Beroreintasi Maqâshid ( ةيدصاقلما)

6. Beroreintasi Maqâshid ( ةيدصاقلما)

Maqâshid merupakan fitur pokok pendekatan sistem yang berfungsi sebagai pengikat diantara seluruh sistem dasar lainnya, seperti kognisi, holistik, openness, heirarki, saling terikat dan multidimensional. Pendekatan sistem berbasis maqâshid diproyeksikan dalam berkontribusi terhadap pengembangan usul fikih sehingga dapat dilakukan istinbâth hukum Islam yang humanis- responsif-progresif.

Berdasarkan pengamatan Jasser Auda, ia menemukan bahwa metodologi hukum Islam klasik lebih menekankan pada kajian indikasi lafazh ( ةيظفللا تلالالدا), tidak meneluri indikasi bahasa terhadap maqâshid (ةيدصاقلما ةيوغللا ةللالدا). Para ulama fikih klasik—baik ulama Hanafiyah maupun Mutakallimin—memberikan prioritas kajiannya pada kajian bahasa. Pola pembacaan ini menerapkan makna literal terhadap nas- nas. Dalam tataran ini, Ibn ‘Âsyûr menyatakan sebagian besar usul fikih tidak menaruh perhatian mendalam pada hikmah dan maqâshid al-syarî`ah . Akan tetapi, bahasan-bahasannya banyak berkutat mengenai istinbâth ahkâm (hukum-hukum) dari nas-nas Syâri’. Upaya ini sekadar pena`wîlan- pena`wîlan terhadap kandungan-kandungan

61 Jasser Auda, Maqâshid al-Syarî’ah..., h. 356.

makna nas, baik nas berdiri sendiri, bergandengan atau terpisah-pisah. Kesemuanya itu dilakukan secara tercerabut dari hikmah dan maqâshid al- syarî`ah umum maupun khusus dalam hukum- hukum yang digulirkan. Ulama fikih membatasi bahasan-bahasannya tertuju pada lafaz-lafaz syarîah. 62

Problem pendekatan literalis dan minimnya pemanfaatan dalâlah maqshad (indikasi berbasis maqâshid) atau spirit nas merupakan polemik umum dalam metodologi terkait dengan teks- teks undang-undang, bahkan dalam aliran filsafat hukum kontemporer. Aliran filsafat Jerman, utamanya Jhering dan aliran filsafat Perancis, tokoh utamanya Geny mengkampanyekan dalam memaksimalkan maqâshid ( ةيدصاقلما), bahkan menyerukan rekonstruksi hukum berdasarkan maqâshid demi merealisasikan maslahat dan keadilan. Jhering menyeru pergantian dari metode ‘mekanis kausalitas’ menuju metode maqâshid. Ke arah sana, Geni menyeru untuk mewujudkan suatu metode yang memberi signifikansi lebih besar pada maqâshid tasyrî’/perundang-undangan yang diistibâthkan dari teks yang dengannya bisa mengarahkan interpretasi penafsir undang- undang. Namun, sayangnya ajakan-ajakan progresif ini belum membuahkan perubahan- perubahan mendasar dalam metodologi umum filsafat undang-udang positif saat ini. Dengan demikian, pemanfaatan maqâshid merupakan filsafat hukum dan tasyrî’/perundang-undangan yang sangat dibutuhkan. 63

Dalam pemikiran Jasser Auda bahwa sistem dalâlah linguistik ( ةيوغللا تلالالدا) dalam usul figh bisa merealisasikan maqâshid ( ةيدصاقم) dengan beberapa usulan berikut ini:

a. Dalâlah al-maqshad ( دصقلما ةللاد) harus di- tambahkan pada macam-macam dalâlah lingustik terhadap nas-nas ( ةيوغللا تلالالدا صوصنلل). Namun, prioritasnya tidak dapat di tetapkan secara rigit, melainkan dalâlah al-maqshad tunduk pada kondisi yang mengitarinya dan urgensi ‘maksud’ itu sendiri

b. Kemungkinan takhshîsh, ta`wîl dan nasakh merupakan tiga kriteria yang membedakan

62 Jasser Auda, Maqâshid al-Syarî’ah..., h. 363. 63 Jasser Auda, Maqâshid al-Syarî’ah..., h. 364-365.

Ainol Yaqin: Rekonstruksi Maqâshid Al-Syarî`ah dalam Pengembangan Metodologi Hukum Islam

dengan macam-macam ‘ibârat, yaitu muhkam, kemajuan berperadaban, persaudaraan, hak-hak nas, zhâhir dan mufassar. Pada ranah ini,

asasi manusia, kemanusiaan, dan pemeliharaan maqâshid dalam dibuat dasar dalam takhshîsh

lingkungan. Bagi Jasser Auda, memasukkan dan ta`wîl. Suatu ‘ibârat bisa ditakhshîsh dan

pengembangan sumber daya manusia dalam dita`wîl dengan maqâshid itu sendiri atau

maslahat umum sebagai bagian dari maqâshid ‘ibârat tersebut menakhshîsh atau mena`wîl

al-syarî`ah sangat penting. Hal itu mungkin ‘ibârat lain berdasarkan maqâshid.

dilakukan dengan mengacu pada laporan dari

c. Tujuan ‘ibârat harus menentukan validitas indeks pengembangan manusia. Jasser Auda mafhûm mukhâlafah-nya. Berbeda dengan

memanfaatkan enam fitur teori atau filsafat metode klasik yang mengaitkan kehujjahan

sistem, yaitu kognitif, holistik, keterbukaan, mafhûm mukhâlafah apabila suatu ‘illat dapat

hierarki, multidimensional, dan berorientasi mencakup dua hukum yang bertentangan

maqâshid sebagai alat analisis pada teori-teori dalam satu waktu. Dan jika makna-makna

metodologi hukum Islam. Melalui pendekatan ini, mafhûm mukhâlafah ditunjukkan oleh nas-

setiap teori-teori klasik yang terdapat kebuntuan nas lain maka setiap dalâlah-dalâlah yang

ketika diaplikasikan pada nas-nas syara’, tidak bertentangan itu diperhitungkan dalam area

mendapatkan titik temu, dapat diurai dan dilerai maqâshid umum maupun khusus.

berbasis pada maqâshid, sehingga semua teori dapat diintegrasikan dan diinterkoneksikan dalam

d. Ungkapan Alquran atau sunah mengenai maqâshid, yang biasanya berbentuk umum

membaca sejumlah nas, serta secara cermat memerhatikan realita.

atau muthlaq harus diberlakukan umum, tidak boleh ditakhshîsh atau dibatasi dengan

Oleh sebab itu, setiap hukum Islam yang nas-nas khusus. Sebaliknya, nas-nas khusus

berdampak positif pada pengembangan sumber tidak boleh diabaikan demi memenuhi

daya manusia, semestinya dipelihara dan di- kepentingan nas-nas umum dan muthlaq.

tingkat kan, sebaliknya setiap hukum yang Dengan demikian, setiap ‘ibârat diberikan

me lemahkan sumber daya manusia, seharus- peran dalam implikasinya terhadap hukum

nya disingkirkan dan ditolak. Dengan langkah dalam bingkai maqâshid umum maupun

semacam ini, diharapkan umat Islam dari waktu khusus.

ke waktu semakin berkualitas dalam segala aspek kehidupan; pendidikan, ekonomi, politik, budaya

e. Korelasi antara ‘ibârat-‘ibârat mushlaq, dan hukum, sehingga Islam benar-benar dicitrakan

muqayyad (dibatasi) dan yang berkaitan dengan hukum itu sendiri yang memantik

dan diketahui masyarakat dunia sebagai agama yang unggul dan berperadaban maju.

perselisihan pendapat di kalangan ulama, hubungan itu harus didasarkan dari aspek

kesesuaiannya pada maqâshid, bukan

Pustaka Acuan

dilandaskan pada kaidah linguistik atau logika `Abdurrahmân, Muhammad Ibn Muhammad Ibn, umum. 64

Taisîr al-Wushûl ilâ Minhâj al-Ushûl min al- Ma’qûl wa al-Manqûl, Juz V, Kairo: al-Fârûq

al-Hadîtsah, 2002. `Âbidîn, Ibnu, Raddu al-Mukhtâr ‘alâ Durri al-

Penutup

Berdasarkan paparan di atas, maka bisa Mukhtâr, Juz IX, Beirut: Dâr al-Kutub al-

disimpulkan bahwa Jasser Auda merupakan tokoh

Ilmiyah, 2003.

muslim kontemporer yang berpikir ekstra untuk `Âsyûr, Muhammad Thâhir Ibn, Maqâshid al-

berijtihad dalam menganalisa metodologi hukum Syarî`ah al-Islâmiyah, Cet. 2. Yordan: Dâr al-

Islam dengan teori sistem berbasis maqâshid

Nafa`is, 2001.

al-syarî`ah, ini dimaksudkan guna menghadirkan `Athiyyah, Jamâluddîn, Nahwa Taf’îl Maqâshid al-

hukum Islam yang memuat prinsip-prinsip keadilan, Syarî`ah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001.

kesetaraan, kebebasan, toleransi, kasih sayang, Abdullah, M. Amin, Epistemologi Keilmuan Kalam

dan fikih Dalam Merespon Perubahan di Era

Jasser Auda, Maqâshid al-Syarî’ah..., h. 366-367.

MADANIA Vol. 22, No. 1, Juni 2018

Negara-Bangsa dan Globalisasi; Pemikiran Filsafat Khallâf, Abdul Wahhâb, ‘Ilmu Ushûl al-Fikih, Kairo: Keilmuan Agama IslamJasser Auda. Jurnal al-

Dâr al-‘Ilmu, 1978.

Syir’ah, Vol. XIV No. 2 Juli - Desember 2012. Khudharî Bek, Muhammad al-, Ushûl al-Fikih, Alwânî, Thaha Jâbir al-, Maqâshid al-Syarî`ah,

Beirut: Dâr al-Fikr, 1988. Beirut: Dâr al-Hadi, 2001.

Najjâr, ‘Abd al-Majîd al-, Maqâshid al-Syarî`ah bi Âmidî al-, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Juz I, Beirut:

Ab’âd Jadîdah, Beirut: Dâr al-Gharab al-Islâmî, Dâr al-Fikr, 1996.

2008.

Anshârî, ‘Abdul al-’Alî Muhammad bin Nidhâmuddîn Prihantoro, Syukur, “Maqâshid al-Syarî’ah dalam al-, Kitâb Fawâtih al-Rahamût, Jld II, Beirut:

Pandangan Jasser Auda; Sebuah Upaya Dâr al-Fikr, t.t.

Rekontruksi Hukum Islam Melalui Pendekatan Arfan, Abbas, “Maqâshid al-Syarî’ah sebagai

Sistem”, Jurnal at-Tafkir, Vol. X, No. 1, Juni sumber hukum Islam; Analisis terhadap

2017

pemikiran Jasser Auda”, Jurnal al-Manahij, Qardhâwî, Yûsuf al-, Dirâsah fi Fikih Maqâshid Vol VII, No. 02, Tahun 2013.

al-Syarî`ah Bayna al-Maqâshid al-Kulliyah wa Asybahânî, Mahmûd bin ‘Abdurrahmân al-, Bayân

al-Nushûsh al-Juz`iyah, Beirut: Dâr al-Syurûq, al-Muhktashar Syarh Mukhtashar Ibn al-Hâjib fî

2006.

Ushûl al-Fikih, Jld II, Mesir: Dâr al-Salam, 2004. _____, Kaifa Nata’âmal ma’a al-Qur’ân al-‘adhîm, Auda, Jasser, Maqâshid al-Syarî`ah kafalsafah

Kairo: Dâr al-Syurûq, 1999. littasyrî’ al-Islâmî ru`yah mandhûmiyah, terj.

Said, Imam Ghazali dan A. Ma’ruf Asrori (peny.), `Abdul Lathîf al-Khayyath, Jordania: al-Ma’had

Ahkâm al-Fukaha fî Muqarrarât Mu`tamarât al-Aly li al-Fikr al-Islâmî, 2012.

Nahdlah Al-‘Ulama (Solusi Problema Aktual Badrân, ‘Abdul Qâdir ibn, al-Madkhal ilâ Mazhab

Hukum IslamKeputusan Muktamar, Munas, Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Beirut: Mu`assasah

dan Konbes Nahdatul Ulama 1926-1999 M), al-Risâlah, 1981.

Surabaya: Lajnah Ta`lif Wan Nasyr, 2005. Bannânî al-, Hâsyiyah ‘alâ Syarhi al-Jalâl al-Mahallî,

Sarkhasî, Muhammad Ibn Abî Sahl al-, al-Mabsûd, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Juz VIII, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt., Bukhârî, ‘Abdul ‘Azîz bin Ahmad al-, Kasyfu al-Asrâr,

Subkî al-, Jam’u al-Jawâmi fî Ushûl al-Fikih, Beirut: Jld IV, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiah, 1997.

Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 2003. Fasa, Muhammad Iqbal, “Reformasi Pemahaman

Supriadi, Akhmad, Sistem Sebagai Filsafat; Tawaran Teori Maqâshid Syarî’ah; Analisis Pendekatan

Baru Jasser Auda Bagi Pengembangan Hukum Sistem Jasser Auda”, Jurnal Hunafa: Jurnal

Islam Kontemporer”, Jurnal Studi Agama dan Studia Islamika, Vol. 13, No. 2 Desember 2016,

Masyarakat, Vol 13, No 2, Desember 2017 Fâsî, ‘Allâl al-, Maqâshid al-Syarî`ah al-Islâmiyah

Suyûthî, Jalâluddîn al-, Syarh al-Kaukab al-Sâthi’, wa Makârimuhâ, Riyadh: Dâr al-gharab al-

Juz II, Kairo: Maktabah al-Iman, 2000. Islâmî, 1993.

Syahrûr, Muhammad. Nahw Usul Jadîdah li al-Fikih Ghazâlî, Abû Muhammad bin Muhammad al-, al-

al-Islâmî. Damaskus: al-Ahâlî li ath-Thibâ’ah Mustashfâ min ‘Ilmi al-Ushûl, II, Beirut: Dâr

wa al-Nasyar al-Tawzî, 2000. al-Fikr, tt.

Syâthibî, Abû Ishâq al-, al-Muwâfaqât fî Ushûl al- Hammâm, al-Kamâl ibn al-, al-Taqrîr wa al-Tahbîr,

Syarî`ah, Jld II, Mesir: al-Maktabah al-Tijâriyah Jld III, Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiah, 1983.

al-Kubrâ, tt.

Hanafî, Ibnu al-Himâm al-, Syarh Fath al-Qadîr, Zahrah, Muhammad Abû, al-Mu’jizat al-Kubrâ al- Juz V, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.

Qur’ân, Juz II, Bairut, Dâr al-Fikr, t.t. Hanbalî, ‘Alî Ibn Sulaimân al-Mardâwî al-, al-Tahbîr

Zarkasyî, Muhammad Ibn Bahâdir al-, al-Bahru Syarh al-Tahrîr fî Ushûl al-Fikih, Jld VII, Riyadh:

al-Muhîth fî Ushûl al-Fikih, Juz V, Kairo: Dâr Maktabah al-Rusy, 2000.

al-Shafwah, 1992.

Jawziyah, Ibn Qayyim al-, A’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Zuhailî, Wahbah al-, al-Wajîz fî Ushûl al-Fikih, Rabbil’âlamîn, Jld III, Beirut: Dâr al-Fikr, 1977.

Beirut: Dâr al-Fikr, 1999. Juwainî al-, al-Burhân fî Ushûl al-Fikih, Mesir: al-

_____, Ushûl al-Fikih al-Islâmî, Jld II. Beirut: Dâr Wafâ`, 1997, Jilid II

al-Fikr, 2009.

| 82