Mekanisasi Pancing Ulur Untuk Meningkatkan Efektivitas dan Efesiensi Penangkapan Ikan Demersal di Perairan Pulau Ambon Provinsi Maluku

MEKANISASI PANCING ULUR UNTUK MENINGKATKAN
EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PENANGKAPAN IKAN DEMERSAL
DI PERAIRAN PULAU AMBON - PROVINSI MALUKU

DONALD NOIJA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

i

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “ Mekanisasi Pancing Ulur
Sebagai Fungsi Efektif dan Efesiensi Penangkapan Ikan Demersal Di Perairan
Pulau Ambon “ adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Donald Noija
NIM C461090021

ii

RINGKASAN
DONALD NOIJA. Mekanisasi Pancing Ulur Untuk Meningkatkan Efektif dan
Efesiensi Penangkapan Ikan Demersal Di Perairan Pulau Ambon.Provinsi Maluku.
Dibimbing
oleh
SULAEMAN
MARTASUGANDA,
BAMBANG
MURDIYANTO, AM AZBAS TAURUSMAN.

Salah satu sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi di
pulau Ambon adalah sumberdaya perikanan demersal di perairan yang lebih
dalam. Selama ini nelayan lebih banyak memanfaatkan sumberdaya perikanan
demersal di wilayah pesisir pada perairan dangkal, sehingga produksi yang
mereka dapatkan saat ini sudah jauh berkurang dibandingkan tiga sampai lima
tahun terakhir. Selain itu ukuran ikan hasil tangkapan juga sudah semakin kecil
dan daerah penangkapan sudah semakin jauh. Jenis-jenis alat tangkap yang
digunakan masih bersifat konvensional seperti: rawai, pancing tangan, gill net dan
bubu. Eksploitasi sumberdaya ikan demersal dengan peralatan konvensional akan
menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya dengan produksi yang rendah.
Untuk itu inovasi teknologi yang memudahkan nelayan memanfaatkan
sumberdaya perikanan di perairan lebih dalam (>20-100 m) sangat dibutuhkan.
Salah satu alternatif teknologi yang dianggap dapat menjawab tantangan tersebut,
diantaranya adalah mekanisasi alat tangkap pancing. Alat tangkap pancing, selain
konstruksinya sederhana biayanya juga relatif murah, dengan demikian jika
ditambahkan sentuhan teknologi akan memberikan produktifivitas yang tinggi.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Menentukan potensi dan tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan demersal di perairan Pulau Ambon; 2) Memetakan Karakteristik
nelayan perikanan demersal di pulau Ambon; 3) Mengkonstruksi pancing ulur
dengan mekanisasi; 4) Menentukan tingkat efektivitas dan efisiensi penangkapan

ikan demersal di pulau Ambon.
Pengambilan data dilakukan melalui
wawancara dan survei yang dianalisis secara diskriptif dan ditampilkan dalam
bentuk tabel dan gambar. Untuk mengetahui potensi dan tingkat pemanfaatan
menggunakan lima model anailis yaitu: Disequilibrium Schaefer, Schaefer,
Walter-Hilborn/WH, Schnute dan Clark Yoshimoto and Pooley/CYP. Untuk
mengetahui efektivitas dan efisiensi menggunakan uji Duncan dan analisis
diskriptif.
Selama penelitian ditemukan 22 jenis ikan demersal dengan nilai ekonomis
tinggi yang ditangkap oleh nelayan. Dari 22 jenis ikan tersebut ada lima 5 jenis
yang mendominasi hasil tangkapan dari sisi jumlah maupun frekwensi
kehadiran atau yang dapat ditemukan hampir diseluruh daerah dan musim
penangkapan. Lima jenis tersebut adalah: 1) lencam (Lethrinus sp), (2) kurisi
(Etelis spp); (3) kerapu (Ephinephelus sp); (4) kakap merah (Lutjanus spp);
dan 5) ikan bobara (Caranx sp). Daerah penangkapan jenis-jenis ikan tersebut
teridentifikasi sebanyak 30 lokasi.
Potensi ikan Lencam (Lethrinus sp) pada tingkat lestari (MSY: Maximum
Sustainable Yield) 1575 ton pada upaya optimum 184.207 trip, dengan tingkat
pemanfaatan saat ini 19,19 %. Potensi ikan Kurisi pada tingkat MSY adalah 67
ton, dengan tingkat pemanfaatan 59,63%. Potensi ikan Kerapu (Epinephelus

spp) pada tingkat MSY adalah 572,02 ton pada upaya optimum 15.753 trip,
dengan tingkat pemanfaatan 31,27%. Potensi ikan kakap merah (Lutjanus spp)
pada tingkat MSY adalah 146,83 ton pada upaya optimum 2.631 trip, dengan
iii

tingkat pemanfaatan 47,47%. Potensi ikan Kuwe (Caranx sp) pada tingkat
MSY adalah 270,60 ton pada upaya optimum 3630 trip, dengan tingkat
pemanfaatan 26,96%.
Nelayan perikanan demersal di Pulau Ambon dikarakteristikan sebagai
nelayan komersil, sudah mengenyam pendidikan. Lebih banyak (70%) tamat
sekolah menengah pertama sampai sarjana sedangkan 30% sisanya tamat SD.
Dengan tingkat pendidikan, disertai dengan pengalaman dan skill yang dimiliki
nelayan akan mempercepat penyerapan teknologi. Nelayan perikanan demersal di
Pulau Ambon memiliki tingkat pendapatan yang tinggi, bahkan 19% diantaranya
memiliki pendapatan di atas Rp. 6.000.000.-/bulan, walaupun demikan ada sekitar
21% upahnya di bawah UMP Provinsi Maluku.
Konstruksi alat tangkap pancing yang dimekanisasi menggunakan line
hauler. Line hauler adalah satu alat yang digerakan secara mekanik untuk dapat
menarik rangkaian tali utama (main line) pada waktu hauling, untuk selanjutnya
rangkaian tali pancing tersebut dapat tersusun dan ditata secara baik pada

penggulung. Komponen penyusun dari mekanisasi line hauler adalah: invelter, aki
(accu), alternator, rantai (belt), bantalan (laher), speed control, gir dan tiang
penyangga. Hal penting dalam merakit line hauler adalah panjang dan sudut
kemiringan tiang penyangga. Panjang tiang penyangga yang baik adalah sama
dengan lebar kapal dengan sudut kemiringan yang memberikan jarak aman kerja
450 dan kecepatan putar 800 rpm.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan line hauler memberikan
kenyamanan kerja bagi nelayan dengan saat yang lebih pendek dibandingkan
dengan yang tradisional. Di sisi lain, dengan menggunakan line hauler sangat
kecil kemungkinan atau peluang terjadi pengkusutan tali utama, yang dapat
menghambat proses operasi penangkapan. Walaupun demikian, hasil penelitian
juga menunjukan bahwa jumlah hasil tangkapan dengan mekanisasi dan cara
tradisional tidak memiliki perbedaan yang signifikan diakibatkan karena sentakan
oleh nelayan saat ikan memakan umpan dapat dilakukan sehingga memberikan
peluang lebih besar untuk ikan tertangkap dengan cara tradisional. Sedangkan
dengan menggunakan line hauler peluang itu tidak ada. Dengan demikian perlu
dilakukan perbaikan-perbaikan lagi dari sisi metodologi untuk meningkatkan hasil
tangkapan dengan menggunakan line hauler. Hal ini dimungkinkan karena saat ini
merupakan awal dari penggunaan line hauler.
Kata kunci


: Ikan demersal, karakteristik nelayan, mekanisasi, teknologi
penangkapan.

iv

SUMMARY
DONALD NOIJA . Mechanization of hand line as a function of effectively and
efficiency demersal fish fishing in Ambon Provinsi Maluku Island waters
Supervised by SULAEMAN MARTASUGANDA, BAMBANG MURDIYANTO,
AM AZBAS TAURUSMAN.
One of the fishery resources which has high economic value is demersal
fishes at deeper waters. Nowadays, fishers in Ambon Island tend to ulilize
demersal fishes at shallow coastal waters. As a result, their production is less and
less compare to the three to five years ago. In addition, the fishes caught are
smaller anf the fishing grounds become further. This high potential is not
supported by proper fishing technology. Fishing gears used are still conventional
such as long line, hand line, gill net and trap. Exploitation of demersal fishes by
using conventional gear need more time, more labour and more expensive but
the production is low. Therefore, straightforward innovation in technology to help

fishers to utilize fishery resources at deeper water (> 20-100m) is urgently needed.
One of the alternative technology to overcome these problem is mechanized hand
line using line hauler. Hand line is not only simple in construction but also
relatively cheap. So if technology is added, this simple and cheap fishing gear will
result in high production. The objectives of this research were to: 1) Determine
potential and exploitation level of demersal fish resources in the waters of Ambon
Island; 2) Mapping characteristic of demersal fishery fishers in Ambon Island; 3)
Construct mechanized hand line; and 4) Determine effectivitely and efficiency of
demersal fish fishing in Ambon Island.
Data was collected through interview and survey. Potential and utilization
level were analised using five models namely Disequilibrium Schaefer, Schaefer,
Walter-Hilborn/WH, Schnute & Clark and Yoshimoto & Pooley/CYP.
Effectivitely and efficiency was determined using Duncan test and descriptive
analysis.
Totally, there were 22 demersal species caught during the result. Five of
those species dominated catches in term of number, occurrence frequency or
caught in most of fishing ground and fishing season. Those five species are: 1)
Lencam (Lethrinus sp), (2) Kurisi (Etelis spp); (3) Kerapu (Ephinephelus sp);
(4) kakap merah (Lutjanus spp); and 5) Bobara (Caranx sp). The five species
above were caught at 30 locations.

Potential of Lencam (Lethrinus sp) at level of Maximum Sustainable
Yield (MSY) is 1575 ton and 184,207 trips of optimum effort with 19.19% of
utilization level. The potential of Kurisi (Etelis spp) at MSY is 67 ton and trips
of optimum effort with 59.63% of utilization level. The potential of Kerapu
(Epinephelus spp) at MSY is 572.02 ton and 15,753 trips of optimum effort
with 31.27% of utilization level . The potential of kakap merah (Lutjanus spp)
at MSY is 146.83 ton and 2,631 trips of optimum effort with 47.47% of
utilization level. The potential of Kuwe (Caranx sp) at MSY is 270.60 ton and
3,630 trips of optimum effort with, with 26.96% of utilization level.
Demersal fishery fishers in Ambon Island are commercialy and welleducated. Most of the fishers (70%) at least finished their yunior high school
and even graduated from the university, whilst the rest (30%) finished

v

elementary school only. With this level of education as well experience and
skill, those fishers will absorb new technology quikly. Demersal fishery fishers
in Ambon Island also have high income, in which 19% have income >Rp
6,000,000 while only 21% have income lower than minimum income of
Maluku Province.
Line hauler is mechanically apparatus to pull main line when hauling, and

the arrange it properly at reel. Line hauler consist of invelter, accu, alternator, belt,
laher, speed control, gir and supporting pole. The important things in assembling
line hauler are length and angle of the supporting pole. Length of supporting pole
should be equal to the width of the boat with an angle of 45º and the rolling speed
is 800 rpm.
The results showed that by using line hauler, fishers are more comfortable in
fishing operation and their duaration of hauling is signicantly shorter compare to
the traditional hand line. In addition, problem to inhibit fishing operation such as
entangled of main line can be avoided. However, the result also showed that there
is no significant difference between mechanized and traditional hand line in term
of the number fish caught. By using mechanized hand line (line hauler), the
fisher can not fell with his bare hand when fish bite the bait. On the contrary, with
traditional hand line, the fisher can feel it and then make a jolt, so probality to
catch fish is higher. This result showed that line hauler method should be
improved in the future in order to improve fish production of demersal fish. The
improvement is possible because currently application of line hauler is just a
beginning.
Keywords: Demersal fishes, fishers characteristic,fishing technology, mechanized

vi


Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vii

MEKANISASI PANCING ULUR UNTUK MENINGKATKAN
EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PENANGKAPAN IKAN
DEMERSAL DI PERAIRAN PULAU AMBON

DONALD NOIJA

Disertasi

sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

viii

Penguji pada UjianTertutup : 1. DR. Ir. M. Imron, MSi
2. DR. Ir. Zulkarnain, MSi

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. DR Ir A Tupamahu, Msi
2. DR Ir Ronny I Wahyu, M.Phil

ix

Disertasi

:

Mekanisasi Pancing Ulur Untuk Meningkatkan Efektivitas
dan Efesiensi Penangkapan Ikan Demersal di Perairan
Pulau Ambon Provinsi Maluku

Nama
NIM

:
:

Donald Noija
C461090021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Sulaeman Martasuganda, MSc
Ketua

Prof Dr Ir Bambang Murdiyanto, MSc
Anggota

Dr Am Azbas Taurusman, SPi MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

x

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa
atas segala kasih karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul: Mekanisasi
Pancing Ulur Untuk Meningkatkan Efektifitas dan Efesiensi Penangkapan Ikan
Demersal di Perairan Pulau Ambon Propinsi Maluku yang dilaksanakan sejak
bulan April 2011 sampai bulan April 2012 dapat terselesaikan.
Terselesaikannya Karya Ilmiah ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai
pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih
kepada Rektor Universitas Pattimura, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Dr. Sulaeman Martasuganda, MSc, Prof
Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, MSc dan Dr. Am Azbas Taurusman, SPi,MSi,
masing-masing selaku komisi pembimbing, yang telah banyak memberi saran dan
masukan sehinga tulisan ini dapat terselesaikan. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada pihak sponsor: NUFFIC – Belanda melalui PT MDF
Pasific Indonesia di Bali dan seluruh staf, ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Universitas Pattimura Ambon, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan yang telah memfasilitasi dana pendidikan dan penelitian bagi penulis,
masyarakat desa Hukurila, masyarakat desa Tapi, masyarakat nelayan yang berada
disekitar pesisir pantai selatan Pulau Ambon, masyarakat di sekitar pantai desa
Leahari yang telah banyak membantu selama pengumpulan data lapangan serta
terlibat langsung dalam proses pemancingan.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ir. L.Totoda, MSi
yang telah memfasilitasi penulis selama kegiatan peneitian berlangsung,
Dr.Ir.W.Waileruny, MSi dan Dr.Ir.D.Matruti, MSi yang selam ini telah banyak
membantu penulis sehingga disertasi ini boleh rampung. Buat mereka yang saya
cintai Ayah (almarhum) Ibu tercinta, serta semua kakak beradik yang dengan tulus
atas segala Doa dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis sampaikan kepada Istri
Tercinta Maritje serta anak-anak tersayang Ezechiella, Francisca, Grace Nathalia
yang telah banyak memberikan dorongan serta Doa buat penulis sehingga
penulisan ini boleh terselesaikan.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi mereka yang
membutuhkannya.

Bogor,

Agustus 2014
Donald Noija

xi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xvii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan Penelitian
2 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBERDAYA
IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PULAU AMBON
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan
3 KARAKTERISTIK NELAYAN PERIKANAN DEMERSAL
DI PULAU AMBON
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil danPembahasan
Kesimpulan
4 MEKANISASI ALAT TANGKAP PANCING ULUR DENGAN
MEMPERGUNAKAN LINE HAULER
Pendahuluan
Bahandan Metode
Hasil dan Pembahasan
kesimpulan
5 EFESIENSI DAN EFEKTIFITAS ALAT TANGKAP PANCIN
ULUR MEKANISASI DAN PANCING ULUR TRADISIONAL
DI PERAIRAN PULAU AMBON PROPINSI
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan
6 PEMBAHASAN UMUM
7 KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xii

1
1
2
3
4
5
5
10
12
18
19
19
22
23
32
33
33
35
35
71

72
72
78
79
86
87
91
93
100
114

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Jenis dan ukuran ikan demersal di perairan Pulau Ambon
Distribusi Ikan Demersal di Perairan Pulau Ambon berdasarkan wilayah
penangkapan dan musim
CPUE, Potensi dan tingkat pemanfaatan jenis ikan demersal di
perairan Pulau Ambon
Perbandingan situasi technico-socio-economic antara nelayan tradisional
dengan nelayan industri
Pendidikan, usia dan status pernikahan dari nelayan perikanan demersal
di Pulau Ambon
Jumlah anak, tanggungan anak sekolah dan anggota keluarga para
nelayan yang bekerja
Pendapatan nelayan perikanan demersal di Pulau Ambon
Spesifikasi Inverter
Pengujian Lama waktu Penarikan Pada Kecepatan Putar 800 rpm
P engujian Lama Waktu Penarikan Pada Kecepatan Putar 1200 rpm
Pengujian Lama Waktu Penarikan Pada Kecepatan Putar 1500 rpm
Rekapitulasi hasil pengujian sampel ikan terhaap kecepatan putar 800
rpm ,1200 rpm dan 1500 rpm
Ukuran dan besar dari pancing
Ukuran serta bagian-bagian dari kapal tradisional
Ukuran serta bagian-bagian dari kapal fiberglass
Jenis dan Jumlah hasil tangkapan pancing ulur non mekanisasi
dan mekanisasi
Pengaruh ukuran ikan terhadap lama waktu penarikan pancing ulur non
mekanisasi dan mekanisasi
Uji Lanjut Duncan pada Metode Mekanisasi
Uji Duncan untuk Metode Tradisional

xiii

13
15
18
27
29
30
30
39
54
54
55
55
56
62
63
80
83
84
84

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian
2 Sebaran daerah penangkapan jenis-jenis ikan demersal di
perairan Pulau Ambon
3 Jenis kapal yang digunakan nelayan (a) As pendek (b) As panjang
(c) tanpa mesin (motor penggerak)
4 Diagram alir pembuatan line hauler
5 Penutup dan Komponen Perangkat Mekanisasi Line Hauler
6 Inverter yang dipakai dalam penelitian
7 Rangkaian kerja dari inverter
8 Baterai/aki basah
9 Alternator yang dipakai untuk mekanisasi pancing ulur
10 Bentuk sederhana konstruksi alternator
11 Fan belt dan rantai
12 Tipe Fan belt berbentuk „V‟
13 Bearing (bantalan)
14 Bantalan bola (ball bearing)
15 Rol Silinder (cilindrical roller ) Rol Tirus (Tapered Roller)
16 Rol Jarum (needle roller)
17 Bantalan Rol Tirus (tapered roller)
18 Rol Bulat
19 Speed Kontrol
20 Gear yang dipakai untuk mekanisasi alat tangkap pancing ulur
21 Alat penggulung kenur
22 Bebagai jenis pemberat
23 Tiang penyangga
24 Sudut kemiringan daerah aman kerja
25 Urutan pemasangan kabel pada (aki, inverter, speed control, alternator
26 Konstruksi line hauller mekanisasi
27 Kedudukan line hauler di dalam perahu
28 Bagian-bagian pancing ulur yang digunakan oleh nelayan
di sekitar perairan Pulau Ambon
29 Konstruksi pancing ulur yang dipakai oleh Nelayan
30 Pemberat yang dipakai oleh nelayan
31 Pengulung yang dipakai oleh sebagian Nelayan di Pulau Ambon
32 Ukuran pengulung yang dipakai oleh sebagian Nelayan
di Pulau Ambon
33 Swivel yang dipakai selama penelitian serta ukuran
34 Perahu tradisional yang dipakai oleh nelayan
35 Kapal yang terbuat dari fiberglass yang dipakai dalam penelitian
36 Jenis – jenis ikan yang di pakai sebagai umpan, a) ikan layang, b)
ikan selar, c) cumi, d) suntung
37 Diagram proses tertangkapnya ikan oleh alat tangkap pancing
(line fishing).
38 Jenis-jenis snar yang umum dipakai dalam kegiatan memancing,
a) senar gulungan tanpa spool, b) senar yang mempergunakan spool.
39 Ilustrasi beberapa kelemahan yang terdapat pada pancing ulur tradisional.

xiv

3
14
25
37
38
38
39
41
42
43
44
45
45
46
47
47
48
48
49
49
50
50
51
52
52
53
54
56
57
58
59
59
60
62
63
66
67
69
71

40 Peta Lokasi Penelitian
41 Perbandingan berat hasil tangkapan pancing ulur non
mekanisasi dan mekanisasi
42 Perbandingan panjang hasil tangkapan pancing ulur dengan metode
tradisional dan mekanisasi
43 Lama waktu pemancingan dengan pancing ulur non mekanisasi dan
Mekanisasi
44 Hubungan berat ikan hasil tangkapan dengan waktu penarikan
dengan menggunakan pancing ulur mekanisasi
45 Hubungan panjang hasil tangkapan dengan lama waktu
penarikan menggunakan pancing ulur mekanisasi
46 Hubungan berat ikan hasil tangkapan dengan lama waktu
penarikan menggunakan pancing ulur non mekanisasi
47 Hubungan panjang ikan hasil tangkapan dengan lama
waktu penarikan menggunakan pancing ulur non mekanisasi

xv

79
80
81
81
82

82

83
83

DAFATAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7
8

Aktifitas pembuatan alat tangkap dengan line hauller
Pengujian Putaran Mesin Alternator
Peralatan yang dipakai sebagai penyusun alat mekanisasi
Aktivitas nelayan tradisional pada saat pemancingan dan sesudah
Hasil Uji T metode tradisional vs mekanisasi
Pengaruh waktu terhadap berat ikan hasil tangkapan (mekanisasi)
Pengaruh waktu terhadap panjang ikan hasil tangkapan (mekanisasi)
Perbedaan waktu terhadap berat dan panjang ikan
hasil tangkapan (tradisional)
9 Perbedaan waktu terhadap berat ikan hasil tangkapan (tradisional)
10 Perbedaan waktu terhadap panjang ikan hasil tangkapan (tradisional)

xvi

100
101
102
103
104
105
106
107
109
110

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perikanan demersal merupakan komponen yang sangat penting dari total
tangkapan dunia (FAO 2009). Di Maluku pemanfaatan potensi sumberdaya ikan
demersal khususnya di bidang perikanan tangkap belum memberikan hasil yang
optimal. Ini ditandai dengan produktivitas yang rendah dari nelayan, kurangnya
sumbangan bidang perikanan untuk pembangunan di daerah dan rendahnya
taraf hidup nelayan. Disamping itu upaya penangkapan masih dilakukan pada
perairan dangkal, sedangkan pemanfaatan ikan demersal di perairan lebih dalam
belum optimal bahkan baru dikomersilkan akhir-ahir ini karena permintaan pasar
dan perubahan pola makan konsumen sehubungan dengan nilai rasa, selain gizi
yang diperoleh dari jenis-jenis ikan dimaksud. Menurut Dalzell (1990)
pemenuhan permintaan pasar jenis ikan demersal oleh masyarakat di pulau-pulau
Pasific diperoleh dari nelayan tradisional yang usahanya masih terkonsentrasi
pada daerah terumbu karang dangkal yakni < 30 m, sedangkan ikan demersal di
perairan lebih dalam yang berukuran lebih besar baru pada tahap pra
pengembangan.
Pilihan eksploitasi ikan demersal berukuran besar di perairan dalam cukup
beralasan, selain untuk menghindari kerusakan terumbu karang di perairan
dangkal, sejauh ini nelayan hanya berorientasi pada perikanan pelagis, baik
pelagis kecil maupun besar seperti tuna dan cakalang, serta ikan demersal di
perairan dangkal, sedangkan jenis-jenis ikan demersal di perairan dalam terkesan
terabaikan. Padahal sumberdaya ikan demersal tersebut cukup potensial karena
termasuk kategori ikan ekonomis penting dan sebagai komoditi ekspor dengan
nilai yang tinggi sehingga berpeluang untuk peningkatan ekonomi nelayan
maupun pendapatan asli daerah (PAD).
Jenis-jenis ikan demersal yang tertangkap di perairan dangkal (kedalaman
hingga 50 m) oleh nelayan di Pulau Ambon adalah jenis ikan Lalosi (Caesio sp),
Kurisi (Etelis spp), ikan Tunisi (Pristipomoides spp), Gorara (Lutjanus spp),
Kerapu (Epinephelus spp, dan Cephalopholis spp.), Biji nangka (Parupeneus
spp.) dan Gaca (Lethrinus spp.), Kuwe (carangoides sp.). Sedangkan jenis ikan
demersal berukuran besar antara lain Kakap merah (Lutjanidae), Kerapu
(Epinephelus spp) dan Lencam (Lethrinidae sp) biasanya tertangkap pada
kedalaman 50 m -> 100 m (Dinas perikanan dan kelautan 2007). Teknologi
penangkapan yang digunakan masih sangat terbatas dan tergolong tradisional
seperti panah, tombak, bubu (trap), rawai dan pancing tangan (hand line), jaring
insang tetap, tanpa alat bantu penangkapan seperti line hauler dan fish finder.
Stone (2003) menyatakan bahwa ikan demersal laut dalam dari Kepulauan Fiji
adalah kelompok beragam jenis ikan yang ditemukan di lereng benua, dan gunung
bawah laut pada kedalaman antara 130-460 m. Teknologi penangkapan yang
digunakan adalah pancing (hand line) dan long line dengan fish finder sebagai alat
bantu dalam proses pendeteksikan ikan target dan line hauler untuk membantu
proses penarikan ikan ke permukaan.
Dalam konteks ini, perlu diketahui bagaimana dan seperti apa karakteristik
nelayan di Pulau Ambon sehubungan dengan pemanfaatan sumberdaya ikan
demersal serta peluang pengembangan usaha. Hal ini cukup beralasan karena

2

selain potensi sumberdaya alam yang tersedia, faktor sumberdaya manusia
(nelayan), infrastruktur pendukung, faktor sosial dan finansial juga merupakan
komponen penting dalam mengembangkan usaha perikanan demersal.
Sejauh ini belum ada kajian khusus tentang potensi dan tingkat pemanfaatan
sumberdaya perikanan, khususnya ikan-ikan demersal berukuran besar di Pulau
Ambon. Sebagian besar ikan demersal berukuran besar merupakan ikan ekonomis
penting dan beberapa diantaranya merupakan komoditi ekspor seperti: ikan
Kurisi, Kerapu, Lencam dan Kuwe (Nogroho dan Badrudin 2002). Dikatakan
lebih lanjut bahwa kegiatan penangkapan dengan rawai dasar dengan target
tangkapan ikan demersal berukuran besar telah berkembang dengan pesat akhirakhir ini. Hal ini berbanding terbalik dengan kenyaataan yang dihadapi nelayan
di Pulau Ambon. Teknologi penangkapan ikan terutama di perairan lebih dalam
masih menjadi kendala dalam upaya meningkatkan hasil tangkapannya. Alat
tangkap yang digunakan belum tersentuh dengan teknologi modern. Untuk itu
mekanisasi alat penangkapan ikan, khususnya alat tangkap pancing ulur
merupakan salah satu alternatif bagi nelayan saat ini. Hal ini dimaksudkan agar
efektivitas dan efisiensi penangkapan dapat tercapai, dalam hal ini teknologi yang
dihasilkan dapat memberikan hasil yang optimal serta rasa aman bagi nelayan
tanpa merusak lingkungan serta menjamin kelestarian sumberdaya. Hidayat
(1986) menjelaskan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan
seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai, dimana makin
besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya. Efisiensi adalah
penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum.
Teknologi ramah lingkungan menurut Baskoro (2006) adalah jenis teknologi
penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan layak untuk dikembangkan.
Perumusan Masalah
Permasalahan yang menonjol saat ini adalah menurunnya hasil tangkapan
ikan demersal di daerah terumbu karang dangkal akibat tekanan penangkapan
terus menerus terutama penggunaan alat penangkapan yang merusak (destructive
fishing) seperti mini trawl serta maraknya penggunaan bom dan potas. Saat ini
upaya penangkapan ikan demersal oleh nelayan di Pulau Ambon mulai diarahkan
ke perairan yang lebih dalam, akan tetapi belum diketahui berapa besar potensi
dan tingkat pemanfaatannya. Selain itu nelayan terkendala dengan teknologi yang
digunakan karena masih sangat sederhana dan bersifat tradisional, terutama teknik
dan metode penangkapan masih dilakukan secara manual.
Secara teknis kendala yang dihadapi oleh nelayan adalah lama waktu
penarikan. Dalam hal ini waktu yang dibutuhkan untuk menarik hasil tangkapan
relatif lebih lama untuk ikan yang berukuran besar di perairan yang lebih dalam.
Saat penarikan hasil tangkapan, sering kali kenur atau tali pancing menjadi kusut.
Hal ini diakibatkan karena kenur tersebut tidak tertata dengan baik di dalam
perahu yang berukuran kecil dan tali pancing mudah putus akibat gesekan dengan
badan perahu/kapal. Selain itu pancing yang digunakan tidak aman bagi nelayan
(ergonomisnya rendah). Ini dapat dilihat pada saat penarikan hasil tangkapan
sering kali nelayan mengalami cacat pada beberapa bagian anggota tubuh.
Salah satu solusi untuk mengatasi kendala maupun kenyamanan operasional
nelayan pemancing seperti yang dijelaskan di atas adalah melalui mekanisasi alat

3

tangkap pancing ulur. Hal ini penting karena ikan target adalah penghuni perairan
yang lebih dalam (50 m - >100 m ), baik pada daerah kontinental shelf maupun
slope. Walaupun demikian sebelumnya perlu diketahui besarnya potensi dan
tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal dan karakteristik nelayan di Pulau
Ambon dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut, sehingga efektivitas dan
efisiensi mekanisasi pancing ulur dapat tercapai. Pemecahan permasalah dan
secara skematik disajikan dalam kerangka pemikiran penelitian pada Gambar 1.
• Alat tangkap masih bersifat
tradisional
• Produktivitas rendah
• Ergonomis rendah
• Efektivitas dan efisiensi rendah
• Sumberdaya ikan demersal perairan
dangkal sudah terkuras

 Sumberdaya ikan demersal
di perairan dalam tersedia
 Sumberdaya manusia
tersedia

Potensi dan tingkat
pemanfaatan
saat ini

Karakteristik
nelayan

Tradisional

Perikanan
Industri

MEKANISASI
PANCING ULUR

• Apa komponen
penyusun
• Bagaimana
mendesain
• Bagaimana
mengkonstruksi

Efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya
perikanan demersal

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Tujuan
Tujuan utama penelitian ini adalah: mekanisasi pancing ulur untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Secara khusus tujuan penelitian ini
adalah:
1) Menentukan potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di
perairan Pulau Ambon;
2) Mengetahui karakteristik nelayan perikanan demersal di Pulau Ambon;
3) Mengkonstruksi pancing ulur dengan mekanisasi;
4) Menentukan tingkat efektivitas dan efisiensi penangkapan ikan demersal di
perairan Pulau Ambon.

4

Kebaharuan
Kebaharuan penelitian ini adalah desain dan konstruksi mekanisasi alat
penangkapan ikan pancing ulur sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi penangkapan ikan demersal di sekitar parairan Pulau Ambon Propvinsi
Maluku.

5

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN
SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN
PULAU AMBON PROVINSI MALUKU
Pendahuluan
Sumberdaya perikanan termasuk sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui (renewable resources) akan tetapi upaya pemanfaatan tanpa
mempertimbangkan kemampuan untuk pulih kembali telah menyebabkan
sumberdaya perikanan di beberapa wilayah perairan menjadi hancur dan
mengalami kepunahan. Naamin dan Harjamulia (1990) menyatakan bahwa
sumberdaya perikanan yang tersedia melimpah dan mempunyai kemampuan
pulih kembali namun tanpa adanya usaha pengawasan terhadap penangkapan
yang berlangsung terus-menerus dapat memperbesar kemungkinan terjadinya
overfishing di beberapa perairan maupun daerah penangkapan. Guna menjamin
kelestarian sumber daya maka pemanfaatannya tidak boleh melebihi potensinya
(FAO 1996).
Permintaan terhadap ikan konsumsi oleh masyarakat di Pulau Ambon
termasuk jenis ikan demersal cenderung mengalami peningkatan selain karena
permintaan pengusaha lokal untuk tujuan ekspor, juga permintaan pasar lokal
maupun sejumlah restoran seafood di Kota Ambon dan sekitarnya. Kondisi ini
mengakibatkan upaya penangkapan mulai mengarah ke upaya pemanfaatan untuk
tujuan komersial. Salah satu penyebab menurunnya sumberdaya perikanan adalah
meningkatnya tekanan penangkapan akibat penambahan jumlah armada dan alat
penangkapan ikan. Selain itu metode dan teknik ikan penangkapan sering tidak
mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan seperti penggunaan bom dan
racun yang cukup marak akhir-akhir ini. Beberapa hasil penelitian menyatakan
bahwa penyebab utama gangguan ekologi sumberdaya dan ekosistem adalah
manusia (Dahdouh-Guebas et al. 2005; Lopez-Hoffman et al. 2006).
Sumberdaya ikan demersal di perairan dangkal sering menjadi sasaran
eksploitasi karena nilai jual yang relatif tinggi serta kemudahan yang dapat
menjangkau daerah penangkapan. Akan tetapi belum diketahui berapa besar
potensi dan tingkat pemanfaatannya. Saat ini nelayan lokal yang sudah sejak dulu
memanfaatkan sumberaya pada area dimaksud mulai merasakan gejala
menurunnya hasil tangkapan. Untuk itu upaya penangkapan demersal di perairan
lebih dalam (>20-100 m) yang sejak dulu digeluti sebagian nelayan di Pulau
Ambon penting dikaji untuk dikembangkan, sehingga menghindari tekanan di
perairan dangkal (20 m), sebagaimana yang dikemukakan Badrudin dan Karyana
(1992) bahwa nelayan biasanya mengoperasikan alat tangkap ikan demersal pada
kedalaman 20 m.
Perairan Pulau Ambon hingga pada kedalaman 20 meter dimana ekosistem
terumbu karang dijumpai merupakan basis penangkapan ikan demersal oleh
sebagian besar nelayan di Pulau Ambon. Berbagai jenis alat penangkapan ikan
yang digunakan oleh nelayan antara lain : jaring insang dasar (bottom gill net),
mini trawl, rawai, bubu, pancing tangan, tombak dan panah (Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Maluku 2013). Pengoperasian jenis-jenis alat penangkapan ini
jika terus menerus dilakukan tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan

6

terutama pada dasar perairan yang didominasi oleh terumbu karang maka cepat
atau lambat akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan sumberdaya hayati
didalamnya bahkan kerugian manusia yang memanfaatkannya.
Berdasarkan hasil pengamatan ekosistem terumbu karang yang dijumpai di
kedalaman 20 m di daerah penangkapan sekitar perairan Pulau Ambon dapat
dikategorikan cukup baik, namun di beberapa lokasi dinyatakan dalam kondisi
buruk akibat penangkapan tidak bertanggung jawab seperti penggunaan bom,
potas dan lain sebagainya. Odum 1955 dan Connell 1978 menyatakan bahwa
terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling produktif dan beragam
secara hayati di Bumi. Hampir sepertiga dari spesies ikan laut dunia ditemukan di
terumbu karang (McAllister 1991) dan hasil tangkapan dari daerah terumbu
karang menghasilkan sekitar 10% sumberdaya ikan yang dikonsumsi oleh
manusia (Smith 1978). Untuk itu pemanfaatan sumberdaya ikan demersal
sebaiknya diarahkan ke perairan yang lebih dalam, agar mengindari kerusakan
pada ekosistem terumbu karang di perairan dangkal yang penting bagi
keberlanjutan sumberdaya.
Sebagian besar penelitian terbaru ikan demersal pada perairan yang lebih
dalam dititik beratkan pada penilaian sumberdaya (Moffit 2003). Dalam
perikanan data runtun waktu diperlukan untuk kepentingan perkiraan hasil
maksimum lestari (MSY) dengan menggunakan model surplus produksi antara lain
model Schaefer yang telah diterapkan pada perikanan demersal laut dalam
termasuk area slope dari ikan demersal yang dikenal sebagai perikanan
multispecies di Hawaii. Akan tetapi dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk
menyediakan data karena baru berkembangnya perikanan demersal untuk pulaupulau di Pasific dan daerah lain disekitarnya (Ralston dan Polovina 1982).
Produksi dalam pengertian umum meliputi semua aktifitas untuk
menciptakan barang dan jasa (Ari, 2004). Menurut Joesron dan Fathorozi (2005)
produksi merupakan hasil akhir dari proses aktivitas ekonomi dengan
memanfaatkan beberapa masukan atau input. Ketut (2004) dalam Suharno (2008)
memberikan definisi fungsi produksi sebagai fungsi yang menjelaskan hubungan
fisik antara jumlah input yang dikorbankan dengan jumlah maksimum output
yang dihasilkan. Fungsi produksi menurut Ari (2004) adalah suatu skedul (atau
label atau persamaan matematis) yang menggambarkan jumlah output maksimum
yang dapat dihasilkan dari satu set faktor produksi tertentu dan pada tingkat
tertentu pula. Singkatnya, fungsi produksi adalah katalog dari kemungkinan hasil
produksi. Bilas (1995) mendefinisikan fungsi produksi sebagai hubungan fisik
antara input-input sumberdaya perusahaan dan outputnya yang berupa barang dan
jasa per unit waktu. Sedangkan Ferguson dan Gould (1975) dalam Joesron dan
Fathorozi (2005) menjelaskan bahwa fungsi produksi adalah suatu persamaan
yang menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dengan kombinasi
input tertentu. Nicholson (2006) mengemukakan bahwa hubungan antara input
dan output ini dapat diformulasikan oleh sebuah fungsi produksi, yang dalam
bentuk matematis bisa ditulis :
Q
Q
K
T

=
=
=
=

f(K,T,M, . . . . . . .) .............................................................
output yang dihasilkan selama suatu periode tertentu
kapital (modal)
tenaga kerja

(1 )

7

M = material
(tanda titik-titik dalam kurung
digunakannya input yang lainnya)

menunjukkan

kemungkinan

Fungsi Produksi Perikanan
Fungsi Produksi perikanan jangka pendek merupakan hubungan antara
tangkapan (catch) dengan usaha-usaha (efforts), sedangkan fungsi perikanan
jangka panjang adalah hubungan antara penangkapan ikan dengan rata-rata
tangkapan yang diperoleh pada waktu tertentu tanpa mempengaruhi persediaan
ikan di laut (Anderson, 1986 dalam Suharno, 2008). Fungsi perikanan jangka
panjang untuk tangkapan yang maksimal atau MSY dapat diartikan sebagai hasil
tangkapan ikan yang sama dengan pertumbuhan alami dari stok ikan yang tetap
selama upaya (effort) juga tetap (Panatoyou, 1985 dalam Waridin, 2005).
Walaupun stok ikan atau sumberdaya melimpah, variasi lokasi dan waktu
penangkapan, stok ikan dalam jangka pendek diasumsikan tetap, sehingga fungsi
produksi perikanan jangka pendek dapat dirumuskankan sebagai berikut
(Panayotou, 1985; Zen et al., 2002 dalam Waridin, 2005):
Y = f (E) ...............................................................................

(2)

dimana Y adalah hasil tangkapan dan E adalah upaya penangkapan
ikan (effort).
Menurut Panayotou (1985), Frederick dan Nair (1985) dan Zen et al. (2002)
dalam Waridin (2005), fungsi produksi penangkapan ikan dapat dituliskan sebagai
berikut:
Y = f (E1, E2, ……., E6) ...........................................................

(3)

Menurut Fauzi dan Anna (2005) dasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan
adalah bagaimana dapat memanfaatkan sumberdaya sehingga menghasilkan
manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga.
Terkandung dua makna dari pernyataan tersebut yaitu makna ekonomi, makna
konservasi atau biologi.
Pemanfaatan optimal sumberdaya ikan harus
mengakomodasi kedua ilmu tersebut. Oleh karena itu, pendekatan bioekonomi
dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal yang harus dipahami oleh
setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
Bidang perikanan termasuk bidang yang paling banyak menggunakan ilmu
bioekonomi. Para pakar telah lama mencoba mengenali dan menganalisis
kompleksitas pengelolaan sumberdaya ikan. Perhatian dimulai terhadap
sumberdaya ikan itu sendiri, baik dari sisi morfologi, fisiologi, tingkah laku,
karakteristik maupun kelimpahannya. Karakteristik khas sebagai common
property resources membuat sumberdaya ikan bisa habis meskipun tergolong
dapat pulih (renewable). Selanjutnya Nikijuluw (2005) memaparkan sifat lain
dari common property sumberdaya ikan yaitu ekskludabilitas, substraktabilitas,
indivisibilitas, dan interkoneksitas. Sifat ekskludabilitas dan substraktabilitas
terkait dengan cara pemanfaatannya, sementara sifat indivisibilitas dan
interkoneksitas terkait dengan sifat bermigrasi dan kesatuan stok ikan dalam

8

kelompok. Sifat barang publik seringkali menyebabkan penanganan yang salah
sehingga menyebabkan apa yang disebut Hardin(1968) sebagai “tragedy of
common”.
Mulyana (2007) menyatakan bahwa banyak penelitian lainnya diarahkan
untuk mengetahui biomassa ikan serta menentukan batas-batas pemanfaatan
sesuai tujuan pengelolaan. Istilah bioekonomi diperkenalkan oleh Scott Gordon,
seorang ahli dari Kanada yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi
untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal. Karena Gordon
menggunakan basis biologi yang sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Schaefer
(1954), pendekatan Gordon ini disebut pendekatan bioekonomi (Fauzi dan Anna,
2005).
Lebih lanjut Fauzi dan Anna (2003) menguraikan ketika Schaefer pada
tahun 1954 pertama kali mengenalkan konsep MSY (Maximum Sustainable
Yield), konsep ini menjadi “buzz word” (jimat) pengelolaan sumberdaya
perikanan. Untuk pendugaan stok ikan (standing stock), Schaefer (1954)
mengembangkan metode surplus production yang mengkaji hubungan antara
produksi dan produktivitas penangkapan atau CPUE (catch per unit effort)
dengan effort. Ditemukan bahwa hubungan CPUE dan effort sifatnya linier dan
trend-nya menurun (slope negatif). Schaefer mengembangkan konsep
pertumbuhan populasi ikan berdasarkan asumsi konsep produksi biologi kuadratik
yang dikembangkan Verhulst pada tahun 1983. Dari sini lahirlah konsep MSY
(maximum sustainable yield) yang akhirnya ditetapkan sebagai salah satu titik
referensi (reference point) pengelolaan perikanan. Pada Gambar 1 diperlihatkan
grafik hubungan produksi lestari dengan effort serta titik MSY sebagai tingkat
perolehan produksi secara berkelanjutan yang maksimum.
Pendekatan bioekonomi ini diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan
karena selama ini pengelolaan didasarkan pada pendekatan biologi semata, yaitu
ketika Schaefer mengenalkan konsep MSY, maka konsep ini seperti menjadi jimat
dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Konsep MSY ini ditujukan untuk
pendekatan biologi yaitu memperoleh produksi setinggi-tingginya dan
mengabaikan faktor biaya pemanenan ikan, tidak mempertimbangkan aspek social
ekonomi akibat pengelolaan sumberdaya ikan dan tidak memperhitungkan nilai
ekonomi terhadap sumberdaya yang tidak dipanen. Kekurangan-kekurangan
pendekatan biologi tersebut melahirkan konsep baru yaitu pendekatan
bioekonomi.
Dengan bioekonomi aspek sosial dan ekonomi menjadi penting dalam
pengelolaan. Pada pendekatan biologi tujuan utama adalah pertumbuhan biologi
namun pada pendekatan bioekonomi tujuan utama adalah aspek ekonomi dengan
kendala aspek biologi sumberdaya ikan (Fauzi dan Anna, 2005). Kelemahan
pendekatan MSY menurut Conrad dan Clark (1987) antara lain : (1) sifatnya
tidak bersifat stabil; (2) hanya berlaku pada kondisi steady state (keseimbangan);
(3) tidak dapat diterapkan pada perikanan yang multispesies; (4) tidak
memperhitungkan nilai ekonomi jika stok ikan tidak dipanen; dan (5)
mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya. Gordon memasukkan
kajian ekonomi terhadap model Schaefer untuk menjelaskan hubungan antara
sumberdaya ikan dengan usaha penangkapan ikan, interaksi biologi-ekonomi ini
dikenal sebagai model Gordon-Schaefer. Berangkat dari itu maka Caddy dan
Mahon dalam FAO (1995) seperti dikutip Rukka (2006) telah menjabarkan

9

konsep MEY (Maximum Economic Yield) yang mendeskripsikan tingkat effort
yang menghasilkan rente sumberdaya maksimum (yaitu selisih terbesar antara
penerimaan dengan biaya). Jika fungsi penerimaan dan fungsi biaya digabungkan
maka akan menguraikan inti mengenai keseimbangan bioekonomi model GordonSchaefer.
Konsep MEY ini kemudian ditetapkan sebagai salah satu target (reference
point) pengelolaan sumberdaya. Hal ini disebabkan adanya kelebihan faktor
produksi (tenaga kerja, modal) dalam perikanan yang seharusnya bisa digunakan
untuk ekonomi lainnya yang lebih produktif. Inilah yang menjadi prediksi Gordon
bahwa pada kondisi open access akan menimbulkan kondisi economic
overfishing. Hal ini didukung oleh Clark (1985) yang menyatakan bahwa
overfishing ekonomi tidak akan terjadi pada perikanan yang terkendali,
sedangkan overfishing biologi akan terjadi kapan saja bila perbandingan antara
harga dengan biaya cukup tinggi. Dengan kata lain, keseimbangan open access
akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to zero)
sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada
perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Kondisi ini identik dengan
ketidakadaannya hak pemilikan (property rights) pada sumberdaya atau lebih
tepatnya adalah ketiadaan hak pemilikan yang bias dikuatkan secara hukum
(enforceable) (Fauzi, 2006).
Kegiatan perikanan terdiri dari sejumlah aktifitas dan ciri berbeda berkaitan
dengan jenis ikan dan alat tangkap yang berbeda. Disana banyak jenis ikan yang
dipanen dengan banyak jenis armada dan alat tangkap. Untuk memudahkan
analisis, maka kita perlu membuat asumsi penyederhanaan, bahwa jenis ikan yang
ada dianggap satu jenis dan ditangkao dengan satu alat yang sama..
Para ahli biologi ikan menggolong-golongkan jenis ikan menjadi dua
kelompok, yaitu : (a) jenis ikan demersala, yaitu ikan-ikan yang tinggal di dasar
perairan dengan ruaya terbatas di lokasi tertentu. (b) Jenis ikan pelagis yang
ruayanya sangat luas, berpindah-pindah dari satu wilayah perikanan tertentu ke
wilayah perikana yang lain.
Adanya perbedaan kelompok ikan dimersal dan pelagis bukan saja penting
dipersoalkan kerna ada kaitannya dengan alat tangkap yang dapat digunakan, tapi
juga berkaitan dengan pertimbangan pemilikan sumberdaya. Untuk menangkap
ikan demersal (dasar) dengan ruaya yang sangat terbatas sehingga pengembangan
konsep pemilikan perorangan sangat tepat. Hal itu berbeda dengan penangkapan
ikan pelagis yang terkadang bergerak dan beruaya jauh, seperti ikan tuna.
Disamping itu, ikan adalah sumberdaya yang dapat diperbaharui. Dalam hal
ini ada dua konsep penting yang memerlukan perhatian kita, yaitu : (a) Stok atau
populasi ikan, baik dalam satuan jumlah ikan atau biomassa secara agregat pada
waktu tertentu. (b) Flow yaitu perubahan dalam stok pada periode waktu tertentu
yang terjadi karena faktor biologis, seperti ikan baru masuk menjadi anggota
populasi (recruitment), pertumbuhan anggota populasi, kematian secara alami,
dan faktor ekonomi seprti panen ikan. Populasi bertambah karena tambahan
jumlah ikan baru dan karena pertumbuhan ikan. Namun populasi ikan akan
menurun karena kematian alami dan karena dipanen.
Model ekonomi perikanan dalam Bab ini akan menggambarkan empat
konsep dasar, yaitu :
(1) Dinamika biologi sumberdaya perikanan secara sederhana;

10

(2)
(3)

Bagaimana dampak panen ikan terhadap populasi sumberdaya;
Bagaimana kondisi open access berdampak terhadap panen dan kondisi
populasi ikan; dan
(4) Bagaimana dengan panen yang optimal secara sosial-ekonomi
sumberdaya dalam kondisi open access.
Kegiatan produksi untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan laut memiliki
tiga komponen saling berkaitan, yaitu : (1) komponen biologis, (2) kebijakan
pemanfaatan sumberdaya, dan (3) sosial-ekonomi perikanan. Ketiga komponen
tersebut saling berkaitan satu sama lain. Komponen biologi menjelaskan dinamika
stok ikan, komponen pemanfaatan sumberdaya menyajikan dinamika kebijakan
melalui pengaturan armada penangkapan ikan (fishing effort), dan komponen
sosial ekonomi menyajikan dinamika biaya dan keuntungan Juragan pemilik aset
dan pendapatan ABK dalam operasi penangkapan ikan. Oleh karena itu, satu hal
yang harus diperhatikan bahwa ikan bisa punah karena dilakukan panen secara
melalpaui batas stok ikan yang tersedia.
Sumberdaya ikan demersal di perairan Pulau Ambon sudah dimanfaatkan
sejak dulu, namun informasi tentang besar potensi dan tingkat pemanfaatan belum
diketahui. Salah satu pendekatan untuk menjaga keseimbangan pemanfaatan
sumberdaya adalah melalui pendekatan biologi yaitu menentukan besarnya upaya
pada tingkat MSY (Maximum Sustainable Yield). MSY adalah cara sederhana
untuk mengelola sumberdaya dengan mempertimbangkan bahwa eksploitasi
berlebihan sumberdaya menyebabkan hilangnya produktivitas (Kar dan
Chakraborty 2009). Tujuan penelitian ini adalah menentukan potensi dan tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Pulau Ambon.
Metodologi
Penelitian dilaksanakan di perairan Pulau Ambon sejak Januari sampai
April 2013. Data yang diambil meliputi data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dengan pengamatan secara langsung dan wawancara dengan
menggunakan kuisioner untuk mendapatkan jenis dan ukuran ikan serta
sebaran daerah penangkapan. Jenis ikan hasil tangkapan nelayan diukur dan
selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan buku petunjuk identifikasi
menurut Anderson dan Allen (2001) dan Allen et al. (2003), sedangkan data
sekunder diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kota
Ambon periode 2005-2010. Data ini digunakan untuk kepentingan pendugaan
potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Pulau
Ambon. Data primer dianalisis secara deskriptif melalui gambar dan tabel,
sedangkan data sekunder dianalisis dengan pendekatan sebagai berikut:
Catch per Unit Effort (CPUE)
CPUE dimaksudkan untuk mengetahui kelimpahan dan tingkat pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang ada di wilayah perairan tertentu. Perhitungan
dilakukan setelah data produksi dan upaya (effort) ditabulasi menurut jenis alat
tangkap. Upaya dalam penelitian ini adalah trip penangkapan. Perhitungan
CPUE dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut:

11

……………………………………………………….. (4)
Keterangan :
CPUEt = hasil tangkapan per upaya penangkapan pada tahun ke-t
Catcht = hasil tangkapan pada tahun ke-t
effortt = upaya penangkapan pada tahun ke-t
Standarisasi alat tangkap
Alat tangkap yang umumnya digunakan untuk penangkapan jenis ikan
demersal di Perairan Pulau Ambon adalah: rawai, pancing tangan, bubu dan gill
net tetap. Karena tiap alat memilik kemampuan tangkap yang berbeda, maka
standarisasi dilakukan untuk menghitung input upaya secara agregat. Jika
standarisasi tidak dilakukan maka tidak mungkin dapat menjumlahkan total input
agregat (total effort) dari perikanan yang dianalisis (Fauzi dan Anna, 2005). Alat
penangkapan ikan standar adalah alat yang memiliki produktivitas tertinggi dalam
penangkapan suatu jenis ikan, atau mempunyai rata-rata CPUE terbesar dengan
indeks kemampuan tangkap (fishing power indeks) satu. Standarisasi alat tangkap
ke n pada periode waktu t adalah:
……………………………………….. (5)
φxt diukur berdasarkan rasio CPUE dari alat tangkap terhadap alat tangkap standar
pada periode waktu t
...……………………………………….. (6)
keterangan :
=
=
=
=
=

Estd
Φnt
Ent
Unt
Ustd

Effort standar
indeks kemampuan alat tangkap jenis ke n pada waktu t
Upaya nominal alat tangkap ke-n pada waktu t
CPUE alat tangkap ke-n pada waktu t
CPUE alat tangkap standar

Pendugaan Potensi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan
Analisis Potensi pada tingkat lestari (MSY) dilakukan melalui 5 (lima)
model/pendekatan. Dari ke lima model tersebut akan ditentukan salah satu model
terbaik yang menggambarkan keadaan sebenarnya dari objek yang diteliti. Kelima
pendekatan tersebut