Analisis Genetik Dan Seleksi Hibrida Jagung Pada Kondisi Optimal Dan Suboptimal

ANALISIS GENETIK DAN SELEKSI HIBRIDA JAGUNG PADA
KONDISI OPTIMAL DAN SUBOPTIMAL

ANDI ADRIANI WAHDITIYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul analisis genetik dan
seleksi hibrida jagung pada kondisi optimal dan suboptimal adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016

Andi Adriani Wahditiya
NIM A253130011

RINGKASAN
ANDI ADRIANI WAHDITIYA. Analisis Genetik dan Seleksi Hibrida Jagung
pada Kondisi Optimal dan Suboptimal. Dibimbing oleh SURJONO HADI
SUTJAHJO, WILLY BAYUARDI SUWARNO, dan MUHAMMAD AZRAI.
Perakitan jagung toleran kondisi suboptimal (cekaman kekeringan) sangat
penting untuk perluasan jagung di lahan marjinal kering, terutama di luar Jawa.
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi penampilan hibrida silang uji pada
kondisi lingkungan pengairan optimal dan suboptimal (cekaman kekeringan),
menganalisis varian genetik dan heritabilitas karakter hasil pada lingkungan
pengairan optimal dan suboptimal (cekaman kekeringan), mengidentifikasi
hibrida yang toleran lingkungan suboptimal (cekaman kekeringan).
Percobaan ini dilakukan di Kalimantan Selatan (lingkungan optimal) dan
Sulawesi Selatan (lingkungan optimal dan suboptimal) pada bulan Mei 2014April 2015, menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor
tunggal dengan dua ulangan pada masing-masing lingkungan pengujian. Terdapat

14 parameter pengujian yakni tinggi tanaman, tinggi tongkol, rasio tinggi tongkol
terhadap tinggi tanaman, umur berbunga jantan, umur berbunga betina, anthesis
silking interval, plant aspect, husk cover, ear aspect, bobot tongkol kupasan,
rendemen, kadar air, produksi dan bobot seribu biji. Analisis data meliputi sidik
ragam per lingkungan dan gabungan antar lingkungan, analisis stress tolerance
index, serta analisis nilai heritabilitas.
Hasil analisis gabungan antar lingkungan menunjukkan bahwa genotipe
berpengaruh nyata terhadap parameter hasil. Berdasarkan analisis heritabilitas,
diperoleh hasil bervariasi mulai dari rendah-tinggi, baik pada analisis tiap
lingkungan maupun pada analisis lingkungan gabungan. Berdasarkan intensitas
seleksi 15% diperoleh 12 genotipe terbaik, dan dengan intensitas seleksi 10%
akhirnya diperoleh 5 genotipe terbaik (berdasarkan produksi tertinggi). Dari 230
genotipe yang diuji, terdapat 3 genotipe dengan kategori sangat toleran
kekeringan, 111 genotipe dengan kategori toleran moderat kekeringan, dan 116
genotipe dengan kategori peka (berdasarkan nilai stress tolerance index yang diuji
pada lingkungan yang berbeda). Genotipe pembentuk hibrida yang terpilih
merupakan genotipe yang dinilai potensial digunakan untuk pengembangan
jagung toleran cekaman kekeringan.
Kata kunci: Jagung hibrida, heritabilitas, keragaman genetik, dan silang uji.


SUMMARY
ANDI ADRIANI WAHDITIYA. Genetic Analysis and Selection of Hybrid Maize
in Optimum and Suboptimum Conditions. Supervised by SURJONO HADI
SUTJAHJO, WILLY BAYUARDI SUWARNO, and MUHAMMAD AZRAI.
Development of maize varieties tolerant to drought is important for
agricultural extensification to dry marginal lands, especially to those located
outside the Java island. The research objectives were to evaluate agronomic
performance, genetic variability and heritability of test crosses hybrids maize.
The experiments were conducted in South Kalimantan (optimum
condition) and South Sulawesi (optimum and suboptimum condition) from May
2014- April 2015. There were 14 traits evaluated, namely plant height, ear height,
plant height to ear height ratio, days to male flowering, days to females flowering,
anthesis silking interval, plant aspect, husk cover, ear aspect, number of grain
rows per ear, shelling percentage, ear weight, and grain yield. Data analyses
include: analyze of variance (by environment and combined over environments),
estimation of stress tolerance index, and analysis of heritability.
The results of combined analysis over environments showed that the
genotype factor significantly affected all observed traits. Heritability estimates
varied from low to high, both in the single and multiple environments analysis.
Selection based on ear yield with an intensity of 15% resulted in best 12

genotypes, whereas with a selection intensity of 10% resulted in best 5 genotypes.
From 230 genotypes tested, there are 3 highly drought-tolerant genotypes, 111
moderate drought tolerant genotypes and 116 drought sensitive genotypes, based
on the stress tolerance index. The parent of selected genotypes are considered
potential for developing new drought tolerant maize varieties.
Keywords: Hybrids maize, heritability, genetic variability, and test cross.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

ANALISIS GENETIK DAN SELEKSI HIBRIDA JAGUNG PADA
KONDISI OPTIMAL DAN SUBOPTIMAL


ANDI ADRIANI WAHDITIYA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tesis: Dr Desta Wirnas SP MSi

PRAKATA
Alhamdulillah dengan izin Allah Subhanahu wa Ta‟ala, penulis akhirnya
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Genetik Dan Seleksi Hibrida
Jagung Pada Kondisi Optimal Dan Suboptimal”, sebagai salah satu persyaratan
untuk menyelesaikan Program Strata-2 Program studi Pemuliaan dan

Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada komisi pembimbing
Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo MS selaku pembimbing I (ketua), Dr Willy
Bayuardi Suwarmo SP MSi selaku pembimbing II dan Dr Muhammad Azrai SP
MSi selaku pembimbing III, atas dukungan, arahan dan bimbingannya selama
penyusunan dan penulisan tesis ini.
Hal yang sama dihaturkan kepada Dr Desta Wirnas SP MSi atas saran,
kritikan dan koreksinya sebagai tim penguji, Dr Ir Yudiwanti Wahyu E.K. MSi
selaku ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman atas setiap
motivasi, nasihat dan kesempatan yang telah diberikan untuk melanjutkan yaitu
Program Magister (S2) Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih banyak kepada Dr Roy Efendi SP MSi dan Dr Amin Nur SP
Msi yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan ilmu dan arahan
kepada penulis.
Terima kasih yang tak terhingga serta khusus disampaikan kepada kedua
orang tua yang terkasih, Ayahanda Dr H Muhammad Yasin MP dan Ibunda Ir Hj.
Andi Rugaya MP atas setiap cinta yang terpancar dan doa restu yang teriring
serta kasih sayang sepanjang masa dari kedua orang tua penulis.
Kepada teman-teman seperjuangan yang senantiasa memberi semangat,

dukungan moral Dhian Eka Wijaya, Mar‟atus Sholihah, Umi Salamah, Dia
Hasanuddin, Eni Togatorop, Rahmi Henda Yani, Desi Ratna Sari, Aqlima, Ratna
Ningsih Tarrafanur, dan Yudia Azmi. Terima kasih yang terhingga atas bantuan
dan dukungannya.
Terima kasih banyak kepada pemberi beasiswa BPP-DN (calon dosen)
Dikti yang telah menjadi sponsor utama, atas semua pembiyaan selama hidup di
negri perantauan Bogor. Terima kasih kepada Balai Penelitian Serealia Maros
(BALITSEREAL) dan BPTP Kalimantan Selatan Selatan atas pendanaan
penelitian yang diberikan sehingga penelitian tesis penulis dapat berjalan dengan
lancar sesuai yang diharapkan.
Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi para penuntut ilmu, baik dalam bangku perkuliahan
maupun bidang penelitian, guna membina generasi muda penerus bangsa yang
lebih berkualitas dan berdaya saing.

Bogor, Maret 2016
Andi Adriani Wahditiya

DAFTAR ISI
RINGKASAN


ii

SUMMARY

iii

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Hipotesis Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

2 TINJAUAN PUSTAKA


3

Pemuliaan Jagung

3

Top Cross (Silang Puncak)

3

Cekaman Kekeringan pada Jagung

4

Respon Tanaman Jagung terhadap Cekaman Kekeringan

5

Mekanisme Toleransi Kekeringan pada Tanaman Jagung


6

3 METODE PENELITIAN

8

Tempat dan Waktu Penelitian

8

Bahan Penelitian

8

Bahan Tetua

9

Metode Seleksi Bahan Tanam

9

Metode Penanaman dan Emaskulasi

10

Rancangan Percobaan

11

Pelaksanaan Penelitian

11

Analisis Data

13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

15

Evaluasi Toleransi Kekeringan Hibrida Silang Uji pada Tiga Lingkungan
yang Berbeda

15

Analisis Gabungan Antar Lingkungan

23

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Saran

27
27

DAFTAR PUSTAKA

28

RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

5

6

7
8
9
10

11
12
13

14
15
14
15

Daftar genotipe jagung, asal dan kriteria tetua yang digunakan dalam
percobaan
Tabel sidik ragam rancangan acak kelompok lengkap teracak untuk
analisis tiap lingkungan
Tabel sidik ragam rancangan acak kelompok lengkap teracak untuk
analisis gabungan berbagai lingkungan
Nilai kuadrat tengah ulangan, genotipe, galat dan koefisien keragaman
karakter vegetatif dan pembungaan tanaman jagung pada pengamatan
tiga lingkungan yang berbeda
Nilai kuadrat tengah ulangan, genotipe, galat dan koefisien keragaman
karakter generatif dan produksi tanaman jagung pada pengamatan tiga
lingkungan yang berbeda
Nilai kuadrat tengah ulangan, genotipe jagung, galat dan koefisien
keragaman karakter produksi tanaman jagung pada pengamatan tiga
lingkungan yang berbeda
Korelasi antar peubah tanaman jagung pada kondisi optimal Sulawesi
Selatan
Korelasi antar peubah tanaman jagung pada kondisi suboptimal
(cekaman kekeringan) Sulawesi Selatan
Korelasi antar peubah tanaman jagung pada kondisi optimal Kalimantan
Selatan Selatan
Nilai heritabilitas tiap lingkungan untuk karakter vegetatif dan
pembungaan tanaman jagung pada pengamatan tiga lingkungan yang
berbeda
Nilai heritabilitas tiap lingkungan untuk karakter produksi tanaman
jagung pada pengamatan tiga lingkungan yang berbeda
Genotipe jagung terbaik berdasarkan parameter produksi (ton/ha)
tertinggi pada setiap lingkungan dengan intensitas seleksi 15%
Nilai kuadrat tengah lingkungan, ulangan (lingkungan), genotipe,
genotipe x lingkungan untuk semua karakter pengamatan tanaman jagung
pada gabungan tiga lingkungan yang berbeda
Nilai heritabilitas untuk gabungan semua lingkungan pada pengamatan
semua karakter tanaman jagung
Rataan pada pengamatan parameter vegetatif dan pembungaan untuk
masing-masing genotipe tanaman jagung terbaik
Rataan pada pengamatan parameter produksi untuk masing-masing
genotipe tanaman jagung terbaik
Korelasi Spearman antar lingkungan untuk semua karakter pengamatan
pada tanaman jagung

9
15
15

15

16

17
19
19
20

21
21
22

23
24
25
26
26

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Skema persilangan tetua untuk menghasilkan populasi
Diagram metode seleksi ear to row tanaman Jagung
Posisi penanaman jantan dan betina pada persilangan Mr 14 dan S2
Pedoman skor penutupan klobot pada Jagung
Diagram batang jumlah genotipe jagung pada setiap kategori nilai stress
tolerance index

8
10
10
12
23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nama genotipe jagung, varietas pembanding, dan tetua yang digunakan
dalam percobaan
2 Lengas tanah pada pertanaman jagung keadaan optimal dan suboptimal
3 Gambar pertanaman jagung di lapangan
4 Gambar lima genotipe jagung terbaik
5 Gambar tetua jagung dari populasi silang uji

35
36
37
38
40

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsep strategi pencapaian ketahanan pangan yang telah diluncurkan oleh
pemerintah meliputi tiga target yakni: penguatan distribusi dan penguatan harga
pangan, peningkatan ketersediaan dan penanganan rawan pangan serta percepatan
penganekaragaman konsumsi dan keamanan pangan. Khusus untuk mendukung
tercapainya target peningkatan ketersediaan dan penanganan rawan pangan maka
perlu dirintis suatu teknologi yang dapat meningkatkan produksi tanaman pangan
salah satunya adalah jagung.
Produksi jagung di Indonesia tahun 2014 sebanyak 19.03 juta ton pipilan
kering atau mengalami kenaikan sebanyak 0.52 juta ton (2.81 persen)
dibandingkan dengan tahun 2013 (Badan Pusat Statistik 2014). Sampai dengan
tahun 2015 produksi jagung nasional belum mampu memenuhi kebutuhan di
Indonesia baik itu sebagai pangan maupun sebagai pakan ternak. Hal ini bisa
terjadi disebabkan oleh penerapan teknologi produksi jagung yang belum
optimum, disamping itu juga karena adanya cekaman biotik dan abiotik
(Zubactirodin et al. 2008).
Tantangan dalam pengembangan tanaman pangan ke depan, khususnya
tanaman jagung adalah perubahan iklim yang mengakibatkan tanaman akan
sangat terganggu terutama akibat kondisi cuacayang suboptimal (cekaman
kekeringan). Kendala yang dihadapi pada cekaman kekeringan adalah tidak
tercukupinya air dalam tanah untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Pertumbuhan pada fase tertentu sangat berpengaruh besar terhadap hasil
(Mapegau 2001). Sehingga produktivitasnya rendah (Subandi 1988).
Kekeringan merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan air dalam
tanah dan tanaman dalam periode pertumbuhan tanaman sehingga berpengaruh
negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kebutuhan air untuk
pertumbuhan tanaman jagung bergantung pada keadaan iklim, metode pengairan
yang digunakan, dan varietas jagung yang ditanam. Menurut Dahlan (2001), agar
tanaman jagung dapat tumbuh baik, memerlukan curah hujan rata-rata 25
mm/minggu. Menurut Levit (1980) stress kekeringan pada tanaman disebabkan
oleh dua hal: (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran dan (2) laju
evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman. Faktor yang
pertama banyak dialami oleh tanaman yang ditanam pada lahan-lahan kering di
daerah tropis.
Kondisi suboptimum lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan
potensial untuk pembangunan pertanian Indonesia, khususnya tanaman jagung.
Wilayah dataran rendah yang tersebar terutama di Indonesia bagian timur, serta
sebagian di Jawa, Kalimantan dan Sumatera.
Di daerah tropis cekaman kekeringan mengakibatkan penurunan hasil
jagung sekitar 17-60%. Pertanaman jagung pada musim hujan umumnya diusakan
pada lahan kering sehingga di awal pertumbuhan mendapatkan cukup air dan di
akhir pertumbuhan mengalami kekurangan air. Pada musim kemarau diusahakan
pada sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Lahan pertanian tadah hujan terutama
diwilayah beriklim kering seperti di Indonesia seperti Indonesia bagian timur,

2

selalu terancam oleh resiko kekurangan air yang mengakibatkan penurunan dan
kehilangan hasil produksi (Ekmekei 2005).
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah perakitan
varietas jagung hibrida unggul baru toleran cekaman kekeringan. Seleksi galurgalur generasi awal yang sesuai dengan lingkungan target pengembangan
merupakan salah cara yang cukup efektif untuk memperbesar kemajuan seleksi
dan mempercepat perolehan varietas yang diinginkan (Banziger et al. 1997).
Penggunaan varietas unggul yang dihasilkan melalui program pemuliaan
atau seleksi sangat ditentukan oleh tersedianya keragaman genetik yang disebut
plasma nutfah (Monneveux et al. 2006; Al Badeiry et al. 2014). Berkaitan dengan
hal tersebut, pada penelitian ini akan dilakukan seleksi galur generasi awal yang
toleran terhadap kekeringan berdasarkan evaluasi hibrida silang ujinya pada
kondisi lingkungan pengairan normal di musim hujan dan evaluasi kekeringan di
musim kemarau.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengevaluasi penampilan hibrida silang uji pada kondisi lingkungan
pengairan optimal dan suboptimal (cekaman kekeringan).
2. Menganalisis varian genetik dan heritabilitas karakter hasil pada lingkungan
pengairan optimal dan suboptimal (cekaman kekeringan).
3. Mengidentifikasi galur-galur yang toleran lingkungan suboptimal (cekaman
kekeringan).

Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat satu atau lebih
genotipe yang menunjukkan respon toleran terhadap cekaman kekeringan,
sehingga memudahkan peneliti dalam menentukan tetua (yang berpotensi toleran
cekaman kekeringan), untuk dilanjutkan ke penelitian berikutnya.

Manfaat Penelitian
Genotipe silang uji terbaik dari hasil penelitian ini diharapkan, dapat
digunakan sebagai acuan untuk menentukan calon tetua yang berpotensi toleran
terhadap cekaman kekeringan. Evaluasi terhadap calon tetua terpilih dapat
dilakukan pada tahap penelitian berikutnya, sehingga nantinya dapat diidentifikasi
tetua yang dapat digunakan untuk perakitan jagung hibrida toleran cekaman
kekeringan.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pemuliaan Jagung
Strategi pemuliaan tanaman jagung untuk mendapatkan varietas unggul baru
adalah dengan cara persilangan dan seleksi berulang sebagai usaha pemuliaan
jangka panjang, introduksi dari luar negeri dan perbaikan populasi, serta seleksi
untuk stabilitas hasil dilakukan pada berbagai sentra produksi jagung. Untuk
mendukung terlaksananya kegiatan pemuliaan maka yang harus diperhatikan
terlebih dahulu adalah ketersediaan dari bahan genetik atau sumber daya genetik
yang beragam. Keanekaragaman plasma nutfah tanaman jagung digunakan
sebagai sumber gen bagi para pemuliaan untuk merakit varietas jagung yang lebih
unggul (Mejaya et al. 2003). Dalam upayah perbaikan genetik karakter yang
diinginkan melalui program pemuliaan perlu penambahan plasma nuthfah baru
guna meningkatkan keragaman dalam populasi (Surjono et al. 2005).
Peningkatan hasil tanaman dapat dicapai dengan penggunaan varietas
hibrida. Varietas hibrida dapat diperoleh dengan metode pemuliaan, salah satunya
dengan melakukan silang puncak dimana pola perkawinan silang puncak tersebut
melibatkan sejumlah persilangan dari galur atau kultivar yang menggunakan tetua
penguji. Tetua jantan digunakan sebagai penguji sedangkan tetua betina (galur,
kultivar) yang diuji dapat berupa mandul jantan, self incompatible atau
diemaskulasi sebelum kotak sari pecah (Stube 1980; Poespodarsono 1988).

Top Cross (Silang Puncak)
Silang puncak merupakan persilangan antara suatu galur/kultivar/varietas
dengan penguji. Pola perkawinan silang puncak melibatkan sejumlah persilangan
dari galur atau kultivar yang menggunakan tetua penguji. Silang puncak atau top
cross, adalah progeni hibrida yang dihasilkan melalui penyerbukan suatu galur
murni dengan suatu populasi yang menghasilkan pollen yang tercampur secara
genetik (Willy 2008) Tetua jantan digunakan sebagai penguji sedangkan tetua
betina (galur, kultivar) yang diuji dapat berupa mandul jantan, self incompatible
atau diemaskulasi sebelum kotak sari pecah.
Tanaman yang mampu memberikan informasi jelas tentang sifat yang diinginkan
bila dikombinasikan dengan tanaman teruji atau bila ditumbuhkan pada
lingkungan berbeda (Stube 1980; Poespodarsono 1988).Menurut Hallauer (1975)
silang puncak bertujuan untuk mengurangi jumlah galur yang terlalu besar yang
akan diuji untuk membentuk varietas unggul baru hibrida maupun multini hasil
tinggi. Silang puncak merupakan salah satu prosedur yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi galur-galur atau varietas yang potensial untuk dikembangkan lebih
lanjut.
Dengan analisis silang puncak akan dapat diperoleh informasi tentang peran
gen dan pada saat bersamaan dapat diketahui daya gabung galur-varietas dalam
kombinasinya (Singh and Chaudhary 1997).

4

Cekaman Kekeringan pada Jagung
Sebagian besar tanaman jagung (Zea mays L.) di Indonesia (79 % dari areal
pertanian jagung) ditanam pada lahan tegalan, sehingga ketersediaan air
tergantung pada curah hujan (Dahlan 2001). Tanaman jagung yang mengalami
cekaman air dapat mengalami kerusakan sel, kehilangan turgor, stomata tertutup,
daun tanaman menggulung kemudian layu, pertukaran gas terganggu dan akhirnya
tanaman tidak memberikan hasil pada kandungan lengas tanah yang sangat rendah
(Rashidi dan Seyfi 2007). Tanaman jagung yang mengalami kekeringan akan
berubah warna menjadi kuning pucat, daun tanaman menggulung seperti pensil
dan tidak sinkron waktu pembentukan malai dan keluarnya rambut (Edmeades et
al. 1992).
Fase perkecambahan dan fase vegetatif diduga merupakan fase yang sangat
sensitif dalam kaitannya dengan ketersediaan air, sebab dapat menghambat proses
pertumbuhan selanjutnya. Kekurangan air menghambat proses deferensiasi sel,
pembelaan sel, dan pembentangan sel pada jaringan meristematik sehingga
mengurangi jumlah biji. Jumlah biji yang terbentuk sangat ditentukan oleh jumlah
fotosintat yang dapat ditranslokasikan untuk pembentukan biji tersebut (Sasmita
1996; Jatoi et al. 2014). Masa kritis tanaman jagung terhadap kekeringan adalah
pada waktu tanaman berbunga, ketersediaan air pada waktu berbunga
berhubungan dengan hasil biji. Kekurangan air pada waktu berbunga dapat
mengurangi hasil sampai 22 % (Dahlan 2001). Cekaman air dapat mengurangi
tinggi tanaman, luas daun, berat tajuk dan berat akar tanaman jagung.
Tanaman jagung yang mendapat cekaman air selama dua minggu sejak
tanaman berumur tiga minggu segera memberikan tanggapan yang cepat
sedangkan tanaman sorgum tanggapannya lebih lambat. Semakin tinggi cekaman
air mengakibatkan makin rendahnya transpirasi dan meningkatnya ketahanan
difusi daun (Sutoro et al. 1989).
Kekeringan, merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman (Farooq et al. 2009). Menurut (Levitt 1980; Bray 1997)
kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa tanaman mengalami
kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungan yaitu media tanam,
sedangkan Mathius et al. (2001) menyatakan bahwa kekeringan disebabkan
karena (1) kekurangan suplai air di daerah sistem perakaran dan (2) permintaan air
yang berlebihan oleh daun karena laju evapotranspirasi lebih tinggi dibandingkan
dengan laju absorpsi air oleh akar, meskipun keadaan air tanah tersedia cukup.
Cekaman kekeringan mempengaruhi semua aspek pertumbuhan dan
metabolisme tanaman termasuk integritas membran, kandungan pigmen,
keseimbangan osmotik, aktivitas fotosintesis (Bhardwaj and Yadav 2012; Efendi
2014; Nio Song and Banyo 2011), penurunan potensial air protoplasma (Mundre
2002), penurunan pertumbuhan (Suhartono et al. 2008), dan penurunan diameter
batang (Nining et al. 2014). Wayah et al. (2004) menyatakan bahwa jika
kebutuhan air tidak dipenuhi maka pertumbuhan tanaman akan terhambat, karena
air berfungsi melarutkan unsur hara dan membantu proses metabolisme dalam
tanaman termasuk juga tanaman jagung. Cara adaptasi tanaman terhadap
kekeringan bervariasi tergantung jenis tumbuhan dan tahap-tahap perkembangan
tumbuhan (Anisa 2011). Menurut Arve et al. (2011) respon adaptasi tanaman
terhadap cekaman kekeringan dapat berupa respon jangka panjang, seperti
perubahan pertumbuhan, dan perubahan biokimiawi. Perubahan pertumbuhan

5

meliputi penurunan pertumbuhan batang dan daun, sedangkan perubahan
biokimia dapat berupa akumulasi senyawa organik compatible yang berfungsi
menjaga keseimbangan osmolit dalam tubuh tumbuhan. Salah satu senyawa
organik kompatibel yang sering diamukulasi oleh tanaman ketika berada pada
kondisi kekeringan yaitu prolin (Farooq et al. 2009). Akumulasi prolin terhadap
cekaman kekeringan telah dilaporkan oleh banyak peneliti misalnya pada jagung
Flirricks et al. (2012) menyatakan bahwa kekeringan akan menyebabkan
penurunan pertumbuhan akar, penurunan panjang daun, indeks luas daun, dan
keterlambatan memasuki fase reproduksi, serta penurunan hasil.

Respon Tanaman Jagung terhadap Cekaman Kekeringan
Kondisi pada tubuh tanaman terdapat hubungan yang erat antara absorbsi
dengan perkembangan akar. Untuk tanaman yang akarnya berkembang kuat
terjadi peningkatan absorbsi air dan relatif lebih toleran terhadap kekeringan.
Banyak sifat-sifat tanaman baik morfologi maupun fisiologi yang dapat digunakan
sebagai dasar penilaian sifat ketahanan terhadap kekeringan seperti pola
kedalaman perakaran, jumlah stomata, lebar stomata, penyesuaian osmosis,
peningkatan elastisitas dinding sel (Sammons et al. 1980; Kramer 1980).
Umumnya pengaruh fisiologi stres air pada tanaman yang paling menonjol
dalam jaringan yang sedang tumbuh dengan cepat, yakni pada fase
perkecambahan dan pertumbuhan awal vegetatif. Kemampuan benih berkecambah
pada kandungan air tanah yang rendah tergantung kepada spesies. Setiap spesies
memerlukan penyerapan air yang minimum untuk bisa berkecambah dan
tampaknya mempunyai batas tegangan tersendiri. Nilai batas tersebut -1.25 MPa
untuk jagung. Kondisi cekaman air, tanaman akan memperlihatkan berbagai
respon sebagai mekanisme tanaman dalam usaha mengurangi cekaman yaitu:
respon morfologi dengan mengurangi luas permukaan daun sehingga transpirasi
menurun, mempercepat perkembangan perakaran terutama kearah bawah
menyebabkan nisbah akar/pucuk meningkat sehingga tanaman lebih mampu
mengabsorbsi air dari lapisan tanah yang lebih dalam sementara transpirasi dari
bagian atas tanaman menurun (Herawati 2000), mengubah sudut daun pada posisi
hampir sejajar dengan datangnya cahaya, agar suhu daun tidak segera meningkat
sehingga transpirasi dapat ditekan, pembentukan lapisan kutikula pada permukaan
daun dapat mengurangi penguapan. Selain itu lapisan lilin dapat meningkatkan
pantulan cahaya, sehingga mengurangi suhu permukaan daun.
Beberapa tanaman yang diketahui toleran terhadap kekeringan mampu
membuat lapisan kutikula pada permukaan daunnya bila mendapat cekaman
kekeringan, membuka dan menutup stomata. Perilaku stomata, berhubungan
dengan potensial air daun yang tergantung pada faktor umur, kondisi tumbuh.
Menurut Alhadiyat (2014) bahwa tanaman jagung pada fase pertumbuhan
vegetatif dan potensial air rendah akan menyebabkan penutupan stomata di bawah
cahaya matahari. Jumlah dan ukuran stomata dipengaruhi oleh genotype dan
lingkungan. Oleh kerena itu sel penjaga kekurangan air dapat mengurangi
pembukaan stomata, mengurangi luas daun, yang berkaitan dengan laju
transpirasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bayer (Dallaire 1994)
menyatakan bahwa perpanjangan daun jagung maksimal pada potensial air -0.15

6

MPa sampai -0.25 MPa dan menurun 25% jika potensial air turun sampai -0,4
Mpa, serta mengulungan atau pelipatan daun. Tanaman kedelai berdaun lebar
cendurung untuk mengulung daun keatas sehingga bulu-bulu (rambut) diatas
permukaan bawah daun yang terbuka dapat merefleksikan lebih banyak cahaya.
Selain menunjukkan respon morfologi, ternyata tanaman yang mengalami
kekeringan akan menunjukkan respon fisiologi pada kondisi kekeringan telah
lama diketahui. Suatu hal yang cukup penting diantaranya adalah kemampuan
tanaman mempertahankan tekanan turgor dengan menurunkan potensial
osmotiknya (Jones et al. 1981).
Respon tanaman untuk mengatasi cekaman kekeringan adalah dengan
pengaturan osmotik sel. Pada mekanisme ini terjadi sintesis dan akumulasi
senyawa organik yang dapat menurunkan potensial osmotik sehingga menurunkan
potensial air dalam sel tanpa membatasi fungsi enzim serta menjaga turgor sel.
Beberapa senyawa yang berperan dalam penyesuaian osmotikal sel antara lain
gula osmotik (Wang et al. 1995; Yakhushiji et al. 1998), prolin dan betain
(Maestri et al. 1995), protein dehidrin (Close 1997) dan asam absisik (ABA) yang
berperan dalam memacu akumulasi senyawa tersebut (Earl and Davis 2003).
Menurut Fukai (1995) bahwa akumulasi hormon asam absisik (ABA) diperlukan
untuk peningkatan proline pada kondisi potensial air rendah.
Hasil penelitian Sharp and Davies (1979); Westgate and Boyer (1985)
menyatakan bahwa senyawa prolin berkontribusi lebih dari 50% terhadap osmotic
adjustment pada akar jagung. Pembentukan senyawa osmoregulasi ini sebagai
penanda biokimia untuk indikasi toleransi cekaman kekeringan. Banyak peneliti
menyatakan bahwa prolin bebas banyak diakumulasi sebagai respon terhadap
stress air yang dapat diamati pada daun-daun yang masih melekat maupun yang
telah gugur pada banyak tanaman budidaya pada kondisi laboratorium
(Abdelmoneim et al. 2014; Barnett and Beck et al. 1997; Routley and Singh
1966).
Akumulasi asam absisik (ABA) berkaitan juga dengan respon tanaman yang
toleran cekaman kekeringan. Akar yang mengalami cekaman kekeringan, menurut
Salisbury and Ross (1992) akan membentuk asam absisik lebih banyak dan
diangkut melalui xilem menuju daun untuk menutup stomata. Selain itu kadar
ABA endogen yang tinggi juga dapat diketahui dapat menginduksi peningkatan
rasio pertumbuhan akar/tajuk (Biddington and Dearman 1982). Kenyataan ini
menunjukkan respon yang berbeda dari akar dan tajuk terhadap ABA (Creelman
et al. 1990). Pada tajuk, ABA menginduksi penghambatan sedangkan pada akar
ABA mendorong pertumbuhan (Dallaire et al. 1994).
Mekanisme Toleransi Kekeringan pada Tanaman Jagung
Menurut Blum (2002), karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan
dapat dipilah menjadi karakter konstitutif dan adaptif. Karakter umur berbunga,
pertumbuhan akar, warna daun, bulu daun, densitas stomata dan akar merupakan
karakter konstitutif, dimana karakter konstitutif adalah karakter yang terekspresi
tanpa ada pengaruh cekaman kekeringan (Stube 1980). Menurut Wang et al.
(1995) karakter adaptif meliputi karakter kompatibel solut yang berperan dalam
menjaga turgor dan melindungi organel sel seperti prolin dan senyawa
antioksidan. Karakter aditif merupakan karakter yang dikendalikan oleh gen-gen

7

yang terekspresi sebagai respons terhadap cekaman (Fukai and Cooper 1995).
Menurut Blum (2002) bahwa kemampuan mempertahankan turgor atau status air
sangat penting dalam toleransi kekeringan. Kemampuan tersebut secara kuantitatif
lebih diperankan oleh karakter kuantitatif dibanding karakter adaptasi. Menurut
Ahadiyat (2014) genotipe toleran cekaman kekeringan memiliki bobot kering akar
yang besar dibanding genotipe peka, baik pada kondisi cekaman kekeringan
maupun optimum. Sehingga karakter bobot akar dapat seleksi adalah karakter
akar dapat diseleksi pada lingkungan optimum.
Berdasarkan kemampuan genetik tanaman, terdapat empat mekanisme
adapatasi pada kondisi cekaman kekeringan yaitu drought escape, dehydration
avoidance, dehydration tolerance dan drought recovery (Sopandie 2006).
Menurut Sasmita (1996) tanaman seringkali menggunakan lebih dari satu
mekanisme untuk beradaptasi pada kondisi cekaman kekeringan mekanisme
tersebut adalah: melepaskan diri dari cekaman kekeringan yaitu kemampuan
tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami defisit air yang
parah, mekanisme ini ditunjukkan dengan perkembangan sistem pembungaan
yang cepat dan perkembangan plastisitas jaringannya. Menurut Muhadjir (1988)
mekanisme adaptasi berupa percepatan siklus hidup atau adanya genotipe genjah
dengan umur pendek umumnya berdaya hasil rendah dibandingkan dengan yang
berumur panjang.
Potensial air jaringan yang tinggi yang merupakan bentuk toleransi yaitu
kemampuan tanaman yang tetap menjaga potensial jaringan dengan meningkatkan
penyerapan air atau menekan kehilangan air (Banziger et al. 1997). Tanaman yang
melakukan mekanisme toleransi mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
sistem perakaran dan konduktivitas hidrolitik atau kemampuan untuk menurunkan
hantaran epidermis dengan regulasi stomata, pengurangan absorbsi radiasi dengan
pembentukan lapisan lilin, bulu yang tebal dan penurunan permukaan
evapotranspirasi melalui penyempitan daun serta pengguguran daun tua (Farooq
et al. 2009). Oksidasi proline, setelah keadaan normal terjadi dengan cepat untuk
menjaga kandungan proline yang rendah dalam tanaman. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tanaman yang toleran terhadap cekaman air memperlihatkan
kemampuan mengakumulasi prolin (Sopandie 2006).
Mekanisme penyembuhan merupakan proses metabolisme berjalan normal
kembali setelah mengalami stres kekeringan, mekanisme ini penting manakala
stres kekeringan terjadi pada awal perkembangan tanaman (Azizian 2014).
Menurut Close (1997) mekanisme yang menyebabkan ketahanan terhadap
kekeringan melalui pengurangan kehilangan air (misalnya dengan cara
menutupnya stomata dan mengurangi luas daun) umumnya berimplikasi pada
menurunnya fiksasi karbondioksida (CO2). Osmotic adjusment (OA)
meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan dengan pemeliharaan turgor
tanaman, tetapi peningkatan konsentrasi solut dalam sel tanaman membutuhkan
energi yang cukup banyak dikeluarkan tanaman. Konsekuensinya, adaptasi
tanaman harus menunjukkan keseimbangan antara escape, avoidance dan
tolerance dengan menjaga produktivitas yang memadai (Blum 2002).

8

3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Percobaan ini dilaksanakan di dua lokasi yaitu KP Tanah Laut,
Kalimantan Selatan dan KP. Bilibili Sulawesi Selatan pada bulan Mei 2014-April
2015. Lokasi pengujian KP. Tanah Laut terletak pada ketinggian 100 m dpl, dan
jenis tanah Inceptisol. Sedangkan lokasi pengujian KP. Bilibili Sulawesi Selatan
terletak pada ketinggian 150 m dpl, dan jenis tanah Tropodult. Kedua tempat
tersebut dipilih dengan alasan kedua lokasi tersebut merupakan representasi areal
target pengembangan setelah varietas dirilis.

Bahan Penelitian
Bahan genetik yang digunakan terdiri atas 230 genotipe tanaman S3 hasil
top cross antara Mr 04 x CML 444(generasi S2) x Mr 14). Populasi S2
merupakan keturunan kedua hasil selfing F1, dimana F1 merupakan hasil
persilangan dari Mr 04 dan CML 444 (Gambar 1).

P
CML 444

MR 04

F1
S0

F2
S1

F3
S2

MR 14
Hibrida Silang Uji

F1

Galur

S3

Gambar 1 Skema persilangan tetua untuk menghasilkan populasi

F4

9

Bahan Tetua
Bahan tetua yang digunakan merupakan plasma nutfah dari Balitsereal dan
CIMMYT (International Maize and Wheat Improvement Center), masing-masing
tetua memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda (Tabel 1).
Tabel 1 Daftar genotipe, asal dan karakteristik tetua galur murni yang digunakan
dalam pembentukan populasi percobaan
Tetua
P1

Genotipe
Mr 04

Asal
Balitsereal

P2

CML 444

CIMMYT

P3

Mr 14

Balitsereal

Karakteristik
Biji berwarna kuning, peka terhadap
kekeringan, sulit diperbanyak punya daya
gabung khusus yang baik, daun terkulai, dan
pertumbuhannya tidak vigor
Berumur pendek, toleran kekeringan, biji
putih, dan mudah diperbanyak.
Batang tegar dan besar, dan memiliki serbuk
sari yang melimpah

Mr : Maros, CML: CIMMYT Maize Line
Tahap awal perakitan F1, yang digunakan sebagai tetua adalah Mr 04
(betina) dan CML 444 (jantan). Kemudian untuk hibrida silang uji, tetua yang
digunakan adalah generasi S2 yang merupakan hasil selfing kedua dr F1 (jantan)
dan disilangkan dengan Mr 14 (betina). Populasi S2 digunakan sebagai pejantan
dengan tujuan agar tetap dapat dilakukan kegiatan selfing pada waktu yang
bersamaan, sehingga dapat lebih mengefisienkan waktu.

Metode Seleksi Bahan Tanam
Proses seleksi dan silsilah bahan tanaman tetua jagung yang digunakan
dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2. Untuk menghasilkan bahan
tanam yang digunakan pada percobaan ini, F1 hasil persilangan awal telah
mengalami serangkaian seleksi dan silang diri hingga mencapai keturunan
generasi ke 3 atau S2. Adapun metode seleksi yang digunakan adalah metode
seleksi tongkol ke baris (ear to row).
Pada musim pertama, tanam populasi dasar sekitar 3000-5000 tanaman
(F1). Pilih 300-400 tanaman yang mempunyai karakter yang dikehendaki dan
buat silangdiri untuk menghasilkan galur S1. Panen terpisah tanaman hasil
silangdiri yang masih mempunyai karakter yang diinginkan.
Pada musim kedua, biji yang diperoleh pada musim 1 (S1) dari tiap tongkol
ditanam satu baris sebanyak ±25 tanaman. Seleksi secara visual dilakukan antara
famili dan dalam famili (baris) yang tanamannya tegap, tidak rebah, bebas hama
penyakit, tongkol besar, produksi tinggi dan sebagainya, dan pilih 3-5 tanaman
dari baris yang terpilih untuk silangdiri. Panen terpisah masing-masing tongkol,
pilih 1-3 tongkol hasil silangdiri tiap baris terpilih dan diperoleh biji S2.
Pada musim ketiga, biji yang diperoleh pada musim 2, biji tongkol hasil
silangdiri (S2) ditanam lagi, satu tongkol satu baris dengan 15-25 tanaman.
Seleksi diteruskan ke keturunan S3 berdasarkan hasil yang diperoleh dari silang
ujinya.

10

MR 14
Hibrida silang uji

Gambar 2 Diagram metode seleksi ear to row tanaman Jagung
Metode Penanaman dan Emaskulasi
Dalam menghasilkan hibrida silang uji yang digunakan pada percobaan ini
maka sebelumnya dilakukan serangkaian kegiatan salah satunya adalah dengan
menyilangkan antara Mr 14 (betina) dan S2 (jantan).

Gambar 3 Posisi penanaman jantan dan betina pada persilangan Mr 14 dan S2
Garis merah menunjukkan perlakuan tanaman emaskulasi pada tetua
betina

11

Rancangan Percobaan
Percobaan ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(RKLT) faktor tunggal dengan dua ulangan pada masing-masing lingkungan
pengujian. Menurut Liu (1998) tiap lokasi yakni sebagai berikut :
Yij = µ + Gi + Kj + εij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada genotipe ke-i, kelompok ke-j
µ = Nilai tengah umum
Gi = Pengaruh genotipe ke-i, dimana i =1,2,3,...235
Kj = Pengaruh kelompok ke-j, dimana j=1,2
εij = Galat percobaan pada genotipe ke-i, kelompok ke-j
Model linier aditif untuk analisis gabungan antar lingkungan adalah
sebagai berikut:
Yijk = µ + Li + K(L)ji + Gk + GLki + εijk
Keterangan :
Yijk
= Nilai pengamatan pada lingkungan ke-i, kelompok ke-j, dan genotipe ke-k
µ
= Nilai tengah umum
Li
= Pengaruh lingkungan ke-i, dimana i=1,2,3
K(L)ji = Pengaruh kelompok ke-j dalam lingkungan ke-i, dimana j=1,2
Gk
= Pengaruh genotipe ke-k, dimana k =1,2,3,....235
GLki = Pengaruh interaksi antara genotipe ke-k dan lingkungan ke-i
εijk
= Galat percobaan pada lingkungan ke-i, kelompok ke-j, dan genotipe ke-k

Pelaksanaan Penelitian
Tiap hibrida silang uji masing-masing ditanam satu baris per nomor dengan
menggunakan plot baris sepanjang 5 m dengan jarak tanam 70 cm antar baris dan
20 cm dalam baris, ditumbuhkan 1 biji per lubang berdasarkan Rancangan Acak
Kelompok dengan dua ulangan di tiap lingkungan. Pada umur 10 hst dilakukan
pemupukan pertama dengan dengan dosis pupuk masing-masing 300 kg NPK
Phonska/ha dan 100 kg urea/ha. Pemupukan kedua dilakukan pada umur 30 hari
setelah tanam dengan dosis masing-masing 100 kg NPK Phonska/ha dan 250 kg
urea/ha. Penyiangan dan pembumbunan dilakukan secara optimal, sedangkan
aplikasi herbisida/insektisida menyesuaikan kebutuhan.
Evaluasi pada pengairan optimal dilakukan pada musim penghujan.
Perlakuan suboptimal dengan pemberian cekaman kekeringan dengan melakukan
penghentian pemberian air 2 minggu sebelum fase pembungaan (saat tanaman
berumur sekitar 35-37 hst) dan diberikan kembali setelah fase pengisian biji
tanaman berakhir (2 minggu setelah fase pembungaan berakhir). Perlakuan
suboptimal dilakukan pada musim kemarau agar lebih memudahkan untuk
pengaturan pemberian air. Penanaman untuk perlakuan suboptimal dilakukan
pada musim kemarau, maka sebelum pemberian cekaman dilakukan, air untuk
pertumbuhan tanaman bersumber dari irigasi. Terdapat 14 parameter pengamatan
yakni:

12

1. Tinggi tanaman (cm)
Pengamatan dilakukan setelah stadia pembungaan dengan cara mengukur
tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai dengan pangkal terakhir bunga
jantan.
2. Tinggi letak tongkol (cm)
Diukur bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman. Pengukuran dilakukan
dari permukaan tanah sampai dengan pangkal tongkol yang pertumbuhannya
sempurna (umumnya pada tongkol bagian atas pada jagung prolifik).
3. Rasio tinggi tanaman dan tinggi tongkol
Dengan menghitung selisih antara tinggi tanaman dan tinggi tongkol
4. Umur 50% tanaman berbunga (hst) jantan
Pengamatan dilakukan setiap hari, sepanjang stadia pembungaan. Pencatatan
umur berbunga jantan bukan ditandai setelah keluarnya bunga jantan (tassel),
tetapi dihitung pada saat antesis atau ketika telah diproduksinya serbuk sari
(pollen). Pollen berwarna kuning akan terlihat apabila tassel/malai digoyang.
5. Umur 50% tanaman berbunga (hst) betina
Pengamatan dilakukan setiap hari, sepanjang stadia pembungaan. Berbunga
betina (keluar rambut) dicatat bila rambut telah keluar panjang >2 cm.
6. Anthesis silking interval
Dengan menghitung selisih waktu keluarnya bunga jantan dan bunga betina
7. Plant aspect/keragaan (penampilan) tanaman
Pengamatan dilakukan secara visual pada saat tanaman berumur 75 HST,
yaitu pada waktu rambut tongkol telah mulai mengering tapi tanaman masih
hijau. Penilaian menggunakan skor 1 (sangat baik), dan 5 (sangat buruk)
terhadap petakan-petakan tanaman. Perhatian diarahkan pada keseragaman
pertumbuhan tanaman, serangan hama dan penyakit secara umum, dan vigor.
8. Husk cover/penutupan klobot
Tingkat penutupan klobot diberi skor 1 (baik) sampai 5 (buruk), dengan
kriteria sebagai berikut:
Skor 1 : Klobot menutup rapat dengan baik, sehingga beberapa tongkol
dapat diikat menjadi satu pada ujung tongkol
Skor 2 : Klobot menutup ketat hanya sampai ujung tongkol saja
Skor 3 : Klobot menutup agak longgar diujung tongkol
Skor 4 : Klobot menutup tongkol kurang baik, ujung tongkol terlihat
Skor 5 : Klobot menutup tongkol sangat jelek, sebagian biji nampak tidak
dilindungi klobot.

Gambar 4 Pedoman skor penutupan klobot pada Jagung

13

9. Ear aspect /pengamatan keragaan (penampilan) tongkol
Dicatat waktu panen sebelum mengambil sampel untuk menentukan kadar
air. Tongkol hasil panen disusun dan letakkan secara teratur kemudian diberi
Skor 1 (terbaik) sampai 5 (terburuk) dengan mempertimbangkan kerusakan
karena hama dan penyakit, ukuran, mengisinya biji dan keseragaman.
10. Bobot tongkol kupasan (kg)
Tongkol-tongkol yang dipanen adalah seluruh tongokol pada dua baris tengah
per petak. Klobot tongkol dibuka kemudian ditimbang beratnya per petak.
Data ini akan digunakan untuk menghitung hasil per petak.
11. Rendemen
Rendemen diukur dengan menimbang 10 tongkol kupasan basah yang
diambil dari tongkol panen secara acak kemudian dipipil. Janggel tongkol
ditimbang kembali sehingga rendemen dapat diketahui dengan rumus:
obot 10 tongkol kupasan basah- obot janggel
obot 10 tongkol kupasan basah
12. Kadar air biji panen (%)
Setelah ditimbang bobot kupasan tongkol, diambil 5 tongkol sampel per petak
kemudian setiap tongkol dipipil bijinya ±3-5 baris. Biji hasil pipilan dicampur
kemudian diukur kadar airnya dengan menggunakan alat pengukur kadar air
digital.
13. Hasil panen (ton/ha)
Dilakukan dengan cara mengkonversi hasil panen tongkol kupasan basah
pada dua baris tengah tanaman per nomor dengan menggunakan rumus.
10000 100- A
ton
S
asil ( )
100-1
ha
K.A
LP
B
SP

= Kadar air biji waktu panen
= Luas panen (m2).
= Bobot tongkol kupasan (kg)
= Rata-rata „shelling percentage/rendemen‟

14. Bobot seribu biji
Bobot 1000 biji dalam kadar air 15 %. Untuk pengukuran ini tidak harus
„menunggu‟ kadar air 1 %. iji yang dipipil sejumlah ± 1000 butir dapat
langsung ditimbang dan diukur kadar air biji kemudian dikonversi pada kadar
air 15%.
Analisis Data
Percobaan ini menggunakan analisis sidik ragam untuk tiap lingkungan dan
gabungan berbagai lingkungan yakni sebagai berikut (Gomez and Gomez 1995):
Tabel 2 Tabel sidik ragam rancangan acak kelompok lengkap teracak untuk tiap
lingkungan
Sumber Keragaman
Ulangan
Genotipe
Galat

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

r-1
g-1
(g-1)(r-1)

JK U
JK L
JK G

Kuadrat Tengah

E (KT)

KT Ulangan
KT Genotipe
KT Galat

σ2e+ r σ2 g
σ2e

14

Tabel 3 Tabel sidik ragam rancangan acak kelompok lengkap teracak untuk
gabungan berbagai lingkungan
Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah
Lokasi (E)
Ulangan/Lokasi
Genotipe
GxE
Galat

l-1
l(r-1)
g-1
(g-1)(l-1)
l(r-1)(g-1)

JK L
JK U
JK G
JK GxE
JK G

KT Lokasi
KT Ulangan
KT Genotipe
KT GxE
KT Galat

E (KT)
σ2e + g σ2 r / l + gr σ2 l
σ2e + g σ2 r / l
σ2e + r σ2 gl + rl σ2 g
σ2e + r σ2gl
σ2e

Perhitungan stress tolerance index dilakukan untuk tiap genotipe
berdasarkan rumus dari Henry (2013) yakni:
STI = Yd Yn / (MYn)2
Keterangan :
Yd
: Hasil pada perlakuan stres kekeringan;
Yn
: Hasil pada perlakuan pengairan normal
MYn : Rata-rata hasil pada perlakuan pengairan normal
Tujuan perhitungan stress tolerance index adalah untuk melihat seberapa
toleran genotipe yang diamati terhadap cekaman kekeringan yang diberikan yang
dideskripsikan dengan nilai tertentu. Kategori nilai stress tolerance index dibagi
menjadi tiga yakni : toleran (>1), moderat (0.5-1), peka (70%), sedang (30%-70%), rendah (