppm.Jalur emisi timbal pada produk pangan dapat dilihat pada Gambar 1 (U.S. EPA dalam Nriagu & Simmons 1987).

Gambar 1 Jalur cemaran logam timbal (Pb) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987)

Gambar 1 menunjukkan dengan jelas bahwa pengaruh emisi, baik emisi pabrik maupun kendaraan mempunyai dampak yang signifikan terhadap cemaran timbal. Emisi dari kendaraan atau pabrik akan terakumulasi diudara dalam bentuk debu, selanjutnya debu akan jatuh ketanah dan kontaminasi timbal tersebut akan diserap oleh tanaman. Tanaman yang mengandung cemaran logam tersebut dimakan oleh ternak, yang merupakan sumber pangan bagi manusia.

Pakan ternak berupa rumput yang terkontaminasi Pb dari udara sering menyebabkan keracunan kronis, tetapi padang rumput yang terkontaminasi

Emisi kendaraan/Pabrik

Udara Tanah Emisi kendaraan/Pabrik

Debu

Tanaman

Pangan

Solder Hewan


(47)

20

cemaran dari limbah peleburan logam atau limbah baterai dapat menyebabkan toksisitas akut. Diagnosa keracunan Pb secara kronis dapat dilakukan dengan analisa kandungan Pb dalam darah, kadar enzim delta amino-levulinik dehidratase (delta-ALA) dan kadar eritrosit porfirin bebas (FEP) dalam darah (Darmono 2008).

Keracunan Pb pada sapi telah banyak dilaporkan terutama pada sapi yang digembalakan pada daerah yang tercemar. Oskarsson et al. (1992) dalam Darmono (2008) melaporkan kasus keracunan Pb pada sapi perah di Swiss. Keracunan terjadi setelah sapi merumput pada padang penggembalaan bekas pembuangan baterai. Hasil analisis membuktikan adanya kandungan Pb dalam ginjal, hati, daging darah dan air susunya. Winarno (1993) menyebutkan bahwa jenis makanan yang tergolong rendah derajat kontaminasi timbal adalah susu sapi, buah-buahan dan sayuran serta biji-bijian (15-20 µg/kg), sedangkan daging termasuk kadar medium (50 µg/kg). Makanan yang dilaporkan tinggi kadar timbalnya adalah makanan kaleng (50–100 µg/kg), jeroan terutama hati, ginjal ternak (150 µg/kg), ikan (170 µg/kg) dan kelompok tertinggi adalah kerang-kerangan (molusca) dan udang-udangan (crustacea) yaitu rata-rata lebih tinggi dari 250 µg/kg.

Pada manusia, Pb dapat terakumulasi dalam rambut sesuai dengan pernyataan Saeni (1997) yang menyatakan bahwa jumlah logam dalam rambut berkorelasi dengan jumlah logam yang diabsorpsi oleh tubuh. Hal ini karena rambut mempunyai kandungan protein struktural yang tersusun dari asam-asam amino sistein yang mengandung gugus sulfihidril (-SH) dan sistein dengan ikatan disulfida (-S-S-). Gugus tersebut mampu mengikat logam berat yang masuk dalam tubuh dan terikat di dalam rambut. Lebih lanjut Saeni (1997) menambahkan bahwa akumulasi Pb tidak hanya dirambut akan tetapi lebih awal akan terakumulasi dalam darah. Berdasarkan hasil penelitian Aminah (2006) yang meneliti kandungan Pb dalam darah karyawan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL & PPM) di Surabaya. Karyawan yang bertugas melakukan sampling dilapangan mempunyai kadar Pb lebih tinggi dibandingkan yang tidak melakukan sampling di lapangan.


(48)

21

Absorbsi Pb pada manusia maupun ternak terutama melalui saluran cerna dan saluran nafas. Absorbsi melalui usus pada orang dewasa kira-kira 10%, sedangkan pada anak-anak sekitar 40%. Kalaassen (1980) menyebutkan bahwa tidak banyak yang diketahui tentang absorbsi Pb melalui saluran cerna. Ada dugaan bahwa Pb dan Ca berkompetisi dalam transport lewat mukosa usus, karena ada hubungan timbal balik antara kadar Ca makanan dan absorbsi Pb. Selain itu defisiensi Fe dapat meningkatkan absorbsi Pb melalui saluran pencernaan. Keracunan Pb dapat menyebabkan perubahan susunan syaraf pusat, gangguan pencernaan dan gangguan sintesis sel-sel darah merah. Pilliang (2002) menyebutkan bahwa tanda-tanda klinis utama keracunan mineral timah hitam adalah terjadinya microcytic hypochromic anemia, muntah-muntah, diare, gangguan abdomen, sekresi saliva meningkat, bobot badan menurun dan keguguran.

Cemaran Pb bersifat akumulatif dalam tubuh baik pada manusia maupun pada ternak, serta dapat merusak saluran organ dalam tubuh. Linder (1992) menyebutkan bahwa keracunan Pb pada anak-anak dapat mengakibatkan kemunduran mental yang bersifat permanen. Selain itu dijelaskan bahwa Pb yang terkandung dalam makanan orang dewasa rata-rata akan terserap sebesar 5-10% oleh tubuh, sedangkan pada bayi dan anak-anak sekitar >40% dan dapat ditekan dengan adanya kalsium (Ca) dan fosfor (P) sehingga konsumsi Ca akan dapat menekan pengambilan Pb tubuh. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization = WHO) (1996) telah menetapkan batas maksimal serapan Pb oleh manusia dewasa sebesar 400–450 µg/hari.

Efek Logam Kadmium (Cd) pada Ternak dan Manusia. Logam Cd termasuk salah satu jenis logam yang paling jarang dijumpai karena konsentrasinya hanya berkisar antara 0.1-0.2 mg/g, sehingga logam Cd berada pada urutan ke 67 pada kerak bumi (Mason & Moore 1982). Logam Cd menjadi populer setelah terjadinya pencemaran air sungai Kummamoto di Jepang yang menyebabkan keracunan pada manusia (Darmono 1995). Logam Cd berwarna putih keperakan menyerupai alumunium dan biasa digunakan sebagai pelapis logam seperti seng. Cd biasanya digunakan sebagai bahan pewarna untuk industri cat, enamel dan plastik.


(49)

22

Darmono (1995) menyebutkan bahwa sifat dan kegunaan logam Cd antara lain: 1) mempunyai sifat tahan panas sehingga sangat baik digunakan sebagai bahan campuran pembuatan keramik, enamel dan plastik, 2) tahan terhadap korosi sehingga baik untuk melapisi pelat besi ataupun baja. Bentuk garam kadmium dari asam lemah sangat baik digunakan sebagai stabilisator pada pembuatan PVC ataupun plastik untuk mencegah oksidasi dan radiasi.

Cemaran Cd masuk kedalam tubuh manusia atau ternak melalui dua jalan yaitu saluran pernafasan (udara) dan saluran pencernaan (makanan). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa absorpsi Cd lewat saluran pencernaan sangat sedikit yaitu sekitar 3-8 % dari total Cd yang dimakan. Logam Cd dalam usus akan menempel pada dinding usus sehingga diduga sel epitel usus mengatur absorpsi Cd. Apabila sel epitel terkelupas maka Cd ikut keluar dari dalam tubuh. Konsentrasi Cd yang tinggi pada dinding usus dapat merusak usus dan mengganggu transportasi Cd. Beberapa komponen tertentu seperti protein, kalsium, besi dan seng dapat mempengaruhi absorpsi Cd dalam usus (Darmono 1995).

Adsorpsi Cd melalui paru-paru jauh lebih besar daripada absorpsi melalui saluran pencernaan yang hanya 25-50%. Setelah Cd diabsorpsi dalam tubuh selanjutnya didistribusikan oleh darah ke berbagai jaringan, dan terakumulasi dalam hati dan ginjal. Kedua organ fital tersebut merupakan tempat deposit Cd dalam tubuh yang jumlahnya mencapai 50% dari total Cd. Sejumlah Cd yang tertimbun dalam jaringan tubuh biasanya akan sangat lambat untuk dilepas kembali. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa biological half life (waktu paruh) Cd dalam jaringan hati sekitar 5-10 tahun sedangkan dalam ginjal lebih lama yaitu berkisar 16-33 tahun.

Keracunan Cd akut pada ternak yang termakan atau terminum bahan yang tercemar Cd dengan dosis 350 mg Cd akan mengakibatkan keracunan dengan gejala mual, diare, kejang perut dan hipersalivasi. Keracunan Cd pada manusia terjadi sangat erat kaitannya dengan kualitas lingkungan yang menurun. Gejala yang timbul terlihat setelah keracunan dalam waktu lama. Akumulasi Cd pada manusia setelah Cd terakumulasi dalam ginjal sampai jumlah 50 µg/g berat basah dan dapat dijumpai pada umur 50 tahun. Konsentrasi kritis Cd adalah 200 µg/g


(50)

23

pada saat terjadi kegagalan ginjal. Gejala yang terlihat adalah glikosuria diikuti dengan dieresis dan aminuria, proteinuria, asiduria dan hiperkalsiuria (Darmono 1995). Nriagu & Simmons (1987) menambahkan bahwa jalur kontaminasi Cd dari tanah dan udara secara langsung dapat terlihat dari adanya deposisi kandungan Cd pada bahan pangan (buah, tanaman dan produk ternak) seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Jalur cemaran kadmium (Cd) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987)

Efek Logam Merkuri (Hg) pada Ternak dan Manusia. Merkuri (Hg) disebut juga air raksa. Merkuri adalah logam yang secara alami ada dan merupakan satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Logam Hg murni berwarna keperakan, tidak berbau, mengkilap dan akan menguap bila dipanaskan pada suhu 357 °C. Senyawa merkuri dalam bentuk Hg(II) dapat terikat pada residu sistein protein/enzim dalam tubuh manusia atau binatang sehingga protein/enzim kehilangan aktivitasnya. Selain Hg(II), senyawa merkuri paling berbahaya pada manusia adalah senyawa organomerkuri, khususnya metilmerkuri dan fenilmerkuri. Senyawa ini bersifat sangat reaktif dan mempunyai mobilitas tinggi. Hal ini disebabkan gastrointestine manusia yang dapat menyerap sekitar 95% senyawa metilmerkuri sehingga menyebabkan gangguan syaraf binatang dan manusia melalui peredaran darah (Palar 1994; Rugh et al. 2000; Bizily et al. 2000).

Pencemaran logam Hg pada tanah, air dan udara sangat membahayakan lingkungan, binatang bahkan kesehatan manusia. Mekanisme keracunan Hg di

Polusi Kadmium

Produk Pangan

Hewan Tanaman

Udara Air


(51)

24

dalam tubuh belum diketahui dengan jelas. Namun, untuk daya racun Hg dapat diinformasikan sebagai berikut: kerusakan tubuh yang disebabkan oleh merkuri pada umumnya bersifat permanen, masing-masing komponen Hg mempunyai perbedaan karakteristik seperti daya racun, distribusi, akumulasi atau pengumpulan dan waktu retensinya (penyimpanan) di dalam tubuh. Apabila semua komponen merkuri berada dalam jumlah yang cukup, maka akan mengakibatkan racun dalam tubuh. Dampak Hg dalam tubuh dapat menyebabkan terhambatnya kerja enzim, sehingga mengakibatkan kerusakan sel. Kondisi akut keracunan Hg dapat mengakibatkan kerusakan pada organ perut, usus, gagal kardiovaskuler (jantung dan pembuluh), dan gagal ginjal akut bahkan mengakibatkan kematian (Widaningrum et al. 2007).

Cemaran Residu Pestisida pada Daging

Menurut Food Agriculture Organization (FAO) 1986 dan peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia yang digunakan untuk mencegah, membasmi dan mengendalikan hewan/tumbuhan pengganggu seperti binatang pengerat, termasuk serangga penyebar penyakit, dengan tujuan kesejahteraan manusia. Pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh atau perangsang tumbuh, bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk perlindungan tanaman (PP RI No.6tahun 1995). United States Environmental Protection Agency (USEPA) mendefinisikan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan, tanaman dan mikroorganisme pengganggu (Djojosumarto 2008).

Residu merupakan semua senyawa kimia dalam makanan serta komoditas pertanian atau pakan ternak yang bersumber dari penggunaan produk perlindungan tanaman. Residu pestisida adalah zat yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan ternak sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida (Djojosumarto 2008). Batas cemaran residu pestisida golongan organofosfat berdasarkan SNI 7317:2008 dapat dilihat pada Tabel 6.


(52)

25

Tabel 6 Batas maksimum cemaran pestisida pada daging (SNI 7317: 2008) No. Jenis Pestisida

Organofosfat

Batas Maksimum (mg/kg)

No. Jenis Pestisida Organofosfat

Batas Maksimum (mg/kg)

1. Diazinon 2.00 9. Demetoat 0.05

2. Metidation 0.02 10. Dichlorvos 0.05

3. Klorpirifos 1.00 11. Etrimfos 0.01

4. Malathion - 12. Methacifos 0.01

5. Profenofos 0.05 13. Metil Azinfos 0.05

6. Fenitrotion 0.05 14. Metil Paration -

7. Triazofos 0.01 15. Phosphamidon -

8. Metil Klorpirifos 0.05 16. Metil Pirimiphos 0.01 Sumber: BSN (2008)

Arifin et al. (2003) melaporkan bahwa pemeliharaan ternak di tempat pembuangan akhir (TPA) menghasilkan produk pangan yang tidak aman karena mengandung bahan beracun yang masuk kedalam rantai makanan melalui ternak yang mengkonsumsinya. Lebih lanjut dari hasil penelitian dilaporkan bahwa daging sapi yang dipelihara di TPA Jatibarang Kota Semarang mengandung residu organoklorin dan organofosfat berada diatas ambang batas yang ditetapkan baik “Maximum Residue Limite (MRL)’ maupun “Acceptable Daily Intake(ADI)” yang ditetapkan WHO, sehingga apabila dikonsumsi oleh manusia akan mengganggu kesehatan. Selain itu, Indraningsih dan Sani (2006) menyatakan dari 31 sampel serum dan otak sapi perah FH di Lembang, 22 sampel terbukti mengandung residu pestisida organoklorin dan organofosfat meskipun masih lebih rendah dari batas maksimum residu.


(53)

(54)

27

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2011 di RPH Kota Pekanbaru. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN SUSKA Riau, Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Kimia UPT Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang Disperindag Provinsi Riau serta Laboratorium PT Saraswanti Indo Genetech-Bogor.

Materi Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi (otot bagian Longissimus dorsi et lumbarum dan Bicef femoris), hati dan ginjal sapi yang dipotong di RPH kota Pekanbaru. Adapun bahan untuk analisis mikrobiologi adalah plate count agar (PCA), buffered pepton water (BPW) 0.1%, brilliant green lactose bile agar (BGLBB), lauryl sulfate tryptose broth (LSTB), eschericia coli broth (ECB), Levine eosine methylene blue agar (L-EMBA), methyl red-voges proskauer (MR-VP), kalium cyanide broth (KCB), simmons citrate agar (SCA), reagen kovac, reagen voges-proskauer (VP), baird-parker agar (BPA), egg yolk tellurite emultion, brain heart infusion broth (BHIB), triple sugar agar (TSA), coagulase rabbit plasma dengan ethylene diamine tetra acetate (EDTA). Bahan untuk uji residu pestisida antara lain aseton/asetonitril, heksana, H2SO4dan NHO3.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, pipet serologis, tabung reaksi dan penutupnya, tabung durham, gelas ukur, beaker glass, labu erlenmeyer, botol medium, inkubator, stomacher, colony counter, penangas air, tube mixer, timbangan, clean banch, gunting, pinset, plastik steril, timbangan, rak tabung, gelas preparat, jarum inokulum diameter 3 mm, mortar, rotary evaporator, pH-meter, photographic colour standard, carver press,planimeter, kromatograf gas dan atomic absorbance spechtrofotometry (AAS).

Metode Penelitian Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sample) terhadap sejumlah pemilik ternak yang melakukan pemotongan di RPH


(1)

Nilai Ya Tidak MN MY SR KT OK b. Berumur minimal 18 tahun 0,50

c. Berbadan dan berjiwa sehat 0,50 d. Taat menjalankan ibadah wajib 1.00 e. Memahami tata cara penyembelihan

sesuai Syari’at Islam 1.00

f. Disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Halal yang bekerjasana dengan instansi terkait

0,50

g. Memiliki kemampuan dalam memeriksa proses pemotongan, mulai dari pra-penyembelihan hingga penyimpanan

0,50

h. Jumlah petugas supervisior halal harus memadai dengan jumlah hewan yang disembelih per hari

0,50

1.2 Prasarana

1. Lokasi dan fasilitas RPH

a. Pada satu RPH hanya dikhususkan untuk produksi daging hewan halal

0,50 b. Lokasi RPH harus terpisah dari

RPH/peternakan babi (minimal radius 2 km) dan tidak terjadi kontaminasi silang antara RPH halal dan RPH/ peternakan babi

1,00

c. Fasilitas RPH dirancang sedemikian rupa agar produk tidak terjadi kontaminasi dengan produk non halal maupun dengan barang haram dan najis

0,50

d. Tidak terjadi penggunaan fasilitas, mesin dan alat secara bersama-sama antara RPH halal dan RPH babi

0,50

2. Alat Penyembelih

a. Harus tajam 0,50

b. Bukan berasal dari kuku, gigi/taring atau tulang

0,25 c. Ukuran dari alat penyembelih harus

disesuaikan dengan ukuran dari leher hewan yang akan dipotong

0,25

d. Alat penyembelih tidak diasah di depan hewan yang akan disembelih

0,50

2 Penyembelihan Hewan 50,00

2.1 Pra Penyembelihan 1.Umum

a. Hewan yang akan disembelih harus mempunyai waktu istirahat yang cukup dan mengikuti kaidah kesejahteraan hewan yang berlaku

1,25

b. Dilakukan pemeriksaan ante mortem

oleh lembaga yang berwenang

1,25 c. Rekaman hewan mati sebelum sempat

disembelih harus disimpan dan dipelihara

1,00

2.Tanpa Pemingsanan

a. Pengendalian hewan harus seminimal mungkin hewan stress dan kesakitan

1,25 b. Bila menggunakan sarana

pengendalian (restraining box), termasuk pengendalian secara mekanis, harus dipastikan berfungsi baik dan dioperasionalisasikan secara efektif


(2)

No Parameter Bobot Nilai

Pengamatan Penilaian NKV Ket

Ya Tidak MN MY SR KT OK c. Sesegera mungkin dilakukan

penyembelihan bila hewan telah terkendali dengan baik dan tenang

1,50

3.Dengan pemingsanan (Stunning)

a. Stunning hanya menyebabkan hewan pingsan sementara, tidak menyebabkan hewan mati sebelum disembelih

1,50

b. Tidak menyebabkan cidera permanen atau merusak organ hewan yang dipingsankan, khususnya sistem syaraf pusat (SSP)

1,50

c. Tidak menyebabkan hewan kesakitan 1,25 d. Bertujuan untuk mempermudah

penyembelihan

1,00 e. Metode/ peralatan stunning harus

divalidasi untuk menjamin terwujudnya syarat pada poin a,b,c dan d.

1,00

f. Peralatan stunning tidak digunakan antara hewan halal dan non halal

1,00 g. Petugas pemingsanan harus

memastikan peralatan stunning dalam kondisi baik setiap akan memulai proses penyembelihan

1,00

h. Supervisior Halal harus melakukan verifikasi secara berkala untuk memastikan pelaksanaan stunning

sesuai dengan metode dan parameter yang telah disetujui pada syarat e.

1,00

i. Supervisior Halal harus memastikan bahwa pemingsanan tidak menyebabkan kematian pada hewan sebelum disembelih dengan memastikan pergerakan hewan

1,00

j. Harus dibuat rencana pemeliharaan peralatan stunning

1,00 k. Harus dilakukan validasi untuk

menjamin efektivitas dari peralatan stunning dengan menggunakan instrumen yang telah terkalibrasi

1,00

l. Esophagus plug dapat dipasang pada kerongkongan sepanjang tidak melukai hewan

1,00

m. Rekaman pemingsanan hewan yang tidak sesuai dengan persyaratan harus disimpan dan dipelihara.

1,00

2.2 Proses Penyembelihan (Slaughtering) a. Penyembelihan mengucapkan

“Bismillaahi Allahu Akbar” atau “Bismillaahi Rahmaanir Rahim” yang diucapkan untuk individu hewan

5,00

b. Posisi hewan ketika disembelih bisa dalam posisi terbaring atau tergantung, dengan syarat penyembelihan harus dilakukan dengan cepat.

2,00

c. Wajib terpotongnya 3 (tiga) saluran yaitu, pembuluh darah (wadajain/vena jugularis

dan arteri carotis disisi kiri dan kanan), saluran makanan (mari’/esophagus), dan saluran pernafasan (hulqum/trachea).

2,50

Lanjutan Lampiran 3


(3)

Nilai Ya Tidak MN MY SR KT OK d. Proses penyembelihan harus dilakukan

secara cepat dan tepat sasaran tanpa mengangkat pisau.

1,50

e. Proses penyembelihan dilakukan dari leher bagian depan dan tidak memutus tulang leher

1,50

f. Jika ada proses pemingsanan, penyembelihan harus dilakukan sebelum hewan sadar (maksimal 40 detik).

1,50

g. Supervisior Halal harus memastikan terpotongnya tiga saluran, serta darah hewan berwarna merah dan mengalir deras saat disembelih

1,00

h. Hewan yang akan disembelih disarankan untuk dihadapkan ke kiblat

2,00 2.3 Pasca Penyembelihan

a. Harus dilakukan pemeriksaan untuk memastikan hewan mati sebelum dilakukan penanganan atau proses selanjutnya

2,00

b. Waktu minimal antara pemotongan dengan proses selanjutnya adalah 45 detik

1,25

c. Ruang/lokasi penanganan karkas dan jeroan harus dipisah

1,50 d. Karkas dan jeroan yang berasal dari

hewan yang disembelih tidak memenuhi persyaratan halal harus diperlakukan sebagai non halal

2,00

e. Pemeriksaan post mortem harus dilakukan oleh petugas yang berwenang

1,50 f. Rekaman karkas dan jeroan yang tidak

memenuhi persyaratan harus disimpan dan dipelihara

1,00

g. Khusus untuk pengunaan alat pemingsanan mekanis (percussive pneumatic stun/mushroom head stun) harus dilakukan pemeriksaan broken skull

serta rekamannya harus disimpan dan dipelihara

1,00

h. Electrical stimulation yang digunakan untuk mempercepat keluarnya darah dan menghindari gerakan hewan yang membahayakan bagi penyembelih diperbolehkan sepanjang tidak mematikan.

1,00

3 Penanganan dan Penyimpanan

a. Karkas/daging/jeroan halal dan non halal harus ditangani dan disimpan pada tempat yang terpisah

3,00

b. Karkas/daging/jeroan halal harus ditangani dan disimpan dengan baik untuk menghindari kontaminasi silang dengan bahan dan cemaran lainnya

3,00

c. Ruang/gudang penyimpanan harus bebas dari produk non halal

2,75 d. Jika di RPH menghasilkan produk halal

dan non halal, maka harus dilakukan penandaan sehingga memudahkan untuk penelusuran balik atas produk yang bersangkutan


(4)

No Parameter Bobot Nilai

Pengamatan Penilaian NKV Ket

Ya Tidak MN MY SR KT OK e. Jika di RPH menghasilkan produk halal

dan non halal, maka penyimpanan dilakukan secara baik dengan cara memberi warna rak yang berbeda antara rak untuk produk halal dan non halal serta mencantumkan tanda “Halal” dan “Non Halal” dimasing-masing rak

2,50

f. Rekaman karkas/daging/jeroan non halal harus disimpan dan dipelihara

1,25 4 Pengemasan dan Pelabelan

a. Kemasan harus memiliki identitas halal, seperti logo halal atau barcode, untuk menandai kehalalal dari produk, sehingga memudahkan untuk penelusuran balik

(traceability) atas produk yang

bersangkutan

2,50

b. Pemberian identitas halal dicantumkan pada kemasan produk sebelum memasuki ruang/gudang penyimpanan

2,00

c. Label harus secara spesifik menjelaskan perbedaan halal dan non halal (jika ada)

1,50 d. Proses pengiriman daging/jeroan harus

disertai dengan label, mulai dari penyiapan (pengepakan dan pemasukan kedalam kontainer), pengangkutan (pengapalan/shipping) hingga penerimaan

2,00

e. Label sekurang-kurangnya harus memuat informasi logo halal, tanggal penyembelihan, nama dan/atau nomor RPH beserta alamat dan negara asal RPH, serta berat bersih

2,00

5 Transportasi

a. Alat pengiriman harus khusus (dedicated) untuk membawa atau mengangkut daging halal saja, tidak boleh digunakan bersama atau bergantian untuk mengangkut produk babi/daging non halal

3,00

b. Alat pengiriman harus bebas dari najis (filth) dan cemaran lain

2,00

TOTAL KOMULATIF 100,00

Petunjuk pengisian :

Isi bagian kolom penilaian dengan memberikan tanda

X

pada kolom penilaian

NKV untuk :

MN

= Penyimpangan Minor

MY

= Penyimpangan Mayor

SR

= Penyimpangan Serius

KT

= Penyimpangan Kritis

OK

= Tidak ada Penyimpangan

1.

Jumlah Penyimpangan

a). Penyimpangan Minor

... penyimpangan

b). Penyimpangan Mayor

... penyimpangan

c). Penyimpangan Serius

... penyimpangan

d). Penyimpangan Kritis

... penyimpangan

Lanjutan Lampiran 3


(5)

2.

Level/ Tingkat Unit Usaha

Level/Tingkat

Jumlah Penyimpangan

MN

MY

SR

KT

I

0

0

0

0

II

< 7

< 8

< 5

0

III

NA

< 15

< 10

< 4

IV

NA

NA

NA

< 4

3.

Keterangan Level/ Tingkat Usaha

1

Level I

Berhak memperoleh NKV dengan kategori

sangat baik (kualifikasi ekspor)

2

Level II

Berhak mendapat NKV dengan kategori baik

(menuju kualifikasi ekspor)

3

Level III

Berhak memperoleh NKV dengan kategori

cukup

4

Level IV

Masih dalam tahap pembinaan untuk


(6)

Lampiran 4 Standar penilaian warna daging sapi berdasarkan SNI 3932:2008