ASEAN DALAM KISRUH LAUT CINA SELATAN

ASEAN DALAM “KISRUH LAUT
CHINA SELATAN”

Disusun oleh :
Mustika Jati (151110048)
Ardig Qoniah (151110049)
Nike Yayuk K. (151110060)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
UPN VETERAN YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2012/2013
I.

STUDI PUSTAKA

Peran ASEAN sebagai peredam konflik sangat tergantung pada komitmen bersama
anggotanya dengan tidak mengingkari kesepakatan secara regional.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak asosiasi regional ini berdiri, praktis tidak pernah
terjadi konflik terbuka di antara negara-negara yang bertetangga dengan ASEAN. Berbeda
dengan situasi sebelum ASEAN terbentuk, berbagai ketegangan, konflik maupun konfrontasi
mewarnai kawasan ini. Dalam hal ini ASEAN mempunyai pengalaman dalam menata hubungan

bertetangga baik di antara sesama anggotanya. Akan tetapi, berakhirnya Perang Dingin dan
berkurangnya peranan kekuatan militer asing di wilayah ini mempengaruhi hubungan di antara
sesama anggota ASEAN. Berkurangnya jaminan keamanan negara-negara besar di kawasan telah
mendorong negara-negara ASEAN untuk meningkatkan pertahanannya masing-masing. Apabila
negara-negara besar yang terlibat dalam Perang Dingin kini mengurangi pembelanjaan senjata
secara besar-besaran, namun situasi yang terjadi di Asia Pasifik, terutama negara-negara dunia
ketiga, seperti negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, justru sebaliknya.
Peningkatan kemampuan pembelanjaan senjata demi pertahanan masing-masing negara
ASEAN, apabila tetap dalam kerangka kerja sama regional, tentu akan mempunyai pengaruh
yang positif bagi pertahanan regional secara keseluruhan. Akan tetapi jika sebaliknya, masingmasing negara anggota ASEAN meningkatkan sistem pertahanan secara sendiri-sendiri tanpa
melakukan konsultasi di antara sesama negara anggota, maka justru akan memicu adanya
perlombaan senjata. Hal ini jelas sangat mengancam stabilitas dan kondisi keamanan regional
pada masa-masa mendatang.
Dalam situasi demikian, apakah ASEAN dapat berperan sebagai peredam konflik bagi
anggotanya dan kawasan Asia Pasifik? Peran ASEAN sebagai peredam konflik akan menjadi
semakin penting ketika para anggota ASEAN saling mengingatkan bahwa komitmen terhadap
Treaty of Amity in Southeast Asia (TAC) yang telah dicanangkan bersama beberapa tahun lalu
tetap menjadi langkah bagi penyelesaian konflik secara damai. Tujuannya agar mampu
memanfaatkan peluang yang muncul dari isu yang berkaitan dengan masalah keamanan dengan
mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik di kawasan. Dalam hal ini ASEAN harus

tetap menjalankan diplomasi pencegahan (preventive diplomacy) dalam lingkungannya sendiri

untuk mencegah konflik yang akan muncul ke permukaan. Selain itu, fungsi ASEAN dalam
membangun saling percaya (confidence building measures) yang mempertemukan kepentingankepentingan keamanan di kawasan juga perlu ditingkatkan terus agar tercipta perimbangan
kepentingan di antara anggotanya.
Perkembangan lainnya, disepakatinya antara ASEAN dengan negara mitra dialog untuk
menjadikan ASEAN-PMC sebagai forum dialog mengenai masalah keamanan regional. Selama
ini ASEAN-PMC merupakan wadah untuk membicarakan kerja sama ekonomi, teknologi dan
sosial budaya antara negara ASEAN dengan mitra dialognya. Pada KTT ASEAN ke-4 di
Singapura, Januari 1992 akhirnya dicapai keputusan untuk menggunakan forum ASEAN-PMC
sebagai sarana membicarakan masalah-masalah politik dan keamanan. Di samping itu, dalam
pertemuan AMM di Singapura Juli 1993 juga telah diputuskan untuk membentuk ASEAN
Regional Forum (ARF).
Dibentuknya ARF menunjukkan tiga hal penting: Pertama, selama ini masalah keamanan
dalam lingkup ASEAN lebih terpusat pada dinamika hubungan bilateral di antara sesama negara
anggotanya. ASEAN merasa enggan untuk membicarakan masalah-masalah keamanan secara
multilateral. Namun demikian, perkembangan sekarang ini menghadapkan ASEAN pada
masalah keamanan regional yang semakin kompleks dan cakupannya yang semakin luas
sehingga bagi ASEAN pendekatan bilateral kini dirasa tidak cukup.
Kedua, keikutsertaan negara-negara besar, seperti AS, Rusia, Cina, Jepang, Australia,

Kanada, Uni Eropa di lingkungan Asia Pasifik, menunjukkan bahwa stabilitas dan keamanan
wilayah ini sangat tergantung pada kebijakan negara-negara besar tersebut. Ketiga, dibentuknya
ARF menunjukkan pengakuan bahwa masalah politik dan keamanan kawasan Asia Tenggara
tidak dapat dipisahkan dengan situasi politik dan keamanan Asia Pasifik secara keseluruhan.
Sulit bagi ASEAN untuk meraih suatu separate peace hanya di lingkungannya sendiri apabila
negara-negara besar di kawasan tidak mendukungnya.
Tantangan bagi kerja sama politik dan keamanan ASEAN mendatang adalah bagaimana
ASEAN mampu menciptakan suatu tatanan regional yang memenuhi kebutuhan keamanan setiap
anggotanya tanpa harus mengabaikan kepentingan-kepentingan negara-negara besar. Di samping

itu fungsi ASEAN sebagai peredam konflik saja dirasakan tidak cukup. Akan tetapi bagaimana
ASEAN mampu berperan sebagai conflict solver dalam menghadapi tantangan yang semakin
kompleks ini. Ketidakmampuan ASEAN tampil sebagai conflict solver tampaknya bersumber
pada ketidakmampuan untuk mengaktifkan provisi tentang peaceful settlement of disputes.
Terutama adanya ketentuan bahwa High Council hanya dapat berfungsi apabila semua
negara anggota ASEAN menyetujui. Tugas ASEAN di masa mendatang adalah mengaktifkan
provisi ini dan dengan demikian mendorong negara-negara anggota untuk memulai
memanfaatkan High Council. Pemanfaat ini diharapkan dapat mengatasi berbagai potensi konflik
yang sewaktu-waktu muncul ke permukaan dan menyelesaikan persoalan secara tuntas. Tanpa
kemampuan menyelesaikan konflik internal secara menyeluruh, sulit bagi ASEAN untuk

menciptakan suatu komunitas keamanan (security community). Di samping itu peran ASEAN
sebagai peredam konflik sangat tergantung pada iktikad baik dan komitmen bersama anggotanya
dengan tidak mengingkari kesepakatan secara regional.
Dalam menghadapi masalah klaim di Laut Cina Selatan misalnya, ASEAN harus tampil
sebagai "an honest broker" peredam konflik. Keterlibatan beberapa negara ASEAN dalam
sengketa Laut Cina Selatan, menjadi semakin penting dilakukannya perundingan damai secara
terus-menerus. Terutama ketika harus berhadapan dengan Cina yang mengklaim seluruh wilayah
di Laut Cina Selatan.
Secara demikian, usaha kerja sama akan menciptakan hubungan baik dan mengurangi
rasa curiga di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Usaha-usaha kerja sama untuk
menyelesaikan sengketa akan dapat menurunkan tingkat potensi konflik menuju identifikasi dan
usaha pemanfaatan peluang-peluang kerja sama dalam menciptakan keamanan, stabilitas dan
perdamaian di kawasan. Selain itu, mekanisme upaya lokakarya tentang Laut Cina Selatan yang
selama ini berlangsung dapat menjadi sarana untuk meningkatkan saling percaya dan proses
untuk meluaskan common ground beberapa isu politik dan keamanan di Laut Cina Selatan.
Sehingga pada akhirnya ikut memperkuat peran ASEAN sebagai peredam konflik pada masa
mendatang.

II.


PEMBAHASAN

I.I. Persengketaan Laut China Selatan
Istilah “Konflik Laut Cina Selatan” merujuk kepada gugusan kepulauan Paracels dan
Spratly yang masih dipersengketakan oleh penuntutnya, Cina, Vietnam, dan Taiwan. Menurut
Heinzig, beberapa gugusan kepulauan di atas terdiri dari sekitar 170 pulau-pulau kecil, pulau
karang, dan banks. Pulau Pratas yang luasnya 12 km2 merupakan pulau terbesar, sedangkan
pulau terbesar di Paracel adalah Woody (1,85 km2) dan yang terbesar di Spratly adalah Itu Aba
(0,4 km2). Masing masing kepulauan itu dikelilingi oleh batu karang yang berbentuk oval atau
bundar. Karena gugus-gugus kepulauan itu terletak di wilayah Laut Cina Selatan yang luas, jarak
antara satu gugus dengan gugus yang lain sangat lebar, yang kadang-kadang melampaui jarak
1.000 km.1
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, dari keempat gugus pulau yang
dipersengketakan, kepulauan Spratly merupakan “titik api” yang cukup potensial untuk
berkembang menjadi wilayah konflik-konflik militer di masa mendatang, tidak saja karena
adanya tuntutan yang tumpang tindih yang melibatkan keenam penuntutnya (Cina, Taiwan,
Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei), tetapi juga karena kepentingan negara-negara besar
(Jepang, Amerika Serikat, Rusia) di perairan Laut Cina Selatan yang dikhawatirkan akan menjadi
konflik terbuka di masa depan.
I.II. Peran ASEAN

Perhimpunan negara-negara Asia Tenggara, ASEAN sudah berhasil menandatangani
code of conduct atau kode perilaku dengan Cina tahun 2002. Berdasarkan perjanjian itu, negaranegara yang mengklaim sepakat "menyelesaikan sengketa teritorial dan yurisdiksi dengan cara
damai tanpa penggunaan kekerasan, dan melalui perundingan".Tetapi kejadian akhir-akhir ini
menunjukkan Vietnam dan Cina tidak mematuhi semangat kesepakatan itu.

1 Lihat Dieter Heinzig, Disputed Islands in The South China Sea (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1976), 13.

Dan para menteri luar negeri ASEAN Kamis (21/07) di Bali menyepakati kerangka acuan
untuk penulisan kode perilaku dalam penyelesaian konflik ini. Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa yang bertindak sebagai tuan rumah forum ini, mengatakan kerangka acuan ini akan
sangat membantu upaya Asean menempuh solusi damai dalam sengketa ini.Marty mengatakan
negara-negara ASEAN akan terus membicarakan langkah penyelesaian damai.2

I.II.I. Babak Baru Perang Laut China Selatan
Selain Republik Rakyat China dan Taiwan, empat negara ASEAN turut memperebutkan
wilayah laut china selatan, yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Fokus
sengketa adalah Kepulauan Paracel dan Spratly. Sejarah membuktikan, sengketa Laut China
Selatan berpotensi menjadi perang. Tahun 1974, China dan Vietnam berkonflik di Paracel,
padahal sebelumnya mereka tenang menduduki bagian masing-masing di kepulauan itu. Menurut
BBC, konflik itu menewaskan lebih dari 70 tentara Vietnam dan 18 tentara China. Setelah perang

itu, China menguasai Paracel. Juni lalu China membangun kota Sansha di Provinsi Hainan dan
memasukkan Paracel sebagai bagian kota tersebut.
Pada tahun 1988 kedua negara itu berkonflik lagi, kali ini di Kepulauan Spratly, tepatnya di
Karang Johnson. China memenangi konflik ini dan 60 orang tewas di pihak Vietnam. Bila
dibandingkan dengan kedua konflik ini, perselisihan antara Filipina, baik dengan China,
Vietnam, maupun Malaysia, tergolong minor.
I.II.II. Saling Klaim
China mendeklarasikan memiliki bagian terbesar teritori Laut China Selatan, mencakup
ratusan kilometer di selatan dan timur Hainan, provinsi paling selatan negara itu. China
mengklaim berhak berdasarkan sejarah berusia dua ribu tahun yang menyatakan Paracel dan

2 Sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan
http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict.shtml

Spratly sebagai bagian integral bangsa China. Pada tahun 1947 China menerbitkan sebuah peta
yang memerinci klaim wilayahnya, tentu saja menyertakan kedua kepulauan tersebut.
Taiwan, yang memiliki nama resmi Republik China, juga mengklaim Paracel dan Spratly
sebagai bagian teritorinya dengan alasan historis yang sama.
Vietnam jelas menentang klaim peta China tersebut. Vietnam berpendapat China tidak
pernah menyatakan kedaulatannya di kedua kepulauan tersebut sebelum tahun 1940-an. Sama

seperti China dan Taiwan, Vietnam bersikeras Paracel dan Spratly ada di teritorinya. Vietnam
menyatakan memiliki dokumen-dokumen yang membuktikan telah berkuasa di Paracel dan
Spratly sejak abad ke-17.
Sedangkan Filipina hanya menginginkan Spratly. Yang kerap menjadi sengketa adalah
Beting Scarborough, berjarak 160 km dari pulau terluar Filipina dan sekitar 800 km dari daratan
terdekat China. Filipina bersenjatakan Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang menetapkan
zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut (sekitar 321 km) dari garis pangkal
pengukuran lebar laut teritorial.
Sama-sama memakai senjata Konvensi PBB tersebut, Malaysia dan Brunei Darussalam
mengklaim memiliki beberapa pulau kecil di gugus Spratly. Militer Malaysia telah menduduki
tiga pulau kecil di gugus kepulauan tersebut, sedangkan Brunei menyatakan memiliki bagian
terselatan Spratly.
I.II.III. Sumber Daya Alam
Alasan utama sengketa perebutan wilayah Laut China Selatan adalah kandungan gas alam
dan minyak buminya. China menerbitkan estimasi tertinggi, menyatakan Paracel dan Spratly
mungkin mengandung 213 miliar barel minyak bumi. Angka ini sekitar tujuh kali lipat perkiraan
para peneliti Amerika Serikat. Gas alamnya pun melimpah. Menurut Administrasi Informasi

Energi Amerika Serikat, Laut China Selatan memiliki sekitar 25 triliun meter kubik gas alam,
sama besar dengan cadangan gas alam Qatar. Belum lagi kekayaan ekosistem perairannya. Selain

itu, lebih dari 50 persen perdagangan dunia melewati Laut China Selatan. Lokasinya pun
strategis untuk pos pertahanan militer.
Akhir Februari lalu Filipina mengundang perusahaan-perusahaan asing untuk berinvestasi
melalui eksplorasi minyak bumi di lepas pantai Laut China Selatan. Izin eksplorasi direncanakan
diberikan kepada 15 blok, tiga di antaranya ada di wilayah sengketa. China menyatakan tindakan
Filipina tersebut ilegal karena tanpa izin mereka. Urusan tuduh-menuduh bukan hal baru dalam
sejarah sengketa Laut China Selatan. Tahun lalu Filipina menuduh China masuk tanpa izin ke
wilayah perairannya dan mencoba mengganggu sebuah eksplorasi minyak bumi lepas pantai di
dekat Pulau Palawan. Filipina juga menuduh China mencoba membangun pertahanan militer di
Spratly. Vietnam juga pernah menuduh China mencoba menyabotase dua operasi eksplorasi
Vietnam. Tuduhan ini memicu protes anti-China di jalan-jalan di Hanoi dan Ho Chi Minh.
Sebaliknya, China menuduh Vietnam memprovokasinya karena pernah melakukan latihan
menembak di salah satu pesisirnya.
I.III. ASEAN Terbelah Digoyang Sengketa Laut China Selatan
Kegagalan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kamboja bulan Juli 2012 yang lalu
untuk menentukan komunike bersama terhadap China terkait dengan sengketa wilayah Laut
China Selatan memperlihatkan persoalan kian memanas. Penyelesaian ke tataran diplomasi
masih belum menunjukkan titik terang. Sengketa tersebut bahkan telah membelah sikap negaranegara ASEAN.
Kegagalan menghasilkan komunike bersama merupakan peristiwa pertama kalinya dalam 45
tahun keberadaan perhimpunan Asia Tenggara itu. Hal itu menunjukkan betapa China sudah

demikian besar memainkan pengaruh mereka kepada sejumlah anggota ASEAN yang tidak

terlibat sengketa. Sebaliknya, negara yang bersengketa dengan China–Filipina, Vietnam,
Malaysia,
dan Brunei–merasa ditinggalkan sesama anggota ASEAN. Padahal, keempat negara itu
berharap ada sikap tegas dan kecaman ASEAN terhadap sikap agresif China di wilayah sengketa.
Kamboja yang menjadi tuan rumah bersikap jauh dari harapan. Phnom Penh justru menolak
tindakan-tindakan yang dinilai dapat memicu kemarahan China. Tidak mengherankan bila
Filipina langsung menuding Kamboja yang kukuh menentang setiap pernyataan keras itu sebagai
biang kegagalan tersebut. Sebaliknya, Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong menyangkal
tudingan itu. Dia menyatakan kegagalan tersebut adalah kegagalan bersama ASEAN.
Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang
mendalam terhadap kegagalan itu. “Kami membutuhkan waktu untuk pulih,” ungkapnya.
“ASEAN harus belajar untuk mengonsolidasi dan mengoordinasikan sikap jika ingin terlibat
dalam komunitas global.”4
Kekecewaan serupa ditunjukkan Menlu RI Marty Natalegawa. Dia bahkan sempat
mengatakan kegagalan itu sangat tidak bertanggung jawab setelah KTT berakhir, Jumat
(13/7/12). Namun, dia kemudian menyangkal telah terjadi perpecahan di antara anggota.
Menurut Marty, pertemuan itu telah menginspirasinya untuk terus mendorong pemberlakuan
ASEAN Code of Conduct (CoC) mengenai sengketa Laut China Selatan. “Ini akan membuat

saya semakin bertekad untuk mendorong CoC sehingga semua menjadi semakin kontekstual,”
ungkapnya. “Sekalipun ada insiden ini, kita harus tetap memiliki tujuan. Kita harus terus maju
dan bukan terpinggirkan oleh insiden ini,” tegas Marty.
Kawasan Laut China Selatan yang disengketakan diperkirakan memiliki cadangan
kandungan minyak sebanyak 30 miliar metrik ton dan 16 triliun meter kubik gas. Menurut kantor
berita China Xinhua, jumlah itu sama dengan sepertiga cadangan gas dan minyak China. Karena

itu, tidak berlebihan bila ‘Negeri Tirai Bambu’ yang dikenal haus akan energi itu berkeras
mengklaim hampir seluruh kawasan Laut China Selatan. Klaim China termasuk perairan yang
berada di dekat negara-negara tetangga mereka.
Di sisi lain, Filipina mengatakan wilayah yang disengketakan berada dalam zona eksklusif
ekonomi mereka, yang berjarak 200 mil laut dari bibir pantai. Filipina bersama Vietnam menolak
peta wilayah perairan yang dikeluarkan China sebagai basis bagi pengembangan bersama
kawasan itu. Mereka gencar mencari penyelesaian masalah itu di tingkat regional, terutama
dengan dukungan Amerika Serikat (AS), sekutu Filipina yang juga memiliki kepentingan besar
di wilayah tersebut. Menlu AS Hillary Clinton mendesak setiap negara untuk membuat klaim
wilayah mereka berdasarkan Hukum Laut PBB. Namun, China menolak usulan itu karena bisa
dipastikan mereka bakal kehilangan banyak klaim wilayah.
I.IV. Campur Tangan Internasional
China berusaha bernegosiasi dengan negara-negara lain yang menginginkan kedaulatan di
Laut China Selatan. Namun China cenderung ingin bersepakat di belakang layar, yang kemudian
ditentang pihak seberang meja dengan membawa isu ini ke mediasi internasional.
Salah satu hasil mediasi internasional adalah Konvensi PBB tahun 1982 yang
mencantumkan kesepakatan berisi kerangka solusi. Saat dipraktikkan, konvensi itu malah
memicu salip-menyalip pengakuan kedaulatan. Konvensi itu juga tidak berpengaruh apa-apa
terhadap klaim historis China dan Vietnam atas Paracel dan Spratly.
Pada 4 November 2002, ASEAN dan China juga mendeklarasikan kesepakatan kode etik,
salah satunya menyelesaikan sengketa tanpa ancaman atau penggunaan senjata. Filipina dan
Vietnam juga telah mempunyai perjanjian bilateral dengan China, namun perjanjian itu hampir
tidak berpengaruh dalam menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan.

Selain keenam negara yang bersengketa, Amerika Serikat juga punya kepentingan di laut
tersebut. Kepentingan ini berhubungan dengan fakta Laut China Selatan merupakan jalur
pelayaran lebih dari setengah perdagangan dunia. Ada pula kepentingan militer, sehingga tak
heran Amerika Serikat menempatkan pos militernya di sana. Walau menyatakan akan bersikap
netral, ternyata Paman Sam memberikan bantuan militer kepada sekutu lamanya, Filipina.
Bagi AS sendiri persoalannya bukan sekadar China dikhawatirkan akan bisa menguasai
wilayah tersebut. Yang lebih ditakutkan AS akan pengaruh China yang akan semakin menguat
dan secara perlahan akan menggeser dominasi AS sebagai penguasa dunia. Untuk itulah AS
mencoba turut campur dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di kawasan Laut China Selatan.
AS bukan hanya ingin mengirimkan pesan bahwa mereka masih hadir di kawasan itu, tetapi
sekaligus menekan China agar tidak berbuat macam-macam. Upaya untuk mengimbangi
pengaruh China memang menjadi strategi global AS. Langkah itu tidak hanya dilakukan melalui
jalur diplomasi, tetapi juga dengan menggunakan kekuatan militer. AS terus memperkuat
keberadaan militer mereka di kawasan Asia Pasifik.
Salah satu yang menjadi bagian dari strategi global mereka adalah penempatan pasukan
marinir di Darwin, Australia. Keberadaan pasukan khusus Angkatan Laut AS di utara Australia
bukan untuk mengancam Indonesia, tetapi untuk memberikan pesan kepada China bahwa mereka
masih menguasai kawasan Asia Pasifik.

III.

PENUTUP
KESIMPULAN

Solusi
Menurut Hasyim (Anggota Dewan Maritim Nasional), terdapat tiga sasaran penyelesaian
konflik perbatasan, yaitu : pertama, belajar untuk bekerja sama; kedua, mendorong terjadinya
dialog antara pihak untuk menyelesaikan perbedaan; ketiga, mengembangkan rasa saling percaya
yang diciptakan melalui atmosfir kerjasama.3 ASEAN sebagai organisasi kerjasama regional
telah berusaha menciptakan komunitas keamanan dengan menjadwalkan pertemuan rutin dari
ADMM (ASEAN Defence Ministers’ Meeting) dan memperkuat kerjasama dalam ARF (ASEAN
Regional Forum) untuk mewujudkan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara, di
antaranya menangani masalah-masalah perbatasan termasuk konflik yang timbul dari wilayah
Laut China Selatan. Namun, pada kenyataannya ARF masih sangat jauh dari penyelesaian
konflik walaupun ARF memiliki peluang sebagai wadah mendiskusikan isu keamanan dan
kolaborasi antara negara Asia Tenggara.
Terdapat beberapa kelemahan ARF berhubungan dengan penyelesaian masalah Laut
China Selatan. Di mana, ASEAN sendiri belum mampu menciptakan balance of power untuk
menyokong kekuatan China, adanya sindrom lowest-common-denominator (kelemahan dalam
setiap kebijakan menghadapi kelompok kepentingan yang sedang berkonflik) dan kegagalan
membentuk common-front seperti China.4

IV.

REFERENSI

3 Anon. 2011. “Komitmen RI dalam Diplomasi Perbatasan Tidak Pernah Kendur”, [online] tersedia dalam
http://www.hukumkita.com [diakses pada 5 november 2012]
4 Akpan Rita. 2003. “ China, The Spratly Islands Territorial Dispute and Multilateral Cooperation- An Exercise in
Realist Rhetoric or Mere Diplomatic Posturing? A Critical Review.

Akpan Rita. 2003. “ China, The Spratly Islands Territorial Dispute and Multilateral
Cooperation- An Exercise in Realist Rhetoric or Mere Diplomatic Posturing? A Critical Review.
Dieter Heinzig, Disputed Islands in The South China Sea (Wiesbaden: Otto Harrassowitz,
1976), 13.

Website :
ASEAN Cari Solusi Soal Laut China Selatan
http://www.suarapembaruan.com/home/asean-cari-solusi-sengketa-laut-cinaselatan/22572
ASEAN sebagai Peredam Konflik.
http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=93