Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan

Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut
Laut Indonesia sangat luas, dan memiliki sumber daya yang sangat berlimpah, namun
pemanfaatan sumber daya laut juga harus memperhatikan kelestarian laut yang berkelanjutan.
Misalnya, penangkapan satu jenis ikan selalu mengandung risiko, bahkan dapat mengancam
kepunahan kelangsungan hidup jenis ikan tertentu, pengembangbiakan tidak dapat
berlangsung karena pengaruh penangkapan ikan tertentu dengan alat-alat yang digunakan
maupun musim yang kurang diperhatikan.
Dengan penangkapan teknologi di bidang perikanan yang memungkinkan
penangkapan ikan dalam skala besar, hal tersebut dapat mengakibatkan: (a). kepunahan jenis
ikan tertentu; (b). kemunduran bagi perusahaan-perusahaan yang operasionalnya dari
penangkapan ikan; (c). penyediaan protein hewani (ikan) mengalami penurunan; (d). fungsi
kemajuan teknologi dibidang perikanan berangsur-angsur mengalami penurunan atau hilang
fungsinya1.
Masalah lingkungan di laut tersebut menjadi tanggung jawab negara pantai, maka
bagi negara yang bersangkutan mengupayakan semaksimal mungkin dalam pengelolaan
maupun secara preventif diciptakan berbagai bentuk peraturan. Sebagai tanggung jawab
negara tersebut, maka negara yang bersangkutan dapat menentukan: (a). pencegahan,
pengurangan, dan pengendalian pencemaran; (b). pencegahan penangkapan ikan dan
penyimpanan alat penangkapan ikan yang dapat mengganggu lingkungan; (c). keselamatan
pelayaran dan pengaturan lintas laut.
Kesemuanya dituangkan dalam bentuk peraturan dan cara kontrol serta pengawasanya

yakni melalui sistem perizinan, yang antara lain memperhatikan: (a). alat-alat penangkapan
yang digunakan; (b). syarat-syarat teknis perikanan; (c). penentuan jumlah tangkapan, dan
jenis ikan yang boleh ditangkap. Perizinan adalah bentuk preventif terhadap pelanggaran dan
menjaga situasi pada kondisi yang diharapkan.2
Izin merupakan impilikasi sistem pengawasan dan sekaligus berfungsi sebagai
pengendali setiap kegaitan yang penerapanya dalam bentuk: (a). pemantauan terhadap jumlah
ikan hasil penangkapan, jenis, dan hari penangkapan; (b). pengendalian terhadap operasional
kapal dan alat yang digunakan; (c). pengawasan terhadap ketaatan dalam mematuhi ketentuan
yang ada.3
1 P Joko Subagyo, 1992, Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulanganya, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hlm.58-59.
2 Ibid, hlm.61.
3 Ibid.

Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda, jika dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek lingkungan, maka panjang
atau pendeknya sejarah tentang pengaturan tersebut tergantung dari apa yang dipandang
sebagai environmental concern. Menurut Moenadjat dalam Koesnadi Hardjasoemantri4
membedakan


antara

hukum

lingkungan

modern

yang

berorientasi

kepada

lingkungan/environment-oriented law dan hukum lingkungan klasik yang berorientasi kepada
penggunaan lingkungan atau use-oriented law. Hukum lingkungan modern menetapkan
ketentuan dan norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk
melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin
kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh generasi sekarang
ataupun generasi mendatang. Sebaliknya hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan

dan norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi
sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna
mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.
Menurut Takdir Rahmadi5, hukum lingkungan adalah sebuah disiplin dalam ilmu hukum.
Hukum lingkungan memiliki karakteristik yang khas terutama jika dikaitkan penempatannya
ke dalam bidang hukum publik dan privat. Kekhasan hukum lingkungan terletak pada
substansinya atau kepentingan yang tercakup di dalamnya sangat luas dan beragaam sehingga
hukum lingkungan tidak dapat ditempatkan pada salah satu diantara kedua bidang hukum,
yakni hukum privat dan publik.
Drupsteen dalam Koesnadi Hardjasoemantri6, mengemukakan bahwa hukum lingkungan
(milieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuuralijk milieu)
dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang
lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumen
yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan oleh
Pemerintah, maka hujum lingkugnan sebagaian besar terdiri atas hukum pemerintahan
(bestuursrecht). Disamping hukum lingkungan pemerintahan (bestuursrecht rechtelijk
milieurecht) yang dibentuk oleh pemerintah pusat, ada juga hukum lingkugan pemerintahan
yang berasal dari pemerintah daerah dan sebagain lain dibentuk oleh badan internasional atau
4 Koesandi Harjdasoemantri, Edisi VIII, 2000, Op.Cit., hlm. 40.
5 Takdir Rahmadi, Edisi Kedua, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. Rajagrafindo

Persada, Jakarta, hlm.28.
6 Koesandi Harjdasoemantri, Edisi VIII, 2000, Op.Cit., hlm. 41.

melalui perjajian dengan negara lain. Demikian pula terdapat hukum lingkungan keperdataan,
hukum lingkungan ketatanegaraan, hukum lingkungan kepidanaan.
Sedangkan menurut Koesnadi Hardjasoemantri7, di Indonesia, hukum lingkungan meliputi
aspek-aspek sebagai berikut: (a). hukum tata lingkungan, (b). hukum perlindungan
lingkungan; (c). hukum kesehatan lingkungan; (d). hukum pencemaran lingkungan (dalam
kaitannya

dengan

misalnya

pencemaran

oleh

industri);


(e).

hukum

lingkungan

transnasional/internasional (dalam hubungannya antar negara); (f). hukum sengketa
lingkungan (dalam kaitannya dengan permasalahan ganti rugi).
Penegakan Hukum Lingkungan
Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan
warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi 3 (tiga) bidang hukum,
yakni administratif, perdata, dan pidana. Penegakan hukum lingkungan adalah upaya untuk
mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku
secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan ataupun ancaman, sarana
adminsitratif, keperdataan, dan kepidanaan.8
Penegak hukum lingkungan (polisi, jaksa, hakim, PPNS, Penasihat Hukum) dapat melakukan
penegakan hukum lingkungan secara preventif, represif, sesuai dengan sifat dan
efektivitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif
dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut
peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar.

Instrumen bagi penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan
kewenangan yang sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin),
dalam hal tersebut, penegak hukum yang utama adalah pejabat/aparat pemerintah daerah
yang berwenang mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.
Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar
peraturan. Penindakan secara pidana umumnya selalu menyusuli pelanggaran peraturan dan
biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut. Untuk menghindari
penindakan pidana secara berulang-ulang maka pelaku/pencemar yang harus menghentikan
tindakan itu.9
7 Ibid, hlm.44.
8 Niniek Suparni, Cetakan Ke-2, 1994, Pelestarian, Pengeloaan dan Penegakan Hukum
Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.161.
9 Ibid.

Penagakan Hukum Lingkungan Melalui Sarana Administrasi
Sarana administratif bersifat preventif dan bertujuan menegakan peraturan perundangundangan (misalnya, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri) dengan
ancaman sanksi administrasi. Disamping pembinaan berupa petunjuk, dan panduan serta
pengawasan administratif, kepada pengusaha di bidang industri hendaknya juga ditanyakan
dan disosialisasikan manfaat konsep pollution prevention pays (pencegahan pencemaran
menguntungkan) dalam produksinya.

Sarana administratif dapat ditegakan dengan kemudahan-kemudahan terutama di bidang
keuangan, seperti keringanan bea masuk alat-alat pencegahan pencemaran dan kredit Bank
untuk biaya pengelolaan lingkungan. Penindakan represif oleh pengusaha terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan lingkungan administratif pada dasarnya
bertujuan untuk mengakhiri langsung keadaan terlarang itu.
Sanksi administratif terutama memiliki fungsi instrumental (een instrumentele functie), yakni
penanggulangan dan pengendalian perbuatan terlarang. Sanksi administratif terutama
ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar
tersebut. Beberapa jenis penegakan hukum administratif adalah (a). penyerasian
peraturan/harmonisering;

(b).

tindakan

paksa/bestuursdwang;

(c).

uang


paksa/publiekrechtelijke dwangsom; (d). penutupan tempat usaha/ sluiting van een inrichting;
(e). penghentian kegiatan mesin perusahan/buitengebruiksteling van een toestel; (f).
pencabutan izin melalui proses teguran, paksaan kepolisian, penutupan, dan uang paksa.
Dalam UUPPLH 2009, upaya pengawasan terhadap pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup diatur dalam Pasal 71 hingga Pasal 74. Dalam upaya pengawasan
diberlakukan mekanisme pengawasan 2 (dua) jalur, yakni Menteri dapat melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha/dan atau kegiatan yang izin
lingkungannya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah terjadi pelanggaran serius yang berakibat
meresahkan masyarakat di bidang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
Berdasarkan Pasal 76 dan Pasal 81 UUPPLH 2009 mengatur tentang sanksi administratif
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang melanggar izin lingkungan. Dalam hal ini, sanksi
dijatuhkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan. Sanksi yang diberikan adalah (a). teguran tertulis, (b). paksaan pemerintah;
(c). pembekuan izin lingkungan; (d). pencabutan izin lingkungan; (e). denda administratif.
Terhadap sanksi administratif huruf b hingga e dilaksanakan oleh pejabat tata usaha negara

tanpa melalui proses peradilan. Namun, Keputusan TUN tersebut dapat digugat melalui
mekanisme gugatan tata usaha negara jika dirasa merugikan.
Penagakan Hukum Lingkungan Melalui Sarana Keperdataan

Penggunaan sarana keperdataan dalam menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan
masalah lingkungan hidup. Menurut Paulus Effendie Lotulong dalam Niniek Suparni 10pada
hakikatnya memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai peraturan perundangundangan, hal tersebut disebabkan:
a) Melalui hukum perdata dapat dipaksakan ketaan pada norma hukum lingkungan, baik
yang bersifat privat ataupun publik. Misalnya, wewenang hakim perdata untuk
menjatuhkan putusan yang berisi perintah atau larangan terhadap seseorang yang telah
bertindak secara bertentangan dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam suatu surat
izin (verguning) yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup;
b) Hukum perdata dapat memberikan penentuan norma (norma stelling) dalam masalah
lingkungan hidup. Misalnya melalui putusan Hakim Perdata dapat dirumuskan norma
tentang tindakan yang cermat (zorgvuldigheidsnormen) yang selayaknya diharapkan
dari seseorang dalam hubungan masyarakat;
c) Hukum perdata memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas
pencemaran lingkungan terhadap pihak yang menyebabkan timbulnya pencemaran
tersebut
UUPPLH 2009 memberikan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat
ditempuh melalui jalur pengadilan ataupun diluar pengadilan. Pilihan tersebut dilakukan
sukarela oleh para pihak yang bersengketa11. Jika para pihak sepakat menyelesaikan sengketa
lingkungan melalui mekanisme di luar pengadilan, maka gugatan melalui mekanisme
pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak

berhasil12.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, tindakan pemulihan akibat
pencemaran dan/atau kerusakan, tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya
pencemaran dan/atau kerusakan, serta tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif
10 Ibid, hlm. 172-173.
11 Pasal 84 ayat (1), dan ayat (2) UUPPLH 2009.
12 Pasal 84 ayat (3) UUPPLH 2009.

terhadap lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya dapat
menggunakan jasa mediator atau arbiter.13
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan, tuntutan yang tersedia
sebagaimana tercantum dalam UUPPLH 2009 yakni ganti kerugian, dan pemulihan
lingkungan14. Adapun hak gugat untuk menyelesaikan sengketa lingkungan melalui
pengadilan, meliputi:
1.

Hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah
Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang
lingkungan hidup berwenang mengajukan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap

usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup15.

2.

Hak gugat masyarakat (class action)
Masyarakat dapat mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan
dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat jika mengalami kesamaan
kerugian dimana fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan sama diantara
wakil kelompok tersebut dan anggotanya16. Ketentuan tentang gugatan perwakilan ini,
maka yang dapat mewakili masyarakat dalam jumlah besar (class members) adalah
kelompok kecil (class representative) di dalam kelompok besar itu, bukan pihak luar 17
sehingga akan tercipta efektivitas penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang
menyangkut pihak atau korban yang banyak jumlahnya.

3.

Hak gugat organisasi lingkungan hidup
Dalam mengajukan gugatan, organisasi lingkungan terbatas pada tuntutan tindakan
tertentu tanpa adanya ganti rugi, kecuali biaya atau penggantian riil. Selain itu,
organisasi harus berbentuk badan hukum yang memiliki anggaran dasar berorientasi
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, serta telah berkegiatan minimal
selama 2 (dua) tahun18.

4.
13
14
15
16
17
18

Hak gugat warga negara (citizen lawsuit)

Pasal 85 UUPPLH 2009
Pasal 87 UUPPLH 2009
Pasal 90 UUPPLH 2009
Pasal 91 UUPPLH 2009
Koesandi Harjasoemantri, Edisi VIII, 2000, Op.Cit., hlm.401.
Pasal 92 UUPPLH 2009.

Citizen lawsuit belum ada pengaturannya di Indonesia, namun hakim tidak boleh
menolak perkara yang diajukan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat (1), hakim
tidak boleh menolak perkara yang diajukan dengan alasan belum ada hukumnya.
Dalam

Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: 36/SKMA/SK/II/2013 tentang

Pemberlakuan Pedoman Penangangan Perkara Lingkungan Hidup, yang dimaksud
gugatan warga negara adalah suatu gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang
terhadap sautu perbuatan melawan hukum dengan mengatasnamakan kepentingan
umum, dengan alasan adanya pembiaran atau tidak dilaksanakannya kewajiban
hukum oleh Pemerintah atau Organisasi Lingkungan Hidup tidak menggunakan
haknya untuk menggugat.
Dalam hubungan dengan penyelesaian ganti kerugian, ketentuan yang digunakan dalam
Kuh.Perdata ialah Pasal 1243 Kuh.Perdata, dan Pasal 1365 Kuh.Perdata. Adapun bunyi
rumusan Pasal 1243 ialah “penggangian biaya, rugi, dan bunga karena tak terpenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya
hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang dilamapuinya.
Pasal 1365 Kuh.Perdata berbunyi: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajbkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut.”
Prinsip yang digunakan kedua pasal tersebut adalah “liability based on fault” dengan beban
pembuktian yang memberatkan penderita/korban. Penderita baru akan mendapatkan ganti
kerugian jika berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat. Kesalahan
tersebut adalah unsur yang menentukan pertanggungjawaban, yang berarti bila tidak terbukti
adanya kesalahan, tidak ada kewajiban memberi ganti kerugian. Dalam hal menuntut ganti
kerugian berhubung dengan penderitaan akibat perusakan dan atau pencemaran, pasal yang
digunakan adalah Pasal 1365 Kuh.Perdata. 19
Dalam kaitan dengan pembuktian perlu dikemukakan Pasal 1865 Kuh.Perdata yang
menyatakan bahwa”barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa mana ia mendasarkan suatu
hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barangsiapa mengajukan

19 Niniek Suparni, Cetakan Ke-II, 1994, Op.Cit, hlm.176.

peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan
peristiwa-perisitwa itu.
Disamping asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (1)
UULH 1982 yang berbunyi demikian “barangsiapa merusak dan atau mencemarkan
lingkungan hidup memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian
kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
UULH 1982 juga memperkenalkan asas lainnya yakni asas tanggung jawab mutlak (strict
liability) seperti yang tercantum dalam Pasal 21 UULH 1982 yang berbunyi “dalam beberapa
kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu, tanggung jawab secara mutlak pada
perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup yang pengaturannya diatur dalam peraturan perundang-undagn yang bersangkutan.”20
UUPPLH 2009 juga dipertegas kembali prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yakni
pada Pasal 88 yang berbunyi demikian “setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatanya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Dalam Penjelasan Pasal 88,
yang dimaskud dengan bertanggung jawab mutlak/strict liability adalah unsur kesalahan tidak
perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat
ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada
umumnya. Besarnya ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak
lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

Penagakan Hukum Lingkungan Melalui Sarana Kepidanaan
Dasar pertimbangan yang terkandung di dalam fungsi utama dihadirkannya hukum pidana
dalam kehidupan masyarakat yakni bahwa peraturan-peraturan dan norma-norma kehidupan
baik yang berasal dari masyarakat (misalnya adat kebiasaan) maupun dari negara belum
cukup menjamin atau belum cukup kuat untuk menciptakan keamanan, dan ketertiban yang
langgeng dan merata, hal itu disebabkan peraturan dan norma kehidupan yang sudah ada
tersebut masih saja dilanggar orang setiap waktu dan tempat dimana ada kesempatan
sedangkan penindakannya seringkali tidak memapan, seperti ganti rugi dalam hukum perdata
20 Ibid, hlm. 177-178.

atau pemecatan dalam hukum administrasi. Karena itu diperlukan lagi suatu hukum yang
khusus yang mengatur tentang penghukuman orang-orang yang melanggar peraturan tersebut,
yakni hukum pidana.21
Dalam UUPPLH 2009, bukan perseorangan saja yang dapat dimintakan pertanggung jawaban
pidana, namun juga badan usaha/korporasi juga dapat dikenakan pertanggung jawaban pidana
(corporate liability). Untuk badan usaha yang berbadan hukum, pengenaan tanggung jawab
pidana kepada pemimpinnya yang memiliki kewenangan, mendorong, melakukan
pembiaraan/acceptance jika terbukti dengan peran meraka sebagai pemimpim atau yang
memerintahkan terjadinya tindak pidana.
Seseorang yang melakukan tindak pidana karena hubungan kerja maka penjatuhan sanksi
pidana ditujukan kepada yang memberi perintah, atau pemimpin dalam melakukan tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara mandiri atau
bersama-sama22. Selain itu, UUPPLH 2009 memberikan pemberatan ancaman pidana kepada
pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana yakni pidana penjara, dan denda ditambahkan
sepertiga.23
Ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH 2009 tidak hanya mengatur perbuatan pidana
pencemaran dan/atau perusakan atau delik materiil, namun juga mengatur tentang perbuatan
pelepasan, pembuangan zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun,
serta mengelola B3 tanpa izin (specific crimes) atau delik formil. Pembedaan delik ke dalam
bentuk delik formil dan delik materiil tidak terlepas dari makna yang terkandung dari istilah
‘perbuatan’ itu sendiri. Bahwa dalam istilah perbuatan mengandung 2 (dua) hal yakni
kelakuan atau tindakan dan akibat. Delik formil adalah delik yang menitikberatkan pada
tindakan, sedangkan delik materiil adalah delik yang menitikberatkan pada akibat. 24 Adapun
di UUPPLH 2009, yang termasuk delik formil diatur dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal
111, dan Pasal 113 sampai dengan Pasal 115. Sedangkan delik materiil diatur dalam Pasal 98,
Pasal 99, dan Pasal 112 UUPPLH 2009
Penegakan hukum pidana di lingkungan hidup memperhatikan asas subsidiaritas, hal
ini berarti penegakan hukum pidana semata-mata guna menunjang penegakan hukum
21 Purnadi Purbatjaraka, dan A. Ridwan Halim, 1982, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya
Jawab, Rajawali, Jakarta, hlm.36-37.
22 Pasal 116 UUPPLH 2009
23 Pasal 117 UUPPLH 2009
24 Eddy O.S. Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, hlm.103.

administras dana/atau penegakan hukum perdata baik ynag diselesaikan di pengadilan
ataupun di luar pengadilan. Penggunaan hukum pidana bersifat ultimatum remidium ataupun
last resort terhadap pencemaran atau perusakan lingkungan yang bersifat tingkat kesalahan
pelaku relatif tidak berat, dan/atau akibat perbuatannya relatif tidak besar, dan/atau
perbuatannya tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Namun tetapi, untuk tingkat
kesalahan pelaku relatif berat dan/atau perbuatannya relatif besar, dan/atau perbuatannya
menimbulkan keresahan masyarakat, maka peran hukum pidana bukan lagi ultimatum
remidium namun sudah primum remedium.25
UUPPLH 2009 menganut ancaman sanski minimal dan maksimal. Hal tersebut
bertujuan untuk membatasi disreksi hakim dalam menjatuhkan hukuman. Menurut Takdir
Rahmadi26, adanya ancaman sanksi minimal dan maksimal dilatarbelakangi bahwa pembuat
undang-undang menyadari masalah-masalah lingkungan hidup dipandang sebagai masalah
yang serius, mengancam, dan merugikan keberadaan, dan kepentingan bangsa Indonesia
secara kolektif.
Dalam konteks penyidikan, peranan penyidik sangat penting karena penyidik
berfungsi mengumpulkan bahan atau alat bukti yang kadangkala bersifat ilmiah untuk
kepentingan penuntutan. Dalam kasus perusakan dan atau pencemaran lingkungan akan
terdapat kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sesuai dengan
ketentuan Pasal 184 KUHAP.27 Dalam UUPPLH 2009, bukan hanya penyidik Polri yang
dapat bertindak seabgai penyidik, namun juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari
instansi pemerintah di bidang lingkungan hidup. Sebagaimana Pasal 6 ayat (1) KUHAP
menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(POLRI) dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang. UUPPLH 2009 juga memberikan wewenang penyidikan bagi PPNS
sebagaimana tercantum dalam Pasal 94 UUPPLH 2009.
Pada ketentuan Pasal 94 ayat (6) UUPPLH 2009 memberikan kewenangan PPNS untuk dapat
menyerahkan berkas hasil penyidikan kepada penuntut umum secara langsung tanpa melalui
penyidik POLRI. Hal ini merupakan perluasan kewenangan secara khusus diberikan kepada
PPNS, karena sebelumnya selama ini dalam praktik hanya Polisi yang melaksanakan
25 Syahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia : Penegakan
Hukum Administrasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana Menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm.226.
26 Takdir Rahmadi, Op.Cit, hlm.225.
27 Nineik Suparni, Op.Cit, hlm.184.

kewenangann tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2) KUHAP yang berbunyi
demikian “penyidik menyerahkan berkas kepada penuntut umum.”
Profil Singkat PT Dwikarya Reksa Abadi
Berdasarkan penelusuran penulis di internet, berikut adalah profil singkat PT.
Dwikarya Reksa Abadi yang berhasil penulis susun28:
Nama

: PT Dwikarya Reksa Abadi

Alamat

: Kpg. Wogekel Wanam, Distrik Ilyawab, Merauke, Provinsi Papua

Produk Usaha

: Ikan beku

Keterangan

: Pembekuan ikan dan biota perairan lainnya

Infromasi Wilayah

: Area Merauke, Provinsi Papua

Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), dan Surat Izin Penangkap Ikan (SIPI) milik PT
Dwikarya Reksa Abadi dicabut, kemudian pada tanggal 5 Oktober 2015, PT Dwikarya Reksa
Abadi menggugat Menteri Kelautan dan Perikanna di Pengadilan Tata Usaha Negara yang
meminta pembatalan pencabutan SIUP tersebut.29
PT Dwikarya Reksa Abadi diduga melakukan illegal, unreported and unregulated
(IUU) Fishing diperairan Indonesia. PT Dwikarya sebagai perusahaan pemilik cold storage
yang ada di dalam kapal MV Hai Fa, kapal berbobot 4.506 gross ton (GT) asal Tiongkok
berbendara Panama yang ditangkap karena terbukti melakukan illegal fishing. PT Dwikarya
Reksa Abadi memiliki ratusan kapal yang terdaftar di Tiongkok, namun yang memiliki izin
hanya 68 (enam puluh delapan) kapal. PT Dwikarya Reksa Abadi diduga turut membantu
melakukan tindakan jual beli ikan di tengah laut (transhipment) di luar wilayah operasi
tangkapnya. Selain terbukt terlibat dengan kapal MV Hai Fa, PT Dwikarya Reksa Abadi juga
diduga melakukan pelanggaran dalam bidang administrasi seperti Laporan Kegiatan Usaha
serta kewajiban dalam perpajakan.30
Izin Usaha Perikanan (IUP)
28 Anonymous, 2015, http://www.daftarperusahaan.com/bisnis/dwikarya-reksa-abadi-pt
diakses tanggal 25 Juni 2016
29 Anonymous, 1 Juni 2016, artikel berjudul “Satagas 115 Usut Tuntas Kasus TOC Industri
Perikanan” http://kkp.go.id/2016/06/01/satgas-115-usut-tuntas-kasus-toc-industriperikanan/ diakases tanggal 25 Juni 2016
30 Herry Susanto, 23 Juni 2015 dalam artikel berjudul “Izin 5 Perusahaan Besar Dicabut”
diakses dari https://maritimenews.id/izin-5-perusahaan-besar-dicabut/ tanggal 25 Juni
2016

Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, selanjutnya
disebut UU Perikanan disebutkan definsi “Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya
disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan
usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.”
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat menyangkut pemberian
izin usaha perikanan, Departemen Eksplorasi laut dan Perikanan melakukan perbaikan dan
penyempurnaan atas peraturan perizinan di bidang perikanan 31. Oleh karena itu KKP
mengeluarkan Keputusan Menteri Eksplorasi Laut, dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2000
tentang Perizinan Usaha Perikanan, selanjutnya disebut Kepmen 45/2000 Perizinan Usaha
Perikanan
Pasal 2 Kepmen 45/2000 Perizinan Usaha Perikanan menyatakan ada 7 (tujuh) jenizin
perizinan usaha yakni:
a. Izin Usaha Perikanan (IUP), yakni izin tertulis yang harus dimiliki oleh Perusahaan
Perikanan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan atau usaha penangkapan ikan
dengan menggunakan kapal perikanan beserta alat penangkap ikan sesuai dengan
daerah penangkapan ikan dan jumlah kapal perikanan yang akan digunakan, dan/atau
usaha pengangkutan ikan;
b. Persetujuan Penggunaan Kapal Asing (PPKA) yakni persetujuan yang diberikan
kepada perusahaan perikanan yang telah memiliki IUP untuk menggunakan kapal
perikanan berbendara asing untuk mengangkut ikan;
c. Surat Penangkapan Ikan (SPI), yakni surat yang harus dimiliki setiap kapal perikanan
berbendara Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari IUP;
d. Surat Izin Penangkap dan Pengangkut Ikan Indonesia (SIKPPII), yakni surat yang
harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dalam Satuan Armada
Penangkapan Ikan untuk melakukan kegiatan penangkapan, dan pengangkutan ikan
yang digunakan oleh perusahaan perikanan;

31 Djoko Tribawono, Cetaka Kedua, 2013, Hukum Perikanan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm.234.

e. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (SIKPII), yakni surat izin yang harus
dimiliki setiap kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia untuk melakukan
kegiatan pengangkutan ikan yang digunakan oleh Perusahaan Perikanan;
f. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan Asing (SIKPIA), yakni surat izin yang harus
dimiliki setiap kapal pengangkut ikan berbendera asing untuk melakukan kegiatan
pengangkutan ikan yang digunakan oleh perusahaan perikanan;
g. Surat Persetujuan Kapal Pengangkut Ikan Asing (SPKPIA) yakni surat izin yang
harus dimiliki setiap kapal pengangkut ikan berbendera asing untuk melakukan
kegiatan pengangkutan ikan yang digunakan oleh perusahaan bukan perusahaan
perikanan.
Surat Penangkapan Ikan (SPI)
Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU Perikanan, definsi “Surat Izin Penangkapan Ikan,
yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan
untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.”
Sebelum melakukan usaha penangkapan ikan, perusahaan perikanan yang telah
memiliki IUP wajib memliki SPI bagi setiap kapal perikanan yang dipergunakan 32. Untuk itu
harus mengajukan kepada Direktur Jenderal Perikanan menggunakan formulir model Phn-1
dan wajib dilengkapi dengan:
a. Salinan IUP yang dilegalisasi;
b. Salinan tanda pendaftaran kapal (grosse akta);
c. Salinan surat ukur kapal;
d. Salinan sertifikat kelaikan, dan pengawakan;
e. Salinan dokumen teknis alat penangkap ikan yang digunakan;
f. Hasil pemeriksaan fisik kapal (asli);
g. Bukti pembayaran pungutan perikanan sesuai ketentuan yang berlaku.

32 Ibid, hlm.236.

Instrumen Ekonomi
Instrumen ekonomi sebagaimana tertuang dalam Article 16 Rio Declaration
“National atuhorities should endevour to promote the internalization of environmental cost
and the use of economic instruments. Instrumen tersebut dilakukan melalui pungutan

cemaran/charges seperti air pollution, fee water, fee, dan lain-lain yang tidak tertuang dalam
UULH 82.
Menurut Koesnadi Hardjasoemantri33 menyatakan bahwa insentif dan disinsentif yang
mengatur instrumen ekonomi dalam memberikan kemudahan kepada para pengusaha dalam
usaha pelestarian fungsi lingkungan dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 8 UULH.
Sedangkan dalam UUPLH 97 tidak ada Pasal yang mengatur tentang insentif dan disinsentif,
namun demikian instrumen ekonomi ini tercantum dalam Pasal 10 huruf e UUPLH 97 yang
isinya “adapun preventif adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penataan baku mutu
limbah dan atau instrumen ekonomi. Meskipun hanya tercantum dalam Penjelasan Pasal,
namun adanya instrumen ekonomi perlu diadakan sebagai kewajiban Pemerintah
sebagaimana kewajiban Pemerintah yang diatur dalam Pasal 10 UUPLH 97.

33 Koesnadi Hardjasoemantri, Op.cit, hlm.353.