DIFFERENCES IN SERUM CREATININE LEVELS OF TYPE 2 DIABETES MELLITUS PATIENT THAT CONTROLLED WITH NOT CONTROLLED IN DR. H. ABDUL MOELOEK HOSPITAL BANDAR LAMPUNG IN 2012

(1)

ABSTRACT

DIFFERENCES IN SERUM CREATININE LEVELS OF TYPE 2 DIABETES MELLITUS PATIENT THAT CONTROLLED WITH NOT CONTROLLED IN DR. H. ABDUL MOELOEK HOSPITAL BANDAR LAMPUNG IN 2012

By

SALMAN ALFARISI

Diabetes mellitus is a metabolic disease with characteristic hyperglycemia that occurs due to abnormal insulin secretion, insulin action or both disorders. Uncontrolled diabetes mellitus will increase the progressivity of the occurrence of various chronic complications, either mikroangiopati nor makroangiopati. At this time, diabetes mellitus has become one of the most disease causing chronic kidney disease. The level of creatinine in blood is one of the parameters used to assess renal function, as in the plasma concentration and excretion in the urine within 24 hours relatively constant. Serum creatinine levels greater than the normal value suggests an impaired renal function. The purpose of this study was to determine whether there are differences in serum creatinine levels of patients type 2 diabetes mellitus controlled with uncontrolled. Research is categorical analytical-numerical study is not paired with cross sectional approach. Results showed from 72 patients with type 2 diabetes (36 controlled and 36 uncontrolled), the mean serum creatinine levels of patients with type 2 diabetes mellitus uncontrolled (0.967 ± 0.265) higher than the patients with type 2 diabetes mellitus controlled (0.819 ± 0.182 ). Conclusion, there are significant differences in serum creatinine levels (p = 0.002) among patients with type 2 diabetes mellitus controlled with uncontrolled.


(2)

ABSTRAK

PERBEDAAN KADAR KREATININ SERUM PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 YANG TERKONTROL DENGAN YANG TIDAK TERKONTROL DI

RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG TAHUN 2012 Oleh

SALMAN ALFARISI

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kelainan kerja insulin atau keduanya. Diabetes melitus yang tidak terkontrol akan meningkatkan progresivitas terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Pada saat ini diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan penyakit ginjal kronik. Pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menilai fungsi ginjal, karena konsentrasi dalam plasma dan ekskresinya di urin dalam 24 jam relatif konstan. Kadar kreatinin serum yang lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar kreatinin serum pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dengan yang tidak terkontrol. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitis kategorik-numerik tidak berpasangan dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan dari 72 pasien DM tipe 2 (36 terkontrol dan 36 tidak terkontrol), rerata kadar kreatinin serum pasien diabetes melitus tipe 2 yang tidak terkontrol (0,967±0,265) lebih tinggi dibandingkan dengan pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol (0,819±0,182). Kesimpulan, terdapat perbedaan kadar kreatinin serum yang bermakna (p= 0,002) antara pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dengan yang tidak terkontrol.


(3)

PERBEDAAN KADAR KREATININ SERUM PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 YANG TERKONTROL DENGAN YANG TIDAK

TERKONTROL DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG TAHUN 2012

Oleh

SALMAN ALFARISI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

PERBEDAAN KADAR KREATININ SERUM PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 YANG TERKONTROL DENGAN YANG TIDAK

TERKONTROL DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG TAHUN 2012

(Skripsi)

Oleh

SALMAN ALFARISI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL...iii

DAFTAR GAMBAR ...iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. RumusanMasalah ... 4

C. TujuanPenelitian ... 4

D. ManfaatPenelitian ... 5

E. KerangkaTeori ... 7

F. KerangkaKonsep ... 8

G. Hipotesis ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Diabetes melitus ... 9

1. Definisi ... 9

2. Klasifikasi ... 9

3. Manifestasi Klinis ... 11

4. Patofisiologi ... 12

5. Diagnosis ... 16

6. Penatalaksanaan ... 18

7. Komplikasi ... 21

8. Peranan HbA1C Pada Diabetes Melitus ... 25

B. Kreatinin ... 27

C. Penyakit Ginjal Pada Diabetes Melitus ... 29

1. Patofisiologi ... 29

2. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ginjal diabetik ... 33

3. Tahapan Penyakit Ginjal Diabetik ... 34


(6)

ii

III. METODE PENELITIAN ... 38

A. Desain Penelitian ... 38

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

C. Populasi Penelitian ... 38

D. Sampel Penelitian ... 39

E. Kriteria Inklusi ... 40

F. Kriteria Eksklusi... 40

G. Variabel Penelitian ... 40

H. Definisi Operasional... 41

I. Instrumen Penelitian... 41

J. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 41

K. Alur Penelitian ... 42

L. Pengolahan dan Analisis Data ... 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Hasil ... 44

1. AnalisisUnivariat... 44

2. Uji Normalitas ... 46

3. AnalisisBivariat ... 47

B. Pembahasan ... 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. Kesimpulan ... 53

B. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Klasifikasi Diabetes Melitus ... 10

2. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM ... 16

3. Kriteria Diagnosis DM ... 17

4. Korelasi HbA1c Dengan Perkiraan Rata-Rata Glukosa Plasma ... 25

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin ... 28

6. Pemantauan Fungsi Ginjal Pada Pasien Diabetes ... 36

7. Definisi Operasional ... 41

8. Distribusi Kadar Kreatinin Serum ... 45

9. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov ... 46


(8)

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori. ... 7

2. Kerangka Konsep. ... .8

3. Alur Penelitian ... 42

4. Grafik Distribusi Kadar Kreatinin Sampel ... 45

5. Perbandingan Rerata Kadar Kreatinin Serum Pasien DM Tipe 2 Yang Terkontrol Dengan Yang Tidak Terkontrol ... 48


(9)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr. Wiranto Basuki, Sp.PK

Sekretaris : dr. Tiwuk Susantiningsih, M. Biomed

Penguji

Bukan Pembimbing : dr. Zulfian, Sp.PK

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(10)

Judul Skripsi : PERBEDAAN KADAR KREATININ SERUM PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 YANG

TERKONTROL DENGAN YANG TIDAK

TERKONTROL DI RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG TAHUN 2012

Nama Mahasiswa : Salman Alfarisi Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011135 Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

dr. Wiranto Basuki, Sp.PK dr. Tiwuk Susantiningsih, M. Biomed NIP. 195406191984101002 NIP. 198010182006042001

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(11)

Dengan Penuh Rasa Syukur Kehadirat

Allah SWT Kupersembahkan Karya

Sederhanaku Ini Untuk Kedua Orang

Tuaku yang Senantiasa Tanpa Mengenal

Lelah Memberikan Doa dan Dukungan

Terhadap Cita-Citaku

. . .


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 November 1991 di Bandar lampung, anak ketiga dari lima bersaudara, dari bapak Suhada Bustani dan ibu Hj. Sak’ibah.

Penulis memulai pendidikan pada Taman Kanak-Kanak (TK) As-Salam pada tahun 1995 dan selesai pada tahun 1997, untuk kemudian melanjutkan ke tingkat Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 5 Sukarame pada waktu itu, sebelum berganti nama menjadi SD Negeri 2 Harapan Jaya. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 2003. Pada tahun 2003 setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 4 Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2006. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Bandar Lampung merupakan sekolah tempat penulis melanjutkan pendidikan untuk tingkat SMA dan selesai pada tahun 2009.

Pada tahun 2009 penulis terdaftar sebagai mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Lampung. Pada saat itu penulis tergabung bersama 114 mahasiswa lainnya yang memiliki cita-cita yang sama. Selama menjadi mahasiswa penulis sempat menjadi asisten laboratorium parasitologi bersama tiga teman mahasiswa lainnya ditahun ketiga


(13)

Rescue Team FK Unila pada periode 2009-2012, dan dipercaya menjadi ketua divisi pecinta alam pada periode 2011-2012, serta ikut aktif di komisi B Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FK Unila pada periode 2011-2012.


(14)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya dan kita selaku umatnya sampai akhir zaman.

Skripsi berjudul ”Perbedaan Kadar Kreatinin Serum Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Yang Terkontrol Dengan Yang Tidak Terkontrol Di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2012” ini disusun merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berperan atas dorongan, bantuan, saran, kritik dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan antara lain kepada :

1. Bapak (Suhada Bustani), Mamah (Sak’ Ibah), kakak-kakak ku; gen (Antoni Sinda), uti (Melisa Silvia), adik-adik ku; Hari (Hafiz Ahmad Ramadhani), dan Ragil (Muhamad Niko Kasah), serta segenap keluarga besar yang selalu memberi semangat dan doa hingga skripsi ini selesai;


(15)

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Hariyanto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung;

3. Bapak Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

4. dr. Wiranto Basuki, Sp.PK., selaku Pembimbing Pertama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. dr. Tiwuk Susantiningsih, M. Biomed., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaan memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

6. dr. Zulfian, Sp.PK selaku Pembahas yang telah memberikan banyak masukan dan nasehat selama penyelesaian skripsi ini;

7. dr. Rodiani, M. Sc selaku Pembimbing Akademik;

8. Seluruh staf Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lampung atas ilmu yang diberikan kepada penulis sehingga menambah wawasan dan menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

9. Pegawai Tata Usaha dan Pegawai Biro Akademik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya;

10.Bapak Sigit Maryanto, S. ST, Kak Dika, dan Ibu Ika serta seluruh Pegawai Laboratorium Patologi Klinik serta Pegawai Rekam Medik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung yang telah banyak membantu selama proses penelitian;


(16)

iii

11.Teman-teman seperjuangan yang sudah membantu dalam proses penyusunan skripsi, Satya Adi Nugraha, Hario Tri Hendroko, Riyan Wahyudo, Syahrul Hamidi, Angga Nugraha. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya;

12.Teman-teman Futsal; tim Kehidupan dan tim Serigalau, Rino, Kharisma, Adri, Reza, Kiki, Iqbal Tafwid, Prata, Emon, Pascum, Faris, Apga, Galih, Sandi. Terima kasih atas keakraban yang telah kalian berikan;

13.Para pemegang amanat di Angkatan 2009, Arif Komti, para PJ Blok, PJ CSL dan PJ Mata Kuliah. Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk “mengurus” angkatan kita;

14.Semua teman-teman Angkatan 2009, teman-teman se-Tutorial, teman-teman se-CSL, teman-teman se-Praktikum, teman-teman se-FOME. Terima kasih atas kebersamaan, pengalaman, dan ilmu yang kalian berikan;

15.Teman-teman di PMPATD Pakis Rescue Team dan DPM FK Unila. Terima kasih atas pengalaman ber-Organisasi yang telah kalian berikan;

16.Sahabat-sahabatku D’Mament IPA 2 dan PMR Wira SMAN 2 Bandar Lampung. Terima kasih atas kebersamaan kalian dalam proses menjadi dewasa;

17.Guru-guru di SMAN 2 Bandar Lampung, SMPN 4 Bandar Lampung, dan SDN 2 Harapan Jaya. Terima kasih atas ilmu yang telah kalian berikan;

18.Teman-teman KKN Pasir Sakti, Desa Rejo Mulyo, Lampung Timur. Beni, Hari, Dimas, Riska, Dwinta, Davina, Denis, Adek, Weni, Gogo. Terima kasih atas kebersamaan dan pengalaman yang kalian berikan selama 40 hari di Negeri orang;


(17)

19.Semua pihak yang telah terlibat dalam pembuatan skripsi ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, April 2013 Penulis


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit tidak menular telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit secara epidemiologi, dari penyakit menular yang cenderung menurun ke penyakit tidak menular. Secara global penyakit tidak menular meningkat di dunia. Di Indonesia penyakit tidak menular telah menduduki sepuluh besar penyebab kematian. Kasus terbanyak, adalah penyakit diabetes melitus (DM) dan penyakit metabolik (DEPKES, 2008). Penderita diabetes melitus di Indonesia telah mencapai angka 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2020. Tingginya jumlah penderita DM tersebut menjadikan Indonesia menempati urutan keempat dunia setelah Amerika Serikat , India dan Cina (American Diabetes Association, 2004).

Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kelainan kerja insulin atau keduanya (PERKENI, 2006). Gambaran patologik DM sebagian besar dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh,


(19)

peningkatan metabolisme lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak abnormal disertai endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah, sehingga timbul gejala aterosklerosis serta berkurangnya protein dalam jaringan tubuh (Guyton CA, 2007).

Diabetes melitus yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Penyakit akibat komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi pada pasien diabetes yaitu retinopati dan nefropati diabetik, sedangkan penyakit pembuluh darah koroner adalah contoh komplikasi makrovaskular pada pasien diabetes (Waspadji S, 2009). Pada saat ini diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan penyakit ginjal kronik (Sunaryanto, A, 2010). Nefropati Diabetik (ND) adalah komplikasi diabetes melitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Penyakit ginjal (nefropati) merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada DM. Di Negara-negara barat DM adalah penyebab tersering gagal ginjal kronik. Sekitar 50% gagal ginjal tahap akhir di AS disebabkan nefropati diabetik (Mogensen, C.E., 2000). Hampir 60% dari penderita hipertensi dan diabetes di Asia menderita nefropati diabetik. Presentasi tersebut terdiri atas 18,8 % dengan Makroalbuminuria dan 39,8 % dengan mikroalbuminuria (American Diabetes Association, 2004).

Pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menilai fungsi ginjal, karena konsentrasi dalam plasma dan ekskresinya di urin dalam 24 jam relatif konstan ( Sodeman, 1995)

.

Kreatinin


(20)

3

adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama. Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi, konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal (Corwin J.E, 2001). Peningkatan dua kali lipat kadar kreatinin serum mengindikasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50 %, demikian juga peningkatan kadar kreatinin tiga kali lipat mengisyaratkan penurunan fungsi ginjal sebesar 75 % (Soeparman dkk, 2001).

Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan diabetes. Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat. Pengendalian intensif yang disertai dengan monitoring


(21)

kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi mikrovaskular sampai 60% (Ditjen Bina Farmasi dan ALKES, 2005).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat diambil perumusan masalah:  Apakah terdapat perbedaan yang bermakna pada kadar kreatinin serum

pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dengan yang tidak terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2012?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan kadar kreatinin serum pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dengan yang tidak terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012.

2. Tujuan Khusus

a) Mengetahui kadar kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012.

b) Mengetahui kadar kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang tidak terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012.


(22)

5

c) Mengetahui perbedaan kadar kreatinin serum pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dengan yang tidak terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012.

D. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Bagi peneliti

Menambahkan pengetahuan dan informasi bagi peneliti tentang penyakit diabetes melitus terutama tentang penyakit ginjal pada pasien diabetes melitus dengan gula darah terkontrol dan tidak terkontrol berdasarkan kadar HbA1C dan kadar kreatinin serumnya.

2. Bagi para klinisi

Sebagai sumber informasi kepada para klinisi di rumah sakit tentang penyakit ginjal pada pasien diabetes melitus dengan gula darah terkontrol dan tidak terkontrol berdasarkan kadar HbA1C dan kadar kreatinin serumnya.

3. Bagi penelitian lain

Sebagai sumber referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kadar kreatinin serum pada pasien diabetes melitus dengan kadar gula darah terkontrol dan tidak terkontrol.


(23)

4. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang pasien diabetes melitus yang menjalani terapi agar dapat mencegah atau memperlambat perkembangan komplikasi mikrovaskular terutama penyakit ginjal pada diabetes melitus.


(24)

7

E. Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka Teori (Hendromartono,2009), Pathogenesis nefropati diabetik. (disadur dari Cooper ME, Gilbert RE: Pathogenesis, Prevention, And Treatment of Diabetic Nephropaty, 2003)

Metabolik

Sitokin Transforming Vascular Growth Endothelial Factor Β Growth Factor

Genetik

Protein kinase C

Kadar kreatinin serum meningkat

Hormon-hormon vasoaktif (mis. Angiotenin II, endotelin)

Aliran/tekanan Glukosa

Advanced glycation

Extracellular matrix (ECM) cross-linking

ECM

Penimbunan ECM

Hemodinamik

Permeabilitas pembuluh darah

Proteinuria

Nefropati Diabetik Penurunan fungsi ginjal


(25)

F. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

G. Hipotesis

Terdapat peningkatan kadar kreatinin serum yang bermakna pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak terkontrol dibandingkan dengan penderita diabetes melitus yang terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012.

Diabetes melitus

Kadar gula darah terkontrol

Kadar gula darah tidak terkontrol

Kadar kreatinin serum

Kadar kreatinin serum


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi

Diabetes melitus (DM) didefenisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005).

2. Klasifikasi

Diabetes melitus dapat dibagi menjadi, diabetes melitus tipe I, diabetes melitus tipe II, diabetes gestasional dan diabetes dengan tipe spesifik lain. Diabetes tipe I adalah disebabkan sel beta pankreas yang dirusakkan secara permanen akibat proses autoimun. Diabetes melitus tipe II mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dan merupakan akibat dari resistensi insulin. Diabetes gestasional pula merupakan diabetes yang didapat sewaktu


(27)

mengandung dan yang terakhir adalah diabetes dengan tipe spesifik yang lain. Diabetes ini terjadi akibat sekunder dari penyakit-penyakit lain, contohnya sindrom Cushing’s, pankreatitis dan akromegali (NIH, 2008).

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes melitus (ADA 2009)

1. Diabetes melitus tipe 1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut A. Melalui proses imunologik

B. Idiopatik

2. Diabetes melitus tipe 2

Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin

3. Diabetes melitus tipe lain

A. Defek genetik fungsi sel beta

 Kromosom 12, HNF-α (dahulu MODY 3)

 Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)

 Kromosom 20, HNF-α (dahulu MODY 1)

 Kromosom 13, insulin promoter faktor (IPF dahulu MODY 4)

 Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

 Kromosom 2, neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA mitokondria

 Lainnya

B. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom rabson mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya

C. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma /pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati, fibrokalkulus, lainnya.

D. Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.

E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, lainnya.

F. Infeksi : rubella kongenital, CMV.

G. Imunologi (jarang) : sindrom “Stiffman”, antibody antireseptor insulin.

H. Sindrom genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s ataksia Friedreich’s, chorea Huntington, porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya.

4. Diabetes Kehamilan

Sumber: Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes melitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2009. Hal: 1880-1883


(28)

11

3. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik insufisiensi fungsi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk (Price, S.A. and Wilson, L.M., 2005).

Simptom lain adalah hiperglikemik termasuk gangguan penglihatan, keletihan, parestesis dan infeksi kulit. Gangguan penglihatan terjadi apabila lensa dan retina selalu mengalami efek hiperosmotik akibat dari peningkatan glukosa dalam darah. Plasma volume yang rendah menyebabkan badan lemah dan letih. Parestesis menandakan adanya disfungsi sementara pada saraf sensorik perifer. Infeksi kulit kronik sering terjadi pada pasien diabetes tipe II. Hiperglikemik dan glikosuria selalu menyebabkan jangkitan jamur. Manakala pruritus dan vulvovaginitis terjadi akibat infeksi candida yang selalu menjadi keluhan wanita dengan diabetes (Porth, 2006).


(29)

4. Patofisiologi

Seperti mesin, tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel badan dapat berfungsi dengan baik. Energi pada mesin berasal dari bahan bakar yaitu bensin. Pada manusia bahan bakar itu berasal dari bahan makanan yang kita makan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat (gula dan tepung-tepungan), protein (asam amino) dan lemak (asam lemak) (Waspadji, dkk, 2002).

Pengolahan bahan makanan dimulai di mulut kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan itu makanan dipecah menjadi bahan dasar makanan. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Agar dapat berfungsi sebagai bahan bakar, makanan itu harus masuk dulu ke dalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peran yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas (Waspadji, dkk, 2002).


(30)

13

Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu :

1. Rusaknya sel-sel β pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia tertentu, dll).

2. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas. 3. Desensitasi/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan

perifer (Manaf, 2006).

Diabetes melitus tipe 2, yang juga disebut diabetes melitus tidak tergantung insulin, disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap efek metabolik insulin, penurunan sensitivitas terhadap insulin ini disebut sebagai resistensi insulin. DM tipe 2 dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal ini terjadi sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek metabolik insulin. Penurunan sensitivitas insulin mengganggu penggunaan dan penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan merangsang peningkatan sekresi insulin sebagai upaya kompensasi (Guyton, 2007)

Perkembangan resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa biasanya terjadi secara bertahap, yang dimulai dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Akan tetapi, mekanisme yang menghubungkan obesitas dengan resistensi insulin masih belum pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah reseptor insulin di otot rangka, hati, dan


(31)

jaringan adipose pada orang obese lebih sedikit daripada jumlah reseptor pada orang kurus. Namun kebanyakan resistensi insulin agaknya disebabkan kelainan jaras sinyal yang menghubungkan reseptor yang teraktivasi dengan berbagai efek selular. Gangguan sinyal insulin agaknya disebabkan efek toksik dari akumulasi lipid di jaringan seperti otot rangka dan hati akibat kelebihan berat badan (Guyton, 2007).

Aktivitas insulin yang rendah baik karena defisiensi maupun resistensi akan menyebabkan ;

a. Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Karena sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin, timbul keadaan ironis, yakni terjadi kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa intrasel - “kelaparan di lumbung padi”.

b. Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi akan menyebabkan glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan glukosuria.

c. Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O bersamanya. Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria (sering berkemih).

d. Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi


(32)

15

perifer karena volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki dapat menyebabkan kematian karena penurunan aliran darah ke otak atau menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat.

e. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik. Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.

f. Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan “sel kelaparan” akibatnya nafsu makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan yang berlebihan).

g. Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan penurunan sintesis trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan menyebabkan mobilisasi besar-besaran asam lemak dari simpanan trigliserida. Peningkatan asam lemak dalam darah sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel.

h. Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan pergeseran netto kearah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan otot rangka lisut dan melemah sehingga terjadi penurunan berat badan (Sherwood, 2001).


(33)

5. Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai darah utuh (whole blood), Vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler (Purnamasari, D. 2009).

Tabel 2. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM

Belum pasti DM DM Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl) Plasma vena Darah kapiler <100 <90 100-199 90-199 ≥200 ≥200 Kadar glukosa darah puasa (mg/dl) Plasma vena Darah kapiler <100 <90 100-125 90-99 ≥126 ≥100 Sumber: Soegondo S, Rudianto A, Manaf A, Subekti I, Pranoto A, Arsana PM, Permana H. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta: PB PERKENI. 2006

PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa


(34)

17

darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melaui cara:

Tabel 3. Kriteria Diagnosis DM

1. Gejala klasik DM +glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

Atau

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam 3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara denga 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Sumber: Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes melitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2009. Hal: 1880-1883

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):

 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan

sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa

 Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,

minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan  Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa

 Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1.75 gram/kgBB

(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit  Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan


(35)

 Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

 Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan

tidak merokok

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:

 <140 mg/dL : Normal

 140-<200 mg/dL : Toleransi Glukosa Terganggu  ≥200 mg/dL : Diabetes Melitus

6. Penatalaksanaan

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes melitus terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakoogis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya (Yunir E, Soebardi S. 2009).


(36)

19

Sediaan Obat Hipoglikemik Oral terbagi menjadi 3 golongan:

a. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin atau merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin). Contoh-contoh senyawa dari golongan ini adalah Gliburida/Glibenklamid, Glipizida, Glikazida, Glimepirida, Glikuidon, Repaglinide, Nateglinide.

b. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara efektif. Contoh-contoh senyawa dari golongan ini adalah Metformin, Rosiglitazone, Troglitazone, Pioglitazone.

c. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain Inhibitor α-glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial. Contoh-contoh senyawa dari golongan ini adalah Acarbose dan Miglitol (Ditjen Bina Farmasi dan ALKES, 2005).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan Obat Hipoglikemik Oral:

a. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap.

b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat tersebut.


(37)

c. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.

d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan untuk beralih pada insulin.

e. Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut usia, oleh sebab itu sebaiknya obat hipoglikemik oral yang bekerja jangka panjang tidak diberikan pada penderita lanjut usia.

f. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita (Ditjen Bina Farmasi dan ALKES, 2005).

Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO atau OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri (Ditjen Bina Farmasi dan ALKES, 2005).


(38)

21

7. Komplikasi

Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor: (1) komplikasi metabolik akut, dan (2) komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang (Price, 2005).

a. Komplikasi metabolik akut

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah ketoasidosis diabetik (KAD). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetosal, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat KAD saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan KAD dapat dilakukan sedini mungkin (Price, 2005).


(39)

KAD ditangani dengan (1) perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin, (2) pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan (3) pengobatan keadaan yang mungkin mempercepat ketoasidosis. Pengobatan dengan insulin (regular) masa kerja singkat—diberikan melalui infus intravena kontinu atau suntikan intramuskular yang sering—dan infus glukosa dalam air atau salin akan meningkatkan penggunaan glukosa, mengurangi lipolisis dan pembentukan benda keton, serta memulihkan keseimbangan asam-basa. Selain itu, pasien juga memerlukan penggantian kalium. Karena infeksi berulang dapat meningkatkan kebutuhan insulin pada penderita diabetes, maka tidak mengherankan kalau infeksi dapat mempercepat terjadinya dekompensasi diabetik akut dan KAD. Dengan demikian, pasien dalam keadaan ini mungkin perlu diberi pengobatan antibiotika (Price, 2005).

Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 2. Hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600 mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit, dan insulin regular. Perbedaan utama antara HHNK dan KAD adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis (Price, 2005).


(40)

23

Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia, terutama komplikasi terapi insuin. Pasien diabetes dependen insulin mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal, yang mengakibatkan terjadinya hipoglikemia. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian. Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena. Kadang-kadang diberikan glukagon, suatu hormon glikogenolisis secara intramuskular untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Hipoglikemia akibat pemberian insulin pada pasien diabetes dapat memicu pelepasan hormon pelawan regulator (glukagon, epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) yang seringkali meningkatkan kadar glukosa dalam kisaran hiperglikemia (efek Somogyi). Kadar glukosa yang naik turun menyebabkan pengontrolan diabetik yang buruk. Mencegah hipoglikemia adalah dengan menurunkan dosis insulin (Price, 2005).


(41)

b. Komplikasi kronik

Komplikasi jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil—mikroangiopati—dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar—makroangiopati. Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerolus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar. Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular ini. Gangguan-gangguan ini berupa: (1) penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan pembentukan darah. Pada akhirnya, makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangrene pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium (Price, 2005).


(42)

25

8. Peranan HbA1c pada diabetes melitus

HbA1c adalah spesifik hemoglobin terglikasi yang terbentuk akibat adanya penambahan glukosa terhadap asam amino valin N-terminal pada rantai â-hemoglobin. Konsentrasi hemoglobin terglikasi (HbA1c) ini tergantung paada konsentrasi glukosa darah dan masa hidup eritrosit. HbA1c biasanya dinyatakan sebagai persentase dari total hemoglobin. Korelasi antara nilai HbA1c dengan perkiraan rata-rata glukosa plasma adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Korelasi HbA1c Dengan Perkiraan Rata-Rata Glukosa Plasma

HbA1c (%) eAG (mg/dl) eAG (mmol/L)

6 126 7.0

7 154 8.6

8 183 10.1

9 212 11.8

10 240 13.4

11 269 14.9

12 298

Korelasi antara nilai HbA1c dengan rata-rata glukosa plasma tersebut berdasarkan hitungan formula konversi yang merupakan hasil studi multinational ADAG (A1c Derived Average Glucose) yang didukung oleh American Diabetes Association (ADA), European Association for the Study of Diabetes (EASD) dan International Diabetes Federation (IDF):

Average plasma glucose (mg/dl) = 28,7xHbA1c—46,7  Average plasma glucose (mmol/L) = 1,59xHbA1c—2,59 (Setiawan M, 2011)


(43)

Pada masa kini banyak metoda yang digunakan dalam menentukan kadar HbA1c, yang utama adalah teknik High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan immunoassay. Metoda HPLC mampu mendeteksi hemoglobin abnormal dan memiliki reprodusibilitas yang baik dengan CV < 1%, namun kelemahan metoda ini adalah memerlukan alat yang khusus, tenaga yang ahli dan waktu yang lama sehingga tidak bisa digunakan di rumah sakit dengan sampel pemeriksaan HbA1c yang banyak. Sebaliknya metoda immunoassay dapat digunakan pada instrument otomatik, tidak memerlukan tenaga ahli serta hemat waktu namun kekurangannya pengukuran glikohemoglobin dan hemoglobin total mesti terpisah dan reprodusibilitas tidak sebaik metoda HPLC dengan CV sekitar 3-5%. Selain itu kurva kalibrasi tidak stabil untuk 24 jam sehingga perlu dikalibrasi lagi (Anonim, 2012).

HbA1c yang terbentuk akan tersimpan dan tetap bertahan didalam sel darah merah selama 8-12 minggu, sesuai dengan masa hidup sel darah merah. Dengan demikian, Pemeriksaan HbA1c merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Jumlah HbA1c yang terbentuk bergantung pada kadar glukosa di dalam darah sehingga hasil pemeriksaan HbA1c dapat menggambarkan rata-rata kadar glukosa darah selama 3 bulan terakhir. Kadar HbA1c diabetes melitus yang terkontrol adalah <7% dan diabetes melitus yang tidak terkontrol adalah


(44)

27

>7%. Pemeriksaan HbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal dua kali dalam setahun (PERKENI, 2011).

B. Kreatinin

Kreatinin adalah anhidrida dari kreatin, ia dibentuk sebagian besar dalam otot dengan pembuangan air dari kreatinfosfat secara tak reversibel dan non enzimatik. Kreatinin bebas terdapat dalam darah dan urin. Pembentukan kreatinin rupanya adalah langkah permulaan yang diperlukan untuk ekskresi sebagian besar kreatinin (Harper H.A, 2009).

Kreatinin berasal dari pemecahan keratin fosfat otot. Kadar kreatinin darah menggambarkan fungsi ginjal secara lebih baik, lebih stabil daripada kadar ureum darah. Kreatinin umumnya dianggap tidak dipengaruhi oleh asupan protein namun sebenarnya ada pengaruh diet terutama protein tetapi tidak sebesar pengaruhnya terhadap kadar ureum. Kreatinin terutama dipengaruhi oleh massa otot. Karena itu kadar kreatinin darah lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, meningkat pada atlit dengan massa otot banyak, dan juga pada kelainan pemecahan otot (rhabdomiolisis), sebaliknya kadar kreatinin menurun pada orang usia lanjut yang massa ototnya berkurang. Obat obatan seperti sefalosporin, aldacton, aspirin dan co-trimexazole dapat mengganggu sekresi kreatinin sehingga meninggikan kadar kreatinin darah ( Sukandar E, 1997 ).


(45)

Pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menilai fungsi ginjal, karena konsentrasi dalam plasma dan ekskresinya di urin dalam 24 jam relatif konstan. Kadar kreatinin darah yang lebih besar dari normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal. Nilai kreatinin normal pada metode Jaffe reaction adalah laki-laki 0,7 sampai 1,2 mg/dl; wanita 0,6 sampai 1,1 mg/dl (Sodeman, 1995).

Tabel 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin (National Kidney Foundation, 2002)

Faktor Pengaruh Terhadap Kadar

Kreatinin

Mekanisme dan Catatan Usia tua

Perempuan

Merendahkan Merendahkan

Massa otot berkurang Massa otot lebih rendah daripada laki-laki

Ras

Amerika afrika Meningkatkan Massa otot lebih banyak daripada kaukasia

Diet

Diet vegetarian

Makan daging masak

Merendahkan

Meningkatkan

Kurang menghasilkan kreatinin

Peningkatan sementara produksi kreatinin, tetapi dapat tertutupi oleh peningkatan sementara GFR Habitus badan Berotot Malnutrisi Otot berkurang Amputasi Obesitas Meningkatkan Merendahkan Tiada perubahan

Peningkatan produksi kreatinin karena peningkatan massa otot ± peningkatan asupan protein Peningkatan produksi kreatinin karena peningkatan massa otot ± peningkatan asupan protein Massa lemak tidak mempengaruhi kreatinin


(46)

29

C. Penyakit ginjal pada diabetes melitus

Gagal ginjal tahap akhir tetap menjadi salah satu komplikasi yang paling serius DM yang pada akhirnya memerlukan tindakan pengganti ginjal dengan dialisis atau dengan transplantasi ginjal. Risiko mendapatkan gagal ginjal tahap akhir telah dilaporkan lebih dari 13 kali lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan yang bukan DM dan insidensi dialisis pasien DM 12 kali lebih besar pada pasien DM daripada non-DM dan begitu menjalani dialisis, pasien-pasien dengan DM memiliki angka survival lebih rendah dibanding pasien non-DM. Diketahui bahwa lebih dari 50% penyebab kematian pada penyakit ginjal adalah kelainan kardiovaskuler (Rismauli, 2008).

Penyakit ginjal diabetik atau nefropati diabetik didefenisikan sebagai proteinuria yang menetap >500mg/24jam atau albuminuria > 300mg/24jam dan biasanya dihubungkan dengan terjadinya hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (Donaghue KC. 2007).

1. Patofisiologi

Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik dan hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan pada ND memperlihatkan adanya penebalan membran


(47)

basal glomerolus, ekspansi mesangial glomerolus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstisial. Tampaknya berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor-faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap membran basal dapat melalui 2 jalur (Sunaryanto, 2010).

a. Alur Metabolik (Metabolic Pathway)

Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-products). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada glomerolus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada jalur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inosistol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal (Sunaryanto, 2010).

Mekanisme Polyol Pathway

Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk


(48)

31

glukosa. Aldose reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan tambahan stres oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa menggunakan NAD ־sebagai kofaktor (Sunaryanto, 2010).

Mekanisme AGE’s

Mekanisme melalui produksi intraselular prekursor AGE (Advanced Glycation End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Perubahan ikatan kovalen protein intraseluler oleh prekursor dicarbonyl AGE akan menyebabkan perubahan pada fungsi selular. Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein ekstraseluler mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks protein yang lain dan dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh prekursor AGE membentuk rantai yang akan berikatan dengan reseptor AGE, kemudian menginduksi perubahan pada ekspresi gen pada sel endotel, sel mesangial, danmakrofag (Sunaryanto, 2010).

Mekanisme Protein Kinase C

Keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan DAG (diacylglicerol), yang selanjutnya mengaktivasi protein kinase C,


(49)

utamanya pada isoform β dan δ. Aktivasi PKC menyebabkan beberapa akibat patogenik melalui pengaruhnya terhadap endhothelial nitric oxide synthetase (eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular endothelial growth factor (VEGF), transforming growth factor-β (TGF-β) dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dan aktivasi NF-kB dan NAD(P)H oksidase (Sunaryanto, 2010).

b. Alur Hemodinamik

Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali dengan peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II. Angiotensin II juga berperan dalam perjalanan ND. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara lain merangsang vasokonstriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol glomerolus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor von willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana


(50)

33

pada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada awal bahkan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati tetapi mempercepat progresivitas kearah GGT pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney disease (Sunaryanto, 2010).

Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF-β yang akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF-β juga akan meningkatkan akumulasi matrik ektraselular yang berperan dalam terjadinya ND (Sunaryanto, 2010).

2. Faktor-Faktor Yang Dapat Menyebabkan Timbulnya Penyakit Ginjal Diabetik

Faktor-faktor etiologis yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ginjal diabetik adalah:

 Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140— 160mg/dl; A1c>7-8%)

 Faktor-faktor genetis

 Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi

glomerolus, peningkatan tekanan intraglomerolus)  Hipertensi sistemik

 Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik)  Peradangan


(51)

 Asupan protein berlebih

 Gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan

advanced glycation end products, peningkatan produksi sitokin)  Pelepasan growth factors

 Kelainan metabolisme karbohidrat/lemak/protein

 Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium,

penebalan membran basalis glomerolus)

 Gangguan ion pumps (peningkatan Na+ -H+ pumpdan penurunan Ca 2+ - ATPase pump)

 Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)  Aktivasi protein kinase C (Hendromartono, 2009).

3. Tahapan penyakit ginjal diabetik

Penyakit ginjal diabetik dibagi dalam tahapan sebagai berikut:

 Tahap I: Dimana laju filtrasi glomerulus (LFG) meningkat 40% dari

normal dan ukuran ginjal membesar. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah (TD) normal.Tahap ini masih reversibel dengan pengendalian gula darah yang ketat, fungsi dan struktur ginjal akan kembali normal

 Tahap II ( Silent stage): Perubahan struktur ginjal berlanjut dan LFG masih meningkat. Albuminuria hanya dijumpai pada keadaan stres atau kendali metabolik yang buruk. Progresivitas akan berlanjut bila kendali metabolik terus memburuk. Tetapi hanya sedikit yang berlanjut ketahap berikutnya.


(52)

35

 Tahap III (Incipient diabetik nefropathy): Jelas dijumpai penebalan membran basalis glomerulus. Mikroalbuminuria nyata, LFG masih tinggi dan TD sudah ada yang meningkat. Progresivitas dapat ditahan dengan kendali glukosa dan TD ketat

 Tahap IV: Manifestasi klinik berupa proteinuria yang nyata, TD

meningkat dan LFG menurun dari normal. Komplikasi DM lain dijumpai seperti retinopati, neuropati. Progresivitas masih bisa ditahan.  Tahap V (Gagal ginjal): LFG rendah disertai tanda sindroma uremik dan

memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis dan transplantasi (Harun Rasyid, 2006).

4. Tatalaksana a. Evaluasi

Pada saat diagnosis diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin (Hendromartono, 2009).

Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes adalah diabetik nefropati. Tetapi harus tetap disadari bahwa ada kasus-kasus tertentu yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama jika ada gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah


(53)

kepada penyakit-penyakit glomerolus non-diabetik (hematuria makroskopik, cast sel darah merah dll), atau kalau timbul azotemia bermakna dengan proteinuria derajat sangat rendah , tidak ditemukannya retinopati (terutama pada diabetes melitus tipe 1), atau pada kasus proteinuria yang timbul sangat mendadak serta tidak melalui tahapan perkembangan nefropati. Pada kasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsi ginjal (Hendromartono, 2009).

Tabel 6. Pemantauan Fungsi Ginjal Pada Pasien Diabetes

Tes Evaluasi Awal Follow-Up

Penentuan mikroalbuminuria

Klirens kreatinin

Kreatinin serum

Sesudah pengendalian gula darah awal (dalam 3 bulan diagnosis ditegakkan)

Saat awal diagnosis ditegakkan

Saat awal diagnosis ditegakkan

Diabetes tipe 1: tiap tahun setelah 5 tahun

Diabetes tipe 2: tiap tahun setelah diagnosi ditegakkan

Tiap 1—2 tahun sampai laju filtrasi glomerolus <100ml/mnt/1.73m2, kemudian tiap tahun atau lebih sering.

Tiap tahun atau lebih sering tergantung dari laju penurunan fungsi ginjal

b. Terapi

Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan apakah masih normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria atau makroalbumiuria, tetapi pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui:


(54)

37

1) Pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes)

2) Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat antihipertensi) 3) Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian Angiotensine

Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) dan/atau Angiotensine Receptor Blocker (ARB))

4) Pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain (pengendalian kadar lemak, mengurangi obesitas dll )

Terapi nonfarmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang sehat meliputi olahraga rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi konsumsi alkohol. Olahraga rutin yang dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan sekitar 10-12 menit/km, 4 sampai 5 kali seminggu. Pembatasan asupan garam adalah 4—5 g/hari serta asupan protein hingga 0,8g/kg/berat badan ideal/hari (Hendromartono, 2009).

Pada pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat laju filtrasi glomerolus mencapai 10—12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin <15ml/menit atau serum kreatinin >6mg/dl) dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis), walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan sebaiknya terapi pengganti ginjal ini dimulai. Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal yang lain adalah cangkok ginjal, dan pada kasus nefropati diabetik di Negara maju sudah sering dilakukan cangkok ginjal dan pankreas sekaligus (Hendromartono, 2009).


(55)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitis kategorik-numerik tidak berpasangan yang menggambarkan perbedaan kadar kreatinin serum pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dengan yang tidak terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012 dengan pendekatan potong lintang/cross sectional (Dahlan, 2010).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium Patologi Klinik dan ruang rekam medik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Waktu pengambilan sampel adalah pada bulan Januari sampai dengan Februari 2013.

C. Populasi Penelitian

Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah seluruh pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012.


(56)

39

D. Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini untuk pengambilan sampel digunakan nonprobability sampling dengan metode consecutive sampling yaitu mengambil semua subjek pasien diabetes melitus tipe 2 yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi sampai jumlah subjek minimal terpenuhi sedangkan penentuan jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini (penelitian analitis kategorik-numerik tidak berpasangan) dapat dihitung dengan rumus:

�1 =�2 = 2

� +� �

�1 − �2 2

Keterangan:

� = deviat baku alfa (ditentukan peneliti)

� = deviat baku beta (ditentukan peneliti) S = simpang baku gabungan (kepustakaan)

�1 - �2 = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna (ditentukan peneliti)

(Dahlan, 2010).

Diketahui:

Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5 %, hipotesis 1 arah, sehingga � = 1,64 Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20 %, hipotesis 1 arah, maka � = 0,84 Selisih minimal rerata yang dianggap bermakna (�1 - �2) = 0,1


(57)

Dengan memasukan angka-angka tersebut kedalam rumus, akan diperoleh:

�1 =�2 = 2

� +� �

�1 − �2 2

= 2 1,64 + 0,84 0,23 0,1

2

= 32,53 ( dibulatkan menjadi 33 )

Dengan demikian besar sampel minimal adalah 33 untuk masing-masing kelompok.

E. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pasien diabetes melitus tipe 2 berjenis kelamin laki-laki. 2. Usia <65 tahun

3. Diketahui kadar HbA1C dan kadar kreatinin serum-nya

F. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pasien diabetes melitus selain tipe 2.

2. Mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi kadar kreatinin serum

G. Variabel Penelitian

Variabel bebas dari penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol di RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek Bandar


(58)

41

Lampung. Sedangkan variabel terikat dari penelitian ini adalah kadar kreatinin serum.

H. DefinisiOperasional Tabel 7. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Hasil pengukuran Skala Variabel Bebas:

Pasien diabetes melitus tipe 2

Pasien yang telah terdiagnosa penyakit diabetes melitus tipe 2

Terkontrol: Pasien diabetes melitus tipe 2 dengan kadar HbA1C bernilai < 7% (Perkeni,2006). Tidak terkontrol: Pasien diabetes melitus tipe2 dengan kadar HbA1C bernilai >7% (Perkeni,2006). Kategorik Variabel Terikat:

Kreatinin serum Kadar kreatinin serum pasien

Kadar kreatinin serum pasien

Numerik

I. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah data rekam medis pasien.

J.Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data adalah data sekunder yang diperoleh dan dikumpulkan dengan melihat catatan rekam medik pasien Diabetes Melitus tipe 2 di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, Bandar Lampung tahun 2012.


(59)

K. Alur Penelitian

Gambar 3. Alur Penelitian

L. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan komputer dan dianalisis dengan menggunakan program software SPSS. Teknik analisis yang digunakan adalah dengan cara :

1. Analisis Univariat, untuk mendeskripsikan masing-masing variabel, baik variabel terikat maupun variabel bebas dari kelompok kasus.

Penelusuran pustaka

Peminjaman rekam medik pasien diabetes melitus tipe 2 di ruang rekam medik dan laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek

Bandar Lampung

Pengambilan data Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi

Persiapan

Pengolahan data


(60)

43

2. Uji normalitas sebaran sampel dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov karena jumlah sampel ≥50 orang.

3. Analisis Bivariat, untuk uji hipotesis komparatif variabel numerik dua kelompok tidak berpasangan uji yang digunakan adalah uji T tidak berpasangan (uji parametri) untuk mengetahui perbedaan kadar kreatinin serum pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dengan yang tidak terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung jika memenuhi syarat. Yaitu, data harus berdistribusi normal, varians data boleh sama, boleh juga tidak sama. Jika tidak memenuhi syarat maka dilakukan terlebih dahulu transformasi data. Jika variabel baru hasil transformasi berdistribusi normal, maka dipakai uji t tidak berpasangan. Jika variabel baru hasil transformasi tidak berdistribusi normal maka digunakan uji alternatifnya yaitu uji Mann Whitney (uji nonparametrik) (Dahlan, 2011).


(61)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan :

1. Rerata kadar kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012 adalah 0,819±0,182 mg/dl

2. Rerata kadar kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang tidak terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012 adalah 0,967±0,265

3. Secara statistik terdapat perbedaan kadar kreatinin serum yang bermakna pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dibandingkan dengan yang tidak terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012 dengan nilai p=0,002

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut ini saran yang dapat diberikan oleh peneliti:

1. Penelitian lanjutan yang lebih baik dapat dilakukan dengan menggunakan data primer dan mengendalikan faktor perancu lain yang belum dapat


(62)

54

dikendalikan dalam penelitian ini seperti seperti hipertensi, merokok, asupan nutrisi, dan obat-obatan yang dikonsumsi.

2. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang penyakit ginjal diabetik, dengan variabel lain sebagai pemantau fungsi ginjal seperti mikroalbuminuria dan kreatinin klirens. 3. Dokter sebagai klinisi dianjurkan mengedukasi pasien diabetes melitus

untuk mengevaluasi hasil pengendalian glukosa darah dengan melakukan pemeriksaan kadar HbA1c, dan juga melakukan pemantauan fungsi ginjal tiap tahunnya.

4. Bagi pasien diabetes melitus tipe diharapkan agar dapat mengendalikan kadar glukosa darahnya untuk mencegah progresivitas komplikasi diabetes.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Metoda dan Prinsip Pemeriksaan HbA1C. http://www.sysmex.co.id/resource/file/NewsletterArchive/SINE/infinity%252 0online%2520OCT%252012.pdf (13 April 2013).

American Diabetes Association. 2009. Executive Summary: Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care.

American Diabetes Association. 2004. Global Prevalence Of Diabetes Estimates For The Year 2000 And Projection For 2020. Diabetes Care.

Arsono, Soni. 2005.Diabetes Melitus Sebagai Faktor Resiko Kejadian Gagal Ginjal Terminal. Universitas Diponegoro. Semarang.

Corwin Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. EGC, Jakarta.

Dahlan, Sopiyudin. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Edisi Ke-3. Salemba Medika, Jakarta.

Dahlan, Sopiyudin. 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi Ke-5. Salemba Medika, Jakarta.

DEPKES RI. 2008. Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik. Jakarta.

Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.


(64)

56

Donaghue KC. Chiarelli F. Trotta D. Allgrove J. Dahl-Jorgensen. 2007. Microvascular and macrovasculer complications. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2006-2007. Pediatric Diabetes. 8: 163-170

Fukushima, M., Suzuki, H. Seino, Y. 2004. Insulin Secretion Capacity In The Development From Normal Glucose Tolerance To Type 2 Diabetes. Diabetes Res Clin Pract, 66 Suppl 1, S37-43

Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran; alih bahasa, Irawati [et al]; editor bahasa Indonesia, Luqman Yanuar Rachman [et al]. Edisi 11. EGC, Jakarta.

Harun Rasyid Lubis. 2006. Penyakit Ginjal Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jilid I Edisi keempat. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hlm. 545 – 547

Hendromartono. 2009. Nefropati Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hlm. 1942-1946

Locatelli F. Pozzoni P. Del vecchio L. 2004. Renal Replacement Therapy in Patients with Diabetes and End-Stage Renal Disease. J Am Soc Nephrol. 15: S25-9

Manaf, Asman. 2006. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolism. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Massary S, Feinstein E, And Goldstein D. 1979. Early Dialysis in Diabetic Patiens With Chronic Renal Failure. Nephron. 23.: 2-5

Mogensen, C.E. 2000. Microalbuminuria, blood pressure and diabetic renal disease: origin and development of ideas. In: Mogensen CE, ed. The kidney and hypertension in diabetes mellitus. 5th ed. Boston Kluwer. Pp 655-706.

National Institute of Health (NIH). 2008. National Diabetes Information Cleaninghouse. Diabetes Overview.


(65)

Naveen. P , Kannan. N , Vamseedhar Annam , Bhanu Prakash. G , Aravind Kumar. R. 2012. Evaluation of Glycated hemoglobin and Microalbuminuria as early risk markers of Nephropathy in Type 2 Diabetes Mellitus. Int J Biol Med Res. 2012; 3(2): 1724-1726

Pandelaki, Karel. 2009. Retinopati Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hlm. 1930-1936

PB PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Di Indonesia 2006. PB PERKENI. Jakarta.

Porth CM. 2006. Diabetes Melitus And The Metabolic Syndrome. In Essential Pathophysiology Concept Of Altered Health States. 2nd Edition. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia, P699-721.

Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed.6. EGC. Jakarta.

Purnamasari D. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hlm. 1880-1883

Rasyid, Harun. 2009. Penyakit Ginjal Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hlm. 979-982

Rismauli Doloksaribu. 2008. Pola Tekanan Darah 24 Jam Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Sebab Nefropati diabetic yang menjalani hemodialisa regular. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik / RSUD Dr Pirngadi. Medan.

Setiawan, Meddy. 2011. Pre-Diabetes Dan Peran Hba1c Dalam Skrining Dan Diagnosis Awal Diabetes Melitus. Universitas Muhammadiyah. Malang. 7: 14

Shahab, Alwi. 2009. Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hlm. 1937-1941


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan :

1. Rerata kadar kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012 adalah 0,819±0,182 mg/dl

2. Rerata kadar kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang tidak terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012 adalah 0,967±0,265

3. Secara statistik terdapat perbedaan kadar kreatinin serum yang bermakna pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dibandingkan dengan yang tidak terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode tahun 2012 dengan nilai p=0,002

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut ini saran yang dapat diberikan oleh peneliti:

1. Penelitian lanjutan yang lebih baik dapat dilakukan dengan menggunakan data primer dan mengendalikan faktor perancu lain yang belum dapat


(2)

54

dikendalikan dalam penelitian ini seperti seperti hipertensi, merokok, asupan nutrisi, dan obat-obatan yang dikonsumsi.

2. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang penyakit ginjal diabetik, dengan variabel lain sebagai pemantau fungsi ginjal seperti mikroalbuminuria dan kreatinin klirens. 3. Dokter sebagai klinisi dianjurkan mengedukasi pasien diabetes melitus

untuk mengevaluasi hasil pengendalian glukosa darah dengan melakukan pemeriksaan kadar HbA1c, dan juga melakukan pemantauan fungsi ginjal tiap tahunnya.

4. Bagi pasien diabetes melitus tipe diharapkan agar dapat mengendalikan kadar glukosa darahnya untuk mencegah progresivitas komplikasi diabetes.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Metoda dan Prinsip Pemeriksaan HbA1C. http://www.sysmex.co.id/resource/file/NewsletterArchive/SINE/infinity%252 0online%2520OCT%252012.pdf (13 April 2013).

American Diabetes Association. 2009. Executive Summary: Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care.

American Diabetes Association. 2004. Global Prevalence Of Diabetes Estimates For The Year 2000 And Projection For 2020. Diabetes Care.

Arsono, Soni. 2005.Diabetes Melitus Sebagai Faktor Resiko Kejadian Gagal Ginjal Terminal. Universitas Diponegoro. Semarang.

Corwin Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. EGC, Jakarta.

Dahlan, Sopiyudin. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Edisi

Ke-3. Salemba Medika, Jakarta.

Dahlan, Sopiyudin. 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi Ke-5. Salemba Medika, Jakarta.

DEPKES RI. 2008. Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit

Metabolik. Jakarta.

Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit


(4)

56

Donaghue KC. Chiarelli F. Trotta D. Allgrove J. Dahl-Jorgensen. 2007.

Microvascular and macrovasculer complications. ISPAD Clinical Practice

Consensus Guidelines 2006-2007. Pediatric Diabetes. 8: 163-170

Fukushima, M., Suzuki, H. Seino, Y. 2004. Insulin Secretion Capacity In The Development From Normal Glucose Tolerance To Type 2 Diabetes. Diabetes

Res Clin Pract, 66 Suppl 1, S37-43

Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran; alih bahasa, Irawati [et al]; editor bahasa Indonesia, Luqman Yanuar Rachman [et al]. Edisi 11. EGC, Jakarta.

Harun Rasyid Lubis. 2006. Penyakit Ginjal Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. jilid I Edisi keempat. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hlm.

545 – 547

Hendromartono. 2009. Nefropati Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hlm. 1942-1946

Locatelli F. Pozzoni P. Del vecchio L. 2004. Renal Replacement Therapy in

Patients with Diabetes and End-Stage Renal Disease. J Am Soc Nephrol. 15:

S25-9

Manaf, Asman. 2006. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolism. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Massary S, Feinstein E, And Goldstein D. 1979. Early Dialysis in Diabetic

Patiens With Chronic Renal Failure. Nephron. 23.: 2-5

Mogensen, C.E. 2000. Microalbuminuria, blood pressure and diabetic renal disease: origin and development of ideas. In: Mogensen CE, ed. The kidney and hypertension in diabetes mellitus. 5th ed. Boston Kluwer. Pp 655-706.

National Institute of Health (NIH). 2008. National Diabetes Information Cleaninghouse. Diabetes Overview.


(5)

Naveen. P , Kannan. N , Vamseedhar Annam , Bhanu Prakash. G , Aravind Kumar. R. 2012. Evaluation of Glycated hemoglobin and Microalbuminuria

as early risk markers of Nephropathy in Type 2 Diabetes Mellitus. Int J Biol

Med Res. 2012; 3(2): 1724-1726

Pandelaki, Karel. 2009. Retinopati Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hlm. 1930-1936

PB PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Di Indonesia 2006. PB PERKENI. Jakarta.

Porth CM. 2006. Diabetes Melitus And The Metabolic Syndrome. In Essential

Pathophysiology Concept Of Altered Health States. 2nd Edition. Lippincott

William & Wilkins. Philadelphia, P699-721.

Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Ed.6. EGC. Jakarta.

Purnamasari D. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Dalam: Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hlm.

1880-1883

Rasyid, Harun. 2009. Penyakit Ginjal Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hlm. 979-982

Rismauli Doloksaribu. 2008. Pola Tekanan Darah 24 Jam Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Sebab Nefropati diabetic yang menjalani hemodialisa regular. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik / RSUD Dr Pirngadi. Medan.

Setiawan, Meddy. 2011. Pre-Diabetes Dan Peran Hba1c Dalam Skrining Dan

Diagnosis Awal Diabetes Melitus. Universitas Muhammadiyah. Malang. 7:

14

Shahab, Alwi. 2009. Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner. Dalam:

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hlm.


(6)

58

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. EGC. Jakarta.

Sodeman. 1995. Patofisiologi sodeman: mekanisme penyakit, editor, joko suyono, hipocrates. Jakarta.

Soegondo S, Rudianto A, Manaf A, Subekti I, Pranoto A, Arsana PM, Permana H. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006. PB PERKENI. Jakarta.

Soeparman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Subekti, Imam. 2009. Neuropati Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hlm. 1947-1951

Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik, Edisi III. Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unpad/RS Hasan Sadikin. Bandung

Sunaryanto, A. 2010. Penatalaksanaan Penderita Dengan Diabetic Nefropathy. Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah. Denpasar.

Suwitra, Ketut. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hlm. 1035-1040

Waspadji, S., dkk. 2002. Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm. 7-8

Waspadji, S. 2009. Komplikasi Kronik DM: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hlm. 1922-1929

Yunir E, Soebardi S. 2009. Terapi Non Farmakologis Pada Diabetes Mellitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hlm 1891-1895