Genealogi Komputasi dan Problematika Subversivitas Epistemologis

4.2. Genealogi Komputasi dan Problematika Subversivitas Epistemologis

Sub bab ini, seperti telah disampaikan, akan membahas genealogi sains. Namun demikian, perlu dicatat bahwa genealogi sains yang dimaksud bukanlah genealogi sains secara umum yang akan membahas sejarah sains itu sendiri. Apa yang akan diuraikan di sini adalah genealogi sains dalam konteks komputasi. Ini karena fokus pembahasan penelitian ini adalah komputasi DNA. Dengan pertim- Sub bab ini, seperti telah disampaikan, akan membahas genealogi sains. Namun demikian, perlu dicatat bahwa genealogi sains yang dimaksud bukanlah genealogi sains secara umum yang akan membahas sejarah sains itu sendiri. Apa yang akan diuraikan di sini adalah genealogi sains dalam konteks komputasi. Ini karena fokus pembahasan penelitian ini adalah komputasi DNA. Dengan pertim-

Bila kita menilik dalam sejarah komputasi, hal tersebut dapat dilacak hingga ke sejarah pembuatan angka itu sendiri. Ini karena komputasi tiada lain daripada proses perhitungan dan komputer adalah alat yang digunakan untuk membantu perhitungan. Namun demikian, dari perkembangan selama hampir 6.000 tahun semenjak sistem angka pertama dikembangkan di Sumeria, 160 teknologi komputasi hanya melahirkan 3 teknologi yang utama. Pertama, ada teknologi komputasi yang disebut dengan analog (analogue). Kata analog berasal dari bahasa Yunani, ana+logos. Ana berarti “mengacu pada” dan logos berarti “pikiran”. 161 Teknologi komputasi yang kedua disebut digital. Kata digital berasal dari bahasa Latin, digitus. Digitus ini artinya adalah “jari”. 162 Dan yang terakhir,

penulis dapat menyebutnya sebagai nanolog (nanologue). Kata nano ini berasal dari bahasa Latin, nanus, yang berakar dalam kata Yunani Kuno, nanos. Arti dari kata nano ini adalah “katai”. Sementara logue berasal dari kata logos, sama seperti

yang digunakan dalam kata analogue. 163 Teknologi komputasi model analog (disingkat menjadi komputasi analog)

ini adalah suatu komputasi yang menggunakan prinsip-prinsip mekanika di dalam proses komputasinya itu. Komputasi analog mampu menghadirkan suatu model bagi sistem yang ingin ditiru atau diadaptasi. Pada sisi ini, mekanisme peralatan

Untuk referensi sejarah komputasi ini, penulis menggunakan 4 buku pokok, yaitu: (1) Michael R. Williams. A History of Computing Technology. 2 nd Ed. Los Alamitos: IEEE Computer Society Press, 1997; (2) Georges Ifrah. The Universal History of Computing: From the Abacus to the Quantum Computer . Trans. E.F. Harding. New York : John Wiley & Sons, Inc., 2001; (3) Paul E. Ceruzzi. A History of Modern Computing. 2 nd Ed. Cambridge: The MIT Press, 2003; dan (4) Charles Care. Technology for Modelling: Electrical Analogies, Engineering Practice, and the Development of Analogue Computing . London: Springer-Verlag, 2010. Keterangan mengenai perkembangan yang dimulai di Sumeria dapat dibaca pada Ifrah pada hal. 10.

Lihat asal terminologi ini dalam Ifrah. Op.cit., hal. 154.

Arti digital dalam bahasa Latin ini diambil dari situs Wikipedia dengan alamat: <http://en.wikipedia.org/wiki/Digital>, diakses pada tanggal 17 Juni 2011.

Istilah ini berasal dari penulis sendiri yang dibuat untuk teknologi komputasi yang berbasis pada gabungan teknologi yang menangani komputasi di tingkat molekuler, seperti komputasi kuantum dan komputasi DNA. Keterangan mengenai nano berasal dari situs Wiktionary dengan alamat: <http://en.wiktionary.org/wiki/nano->, diakses pada tanggal: 17 Juni 2011. Istilah ini terinspirasi dari tulisan Bainbridge yang berisi kemungkinan-kemungkinan teknologi yang dapat dikembangkan dari 4 gabungan teknologi, yaitu: Nanoscience, Biotechnology, Information Technology , dan Cognitive Science. Tulisan ini dapat dibaca dalam William Sims Bainbridge. Nanoconvergence: The Unity of Nanoscience, Biotechnology, Information Technology, and Cognitive Science . New Jersey: Prentice Hall, 2007.

dan perhitungan atas data yang dijalankannya bersifat kontinyu (continous). Dengan kata lain, ia tidak menghasilkan suatu jeda dalam proses komputasinya

ini. 164 Contoh riil yang pertama dari mesin komputasi analog yang pernah dibuat adalah astrolabe. Ini adalah mesin yang digunakan untuk proses perhitungan

astronomis dan dibuat pada masa Yunani Kuno oleh Hipparchus dari Bithynia. 165 Dalam gambar di bawah ini, kita dapat melihat sebuah bentuk astrolabe yang

pernah dibuat oleh Georg Hartmann pada tahun 1537 di Nuremberg, Jerman. 166

Gambar 4.1. Astrolabe sebagai Contoh Mesin Komputasi Analog Pertama

Pada tahap yang lebih lanjut, komputasi analog ini dibuat untuk keperluan yang beragam. Namun demikian, pengembangannya tetap dalam kerangka pengukuran (measurement) dan pemodelan (modelling). Misalnya, pada tahun 1949, seorang ekonom dari Selandia Baru yang bernama Bill Phillips telah membuat suatu mesin komputasi analog untuk memodelkan ekonomi Inggris dengan menggunakan aliran air yang diberi warna dalam tabung-tabung yang telah ditentukan fungsinya. Mesin yang diberi nama Moniac ini kemudian dikritik mekanismenya oleh Allan McRobie. Ia mengatakan bahwa Moniac ini tidak dapat menggambarkan sistem ekonomi sebagaimana mestinya. Di bawah ini, kita dapat melihat gambar Moniac yang telah dibuat oleh Phillips tersebut. 167

Bdk. dengan keterangan yang disampaikan dalam Care. Op.cit., khususnya dalam sub bab 1.1. dan 1.2. dan juga dengan Ifrah. Op.cit., dalam sub bab 5.6.

Keterangan mengenai astrolabe ini dapat dibaca pada Williams. Op.cit., dalam sub bab 5.2.

Sumber gambar dan keterangan berasal dari situs Wikipedia, dengan alamat: <http://en.wikipedia.org/wiki/File:Yale%27s_Hartmann_astrolabe.jpg>, diakses pada tanggal: 17 Juni 2011.

Keterangan dan gambar tentang mesin Phillips ini diambil dari situs Guardian yang berada di alamat: <http://www.guardian.co.uk/business/2008/may/08/bankofenglandgovernor.economics>, diakses pada tanggal: 17 Juni 2011. Untuk simulasi cara kerjanya, animasinya ada dalam situs YouTube: <http://www.youtube.com/watch?v=XqPtW40w1no&feature=related>, diakses pada

Gambar 4.2. Mesin Moniac buatan Bill Phillips

Contoh lain dari jenis komputasi analog modern lainnya adalah mesin yang dikembangkan oleh Vannevar Bush pada tahun 1931 di Amerika Serikat. Mesin ini diberi nama Differential Analyzer. Cara kerja mesin ini agak berbeda dengan yang dibuat Phillips. Sebab, Differential Analyzer merupakan rangkaian mekanik tanpa aliran air. Ia lebih mirip dengan mesin pintal modern atau mesin permainan sepak bola yang biasa ada di tempat permainan bilyar. Fungsi dari mesin ini ditujukan untuk pemahaman proses perhitungan diferensial melalui cara kerja mekanis. Agar lebih mudah membayangkan seperti apa cara kerja dari Differential Analyzer , gambar berikut ini akan memperlihatkan bentuk riil dari mesin yang dimaksud. 168

Gambar 4.3. Mesin Differential Analyzer buatan Vannevar Bush

tanggal: 17 Juni 2011. Lihat keterangan mengenai Moniac sebagai contoh mesin komputasi analog dalam Care. Op.cit., hal. 5.

Keterangan cara kerja mesin ini berasal dari situs MIT: <http://web.mit.edu/klund/www/analyzer/>, sedangkan gambar berasal dari situs Ibiblio: <http://www.ibiblio.org/pioneers/bush.html>. Kedua situs ini diakses pada tanggal: 17 Juni 2011.

Selain menggunakan material fisikawi dan juga prinsip mekanika, mesin komputasi analog dapat dibuat dengan menggunakan sistem elektrik atau elek- tronik. Meskipun demikian, dalam perakitannya, mesin tersebut tetap mengguna- kan rangkaian mekanis. Sehingga, gabungan sistemnya ini disebut elektromeka- nis. Model mesin seperti ini telah diwujudkan dalam pembangunan mesin kompu- tasi analog elektromekanik besar yang diberi nama TRIDAC (three-dimensional analogue computer ). Dikembangkan oleh Royal Aircraft Establish-ment (RAE) di Farnborough, Inggris, pada tahun 1950-an, TRIDAC difungsikan untuk kebutuhan simulasi penerbangan. Ia memberikan model bagi para ahli aeuronautika untuk menguji hal-hal yang berkaitan dengan penerbangan sebelum sebuah mesin pesawat dapat diujiterbangkan. Berikut adalah gambar dari mesin TRIDAC itu. 169

Gambar 4.4. Mesin Komputasi Analog Elektromekanis TRIDAC

Setelah sempat bertahan beberapa tahun, komputasi analog pun mulai pudar penggunaannya seiring berkembangnya komputasi digital (baca: teknologi komputasi model digital). Walaupun demikian, sebenarnya masih sempat dibuat beberapa mesin komputasi analog yang digabung dengan teknologi digital, seperti misalnya mesin Digital Differential Analyzer. Namun, hal ini tidak bertahan lama. Pudarnya komputasi analog ini dimulai sejak munculnya mesin komputasi digital yang dapat diprogram di tahun 1940-an. Mesin tersebut diberi nama ENIAC

Keterangan tentang Differential Analyzer sebagai mesin komputasi analog juga dapat dibaca dalam Williams. Op.cit., sub bab 5.5. dan Care. Loc.cit.

Keterangan tentang TRIDAC dapat dibaca pada Care. Op.cit., di sub bab 7.1. Sumber gambar berasal dari: <http://www.science.uva.nl/museum/biganalog.php>, diakses pada tanggal 17 Juni 2011.

(Electronic Numerical Integrator and Computer), dibuat di Amerika Serikat, berbasis elektronis, dan berprinsip digital. Berikut adalah gambar dari ENIAC. 170

Gambar 4.5. Mesin Komputasi Digital Terprogram ENIAC

Pada sisi historis, komputasi digital ini sendiri dapat dikatakan memiliki sejarah yang lebih jauh hingga ke masa lampau bila dibandingkan dengan komputasi analog. Mesin komputasi digital yang pertama diciptakan manusia adalah abacus yang berasal dari Sumeria pada kurun waktu 2.000-an tahun SM. 171 Abacus kemudian berevolusi menjadi mesin hitung lainnya yang lebih canggih pada abad XVI melalui mesin hitung yang diciptakan oleh Wilhelm Schickard, Blaise Pascal, Gottfried Wilhelm Leibniz, Samuel Morland, dan Rene Grillet. 172

Mesin-mesin hitung yang muncul pada abad XVI ini kemudian menjadi dasar bagi pembuatan komputasi analog dan komputasi digital. Pada konteks komputasi digital, pengembangan signfikan dari mesin-mesin ini dilakukan oleh Charles Babbage yang berasal dari Inggris. Mesin komputasi digital ini diberi na- ma Different Engine dan berfungsi untuk menghitung tabel matematika dan astro- nomi. Pada sisi ini, Different Engine yang dibuat oleh Babbage baru berupa desain dan bukan mesin yang riil. Desain Different Engine Babbage baru terealisasi wu-

Baca mengenai proses pergantian komputasi analog menuju komputasi digital dalam Care. Op.cit ., pada sub bab 2.5.2.1. hingga sub bab 2.5.3. Keterangan mengenai ENIAC dapat dibaca dalam Williams. Op.cit. sub bab 7.3. dan Ifrah. Op.cit., hal. 220-2. Gambar berasal dari situs Wikipedia: <http://en.wikipedia.org/wiki/ENIAC>, diakses pada tanggal: 17 Juni 2011.

Ifrah. Op.cit., hal. 11.

Lihat dalam Williams. Op.cit., pada bab 3 untuk penemuan dan penciptaan mesin dari para tokoh yang disebutkan.

judnya ketika London Science Museum memutuskan untuk membuat mesin itu pada tahun 1989-1991. Berikut adalah gambar mesin rekonstruksi Babbage. 173

Gambar 4.6. Mesin Differential Engine Babbage

Melalui dua contoh yang ditampilkan dalam mesin komputasi digital ini, ENIAC dan Differential Engine, sebenarnya kita sudah dapat melacak perbedaan penting antara komputasi analog dengan komputasi digital. Pada dua mesin komputasi digital ini, aspek pemodelan dan pengukuran boleh dikatakan tidak muncul. Sedangkan aspek prinsip digital dan pemrograman justru muncul dalam komputasi digital. Prinsip digital ini tiada lain daripada sistem perhitungan biner

yang hanya menggunakan dua angka, 0 (tanda dari off) dan 1 (tanda dari on). 174 Namun demikian, seiring dengan perkembangan teknologi baru di bidang

elektronika dan pengembangan piranti lunak (program), komputasi digital mulai dapat menggabungkan aspek fungsional yang dimiliki oleh komputasi analog, yaitu pemodelan maupun pengukuran.

Fungsi pemodelan yang dapat diterapkan dalam komputasi digital pertama kali adalah dalam fungsi simulasi. Mesin komputasi digital yang mampu menjalankan simulasi ini dikembangkan oleh perusahaan Bell Telephone Laboratories , Amerika Serikat. Mesin yang bernama Model II Relay Calculator ini diciptakan oleh George Stibitz atas permintaan National Defense Research

Untuk uraian mengenai Babbage dan mesin Differential Engine ini dapat dibaca dalam Williams. Ibid., pada bab 4 dan Ifrah. Op.cit, pada sub bab 5.9. Keterangan tambahan mengenai rekonstruksi mesin Babbage ini dan gambarnya berasal dari situs Wikipedia dengan alamat: <http://en.wikipedia.org/wiki/Difference_engine>, yang diakes pada tanggal: 17 Juni 2011.

Untuk pembahasan prinsip digital ini dapat dibaca dalam Badry. Op.cit., hal. 25-6.

Council dan resmi digunakan pada tahun 1943. Cara kerja mesin ini dimaksudkan sebagai simulasi perhitungan pergerakan pesawat tempur dan cara pengantisi-

pasiannya melalui penembakan rudal. 175 Untuk penerapan jenis simulasi lainnya, hal ini mulai dikembangkan

pertama kali dalam mesin Whirlwind I yang dibuat oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) atas pesanan U.S. Navy berdasarkan konsep yang telah dibuat oleh John von Neumann. Konsep von Neumann ini sangat mendasar dan menjadi bagian integral dalam komputasi digital dewasa ini. Von Neumann telah mencatat bahwa setiap mesin komputasi digital haruslah memiliki lima hal, yaitu: (1) the arithmetical unit ; (2) the control unit; (3) the memory, to record the numerical

data and instructions 176 ; (4) input devices; dan (5) output devices. Adapun simulasi yang diterapkan dalam Whirlwind I, simulasinya ini

bersifat real-time. Maksudnya, kita dapat melihat prosesnya secara langsung karena hasilnya dapat kita pantau saat kita menggunakan mesin tersebut. Simulasi secara real-time ini dibuat untuk keperluan pelatihan para pembom dalam pengantisipasian manuver pesawat tempur. Berikut adalah gambar dari mesin

Whirlwind I 177 ini.

Gambar 4.7. Mesin Whirlwind I MIT

175

Williams. Op.cit., dalam sub bab. 6.3.3.

176

Keterangan mengenai Whirlwind I ini dan elemen komputasi von Neumann yang dikutip dari penjelasan R. Ligonnière berasal dari Ifrah. Op.cit., hal. 294 dan 287.

177

Ifrah. Ibid., hal. 294, Ceruzzi. Op.cit., hal. 140, dan dalam situs Wikipedia dengan alamat: <http://en.wikipedia.org/wiki/Whirlwind_(computer)>, diakses pada tanggal: 17 Juni 2011. Gambar berasal dari situs Wikipedia ini.

Masih berkenaan dengan simulasi, varian lain dari simulasi telah dikem- bangkan oleh IBM (International Business Machine) di tahun 1960-an pada mesin komputasi System/360 Model 65 dan 30. Simulasi ini dinamakan emulasi (emu- lation ) oleh Larry Moss. Secara sederhana, pengertian emulasi adalah “as good as ”. Namun, kalau ini dipahami secara lebih jauh, emulasi adalah suatu teknologi yang memungkinkan suatu mesin komputasi mensimulasikan cara kerja mesin komputasi lainnya. Emulasi ini dimungkinkan dengan teknologi yang disebut microprogramming . Microprogramming ini adalah penerapan teknis dari apa yang disarankan Maurice Wilkes dalam kuliah komputer digital yang diberikannya pada Manchester University tahun 1951. Ia berpendapat bahwa: “‘cara terbaik untuk mendesain mesin yang dapat meng-hitung secara otomatis’ adalah dengan membangun bagian pengendali sebagai program kecil yang dapat disimpan dalam komputer itu sendiri, di mana masing-masing operasi pengendalian (katakanlah, perintah untuk menambah 2 angka) itu dipecah menjadi serangkaian ‘operasi-mikro’ yang diarahkan oleh suatu kompo-nen matriks yang disimpan sebagai ‘program-mikro’ ”. Melalui prinsip ini, mesin System/360 Model 65 dapat mensimulasikan mesin 7070 yang telah dibuat sebe-lumnya oleh IBM. Berikut

adalah gambar dari System/360 Model 65. 178

Gambar 4.8. Mesin System/360 Model 65 IBM

Ceruzzi. Op.cit., hal. 148-9. Gambar berasal dari situs IBM dengan alamat: <http://www- 03.ibm.com/ibm/history/exhibits/mainframe/mainframe_2423PH2065C.html>, diakses pada tanggal: 17 Juni 2011.

Teknologi simulasi dan emulasi kini telah berkembang sepenuhnya dengan berkembangnya teknologi komputasi digital yang semakin kecil mesinnya tetapi memiliki kapasitas yang besar. Bila kita lihat secara sekilas saja, mesin System/360 Model 65 sudah lebih kecil bila dibandingkan Whirlwind I. Namun, dua teknologi modelling ini masih harus menunggu munculnya mesin komputasi digital yang kita kenal sekarang ini hingga dapat dijalankan dengan baik.

Apa yang kita kenal sekarang sebagai desktop, laptop atau netbook pertama kali muncul sebagai mesin Personal Computer (PC) yang juga diciptakan oleh IBM di tahun 1981. Mesin yang dapat disebut PC pertama adalah IBM 5150. Mesin ini telah memiliki CPU (Central Processing Unit) dengan mikroprosesor di dalamnya, disket, keyboard, monitor, printer, dan yang paling penting sistem

operasi berikut program yang mengendalikan mesin PC ini. 179 Suatu temuan yang sangat revolusioner dan mengubah takdir mesin komputasi digital hingga seka-

rang ini. Berikut adalah gambar dari IBM PC yang dimaksud. 180

Gambar 4.9. Mesin IBM PC 5150

Mesin IBM PC 5150 ini kini dapat kita jalankan dalam setiap mesin komputasi digital kontemporer melalui teknologi simulasi dan emulasi yang telah disempurnakan, yaitu virtualisasi (virtualization). Teknologi virtualisasi adalah suatu teknik yang dapat mensimulasikan mesin komputasi digital maupun sistem operasi yang dapat dijalankan di dalamnya melalui satu program yang dibuat khusus untuk kepentingan tersebut. Salah satu program yang dimaksud adalah

Ceruzzi. Op.cit., hal. 268-9.

Gambar berasal dari situs IBM yang ada di alamat: <http://www- 03.ibm.com/ibm/history/exhibits/pc25/pc25_intro.html>, diakses pada tanggal: 17 Juni 2011.

VirtualBox yang dapat digunakan secara gratis. Dengan menjalankan VirtualBox pada PC yang kita pakai, kita dapat mensimulasikan penggunaan 3 sistem operasi utama PC dewasa ini secara bersamaan dan sekaligus. Sistem operasi ini tiada lain daripada Macintosh buatan Apple, Windows buatan Microsoft, dan Linux buatan Linus Torvald. Dua sistem operasi pertama adalah jenis piranti lunak proprietary atau komersil, sedangkan yang terakhir adalah jenis piranti lunak open source atau gratis. Pada di gambar di bawah ini, kita dapat melihat proses virtualisasi yang

dimaksud pada tampilan layar monitor. 181

Keterangan:

1. Virtualisasi sistem operasi Windows oleh Macintosh .

2. Virtualisasi sistem operasi Linux oleh Windows .

3. Virtualisasi sistem operasi Windows oleh Linux

Gambar 4.10. Virtualisasi 3 Sistem Operasi via VirtualBox Pada konteks ini, mesin komputasi digital yang dapat menjalankan

virtualisasi sebenarnya adalah mesin PC dengan prosesor yang handal. Garda depan teknologi prosesor ini kini dipegang oleh Intel. Prosesor tercanggih yang dibuat Intel dengan teknologi virtualisasi di dalamnya adalah Xeon E7-8870 yang memiliki 10 keping prosesor 64-bit di dalamnya dengan kapasitas cache sebesar

30 MB. Jauh berbeda dengan IBM PC 5150 yang hanya terdiri dari 1 keping prosesor 8-bit dengan cache sebesar 40K. Maksud dari 30 MB ini adalah 30 x

Sumber gambar berasal dari situs VirtualBox: <http://www.virtualbox.org/wiki/Screenshots>,

1.000.000 Byte, sedangkan 40 K adalah 40 x 1.000 Byte. Bila ini dilihat secara sekilas saja, kapasitas mesin komputasi digital Xeon E7-8870 sudah beda 1.000 x

lipat dari kapasitas IBM PC 5150. 182 Namun demikian, mesin komputasi digital secanggih mesin Intel Xeon E7-

8870 ini justru malah dianggap bagian dari jenis komputasi klasik oleh para fisikawan. Sebabnya adalah karena mesin komputasi digital memiliki batasan dalam kapasitas komputasi untuk kebutuhan simulasi. Para fisikawan menghadapi kendala yang serius karena mesin komputasi digital tidak dapat membuat simulasi perilaku sistem mekanika kuantum. Oleh karena masalah ini, Richard Feynman kemudian menjawabnya dengan menggunakan logika terbalik atas situasi tersebut. Bila mesin komputasi digital tidak dapat mensimulasikan perilaku sistem mekanika kuantum, kenapa kita tidak membuat mesin komputasi dari prinsip

mekanika kuantum itu sendiri. 183 Teknologi komputasi generasi ketiga pun lahir seiring dikembangkannya

gagasan Feynman ini semenjak tahun 1982. Namun demikian, Paul Benioff sebenarnya telah mendahului Feynman dengan mendesain suatu komputer kuan- tum di tahun 1980. Namun, desain komputer kuantum Benioff mendapat kritik yang pedas dari David Deutsch dengan mengatakan bahwa desain komputer kuantum itu juga dapat dibuat simulasinya oleh mesin komputasi digital. Deutsch lalu membuat alternatif baru bagi model komputasi kuantum dengan merumuskan suatu komputer kuantum universal berbasis pada TM di tahun 1985. Berikutnya,

giliran Peter W. Shor merumuskan suatu algoritma kuantum pada tahun 1994. 184 Meskipun kemudian ada pengembangan teori yang lebih jauh dari

komputasi kuantum ini, namun belum ada yang berhasil hingga sekarang ini menciptakan wujud riil dari mesin komputasi kuantum. Ini karena para fisikawan dan para ahli komputasi mengalami kendala utama yang disebut dengan

diakses pada tanggal: 17 Juni 2011.

182

Keterangan dan spesifikasi dari Intel Xeon E7-8870 ini dapat dibaca pada situs Intel di alamat: <http://ark.intel.com/Product.aspx?id=53580>, diakses pada tanggal: 17 Juni 2011.

183

Kent A. Peacock. The Quantum Revolution: A Historical Perspective. London: Greenwood Press, 2008, hal. 149.

184

Mika Hirvensalo. “An Introduction to Quantum Computing”, dalam Gheorghe Paun, Grzegorz Rozenberg, and Arto Salomaa, Ed. Current Trends in Theoretical Computer Science: Entering the 21st Century . Singapura: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., 2001, hal. 644.

dekoherensi (decoherence) ketika mereka hendak membuat memori komputer kuantum (quantum computer memory). Sebab, dekoherensi ini adalah suatu ke- adaan di mana: “pandangan bahwa sistem kuantum yang realistik itu tidak pernah terisolasi, tetapi terbenam dalam lingkungan yang melingkupinya dan berinter- aksi secara sinambung dengannya ”. Padahal, memori komputer kuantum hanya dapat tercipta jika ia terisolasi. Di sisi ini, penulis dapat mengatakan bahwa deko- herensi adalah konsekuensi langsung dari prinsip ketidakpastian Heisenberg yang mengandaikan bahwa “pengukuran” (apalagi pengisolasian) adalah sesuatu yang sulit dilaksanakan dalam tingkat partikel sub atomik. Selain dekoherensi, masalah lainnya yang harus dihadapi adalah unit pemrosesan kuantum (quantum processing unit ) justru tidak boleh diisolasi sepenuhnya. Sesuatu yang menjadi kebalikan dari proses yang dikehendaki dalam memori komputer kuantum. Belum lagi selesai kedua masalah ini, masalah lain sudah muncul. Ini bersangkutan dengan apa yang disebut sebagai galat tak-dapat-terkendali (non-controllable errors ). Sesuatu masalah yang menjadi bagian integral dari pemrograman seperti

telah dibahas dalam sub bab 3.3. 185 Atas masalah-masalah yang serupa inilah komputasi DNA kemudian

mendapat sokongan dari banyak pihak karena wujud riilnya sudah hadir dengan eksperimentasi yang dibuat Adleman pada tahun 1994 seperti diuraikan di sub bab

3.1. Dalam konteks ini, penulis dapat mencatat bahwa pada satu sisi, gagasan Feynman telah melahirkan pengembangan komputasi kuantum. Namun, di sisi lain, gagasan Feynman juga menginspirasi kelahiran komputasi DNA. Selanjut- nya, meski komputasi kuantum masih dalam proses perealisasian, namun bebe- rapa pihak sudah optimis dengan memprediksi bahwa kedua jenis teknologi kom- putasi yang sangat berlainan ini kini berkemungkinan untuk dapat disatukan oleh teknologi yang dilahirkan dari nanosains (nanoscience), yaitu: nanoteknologi (nano-technology). 186 Ini karena komputasi kuantum dan komputasi DNA sama-

Hirvensalo dalam Paun, Ibid. Kutipan mengenai dekoherensi ini berasal dari tulisan Maximilian Schlosshauer. Decoherence, the Measurement Problem, and Interpretations of Quantum Mechanics , 28 Juni 2005, hal. 1, suatu artikel yang diterbitkan di Internet pada situs Cornell University Library yang ada di alamat: <http://arxiv.org/abs/quant-ph/0312059>, diakses pada tanggal: 18 Juni 2011.

Selain tulisan Bainbridge, penulis juga membaca kecenderungan yang sama dalam tulisan dari Fritz Allhoff, et al., mengenai kemungkinan ini. Tulisan mereka tersebut dapat dibaca dalam Fritz Selain tulisan Bainbridge, penulis juga membaca kecenderungan yang sama dalam tulisan dari Fritz Allhoff, et al., mengenai kemungkinan ini. Tulisan mereka tersebut dapat dibaca dalam Fritz

Dari apa yang telah disampaikan dalam sub bab ini dan juga dalam bab 3, berikut keterangan yang ada dari bahan bacaan yang tersedia, penulis akan mencoba meringkaskan uraian mengenai tiga jenis komputasi yang telah dikem- bangkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.1. Komparasi Komputasi Analog, Digital, dan Nanolog

Medium Interactivity Technologies (Model)

Models Features

(Teknologi) Analogue Function: Modelling

Mechanics (Analog)

Physical Involve

(Mekanika) Data: Continous

(Fungsi: Pemodelan)

(Fisikawi)

(Terlibat penuh)

Electromechanics (Data: Sinambung)

(Elektromekanika) Method: Measure (Metode: Pengukuran)

Digital Function: Simulating Electrical Automatic Mechanics (Digital)

(Mekanika) Data: Discrete

(Fungsi: Pensimulasian)

(Elektris)

(Otomatis)

Electromechanics (Data: Tidak sinambung)

(Elektromekanika) Method: Count

Electronics (Metode: Perhitungan)

(Elektronika) Nanologue Function: Rebuilding

Molecular Autonomous Quantum Mechanics (Nanolog)

(Mekanika Kuantum) Data: Simultaneous

(Fungsi: Pembangunan Ulang)

(Molekuler)

(Otonom)

Biotechnology (Data: Serentak)

(Bioteknologi) Method: Convergence Nanotechnology

(Metode: Gabungan) (Nanoteknologi) Keterangan :

Khusus untuk features yang terdapat dalam nanolog, rebuilding disarikan dari fungsi yang dapat dilaksanakan dalam penerapan nanoteknologi, yaitu pembentukan material baru, serta dari fungsi yang dapat dilakukan dalam komputasi DNA, yaitu penggantian DNA yang rusak. Untuk data yang bersifat simultaneous, ini dipertimbangkan dari pengolahan data yang dapat ditangani komputasi kuantum dalam prinsip yang disebut qubit. Seperti halnya bit dalam komputasi digital, qubit terdiri dari nilai 0 dan 1. Namun, pada qubit, nilai 0 dan 1 tidak diwakili oleh elemen yang berbeda. Jadi, nilai 0 dan 1 dapat diwakili secara bersamaan dan serentak (simultaneously) oleh

Allhoff, Patrick Lin, and Daniel Moore. What is Nanotechnology and Why Does It Matter? From Science to Ethics . West Sussex: Wiley-Blackwell, 2010, pada bab 4.

Istilah yang sama juga muncul untuk sebuah nama proyek yang disusun oleh Wuppertal Institute di Jerman, Forum of the Future di Inggris, EMPA (Swiss Federal Laboratories for Materials Testing and Research ), dan triple innova of Germany. Proyek ini bertujuan untuk mengkaji implikasi sosial, etika, dan hukum yang berasal dari penerapan nanoteknologi dalam kehidupan manusia. Lihat selengkapnya dalam situs proyek ini dengan alamat: <http://www.nanologue.net>, diakses pada tanggal: 18 Juni 2011.

qubit. Hal yang serupa juga ada dalam komputasi DNA, di mana proses replikasi DNA dilaksanakan secara paralel. Sedangkan untuk convergence, ini disebut demikian karena nanolog merupakan gabungan teknologi yang berbeda-beda.

Jika melihat tabel yang telah disampaikan ini, kita dapat memperhatikan secara jelas bahwa genealogi komputasi telah menghadirkan tiga paradigma mendasar, yaitu: modelling, simulating, dan rebuilding. Tiga paradigma mendasar ini, bila bukan suatu kebetulan, ternyata memiliki kesejajaran dengan 3 episteme yang diungkap Foucault ketika menganalisis sains kemanusiaan. Pertama, paradigma modelling akan bersanding dengan yang disebut Foucault sebagai episteme keserupaan (resemblance episteme). Episteme keserupaan yang menjadi ciri utama pemikiran dari abad Renaisans ini dalam analisis Foucault dipahami lebih jauh pengertiannya dalam beberapa istilah perluasan, yaitu: convenientia,

aemulatio 188 , analogy, dan sympathy. Tentang istilah convenientia, pengertiannya ini berkenaan dengan soal

ruang. Sesuatu menjadi serupa karena kedekatan yang membuat dua hal saling berinteraksi. Misalnya, antara tubuh dan jiwa, di sana terdapat hubungan interaktif yang boleh dikatakan serupa karena kedekatan meski tampak sebagai sesuatu yang hampir tidak berjarak. Dalam bahasa Foucault yang lebih teknis, convenientia adalah “suatu kemiripan yang berhubungan dengan ruang dalam

bentuk skala bertahap dari 189 proximity”. Berbeda dengan istilah convenientia, istilah aemulatio memiliki pengertian

keserupaan yang tidak terkait dengan kedekatan ruangan ataupun berhubungan de- ngan interaktivitas. Bahwa sesuatu itu serupa, itu karena yang satu diandaikan bagai tiruan bagi yang lainnya. Wajah manusia bila dilihat jauh bagai serupa dengan langit misalnya. “Hubungan emuasi memungkinkan sesuatu untuk meniru yang lainnya dari satu tujuan semesta kepada yang lainnya tanpa hubungan atau proximity: dengan menggandakan dirinya dalam suatu cermin, dunia meniada-

Michel Foucault. The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences. Trans. Alan M. Sheridan. London: Routledge, 2002, dalam bab 2. Untuk selanjutnya, karya Foucault ini disingkat menjadi OT.

Foucault. OT, hal. 21.

kan jarak yang tepat untuknya; dengan cara ini, hal tersebut dapat mengatasi tempat yang telah dibagi-bagikan untuk masing-masing sesuatunya itu. 190 ”

Untuk istilah analogy, pengertiannya merupakan sesuatu yang melampaui dua istilah sebelumnya. Keserupaan yang ada pun tidak selalu berdasarkan pada hubungan yang dekat atau karena ia tiruan bagi yang lainnya. Ia serupa karena hubungan yang dipertautkan antara satu dengan yang lainnya. “Kekuasaannya itu besar sekali, karena keberbandingan yang diperlakukan atasnya tidak nampak, salah satu yang substansial di antara sesuatunya itu sendiri; mereka membutuh- kan hubungan kemiripan yang lebih halus lagi. Melepaskan ini semua, hal ini dapat memperluas, dari titik tunggal yang diberikan, kepada sejumlah hubungan tanpa akhir. ” Contoh dari analogy ini adalah keserupaan yang ada pada hubungan

antara bintang dan langit 191 dengan hubungan antara tanaman dan tanah. Yang terakhir adalah istilah sympathy. Sebenarnya, istilah ini tidak secara

langsung memiliki pengertian keserupaan. Ini karena istilah sympathy tidak berhu- bungan dengan kedekatan, tiada pengandaian yang berupa tiruan, ataupun hubungan yang dapat dipertautkan. Ini adalah suatu permainan pengertian yang dibuat oleh manusia dalam melihat sesuatu yang sebenarnya tidak berhubungan menjadi sesuatu yang dapat berkaitan satu sama lain. Misalnya, api adalah sesuatu yang hangat dan bercahaya. Ia akan naik dan menyala-nyala dengan tanpa henti. Namun, oleh karena menyala-nyala, api kehilangan sifat keringnya (yang berelasi dengan tanah) dan malah memperoleh sifat lembab (yang berelasi dengan air atau udara). Pada akhirnya, ia akan menghilang menjadi uap putih/asap biru menuju awan. Api telah menjadi udara. Dalam contoh penjelasan api ini, terdapat sifat permainan pengertian dari sympathy. Ini dikatakan Foucault sebagai berikut: 192

“Sympathy adalah suatu contoh dari yang Sama sedemikian kuat dan terus-menerus, yang hal itu tidak akan disandarkan pada isi yang semata- mata hanya merupakan salah satu dari bentuk keserupaan; ini memiliki kekuasaan asimilasi yang berbahaya, yang membawakan sesuatu menjadi identik dengan sesuatu yang lainnya, yang mencampurnya, dan menyebabkan individualitasnya ini menghilang – dan kemudian membawanya terasing dari apa yang sebelumnya dialaminya. Sympathy mengubah bentuk. Ia mengubah, tetapi dalam arah identitas, sedemikian rupa yang jika kekuasaannya itu

Foucault. OT, hal. 22.

Foucault. OT, hal.24.

Foucault. OT, hal. 26-7.

tidak diimbangi akan mereduksi dunia kepada satu titik, kepada suatu massa yang homogen, kepada bentuk tanpa ciri dari Kesamaan: semua bagiannya itu akan beriringan bersama dan berkomunikasi dengan yang lainnya tanpa suatu jeda, dengan tiadanya jarak di antara mereka, seperti rantai logam yang disatu-gantungkan oleh sympathy kepada daya tarik suatu magnet yang tunggal .”

Namun demikian, permainan pengertian yang dikandung sympathy tidak akan lengkap tanpa antipathy. Pada antipathy, kita akan menemukan pengertian: “mempertahankan isolasi sesuatu dan mencegah asimilasinya; hal ini menutup setiap spesies yang ada dalam perbedaan yang tak dapat dinetralkan dan kecondongannya untuk melanjutkan keber-ada-an sebagaimana adanya itu. ” Pada sisi ini, dicontohkan oleh Foucault dengan suatu kutipan bahwa tanaman itu memiliki “kebencian” atas tanaman lainnya, semisal mentimun dengan buah

zaitun yang tidak dapat hidup berdampingan satu sama lain. 193 Demikian, kita telah melihat episteme keserupaan yang dijelaskan

Foucault dengan 4 istilah perluasan. Berkenaan dengan paradigma modelling, keempat pengertian istilah tersebut telah tercakup dalam hal ini. Sebab, modelling tiada lain daripada rekayasa untuk membuat sesuatu yang serupa, baik dengan memperhitungkan aspek jarak dan ruang, sifat tiruan, kebertautan hubungan, hingga prinsip asimilasi yang ada pada permainan sympathy. Aspek jarak dan ruang ditangani dalam proses pengukuran atau measurement, sifat tiruan dan kebertautan hubungan diwujudkan dalam sistem fisikawi yang dibentuk untuk model, dan prinsip asimilasi diterapkan dalam fungsionalitas mesin yang hendak dibuat. Dalam modelling ini, diterapkan juga prinsip isolasi yang ada dalam per- mainan antipathy. Sebuah mesin komputasi analog itu adalah sistem yang terisolir dari kenyataan yang melingkunginya. Sehingga, penulis dapat mengatakan bahwa modelling adalah aplikasi teknologis dari episteme keserupaan.

Episteme kedua yang telah ditemukan dan diidentifikasi oleh Foucault dalam sains kemanusiaan adalah episteme penghadiran (representation episteme ). Episteme penghadiran ini berkaitan dengan dua hal penting yang menjadi perhatian di abad Klasik, yaitu identitas dan perbedaan (identities and

differences 194 ). Apa yang disebut identitas dan perbedaan ini ditangani oleh suatu

Foucault. OT, hal. 27.

Foucault. OT, hal. 55.

cara yang disebut dengan pengukuran (measurement). Sebabnya adalah karena para pemikir abad Klasik ingin memahami segala sesuatu berdasarkan pada suatu tatanan (order) dan bukannya pada suatu keserupaan (resemblance) seperti yang telah dilakukan pada masa Renaisans. Dengan melakukan pengukuran, mereka akan dapat mengkonstitusi tatanan yang diinginkan melalui formulasi matematis. Inilah usaha untuk mewujudkan mathesis atau “sains universal untuk pengukuran

dan tatanan 195 ”. Namun demikian, usaha mereka ini menghadapi kendala ketika dihadapkan pada fenomena alam yang kompleks. Oleh karena itu, pencarian

tatanan tidak hanya diformulasi dalam kerangka matematis melainkan juga dalam kerangka tanda (sign). Bagi para pemikir Klasik, tanda juga berarti: “keber- hadiran dari penghadiran itu ada sejauh hal itu dapat dihadirkan.” 196

Dengan membangun sistem tanda ini, para pemikir Klasik mendapatkan kembali kemungkinan untuk memahami segala sesuatu dalam perspektif tatanan. Taxinomia pun lahir dalam rangka usaha ini. Selain taxinomia, para pemikir klasik juga memunculkan suatu ilmu yang akan melengkapi mathesis dan taxinomia. Ini disebut dengan genesis atau “analisis dari susunan tatanan berdasarkan pada

serangkaian hal yang empiris 197 ”. Pada semangat yang seperti inilah episteme penghadiran menemukan

wujudnya. Ini karena episteme penghadiran tiada lain daripada pengetahuan atas sesuatu yang dihadirkan kembali melalui tanda atau sistem tanda. Dalam bahasa Foucault, hal ini dinyatakan demikian: “Semua kehadiran itu dihubungkan sebagai tanda-tanda; semuanya bersama, kemudian membentuk, sebagaimana adanya itu, suatu jaringan yang lebih besar; masing-masingnya menempatkan dirinya sendiri dalam transparensinya sebagai tanda dari apa yang dihadirkan; dan tentu saja – atau lebih baik, dengan fakta yang seperti ini – tiada aktivitas

khusus dari kesadaran yang bahkan dapat mengkonstitusi suatu penandaan 198 .” Semangat episteme penghadiran yang serupa ini boleh dikatakan sejalan

dengan paradigma simulating. Ini karena simulating adalah pelaksanaan dari

Foucault. OT, hal. 62.

Foucault. OT, hal. 72.

Foucault. OT, hal. 80.

Foucault. OT, hal. 72.

mathesis itu sendiri. Dunia digital yang merupakan tempat di mana paradigma simulating ini berada adalah dunia di mana segala sesuatu dapat dikonversi ke dalam tanda dan angka (0 dan 1 dalam dunia digital mewakili tanda dan angka itu sendiri). Bila segala sesuatunya telah dikonversi (digitalisasi), barulah simulasi dapat diwujudkan dan dihadirkan melalui mesin komputasi digital. Simulasi ada- lah penghadiran dari kenyataan itu sendiri sebagaimana diinginkan oleh para pemikir abad Klasik. Dengan demikian, simulating juga dapat dikata merupakan aplikasi teknologis dari episteme penghadiran.

Dalam episteme yang terakhir, oleh Foucault ini disebutnya dengan episteme penandaan (signification episteme). Sebab, pada abad Modern, bahasa telah menjadi sentral dalam pengkajian sains kemanusiaan. Meskipun begitu, sebelum bahasa menjadi sentral, dalam kajian sains kemanusiaan ada tiga model disiplin yang menjadi acuan untuk sains kemanusiaan. Pertama adalah ekonomi, kedua adalah biologi, dan yang ketiga adalah linguistik. Dalam ekonomi, apa yang dikaji terletak pada masalah pekerja (labour) dengan dua fokus utama, yaitu konflik dan aturan (conflict and rule). Biologi mengkaji masalah kehidupan (life) yang berfokus pada fungsi dan norma (function and norm). Sedangkan linguistik, kajian ini adalah kajian mengenai bahasa (language) dengan fokus

pada penandaan dan sistem (signification and system). 199 Bahasa menjadi sentral dalam kajian sains kemanusiaan terutama

disebabkan oleh karena kajian bahasa menyajikan sesuatu yang dibutuhkan dalam sains kemanusiaan. Ia menghadirkan konsep umum yang dapat diterima oleh sains kemanusiaan yang lain, yaitu: struktur (structure). Pada sisi ini, dengan hadirnya konsep struktur pada analisis bahasa dan juga dalam sains kemanusiaan secara umum, hubungan antara sains kemanusiaan dengan matematika terbuka

kembali. 200 Boleh dikatakan bahwa dengan terbukanya hubungan ini, suatu proyek mathesis yang pada awal abad XIX telah mengalami keretakan karena berpisah-

nya sains analitis dengan sains empiris 201 menemukan jalan untuk terus bertahan.

Foucault. OT, hal. 389-90.

Foucault. OT, hal. 416.

Foucault. OT, hal. 268.

Selain apa yang dikatakan oleh Foucault ini, kita juga dapat melihat bahwa filsafat Barat pada awal abad XX memang berorientasi ke arah kajian bahasa. Di Inggris, kajian bahasa dimulai dari Bertrand Russell dalam kerangka formalisme bahasa menuju logika dan matematika. Di Jerman, kebutuhan untuk menjelaskan sang Ada membuat Martin Heidegger sangat fokus dan intensif dalam mengkaji bahasa. Di Perancis, gelombang kajian bahasa dimulai oleh kuliah-kuliah Ferdi- nand de Saussure yang menemukan kembali formulasi semiotis abad Klasik sete- lah lama dilupakan. Di Amerika, kajian bahasa menjadi sesuatu yang sangat pen- ting kontribusinya ketika Noam Chomsky merumuskan teori bahasa Cartesianis.

Dalam kontribusi yang terakhir, takdir bahasa untuk berhubungan dengan proses komputasi diwujudkan. Sebab, Chomsky telah menyediakan jalan bagi para ahli komputasi untuk menyusun teorema komputasi berbasis bahasa formal. Ini digunakan dalam banyak konsep pemrograman, karena pemrograman tiada lain daripada suatu bentuk rekayasa bahasa (language engineering). 202 Sehingga, sekali lagi penulis dapat menemukan korelasi yang terutama antara episteme penandaan dengan paradigma rebuilding dalam genealogi komputasi.

Proses rebuilding ini tentu saja mengandaikan penandaan pada tingkat yang paling jauh. Suatu bentuk perluasan dari taxinomia itu sendiri. Misalnya ketika konsep qubit lahir dalam komputasi kuantum ataupun penggunaan kode genetis DNA, ATGC, sebagai modul penyimpanan data maupun sebagai elemen komputasi itu sendiri. Di sisi ini, penulis boleh mengatakan bahwa rebuilding adalah aplikasi teknologis dari episteme penandaan.

Setelah kita memahami bahwa paradigma komputasi ternyata berkorelasi secara penuh dengan tiga episteme pemikiran yang ada pada sains kemanusiaan seperti diungkap oleh Foucault, pertanyaannya yang kemudian adalah apakah dari korelasi ini akan menghasilkan suatu pembacaan mengenai kemungkinan para- digma atau episteme pemikiran baru? Nampaknya, bila pertanyaan ini yang diajukan, jawabannya akan menjadi sulit karena paradigma komputasi terakhir baru saja dilahirkan dan episteme penandaan baru meningkat “remaja”. Penulis

Untuk pembahasan mengenai kontribusi Chomsky dalam komputasi, lihat dalam Badry. Op.cit ., hal. 515, terutama dalam kaitannya dengan pohon sintaksis (syntax tree).

tidak punya cukup data yang dapat diolah sebagaimana Foucault telah mengolah hal ini untuk episteme di abad Renaisans, Klasik, hingga Modern.

Akan tetapi, walaupun penulis tidak dapat memprediksi seperti apa kemungkinan hal ini, ada pertanyaan lain yang cukup penting untuk diajukan. Hal ini berkenaan dengan karakter subversif dari pengetahuan itu sendiri. Sebab, seperti telah disinggung pada sub bab 1.2., pengetahuan manusia dapat bersifat subversif sejauh itu dikorupsi oleh kekuasaan atau karena pengetahuan menjadi ranah permainan kekuasaan bagi manusia. Dalam konteks ini, pertanyaan yang diajukan akan terumuskan demikian: Seperti apakah karakter subversif penge- tahuan itu? Apakah ia merupakan karakter yang internal dari pengetahuan itu sendiri ataukah merupakan karakter eksternal yang masuk dalam ranah penge- tahuan ketika bersinggungan dengan kekuasaan?

Pertanyaan yang terakhir sebenarnya akan membawa kita pada suatu pemahaman yang lebih jauh mengenai hubungan antara pengetahuan dengan kekuasaan itu sendiri. Dalam kaitannya dengan masalah ini, penulis akan mengkaji bagaimana kekuasaan itu dipahami oleh manusia terlebih dahulu sebelum mengkaji hubungan pengetahuan dengan kekuasaan.

Semenjak Thomas Hobbes, kekuasaan dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar diri manusia. Ia adalah sesuatu yang berada di ranah politik, sebuah lahan bagi manusia untuk memperebutkan kekuasaan itu sendiri. Artinya, kekuasaan adalah sesuatu yang seharusnya direbut dan diambil. Adagium homo homini lupus dari Hobbes telah menggambarkan pengertian ini.

Namun demikian, bukan perspektif kekuasaan seperti ini yang sebenarnya sedang penulis cari di sini. Penulis ingin mengkaji kekuasaan dalam kerangka antroposentris yang paling mendasar. Antroposentris di sini menunjukkan bahwa kekuasaan itu adalah sesuatu yang mendasar dalam diri manusia. Pada sisi inilah penulis bertemu dengan pandangan Friedrich Nietzsche tentang kekuasaan. Sebab, bagi Nietzsche, kekuasaan itu ada pada relung tersembunyi dalam diri manusia. Dalam hasratnya sebagai manusia, kekuasaan itu dimunculkan.

Nietzsche, di tahun 1888, mengatakan bahwa: 203 “… kehendak berkuasa adalah bentuk primitif dari pengaruh, bahwa

semua pengaruh yang lain adalah semata-mata perkembangan darinya;

bahwa hal ini perlu dicatat dengan jelas untuk menempatkan kekuasaan dalam konteks ‘kebahagiaan’ individual (setelah semua yang hidup diandai- kan berjuang): ‘di sana ada perjuangan untuk kekuasaan, untuk meningkat- kan kekuasaan’;—kesenangan itu hanya suatu gejala dari perasaan kekuasa- an yang diperoleh, kesadaran akan perbedaan (—di sana tiada perjuangan untuk kesenangan: namun kesenangan terjadi ketika hal yang diperjuangkan- nya itu diperoleh: kesenangan itu adalah suatu pelengkap, kesenangan bukanlah motif—);

bahwa semua tenaga pendorong adalah kehendak berkuasa, bahwa di sana tiada tenaga psikis, dinamis, atau fisikawi kecuali hal ini .”

Menjadi jelas dengan apa yang dikatakan Nietzsche di atas ini bahwa setiap orang, setiap manusia memiliki kehendak berkuasa (the will to power) tanpa terkecuali.

Dalam kaitannya dengan hal ini, pengetahuan bagi Nietzsche adalah sarana kekuasaan (tool of power). Ia berkata: “pengetahuan bekerja sebagai sarana kekuasaan. Oleh karenanya, pengetahuan akan bertambah seiring dengan meningkatknya kekuasaan .” Pola pikir Nietzsche ini sekaligus mengandung

mathesis 204 . Sebab, ia mengatakan lebih jauh bahwa: “dalam rangka mempertahankan diri dan meningkatkan kekuasaan bagi

spesies yang khusus ini, konsepsi atas kenyataan seharusnya cukup meliputi hal yang konstan dan dapat diperhitungkan karena hal ini akan menjadi dasar skema perilaku. Kegunaan pemeliharaan—bukannya kebutuhan teo- retis abstrak, bukannya suatu penipuan belaka—berdiri sebagai motif di balik pengembangan organ-organ pengetahuan—mereka berkembang dalam suatu cara bahwa pengamatan mereka akan mencukupi untuk pemeliharaan kita. Dengan kata lain: pengukuran hasrat untuk pengetahuan bergantung pada pengukuran tumbuhnya kehendak berkuasa dalam suatu spesies: suatu spesies mendapatkan sejumlah pasti dari kenyataan dalam rangka menjadi penguasa atasnya, dalam rangka menekannya ke dalam pelayanan. ”

Berdasarkan pada uraian Nietzsche ini, penulis dapat mengatakan bahwa kekuasa- an ternyata merupakan bagian yang alamiah dalam diri manusia. Sebab, hasrat manusia pun berkecenderungan pada kekuasaan. Oleh karenanya, pengetahuan manusia juga dilaksanakan dalam terang kekuasaan.

Friedrich Nietzsche. The Will to Power. Trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale. New York: Vintage Books, 1968, hal. 366.

Nietzsche. Ibid., hal. 266-7.

Namun, tidak demikian halnya Francis Bacon berpendapat dalam kaitan- nya dengan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Bagi Bacon yang

mendahului Nietzsche, “Ipsa scientia potestas est”. 205 Ini adalah sebuah adagium yang memiliki arti: “pengetahuan itu sendiri adalah kekuasaan”. Posisi Bacon

justru memandang bahwa pengetahuan itu adalah wujud dari kekuasaan, atau pengetahuan = kekuasaan. Dengan posisi ini, Bacon mempengaruhi jalannya perkembangan sains di kemudian hari. Sebab, adagium ini dan karya-karya Bacon selanjutnya menjadi dasar bagi perkembangan sains modern. Ini karena Bacon juga telah meletakkan dasar-dasar metode ilmiah yang berbasis pada observasi, eksperimentasi, induksi, dan sikap kritis atas prasangka yang mungkin mempe- ngaruhi penyimpulan ilmiah, 206 seperti telah diakui pula oleh Nietzsche. 207

Demikian, sains modern berpijak pada prinsip Baconian ini dan bukannya berpijak pada prinsip Aristotelian. Sehingga, sains modern dapat berkembang me- njadi sains kontemporer seperti sekarang berikut teknologi yang juga menyer-

tainya. 208 Ini termasuk pula perkembangan yang terjadi pada komputasi DNA. Komputasi DNA adalah cicit langsung dari prinsip Baconian. Di sisi lain, bidang

komputasi DNA ini juga dapat dikata merupakan warisan dari prinsip Pythagorean ataupun Platonian yang mengandaikan bahwa di balik segala sesuatu yang

material terdapat gagasan dan kaidah matematis. 209 Komputasi DNA adalah sebuah proyek baru dari mathesis.

Bila Bacon mengatakan hal yang serupa ini, Foucault pun memiliki gagasan senada dalam konteks ini walaupun agak berbeda titik tekannya. Ia tidak

Francis Bacon dikutip via Jon R. Stone. The Routledge Dictionary of Latin Quotations: The Illiterati's Guide to Latin Maxims, Mottoes, Proverbs and Sayings . New York: Routledge, 2005, hal. 49.

Christ Verhaak. “Francis Bacon: Perintis Filsafat Ilmu Pengetahuan”, 1990, dalam Tim Redaksi Driyarkara. Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 13-9.

Nietzsche. Op.cit., hal. 261.

Antonio Pérez-Ramos telah mencatat hal ini dalam bahasannya mengenai apa yang diwariskan Bacon pada kita. Warisan ini terletak dalam pemaduan antara kekuasaan teknologis dengan pengendalian teknokratis atas alam. Lihat pada Antonio Pérez-Ramos. “Bacon’s Legacy”, dalam Markku Peltonen, Ed. The Cambridge Companion to Bacon. Cambridge: Cambridge University Press, 1996, hal. 312.

Lila Kari telah mengatakan hal yang berhubungan dengan prinsip Platonian ini secara jelas ketika ia diwawancarai tentang prospek pekerjaan yang berbasis pada komputasi DNA. Lihat wawancara Lila Kari ini dalam situs Science Careers yang ada di alamat: Lila Kari telah mengatakan hal yang berhubungan dengan prinsip Platonian ini secara jelas ketika ia diwawancarai tentang prospek pekerjaan yang berbasis pada komputasi DNA. Lihat wawancara Lila Kari ini dalam situs Science Careers yang ada di alamat:

tahuan 210 (power-knowledge). Relasi model ini, Foucault jelaskan demikian: “Hipotesis yang bekerja adalah seperti ini: hubungan kekuasaan (ber-

sama dengan perjuangan yang melewatinya atau lembaga yang memperta- hankannya) tidaklah dengan sederhana memainkan suatu pemberian fasilitas atau menghalangi peranan yang berkesesuaian dengan pengetahuan; mereka tidak hanya menganjurkan atau mendorong hal tersebut, menyimpangkannya atau membatasinya; kekuasaan dan pengetahuan tidak diikat satu sama lain semata-mata melalui tindakan dari kepentingan dan ideologi; masalahnya lalu bukan pada penentuan bagaimana kekuasaan meng-subordinasi penge- tahuan dan membuatnya melayani tujuannya atau bagaimana hal ini mela- piskan dirinya pada hal tersebut, mengesankan suatu pembatasan dan isi ideologis. Tiada pengetahuan yang dibentuk tanpa sistem komunikasi, regis- trasi, akumulasi, dan pemindahan yang juga merupakan bentuk kekuasaan dalam dirinya itu, terhubung dengan keberadaannya dan bagaimana hal itu difungsikan kepada bentuk lain dari kekuasaan. Tiada kekuasaan, pada sisi lain, yang diuji-coba tanpa dikeluarkan, ketepatan, penyebaran, atau penge- kangan dari suatu pengetahuan .”

Apa yang coba Foucault jelaskan ini lebih mudahnya akan dipahami kalau hubungan kekuasaan-pengetahuan itu diibaratkan hubungan dua sisi dalam satu koin. Antara sisi yang satu dengan sisi yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan bila penulis menganalogikan konsep Bacon tentang pengetahuan = kekuasaan dalam contoh yang sederhana, ini dapat diibaratkan sebagai wajah seseorang yang memakai topeng. Sebab, bila topeng pengetahuan itu kita buka, maka kita akan melihat wajah kekuasaan itu di dalamnya.

Pada sisi ini kita dapat lebih mudah memahami gagasan Bacon dan Foucault. Keduanya sama-sama menegaskan bahwa pengetahuan itu akan mengandaikan kekuasaan meski dengan relasi yang berbeda. Bacon berada pada posisi seseorang yang mengedepankan will to power-nya, kalau penulis memin- jam istilah Nietzschean. Sedangkan Foucault, ia justru mempertanyakan dan bersikap kritis atas will to power-nya ini. Namun begitu, seperti apakah rumusan will to power yang sebenarnya dapat kita baca pada gagasan Bacon di sisi ini?

<http://sciencecareers.sciencemag.org/career_magazine/previous_issues/articles/2001_02_02/noD OI.2886004746400048675>, diakses pada tanggal: 8 Juni 2011.

Foucault. “Penal Theories and Institutions”, dalam Michel Foucault. Ethics: Subjectivity and Truth. Essential Works of Foucault 1954-1984 . Vol. I. Ed. Paul Rabinow. New York: The New Press, 1997, hal. 17. Selanjutnya disingkat menjadi EW1.

Gagasan Bacon pada konteks will to power ini muncul secara jelas dalam pernyataan yang dirumuskannya demikian: 211

“Oleh karena manusia adalah penafsir dan agen alam; ia memahami dan melakukan sesuatu hanya sebanyak yang telah ia amati tatanan Alamnya dalam suatu pekerjaan atau dengan penyimpulan; ia tidak mengetahui dan tidak dapat melakukan yang lebih. Tiada kekuatan yang ada yang dapat menyela atau memecah matarantai sebab; dan alam itu ditaklukkan hanya dengan kepatuhan (nature is conquered only by obedience). Oleh karenanya, dua tujuan manusia ini, pengetahuan dan kekuasaan, suatu pasangan kembar, yang benar-benar datang untuk hal yang sama, dan pekerjaan-pekerjaan itu dipandu oleh ketidaktahuan sebab yang dapat membuat frustasi Therefore those two goals of man, knowledge and power, a pair of twins, are really come to the same thing, and works are chiefly frustrated by ignorance of causes .

Perhatikan kata-kata Bacon dalam “nature is conquered only by obedience”. Ini jelas merupakan suatu pernyataan mengenai will to power.

Dengan memperhatikan gagasan Nietzsche, Bacon, dan Foucault, kini kita telah memahami secara lebih jauh hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Namun demikian, apa relevansinya dalam memahami subversivitas dalam kerangka pengetahuan itu sendiri? Terutama, bila hal ini dihubungkan dengan gagasan Mark G. E. Kelly yang mengatakan bahwa sains dapat bersifat subversif oleh karena dikorupsi kekuasaan dan gagasan penulis sendiri yang menyatakan bahwa pengetahuan itu menjadi subversif bila permainan kekuasaan itu hadir dalam pengetahuan.

Pertama-tama, penulis harus menguji gagasan Kelly dalam kaitannya dengan pendapat Nietzsche, Bacon, dan Foucault (pendapat ketiganya bila disebutkan secara bersamaan akan disingkat menjadi pendapat NBF). Pendapat Kelly ini bila dilihat secara seksama akan nampak sebagai suatu pemisahan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Hal ini justru bertolak belakang dengan pendapat NBF. Sebab, ketiganya memandang pengetahuan dan kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh karenanya, penulis dapat mengatakan bahwa bukan dalam kerangka gagasan Kelly subversitas epistemologis menemukan rumusannya.

Francis Bacon. The New Organon. Ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne. Cambridge: Cambridge University Press, 2000, hal. 24. Penekanan berasal dari penulis.

Berikutnya, berkenaan dengan gagasan penulis yang menyatakan bahwa permainan kekuasaan itu dapat mengakibatkan subversivitas epistemologis, hal ini juga serupa dengan pandangan Kelly yang mengandaikan pengetahuan dan kekuasaan itu terpisah. Oleh karenanya, sehubungan dengan pendapat NBF, penulis dapat menolak rumusan yang demikian ini.

Lalu, seperti apakah rumusan subversivitas epistemologis yang tepat dalam kerangka pendapat NBF? Dalam konteks ini, penulis rupanya masih perlu belajar dari Bacon. Ini terutama berkaitan dengan konsep Bacon mengenai idola atau ilusi atau berhala. Idola ini menurut Bacon adalah sesuatu yang dapat menyesatkan kita dalam suatu pertimbangan ilmiah. Oleh karenanya, penulis perlu memperhatikan ini juga sekaligus mewaspadainya.

Pertama, idola tribus, yang diidentifikasi Bacon sebagai kesalahan yang bersumber pada manusia itu sendiri. Bahwa manusia itu adalah ukuran segala sesuatu, ini adalah sesuatu kekeliruan yang sangat. Sebab, semua persepsi bagi Bacon bersifat relatif. Pemahaman manusia itu ibaratnya adalah sebuah cermin tak rata yang menerima pantulan sinar dari sesuatu hal. Oleh karenanya, apa yang dipahami manusia dapat saja menyimpang atau terkorupsi oleh diri manusianya

itu sendiri. 212 Idola specus adalah idola kedua yang menjadi perhatian Bacon. Pada

konteks ini, Bacon mencatat bahwa setiap manusia memiliki specus atau gua-nya sendiri. Ini dapat menfragmentasi dan mengubah cahaya yang masuk dari alam. Artinya, pada sisi ini, manusia dapat terpengaruh oleh karakter yang unik pada dirinya, lingkungan, bacaan, otoritas yang ia hormati, atau karena impresi yang diterimanya. Selain ini, Bacon juga mencatat bahwa jiwa manusia dapat saja berbeda-beda di antara satu yang lainnya. Sehingga, pengetahuan yang dimiliki

manusia itu tidak sempurna seperti dikatakan Herakleitos. 213 Jenis idola ketiga adalah idola fori. Ini berkaitan dengan persetujuan dan

juga sekelompok orang. Misalnya, kita berhadapan dengan seorang tukang obat yang sedang menggelar dagangannya di fori (pasar). Ia meyakinkan kita bahwa

Bacon. Ibid., Buku I. XLI, hal. 41.

Bacon. Ibid., Buku I. XLII.

obat yang dibuatnya ini manjur dengan kata-kata yang diucapkan dan bukan dengan pembuktian di laboratorium. Persuasi melalui kata-kata oleh tukang obat inilah yang oleh Bacon disebut bagian dari idola fori. Kata-kata yang disampaikan akan berpengaruh besar dalam pemahaman. Bila kita menggunakan kata-kata yang tidak tepat, tentunya ia akan menghalangi pemahaman itu sendiri. Kata-kata dapat melakukan “kekerasan” pada pemahaman dan mengaburkan segala sesuatunya. 214

Akhirnya, kita sampai pada idola terakhir yang dikemukakan Bacon. Ini disebutnya dengan idola theatri. Maksud Bacon dengan idola theatri ini adalah untuk mengkritik dogma filosofis ataupun aturan-aturan yang dianggapnya keliru. Bagi Bacon, dogma filsafat sebelumnya itu hanya mengajarkan suatu permainan dan hanya menampilkan pemahaman yang salah dan fiksional mengenai dunia ini. Kritik ini juga berlaku atas dogma yang dikembangkan dalam sekte-sekte religius. Ia melihat banyak kesalahan di sini karena prinsip dan aksioma sains pun dipertanyakannya. Bila semuanya (dogma filosofis, dogma religius, maupun prinsip serta aksioma sains) ini berasal dari tradisi ataupun kepercayaan semata, bagi Bacon hal ini dapat menjadi masalah dalam pemahaman dan pengetahuan

manusia. 215 Dengan apa yang disampaikan oleh Bacon, terutama pada idola theatri,

sebenarnya kita mendapati bahwa Bacon sedang melakukan sesuatu yang subvert atau destroy authority. 216 Bahwa dalam rangka untuk memperoleh pemahaman

yang baik atau pengetahuan yang benar, pengetahuan dapat melakukan proses subversi tanpa henti. Sesuatu hal yang dilakukan oleh Nietzsche, Foucault, ataupun para pemikir lainnya dengan model pemikiran kritis. Inilah yang dinamakan subversivitas epistemologis atau proses kritik internal pengetahuan tanpa jeda. Ini pula yang membuat pengetahuan berkembang hingga sekarang ini.

Penulis dapat mengatakan pula bahwa subversivitas epistemologis adalah modus kekuasaan dari pengetahuan yang oleh Foucault disebut dengan strategi

Bacon. Ibid., Buku I. XLIII, hal. 41-2.

Bacon. Ibid., Buku I. XLIV, hal. 42.

Pengertian subvert serupa ini diambil dari G. N. Garmonsway. The Penguin English Dictionary . Middlesex: Penguin Books, 1969, hal. 702.

kekuasaan. Pemahaman atas subversivitas epistemologis adalah pemahaman atas mekanisme kekuasaan yang bersifat sirkular. Inilah kenapa kekuasaan tidak bergantung pada agen seperti telah diingatkan Foucault dan juga oleh Bacon dengan idola tribus-nya.

Pemahaman subversivitas epistemologis dalam kerangka ini tentu saja mendatangkan masalah. Sebab, penulis seakan-akan bersebrangan dengan para humanis yang gencar melaksanakan kritik atas perkembangan sains dewasa ini yang cenderung akan merugikan alam dan manusia itu sendiri. Namun demikian, pada konteks ini, sebenarnya penulis boleh mengatakan bahwa kritik dari para humanis tiada lain dari bentuk subversivitas epistemologis itu sendiri. Ini karena kita memang tidak dapat mengatasi atau memegang kekuasaan itu sendiri. Kita hanya dapat ber-exercise dengan kekuasaan sebagaimana dibilang Foucault. Dalam kerangka exercise inilah, subversivitas epistemologis mendapat sokongan dari kita untuk bergerak ke arah kekuasaan yang seperti apa. Ibaratnya kita sedang memegang pisau dan terserah pada kita untuk melakukan apa dengan pisau itu. Inilah jenis dari exercise atas kekuasaan-pengetahuan.

Dalam sub bab selanjutnya, kita akan melihat suatu exercise kekuasaan- pengetahuan sebagaimana dilaksanakan pada komputasi DNA. Kajiannya ini akan mirip dengan apa yang telah dilakukan Foucault dalam mengkaji tubuh sebagai tempat untuk exercise kekuasaan. Ini dapat dibaca pada riset Foucault yang bertema kegilaan, seksualitas, kepenjaraan, hingga klinik.