Analisis Dan Perancangan Kondisi Optimal Keamanan Pangan Pada Industri Pakan Unggas

ANALISIS DAN PERANCANGAN KONDISI OPTIMAL
KEAMANAN PANGAN PADA INDUSTRI PAKAN UNGGAS

LEGIS TSANIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis dan Perancangan
Kondisi Optimal Keamanan Pangan pada Industri Pakan Unggas adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017
Legis Tsaniyah
NIM F351124021

RINGKASAN
LEGIS TSANIYAH. Analisis dan Perancangan Kondisi Optimal Keamanan
Pangan pada Industri Pakan Unggas. Dibimbing oleh HARTRISARI
HARDJOMIDJOJO dan SAPTA RAHARJA.
Industri pakan merupakan salah satu industri yang diprioritaskan pemerintah
di dalam Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) tahun 20152035. Industri pakan sangat mendukung program ketahanan protein pangan.
Dengan demikian maka produk industri pakan harus dipelihara mutu dan
keamanan pangannya. Pakan unggas diformulasi menggunakan biji jagung,
konsentrat protein kedelai, tepung ikan, dedak, obat hewan, steam, dan sejumlah
bahan imbuhan pakan. Bahan pendukung pertumbuhan diformulasi dari vitamin,
antibiotik, asam amino, metilen biru, dan beberapa bahan tambahan lainnya.
Bahan tambahan pakan berpotensial untuk mengkontribusi bahaya keamanan
pangan dalam produk pakan.
Analisis model menunjukkan bahwa sumber utama resiko keamanan
pangan adalah: 1) residu obat hewan (X1); 2) potensi aflatoxin pada biji jagung
yang basah (X2) dan 3) potensi alfatoxin pada tepung kedelai yang basah (X3).

Formulasi model minimisasi untuk keamanan pangan dalam produksi pakan
adalah Z = 13.78 X1 + 10.00 X2 + 7.67 X3. Optimisasi model menggunakan
simplex menghasilkan kondisi maksimum nilai indeks bioakumulasi sebesar
93.33 per ton produksi pakan. Verifikasi model dilakukan pada dua industri pakan
unggas dan indeks bioakumulasi dihitung masing-masing 20.16 and 24.43 per ton
produksi pakan unggas. Hasil produksi pakan unggas kedua industri tersebut
masih direkomendasikan di bawah batas aman
Keamanan pangan di industri pakan unggas disusun mulai dari bahan baku,
pengeringan-penyimpanan-penggilingan jagung, pre mixing, pencampuran utama,
pembuatan pelet dan bahan pendukung lainnya yang berpotensi mengkontaminasi
produk pakan. Sistem manajemen keamanan pangan di industri pakan
dikembangkan berdasarkan identifikasi bahaya dan penetapan Titik Kendali Kritis
(Critical Control Points-CCP) serta pemantauan titik kendali kritis. Pengendalian
proses produksi pada industri pakan unggas untuk keamanan pangan dirancang
mulai dari penerimaan bahan baku hingga proses pengemasan. Kondisi optimal
diadaptasi dari cara produksi yang baik dari industri yang telah berhasil
menerapkan sistem manajemen keamanan pangan. Pengendalian manajemen
produksi pada pakan unggas dapat dilakukan melalui penerapan GMP+ dan sistem
HACCP. GMP+ meliputi penerapan sanitasi dan higiens pabrik berikut cara
produksi yang baik di pabrik pakan.

Kata kunci:

indeks bioakumulasi, industri pakan unggas, minimisasi resiko
keamanan pangan

SUMMARY
LEGIS TSANIYAH. Analysis and Design Optimal Conditions for Food Safety in
Poultry Feed Industry. Supervised by HARTRISARI HARDJOMIDJOJO and
SAPTA RAHARJA.
Feed Industry is one of industry priority that stated in National Master Plan
Industrial Development 2015-2035. Feed industry fully supports the national food
security program through meat protein production. Therefore, feed Industry shall
maintain quality and food safety of their products. Feed for poultry was
formulated by using corn meal, soya protein, fish meals, rice bran, veterinary
drugs, steam, and other ingredients. Growth premotor materials that formulated
from vitamin, antibiotics, amino acid, methylene blue, and other trace elements
also are added in formulation. The feed additive are potential sources of food
safety hazard in feed products.
Result of Model analysis found the major sources of food safety risks are:
1) veterinary drugs residues (X1); 2) aflatoxin potential in high moisture corn

meals (X2) and 3) alfatoxin potential in high moisture soya meal (X3).
Minimization model formulated for food safety in feed production is Z = 13.78 X1
+ 10.00 X2 + 7.67 X3. The optimation model by using simplex solution found
maximum bioaccumulation value index are 93.33 per ton feed production. The
verification model done for two feed industries and calculated bioaccumulation
index both 20.16 and 24.43 per ton livestock feed production. The result
concluded that the feed produced by both industries have been recommended safe
to consume.
Food safety risk in poultry feed industries may generated from raw
materials, corn drying-storage-milling, pre mixing, main mixing, pelleting, and
packing. Steam used in pelleting process and others supporting materials are also
probable to contaminate feed products. Food Safety management system in the
feedmill be developt based on hazard identification, Critical Control Points (CCP)
determination, and CCP monitoring. The proces control of poultry feed mill
regarding to food safety is designed from receiving materials until packaging
process. The optimal condition adapted from the best manufacturing practises of
industries which had succesfully in food safety management system
implementation. Production management control of poultry feed can assure food
safety if it is done through the implementation of GMP+ and HACCP system.
GMP+ also includes implementation of mill hygiene and sanitation also good

manufacturing practises in feed mill production.
Keyword: bioaccumulation index, food safety risk minimization, poultry feed
industry

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS DAN PERANCANGAN KONDISI OPTIMAL
KEAMANAN PANGAN PADA INDUSTRI PAKAN UNGGAS

LEGIS TSANIYAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si

PRAKATA
“Dan sungguh pada hewan-hewan ternak terdapat suatu pelajaran
bagimu. Kami memberi minum kamu dari (air susu) yang ada dalam
perutnya, dan padanya juga terdapat banyak manfaat untukmu, dan
sebagian darinya kamu makan” (QS Surat Al-Mu’minuun [23]: 21). Puji
Syukur tertinggi penulis panjatkan kepada ALLAH S.W.T yang menciptakan
semua ilmu serta menciptakan alam fikiran manusia untuk memahami
ciptaanNya.

Bantuan dari berbagai pihak penulis dapatkan selama menyelesaikan tesis
ini, dengan tulus penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya
kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. sebagai Ketua Komisi
Pembimbing, yang senantiasa mencurahkan sangat banyak waktu, arahan,
perhatian dan kesabarannya bagi penulis dalam menjalani masa pendidikan di
Institut Pertanian Bogor;
2. Bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA. sebagai anggota Komisi Pembimbing
dengan masukan dan arahan yang sangat berarti bagi kebaikan pekerjaan
penulis;
3. Ibu Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si selaku penguji luar komisi atas segala
arahan dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini;
4. Seluruh Manajemen dan Personalia Departemen Pasca Sarjana Teknologi
Industri Pertanian, yang atas bantuan penyampaian informasi bagi penulis
seputar kegiatan perkuliahan dan aturan pendukung lainnya
5. Rekan-rekan Pasca Sarjana TIP, Program Sarjana TIN (grup pejuang S.TP)
atas suasana saling mendukung yang tercipta sehingga penulis terus
bersemangat dalam menyelesaikan pendidikan
6. Bapak Dr. Ir. Hermawan Thaheer, Ibu Dr. Ir. Sawarni Hasibuan, MT., Tim
ISO PT Malindo Feedmill-Gresik, Tim ISO Malindo Feedmill-Medan, Ratu

Anna Rufaida, S.Kpm, Dwi Rahayu, S.Kpm, Narisha, Amd,
7. Orang tua tercinta, Bapak Herman dan Ibu Titin, yang tiada pernah letih
mencurahkan perhatian dan dukungan bagi penulis selama menjalani
pendidikan
8. Orang tua tercinta, Bapak Djoko Sumbodo, Amd dan Ibu Suharyati, S.Pd.,
M.Pd yang atas perhatian serta dukungannya bagi penulis
9. Suami terkasih, Yudistia Rizkiangga Priyambodo, S.TP dan pemacu semangat
hidup Agita Rizkiayu Kirana yang membuat penulis tiada pernah lelah
berkarya;
10. Semua pihak yang tiada terbilang jasanya dalam mendukung penulis untuk
menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor.
Tiada sesuatu yang dapat penulis berikan, kecuali doa dan harapan agar apa
yang telah diupayakan dalam tesis ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi
masyarakat luas.

Bogor,

Februari 2017
Legis Tsaniyah


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Ruang Lingkup
2 TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Industri Pakan
Teknologi Proses Produksi Pakan
Sistem Manajemen Keamanan Pangan pada Pakan
Mutu Keamanan Pangan Pada Pakan
Penggunaan Teknik Optimasi
3 METODE
Kerangka Pemikiran
Tahapan Analisis dan Disain Model
Asesmen Bahaya
Model Matematika Resiko Keamanan Pangan pada Produk
Pakan

Teknik Optimasi
Tata Laksana Penelitian
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Bahaya Keamanan Pangan pada Industri Pakan
Analisa Bahaya Keamanan Pangan dan Penentuan Titik
Kendali Kritis
Perancangan dan Optimalisasi Model Keamanan Pangan pada
Industri Pakan
Perancangan dan Pembahasan Kondisi Proses Optimal
Keamanan Pangan pada Produksi Pakan Unggas
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi

1
1
1
2
2
2
5
14
15
24
25
25
25
27
30
31
32
34
34
39
41
50
57
57
58
59
67
81

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Proyeksi kebutuhan pakan unggas
Distribusi jenis ternak di Indonesia
Kadar aflatoksin dalam persyaratan mutu bahan baku ransum pakan
Panduan evaluasi keragaman dalam waktu pencampuran
Beberapa jenis kehilangan saat penyimpanan
Rangkuman SNI pakan ayam petelur
Kelompok antimikroba yang masih boleh dipergunakan pada hewan
dan manusia
Daftar imbuhan pakan yang diizinkan beredar di Indonesia
Waktu henti penggunaan beberapa jenis hewan
Spesies kapang yang menghasilkan aflatoksin
Batas tindakan FDA untuk aflatoksin pada makanan orang dan ternak
Batas maksimum kadar logam berat dan halogen dalam pakan ternak
Jenis mineral, sumber dan akumulasinya dalam jaringan hewan
Skema penjenjangan resiko berdasar pada tingkat keparahan resiko (S)
dan peluang terjadinya bahaya (P) atau matriks Boevee
Interpretasi skor tingkat keparahan keracunan pangan
Interpretasi skor peluang kejadian keracunan pangan
Beberapa bahan yang diverifikasi secara laboratorium dan indikator
ujinya
Data hasil pengukuran kualitas jagung yang diterima pada beberapa
industri pakan di Indonesia
Data hasil uji histamin tepung ikan pada beberapa industri pakan di
Indonesia
Spesifikasi saringan kawat pada hammer mill
Bahan – bahan yang dicampurkan pada pre mixing (per Kg Pakan)
Data rata-rata produksi dan penggunaan bahan per curah perncampuran
dari beberapa pabrik pakan
Rangkuman analisa bahaya beberapa perusahan pakan unggas
Rangkuman hasil penetapan CCP beberapa perusahaan pakan
Hasil eksekusi minimasi fungsi bioakumulasi bahan berbahaya pada
produksi pakan unggas
Data penerimaan bahan baku feed mill 1
Data komposisi bahan mixing feed mill 1
Data penerimaan bahan baku feed mill 2
Data komposisi bahan mixing feed mill 2
Ringkasan hasil analisa monitoring CCP 1, feed mill 2
Kecenderungan penyebab pemisahan campuran pakan

3
4
7
10
14
17
18
18
19
20
21
22
23
22
28
29
29
32
34
35
36
37
37
40
41
46
46
47
47
48
49
53

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Kebutuhan jagung untuk pakan di Indonesia
Diagram alir proses produksi pakan unggas dan potensi resiko
Keamanan Pangannya
Perbandingan populasi bakteri pada usus ternak dari pemberian pakan
dengan tingkat kekasaran bulir jagung berbeda

3
6
9

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Hierarki pangan, pakan dan limbah
Pengaturan standar mutu pakan di Indonesia
Reaksi penguraian asam amino histidin menjadi histamin
Kerangka sistem manajemen keamanan pangan pada industri pakan
Tahap perancangan, analisis dan optimalisasi model resiko keamanan
pangan di industri pakan
Contoh matriks keputusan 3x3
Alur proses penelitian analisis dan perancangan kondisi optimal
keamanan pangan industri pakan
Prinsip Pembuatan Pelet
Proses Pengemasan Pakan
Indeks Bioakumulasi Kontaminasi pada Produksi Pakan Unggas Beberapa
Pabrik di Indonesia
Analisa pemantauan CCP Pabrik ke-1 Tahun 2015, menggunakan
Moving Range Control Chart
Rancangan kondisi operasi produksi optimal industri pakan unggas

16
16
21
25
26
30
33
38
39
49
50
56

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Daftar dokumen standar GMP+
Proyeksi populasi unggas dan kebutuhan pakan unggas nasional
Kapasitas produksi perusahaan pakan utama di Indonesia
Formulasi pakan unggas beberapa perusahaan
Iterasi simpleks optimasi model linear resiko keamanan pangan
produk pakan unggas
Data pemantauan CCP1 dari Feed Mill 2
Diagram kendali pemantauan CCP 1 Feedmill 2
Beberapa panduan Good Manufacturing Practice untuk mencegah
terbawanya residu obat pada proses produksi pakan ternak

67
69
70
71
72
74
77
80

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 mengenai
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035,
memasukkan industri pakan sebagai salah satu prioritas. Industri pakan
diharapkan mampu mendukung upaya pemerintah untuk swasembada protein.
Keberhasilan swasembada protein tersebut bukan hanya dari segi kecukupan
kuantitas tetapi juga telah dicanangkan harus memenuhi prinsip aman, sehat, utuh,
dan halal.
Sistem manajemen keamanan pangan merupakan suatu sistem yang
dirancang untuk menyediakan dan memperoleh produk memenuhi persyaratan
keamanan pangan. Sistem ini merupakan proses pengendalian bahaya pangan dan
pendeteksian bahaya keamanan pangan sedini mungkin yang berpeluang
mengontaminasi produk, termasuk produk hasil ternak. Pengendalian bahaya
pangan pada sebuah industri pangan adalah harga mutlak dalam pengelolaan
produksi untuk menghasilkan produk yang aman dikonsumsi manusia. Penerapan
sistem keamanan pangan pada industri pakan adalah salah satu upaya pencegahan
bahaya keamanan pangan untuk produk pangan hasil ternak.
Penerapan sistem keamanan pangan pada industri pakan belum banyak
dilakukan. Perhatian produsen pakan selama ini lebih banyak tertuju pada
keberhasilan pertumbuhan dan kesehatan ternak hingga masa pemanfaatannya.
Pada kenyataannya, setiap bahan pakan yang dikonsumsi ternak akan mengalami
proses metabolisme, ada yang tersekresi dan adapula yang mengendap
terakumulasi dalam jaringan ternak tersebut. Melihat pentingnya sistem keamanan
pangan ini pada industri pakan yang menjadi bagian dalam rantai pasok produk
pangan hasil ternak, maka pengendalian bahaya keamanan pangan pada
pengelolaan produksi pakan perlu dilakukan.
Pakan yang dikonsumsi unggas memiliki resiko residu yang cukup tinggi
dalam kasus bahaya pakan, baik bersumber dari bahan baku utama serealia
maupun dari bahan tambahan pakan. Komposisi bahan pakan jenis serealia pada
pakan unggas dapat mencapai 60% sehingga memungkinkan bahaya residu tinggi
seperti kandungan aflatoksin dari aktifitas kapang. Hal tersebut menjadi beresiko
terlebih karena ternak unggas merupakan hewan monogastrik. Menurut standard
Food and Drugs Administration (FDA) aflatoksin pada jagung untuk pakan
diperbolehkan hingga 20 ppb, demikian juga untuk batas konsumsi manusia yakni
maksimum 20 ppb. Standar international mempersyaratkan toleransi maksimum
residu aflatoksin pada daging dan telur hanya 0.02 ppb.
Penerapan sistem manajemen keamanan pangan pada industri pakan dimulai
dari pengawasan bahan baku yang masuk sampai pengelolaan produk pakan jadi.
Quality control melakukan pengawasan pada setiap unit dan melaksanakan
penjagaan terhadap kemungkinan bahaya keamanan pangan yang masuk ke dalam
produk. Pengawasan dilakukan berdasarkan informasi bahan berbahaya yang
digunakan pada produk pakan. Bahaya pangan yang bersifat fisik, kimia dan
biologis menjadi perhatian pengelolaan sistem. Pengetahuan mengenai sistem
manajemen keamanan pangan dan penerapannya pada industri dapat menjadi
dasar dalam pengelolaan produksi pakan yang aman.

2

Tujuan
Tujuan penelitian ini dilakukan adalah meminimalkan resiko keamanan
pangan pada sistem manajemen produksi pakan serta merekomendasikan
kondisi optimal pada sistem produksi industri pakan untuk keamanan pangan.
Beberapa sasaran antara yang dicapai adalah :
a. Analisis proses produksi pakan untuk mengetahui tingkat keamanan pangan
pada produk pakan
b. Mengidentifikasi bahan berbahaya bagi pangan pada produk pakan
c. Mengevaluasi dan mengoptimalkan keamanan pangan dari sistem produksi
pakan
d. Merekomendasikan kondisi optimal keamanan pangan pada proses produksi
industri pakan ternak.
Ruang Lingkup
Adapun batasan dan ruang lingkup dalam studi kondisi optimal keamanan
pangan pada industri pakan adalah sebagai berikut :
a. Studi pengelolaan produksi berbasis manajemen keamanan pangan ini
difokuskan pada rantai pasok yang berada dalam stakeholder unit
penerimaan, quality control dan produksi.
b. Studi manajemen keamanan pangan pada industri pakan ini membahas
mengenai proses pengelolaan produksi pakan unggas untuk mencegah
kemungkinan masuknya bahaya pangan yang bersifat fisik, kimia maupun
biologis.
c. Studi sistem manajemen keamanan pangan untuk industri pakan unggas ini
dapat memberikan data dan informasi bahan berbahaya bagi pangan yang
digunakan pada produk pakan dan kemungkinan terikut pada produk hasil
peternakan.
d. Studi sistem manajemen keamanan pangan pada industri pakan dapat
memberikan gambaran penerapan sistem pengelolaan produksi pakan yang
memenuhi persyaratan kemanan pangan standar internasional.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Industri Pakan
Industri pakan ternak di dalam negeri sangat berperan mendukung industri
peternakan dalam menyediakan ketersediaan konsumsi ptotein bagi masyarakat.
Berkembangnya industri peternakan menyebabkan meningkatnya permintaan
terhadap pakan, karena industri pakan ternak memiliki keterkaitan ke depan
(forward linkage) berhubungan dengan output pakan yang digunakan sebagai
makanan ternak dan keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang
berhubungan dengan kebutuhan akan input pakan terutama jagung.
Kementerian Perindustrian mencatat pertumbuhan industri pakan ternak
pada tahun 2014-2015 melambat seiring dengan fluktuasi nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat yang mempengaruhi pembelian bahan baku,
kondisi tersebut diperhitungkan menekan kinerja pertumbuhan industri pakan

3

ternak dari 15% menjadi 12%. Namun secara umum industri pakan ternak
nasional cukup memiliki peluang yang baik. Dilihat dari tingkat produksi, industri
pakan ternak mengalami pertumbuhan rata-rata 8.4% dalam periode lima tahun
terakhir.
Ketergantungan impor bahan baku pada industri pakan ternak adalah tinggi
hingga 80%, sejalan dengan rendahnya produktivitas bahan baku di dalam negeri.
Industri pakan ternak masih harus mengimpor jagung sebagai salah satu bahan
baku, meski tingkat kebutuhannya di dalam negeri tinggi, sebagaimana disajikan
pada Gambar 1 terlebih lagi kontribusi penggunaan jagung sebagai bahan baku
pakan ternak diperkirakan berkisar 50-51%.

Gambar 1 Kebutuhan jagung untuk pakan di Indonesia (Kementan 2015)
Kebutuhan bahan baku masih tergantung impor, terutama jagung dari
Amerika dan Brasil. Tingginya harga bahan baku impor, mengakibatkan harga
pakan ternak di pasar domestik melambung. Pemerintah dalam jangka pendek
akan mendorong pabrik pakan ternak yang selama ini masih menggunakan bahan
baku impor sebagai campuran, untuk menggunakan bahan baku lokal guna
menurunkan harga pakan ternak di dalam negeri.
Menurut data dari Gabungan Produsen Makanan Ternak (GPMT) di
Indonesia terdapat 42 pabrik pakan ternak yang masih aktif hingga 2008.
Sebelumnya terdapat 50 perusahaan, namun 8 di antaranya sudah menghentikan
operasionalnya. Kapasitas produksi pakan pada Tahun 2016 mencapai 21.14 juta
ton dan diproyeksikan terus meningkat sebagaimana Tabel 1 dan Lampiran 2.
Tabel 1 Proyeksi kebutuhan pakan unggas
Tahun

Kebutuhan
Kebutuhan Bahan Baku Pakan (juta ton)
Pakan (juta Jagung Bungkil Dedak/
Tepung CPO Mineral
ton)
Kedele
Onggok Ikan
Premix
2015
19.24
9.62
3.46
2.89
0.96
0.58 0.38
2016
21.14
10.57
3.81
3.17
1.06
0.63 0.42
2017
23.23
11.62
4.18
3.48
1.16
0.70 0.46
2018
25.54
12.77
4.60
3.83
1.28
0.77 0.51
2019
28.06
14.03
5.05
4.21
1.40
0.84 0.56
Total
117.21
58.61
21.10
17.58
5.86
3.52 2.33
Keterangan : Asumsi 1% ayam lokal dan 6% itik mengkonsumsi pakan pabrikan
Sumber : Renstra Direktorat Pakan, Kementan RI (2015-2019)

Bahan
lain
1.35
1.48
1.63
1.79
1.96
8.21

4

Setidaknya 83% produksi pakan dialokasikan untuk unggas, 7% untuk
budidaya ikan, 6% untuk babi, 1% untuk pakan ternak lainnya. Di Indonesia,
unggas memiliki proporsi populasi terbesar dari distribusi hewan ternak,
sebagaimana disajikan pada Tabel 2 pilar perunggasan Indonesia saat ini adalah
pabrik pakan, breeding farm, bandar ayam, dan peternak yang saat ini kondisinya
belum harmonis satu sama lain.
Tabel 2 Distribusi jenis ternak di Indonesia (dalam 1000 ekor)
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Jenis Ternak
Sapi Perah
Sapi Potong
Kerbau
Kambing
Domba
Babi
Kuda
Ayam Buras
Ayam Ras Petelur
Ayam Ras Pedaging
Itik

Tahun 2015
518.65
15,419.72
1,346.92
19,012.79
17,024.68
7,808.09
430.40
285,304.41
155,007.39
1,528,329.18
45,321.96

Tahun 2016
533.86
16,092.56
1,386.28
10,608.18
18,065.55
8,115.49
437.57
298,672.97
162,051.26
1,592,669.40
47,359.71

Sumber : Kementerian Republik Indonesa (2016 diolah).

Saat ini industri pakan ternak berskala besar tersebar pada 8 provinsi di
Indonesia. Sumatera Utara memiliki 8 pabrik, Lampung ada 4 pabrik, Banten
ada10 pabrik, DKI Jakarta 4 pabrik, Jawa Tengah 1 pabrik, Jawa Barat terdapat 4
pabrik, Sulawesi Selatan 2 pabrik, dan paling banyak terdapat di Jawa Timur
mencapai 15 pabrik. Wilayah Jawa Timur merupakan sentra industri pakan ternak
dan peternakan terbesar di Indonesia.
Menurut Purba (1999), kecenderungan pertumbuhan pabrik pakan ternak
hingga saat ini telah membentuk oligopoli ditunjukkan dengan adanya (1)
proporsi produksi pakan dari pabrik pakan berskala besar yang berjumlah delapan
pabrik (12%) memiliki pangsa pasar 40-60%, (2) perusahaan peternakan skala
besar seperti PT. Japfa Comfeed, PT. Charoen Phokpand, PT. Cargill, PT. Anwar
Sierad, Group Subur, PT. Multi Breeder dan lain-lain melakukan integrasi
vertikal. Integrasi vertikal yang dimaksud adalah membangun bisnis pakan,
peternakan, dan pengolahan produk hasil ternak dalam satu group perusahaan.
Beberapa kapasitas produksi perusahaan pakan utama di Indonesia disajikan pada
lampiran 3. pada lampi Persaingan yang ketat antar perusahan, akan mengarahkan
persaingan dalam hal harga dan tentu saja kualitas. Dewasa ini pabrikan pakan
ternak berusaha menerapkan manajemen kualitas pakan yang meliputi :
a. Kualitas Nutrisi, aspek kualitas nutrisi ini terutama sekali berkaitan erat
dengan komposisi kimia, di mana kandungan kimianya harus mewakili
kebutuhan biologi ternak yang bersangkutan serta mempunyai dampak yang
nyata terhadap performa ternak. Nilai utama dari kualitas nutrisi pakan adalah
kandungan protein, energi, mineral, lemak dan vitamin;
b. Kualitas Teknis, aspek kualitas teknis berkaitan dengan karakteristik fisik,
ukuran kualitas secara teknis yang meliputi kekerasan/ketahanan pellet.
Kualitas teknik akan berpengaruh terhadap daya serap pakan, dan sangat
penting untuk industri pakan hewan peliharaan (Pet Animal);

5

c.

d.

Kualitas Emosional, aspek kualitas emosi terutama sekali berkaitan dengan
standar etika pabrikan untuk dapat meraih pasar dan membuat pembeda untuk
sebuah produk berdasarkan variasi komoditi, sehingga dapat berperan
signifikan untuk memberikan pertumbuhan yang cepat dibanding produk
terdahulunya. Misalnya dengan kualitas plus (omega-3, vitamin E, non
kolesterol, pakan organik, dan lain-lain).
Kualitas Keamanan, aspek kualitas kemanan berkenaan erat dengan standar
keamanan penggunaan pakan untuk ternak, manusia dan lingkungan,
kontaminasi mikrobiologi, kemanan pekerja pada proses produksi. Kendali
kualitas keamanan berada pada standar GMP dan HACCP.
Teknologi Proses Produksi Pakan

Industri pakan unggas di Indonesia menghadapi permasalahan cukup rumit
pada pengadaan bahan baku. Jagung pasokan dalam negeri memiliki kualitas
kurang memadai di mana kadar air dapat mencapai 30% dengan kandungan
kapang sangat tinggi. Penggunaan jagung impor akan meningkatkan biaya
produksi. Untuk mengatasi hal tersebut, industri pakan unggas melengkapi sistem
produksinya dengan mesin pengering (Corn Dryer). Resiko keamanan pangan
dapat timbul dari proses pengeringan yang tidak sempurna, di mana potensi besar
jagung ditumbuhi kapang.
Kebutuhan protein dalam formulasi dipenuhi dengan tepung kacang kedele,
tepung ikan, dan sejumlah asam amino yang ditambahkan. Pada tingkat penelitian,
Sukaryana et al. (2011) mencoba penggunaan bungkil inti kelapa sawit yang
dicampur dengan dedak. Bahan-bahan seperti tepung kedele, tepung ikan, bungkil
inti kelapa sawit, dan dedak dalam sistem industri dimasukkan ke dalam Mixer
Utama. Dengan demikian mixer-utama dapat menjadi sumber resiko keamanan
pangan apabila bahan yang dimasukkan tidak memenuhi persyaratan. Tepung
kedele dan bungkil kelapa sawit berpotensi mengandung aflatoksin dari kapang,
sementara tepung ikan mengandung histamin (biogenik amin).
Bahan-bahan seperti asam amino, vitamin, dan obat-obatan hewan
umumnya dicampur terlebih dahulu dalam mixer kecil dan produknya dinamakan
pre mix. Produk pre mix tersebut disesuaikan dengan jenis produk yang ingin
dibuat, di mana peruntukannya bagi anak unggas, pertumbuhan (growth
promotor), unggas petelur, bahkan dapat untuk pesanan khusus saat wabah
penyakit hewan. Resiko yang timbul dari tahap pre mixing adalah kesalahan
penimbangan yang mengakibatkan kelebihan kadar obat-obatan yang dicampur.
Menurut Abdurrahman et al. (2010), proses mixing adalah mencampurkan
bahan utama jagung, tepung ikan, dedak, bungkil kelapa sawit, minyak sawit, dan
bahan pre mix. Setelah bahan dicampur sempurna, maka dimasukkan ke dalam
proses granulasi. Granulasi adalah proses pembentukan pakan menjadi bentuk dan
ukuran tertentu. Pada proses granulasi, pembentukan granul dibantu menggunakan
steam yang akan memperkuat perekatan bulir. Resiko keamanan pangan yang
dapat timbul dari proses granulasi adalah kenaikan kadar air bulir sehingga produk
akhir potensial ditumbuhi kapang dan logam berat yang berasal dari steam. Untuk
mengatasi kemungkinan pertumbuhan kapang, pada tahap ini biasanya
ditambahkan methylene blue.

6

Proses selanjutnya adalah bagging di mana resiko keamanan pangan dapat
dikatakan relatif kecil. Secara ringkas proses produksi beserta resiko keamanan
pangan pada sistem industri pakan unggas dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir proses produksi pakan unggas dan potensi resiko
keamanan pangannya (Tsaniah et al. 2014)
Penerimaan Bahan Baku Jagung
Bahan pakan merupakan segala sesuatu yang dapat dimakan, dicerna dan
diserap baik oleh ternak tanpa menimbulkan keracunan bagi ternak itu sendiri.
Berdasarkan kandungan seratnnya bahan makanan ternak dapat dibagi menjadi
dua kelompok yakni konsentrat dan hijauan. Sukria dan Krisnan (2009) mencacat
bahwa konsentrat yang berasal dari tanaman seperti serealia (jagung; padi),
kacang-kacangan, umbi-umbian dan buah-buahan (kelapa kopra dan kelapa
sawit). Sedangkan tepung ikan, tepung daging dan tepung tulang juga merupakan
konsentrat yang berasal dari hewan.
Setiap perusahaan pakan melakukan pengendalian terhadap mutu bahan
baku jagung pipil yang dibeli. Pengendalian dilakukan dengan melakukan
pengawasan mutu terhadap dua parameter yakni kadar air dan keberadaan kapang.
Kadar air diukur secara kuantitatif, sementara keberadaan kapang dilihat
menggunakan sinar ultra violet. Menurut JECFA (1998), kadar air erat kaitannya
dengan keberadaan kapang yang menghasilkan aflatoksin. Kapang adalah
mikroorganisme yang dapat bertahan hidup hingga kadar air 7%. Namun
demikian, perusahaan pakan masih bersedia menerima jagung dengan kadar air
maksimal 30%.
Pada Tabel 3 disajikan persyaratan mutu bahan baku ransum ternak terkait
dengan aflatoksin yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian RI. Toleransi
maksimum untuk pangan dan pakan adalah 20 ppb; pada daging dan telur 0.02
ppb; dan 0.001 ppb pada susu (Iswari 2008). Standar Internasional memberikan
ketentuan kadar aflatoksin yang diperbolehkan untuk bahan pangan dan pakan
ternak hanya 20 ppb, sedangkan untuk daging lebih rendah yaitu 0.02 ppb dan
susu 0.001 ppb. Kesepakatan terbaru tentang batas maksimum kadar aftatoksin
yang diperbolehkan pada semua komoditas yang diperdagangkan di pasar dunia
hanya 15 ppb, terutama di Amerika dan Eropa.

7

Kandungan aflatoksin pada biji jagung di Indonesia berkisar antara 10-300
ppb, sedangkan kadar maksimal berdasarkan standar SNI adalah 50 ppb dan
menurut FDA 100 ppb. Batas ambang maksimum untuk beberapa mikotoksin lain
seperti fumonisin adalah 5-100 ppm, zearalenon 1-200 ppm, dan trikotesena
(deoksinivalenol) 5-10 ppm untuk jagung. Batas ambang tersebut juga bergantung
pada jenis hewan (FAO 1997).
Tabel 3 Kadar aflatoksin dalam persyaratan mutu bahan baku ransum pakan
Bahan Baku Pakan
Canola meal
Rapseed meal
Bungkil biji bunganmatahari
Bungkil biji kapuk
Jagung
Corn Gluten Meal

Aflatoksin Maksimum (ppb)
100
100
90
100
50
50

Sumber : Dirjen Peternakan (2015)

Bahan baku masuk ke dalam pabrik menggunakan truk. Rosentrater dan
William (2004) mendiskusikan rancangan system elevator untuk mengangkut
bulir jagung ke hooper. Kapasitas hooper penampung truk antara 25 hingga 50
ton, sementara penimbangan umumnya menggunakan jembatan timbang. Bahan
tambahan mikro seperti mineral, umumnya diangkat secara pneumatik dalam bin
penyimpanan. Dipergunakan blower dengan laju transfer pneumatik udara antara
4000 dan 5000 kaki/menit.
Bahan-bahan tersebut selanjutnya didistribusikan menggunakan berbagai
peralatan seperti bucket elevator, pembagi dengan gravitasi, belt conveyor,
konveyor rantai, dan konveyor ulir. Rosentrater dan William (2004) menghitung
kapasitas konveyor ulir sebagai berikut :

di mana Q adalah kapasitas volume (ft3/menit), Dh adalah diameter ulir helik
bertingkat (inci), Ds diameter shaft ulir (inci), P adalah panjang pitch sejauh ulir,
N adalah laju rotasi ulir (putaran per menit), dan C1 adalah faktor konversi 1728
(in3/ft3).
Pengeringan Jagung
Jagung yang dibeli dengan kadar air melebihi 14%, akan dimasukkan ke
dalam mesin pengering (corn dryer). Menurut Islam et al. (2004) proses
pengeringan jagung merupakan proses kompleks, di mana biasanya bergantung
pada pengalaman operator. Pengeringan jagung hingga kadar air 14% umumnya
dilakukan oleh industri pakan berskala besar (Mulyantara et al. 2008).
Pengeringan jagung basah hasil panen dilakukan pada pengolahan pasca
panen dalam bin dengan lantai miring. Udara pengering pertama kali dimasukkan
dari bawah bin dialirkan ke atas sekitar 30-60 jam, lalu arah aliran udara dibalik
selama 30-50 jam. Temperatur udara naik biasanya 35-40.5°C, dan udara dari atas

8

40.5-46°C, tergantung dari genotif biji dan kadar air awal bulir. Laju udara
berkisar antara 15-40m3 min-1 m-2 baik udara ke atas maupun ke bawah (Islam et
al. 2004).
Di Industri pakan, jagung umumnya dikeringkan ulang untuk memperoleh
kadar air yang relatif seragam. Mesin pengering yang dipergunakan adalah mesin
pengering sinambung (continuous) dengan jaring bergerak (moving net).
Temperatur pengeringan menjadi faktor kritis, umumnya pada 40-70°C. Jagung
mengering hingga kadar air kurang dari 10% pada temperatur 40-45°C dan daya
kecambahnya tidak rusak, tetapi bila dikeringkan dengan temperatur 50°C maka
daya kecambahnya akan rusak, sementara pada temperatur 60°C akan tidak dapat
berkecambah sama sekali. Takhar dan Shuang (2010) mempelajari pengeringan
kadar air di bawah 47% pada 40°C pada pengering unggun konvensional, setelah
72 jam, temperatur bulir tampak seragam, kandungan kadar air antara 8%-12% di
dasar unggun, dan kemampuan berkecambah tidak terpengaruh.
Menurut Correa et al. (2011), penurunan pada kandungan air bahan akan
mengurangi aktifitas biologis, begitu juga aktifitas kimia dan fisik selama
penyimpanan. Proses pengeringan faktanya mempengaruhi aktifitas mikrobiologi,
enzim, dan mekanisme metabolit.
Pengendalian kadar air dan temperatur jagung selama penyimpanan
merupakan cara efektif untuk mencegah pembusukan, serangga, kehilangan berat,
dan kondisi buruk. Pada keseimbangan kadar air dan kelembaban udara tertentu,
aktifitas kapang dan serangga dapat ditekan. Jagung yang disimpan walaupun
telah dikeringkan hingga kadar air standar masih dapat menjadi busuk, apabila
tidak segera didinginkan. Temperatur yang tidak beraturan tersebut akan
menyebabkan uap air terkumpul di atas silo, dan memungkinkan untuk
pertumbuhan kapang maupun serangga (Sapkota et al. 2007).
Penggilingan Jagung
Bulir jagung yang telah kering selanjutnya dikecilkan ukurannya, sebelum
dimasukkan ke dalam formulasi sebagai bahan pakan. Ukuran pecahan jagung
disesuaikan besarnya dengan peruntukan kelompok konsumen ternak unggas.
Ukuran lebih besar dapat dikonsumsi oleh ternak unggas dewasa, sementara untuk
anak ayam diberikan pecahan jagung lebih kecil.
Menurut Chuanzhong et al. (2012) sebagai alat pengecilan ukuran, hammer
mills dipergunakan secara luas pada industri pangan dan pakan karena
keuntungannya yakni produktifitas tinggi dan fleksibel menggiling berbagai jenis
produk. Peralatan hammer mill umumnya dilengkapi dengan ayakan atau penapis
baik saat bulir jagung diumpankan ke dalam mesin maupun setelah dihasilkan
serpihan jagung.
Penggilingan jagung memungkinkan partikel untuk mudah dicerna
(Ravindran et al. 2006). Amerah et al. (2007) mengindikasikan bahwa broiler
muda (usia 1-10 hari) lebih suka pakan dengan ukuran partikel antara 860 µm dan
2,000 µm serta cenderung meninggalkan partikel lebih kecil dari 860 µm dan juga
yang lebih besar dari 3,180 µm. Svihus et al. (2002) melaporkan bahwa yang
terbaik bagi pakan broiler adalah diameter geometrik rata-rata bulir antara 1,130
dan 1,230 µm bergantung pada serealia yang dipergunakan (jagung, gandum, atau
shorgum).

9

Ukuran umum hammer mill berdiameter 750 inci, area penapis 7,000 inci2,
laju operasi 3,600 rpm, laju efektif pemipilan lebih dari 21,000 ft.menit dan
membutuhkan tenaga lebih dari 600 HP. Sebagian besar hammermill diinstalasi
dengan suatu sistem udara, tersedia saluran masuk udara (untuk mengendalikan
udara dalam proses) terintegrasi dengan hammermill, dilengkapi aliran udara,
penapis dan diluar mesin dipasang pengumpul debu. Sistem umumnya
memerlukan 1-2 m3/inci2 area penapis. Konveyor di bawah hammermill
(umumnya konveyor ulir tunggal) dipasang setidaknya 18 inci di bawah
pengeluaran hammermill. Di bawahnya lagi dapat dipasang konveyor untuk
mengatur setidaknya lebih dari 10 ft2 agar aliran udara optimal (Rosentrater dan
William 2004).
Tingkat kekasaran jagung yang dimasukkan ke dalam formulasi pakan
menurut Stark dan Jones (2009) dapat mengurangi populasi bakteri merugikan
dalam usus ternak. Jumlah Enterobakteri kolon menurun drastis hingga tak
terlacak, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Perbandingan populasi bakteri pada usus ternak dari pemberian pakan
dengan tingkat kekasaran bulir jagung berbeda (Stark dan Jones 2009
diolah)
Pencampuran awal (Pre Mixing)
Pre mixing atau pencampuran awal adalah istilah yang dipergunakan untuk
proses mencampur beberapa bahan tambahan pakan (feed ingredients) lebih awal,
sebelum dicampurkan ke bahan utama pakan yakni jagung giling dan sumber
konsentrat protein lainnya. Menurut Lefferts et al. (2007) sejumlah bahan
tambahan pakan perlu mendapat perhatian karena terkait dengan kesehatan
masyarakat di antaranya adalah: a) SRM (Specified Risk Materials) yakni zat yang
dapat menyebabkan penyakit sapi gila (Bovine spongiform encephalopathy);
b) protein dari hewan mamalia dan unggas, baik berupa darah atau jeroan sisa;
c) antimikroba; d) lemak hewan; e) arsen yang dipakai pada zat tumbuh,
memperbaiki pigmen dan efisiensi makan; dan f) mineral dan campuran mineral.
Selain itu pada feed ingredients catalogs, dikenal pula produk dengan penggunaan
khusus seperti L-Lysine, L-Threonine, Xantan Gum, Asam laktat dan sitrat, isolat
protein kedelai, tokoferol campuran, lesitin, dan gluten gandum.

10

Inggris melalui food standard agency mengeluarkan panduan pada tahun
2014 mengenai bahan tambahan yang boleh dimasukkan ke dalam formulasi
pakan di antaranya adalah: a) vitamin; b) unsur mikro seperti besi, iodin, kobalt,
tembaga, mangan, seng, molibdat, selenium (catatan bahwa tidak semua senyawa
dari unsur ini boleh dimasukkan); c) urea; d) pengawet (seperti asam propionat);
dan e) tambahan silase. Kelompok bahan lain yang juga masih diijinkan adalah
antioksidan, emulsifier, stabilizer, pengembang, bahan gel dan pengikat, anti busa,
pengatur keasaman (seperti natrium bikarbonat), pewarna, penetral, cita rasa, asam
amino dan garam analognya, penguat daya cerna (enzim), bahan yang cocok bagi
lingkungan, bahan untuk pengendali kontaminasi radionuklida, kokidiostat dan
histomonostat. Bahan seperti natrium hidroksida dipakai untuk melunakkan bulir
tak disarankan sebagai aditif, hanya untuk perlakuan saja.
Kunci proses pre mixing terletak pada akurasi penyusunan formula dan
penimbangan bahan aktif. Diperlukan tingkat ketelitian alat ukur yang sangat baik
untuk memastikan bahwa bahan yang akan dipergunakan benar-benar sesuai
dengan takaran yang dikehendaki (Abudabos et al. 2013)
Peralatan yang dipergunakan umumnya mixer ukuran kecil, antara 50-500
kg. Untuk bahan dasar cair digunakan mixer cair, namun bila bahan dasarnya
bubuk digunakan tumbler mixer. Kecepatan mixer cair umumnya diatur pelan
hingga medium untuk menghindari vortex.
Pencampuran (Mixing)
Pencampuran bertujuan untuk mencampur semua bahan baku dan bahan
tambahan dengan komposisi tertentu untuk menjadi pakan. Pencampuran
dilakukan berdasarkan formula atau ramuan pakan ternak yang akan diproduksi.
Sebelum dicampur semua bahan ditimbang dengan timbangan otomatis yang
terdapat diatas mesin pencampur dan kemudian dicurahkan ke dalam mesin
pencampur (mixer) untuk dicampur dan diaduk dengan CPO (Crude Palm Oil),
dan pre mix. Garam biasa dipergunakan sebagai mikronutrien untuk menguji
kinerja mixer.
Sebagai aturan umum, minimum waktu pencampuran untuk mixer pakan
vertikal (single auger) adalah 10-15 menit. Pada perusahaan pakan, standar
keseragaman pencampuran biasa dinyatakan sebagai koefisien keragaman
(coefficient of variation - CV) yang nilainya 10 atau kurang. Bila CV di atas 10%,
maka waktu pencampuran perlu ditambah dan/atau system perlu diperiksa, dicari
penyebab kegagalan distribusi bahan pakan tersebut. Tabel 4 menyajikan panduan
evaluasi variasi dalam waktu pencampuran.
Tabel 4 Panduan evaluasi keragaman dalam waktu pencampuran
CV

Jenjang

< 10%
10-15%
15-20%

Sangat Baik
Baik
Cukup

Tindakan Koreksi

Tidak ada
Tambahkan waktu pencampuran antara 25-30%
Tambahkan waktu pencampuran hingga 50%, perhatikann
pemakaian alat, kelebihan muatan atau urutan dari
penambahan bahan pakan
> 20%
Buruk
Mungkin gabungan dari kasus di atas. Konsultasikan pada
pembuatan peralatan
Sumber : Stark dan Jones (2009)

11

Ada beberapa macam mixer yang dipergunakan pada industri pakan dengan
berbagai penggunaan yang luas yakni,

Vertical Mixer – dipergunakan pada pabrik kecil, berisi sebuat vertical
screw yang mengambil bahan dari atas jatuh kebawah dan balik lagi
berulang-ulang;

Horizontal Mixer – memiliki sudu atau bilah pada suatu rotor horizontal,
mixer ini umumnya memiliki homogenitas paling konsisten dan waktu
pencampuranpun rendah.
Menurut Rosentrater dan William (2004), Mixer dengan pengaduk pita
memiliki berbagai macam ukuran, tapi dapat dikonstruksi dengan kapasitas
sebesar 700 ft3 per menit. Sebagian besar dioperasikan dengan laju mendekati 40
rpm. Kunci operasi mixer adalah waktu siklus pengadukan, termasuk waktu untuk
memuat (dari timbangan curah), waktu pencampuran, waktu pembongkaran, dan
waktu tunggu diisi lagi. Sebagian besar mixer memiliki waktu siklus antara 5-10
menit, tergantung efisiensinya, dengan kapasitas pencampuran 6-12 ton per jam.
Kapasitas produksi dihitung tergantung pada :

Di mana Q adalah volume yang melalui mixer (ton/jam), C adalah volume efektif
mixer (ton), E adalah efisiensi proses pencampuran (%, ditulis dalam bentuk
decimal), C1 adalah faktor konversi dari 60 (menit/jam), Tf adalah waktu untuk
mengisi mixer dari timbangan curah (menit), Tm adalah waktu yang dibutuhkan
untuk mencampur (menit), Te waktu yang diperlukan untuk mengkosongkan
mixer dan Td waktu henti antar curah.
Pembutiran (Pelleting)
Pembutiran bertujuan untuk membetuk hasil pencampuran menjadi bentuk
pellet, hasil pencampuran terlebih dahulu dipanaskan dengan uap panas bersuhu
98oC yang dialirkan ke dalam chamber pellet sehingga bentuk bahan tersebut
menjadi bubur panas. Bubur panas ini kemudian dialirkan menuju hygieneser
yang suhunya 92oC dan bertujuan untuk menghigieniskan pakan, kemudian
dialirkan menuju cetakan berbentuk lingkaran dengan saringan berdiameter 3-5
mm yang terdapat di ujung mesin pellet dan ditekan keluar melalui saringan
tersebut.
Pelet umumnya berukuran diameter 10/64” hingga 48/64” dan dapat lebih
panjang lagi daripada diameternya. Sejumlah kecil produksi ukuran peletnya lebih
besar dihasilkan dalam bentuk silinder, ada juga triangular, kotak, oval atau
bentuk-bentuk lainnya. Alasan paling logis pembentukan pelet adalah :
a) dibangkitkan dalam kondisi panas dan pellet menjadi pati yang lebih mudah
dicerna; b) pellet lebih mudah dimampatkan untuk disimpan, dan c) pellet
mengurangi limbah saat diumpankan kepada ternak.
Saat mengkombinasikan kelembaban, panas, dan tekanan pada bahan pakan,
dihasilkan suatu derajat gelatinisasi yang memungkinkan ternak memanfaatkan
gizinya. Hasil pengepresan adalah pakan berbentuk bulat memanjang dengan
diameter yang sesuai dengan diameter saringan pellet. Selanjutnya, pakan

12

dipotong sesuai ukuran oleh pisau-pisau yang bergerak secara otomatis. Hasil dari
proses ini berbentuk butiran-butiran yang disebut pellet. Pellet kemudian dialirkan
melalui pipa ke mesin pendinginan (cooler).
Beberapa kondisi yang sering dijadikan pengukuran efisiensi dan mutu dari
operasi pembentukan palet adalah gesekan (friksi), kehalusan, penyusutan,
pemilihan cetakan, dan laju pencetakan. Beberapa faktor yang mempengaruhi
friksi menurut Rosentrater dan Williams (2004) adalah :
1. Kelembaban yang ditambahkan dari bahan tambahan seperti Steam,
molase basah atau justru air. Penambahan kelembaban dapat saja
menyebabkan pellet memisah dan tidak meningkatkan mutu ataupun
produktifitas
2. Penyesuaian
3. Ukuran dasar ayakan dari bahan tambahan pakan;
4. Sifat fisik dari bahan tambahan pakan seperti mineral, bahan tambahan
larut air, dan mengandung serat.
Faktor lain yang terkait dengan friksi adalah ukuran cetakan terkait dengan
diameter celah dan ketebalannya. Friksi tinggi (lebih dari 300F) dihasilkan pada
cetakan yang dikurangi dan gerakan roda, sebagaimana perawatan bearing.
Kehalusan bahan dapat menghasilkan pellet rapuh akibat kualitas yang
buruk atau aus mekanis. Kehalusan adalah fungsi kelembaban dan friksi tinggi
atau partikel bahan pakan yang ukurannya lewat standar atau pengkondisiannya
buruk.
Penyusutan adalah kehilangan berat dari bahan tambahan pakan setelah
proses pellet. Kehilangan pada dasarnya disebabkan oleh kehilangan kelembaban
dan gesekan tinggi. Gesekan tingkat tinggi disebabkan oleh kehilangan
kelembaban akibat masuknya pellet panas pada pendinginan sehingga mengkerut.
Penyusutan sebaiknya tak lebih dari 2%, tapi normalnya penyusutan 1.5%
menyebabkan pellet rapuh (Briggs et al., 1999)
Laju pencetakan (RPM) adalah fungsi pakan yang akan dibentuk pellet.
Kualitas pellet buruk terjadi bila kecepatannya lebih tinggi. Secara umum, laju
1800 feet/menit adalah kondisi normal. Hal tersebut diukur di luar dari diameter
cetakan.
Pendinginan (Cooler)
Pendinginan bertujuan untuk menurunkan temperatur pellet dan mengurangi
kelembaban pada pellet akibat dipanaskan dengan uap panas di chamber pellet.
Karena pellet yang masih panas dan mengandung kadar air tinggi akan mudah
terserang jamur sehingga produk tidak tahan lama. Pellet didinginkan di mesin
pendingin (cooler) dengan bantuan dua blower, blower pertama mengalirkan
udara dingin ke pellet, sedangkan blower kedua menghisap dan mengalirkan udara
panas ke udara bebas.
Dari ruang pellet, pellet normalnya jatuh secara gravitasi ke dalam alat
untuk mendinginkan. Pelet akan meninggalkan mesin pellet hingga temperatur
190oF dan kelembaban 17-18%. Agar dapat disimpan dengan baik, pellet harus
diturunkan kadar ainya mencapai 10-12% dengan temperatur 15oF di atas suhu
ruang (Kostadinovic et al. 2013).

13

Sebagian besar pendingin dikelompokkan menjadi vertikal dan horisontal.
Pendingin vertikal dibuat dari dua kolom pellet ,berdampingan, ditahan posisinya
dengan jaring kawat di dua sisinya. Udara digerakkan melalui kolom pellet
menggunakan kipas. Model horisontal operasinya sama dengan model vertikal
hanya pergerakan bahannya yang berbeda.
Penghancuran (Crumbling)
Untuk menghasilkan partikel pelet pakan lebih kecil dari 10/64”, secara
umum memerlukan suatu proses penghancuran. Pada proses ini, ukuran pellet
kecil dipecah di antara dua roll yang bergerak bersamaan. Set roll penghancur
biasanya dipasang langsung di bawah pendingin untuk mengurangi kebutuhan
pengendali laju.
Mesin penghancur dan rumahnya terbuat dari rangka baja. Roll
bergelombang umumnya berukuran diameter 8-12” dan panjang lebih dari 72”.
Roll bergelombang normalnya berjarak 6-12 per inci. Pengendalian ukuran dan
derajat kehancuran produk diatur melalui jarak rol tersebut. Disediakan celah
untuk mengeluarkan produk yang tidak ingin dihancurkan.
Pengayakan (Screening)
Proses pengayakan untuk memisahkan crumble yang sesuai dengan ukuran
yang melebihi ukuran. Ukuran saringan yang digunakan pada mesin pengayak
adalah 4 dan 6 mash. Pakan yang sesuai ukurannya langsung dicurahkan ke
penampungan untuk dikemas, sedangkan yang melebihi ukuran dibawa kembali
ke chamber pellet untuk diproses ulang. Diperkirakan 25-30% bahan halus akan
dikembalikan ke mesin penghancur untuk diproses ulang.
Mesin pengayak utama saat ini menggunakan kawat atau baja yang bekerja
secara guncangan, getaran, atau gelombang, Unit mesin dapat dibuat dengan baja
atau rangka kayu yang dihubungkan dengan motor penggerak.
Pengemasan (Packing)
Produk jadi, baik berupa tepung maupun butiran (pellet), dicurahkan dari
tempat penampungan (bin) masing-masing ke dalam karung plastik sambil
ditimbang di timbangan manual dengan berat 50 kg tiap karung atau ukuran lain
yang diinginkan. Kemasan produk jadi kemudian dijahit dengan mesin jahit secara
otomatis dan diangkut ke gudang produk jadi dengan forklift.
Kehilangan pakan dapat menjadi signifikan selama penyimpanan,
pencampuran dan tranportasi di feedyard, hilang karena angin dan cuaca, ulah
serangga, tikus dan burung. Kehilangan penyimpanan dalam silo dapat disebabkan
oleh kelembaban, kamasan, dan prosedur bongkar muat. Kekembaban yang
diinginkan adalah 60-70% untuk bahan pakan jagung atau 26-32% untuk
campuran jagung kelembaban tinggi. Tabel 5 menunjukkan beberapa kasus
kehilangan dalam penyimpanan pakan sebagaimana telah dirangkum oleh Lay
(2010).

14

Tabel 5 Beberapa Jenis Kehilangan saat Penyimpanan (Lay 2010)
Jenis Pakan
Pakan komersial kering
Komoditas kering- agak berbobot, dicampur dalam truk
Bulir modifikasi distilasi dan basah – ditimbang pada pabrik
etanol, di muat dan dibongkar ke penyimpanan
Bulir basah diperam – dimuat ke truk dan dicampur sebelum
dibongkar
Rumput alfalfa dicincang dikirim atau diumpankan ke tempat
makan
Silase jagung, disimpan di bunker
Jagung kelembaban tinggi
Tepung kedele – diumbruk potensi dihembus angin
Bulir modifikasi distilasi dan basah –disimpan dalam kantong atau
bunker (anaerob), ditimbang pada pabrik etanol, di muat dan
dibongkar ke penyimpanan

Penyusutan
0.3-0.7 %
2-4 %
2-3 %
15-20 %
4-10%
6-18%
2-9 %
8-9 %
7-17%

Sistem Manajemen Keamanan Pangan pada Pakan
Program jaminan mutu komprehensif pada pengendalian mutu produksi
pakan ternak didefinisikan dalam suatu set standar, jaminan mutu merujuk kepada
kebijakan, prosedur, dan pengendalian proses, sebagaimana pengawasan dalam
lini produksi untuk menjamin semua tolok ukur terpenuhi. Model program
jaminan mutu pakan, menurut Stark dan Jones (2009) mengandung enam
komponen : 1)Pembelian dan penerimaan bahan; 2)Pengendalian proses dan
produksi pakan; 3)Inspeksi produk jadi dan pelabelan; 4)Pengapalan dan
penyerahan; 5)Sanitasi dan pengendalian hama; 6)Investigasi produk pakan dan
penarikan produk.
Wiradarya (2006) menyatakan bahwa aspek-aspek permasalahan dan solusi
keamanan pangan produk peternakan ditinjau dari aspek pasca panen meliputi :
1) Sanitasi dan higien proses pengolahan pasca panen peternakan; 2) Bahan
tambahan pangan yang dipergunakan dalam produksi pangan asal ternak;
3) rekayasa genetic; 4) Iradiasi pangan asal ternak; 5) Kemasan pa