Perbedaan Budaya Kualitas Suara

196 konstituen yang membutuhkan anggota dewan tapi anggota dewanlah yang butuh konstituen.

3.2.1.3. Perbedaan Budaya

Seorang pimpinan dewan yang yang biasa menemui konstituen yang berkunjung ataupun berdialog dengan dengan konstituen partainya adalah tidak menjadi masalah karena sudah saling memiliki kesamaan budaya, asas, dan ideologi partainya. Namun jika seorang pimpinan dewan harus melakukan kunjungan ataupun melakukan dialog kepada masyarakat yang diluar keanggotaan partainya pasti mengalami sekat-sekat budaya. Semisal, H. Murdoko yang merasa canggung ketika harus mengunjungi pondok pesantren. Ia harus menggunakan peci dan baju muslim. Ada gegar budaya ketika Murdoko yang biasanya menemui konstituennya dari kaum abangan dan ketika harus bertemu dengan para kyai dan santri di pondok pesantren. Ini terjadi pada saat pelaksanaan reses Hari Kamis 25 Maret 2010 dengan acara Peninjauan di Pondok pesantren Roudlotul Muhtadin Dsn. Blorong Ds. Kaligading Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. Dan pada Hari Sabtu, 27 Maret 2010 dengan acara Peninjauan Taman Pendidikan Al Quran Al Muhajirin di Ds. Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Begitu juga ketika Fikri Faqih mengunjungi basis massa konstituennya di luar massa PKS. Yaitu pada saat pelaksanaan reses di Kecamatan Randusanga Kulon Brebes yang merupakan massa kaum abangan. Ia tampak kesulitan menyesuaikan diri dengan budaya yang ada pada lingkungan konstituennya. 197

3.2.1.4. Kualitas Suara

Fikri dikaruniai suara yang pelan. Maka ia sangat mengandalkan bantuan sound system untuk berpidato. Tapi saat berkomunikasi itu, konstituen tidak begitu antusias mendengarkan karena menganggap sudah biasa. Anggapan orang tidak ada hal yang baru. Gaya komunikasi Fikri yang monoton itu membuat konstituen jemu di dalam kegiatan reses. Begitu juga dengan Riza Kurniawan yang apabila berbicara terlalu lama malah tidak jelas apa inti pembicaraannya itu.

3.2.2 Hambatan Faktor Pendukung :