Efektivitas Pemanfaatan Rumpon Dalam Operasi Penangkapan Ikan di Perairan Maluku Tenggara

(1)

EFEKTIVITAS PEMANFAATAN RUMPON DALAM

OPERASI PENANGKAPAN IKAN

DI PERAIRAN MALUKU TENGGARA

BENEDIKTUS JEUJANAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Efektivitas pemanfaatan rumpon dalam operasi penangkapan ikan di perairan Maluku Tenggara”adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2008

Benediktus Jeujanan NRP C451060081


(3)

ABSTRACT

BENEDIKTUS JEUJANAN. Effectiveness of Fish Aggregating Device In Finsh-Catching Activities In South East Maluku Waters. Supervised by : DOMU SIMBOLON and EKO SRIWIYONO.

South East Maluku waters are rich in natural marine resources, such as fishes (pelagic, and demersal) and shrimps, especially in Kei Kecil waters. Based on the kinds of fish to PNN Dumar. One of the effective ways to catch fish in South East Maluku waters is by using a fish aggregating device (FAD) called rumpon, there are two types of rumpon the first type is a deep sea rumpon deployed for pole and line and purse seine, gillnet, and troll line fisheries the second type for catching small pelagis. The research objectives are (1) to determine variability and catch composition of rumpon (2) to find the effectiveness of a rumpon on fish-catching process; and (3) to determine an effective fish-catching technology to be used around a rumpon. The study was conducted by 14 fish-catching trips using purse seine, gillnet and pancing tonda. The catch result at the unit became dominant that the catching method become more feasible and proper to be developed. In the meantime, using a bamboo rumpon was better compared to plastic drum rumpon ini the catch capacity. Therefore,a bamboo rumpon was feasible to be developed in South East Maluku waters.


(4)

RINGKASAN

BENEDIKTUS JEUJANAN. Efektivitas Pemanfaatan Rumpon Dalam Operasi Penangkapan Ikan di Perairan Maluku Tenggara. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON dan EKO SRI WIYONO.

Perairan Maluku Tenggara merupakan perairan yang kaya akan sumberdaya hayati khususnya ikan (pelagis, demersal dan udang), khususnya perairan Kei Kecil. Hal ini diketahui berdasarkan jenis ikan yang didaratkan di PPN Dumar. Salah satu faktor untuk meningkatkan efektivitas operasi penangkapan ikan di perairan Maluku Tenggara adalah pemanfaatan rumpon. Rumpon yang digunakan yaitu pertama rumpon laut dalam dengan alat tangkap pancing yang disebut huhate (pole and line) dan pukat cincin (purse seine), kedua yaitu rumpon laut dangkal untuk pukat cincin, gillnet dan pancing tonda untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil. Penelitian ini bertujuan untuk (1) membandingkan komposisi dan jumlah hasil tangkapan masing-masing rumpon dari unit penangkapan ikan, (2) membandingkan efektivitas operasi penangkapan ikan yang menggunakan rumpon, (3) membandingkan kinerja teknologi penangkapan ikan ditinjau dari aspek biologi, sosial, dan ekonomi yang dioperasikan di sekitar rumpon. Penelitian ini dilakukan sebanyak 14 trip operasi penangkapan pada alat tangkap purse seine, gillnet dan pancing tonda. Total hasil tangkapan dari ketiga alat tangkap yaitu ikan layang (Decaptenus russelli) 57.087 ekor (80,57%), ikan tongkol (Auxis tharzard) 13.190 ekor (18,62%), ikan tenggiri (Scomberomorus commersoni) 573 ekor (0,81%). Berdasarkan ukuran maka sebanyak 54,9 % ikan layang tertangkap berukuran besar, sebanyak 80,12 % dari ikan tongkol yang tertangkap adalah ukuran besar dan semua 100 % ikan tenggiri tertangkap adalah berukuran kecil. Dari kedua jenis rumpon yang digunakan, hasil tangkapan dominan terdapat pada rumpon bambu sehingga rumpon bambu lebih efektif dibandingkan dengan rumpon drum plastik.


(5)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

EFEKTIVITAS PEMANFAATAN RUMPON DALAM

OPERASI PENANGKAPAN IKAN

DI PERAIRAN MALUKU TENGGARA

BENEDIKTUS JEUJANAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

LEMBARAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Efektivitas Pemanfaatan Rumpon Dalam Operasi Penangkapan Ikan di Perairan Maluku Tenggara Nama : Benediktus Jeujanan, S.Pi

NRP : C451060081

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena Rahmat dan karunianya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Adapun judul dari tesis ini adalah “Efektivitas Pemanfaatan Rumpon Dalam Operasi Penangkapan Ikan di Perairan Maluku Tenggara.”

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Domu Simbolon, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran sehingga penelitian dan penulisan ini dapat terselesaikan. Serta terimakasih kepada Dr.Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan juga kepada :

1. Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual Maluku Tenggara yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB Bogor.

2. Dekan Pascasarjana IPB atas kesempatan yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan pascasarjana.

3. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Ketua Program Studi Teknologi Kelautan atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan pascaserjana 4. Hasil karya ini juga penulis persembahkan kepada istri dan anak tercinta

Maria Paskalina Wenehenubun, SPd. Ulen Jeujanan atas segala pegertian, ketabahan, kesebaran serta pengorbanan yang diberikan selama penulis menjalani studi S-2

5. Kedua orang tua tercinta Fransiskus dan Ibu Justina Jeujanan serta Ibu Mertua Yuliana Wenehenubun serta kakak Sintah, Andy, Boby, Ateng serta adik-adik atas dukungan moriil dan materiil.

6. Mas Rudy, Mas Ony, Mas Amir dan Mas Degen serta rekan-rekan angkatan 2006 Program Studi Teknologi Kelautan atas dukungan dan kerjasama selama


(10)

mengiku perkuliahan serta semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak lansung.

7. Rekan-rekan dari Tual : Usman, Waran, Dany, Tes, Yula, atas bantuan dan kerjasama yang solid.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaannya, oleh karena itu segala saran dan kritik dalam penyempurnaannya sangatlah penulis harapkan.

Bogor, Juli 2008


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bombay Maluku Tenggara pada tanggal 7 Juni 1973 dari Ayah Fransiskus dan Ibu Yustina, dan merupakan putra kelima dari enam bersaudara.

Tahun 1993 penulis lulus SMA Negeri 1 Tual dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Pattimura Ambon melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Minat Penangkapan Ikan, Fakultas Perikanan dan lulus pada tahun 2000.

Tahun 2002 sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen pada Politeknik Perikanan Negeri Tual, Maluku Tenggara. Pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi di Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Kelautan.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Hipotesis ... 4

1.6 Kerangka Pemikiran ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Rumpon ... 7

2.2 Karakteristik Iklim dan Kondisi Perairan Maluku Tenggara ... 11

2.3 Alat Tangkap dan Metode Operasi Penangkapan Ikan di Sekitar Rumpon di Perairan Maluku Tenggara ... 12

2.3.1 Metode operasi penangkapan ikan dengan purse seine ... 12

2.3.1 Metode operasi penangkapan ikan dengan gillnet ... 14

2.3.3 Metode operasi penangkapan ikan dengan pancing tonda... 15

2.4 Ikan Pelagis ... 16

2.4.1 Ikan layang ... 19

2.4.2 Ikan selar ... 20

2.4.3 Ikan kembung ... 21

2.4.4 Ikan tongkol ... 23

2.4.5 Ikan tenggiri ... 24

2.5 Tingkah Laku Ikan di Sekitar Rumpon ... 25

2.6 Efektivitas ... 28

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 30


(13)

3.2 Alat dan Bahan ... 31

(1) Rumpon ... 31

(2) Purse seine ... 32

(3) Gill net ... 32

(4) Pancing tonda ... 32

(5) Plankton net ... 32

(6) Timbangan ... 32

(7) Papan ukur ikan ... 32

(8) Alat tulis dan kamera ... 32

3.3 Pengumpulan Data ... 33

3.4 Analisis Data ... 34

3.4.1 Komposisi hasil tangkapan ... 34

3.4.2 Evektifitas rumpon ... 35

3.4.3 Teknologi penangkapan tepat guna ... 36

(1) Menentukan nilai skor kriteria ... 36

(2) Multi-criteria analysis (MCA) ... 38

4 HASIL PENELITIAN ... 39

4.1 Keragaman Unit Penangkapan Ikan ... 39

4.1.1 Purse seine ... 39

(1) Alat tangkap ... 39

(2) Kapal ... 40

(3) Nelayan ... 42

4.1.2 Gillnet ... 43

(1) Alat tangkap ... 43

(2) Kapal ... 44

(3) Nelayan ... 44

4.1.3 Pancing tonda ... 45

(1) Alat tangkap ... 45

(2) Kapal ... 47

(3) Nelayan ... 47

4.1.4 Rumpon ... 48


(14)

4.2.1 Jenis dan jumlah hasil tangkapan ... 49

4.2.2 Ukuran panjang ... 51

4.2.3 Ukuran berat ... 53

4.3 Efektivitas Rumpon ... 55

4.4 Teknologi penangkapan tepat guna ... 56

5 PEMBAHASAN ... 59

5.1 Dinamika Hasil Tangkapan ... 59

5.2 Efektivitas Rumpon dan Alat Tangkap ... 62

5.3 Dampak Pengoperasian Rumpon ... 63

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

6.1 Kesimpulan ... 64

6.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Persentase komposisi ukuran hasil tangkapan untuk jenis ikan tertentu ... 35

2 Kriteria penilaian aspek ekologi ... 37

3 Kriteria penilaian aspek sosial berdasarkan tenaga kerja ... 37

4 Kriteria penilaian aspek sosial berdasarkan pendapatan per tahun ... 37

5 Kriteria penilaian aspek sosial berdasarkan kepemilikan per tahun ... 37

6 Efektivitas kedua rumpon (%) berdasarkan jumlah hasil tangkapan (ekor) dan alat tangkap ... 55

7 Standarisasi aspek ekologi menurut alat tangkap ... 56

8 Standarisasi aspek sosial menurut alat tangkap ... 57

9 Standarisasi aspek ekonomi menurut alat tangkap ... 57


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ... 6

2 Layang (Decapterus russelli) ... 20

3 Selayar (Selarroides leptolepsis) ... 21

4 Kembung lelaki (Rastrelliger kanarkuta) ... 23

5 Tongkol (Auxis thazard) ... 24

6 Tenggiri (Scomberamorus commersoni) ... 25

7 Peta lokasi penelitian ... 30

8 Rumpon rakit bambu ... 31

9 Rumpon drum plastik ... 31

10 Desain jaring pukat cincin (purse seine) di Maluku Tenggara ... 40

11 Kapal utama (tipe lembut) ... 41

12 Kapal johnson (tipe slep) ... 41

13 Desain jaring gillnet di Maluku Tenggara ... 44

14 Kapal gillnet di Maluku Tenggara ... 45

15 Desain alat pancing tonda ... 46

16 Ukuran mata pancing yang digunakan ... 47

17 Kapal pancing tonda di Maluku Tenggara ... 47

18 Kontruksi kedua rumpon yang dioperasikan oleh nelayan (A= rumpon bambu; B = rumpon drum plastik ... 49

19 Komposisi jenis tangkapan menurut alat tangkap ... 49

20 Komposisi jenis tangkapan menutut rumpon ... 50

21 Komposisi jenis tangkapan menurut kombinasi alat tangkap dan rumpon ... 50

22 Komposisi ukuran panjang menurut jenis ikan ... 51

23 Komposisi ukuran ikan menurut jenis ikan dan rumpon ... 52

24 Komposisi ukuran ikan menurut ukuran jenis ikan dan alat tangkap ... 52

25 Komposisi berat ikan menurut jenis ikan ... 53

26 Komposisi berat menurut ukuran ikan dan jenis rumpon ... 54


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Metode operasi penangkapan purse seine ... 71

2 Komposisi jenis tangkapan menurut alat tangkap ... 72

3 Komposisi jenis tangkapan menurut rumpon ... 72

4 Komposisi jenis tangkapan menurut kombinasi alat tangkap dan rumpon ... 72

5 Komposisi ukuran ikan menurut jenis dan persentase ikan ... 72

6 Komposisi ukuran ikan menurut jenis ikan dan rumpon ... 72

7 Komposisi ukuran ikan menurut jenis ikan dan alat tangkap ... 73

8 Komposisi berat ikan menurut jenis ikan ... 73

9 Komposisi berat ikan menurut ukuran ikan dan jenis rumpon ... 73

10 komposisi berat ikan menurut ukuran ikan dan jenis alat tangkap ... 73

11 Penilaian aspek ekologi menurut alat tangkap ... 73

12 Penilaian aspek sosial menurut alat tangkap ... 74

13 Penilaian aspek ekonomi menurut alat tangkap ... 74


(18)

DAFTAR ISTILAH

Jaring bobo ( Purse seine) Merupakan jaring yan lingkarkan yang berukuran lebih kecil dari purse seine atau pukat cincin (panjang antara 200 – 400 m dan lebar berkisar 40 – 70 m ) yang biasanya digunakan nelayan di Maluku Tenggara pada umumnya khusnya untuk menangkap ikan – ikan yang umumnya hidup membentuk kawanan dalam kelompok besar (baik pelagis besar maupun pelagis kecil).

Gillnet Alat penangkapan ikan yang berbentuk empat persegi panjang dari susunan jaring satu lapis yang dirangkai secara memanjang.

Pancing tonda Alat penangkapan ikan yang terdiri dari atas seutas tali panjang dan umpan.

Fishing ground Suatu daerah perairan tempat ikan berkumpul dimana penangkapan ikan dapat dilakukan. Ikan demersal Ikan-ikan (termasuk crustecea atau

cephalopoda) yang hidup di dekat atau sekitar dasar perairan.

Ikan pelagis Ikan-ikan yang hidup di permukaan air.

Sumberdaya ikan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tetapi terbatas.

Nelayan Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.

Perikanan Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan mulai dari produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemesaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistim bisnis.

Perikanan tangkap Kegiatan untuk memperoleh di perairan yang tidak dalam keadaan di budidayakan dengan alat atau dengan cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, mengolah dan / atau mengawetkannya.

Sumberdaya perikanan Terdiri dari sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan serta sumberdaya buatan manusia, yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan.


(19)

Unit penangkapan ikan Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap dan nelayan.

Efektivitas Tingkat pencapaian hasil terhadap suatu tujuan. Rumpon Alat bantu penangkapan ikan yang dipasang

dan ditempatkan pada perairan laut.

Aggregation Salah satu bentuk gerombolan ikan dari salah satu species ikan yang jumlahnya hanya terdiri dari dua atau tiga ekor.

Artificial reef Adalah terumbu karang buatan yang digunakan untuk mengumpulkan ikan atau gerombolan ikan.

Attraktor Merupakan salah satu komponen utama pada rumpon yang berfungsi sebagai alat pemikat atau pengumpul ikan sesungguhnya.

Swimming layer lapisan renang dari jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan.

Setting (pelingkaran) Salah satu tahapan dalam metode pengoperasian purse seine (jaring bobo) yaitu proses pelingkaran jaring untuk melingkari kawanan ikan.

Hauling (penarikan) Proses penarikan jaring purse seine (jaring bobo) setelah proses pelingkaran selesai dilakukan.

Purse line (tali kolor) Tali yang di pasang pada bagian bawah jaring, yang berfungsi untuk mengerutkan jaring pada saat tali tersebut ditarik.


(20)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan Maluku Tenggara pada umumnya merupakan perairan yang dangkal. Perairan ini, merupakan bagian dari perairan yang kaya akan sumberdaya hayati, khususnya ikan (pelagis, demersal dan udang). Secara khusus, perairan Kei Kecil, didominasi oleh ikan pelagis, berdasarkan jenis ikan yang di daratkan di PPN Dumar. Ikan yang dominan tertangkap antara lain kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), tembang (Sardinella fimbriata), selar hijau (Atule mate), sekar taji/layang bulat (Decapterus macrosoma), layang gepeng (Decapterus russelli), tongkol (Auxis thazard), dan cumi-cumi (Loligo sp). Ikan demersal sangat sedikit jenis dan jumlahnya. Ikan demersal yang sering tertangkap adalah Kerapu dan Kakap.

Seperti umumnya nelayan yang tinggal dan mencari makan dari kekayaan laut, nelayan yang berdiam di sekitar perairan Kei Kecil juga sangat tergantung pada hasil tangkapan laut. Mereka adalah nelayan-nelayan kecil (tradisional) yang melakukan penangkapan ikan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam operasi penangkapan ikan nelayan Kei Kecil umumnya menggunakan gillnet, purse seine dan pancing tonda sebagai alat tangkap utama dan rumpon (tendak) sebagai alat bantu penangkapan.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa ikan-ikan yang ditangkap di sekitar rumpon umumnya adalah ikan pelagis, seperti ikan layang bulat (Decapterus macrosoma.), layang gepeng (Decapterus russelli), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta.), kembung perempuan (Rastrelliger macrosoma), selar hijau (Atule mate), selar kuning (Selaroides leptolepis),selar bentong (Selar crumenophthalmus), lemuru (Sardinella lemuru), tembang (Sardinella fimbriata), siro (Ambligaster sirm), tongkol (Auxis thazard), dan lain-lain. Jenis-jenis ikan tersebut, sifatnya bergerombol/mengelompok, pemakan plankton, udang-udangan, ikan-ikan kecil dan telur ikan (Monintja dan Zulkarnain 1995; Monintja et al. 2002)

Pemanfaatan rumpon sebagai upaya meningkatkan efektivitas operasi penangkapan ikan di perairan Maluku Tenggara dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama adalah rumpon yang digunakan khusus untuk menangkap ikan-ikan tuna


(21)

dan cakalang, dikenal sebagai rumpon laut dalam dengan alat tangkap yang digunakan berupa pancing yang disebut huhate (pole and line) dan pukat cincin (purse seine). Jenis kedua adalah rumpon yang digunakan biasanya disebut rumpon laut dangkal. Alat tangkap yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan di rumpon laut dangkal adalah pukat cincin, gillnet dan juga pancing tonda untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil (Zulkarnain 2002). Rumpon, khususnya rumpon dangkal digunakan nelayan di Kei Kecil.

Ditinjau dari beberapa aspek konstruksinya, rumpon di Kei Kecil relatif sederhana, rumpon ini juga mudah dibongkar pasang. Tali yang digunakan tidak terlalu panjang (< 50 m) dan penempatan rumpon yang tidak terlalu jauh dari pantai serta obyek penangkapan berupa ikan pelagis.

Kombinasi antara tipe rumpon dan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan di Kei Kecil sangat bervariasi. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui dengan pasti tingkat efektivitas pemanfaatan rumpon pada alat tangkap yang digunakan. Berkait dengan hal tersebut di atas maka penting untuk di lakukan pengkajian tentang tingkat efektivitas rumpon dalam meningkatkan hasil tangkapan ikan pada suatu alat penangkapan ikan.

Kajian-kajian terhadap teknologi rumpon untuk meningkatkan hasil tangkapan (produksi) baik kaitannya dengan alat tangkap yang digunakan maupun konstruksi dari rumpon itu sendiri sudah banyak dilakukan (Sondita 1986; Subani 1986; Subani dan Barus 1989; Monintja 1990; Badan Litbang Pertanian 1992; Monintja 1993; dan Mathews et al. 1996; Tim Pengkajian Rumpon IPB 1987; Zulkarnain 2002). Akan tetapi dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan tersebut masih sangat jarang penelitian yang secara khusus mengkaji bagaimana keberadaan ikan khususnya ikan pelagis di sekitar rumpon.

1.2 Perumusan Masalah

Rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan merupakan salah satu alat bantu yang memberikan peranan besar bagi nelayan – nelayan kecil (tradisional) di perairan Maluku Tenggara. Rumpon yang dioperasikan oleh nelayan setempat dapat dikatagorikan ke dalam dua kelompok, berdasarkan bahan konstruksinya. Yang pertama menggunakan bambu sebagai rangkanya sedangkan daun kelapa sebagai attraktor. Jenis kedua, menggunakan drum plastik sebagai rangkanya sedangkan


(22)

untuk attraktor digunakan juga daun kelapa. Rumpon digunakan hanya sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan, untuk menangkap ikan-ikan yang telah berkumpul tersebut, nelayan Maluku Tenggara biasanya menggunakan alat tangkap utama berupa purse seine, gillnet dan pancing tonda.

Namun sejauh mana tingkat efektivitas dari rumpon ini dalam menunjang operasi penangkapan ikan masih perlu dikaji lebih mendalam. Disamping itu, teknologi penangkapan tepat guna dalam melakukan penangkapan ikan di sekitar alat bantu rumpon juga masih perlu dikaji lebih jauh sehingga diharapkan dengan penggunaan teknologi penangkapan yang tepat dapat memberikan tingkat efektivitas yang lebih tinggi dalam penggunaan rumpon.

Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji tingkat efektivitas pemanfaatan rumpon dalam menunjang operasi penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi tepat guna.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

(1) Membandingkan komposisi jenis dan jumlah hasil tangkapan masing-masing rumpon dari unit penangkapan ikan

(2) Membandingkan efektivitas operasi penangkapan ikan yang menggunakan rumpon

(3) Membandingkan kinerja teknologi penangkapan ditinjau dari aspek biologi, sosial, dan ekonomi yang dioperasikan di sekitar rumpon.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna:

(1) Sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan rumpon yang tepat dalam bidang teknologi penangkapan untuk peningkatan hasil tangkapan bagi nelayan Maluku Tenggara

(2) Untuk memperkaya khasana ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan pemanfatan rumpon dalam teknologi penangkapan ikan.

(3) Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara dalam pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap di Maluku Tenggara.


(23)

1.5 Hipotesis

(1) Jenis rumpon yang berbeda akan memberikan komposisi dan jumlah hasil tangkapan yang berbeda.

(2) Teknologi penangkapan yang berbeda berdampak terhadap tingkat efektivitas penggunaan rumpon dalam operasi penangkapan ikan.

1.6 Kerangka Pemikiran

Kegiatan eksplorasi semakin meningkat perannya dalam kegiatan usaha penangkapan ikan (eksploitasi). Untuk itu, diperlukan adanya pengkajian secara menyeluruh, baik aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Aspek biologis terkait erat dengan ketersediaan sumber daya ikan yang menjadi target penangkapan. Aspek teknis berhubungan erat dengan teknologi dan armada penangkapan. Aspek sosial terkait erat dengan tenaga kerja (nelayan) dan kesejateraannya serta kemungkinan negatif yang diderita oleh nelayan sekitar. Sedangkan aspek ekonomi yang menyangkut efektivitas dan efesiensi biaya operasional yang kemudian berdampak kepada pendapatan usaha nelayan. Tingkat pendapatan dan keberadaan nelayan dalam operasi penangkapan ikan sangat ditentukan oleh keberadaan dan ketersedian ikan pada fishing ground melalui pengoperasian rumpon. Oleh karena itu proses penangkapan dengan menggunakan rumpon perlu dikaji lebih detail, terutama terkait dengan teknologi penangkapan ikan, komposisi hasil tangkapannya serta dampak negatif yang mungkin terjadi akibat dari pengoperasian rumpon tersebut. Dengan demikian keberhasilan operasi penangkapan dan keberlanjutan kegiatan perikanan ditinjau dari aspek biologis dan ekonomis sangat terkait erat dengan aspek kajian tersebut di atas.

Dalam memperkirakan efektivitas operasi penangkapan ikan di sekitar rumpon dengan mengunakan alat penangkapan purse seine, gillnet dan pancing tonda dapat diperkirakan dari perbandingan hasil tangkapan pada tiap-tiap rumpon.

Secara teoritis kerangka pemikiran/penelitian ini dirancang untuk melihat kinerja perikanan tangkap skala kecil saat ini, dan berdasarkan kinerja yang ada dapat dilakukan berbagai srategi untuk perbaikan di masa depan atau berbagai alternatif pemecahan permasalahannya. Secara teknis operasional, kerangka pemikiran dibagun berdasarkan pada isu pengelolaan perikanan di wilayah


(24)

penelitian. Isu pengeloloan perikanan tersebut merupakan fenomena yang timbul dari kondisi sumberdaya perikanan, tingkat eksplotasi sumberdaya perikanan, pengunaan teknologi penangkapan, etika pemanfaatan sumberdaya perikanan dan dampak ekonomi sosial saat ini.

Untuk mewujutkan pegelolaan perikanan perikanan yang berkelanjutan, maka dibutukan strategi pengelolaan perikanan yang tepat. Dilihat dari perspektif keberlanjutnnya, belum ada kajian yang komprehensif yang sekaligus mencakup berbagai demensi berkelanjutan yaitu demensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan hukum/kelembagaan, padahal kondisi demensi-demensi tersebut dapat mengambarkan status keberlanjutan perikanan tangkap dan dapat dijadikan sebagai pertimbagan pembangunan perikanan ke depan. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.


(25)

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian. Migrasi ikan

Kebijakan pengaturan armada (1) Purse seine

(2) Gillnet

(3) Pancing Tonda

Armada penangkapan atau TPI Pertumbuhan

armada yang positif

RUMPON (1) Mengkonsentrasikan ikan

Dampak negatif

(1) Ikan ukuran kecil turut tertangkap (2) Tangkapan

nelayan Efisiensi dan efektifitas operasi

penangkapan (1) Trip operasi cepat (2) Biaya operasional

rendah

(3) Hasil tangkapan lebih pasti


(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumpon

Rumpon adalah suatu benda menyerupai pepohonan yang dipasang di suatu tempat di laut. Menurut SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/1/97, rumpon didefinisikan sebagai alat bantu, penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut. Berdasarkan tempat pemasangan dan pemanfaatan rumpon menurut SK tersebut, dikategorikan ada 3 jenis rumpon. yaitu :

1) Rumpon perairan dasar adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut.

2) Rumpon perairan dangkal adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman sampai dengan 200 meter.

3) Rumpon perairan dalam adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman lebih dari 200 meter.

Menurut Badan Litbang Perikanan (1992), rumpon yang dikembangkan saat ini dikelompokkan berdasarkan:

1) Posisi dari pemikat atau pengumpul (agregator), rumpon dibagi menjadi rumpon perairan permukaan dan lapisan tengah dan dasar. Rumpon perairan permukaan dan lapisan tengah terdiri dari jenis rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam.

2) Kriteria portabilitas, rumpon dikelompokkan menjadi rumpon yang dijangkar secara tetap (statis) dan rumpon yang dijangkar tetapi dapat dipindah-pindah (dinamis).

3) Tingkat teknologi yang digunakan, rumpon dikelompokkan menjadi tradisional dan moderen.

Rumpon tradisional umumnya digunakan oleh nelayan tradisional yang terdiri dari pelampung, tali jangkar atau pemberat serta pemikat yang dipasang pada kedalaman 300-2000 m. Rumpon moderen umumnya digunakan oleh perusahaan perikanan (swasta dan BUMN). Komponen rumpon moderen biasanya terdiri dari pelampung yang terbuat dari plat besi atau drum, tali jangkar terbuat dari kabel baja (steel wire), tali sintesis dan dilengkapi dengan swivel, pemberat


(27)

8

biasanya terbuat dari semen cor. Pemikat yang digunakan umumnya terbuat dari bahan alami dan bahan sintesis seperti ban, pita plastik dan lain-lain (Nahumury 2001).

SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/l/97 juga menjelaskan mengenai pengaturan pemasangan dan pemanfaatan rumpon perairan dasar dan dangkal yang lebih jauh diatur oleh Pemerintah Daerah dengan ketentuan sebagai berikut:

1) sampai dengan jarak 3 mil laut diukur dari garis pasang surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II;

2) di atas 3 sampai dengan 12 mil laut diukur dari garis pasang surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau, oleh Pemerintah Daerah Tingkat I. Rumpon laut dalam hanya dapat dipasang oleh perusahaan perikanan; serta instansi pemerintah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perusahaan perikanan dapat melaksanakan pemasangan rumpon laut dalam dengan persyaratan tidak boleh, 1) mengganggu alur pelayaran; 2) dipasang dengan jarak pemasangan antar rumpon satu dengan rumpon lain kurang dari 10 mil laut; 3) mengganggu pergerakan ikan di perairan laut; 4) dipasang pada kedalamn perairan kurang dari 200 meter; 5) dipasang dengan jarak kurang dari 12 mil laut diukur dari garis pasang surut pada waktu air surut dari setiap pulau; atau 6) dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan efek pagar (zig-zag) yang mengancam kelestarian jenis ikan pelagis.

Adanya aturan pemasangan rumpon seperti yang terdapat pada butir ketiga dalam SK Mentan No. 51/Kpts/lK.250/l/97, pada kenyataannya di lapangan tidak selalu dapat diterapkan seperti halnya yang dilaporkan oleh De San (1982) bahwa posisi rumpon yang terbaik adalah daerah yang diketahui sebagai lintasan ruaya ikan, daerah upwelling, water front, arus eddy, dasar perairan yang datar, tidak dekat dengan karang dan berada di ambang suatu palung laut.

Rumpon merupakan alat pemikat ikan yang digunakan untuk mengkonsentrasikan ikan sehingga operasi penangkapan ikan dapat dilakukan dengan mudah (Subani 1972). Cara pengumpulan ikan dengan pikatan berupa benda terapung tersebut menurut Sondita (1986), merupakan salah satu bentuk dari fish aggregating device (FAD), yaitu metode benda atau bangunan yang dipakai


(28)

9

sebagai sarana untuk penangkapan ikan dengan cara memikat dan mengumpulkan ikan-ikan tersebut.

Disamping berfungsi sebagai pengumpul kawanan ikan, rumpon pada prinsipnya juga memudahkan kawanan ikan untuk ditangkap sesuai dengan alat tangkap yang dikehendaki. Penggunaan rumpon oleh kapal penangkap ikan juga dapat menghemat waktu dan bahan bakar, karena tidak perlu lagi mencari dan mengejar gerombolan-gerombolan ikan (Subani 1986; Wudianto dan Linting 1988). Monintja (1993) menyatakan lebih lanjut bahwa manfaat yang diharapkan dengan penggunaan rumpon selain menghemat waktu dan bahan bakar juga dapat menaikkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan, meningkatkan mutu hasil tangkapan ditinjau dari spesies dan komposisi ukuran berdasarkan selektivitas alat

Di Indonesia rumpon dikenal dengan berbagai sebutan seperti tendak (Jawa). onjen (Madura), rabo (Sumatera Barat), unjan tuasan (Sumatera Utara) dan rompong (Sulawesi) merupakan FAD skala kecil dan sederhana yang umumnya dibuat dari bahan tradisional, ditempatkan pada kedalaman perairan dangkal dengan jarak 5 - 10 mil laut ( 9 - 1 8 km) dari pantai dan umumnya tidak lebih dari 10-20 mil laut (35 km) dari pangkalan terdekat (Mathews et al. 1996).

Rumpon di perairan Kei kecil, disebut juga tendak, merupakan rumpon laut dangkal yang sifatnya menetap. Prinsipnya hampir sama dengan jenis rumpon laut dangkal di wilayah lain tetapi keistimewaan pada rumpon ini penggantian dilakukan hanya pada bahan attraktor saja, yaitu apabila kondisi bahan attraktor sudah rusak, biasanya dilakukan dua minggu sekali.

Subani (1972) menerangkan bahwa biasanya kegiatan penangkapan di sekitar rumpon dilakukan setelah sepuluh hari rumpon tersebut dipasang. Beberapa hari setelah rumpon ditanam dan bila diketahui bahwa di sekitar rumpon tersebut banyak kerumunan ikan kemudian baru dilakukan operasi penangkapan.

Rumpon, baik rumpon laut dalam maupun rumpon laut dangkal secara garis besar terdiri dari empat komponen utama yaitu (1) pelampung atau float, (2) tali panjang atau rope, (3) pemikat ikan atau attraktor (4) pemberat atau sinker. Pada tali yang menghubungkan antara pemberat dan pelampung pada jarak tertentu disisip-sisipkan daun nyiur yang masih melekat pada pelepahnya setelah dibelah menjadi dua. Panjang tali bervariasi. tetapi pada umumnya adalah 1,5 kali kedalaman


(29)

10

laut tempat rumpon tersebut ditanam. Lebih jauh dikemukakan pula bahwa rumpon di laut dangkal umumnya dipasang pada kedalaman antara 30-75 meter. Setelah dipasang kedudukan rumpon ini ada yang dapat diangkat-angkat, tetapi ada pula yang bersifat tetap tergantung pada pemberat yang digunakan (Subani 1986).

Tim Pengkajian Rumpon Institut Pertanian Bogor (1987) mengemukakan bahwa persyaratan umum komponen-komponen dari konstruksi rumpon adalah : 1) Pelampung (float); mempunyai kemampuan mengapung yang cukup baik

(bagian yang mengapung di atas 1/3 bagian), konstruksi cukup kuat, tahan terhadap gelombang, mudah dikenali dari jarak jauh dan bahan pembuatnya mudah diperoleh.

2) Pemikat (Attraktor); mempunyai daya pikat yang baik terhadap ikan, tahan lama, mempunyai bentuk seperti posisi potongan vertikal dengan arah ke bawah dan terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama dan murah.

3) Tali-temali (rope); terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah busuk, harga relatif murah, mempunyai daya apung yang cukup untuk mencegah gesekan terhadap benda-benda lainnya dan terhadap arus dan tidak bersimpul (less knot). 4) Pemberat (sinker); bahannya murah, kuat dan mudah diperoleh serta massa jenisnya

besar, permukaannya tidak licin dan dapat mencengkeram.

Boy dan Smith (1984) menerangkan bahwa appendage atau attraktor yang berupa daun kelapa. tyrewall, jaring dan kumpulan tali-temali yang diikatkan pada bagian rakit telah berhasil meningkatkan efektivitas runpon dalam memikat kelompok ikan.

Idealnya, appendage diikatkan pada jarak 5 sampai 20 meter di bawah laut, sehingga pada keadaan ini merupakan daerah primary production dan permulaan terjadinya rantai makanan (food veb). Appendage akan menghimpun sumber makanan bagi ikan-ikan kecil yang kemudian akan dimangsa oleh ikan-ikan sedang pada akhirnya akan berkumpul ikan-ikan besar, termasuk cakalang dan tuna. Ikan-ikan akan mulai berkumpul pada daerah ini sekitar tiga sampai empat minggu setelah rumpon ditanam pada suatu lokasi perairan (De San 1982 yang diacu oleh Poeng 1987). Keng (1978) mengemukakan bahwa attraktor alami seperti daun kelapa (Cocos nucifera Linn), daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dan daun aren (Arenga saccharifera Labill) masuk ke dalam famili yang sama yaitu famili Cycadaceae, hanya genus dan spesiesnya saja yang berbeda. Bentuk fisik diantara ketiganya


(30)

11

hampir sama, yaitu : pohon tinggi, bentuk daun pinnate atau palmate (seperti kipas), pelepah daun berserabut, tidak kasar dan bentuknya tidak tubular serta buah simetris.

Soedharma (1994) menyatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan pada rumpon adalah penggantian attraktor secara berkala, karena attraktor merupakan komponen yang paling mudah rusak dibandingkan komponen rumpon lainnya. Umumnya penggantian rumpon di perairan Teluk Lampung dilakukan dua bulan sekali. Attraktor yang digunakan adalah daun kelapa atau daun pinang. Daya tahan daun kelapa diperkirakan adalah 3-4 minggu. Attraktor yang terlalu lama diletakkan pada rumpon akan menyebabkan semakin sedikit ikan-ikan yang berkumpul di sekitanya.

2.2 Karakteristik Iklim dan Kondisi Perairan Maluku Tenggara

Iklim merupakan gabungan berbagai kodisi sehari-hari dimana unsur penyusun iklim utama adalah temperatur dan curah hujan, sehingga untuk mengetahui tipe iklim suatu wilayah perlu mengetahui kerakteristik temperatur dan curah hujan. Suhu rata-rata terendah Kabupaten Maluku Tenggara dalam tahun 2002 – 2007 ditemukan pada bulan Agustus yaitu 23,6 oC dan suhu tertinggi pada bulan Oktober - Nopember yakni 32,5 – 32,7°C. Suhu udara musim Barat berkisar dari 24,1 – 31,5 °C, pada musim pancaroba 1 berkisar dari 31,3 – 31,4 °C, pada musim Timur 30,1 – 30,5 °C, dan musim Pancaroba 2 berkisar dari 24 – 32,7 °C, sedangkan suhu udara dekat permukaan laut berkisar dari 23 – 23,5 °C (rata-rata 23,3 °C) (Rencana Tata Ruang Laut DKP Provinsi Maluku 2006)

Iklim Kabupaten Maluku Tenggara adalah tipe A (nilai Q = 0.10) dengan 10 bulan basah, 1 bulan kering dan 1 bulan lembab. Curah hujan di daerah ini memiliki pola Monsun (musiman) dengan ciri distribusi curah hujan bulanan berbentuk “V”. Musim Barat berlangsung pada bulan Desember hingga Februari, musim Timur pada Juni hingga Agustus, Pancaroba 1 pada bulan Maret hingga Mei dan Pancaroba 2 pada bulan September hingga November.

Pengurangan jumlah curah hujan terjadi saat pertengahan musim Timur (Juni-Agustus) hingga pertengahan musim Pancaroba 2 (Oktober), tetapi melimpah pada saat musim Barat hingga akhir Pancaroba 1. Nilai rata-rata curah hujan terendah dalam 5 tahun terakhir dicapai pada bulan Agustus yakni 50,8 mm. Terindikasi bahwa jumlah curah hujan Agustus–September semakin menurun


(31)

12

sejak tahun 2007 sampai sekarang, dan dua bulan ini tergolong bulan sangat kering. Secara umum terlihat bahwa saat musim Barat dan Pancaroba 1, curah hujan melimpah sepanjang tahun dengan rata > 300 mm dan hari hujan rata-rata 18 – 24 hari.

2.3 Alat Tangkap dan Metode Operasi Penangkapan Ikan di Sekitar Rumpon di Perairan Maluku Tenggara

Alat tangkap yang biasanya dioperasikan dalam penangkapan ikan di sekitar rumpon antara lain adalah pancing, gillnet, huhate dan pukat cincin (Subani, 1986). Berdasarkan SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/I/97, pemanfaatan rumpon perairan dalam di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perikanan dalam bentuk kerjasama dengan nelayan (pola perikanan inti rakyat). Alat tangkap yang digunakan adalah purse seine dan lokasi yang diperbolehkan adalah Zona Ekonomi Eklusif Indonesia dengan pemasangannya minimal 20 mil lautdari batas terluar laut wilayah. Pemanfaatan rumpon perairan dalam oleh nelayan kecil hanya boleh dilakukan dengan menggunakan pancing ulur (handline) atau pancing tonda.

2.3.1 Metode operasi penangkapan ikan dengan purse seine

Pengoperasian pukat cincin pada umumnya masih berada sekitar perairan Maluku Tenggara di perairan Kei Besar, perairan Kei Kecil, perairan Kur yang berada dalam kedalaman 200-700 m. Berdasarkan wawancara dengan nelayan di Maluku Tenggara mereka masih memperoleh hasil tangkapan yang relatif tinggi. Penangkapan dengan purse seine di daerah ini menggunakan alat bantu rumpon, sehingga dalam kegiatan pengoperasian nelayan sudah mengetahui daerah penangkapan yang jelas. Nelayan pukat cincin yang melakukan kegiatan penangkapan masih didasarkan pada kegiatan penangkapan sebelumnya, jika penangkapan sebelumnya memperoleh hasil tangkapan yang banyak maka penangkapan yang berikutnya tidak akan jauh dari daerah sebelumnya.

Berdasarkan pengamatan langsung dalam 14 trip operasi penangkapan dan wawancara dengan nelayan pukat cincin, umumnya nelayan berangkat pada pagi hari (sekitar pukul 03.00 WIT) hingga menjelang siang yaitu sekitar pukul 7.00 WIT dan selesai atau kembali ke pantai sekitar pukul 9.00 WIT. Informasi dalam metode operasi penangkapan pukat cincin dibagi kedalam beberapa tahap yaitu meliputi tahap persiapan, penurunan jaring dan penarikan jaring.


(32)

13

1) Tahap persiapan

Tahap persiapan merupakan tahap yang harus dilakukan setiap sebelum penangkapan ikan. Tahap persiapan ini meliputi kegiatan pemeriksaan mesin baik mesin utama maupun mesin johnson, pemeriksaan alat tangkap, penyiapan bahan bakar, (minyak tanah, bensin, oli), es, serta bahan komsumsi. Hal ini dilakukan untuk memperlancar kegiatan penangkapan ikan.

2) Kapal pukat cincin berangkat menuju rumpon yang merupakan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Pada umumnya membutukan waktu sekitar 15-30 menit untuk menuju daerah penangkapan. Penentuan daerah penangkapan ikan (rumpon) yang tepat yang akan menjadi tujuan daerah penangkapan berdasarkan hasil pemantauan oleh nelayan pemantu yang telah dilakukan pada malam harinya sebelum kapal pukat cincin berangkat, dan jika kegiatan penangkapan sebelumnya mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, maka kegiatan penangkapan berikutnya tidak akan jauh dari daerah penangkapan (rumpon).

3) Setting

Setelah tiba di daerah penangkapan ikan (rumpon), kemudian dilakukan proses setting yang diawali dengan penurunan pukat cincin pada bagian kantong dari kapal utama yang berada di bagian buritan sebelah kiri. Tali selembar pada bagian pukat cincin dilemparkan pada kapal johnson untuk dilakukan proses setting. Kapal johnson menunggu proses setting hingga selesai untuk melakukan proses selanjutnya yaitu penarikan purse line. Proses pelingkaran gerombolan ikan oleh kapal utama harus dilakukan dengan kekuatan penuh. Hal ini dilakukan agar gerombolan ikan yang menjadi target tidak lolos baik dari arah horisontal maupun vertikal. Proses pelingkaran gerombolan ikan membutukan waktu sekitar 5-10 menit. Dalam satu trip nelayan pukat cincin melakukan setting atau tawur rata-rata sebanyak 1-2 kali. Hal ini sangat ditentukan oleh jumlah hasil tangkapan yang diperoleh.

4) Hauling

Setelah proses pelingkaran gerombolan ikan selesai oleh kapal utama (lambut), salah satu nelayan yang berada pada kapal utama melempar purse


(33)

14

line dengan kekuatan penuh yang arahnya menjauh kapal utama. Pada saat dilakukan penarikan purse line oleh kapal johnson, proses penarikan pukat cincin juga dilakukan oleh nelayan pada kapal utama. Setelah proses penarikan purse line selesai, kapal johnson kembali dan mendekati pukat cincin yang sudah membentuk sebuah mangkok, kemudian dilakukan pengangkatan pelampung yang berada di kantong. Penarikan pukat cincin selesai hingga tersisa bagian kantong, maka dilakukan pengangkutan hasil tangkapan oleh nelayan yang berada pada kapal johnson untuk diletakan pada kapal johnson. Proses penarikan pukat cincin hingga selesai membutuhkan waktu 45-60 menit.

5) Penanganan hasil tangkapan

Penarikan pukat cincin hingga bagian kantong, ikan hasil tangkapan diambil oleh nelayan yang berada pada kapal johnson dengan menggunakan serok untuk ditempatkan pada kapal johnson. Pukat cincin yang selesai digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, disusun dan dirapikan kembali sebagai persiapan untuk kembali ke pantai.

2.3.2 Metode operasi penangkapan ikan dengan gillnet

Pengoperasian gillnet permukaan meliputi 3 tahap, yaitu setting,soaking, dan hauling. Setting merupakan kegiatan menurunkan jaring ke perairan. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada pagi hari pukul 7.00 – 10.00. Soaking atau perendaman merupakan tahap selanjutnya yaitu alat tangkap jaring dibiarkan terendam atau terhanyut dalam air dengan posisi tegak lurus terhadap arus. Selanjutnya tahap terakhir hauling, yaitu proses penangkapan jaring yang dilakukan tiap piece. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada siang hari pukul 12.00 dan sore hari pukul 16.00 – 17.00 WIT. Pengangkatan atau penarikanan jaring dilakukan mulai dari pangkalan jaring yang ditempatkan pada kapal dan berakhir pada ujung jaring yang berbeda dekat dengan pelampung tanda. Penarikan jaring pada alat tangkap jaring nilon dilakukan secara manual oleh nelayan (ABK). Ikan yang terjerat dilepaskan bersamaan dengan pengangkatan bagian jaring yang lainnya. Kemudiaan jaring yang sudah diangkat tersusun secara teratur pada badan kapal, disiapkan untuk setting selanjutnya.


(34)

15

Daerah operasi penangkapan gillnet permukaan meliputi perairan Kei Besar, Kei Kecil dan perairan Kur. Jarak dari fishing base ke finhing ground bisa mencapai 1 – 2 mil laut. Waktu yang diperlukan untuk mencapai fishing ground antara 20 – 30 menit. Sementara itu kegiatan operasi penangkapan ikan dengan alat tangkap gillnet pemukaan dalam satu kali trip penangkapan berkisar 1 hari dihitung mulai dari awal keberangkatan sampai kembali ke fishing base.

2.3.3 Metode operasi penangkapan ikan dengan pancing tonda

Pancing tonda di perairan Maluku Tenggara beroperasi pada bulan Juni sampai September. Kontruksi pancing tonda sangat sederhana dan mudah dioperasikan. Saat pengoperasian pancing tonda berlangsung, apabila ikan terpancing pada salah satu mata pancing, maka pancing yang lain juga harus digulung agar tidak tersangkut tali pancing yang umpannya tidak dimakan ikan. Oleh karena itu dalam satu perahu yang menggunakan tiga unit pancing tonda tidak akan mendapatkan ikan secara bersamaan dalam satu kali towing.

Secara umum ukuran mata pancing nomor 5 memberikan hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan dengan mata pancing nomor 6 dan nomor 4. Ukuran mata pancing nomor 5 dapat dikatakan lebih efektif untuk pancing tonda yang dioperasikan di perairan Maluku Tenggara, ukuran ini lebih sesuai untuk gerombolan ikan yang ditemui. Ukuran hasil tangkapan dari mata pancing nomor 6 lebih kecil dibandingkan dua ukuran mata pancing yang lain, karena ukuran mata pancing ini lebih kecil. Ukuran mata pancing nomor 5 memberikan hasil tangkapan tongkol yang lebih banyak dibandingkan ukuran mata pancing yang lain. Banyaknya tongkol yang tertangkap oleh mata pancing nomor 5 diduga karena ukuran mata pancing tersebut lebih tepat dibandingkan ukuran ukuran mata pancing lain dan jumlah kegagalan (lolos atau lepas) yang sedikit.

Selama penelitian ini berlangsung kisaran waktu seting pertama antara pukul 06.00 – 10.00 sedangkan kisaran waktu setting kedua berkisar antara pukul 14 – 18.00. Hal ini disesuaikan dengan tingkah laku makan ikan tongkol, yang meningkat intensitas makannya pada pagi dan sore hari. Oleh karena itu, ikan tongkol lebih banyak tertangkap pada pagi dan pertengahan antara siang dan sore hari.


(35)

16

Hal lain yang perlu disampaikan adalah apabila salah satu ikan terpancing dan meronta-ronta hingga mengeluarkan darah, maka ikan yang berada di sekitarnya akan berenang menjauh dengan cepat. Hal ini menyebabkan sedikitnya jumlah hasil tangkapan pancing tonda dibandingkan dengan alat tangkap lainnya.

Saat operasi penangkapan berlangsung benang pancing beberapa kali sempat terputus, dikarenakan tergigit oleh ikan besar yang tertangkap atau ukuran ikan yang telah besar. Oleh karena itu disarankan untuk menyiasati putusannya benang tersebut, yaitu dengan menambahkan kawat barlen pada pancing sehingga agak sulit tergigit ikan.

2.4 Ikan Pelagis

Menurut Weyl (1970), organisme pelagis adalah organisme yang hidup dikolom perairan yang jauh dari dasar perairan. Selanjutnya Nybakken (1982) menambahkan bahwa organisme pelagis adalah organisme yang hidup di laut terbuka, lepas dari dasar perairan dan disebut sebagai kawasan pelagis. Zona yang masih dapat ditembus cahaya (100-150 m), merupakan zona penting sebagi kawasan produktivitas primer yang disebut zona epipelagik. Zona dibawah epipelagik sampai kedalaman 700 m disebut zona mesopelagik, pada zona ini penetrasi cahaya kurang (keadaan gelap). Ikan-ikan yang terdapat pada kawasan pelagik terdiri dari dua kelompok, yaitu ikan holoepipelagik dan mesopelagik. Holoepipelagik adalah ikan-ikan yang menghabiskan seluruh hidupnya di daerah pelagik, seperti ikan cucut, ikan terbang, ikan tuna, ikan setuhuk dan ikan lemuru. Mesopelagik adalah ikan-ikan yang menghabiskan sebagian hidupnya dikawasan epipelagik seperti dolphin.

Kedalaman renang kelompok ikan pelagis tergantung pada struktur suhu secara vertikal. Apabila suhu permukaan air menjadi lebih tinggi, maka jenis-jenis ikan pelagis akan berenang semakin dalam. Hampir semua ikan pelagis berada dalam satu kelompok dan akan naik ke lapisan permukaan pada sore hari. Selanjutnya setelah matahari terbenam, kelompok ikan tersebut menyebar di lapisan pertengahan perairan dan saat matahari terbit akan turun menuju lapisan yang lebih dalam (Gunarso 1985). Gunarso (1985) juga menambahkan bahwa kolom perairan tersebut diduga merupakan batas aman lapisan renang (swimming layer) dari pergerakan ikan pelagis kecil. Ikan pelagis kecil memiliki densitas lebih tinggi di perairan dangkal jika dibandingkan dengan laut dalam. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut


(36)

17

adalah adanya pengaruh cahaya matahari terhadap ruaya vertikal harian dari kelompok ini. Ayodhyoa (1981), melaporkan hal yang sama dengan pengecualian pada daerah upwelling yang merupakan daerah subur akibat pengangkatan zat hara ke permukaan.

Sumberdaya perikanan pelagis kecil diduga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, yang mempunyai sifat hidup di sekitar permukaan, seperti di daerah perairan dekat pantai (Imawati 2003). Secara umum, hampir semua jenis ikan pelagis terdapat di seluruh perairan Indonesia kecuali ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang hanya terdapat di Selat Bali dan sekitarnya.

Musim penangkapan ikan pelagis kecil yang baik di perairan Indonesia umumnya berlangsung pada peralihan musim timur ke musim barat yaitu sekitar bulan Agustus sampai Desember (Nurhakim et al. 1988).

Sama halnya dengan nelayan di perairan utara Jawa, nelayan di perairan Selat Sunda juga mengenal dan membagi musim penangkapan ikan menjadi tiga musim, masing-masing, musim barat, timur dan peralihan. Musim penangkapan ikan di daerah ini berlangsung hampir sepanjang tahun, sebab jenis alat tangkap yang digunakan relatif beragam dan musim ikan jenis tertentu juga berbeda-beda. Ikan-ikan yang berasosiasi di sekitar rumpon umumnya adalah ikan pelagis, seperti ikan layang bulat (Decapterus macrosoma.), layang panjang (Decapterus russelli), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta.), kembung perempuan (Rastelliger macrosoma), selar hijau (Atule mate), selar kuning (Selaroides leptolepis), selar bentong (Selar crumenophthalmus), lemuru (Sardinella lemuru), tembang (Sardinella fimbriata), tongkol (Auxis thazard) dan lain-lain. Jenis-jenis ini termasuk perenang cepat, beruaya cukup jauh dan sifatnya bergerombol mengelompok. Salah satu sifat ikan pelagis yaitu suka bergerombol merupakan faktor penting bagi pemanfaatan usaha perikanan komersil. Adanya sifat mengelompok ini, menyebabkan ikan dapat ditangkap dalam jumlah besar (Gunarso 1985). Tingkah laku berkelompok pada ikan pelagis juga didasarkan atas jenis dan ukuran yang berbeda pula dimana hal ini akan mempengaruhi pola tingkah laku mengelompok pada suatu gerombolan ikan(Laevastu dan Hayes 1981).


(37)

18

Gunarso (1985) menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan pelagis membentuk kelompok/ bergerombol, yaitu :

1) Sebagai perlindungan diri dari pemangsa (predator) 2) Mencari dan menangkap mangsa untuk tujuan pemijahan 3) Bertahan pada musim dingin

4) Untuk melakukan ruaya dan pergerakan serta karena adanya pengaruh dari faktor-faktor yang ada di sekitarnya.

Menurut Mathews el al. (1996), rumpon menarik tiga spesies komersial penting yaitu :

1) Madidihang (yellowfin) Thunnus albacares umumnya juvenil, tertarik dalam jumlah yang banyak dan tertangkap oleh kapal hand line kecil;

2) Layang (Decapterus spp.) di Sulawesi Utara dikenal "malalugis" ditangkap di sekitar rakit oleh mini purse seine yang dikenal dengan "soma pajeko'' yang berukuran antara 12-17 meter dengan mesin luar (motor tempel) 4 0 - 1 2 0 HP dan panjang jaring yang tidak kurang dari 200 meter.

3) Cakalang (Katsuwonus pelamis L.) kecil yang tertangkap oleh soma pajeko sebagai suatu hal yang menarik, namun sangat tidak penting karena merupakan tangkapan sampingan dari malalugis (Decapterus spp.); cakalang dipasarkan secara terpisah.

Seperti halnya produksi ikan pelagis di laut jawa, di perairan Pasuruan, Selat Sunda juga umumnya didominasi oleh beberapa jenis yang tegolong dalam tiga famili yaitu: Carangidae, Clupeidae dan Scombridae. Menurut Longhurst dan Pauly (1987), jenis-jenis karangid dan klupeid tersebut umumnya hidup di paparan benua (continental shelf) sedang sebagian jenis-jenis skombroid bersifat neritik.

2.4.1 Ikan layang

Ikan layang merupakan salah satu sumber perikanan lepas pantai yang terdapat di Indonesia. Ada lima jenis ikan layang yang ditemukan di perairan Indonesia yaitu: Decapterus russelli, Decapterus makrosoma, Decapterus kuroides, Decapterus maruadsi, Decapterus lajang. Dari kelima jenis tersebut diketahui bahwa Decapterus russelli memiliki penyebaran yang paling luas yaitu mulai dari Kepulauan Seribu hingga Pulau Bawean dan Pulau Masalembo (Nontji 1993).


(38)

19

Ikan layang memiliki bentuk badan seperti cerutu dan sisiknya sangat halus. Bentuk yang demikian memungkinkan ikan tersebut untuk berenang dengan kecepatan tinggi di laut. Ikan layang, meskipun aktif berenang tetapi terkadang juga pasif yaitu pada saat membentuk gerombolan pada suatu daerah yang sempit atau di sekitar benda-benda terapung. Ikan layang sering ditemukan suka bergerombol di sekitar rumpon dengan posisi membelakangi rumpon dan senantiasa menghadap dan menentang arus (Asikin 1985). Makanan utamanya adalah jenis avertebrata berukuran kecil.

Daerah penyebaran ikan layang ini biasanya mulai dari barat Sumatera, selatan Jawa, timur, selatan dan barat Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku serta Irian Jaya (Direktorat Jenderal Perikanan 1997).

Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1984), adalah sebagai berikut; Phyllum : Chordata;

Sub Phyllum : Vertebrata; Class : Pisces

Sub Class : Teleostei; Ordo : Percomorphi;

Sub Ordo : Percoidea; Divisi : Perciformes;

Genus : Decapterus,

Species : Decapterus russelli, (Rupped) Nama Indonesia : Layang

Nama Kei : Momar Merah


(39)

20

2.4.2 Ikan selar

Ikan selar termasuk dalam kelompok ikan pelagis kecil dari famili Carangidae. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1997) terdapat dua jenis ikan selar yang umumnya tertangkap di perairan Indonesia yaitu selar kuning (Selaroides leptolepis) dan selar bentong (Selar crumenophthalmus).

Ikan selar kuning (Selaroides leptolepis) memiliki bentuk badan yang lonjong, pipih. Bagian atas tubuhnya berwarna hijau kebiruan, bagian bawah berwarna putih keperakan. Terdapat pita warna kuning keemasan membujur mulai dari mata sampai sirip ekor. Pada tutup insang bagian atas terdapat bintik warna gelap. Ikan selar bentong (Selaroides leptolepis) memiliki bentuk badan dan warna yang sama dengan selar kuning tetapi memiliki mata yang lebih besar dan warna sirip keabu-abuan atau pucat.

Ikan selar hijau (Atule mate) juga tennasuk famili Carangidae yang memiliki ciri hampir sama dengan ikan selar kuning. Perbedaanya pada ikan selar hijau terdapat pita warna hijau membujur mulai dari mata sampai sirip ekor. Memiliki adipose eyelid, kecuali pada bagian pipih yang terdapat vertical sin.

Daerah penyebaran ikanselar hijau (Atule mate) selain di Indonesia ikan ini juga terdapat di Samudera Hindia bagian barat dan timur (FAO 2002). Ikan selar kuning (Selaroides leptolepis) dan selar bentong (Selar crumenophthalmus) menyebar di wilayah perairan timur Sumatera, utara Jawa, Selat Malaka, barat Sumatera, timur Kalimantan, utara dan selatan Sulawesi, Maluku serta irian Jaya (Direktorat Jenderal Perikanan 1997).

Klasifikasi selar menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Phyllum : Chordata;

Sub Phyllum : Vertebrata; Class : Pisces;

Sub Class : Teleostei; Ordo : Percomorphi;

Sub Ordo : Percoidea; Ordo : Percomorphi;


(40)

21

Sub Famili : Caranginae; Genus : Caranx;

Sub Genus : Selar

Species : Selar crumenophthlmus; Selarouides leptolepsis Nama Indonesia : Selar

Nama Kei : Kawalinya

Gamabar 3 Selar (Selarroides leptolepsis) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992).

2.4.3 Ikan kembung

Ada dua jenis ikan kembung yang terdapat di perairan Indonesia yaitu kembung lelaki/banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachyosoma). Ikan kembung lelaki memiliki bentuk badan yang langsing, mempunyai warna lebih cerah, punggung berwarna kehijau-hijauan dan bagian bawahnya berwarna putih kekuningan, dihiasi bintik hitam pada bagian punggungnya dari depan ke belakang. Ikan kembung perempuan memiliki bentuk badan yang lebih lebar dan pendek, berwarna biru kehijauan pada bagian punggung dan putih keperakan pada bagian perutnya. Secara umum Saanin (1984) menggambarkan ikan kembung berbentuk cerutu, tubuh dan pipinya ditutupi sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari bagian lainnya.

Ikan kembung (Rastelliger spp.) hidup dengan memakan, plankton (plankton feeder) sebagai makanannya. Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) memakan plankton berukuran besar tapis insang yang lebih kasar dibandingkan tapis insang yang terdapat pada ikan kembung betina (Rastrelliger neglectus)


(41)

22

yang memakan plankton berukuran kecil seperti diatom dan larva kopepoda (Nontji 1993).

Daerah penyebaran utama ikan kembung di Indonesia adalah perairan barat, timur dan selat kalimantan, selat malaka, barat dan timur Sumatera, utara dan selat jawa, nusa Tenggara utara dan selat Sulawesi Maluku serta Irian Jaya (Direktorat Jenderal perikanan 1979).

Klasifikasi kembung menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Phyllum : Chordata;

Sub Phyllum : Vertebrata; Class : Pisces;

Sub Class : Teleostei; Ordo : Percomorphi;

Sub Ordo : Percoidae; Famili : Caranggidae;

Genus : Rastrelliger, Sub Genus : Selar

Species : Rastrelliger brachyssoma, (Bleeker) Rastrelliger neglatus, (Van Kampen) Rastrelliger kanagurta, (Cuver) Nama Indonesia : Kembung

Nama Kei : Lema

Gambar 4 Ikan kembung lelaki (Rastrellige kanagurta) (Balai Penelitian perikanan laut, 1992).


(42)

23

2.4.4 Ikan tongkol

Ikan tongkol termasuk dalam famili scombridae yang umumnya hidup bergerombol. Bentuk badannya secara umum seperti cerutu dan kulit yang licin, berwarna biru keperakan. Ikan ini dikenal sebagai ikan berenang cepat dan terkuat anara ikan-ikan laut yang ada disamping ikan tenggiri (Pakpahan 1999 dalam Imawati 2003). Ikan tongkol (Auxis thazard) memakan nekton dan zoobentos sebagai makanan utamanya. Daerah penyebaran ikan tongkol di Indonesia meliputi perairan Maluku, laut sawu, Samudara Indonesia, sebelah selatan Nusa tenggara dan barat Sumatera.

Klasifikasi tongkol menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Phyllum : Chordata;

Sub Phyllum : Vertebrata; Class : Pisces;

Sub Class : Teleostei; Ordo : Percomorphi;

Sub Ordo : Percoidae; Famili : Scombridae;

Genus : Auxis thazard, Sub Genus : Tongkol

Species : Auxis thazard (Lacepede, 1802) Nama Indonesia : Tongkol

Nama Kei : Komu


(43)

24

2.4.5 Ikan tenggiri

Ikan tenggiri biasa juga disebut: Spaniard, Narrow-Barred Spanish Mackerel, Kingfish, King Makerel. Ikan tenggiri sangat digemari masyarakat baik nasional maupun internasional dan di Indonesia ikan tenggiri merupakan komoditas ekspor.

Ikan tenggiri termasuk dalam kelas: Atinopterygii, Ordo: Percifformes, Famili: Scombridae, Genus: Scomberomorus, Spesies: Scomberomorus commerson.

Distribusi ikan tenggiri di seluruh dunia tersebar pada daerah: Pasific Barat: Laut Merah dan Afrika Selatan sampai Asia Tengggara, Utara sampai ke Cina dan Jepang dan dari Australia Utara sampai Tenggara, Fiji serta laut Maditerania Timur, Tenggara Atlantik: Pulau St. Helena dengan lintang 40 U – 45 S (Okiyama 1993), temperature 18 – 31 C (65 – 88 Farenheit). Adanya ikan tenggiri di Laut Mediteranian bagian timur disebabkan migrasinya ikan-ikan yang berada di Laut Merah masuk ke perairan tersebut melalui Teruan Suez, yang dikenal dengan lessepian migration. Ikan tenggiri adalah salah satu ikan Lessepian dari 54 species ikan yang diketahui, nama tersebut diambil dari nama orang Perancis yang membangun terusan suez yaitu Ferdinand de Lesseps. Ikan tenggiri di daerah ini pertama kali dicatat sejak tahun 1935 dan sekarang umumnya didapatkan pada penangkapan dengan jarring dan pukat cincin (Golani 1988). Selanjutnya dikatakan bahwa tenggiri diderah mediteranian populasi semakin meningkat dan juga merupakan competitor dari indigenenous species Argyrosomus regius yang merupakan ikan yang biasa ditangkap sebagai ikan komersil di Israel, yang sejak tahun 1980 an sudah hampir punah. Kedua ikan ini merupakan picivora sehingga keduanya menggunakan niche yang sama.

Klasifikasi tenggiri menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Phyllum : Chordata;

Sub Phyllum : Vertebrata; Class : Pisces;

Sub Class : Teleostei; Ordo : Percomorphi;


(44)

25

Famili : Scombridae;

Genus : Scomberomorus commersoni, Sub Genus : Tenggiri

Species : Scomberomorus commersoni (Lacepede, 1802) Nama Indonesia : Tenggiri

Gambar 6 Tenggiri (Scomberomorus commersoni) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992).

2.5 Tingkah Laku Ikan di Sekitar Rumpon

Untuk mengembangkan usaha di bidang penangkapan ikan, maka sangat dibutuhkan pengetahuan yang cukup tentang tingkah laku ikan yang hendak ditangkap. Pengetahuan tentang tingkah laku ikan terutama faktor makanan, seperti apa saja yang menjadi makanan dan bagaimana ikan-ikan di sekitar rumpon makan menjadi sangat penting untuk keberhasilan dalam penangkapan.

Ada beberapa pendapat tentang keberadaan ikan di sekitar rumpon seperti yang dikemukakan oleh Asikin (1985) sebagai berikut:

1) Ikan-ikan itu senang bersembunyi di bawah bayang-bayang daun rumpon; 2) Rumpon itu sebagai tempat berpijah bagi beberapa jenis ikan tertentu; 3) Rumpon sebagai tempat berteduh bagi beberapa jenis ikan tertentu; 4) Rumpon itu sebagai tempat berteduh bagi beberapa jenis ikan yang

mempunyai sifat fototaksis negatif.

Akan tetapi pendapat tersebut masih perlu dikaji, karena kurang tepat terutama alasan pada butir (4), karena semua ikan pada prinsipnya memiliki sifat fototaksis positif, sebab kalau tidak letak matanya harus berada di bagian bawah sisi


(45)

26

kepalanya. Kecuali jenis ikan yang hidup di muara-muara sungai dan membenamkan diri di lumpur atau ikan yang biasa hidup di sungai di bawah tanah (Subani 1986). Alasan pada butir (3), juga kurang tepat bagi sebagian besar ikan kecuali pengamatan berdasarkan penangkapan ikan torani yang menggunakan pakaja sebagai rumpon, yang saat itu tertangkap pada waktu bertelur.

Teori tentang keberadaan ikan di sekitar rumpon juga dikemukakan oleh Samples dan Sproul (1985) sebagai berikut:

1) Rumpon sebagai tempat beteduh (shading place) bagi beberapa jenis ikan tertentu;

2) Rumpon tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan tertentu; 3) Rumpon sebagai tempat berlindung dan predator bagi ikan-ikan tertentu;

4) Rumpon sebagai titik acuan navigasi (reference point) bagi ikan-ikan tertentu yang beruaya.

Selain itu, masih ada lagi pendapat lain yaitu rumpon sebagai tempat stasiun pembersih (cleaning place) bagi ikan-ikan tertentu, contohnya dolphin dewasa umumnya akan mendekati bagian bawah floating objects dan menggesekkan badannya (Gooding dan Magnuson 1967). Dari beberapa jurnal sejak tahun (1967-1999) juga ada teori yang menyatakan rumpon sebagai tempat berasosiasi/bermain (association place) bagi jenis-jenis ikan tertentu.

Menurut Subani (1972)dan, Sondita (1986), ikan yang berukuran kecil pertama kali tertarik di sekitar rumpon, kemudian disusul ikan berukuran besar. Rumpon merupakan arena makan (bodig ground) dan dimakan yang terjadi sesuai dengan rantai makanan. Permulaan terjadinya arena ini dimulai dengan tumbuhnya bakteri dan mikroalga ketika rumpon pertama kali dipasang. Kemudian makluk-mahluk renik ini bersama hewan-hewan kecil menarik perhatian ikan pelagis berukuran kecil. ikan-ikan pelagis ini menarik perhatian ikan-ikan-ikan-ikan yang berukuran besar untuk memakannya.

Subani (1986) dalam tulisannya mensinyalir adanya pendapat lain tentang keberadaan ikan di sekitar rumpon yang berkenaan dengan faktor makanan yakni, ikan-ikan memakan daun nyiur (rumbai-rumbai attraktor) dan organisme yang menempel pada rumpon. Akan tetapi dalam kaitan ini seperti yang sudah dilaporkan sebelumnya oleh Subani (1972) menyatakan bahwa tidak benar ikan-ikan di sekitar rumpon memakan daun-daun rumpon (kelapa). Pernyataan ini diperkuat oleh Djatikusumo


(46)

27

(1977) berdasarkan atas pengamatan isi perut ikan di sekitar rumpon, yang diketahui ternyata makanan ikan berasal dan jenis-jenis plankton dan bukan daun-daun kelapa. Berdasarkan hal ini diduga bahwa rumpon merupakan tempat ikan berlindung dari serangan predator. Pendapat ini ditegaskan pula oleh pendapat Subani (1972) yang menyebutkan bahwa rumpon yang dipasang pada suatu perairan akan dimanfaatkan oleh kelompok ikan lemah (tidak memiliki alat pertahanan diri alami seperti duri-duri keras pada sirip, kepala, ekor atau bagian tubuh lainya, juga tidak memiliki gigi yang kuat pada mulutnya) sebagai tempat berlindung dari serangan predator. Kelompok jenis ini akan berenang dengan mengusahakan agar posisi tubuhnya selalu membelakangi bangunan rumpon.

Teori tentang berkumpulnya ikan di sekitar rumpon oleh faktor makanan juga diperkuat oleh Soemarto (1962) yang mengungkapkan dalam area rumpon terdapat plankton yang merupakan makanan ikan yang lebih banyak dibandingkan di luar rumpon. Selanjutnya disebutkan juga bahwa perairan yang banyak planktonnya akan menarik ikan pemakan plankton untuk mendekat dan memakannya.

Menurut Subani (1986) ikan-ikan yang berkumpul di sekitar rumpon laut dangkal umumnya jenis ikan pelagis kecil seperti : ikan layang (Decapterus spp.), kembung (Rastrelliger spp.), selar (Selaroides leptrolepis), lemuru (Sardinellta spp.), tongkol (Auxis thazard) dan bawal hitam (Formio niger). Ikan-ikan tersebut merangsang ikan pelagis besar untuk mendatangi gerombolan ikan itu dan memangsanya. Jenis ikan yang berkumpul pada rumpon laut dalam yaitu : cakalang (Katsuwonus pelamis), madidihang (Thunnus albacares), big eye (Thunnus obesus), tongkol (Euthynnus affinis), setuhuk (Makaira spp.), tenggiri (Scomberomorus spp.), lemadang (Corypaena hippurus).

2.6 Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna

Tujuan teknologi penangkapan ikan tepat guna adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaman (performance) yang baik ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, sehingga merupakan alat tangkap yang cocok untuk dikembangkan. Haluan dan Nurani (1988) mengemukakan bahwa untuk


(47)

28

menentukan unit usaha perikanan tangkap pilihan digunakan metode skoring mencakup analisis terhadap aspek-aspek sebagai berikut :

(1) Aspek biologi mencakup : ukuran mesh size jaring yang digunakan untuk menganalisa selektivitas alat tangkap, jumlah ikan layak tangkap, jumlah komposisi hasil tangkapan dan cara pengoperasian alat tanakap.

(2) Aspek teknis mencakup : produksi per trip, produksi per tenaga kerja dan produksi per tahun.

(3) Aspek sosial meliputi : jumlah tenaga kerja per unit penangkapan, tingkat penguasahan teknologi dan kemungkinan kepemilikan unit penangkapan ikan oleh nelayan yang diperoleh dari pendapatan nelayan per tahun dibagi inventasi dari unit penangkapan.

(4) Aspek ekonomi mencakup : analisis aspek ekonomi dan finansial yaitu penerimaan bersih per tahun dan penerimahan per tenaga kerja per tahun. Sedangkan analisis finansial meliputi penilaian dengan Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR).

Prinsip dasar untuk penentuan cara skoring terhadap unit perikanan tangkap adalah untuk penilian pada kriteria yang mempunyai satuan berbeda dan penilaiannya dilakukan secara subyektif. Penilaian terhadap semua kriteria secara terpadu dan dilakukan standarisasi nilai dari kriteria masing-masing unit penangkapan ikan. Kemudian skor tersebut dijumlahkan, makin besar jumlah skor berarti lebih baik atau efesien dan sebaliknya ( Purbayanto 1991).

Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1993), dapat dilakukan melalui pengkajian-pengkajian aspek ”bio-tecnico-socio-economik-approach” oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh semua jenis teknologi penangkapan yang akan dikembangkan, yaitu: (1) bila ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau menggangu kelestarian sumberdaya, (2) secara teknis efektif digunakan, (3) dari segi sosial dapat diterima masyarakat nelayan, dan (4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Suata aspek tambahan yang tidak dapat diabaikan yaitu izin dari pemerintah (kebijakan dan peraturan pemerintah).


(48)

29

Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka menurut Monintja (1987), teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap banyak tenaga kerja, dengan pendapatan pemelayan memadai. Selanjutnya menurut Monintja (1987), dalam kaitan dengan peralihan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit serta produktivitas nelayan pertahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggung jawabkan secara biologis dan ekonomis.

Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, apabila hal ini dapat disepakati, maka syarat-sayarat pengembangan teknologi penangkapan ikan Indonesia haruslah dapat :

(1) Menyediakan kesempatan kerja yang banyak;

(2) menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan;

(3) menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein;

(4) mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor;

(5) tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan.

Intesifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan, pada dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik-teknik yang dipakai, termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu lainnya yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing tempat. Namun tidak semua modernisasi dapat menghasilkan peningkatkan produksi dan peningkatkan pendapatan bersih (net income) nelayan. Oleh karena itu, introduksi teknik-teknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan secara intensif dengan hasil yang menyakinkan (Wisudo et al., 1994).

2.7 Efektivitas

Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Efektivitas dapat pula diartikan perbandingan perbandingan


(49)

30

antara hasil dengan tujuan dalam persen, dimana apabila nilai efektivitasnya diatas 100% maka dapat dikatakan cukup efektif, sedangkan apabila nilai efektivitasnya di bawah 100% dapat dikatakan kurang efektif. Dengan kata lain bahwa efektivitas sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan diyatakan dalam persen.

Efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Nilai efektivitas alat tangkap bagan motor (lift net) dapat dikategorikan tiga, yaitu: apabila nilainya kurang dari 50% dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnnya rendah, nilai 50% - 80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya tinggi (Baskoro et al. 2006).

Menurut Fridman (1988) bahwa hasil tangkapan suatu alat tangkap dipengaruhi efektivitas alat dan efesiensi cara operasi. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas alat tangkap secara umum tergantung pada faktor-faktor, anatara lain: parameter alat tangkap itu sendiri (rancang bagun dan konstruksi), pola tingkah laku ikan, ketersedian atau kelimpahan ikan dan kondisi oseanografi.

Efektivitas daerah penangkapan adalah sebuah konsep dimana di cari perbandingan atau ratio dari hasil tangkapan rata-rata dengan upaya penangkapan rata-rata dalam satu lokasi penangkapan (Mukmimin et al. 2006).


(50)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Maluku Tenggara Kecamatan Kei Kecil Tual selama 6 bulan, dimulai dari tahap persiapan sampai dengan penulisan tesis. Penelitian di lapangan dilakukan selama 3 bulan, dari bulan Agustus 2007 sampai dengan Oktober 2007. Lokasi penelitian terletak pada 131,850-131,950BT dan 5.250 – 5.450 LS, dengan batasannya sebagai berikut: (1) Sebelah utara berbatasan dengan Papua bagian selatan, (2) Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura, (3) Sebelah barat berbatasan dengan Laut Banda dan bagaian utara Kepulauan Tanimbar, (4) Sebelah timur berbatasan dengan Kepulauan Aru. Peta lokasi penelitian ini disajikan pada Gambar 7.

Lokasi Rumpon

Peta Penelitian

Lokasi Rumpon

Peta Penelitian


(51)

32

3.2 Alat dan Bahan

(1) Rumpon

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis rumpon, yaitu jenis rumpon rakit bambu dan rumpon drum plastik. Masing-masing jenis rumpon terdiri atas 2 unit rumpon, dan dioperasikan pada kedalaman 200 sampai 300 m. Adapun konstruksi masing – masing jenis rumpon disajikan pada Gambar 8 dan Gambar 9.

Gambar 8 Rumpon rakit bambu.

Gambar 4 Rumpon drum plastik.

Gambar 9 Rumpon drum plastik.

Keterangan gambar

1.Tanda pengenal 2.Rakit bambu 3.Pelepah kelapa 4.Batu pemberat

pelepah

5 A t

1 2

3

4 5

6

Keterangan gambar :

1. Rakit bambu

2. Drum plastik (pelampung) 3. Rumah jaga

4. Rangka kayu

3

5

1 4

2 3

5

1 4


(52)

33

(2) Purse seine

Dalam pengambilan sampel digunakan satu unit alat tangkap purse seine yang dikhususkan untuk menangkap ikan pelagis besar dan kecil, dan yang menjadi daerah penangkapannya adalah perairan yang sudah dipasang rumpon. Jenis purse seine yang biasa dipakai oleh nelayan Maluku Tenggara biasa dinamakan jaring bobo dengan ukuran rata 250 – 400 m dengan lebar rata-rata 40 – 60 m.

(3) Gillnet

Lima piece gillnet merupakan alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan Maluku Tenggara. Bentuk alat tangkap ini empat persegi panjang yang mempunyai ukuran mata jaring (mezh size) yang sama pada seluruh bagian jaring, yaitu berukuran 14,0 cm (5,5) panjang jaring 1 peace 190 m dan lebar 2-5 m.

(4) Pancing tonda

Satu unit pancing tonda merupakan alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan Maluku Tenggara untuk menangkap ikan pelagis, daerah operasi alat tangkap ini biasanya di sekitar rumpon.

(5) Plankton net

Alat ini digunakan untuk memperoleh sampel fitoplankton, sedangkan untuk mengidentifikasi dan menghitung fitoplankton digunakan mikroskop elektron.

(6) Timbangan

Timbangan digunakan untuk mengetahui berat ikan hasil tangkapan dengan maksimum skala berat timbangan adalah 10 kg.

(7) Papan ukur ikan

Papan ukur ikan digunakan untuk mengukur panjang per-ekor ikan hasil tangkapan pada tiap rumpon yang berbeda.

(8) Alat tulis dan kamera

Alat ini digunakan untuk mencatat waktu operasi dan mengdokumentasikan proses operasi penangkapan pada rumpon maupun jenis hasil tangkapan.


(53)

34

3.3 Pengumpulan Data

Alat tangkap yang digunakan untuk pengumpulan data adalah purse seine, gillnet, dan pancing tonda yang dioperasikan di sekitar rumpon. Sampel kapal ditentukan secara purposif sampling. Jumlah unit masing-masing alat tangkap tersebut adalah sebanyak satu unit purse seine, lima piece gillnet, dan satu unit pancing tonda. Setelah sampel unit penangkapan ditentukan, selanjutnya ditentukan sampel rumpon untuk mewakili dua jenis rumpon yang beroperasi di lokasi penelitian, yaitu rumpon rakit bambu dan rumpon drum plastik dengan jumlah masing-masing 2 unit rumpon.

Pengumpulan data dilakukan melalui metode survei, yaitu dengan mengikuti penangkapan ikan, purse seine, gillnet dan pancing tonda di lokasi perairan pemasangan rumpon (pada kedalaman 200 – 300 m) selama 14 kali trip operasi penangkapan. Pemilihan jenis alat tangkap purse seine, gillnet, pancing tonda sebagai sampel didasari oleh pemikiran bahwa ketiga alat tersebut dominan beroperasi di sekitar rumpon. Namun demikian komposisi hasil tangkapan, efektivitas diduga berbeda.

Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan ketiga jenis alat tangkap purse seine, gillnet dan pancing tonda dilakukan pula pada lokasi perairan yang tidak menggunakan rumpon. Data yang dikumpulkan meliputi data hasil tangkapan. Disamping melalui kegiatan operasi penangkapan ikan, data juga dikumpulkan melalui wawancara dengan nelayan non rumpon untuk menggali informasi tentang (1) komposisi dan ukuran hasil tangkapan sebelum ada rumpon (2) berbagai dampak negatif yang mungkin dialami setelah ada rumpon. Dengan terkumpulnya data tersebut, diharapkan dapat diketahui dampak pengoperasian rumpon terhadap nelayan sekitar. Data yang dikumpulkan setiap kali trip unit penangkapan meliputi :

(1) Jenis dan skala usaha unit penangkapan ikan yang beroperasi pada rumpon yang berbeda

(2) Cara pengoperasian ketiga jenis alat tangkap sampel (3) Waktu atau periode operasi penangkapan ikan


(1)

73

Saanin H. 1984. taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan 2. Bina Cipta, Bogor. 508 hal.

Samples K C and Sproul J T. 1985. Fish Aggregating Devices (FADs) and Open Access Commercial Fisheries: A Theoretical Inquiry. Bull. Mar. Sci. 37:305-317.

Soemarto. 1962. The Rumpon Fishing Method. Fisheries Department Faculty of Agriculture The University of Tokyo.

Soedharma D. 1994. Studi Struktur Komunitas Ikan pada Kombinasi Rumpon Permukaan dan Rumpon Dasar di Teluk Lampung, Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan, Instirut Pertanian Bogor. Bogor. Hal. 9-26.

Sondita M F A. 1986. Studi Tentang Peranan Pemikatan Ikan dalam Operasi Purse Seine Miiik PT. Tirta Raya Mina (Persero). Pekalongan. Skripsi (tidak dipublikasikan) Fakultas Perikanan. Insritut Pertanian Bogor. Bogor. 78 hal.

Subani W. 1972. Alat dan Cara Penangkapan Ikan di Indonesia. Jilid 1. Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Hal : 85-104.

Subani W. 1986. Telaah Penggunaan Rumpon dan Payaos dalam Perikanan Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. BPPL. Jakarta, 35 : 35-45.

Subani W. dan Barus H R. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Ikan Laut. Edisi khusus No. 50 Tahun 1988-1989. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 212 hal.

Surat Keputusan Menteri Pertanian. 1997. No. 5I/Kpts/IK.250/l/97 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon, Jakarta. 13 hal.

Tim Pengkajian Rumpon Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 1987. Laporan Akhir Survai Lokasi dan Desain Rumpon di Perairan Ternate, Tidore, Bacan dan sekitarnya. Laporan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Penanian Bogor, Bogor. Hal. V. 54-58 (Tidak dipublikasikan).

Weyl T. 1970. Oceanography, An Introduction to The Marine Environtment. John Wiley & sons Inc. New York. 255 p.

Wisudo, S. H., T. W. Nurani, Zulkarnain. 1994. Teknologi Penangkapan Ikan Pilihan yang Layak Dikembangkan di Labuhan Jawa Barat. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor 87 hal.

Wudianto dan Linting M L. 1988. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No.34. BPPL, Jakarta. Hal. 25-30.

Zulkarnain. 2002. Studi Tentang Penggunaan Rumpon Pada Bagan Apung, Di Teluk Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Thesis (Tidak dipublikasikan). Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 121 hal.


(2)

Gambar 1 Penurunan atau Settingpurse seine.

Gambar 2 Penarikan atau Hauling purse seine.


(3)

75

Lampiran 2 Komposisi jenis tangkapan menurut alat tangkap.

Jenis Alat Tangkap

Purse Seine Gill Net Pancing Tonda Total Jenis Ikan

ekor % ekor % ekor % ekor % Layang (Decapterus sp.) 52.957 92,77 4.130 7,23 57.087 100 Tongkol (Auxis thazard) 11.144 84,49 1.040 7,88 1006 7,63 13.190 100 Tenggiri (S.commersoni) 573 100 573 100

Lampiran 3 Komposisi jenis tangkapan menurut rumpon.

Jenis Rumpon Jenis Hasil Tangkapan

Bambu Drum Plastik Jumlah Ekor

Layang (Decapterussp.) 53.872 3.215 57.087

Tongkol (Auxis thazard) 1.1001 2.189 13.190

Tenggiri (Scomberomorus Commensoni) 573 - 573

Jumlah 65.446 5.404 70.850

Lampiran 4 Komposisi jenis tangkapan menurut kombinasi alat tangkap dan rumpon

Jenis Rumpon dan Hasil Tangkapan

Rumpon Bambu Rumpon Drum Plastik Jenis Alat

Tangkap

Layang Tongkol Tenggiri Total Layang Tongkol Tenggiri Total

Total Ekor

Purse Seine 51.126 9.297 - 60.423 1.873 1.847 - 3.720 12.4566

Gillnet 2.746 916 573 4235 1.342 124 - 1.466 9.936

Pancing Tonda - 788 - 788 - 218 - 218 1.794 Total 53.872 11.001 573 65.446 3.215 2.189 - 5.404 13.6296

Lampiran 5 Kompisisi ukuran menurut jenis dan persentase ikan.

Total Ikan Tertangkap Menurut Ukuran

Besar Kecil Total

Jenis Ikan

ekor % ekor % ekor %

Layang (Decapterus sp.) 31.343 54,9 25.744 45,1 57.087 100 Tongkol (Auxis thazard) 2.622 19,88 10.568 80,12 13.190 100

Tenggiri (S.commersoni) 573 100 573 100

Lampiran 6 Komposisi ukuran ikan menurut jenis ikan dan rumpon

Total Ikan Tertangkap Pada Rumpon Menurut Ukuran Rumpon Bambu Rumpon Drum Plastik

Besar Kecil Besar Kecil Total Ekor Jenis Ikan

ekor % ekor % ekor % ekor % ekor % Layang (Decapterus sp.) 30.572 53,55 23.300 40,82 1.873 3,28 1.342 2,35 57.087 100 Tongkol (Auxis thazard) 5.854 44,38 5.147 39,02 1.275 9,67 914 6,93 13.190 100 Tenggiri (S. commersoni) 573 100 573 100 Total 36426 5.141 29.020 40.96 3.148 4.45 2.256 3.18 70.850 100


(4)

Lampiran 7 Komposisi ukuran ikan menurut jenis ikan dan alat tangkap.

Lampiran 8 Komposisi berat ikan menurut jenis ikan

Total Berat Ikan menurut ukuran

Besar Kecil Total Jenis Ikan

kg % kg % kg % Layang (Decapterus sp.) 7.076 62,26 4.290 37,74 11.366 100 Tongkol (Auxis thazard) 1.075 45,07 1.310 54,93 2.385 100

Tenggiri (S. commersoni) 287 100 287 100

Lampiran 9 Komposisi berat ikan menurut ukuran ikan dan jenis rumpon

Berat Ikan Tertangkap Pada Rumpon Menurut Ukuran Rumpon Bambu Rumpon Drum Plastik

Besar Kecil Besar Kecil Total

Jenis Ikan

kg % kg % kg % kg % kg Layang (Decapterus sp.) 4,520 39,77 3,105 27,32 2,556 22,49 1.185 10,43 11.366 Tongkol (Auxis thazard) 751 31,49 901 37,78 324 13,58 409 17,15 2.385 Tenggiri (S. commersoni) 0 0.00 287 100 0 - 0 0.00 287

Lampiran 10 Komposisi berat ikan menurut ukuran ikan dan jenis alat tangkap

Lampiran 11 Penilaian aspek ekologi menurut alat tangkap.

Ekologi Jenis unit penangkapan

Arus Plankton Salinitas Suhu

Purse Seine 1 5 4 3

Gill net 1 5 3 3

Pancing tonda 1 5 4 3

Jenis Alat Tangkap dan Komposisi Ukuran

Purse Seine Gillnet Pancing Tonda Total Ekor

Besar Kecil Besar Kecil Besar Kecil

Jenis Ikan

ekor % ekor % ekor % ekor % ekor % ekor % Jmlh % Layang (Decapterus sp.) 27.213 47,67 25.744 45,10 4.130 7,23 57.087 100

Tongkol (Auxis thazard) 576 4.,37 10568 80,12 1.040 7,88 1006 7.63 13.190 100

Tenggiri (S.commersoni) 573 100 573 100

Total Ekor 27.789 39.22 36.312 51.25 5170 7.30 573 0.81 1.006 1.42 70.850 100

Komposisi Ukuran Berat Ikan Menurut Alat Tangkap

Purse Seine Gillnet Pancing Tonda

Besar Kecil Besar Kecil Besar Kecil

Total Jenis Ikan

kg % kg % kg % kg % kg % kg % kg %

Layang (Decapterus sp.) 6.470 56,92 4.290 37,75 606 5,33 - - - 11.366 100 Tongkol (Auxis thazard) 160 6,71 1310 54,93 207 8,68 - - 708 29,69 - - 2.385 100


(5)

77

Keterangan :

F (X1) =(X1-X min ) / (X max – X min) X min = X yang terendah

X maks = X yang tertinggi

Lampiran 12 Penilaian aspek sosial menurut alat tangkap

Sosial

Jenis unit penangkapan X1 UP X2 UP X3 UP

Purse Seine 20 1 40,000,000 1 24,000,000 1

Gill net 6 2 13,000,000 2 7,800,000 2

Pancing tonda 3 3 10,000,000 3 6,000,000 3

Keterangan:

X1 = Jumlah tenaga kerja

X2 = Pendapatan nelayan pertahun X3 = Kemungkinan kepemilikan UP = Urutan prioritas

Lampiran 13 Penilaian aspek ekonomi menurut alat tangkap

Ekonomi Jenis unit

penangkapan X1 UP X2 UP X3 UP X4 UP

Purse Seine 40,000,000 1 500,000 1 150,000 3 80,000 1

Gill net 13,000,000 2 275,000 2 250,000 1 50,000 2

Pancing tonda 10,000,000 3 250,000 3 200,000 2 40,000 3

Keterangan:

X1 = Penerimaan kotor pertahun X2 = Penerimaan kotor pertrip

X3 = Penerimaan kotor pertenaga kerja X4 = Penerimaan kotor pertenaga penggerak UP = Urutan prioritas

Lampiran 14 Penilain aspek ekologi, ekonomi dan sosial menurut unit alat tangkap Kriteria Penilaian

Jenis Unit Penangkapan

X1 UP X2 UP X3 UP

Purse Seine 2,25 1 3,00 1 3,00 1

Gill net 2,00 2 0,38 2 1,45 2

Pancing tonda 2,25 1 0,00 3 0,50 3

Keterangan : X1= Ekologi X2= Sosial X3= Ekonomi


(6)

Lampiran 15 Hasil pengukuran ikan sampel

Ikan Layang Ikan Tongkol Ikan Tenggiri Selang

kelas

Kecil (ekor)

Selang kelas

Besar (ekor)

Selang kelas

Kecil (ekor)

Selang kelas

Besar (ekor)

Selang kelas

Kecil (ekor) 9-11 4.138 26-29 5.316 26-29 457 41-43 2.146 56-60 107 12-14 5.257 30-32 7.269 30-32 518 44-46 2.237 60-65 123 15-17 5.689 33-35 6.268 33-35 378 48-50 1.168 66-70 104 18-20 6.284 36-38 6.272 36-38 485 51-52 3.214 71-75 117 21-24 4.376 39-40 6.218 39-40 784 53-55 1.803 76-81 123