PERAN PROFESI AKUNTANSI TERHADAP PEMULIH

PERAN PROFESI AKUNTANSI TERHADAP PEMULIHAN DUNIA
PERBANKAN PASCA KRISIS EKONOMI TAHUN 1997/1998 (KASUS
PADA PT BANK NIAGA TBK)
PENDAHULUAN
Krisis ekonomi yang melanda Asia, termasuk Indonesia, pada 1997 kini sudah lebih dari 10 tahun. Di
Indoensia, krisis yang dipicu oleh krisis moneter merembet menjadi krisis multi dimensi: ekonomi,
politik dan sosial. Tidak mengherankan kalau proses pemulihan ekonomi Indonesia berjalan lambat
dibandingkan negara-negara Asia lainnya, seperti Malaysia dan Korea. Menarik untuk kembali
melihat seberapa jauh dampak pemulihan ekonomi ini terhadap kondisi perbankan nasional. Seperti
diketahui, kinerja perbankan nasional sebagai sumber pembiayaan utama sangat dipengaruhi oleh
kondisi

dan

perkembangan

ekonomi

suatu

negara.


Dalam pemulihannya, dunia perbankan membutuhakan peran dari berbagai pihak mulai dari
manajemen sampai dengan pihak luar. Salah satu peran yang cukup penting bagi pemulihan dunia
perbankan adalah peran dari profesi akuntansi. Bagaimana peran dari profesi akuntansi terhadap
pemulihan

dunia

perbankan

pasca

krisis

moneter?

KRISIS DUNIA PERBANKAN
Krisis yang bermula dengan kejatuhan nilai mata uang Bath pada tahun 1997 melumpuhkan banyak
lembaga perbankan, perusahaan sekuritas dan lembaga keuangan di kawasan Asia Tenggara
termasuk Indonesia, bahkan juga menjalar ke Korea dan Cina. Krisis ekonomi ini membawa dampak

yang sangat besar bagi kalangan dunia usaha. Banyak pelaku usaha gulung tikar dengan adanya
krisis ekonomi ini.
Berhentinya kegiatan usaha tersebut mengakibatkan perusahaan-perusahaan tersebut tidak mampu
mengembalikan kreditnya pada sektor perbankan. Hal ini memberikan efek negatif bagi pada kinerja
perbankan nasional karena menyebabkan rasio NPL (Non Performing Loan) atau kredit bermasalah
yang meningkat. Peningkatan NPL ini mengakibatkan rasio kecukupan modal (CAR) dari perbankan
menjadi turun, sehingga banyak bank yang harus masuk “rumah sakit nasional” yaitu BPPN.
Masalah NPL merupakan satu dari lima krisis yang dialami dunia perbankan selama krisis ekonomi.
Lima krisis itu adalah masalah negative spread, masalah likuiditas, masalah Net Open Position (NOP
atau posisi devisa neto), masalah NPL dan yang terakhir masalah permodalan.
Permasalahan krisis ekonomi tersebut juga melanda Bank Niaga. Bank Niaga juga menghadapi lima
krisis yang dialami dunia perbankan Indonesia. Bagaimana Bank Niaga dalam menghadapi krisis
ekonomi

tersebut?

BANK NIAGA
Geliat Restrukturisasi via Rekapitalisasi
Setelah diambil-alih oleh pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Juli
1999, Bank Niaga sebagai Bank Take Over (BTO) bisa melanjutkan pembenahan dengan lebih tenang.

Di bawah pengelolaan BPPN, Bank Niaga bebenah, membereskan hal-hal yang terbobol semenjak
krisis. Meski telah dikenal sebagai bank yang berkualitas, bahkan mendapatkan pengakuan dari
lembaga-lambaga keuangan luar negeri, tetapi masih banyak yang harus dilakukan.
Berada di bawah pengelolaan lembaga baru tentulah tidak mudah. Apalagi, seperti apa status Bank
Niaga nantinya pun belum jelas benar, setelah dimiliki pemerintah melalui BPPN. Bagaimana
nasibnya sebagai Bank, apakah akan dijadikan BUMN, apakah akan di-merger dengan bank lain
seperti yang dialami oleh sejumlah bank yang diambil-alih pemerintah, ataukah tetap menjadi bank
swasta

yang

mandiri.

Saat

itu

belum

diketahui


sama

sekali.

BPPN mengkategorikan bank-bank yang diserahkan di bawah pengawasan lembaganya menjadi
kelompok A, B, dan C. Kelompok A adalah bank-bank yang struktur permodalannya bagus, dengan
Capital Adequacy Ratio (CAR) mencapai di atas 4 persen. Kelompok B adalah bank-bank yang harus
diperbaiki modalnya, karena CAR-nya berkisar antara minus 25 persen hingga 4 persen. Selanjutnya,
bank-bank kelompok C, yaitu bank-bank yang direkomendasikan untuk ditutup, karena CAR-nya
dibawah minus 25 persen. Bank Niaga termasuk dalam kelompok B, yakni bank-bank yang harus
diperbaiki modalnya karena rasio kecukupan modalnya antara minus 25 persen hingga 4 persen. Jadi
nasibnya

tidak

ditutup,

melainkan


mengikuti

program

rekapitalisasi

perbankan.

Sebagai bank yang akan direkapitalisasi, pemegang saham mayoritas Bank Niaga mempunyai
kewajiban untuk menyetor minimal 20 persen dari modal baru yang dibutuhkan untuk memperbaiki
permodalan. Dalam perjalanannya, ternyata banyak pemegang saham yang tidak sanggup memenuhi
kewajiban tersebut, termasuk pemegang saham mayoritas Bank Niaga. Maka Bank Niaga pun masuk
dalam kategori Bank Take Over (BTO) yaitu bank yang diambil alih dimana dalam memenuhi
kebutuhan modalnya pemerintah bertindak sebagai standby buyer. Dalam hal ini, Bank Niaga tidak
sendirian.

Bank-bank

lain


yang

besar-besar

pun

bernasib

sama,

menjadi

bank

BTO.

Drama Rekapitalisasi
Ketika telah diambil alih pemerintah, kemudian berada di bawah pengelolaan BPPN, Bank Niaga
dianggap layak ikut dalam Program Rekapitalisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Pada mulanya,
BPPN menyatakan bahwa Bank Niaga berhak mendapatkan penyertaan modal sementara pemerintah


yang kemudian langsung dijadikan obligasi sebesar Rp. 8,7 triliun. Tapi hingga batas waktu yang
ditentukan, ternyata rekapitalisasi belum juga dilaksanakan. Akibatnya proses rekap Bank Niaga
menjadi berlarut-larut. Sehingga kebutuhan dana rekap Bank Niaga pun menjadi semakin
membengkak akibat kerugian yang harus ditanggung selama tertundanya rekap. Jika per Maret
1999, kebutuhan rekapnya Rp 7,872 triliun dan kemudian membengkak menjadi Rp 8,7 triliun pada
bulan Agustus 1999, maka tertundanya rekap itu membuat dana yang diperlukan untuk memulihkan
Bank Niaga ke keadaan sehat pun menjadi semakin besar. Dan kegelisahan yang harus ditanggung di
kalangan

profesional

Bank

Niaga

pun

menjadi


semakin

panjang.

Titik terang dari drama rekapitalisasi Bank Niaga muncul ketika perjuangan para profesional
membuahkan hasil dengan ditandatanganinya keputusan rekapitalisasi Bank Niaga pada 31 Mei
2000. Terhambatnya proses rekapitalisasi Bank Niaga disebabkan karena tidak ada pemegang saham
yang dapat menyetor sebesar 20 persen saham sebagai persyaratan pemenuhan CAR sesuai
persyaratan bank rekap. Sehingga status Bank Niaga masuk ke dalam kategori Bank Take Over
(BTO).
Untuk memenuhi perbankan yang luluh lantak dihantam krisis, pemerintah berkeinginan untuk
bertindak di atas rel yang benar. Seperti telah diketahui, pada tanggal 26 Januari 1998 didirikan
sebuah badan khusus yang independen, di bawah payung Departemen Keuangan berdasarkan
Keppres No.27 tentang pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Selain itu Undangundang Perbankan No.10 tahun 1998 juga menyebut adanya lembaga khusus tersebut, yang akan
membantu pemerintah mengatasi krisis. Sebagai pelaksanaan UU No.10 tahun 1998, pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1998 tentang tugas dan kewenangan BPPN,
tertanggal 27 Februari 1998, yang dikenal dengan sebutan populer PP 17. Dalam perjalanannya, PP
17 yang merupakan salah satu rujukan hukum dalam melakukan rekapitalisasi Bank BTO, setelah
proses diskusi yang cukup lama dan mendalam, disadari perlu disempurnakan. Penyempurnaan
(amandemen) atas PP 17 dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999

pada bulan November 1999.
Persoalan Bank Niaga tidak hanya melibatkan kalangan intern perusahaan, namun juga pihak ekstern
yang ikut memperjuangkan terlaksananya rekapitalasi Bank Niaga. Karena rekapitalisasi merupakan
bagian dari penjaminan bank yang dilakukan oleh pemerintah, maka persoalan Bank Niaga pun
melibatkan banyak pihak pemerintah termasuk DPR, Menteri, Direktur Jenderal, BI dan BPPN yang
memang

dibentuk

untuk

menyelesaikan

masalah

perbankan.

Ada dua permasalahan penting yang dihadapi oleh perbankan nasional saat krisis. Masalah pertama
semua bank mengalami kredit macet yang menghancurkan semua kualitas aset, CAR hancur,


likuiditas remuk. Bank yang lolos kriteria perlu direkap atau di-BTO. Saat itu kondisi makro ekonomi
di luar belum pulih, sehingga kemungkinan saat Bank Niaga menerima rekapnya, maka sudah
terlambat. Karena terlambat, akibatnya tidak cocok lagi antara kebutuhan pada saat diusulkan
dengan kebutuhan pada saat menerima rekap, denga kata lain Bank Niaga telah kehilangan
momentum. Masalah kedua adalah interest rate yang diterima dari obligasi rekap saat itu merupakan
rate yang fixed, sedangkan commercial rate pada waktu itu sedang bergerak naik. Bunga yang harus
dibayar untuk deposan tinggi sekali, melebihi bunga tetap yang diterima dari obligasi rekap.
Akibatnya, potensi kerugian atau negative spread tinggi sekali.
BPPN yakin bahwa Bank Niaga merupakan bank sehat. Ia menjadi tidak sehat karena faktor ekstern
yang tak terhindarkan, yaitu krisis sistematik yang amat dahsyat. Menurut Syafruddin Arsyad
Tumenggung, ketua BPPN periode April 2002 – Februari 2004, yang juga mantan mantan sekretaris
Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) ini berpendirian bahwa Bank Niaga pantas diselamatkan,
karena memiliki manajemen yang profesional, tidak pernah melakukan pelanggaran yang bernuansa
moral hazards, baik dari pemegang saham maupun Direksi. Bank ini ambruk semata-mata karena
krisis

dahsyat

ekstern


yang

meluluhlantahkan

seluruh

sistem

tanpa

kecuali.

Akhirnya, tanggal 31 Mei 2000, pemerintah menyuntikkan tambahan modal berbentuk obligasi
senilai Rp 9,462 triliun dengan kompensasi 97,15 persen saham dimiliki oleh pemerintah.

Nahkoda Baru
Setelah mendapat suntikan dana segar dan keluar dari ruang “rawat inap” BPPN, Bank Niaga seperti
baru dilahirkan kembali. Agar dapat tumbuh menjadi kuat kembali ada satu lagi persoalan penting
yakni perlu dilakukan restrukturisasi. Pada saat inilah dirasa perlu untuk melakukan pergantian
susunan Direksi. Peter B. Stok yang selama tiga tahun berada di luar Bank Niaga, diminta kembali. Ia
dipercaya BPPN untuk menjadi nahkoda Bank Niaga, sebagai Presiden Direktur.
Peter adalah karyawan yang digembleng di Bank Niaga sejak awal. Tetapi keadaan membuatnya
keluar dari Bank Niaga, tepat sesaat sebelum krisis datang menerpa. Peter pernah manjabat Presiden
Komisaris di Bank Danamon, dan kemudian dilanjutkan Presiden Direktur di Aerowisata. Tak lama
berselang ia kembali ke dunia perbankan menjadi Presiden Direktur di Bank Dagang Negara dalam
rangka persiapan untuk merger menjadi Bank Mandiri. Peter B. Stok diangkat secara resmi dalam
Rapat

Umum

Pemegang

Saham

Bank

Niaga

pada

29

Juni

2000.

Gebrakan awal Peter adalah membentuk tim khusus yang menangani masalah kredit macet, yakni
special asset management atau SAM Group. Peter menilai khususnya dari sisi loan, karena angka

NPL-nya masih sangat tinggi. Sebagai pimpinannya, Peter menunjuk Yos Badilangoe untuk
mendampingi James Rompas sebagai Direktur Commercial Banking saat itu.
Langkah awal dari gebrakan tersebut adalah merestrukturisasi perusahaan debitur, terutama yang
berpotensi bangkrut. Untuk itu tim SAM melakukan tiga macam pendekatan. Pendekatan pertama
yang dilakukan adalah restrukturisasi pinjaman. Artinya terhadap para debitur tersebut dilakukan
rescheduling pinjaman, dengan terms-terms yang baru. Pendekatan kedua adalah compromise, yakni
membujuk debitur untuk melunasi hutang mereka meski tidak bisa sepenuhnya seratus persen.
Hanya saja selanjutnya mereka tetap dapat melanjutkan pinjamannya. Dan pendekatan ketiga, jika
debiturnya

tetap

bandel

adalah

melalui

meja

hijau

atau

pengadilan.

Selanjutnya, Peter membagi ke dalam sembilan hal yang menjadi prioritas utama Bank Niaga ke
depan. Kesembilan prioritas tersebut adalah :
1.Pertama, memperbaiki kualitas layanan. Caranya dengan menerapkan kaidah dan standar
pelayanan kepada nasabah, serta memperbaiki sistem back office yang menunjang penyampaian
layanan

di

garis

depan;

2.Kedua, menanggulangi kredit bermasalah. Caranya dengan melakukan restrukturisasi kredit,
penagihan dan upaya-upaya kredit lainnya secara terpadu dan fokus;
3.Ketiga, memperbaiki kesehatan bank. Caranya dengan memprioritaskan penanganan likuiditas,
penyelesaian kredit bermasalah dan peningkatan laba secara optimal, sehingga kinerja Bank Niaga
dan

posisi

kesehatannya

makin

meningkat;

4.Keempat, melakukan divestasi/merger. Bersama-sama dengan BPPN selaku pemegang saham
mayoritas mengundang investor strategis sebagai pemilik baru atau melakukan penjajakan untuk
merger

dengan

bank

lain;

5.Kelima, memperkuat struktur neraca. Struktur neraca perlu diperkuat untuk mendapatkan
penyebaran risiko dan yield yang lebih optimal. Di lain pihak, mendapatkan struktur dana yang lebih
baik,

khususnya

mendapatkan

dana

murah;

6.Keenam, mengembalikan status pengawasan dari BPPN ke Bank Indonesia. Tujuan untuk dapat
kembali ke dalam pengawasan Bank Indonesia lebih didasari pada pertimbangan citra perusahaan
yang tidak lagi sebagai ‘pasien’ yang dirawat BPPN;
7.Ketujuh, mengkonsolidasikan anak-anak perusahaan. Konsolidasi dilakukan melalui pengurangan
secara bertahap penyertaan saham Bank Niaga di anak-anak perusahaan yang tidak menguntungkan,
penjajakan merger dan likuidasi anak-anak perusahaan (bila diperlukan). Termasuk di dalamnya
adalah juga perbaikan pengelolaan oleh manajemen anak-anak perusahaan dan cara pengawasannya;

8.Kedelapan, meningkatkan motivasi karyawan. Motivasi karyawan diarahkan untuk memperbaiki
profesionalisme individu dan teamwork, di tengah situasi yang cepat berubah dan tantangan
persaingan

yang

semakin

ketat;

9.Kesembilan, pencapaian target-target yang tercantum dalam Rencana Bisnis yang diajukan ke
BPPN. Khusus poin kesembilan, Peter menekankan betapa pentingnya target dalam melakukan
sebuah pekerjaan. Kepada setiap pemimpin operasional, diminta agar menetapkan target masingmasing.
Perubahan lain yang dilakukan oleh Peter adalah mengubah orientasi bisnis Bank Niaga. Jika sebelum
krisis Bank Niaga dikenal sebagai bank yang lebih menekankan corporate banking, sekarang tidak
demikian lagi. Bukan berarti usaha perbankan untuk perusahaan-perusahaan besar dihapuskan, tapi
porsinya saja dikurangi. Bank Niaga akan lebih menitik-beratkan pada segmen ritel yaitu consumer
banking

dan

Usaha

Kecil

dan

Menengah

(UKM).

Drama Divestasi
Sementara di dalam intern Bank Niaga sendiri terjadi pembenahan besar-besaran, maka sebuah
drama yang lain berlangsung di luar sana untuk menentukan nasib Bank Niaga. Setelah Bank Niaga
mendapat infus modal atau program rekapitalisasi, pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas.
Namun penyertaan saham pemerintah ini bersifat sementara. Jadi penempatan modalnya pun bersifat
sementara.

Pemerintah tidak

mungkin menyertakan

modalnya

bersifat

tetap,

karena

akan

menimbulkan benturan kepentingan akibat peran ganda yang dilakukan pemerintah sebagai
pemegang saham, pengawas, dan regulator. Maka kepemilikan pemerintah di bank-bank swasta yang
direkap harus segera dikembalikan lagi ke pihak swasta atau divestasi.
Pengembalian ke pihak swasta ini tidak asal dikembalikan. Pihak swasta yang berminat terlebih
dahulu diseleksi karena divestasi ini tidak sekedar menjual saham. Proses divestasi merupakan
bagian dari proses penyehatan perbankan secara menyeluruh dan tuntas.
Proses penyehatan suatu Bank setelah direkap dan sebelum didivestasi adalah proses yang kompleks
dan kurang dipahami publik. Sebelum melakukan divestasi, terlebih dulu harus melalui pembenahan
yang menyangkut pemegang saham, manajemen, tata kelola resiko, good governance, dan
mekanisme-mekanisme operasionalnya. Dan proses ini berlangsung sangat intens dan drastis. Antara
lain melalui penjadualan yang terstruktur dibarengi dengan penetapan target. Pengurangan NPL juga
harus terukur, baik dari segi jumlah maupun jadualnya. Demikian pula dengan CAR yang dijaga
sesuai dengan ketentuan. Ada lagi loan to deposit ratio yang harus semakin ditingkatkan, dan lain
sebagainya. Setelah semua ini terjamin dengan baik, kemudian BPPN meminta pandangan Bank

Indonesia apakah tehadap bank tersebut dapat dilakukan divestasi atau tidak. Kalau sudah
dipandang sehat, maka harus dikembalikan ke sektor swasta.
Rencana divestasi Bank Niaga telah dicanangkan sejak tahun 2000. Menurut rencana, divestasi Bank
Niaga dilakukan pada bulan November 2000, sesuai dengan Letter of Intent antara pemerintah
dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Namun divestasi Bank Niaga gagal dilakukan karena
dianggap belum siap. Rencana berikutnya divestasi harus sudah terlaksana pada bulan Juni 2001.
Tetapi sampai batas waktunya divestasi belum juga dilakukan. Hal ini menghilangkan kesempatan
Bank

Niaga

untuk

mendapatkan

investor

strategis.

Persoalan divestasi Bank Niaga terus bergulir hingga tahun 2002. Oleh karena Bank Niaga sudah
merupakan perusahaan publik, maka proses divestasi tidak lagi melalui initial public offering (IPO)
melainkan melalui strategic sale dan market placement. Strategic sale bertujuan untuk mencari
pemegang saham pengendali baru, yang diharapkan dapat menjadi mitra strategis pemerintah dalam
meningkatkan nilai bank. Sedangkan market placement adalah strategi penjualan saham yang
bertujuan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk ambil bagian dalam penjualan saham, baik
dengan cara drip sale (penjualan kepada investor retail/individual) maupun block sale (penjualan
kepada investor lembaga).
Titik terang mulai terlihat pada bulan September 2002, ketika sebuah lembaga keuangan dari
Malaysia, Commerce Asset-Holding Berhad (CAHB) memperlihatkan keseriusannya untuk membeli
51 persen saham Bank Niaga, dan sanggup mematuhi kriteria yang disodorkan BPPN.
Setelah dilakukan restrukturisasi besar-besaran dan dilakukan divestasi, akhirnya terdengar
pengumuman yang melegakan. Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Badan Penyehatan Perbankan
Nasional No.SK-667/BPPN/0903 tertanggal 26 September 2003, BPPN menyerahkan Bank Niaga ke
Bank Indonesia karena dinyatakan telah memenuhi kriteria tingkat kesehatan bank yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia dan kriteria lain yang ditetapkan BPPN. Selanjutnya, Bank Indonesia dengan
Surat Keputusan Gubernur No.5/14/KP.GBI/2003 tanggal 14 November 2003 mencabut status Bank
Niaga sebagai Bank Dalam Penyehatan (BDP), dan menerima kembali Bank Niaga di bawah
pengawasan Bank Indonesia.
Buah Perkawinan dengan CAHB
CAHB merupakan kelompok perusahaan publik yang terdaftar di Malaysia Securities Exchange
Berhad semenjak 1987. CAHB merupakan lembaga keuangan terbesar kedua di Malaysia (per 31
Desember 2004) dengan jaringan internasional di Singapura, Hong Kong, Tokyo, London dan
Mauritius. Grup besar ini mempunyai kelompok-kelompok usaha jasa keuangan yang beragam. Grup
perusahaan utamanya adalah Bumiputera-Commerce Bank Berhad, yang merupakan bank komersial

terbesar kedua di Malaysia. Selanjutnya adalah CIMB Berhad yang merupakan grup investment bank
yang ternama di Malaysia. Kini kelompok usaha ini praktis memiliki Bank Niaga, karena menguasai
50,99 persen saham pada November 2002. Bahkan pada 31 Juli 2005 CAHB telah memiliki 63,11
persen saham di Bank Niaga.
Dalam era globalisasi ini, upaya yang perlu dilakukan adalah melakukan pengembangan usaha.
Bukan hanya berkiprah di kandang sendiri, masa depan telah terbuka bagi siapapun tanpa batasbatas wilayah. Perluasan usaha bisa dilakukan di mana pun. Dan dalam rangka itu pula CAHB
membeli saham dan akhirnya menjadi pemilik mayoritas Bank Niaga. CAHB benar-benar ingin
membesarkan Bank Niaga menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia, seperti dicanangkan dalam
Visi Niaga 2007, yakni menjadi salah satu dari lima besar bank di Indonesia. Di samping itu, tentu
ada tujuan lain, CAHB masuk ke Bank Niaga karena mereka harus mengikuti kiprah perusahaanperusahaan di negara jiran tersebut. Salah satu lahan yang subur adalah Indonesia, karena banyak
nasabah yang berekspansi ke Indonesia, terutama industri perkebunan.
Pertimbangan lainnya, kelompok usaha ini tidak mungkin mengabaikan Indonesia yang memiliki
jumlah penduduk paling besar di Asia Tenggara yang artinya berpotensi untuk memperluas pasar.
Faktor lain lagi karena dari segi budaya dan bahasa pun antara kedua negara ini tidak jauh berbeda.
Bank Niaga memiliki budaya kerja yang telah dikenal CAHB, informasinya transparan, dan responnya
cepat.
Investasi CAHB di Bank Niaga bukan untuk jangka pendek. Tujuan CAHB adalah memperluas
jaringan, memperoleh pasar baru, dan memberikan dukungan yang berkelanjutan kepada para
nasabah CAHB sendiri di Indonesia. Bagi Bank Niaga sendiri, masuknya CAHB memberikan nilai
tambah sendiri. Misalnya, akses internasional menjadi lebih luas sehingga cepat tanggap dengan isu
dan tren perbankan internasional.
Setelah tahun 2001-2002, fokus Bank Niaga lebih ditekankan pada pembenahan-pembenahan intern.
Buah kerjasama dengan CAHB mulai terlihat sejak 2003. Bank Niaga pada tahun 2003 berhasil
mencetak kinerjanya yang sangat baik. Laba bersih mengalami kenaikan menjadi sebesar Rp 467
miliar atau laba bersih Rp 59,72 per saham dibandingkan dengan Rp 141 miliar atau Rp 18,04 per
saham

di

tahun

2002

(setelah

perhitungan

reverse

stock

split).

Bank Niaga juga telah memberikan kontribusi berarti dalam pengembangan ekonomi, dengan mulai
menjalankan fungsi intermediasinya di sektor riil. Peter B. Stok mengungkapkan keberhasilan Bank
Niaga

menurunkan

porsi

pendapatan

bunga

dari

Obligasi

Rekapitalisasi.

Keberhasilan

ini

menunjukkan kemampuan Bank Niaga mengurangi tingkat ketergantungan dari pendapatan bunga

Obligasi Rekap. Bank Niaga juga mampu meningkatkan pendapatannya dari penyaluran pinjaman ke
sektor riil dan dari aktiva produktif lainnya.
Usaha lain juga menampakkan hasil. Efisiensi yang dilaksanakan berhasil menekan rasio biaya
terhadap pendapatan, menjadi 50,4 persen pada tahun 2003 dari tahun sebelumnya yang mencapai
64,12 persen. Demikian pula halnya dengan Non Performing Loan (NPL). Kredit bermasalah sebelum
memperhitungkan cadangan penghapusan (gross NPL) menjadi 3,61 persen, menurun dari 6,16
persen di tahun 2002. Penurunan NPL ini, menurut Peter, disebabkan oleh dua hal yaitu
meningkatnya pinjaman baru dan yang lebih utama adalah menurunnya volume NPL itu sendiri.
Namun dampak dari meningkatnya pinjaman ini adalah menurunnya CAR dari 12,72 persen menjadi
11,58 persen di tahun 2003.
Komposisi pinjaman juga mengalami perbaikan, sesuai dengan arahan strategis untuk menjadi bank
ritel unggulan. Komposisi perbankan konsumer menjadi 22 persen dari sebelumnya 19 persen di
tahun 2002. Lalu, perbankan bisnis yang di dalamnya termasuk pinjaman kepada UKM menjadi 44
persen dari sebelumnya 46 persen pada tahun 2002 serta perbankan korporasi menurun menjadi 34
persen

dari

sebelumnya

35

persen

pada

tahun

2002.

Di tahun 2004, hasil-hasil di atas semakin meningkat. Laba bersih 2004 mencapai Rp 660 miliar, atau
meningkat Rp 193 miliar (41 persen) dari laba bersih 2003 yang mencapai Rp 467 miliar. Pendapatan
bunga bersih mencapai Rp 1.383 miliar atau naik Rp 363 miliar (36 persen) dibanding pendapatan
bunga bersih tahun 2003 yang mencapai Rp 1.020 miliar.
Selain angka-angka di atas, sinerji dengan anak perusahaan CAHB yang lain juga sudah berjalan
dengan lancar. Di antaranya dengan Bumiputra-Commerce Bank Berhad di Malaysia dalam layanan
usaha perbankan pengiriman uang (remittance) yang diberi nama Cash Laju. Layanan ini
memudahkan pengiriman uang bagi setengah juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia kepada
keluarganya di Indonesia, secara on line. Selain itu, unit bisnis baru pun sudah muncul yakni Bank
Niaga Syariah yang diluncurkan pada September 2004.
Hasil-hasil ini menunjukkan tujuan rekapitalisasi dan divestasi Bank Niaga telah tercapai. Pertama, ia
telah menjadi bank sehat dan berkembang sebagaimana tercermin dalam angka-angka dua tahun
belakangan ini. Selanjutnya, Bank Niaga telah menjalankan fungsi intermediasi untuk sektor riil
sehingga memungkinkan perekonomian bergerak kembali. Dengan demikian, pihak pemerintah yang
pernah menjadi pemilik saham mayoritas bisa berlega hati karena tujuannya tercapai.
Di sisi lain, CAHB pun bisa ikut menuai hasil, karena kontribusi keuntungan yang diberikan oleh
Bank Niaga kepada Grup CAHB tidak dapat dianggap enteng. Pada tahun 2003 Bank Niaga
memberikan kontribusi profit sebelum pajak kepada Grup CAHB sebesar 16 persen. Lalu sampai

dengan Desember 2004, kontribusi profit sebelum pajak Bank Niaga kepada CAHB sudah menvapai
26 persen. Tidak salah bila dinyatakan CAHB memperoleh ‘intan’ dengan mengakusisi Bank Niaga.
Namun sebaliknya, Bank Niaga pun pulih total dari ‘stroke’ yang menimpanya. Ini adalah salah satu
wujud win-win solution untuk semua stakeholder Bank Niaga.
PERAN PROFESI AKUNTANSI
Dalam pemulihan kondisi perusahaan, termasuk dunia perbankan, pasca krisis ekonomi, profesi
akuntansi memiliki peran yang sangat penting. Tidak hanya selama masa krisis dan pemulihannya,
peran profesi akuntansi juga penting saat aktivitas bisnis perusahaan berjalan seperti biasa. Wallman
(1995) dalam artikel komentarnya mengatakan bahwa akuntan merupakan “gatekeepers” atau palang
pintu dari pasar keuangan. Hal ini karena salah satu tugas dari profesi akuntansi adalah untuk
meyakinkan kualitas dan integritas dari informasi keuangan.
Berbicara mengenai proses pemulihan Bank Niaga pasca krisis ekonomi, peran profesi akuntansi
sangat penting untuk membantu mengembalikan posisi Bank Niaga seperti sebelum krisis. Sofyan
Syafri (2008) mengatakan bahwa peran ini penting karena secara normatif akuntansi memiliki peran
yang sangat sentral dan luhur dalam membantu lancarnya kegiatan ekonomi dan penciptaan
kesejahteraan sosial. Akuntansi membantu pihak yang tidak bisa akses langsung pada kegiatan
operasional entitas untuk mengetahui informasi mengenai aspek ekonomis yang dijadikan dasar
dalam pengambilan keputusan misalnya dalam hal pemberian kredit, pilihan investasi atau hal
lainnya. Dalam proses pengambilan keputusan, kualitas informasi ini harus akurat, benar, jujur dan
relevan.
Oleh karena pentingnya informasi akuntansi ini, maka masyarakat membutuhkan profesi khusus
untuk memeriksa kebenaran informasi yang disajikan agar pembaca tidak dirugikan, dan profesi itu
kita kenal dengan akuntan publik. Peran akuntan publik dalam pemulihan Bank Niaga adalah dengan
memberikan informasi keuangan melalui hasil pemeriksaannya. Informasi yang dihasilkan tersebut
merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pemulihan Bank Niaga mulai dari pengambilalihan
oleh BPPN, restrukturisasi, divestasi hingga “perkawinan” Bank Niaga dengan CAHB.
Peran yang juga penting dalam pemulihan ini terdapat pada auditor internal. Auditor internal
memiliki peran yang penting karena dalam kondisi krisis ekonomi maupun saat pemulihannya,
auditor internal diharapkan selalu memberikan informasi kepada manajemen mengenai apa saja yang
terjadi pada perusahaan. Informasi ini diharapkan akan dapat membantu manajemen dalam
menyajikan

informasi

melalui

laporan

keuangan.

Selain itu, informasi yang diberikan oleh auditor internal diharapkan juga dapat membantu
manajemen dalam mengambil keputusan. Informasi dari auditor internal pada masa pemulihan Bank

Niaga sangat penting bagi manajemen Bank Niaga dalam mengambil keputusan, termasuk keputusan
untuk divestasi dan untuk menerima “pinangan” dari CAHB.
Auditor internal juga harus selalu berkomunikasi dengan Komite Audit dalam menjalankan tugasnya.
Hal ini karena auditor internal merupakan kepanjangan tangan dari Komite Audit dalam mengawasi
jalannya operasional perusahaan. Hal-hal yang dikomunikasikan oleh auditor internal dengan Komite
Audit adalah mengenai Internal Control System dan Good Governance.
Komite Audit dalam mengawasi jalannya operasional perusahaan sangat memperhatikan informasi
apakah Internal Control System berjalan dengan baik atau tidak. Sebagai kepanjangan tangan dari
Komite Audit, auditor internal diharapkan untuk selalu mengawasi Internal Control System. Pada
masa krisis ekonomi seperti pada waktu itu, Internal Control System merupakan suatu elemen yang
penting, karena apabila Internal Control System tidak berjalan dengan semestinya, maka akan
menambah buruk kondisi perusahaan.
Hal lain yang dikomunikasikan oleh auditor internal dengan Komite Audit adalah mengenai Good
Governance. Seperti yang telah disebutkan di atas, salah satu syarat untuk melakukan divestasi
adalah melakukan pembenahan dalam Good Governance. Terhadap masalah Good Governance, lagilagi auditor internal berperan sebagai kepanjangan tangan dari Komite Audit dalam membantu
Dewan Komisaris. Peran dan tanggung jawab Dewan Komisaris terhadap Good Corporate Governance
adalah advising, protecting dan supervising. Peran tersebut dijalankan Dewan komisaris melalui
Komite Audit dengan dibantu auditor internal.
Dewan Komisaris Bank Niaga ternyata berhasil dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya
terhadap Good Corporate Governance. Bank Niaga menjadi salah satu perusahaan di Indonesia yang
menerapkan Good Corporate Governance dengan baik. Hal ini terlihat dengan diperolehnya beberapa
penghargaan atas prestasinya dalam menerapkan Good Corporate Governance, termasuk pada tahun
2008.

KESIMPULAN
Krisis ekonomi tahun 1997/1998 cukup merusak kondisi ekonomi Indonesia. Krisis ini juga sangat
memukul bagi dunia perbankan, termasuk Bank Niaga. Krisis yang akhirnya merambat menjadi krisis
multi dimensi di Indonesia ini, cukup menghambat dunia perbankan, termasuk Bank Niaga, dalam
pemulihannya.
Bank Niaga merupakan salah satu bank di Indonesia yang berhasil memulihkan diri dari krisis yang
melanda. Salah satu pihak yang berperan membantu keberhasilan Bank Niaga untuk memulihkan diri
adalah profesi akuntansi melalui akuntan publik dan auditor internal. Profesi akuntansi sangat

berperan dalam pemulihan Bank Niaga melalui informasi yang diberikan yang sangat membantu
stakeholder dalam mengambil keputusan-keputusan penting bagi Bank Niaga.

DAFTAR PUSTAKA
Bank Niaga, (2005), Bank Niaga Pantang Menyerah Didera Krisis, Aksara Karunia, Jakarta.

Harahap, Sofyan Syafri (2008), Pentingnya Unsur Etika dalam Professi Akuntansi dan Bagaimana di
Indonesia?,

http://ekisonline.com

Wallman, Steven (1995), The Future of Accounting and Disclosure in an Evolving World: The Need for
Dramatic Change, Accounting Horizons, United States.
http://www.komiteaudit.org