Penyesuaian Diri Penderita Komplikasi Diabetes Mellitus Setelah Amputasi

(1)

PENYESUAIAN DIRI PENDERITA KOMPLIKASI DIABETES

MELLITUS SETELAH AMPUTASI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

CAHYANTI MANDASARI HASIBUAN

041301047

FAKULTAS PSIKOLOGI


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Penyesuaian Diri Penderita Komplikasi Diabetes Mellitus Setelah Amputasi adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari karya orang lain, telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juni 2010

CAHYANTI MANDASARI HASIBUAN NIM 041301047


(3)

Penyesuaian Diri Penderita Komplikasi Diabetes Mellitus Setelah Amputasi Cahyanti Mandasari Hasibuan dan Rodiatul Hassanah Siregar, M.Si

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang penyesuaian diri penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi. Mengingat betapa pentingnya melakukan penyesuaian diri bagi penderita komplikasi diabetes mellitus karena terjadi perubahan-perubahan dalam kehidupannya setelah melakukan amputasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan oleh subjek. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak dua orang dengan karakteristik individu yang menderita komplikasi diabetes mellitus yang sudah diamputasi dan berdomisili di Medan. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori / konstruk operasional (theory-based / operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek I menunjukkan gambaran penyesuaian diri yang efektif, karena memiliki lima karakteristik penyesuaian diri yang efektif. Sedangkan subjek II tidak menunjukkan gambaran penyesuaian diri yang efektif, karena hanya memiliki tiga karakteristik penyesuaian diri yang efektif. Saran bagi penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi agar melakukan penyesuaian diri dengan segala perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupannya, dapat berfikir positif tentang kondisinya, melakukan pendekatan spiritual kepada Tuhan, dan mengembangkan cara untuk mengatasi stres yang mungkin terjadi dalam kehidupannya. Saran bagi pihak keluarga adalah dapat memberikan dukungan baik moril dan materil, dapat merawat dengan baik, menerima kondisi mereka yang sudah diamputasi guna membantu penderita komplikasi diabetes mellitus menyesuaikan diri setelah diamputasi.

Kata kunci : penyesuaian diri, individu yang menderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT., berkat hidayah dan curahan kasih sayang-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penyesuaian Diri Penderita Komplikasi Diabetes Mellitus Setelah Amputasi.” Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW. serta orang-orang yang beriman di jalan-Nya.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada ibunda tercinta (Hj. Supiaty Silalahi) dan ayahanda tersayang (H. Muchtar Hasibuan) atas segala do’a, dukungan dan kasih sayangnya dalam membimbing penulis selama ini. Semoga ALLAH SWT selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat. Kepada abang dan kakak-kakakku (Iskandar Zulkarnain Hasibuan, SP., Susanti Andiana Hasibuan, SE., dan Elvina Sari Hasibuan, SKM) penulis ucapkan terima kasih banyak atas segala perhatian dan dukungannya. Semoga kita bisa memberi yang terbaik untuk kedua orangtua tercinta. Amin.

Terselesaikannya proposal penelitian ini tentu tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. dr. Chairul Yoel, Sp. A(K)., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Rodiatul Hassanah Siregar, M. Si., psikolog. selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih banyak atas segala bimbingan, dukungan dan bantuan yang telah ibu berikan demi suksesnya penelitian ini. Penulis minta maaf yang sebesar-besarnya bila selama proses penelitian ini pernah membuat ibu kesal.


(5)

Semoga Allah SWT selalu membalas setiap kebaikan ibu dengan pahala yang melimpah. Amin.

3. Ibu Eka Ervika, M.Si., psi., M. Si, selaku dosen penguji I dan Ibu Juliana Irmayanti Saragih, M. Si, selaku dosen penguji III. Terima kasih penulis ucapkan atas saran dan masukan yang diberikan kepada penulis.

4. Ibu Hasnida, M. Si, dan Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog. sebagai dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas nasihat dan bimbingan yang ibu berikan selama penulis kuliah di fakultas psikologi USU. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan ibu selama ini dengan yang terbaik. Amin.

5. Kepada kedua subjek penelitian yang telah bersedia membantu penulis untuk melakukan penelitian. Terima kasih atas waktu dan kerjasamanya selama penelitian ini berlangsung. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan ibu selama ini dengan yang terbaik.

6. Kepada semua pihak di klinik Medan Baru Medical Centre (MBMC) yang sudah memberikan izin kepada penulis untuk memberikan informasi tentang subjek penelitian.

7. Ibu Etti Rahmawati, M. Si., dan Ibu Dra. Sri Supriyantini, M. Psi., yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan, saran dan ilmunya pada penulis. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan ibu dengan Jannah-Nya. Amin.

8. Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan. Semoga penulis dapat memanfaatkan ilmu tersebut dengan sebaik-baiknya.


(6)

9. Seluruh Staf Pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumtera Utara. Bapak Aswan, Bapak Iskandar, Kak Ari, Kak Devi, Kak Elli, dan Bang Ali yang telah banyak membantu penulis khususnya dalam hal administrasi.

10. Sepupuku tersayang, Zizi, Tika, Tanti, Afdhi, Fauzan, terima kasih atas semangat, dukungan dan do’anya selama ini. Untuk keponakan-keponakanku yang lucu dan imut yang selalu menghibur penulis saat sedang sedih. Semoga kalian menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Amin.

11. Sahabat – sahabat penulis Yunita Zahra, Anita Zahra, Misbah Usmar, Hartika Pratiwi, Maeri, dan Dwi Ifah dalam setiap canda tawa dan suka duka yang kita lalui bersama. Penulis tidak akan melupakan setiap waktu yang kita lalui semoga tetap semangat, sukses selalu dan kita tetap bisa menjaga persahabatan kita. Penulis merasa bersyukur dan bangga punya sahabat seperti kalian.

12. Sahabat - sahabat senasib seperjuangan, Rahmi Fajriah, Hilmayani, Selvida Arif, Dara Nurfitri, dan teman – teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga tetap semangat. Semoga Allah SWT akan memberikan kemudahan – kemudahan kepada kita semua. Terima kasih atas bantuan, masukan dan semangatnya.

13. Buat Abah, Umi, kak Rida, dan kak Ilma yang selalu memberikan semangat dan doanya kepada penulis. Terima kasih. Semoga Allah SWT selalu membalas setiap kebaikan dengan pahala yang melimpah. Amin.

14. Buat Mursyidin Rijal yang selalu ada buat penulis. Terima kasih buat do’a, canda tawa, pengertian, dan suka duka yang kita lalui bersama, yang membuat


(7)

hari – hari penulis lebih berwarna, selalu mendukung penulis dan membuat penulis semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita tetap bisa saling mendukung dan bersama – sama dalam setiap langkah yang kita lalui. Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik buat kita. Amin.

15. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak guna penyempurnaannya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Medan, Juni 2010

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR TABEL ...viii

BAB I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Perumusan Masalah ...10

C. Tujuan Penelitian...10

D. Manfaat Penelitian...10

1. Manfaat Teoritis ...10

2. Manfaat Praktis ...11

E. Sistematika Penulisan ...11

BAB II. LANDASAN TEORI ...13

A. Diabetes Mellitus...13

1. Definisi Diabetes Mellitus...13

2. Faktor-faktor Penyebab Diabetes Mellitus...14

3. Komplikasi Diabetes Mellitus...15

4. Komplikasi diabetes Mellitus Neuropathy (Kerusakan Saraf)...20

B. Penyesuaian Diri...22


(9)

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian

Diri...23

3. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Efektif...24

C. Penyesuaian Diri Penderita Komplikasi Diabetes Mellitus setelah Amputasi...26

BAB III. METODE PENELITIAN ...31

A. Pendekatan Kualitatif... 31

B. Subjek Penelitian dan Lokasi ...32

1. Subjek penelitian ...32

a. Karakteristik subjek...32

b. Jumlah subjek ...32

c. Prosedur pengambilan subjek...33

2. Lokasi penelitian...34

C. Metode Pengumpulan Data...34

1. Wawancara ... 34

D. Alat Bantu Pengumpulan data ...36

1. Alat Perekam (tape recorder)...36

2. Pedoman Wawancara ...36

E. Lembar Observasi Subjek...36

F. Kredibilitas Penelitian...37

G. Prosedur Penelitian...38

1. Tahap Persiapan Penelitian...38


(10)

3. Tahap Pencatatan Data...42

H. Teknik dan Proses Pengolahan Data...43

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI...46

A. Subjek I...46

1. Analisa data...46.

2. Data wawancara ...49

3. Interpretasi Data...79

B. Subjek II...88

1. Analisa Data...88

2. Data wawancara...90

3. Interpretasi Data...110

C. Pembahasan……….………..121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...125

A. KESIMPULAN ...125

B. SARAN ...126

1. Saran Praktis...126

2. Saran Penelitian Selanjutnya...126


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Subjek I... 41

Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Subjek II ... ... 41

Tabel 3. Gambaran Umum Subjek I... 46

Tabel 4. Waktu Wawancara Subjek I... 50

Tabel 5. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek I... 86

Tabel 6. Gambaran Umum Subjek II... 88

Tabel 7. Waktu Wawancara Subjek II... 90

Tabel 8. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek II... 116


(12)

Penyesuaian Diri Penderita Komplikasi Diabetes Mellitus Setelah Amputasi Cahyanti Mandasari Hasibuan dan Rodiatul Hassanah Siregar, M.Si

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang penyesuaian diri penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi. Mengingat betapa pentingnya melakukan penyesuaian diri bagi penderita komplikasi diabetes mellitus karena terjadi perubahan-perubahan dalam kehidupannya setelah melakukan amputasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan oleh subjek. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak dua orang dengan karakteristik individu yang menderita komplikasi diabetes mellitus yang sudah diamputasi dan berdomisili di Medan. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori / konstruk operasional (theory-based / operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek I menunjukkan gambaran penyesuaian diri yang efektif, karena memiliki lima karakteristik penyesuaian diri yang efektif. Sedangkan subjek II tidak menunjukkan gambaran penyesuaian diri yang efektif, karena hanya memiliki tiga karakteristik penyesuaian diri yang efektif. Saran bagi penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi agar melakukan penyesuaian diri dengan segala perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupannya, dapat berfikir positif tentang kondisinya, melakukan pendekatan spiritual kepada Tuhan, dan mengembangkan cara untuk mengatasi stres yang mungkin terjadi dalam kehidupannya. Saran bagi pihak keluarga adalah dapat memberikan dukungan baik moril dan materil, dapat merawat dengan baik, menerima kondisi mereka yang sudah diamputasi guna membantu penderita komplikasi diabetes mellitus menyesuaikan diri setelah diamputasi.

Kata kunci : penyesuaian diri, individu yang menderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diabetes merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering ditemukan pada abad ke 21 ini (Tandra, 2007). Diabetes disebut juga dengan istilah diabetes mellitus, kencing manis, ataupun penyakit gula. Diabetes mellitus merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Johnson, 1998).

Laporan statistik dari International Diabetes Federation / IDF (2005) menyebutkan, bahwa sekarang sudah ada sekitar 230 juta penderita diabetes. Angka ini terus bertambah hingga 3 persen atau sekitar 7 juta orang setiap tahunnya. Dengan demikian, jumlah penderita diabetes diperkirakan akan mencapai 350 juta pada tahun 2025 dan setengah dari angka tersebut berada di Asia, terutama di India, Cina, Pakistan, dan Indonesia. Diabetes juga telah menjadi penyebab kematian terbesar keempat di dunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabkan langsung oleh diabetes (Tandra, 2008). Peningkatan jumlah penderita diabetes mellitus menunjukkan bahwa pentingnya upaya pencegahan agar penyakit ini tidak menjadi semakin parah dan dapat mengurangi risiko kematian.

Menurut Lanywati (2001) penyakit diabetes mellitus tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan (genetik), tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain


(14)

yang multikompleks, antara lain kebiasaan hidup dan lingkungan. Orang yang tubuhnya membawa gen diabetes, belum tentu akan menderita penyakit gula, karena masih ada beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini pada seseorang, yaitu antara lain makan yang berlebihan / kegemukan, kurang gerak atau jarang berolah raga, dan kehamilan.

Seseorang yang memiliki faktor risiko timbulnya penyakit diabetes, ketika menderita diabetes akan mengalami beberapa rasa sakit yang khas yang menandakan bahwa ia menderita diabetes. Tedjapranata (2007) menyebutkan bahwa ada beberapa rasa sakit yang khas yang dialami oleh penderita diabetes diantaranya adalah cepat lelah, merasa lemas sepanjang hari, sering merasa lapar meskipun sudah banyak makan, mata menjadi semakin rabun, kaki dan tungkai terasa pegal dan nyeri bahkan mati rasa. Menurut Johnson (1998) penderita diabetes juga merasakan gatal-gatal pada kemaluan, sering infeksi pada kulit, gusi dan kandung kencing yang lambat sembuh serta adanya mual dan muntah.

Diabetes termasuk penyakit yang serius dan dapat menyerang siapa saja. Menurut Tandra (2007) siapa pun bisa terkena penyakit ini, kaya atau miskin, tua atau muda, pria atau wanita. Beberapa diantara penderita diabetes baru mengetahui sakit yang ia derita ketika ia sudah mengalami komplikasi. Ketidaktahuan ini disebabkan karena kebanyakan penyakit diabetes terus berlangsung tanpa keluhan sampai beberapa tahun dan disebabkan karena minimnya informasi yang diperoleh masyarakat tentang penyakit diabetes itu sendiri.


(15)

Tandra (2007) mengemukakan bahwa selama bertahun-tahun penderita hidup dengan diabetes akan memungkinkan munculnya berbagai kerusakan atau komplikasi pada penderitanya. Lebih rumit lagi diabetes tidak menyerang satu alat tubuh saja, tetapi dapat menyerang beberapa alat tubuh sekaligus dan dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang dapat diidap bersamaan dalam satu tubuh (Ranakusuma, 1987).

Diabetes merupakan suatu penyakit yang memiliki komplikasi

(menyebabkan terjadinya penyakit lain) yang kronis. Menurut Tandra (2007) komplikasi diabetes yang kronis tersebut yaitu, kerusakan saraf (neuropathy), kerusakan ginjal (nephropathy), kerusakan mata (retinopathy), penyakit jantung, hipertensi, penyakit pembuluh darah perifer, gangguan pada hati, penyakit paru-paru, gangguan saluran makan, dan infeksi.

Komplikasi diabetes kronis yang dapat membuat penderitanya mengalami tindakan amputasi adalah kerusakan saraf (neuropathy). Kerusakan saraf (neuropathy) merupakan komplikasi diabetes yang paling sering terjadi. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik / diabetic neuropathy (Tandra, 2007).


(16)

Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena (Tandra, 2007).

Gejala neuropati diabetik bisa bermacam-macam. Kerusakan saraf yang mengontrol otot akan menyebabkan kelemahan otot sampai membuat penderita tidak bisa jalan. Gangguan saraf otonom dapat mempercepat denyut jantung dan membuat muncul banyak keringat. Pada pria, bisa menimbulkan impotensi. Kerusakan saraf perasa dapat menyebabkan penderita tidak bisa merasakan nyeri, panas, dingin, atau meraba. Kerusakan saraf sensoris atau perasa biasanya terjadi pada kaki, kadang-kadang juga pada tangan dan lengan. Penderita bisa merasakan kram, kesemutan, rasa tebal, atau rasa nyeri. Ada pula rasa nyeri seperti terbakar, bahkan rasa nyeri yang hebat pada malam hari. Gejala-gejala ini dapat berubah-ubah, biasanya pada ujung jari kaki atau tangan dan akan menjalar naik ke atas (Tandra, 2007).

Tandra (2007) menambahkan bahwa kerusakan saraf sensoris atau perasa yang paling berbahaya adalah rasa tebal di kaki. Hal ini dikarenakan tidak adanya rasa nyeri dan penderita tidak tahu bahwa ada infeksi. Misalnya, bila kaki terinjak benda tajam atau ukuran sepatu terlalu kecil dapat membuat penderita tidak bisa merasakan apa-apa. Mungkin ada goresan kecil, luka, atau bisa jadi infeksi. Itu sebabnya neuropati, terutama jika kaki terasa tebal, sangat berisiko mengakibatkan munculnya ulkus (borok) kaki, yang disebut neuropathic foot


(17)

ulcer. Bila tidak diobati dengan baik, bisa timbul infeksi, yang lama kelamaan bisa menjalar ke tulang dan terjadi osteomielitis (infeksi dan kerusakan tulang).

Penderita neuropati yang mengalami luka pada kaki, sebaiknya memeriksakan lukanya ke dokter. Menurut Tandra (2007), dokter dapat melakukan sejumlah tes untuk mengetahui adanya gangguan saraf pada kaki. Bila terjadi kerusakan saraf pada kaki, penderita tidak dapat merasakan adanya tusukan paku atau jarum atau panas api, dan lain-lain. Hal ini bisa menimbulkan luka dan infeksi yang terkadang dapat berakibat buruk pada kaki, bahkan sampai perlu diambil tindakan amputasi. Neuropati merupakan satu-satunya komplikasi diabetes yang dapat membuat penderitanya harus melakukan amputasi. Terutama pada kaki yang luka dan sudah infeksi, karena sudah terjadi kerusakan saraf di kaki.

Amputasi diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir manakala organ tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh penderita secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain. Amputasi yang sering terjadi adalah pada bagian kaki. Biasanya terjadi pada jari kaki, kaki bagian paha ke bawah, dan kaki bagian lutut ke bawah (Hariwijaya & Sutanto, 2007). Dapat dibayangkan sepasang kaki yang indah, yang berfungsi untuk berjalan, harus diamputasi. Bukan hanya estetika yang hilang, melainkan rasa percaya diri pun bisa terkubur karena tindakan amputasi tersebut.


(18)

Amputasi merupakan hal yang paling menakutkan bagi para penderita diabetes. Angka amputasi akibat diabetes masih tinggi sedangkan biaya pengobatan juga sangat tinggi, dan sering tidak terjangkau oleh masyarakat umum Waspadji (2008) menambahkan jumlah penyandang diabetes di Indonesia yang harus menjalani amputasi jumlahnya sekitar 25% dari seluruh pasien yang dirawat karena kakinya bermasalah.

Menurut Johnson (1998), komplikasi yang menuntut amputasi menyebabkan kehilangan besar bagi seseorang. Seseorang yang harus diamputasi kakinya, kehilangan lebih dari sekedar kakinya saja. Mungkin juga akan kehilangan pekerjaan dan pendapatannya. Orang tersebut akan kehilangan kebebasannya untuk bergerak dan mungkin juga kemerdekaannya. Mungkin juga orang tersebut akan kehilangan banyak kualitas hidup dan kesenangan dalam hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari komunikasi personal dengan penderita diabetes yang melakukan amputasi kaki berikut ini :

“Ya kata dokter karena udah kena komplikasi la makanya kaki ibu sampai diamputasi. Katanya kaki ibu sarafnya udah rusak dan sarafnya nggak bisa bagus lagi. Terus diamputasi sampai bawah lutut. Karena sarafnya yang rusak sampai ke bawah lutut.”.

(Komunikasi personal, 10 Januari 2010)

“Pekerjaan ibu dulunya pegawai swasta. Ya lumayan la bantu-bantu bapak. Tapi karena sakit gula terus sampai diamputasi gini, ya...mau nggak mau ibu nggak kerja lagi. Karena ibu nggak bisa lagi melakukan pekerjaan ibu seperti biasa. Ya...terasa juga karena ibu udah nggak kerja lagi. Ya ekonomi, cuma mengharapkan dari bapak dan anak-anak aja. Kalau sekarang ibu ya di rumah aja la.”

(Komunikasi personal, 28 Februari 2010)

Frankl (dalam Hasibuan, 2009) menyatakan bahwa menderita cacat sudah pasti menyebabkan stres dan menimbulkan perasaan-perasaan kecewa, tertekan,


(19)

susah, sedih, cemas, marah, malu, terhina, rendah diri, putus asa, hampa, dan tidak bermakna serta penghayatan-penghayatan yang tidak menyenangkan lainnya. Seorang penderita diabetes yang telah diamputasi mengaku, kondisinya yang tidak bisa berjalan dan selalu menyusahkan orang membuatnya malu dan merasa tidak berguna, namun ia menyadari bahwa ia tidak boleh berlama-lama seperti ini. Ia sadar ia harus menerima kenyataan fisiknya, namun ia mengatakan bahwa semuanya membutuhkan waktu (dalam Hasibuan, 2009). Hal tersebut dapat dilihat dari komunikasi personal dengan penderita diabetes yang melakukan amputasi kaki berikut ini :

“Ya awalnya setelah diamputasi, ya sedih la kan. Siapa yang nggak sedih udah jadi cacat gini. Ya sedih, cemas, tertekan, stres, nggak berguna, bisanya cuma nyusahin aja. Wah...tertekan la nak. Semua itu kan butuh waktu sampai ibu bisa nerima kondisi ibu yang sekarang. Nggak mudah sampai kepada nerima. Ibu aja membutuhkan waktu yang lama”.

(Komunikasi personal, 10 Januari 2010)

Semua penghayatan penderita diabetes setelah diamputasi di atas tentu saja bervariasi pengaruhnya pada individu yang satu dengan individu yang lainnya. Hal itu tergantung pada seberapa baik proses penyesuaian yang mereka lakukan. Penyesuaian diri merupakan proses yang akan terjadi ketika individu mengalami perubahan dalam kehidupannya, begitu juga dengan penderita diabetes yang mengalami cacat akibat suatu penyakit komplikasi diabetes. Penderita diabetes akan mengalami perubahan dalam hidupnya. Perubahan dalam kehidupan akan memunculkan berbagai masalah yang kalau tidak diselesaikan akan memunculkan keputusasaan dan krisis psikologis lainnya (Holmes & Holmes, dalam Irmayanti, 2008).


(20)

Keputusasaan dan krisis psikologis yang dialami penderita komplikasi diabetes yang kakinya diamputasi akan menjadi suatu pengalaman hidup yang traumatis, sehingga akan membuat penderita diabetes melakukan penyesuaian diri terhadap pengalaman tersebut. Kubler-Ross (dalam Santrock, 1997) menyatakan, dalam melakukan penyesuaian diri terhadap pengalaman hidup yang traumatis, individu akan melalui beberapa tahapan. Individu yang mengalami suatu pengalaman hidup yang traumatis, awalnya ia akan mengalami denial, yaitu suatu tahap yang di dalamnya individu secara sadar ataupun tidak, menolak realita yang ada. Tahap selanjutnya adalah anger, tahap yang didalamnya individu yang mengalami kemarahan terhadap fakta yang terjadi. Kemarahan ini dapat ditujukan kepada siapa saja, apakah dirinya sendiri, orang-orang sekitar yang dekat dengannya, dan bahkan Tuhan. Tahap selanjutnya adalah bargaining. Dimana pada tahap ini individu mencoba untuk melakukan tawar-menawar dan negosiasi untuk berkompromi dengan kenyataan. Selanjutnya individu akan mengalami tahap depression. Tahap ini ditandai dengan adanya kesedihan dan ketakutan yang mendalam, hadirnya perasaan akan adanya ketidakpastian, dan adanya penyesalan. Individu yang memasuki tahap ini sebenarnya sudah mulai menerima kenyataan yang ada, dan rasa sedih yang timbul sesungguhnya adalah usaha untuk memisahkan diri dari orang-orang yang dicintai. Tahap terakhir adalah acceptance. Tahap ini ditandai dengan adanya penerimaan terhadap kenyataan secara objektif.

Tahap-tahap tersebut bukanlah tahap yang baku. Johnson (1998) mengatakan bahwa tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Kubler-Ross tersebut


(21)

sifatnya relatif pada tiap-tiap orang. Semua itu tergantung dari bagaimana penderita komplikasi diabetes melakukan penyesuaian diri terhadap pengalaman hidup yang dihadapinya.

Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, konflik-konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada. Hal tersebut dapat dilihat dari komunikasi personal dengan penderita diabetes yang melakukan amputasi berikut ini :

” Ya...karena ibu udah cacat gini, ya ibu terima aja apa yang udah terjadi sama kaki ibu ini. Ya mau diapain lagi. Orang udah dipotong kok. Toh mau sedih atau nangis kayak mana pun, kaki ibu nggak bisa balik lagi. Memang kalau ibu mau nangis, ya ibu nangis sekuat-kutnya. Ibu nggak peduli sama orang yang di rumah. Karena abis nangis, rasanya dada ibu ini plong. Ya kayak gitu la cara ibu kalau lagi emosi. Karena emosi ini kadang nggak ada sebabnya. Ya tiba-tiba aja datangnya. Ya sekarang ibu pakek kaki palsu aja la. Yang pasti udah nggak kayak kaki asli la kan. Yang penting masih bisa jalan walaupun pelan-pelan dan ibu nggak mau nyusahkan anak-anak ibu”. (Komunikasi personal, 10 Januari 2010)

Berdasarkan komunikasi personal dengan penderita komplikasi diabetes mellitus yang kakinya sudah diamputasi, diketahui bahwa terjadi perubahan dalam hidup penderita diabetes yang membutuhkan penyesuaian diri dalam menjalani kehidupannya. Penyesuaian diri yang efektif terukur dari seberapa baik seseorang mengatasi perubahan dalam kehidupnya. Menurut Haber & Runyon (1984), penyesuaian diri yang efektif adalah menerima keterbatasan-keterbatasan yang tidak bisa berubah, dan secara aktif memodifikasi keterbatasan yang masih bisa diubah.


(22)

Berdasarkan berbagai macam perubahan yang terjadi dalam hidup penderita komplikasi diabetes mellitus setelah diamputasi dan penyesuaian dirinya terhadap perubahan-perubahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana penyesuaian diri penderita komplikasi diabetes mellitus setelah diamputasi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini, yaitu : ”Bagaimanakah penyesuaian diri penderita diabetes mellitus setelah amputasi?.”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapat gambaran penyesuaian diri penderita diabetes mellitus setelah amputasi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun manfaat secara praktis.

1. Manfaat Teoritis Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah dalam pembelajaran mengenai penyesuaian diri, yakni penyesuaian diri penderita diabetes mellitus setelah amputasi, dapat memberi sumbangan bagi ilmu psikologi


(23)

khususnya psikologi klinis, dan dapat dijadikan sebagai bahan penunjang untuk penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, dapat membantu penderita diabetes, khususnya orang yang diamputasi karena diabetes, agar melakukan penyesuaian diri dengan segala perubahan yang terjadi dalam kehidupannya.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan pemahaman bagi keluarga, masyarakat dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang kesehatan tentang bagaimana penyesuaian diri penderita diabetes setelah diamputasi, sehingga dapat membantu penderita diabetes menyesuaikan dirinya dengan segala perubahan yang terjadi dalam kehidupannya.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab I berisi latar belakang masalah, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : LANDASAN TEORI

Bab II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori diabetes mellitus yang terdiri dari definisi, faktor-faktor


(24)

penyebab diabetes mellitus, komplikasi diabetes mellitus, komplikasi diabetes mellitus neuropathy (kerusakan saraf), dan teori tentang penyesuaian diri yang terdiri dari definisi, faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, karakteristik penyesuaian diri yang efektif, dan penyesuaian diri penderita diabetes mellitus yang mengalami amputasi.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab III menjelaskan tentang alasan digunakannya pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, subjek penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisis data.

BAB IV: ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Bab IV mendeskripsikan data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan. BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab V menjelaskan kesimpulan dari penelitian ini dan saran yang terdiri dari saran praktis dan saran penelitian selanjutnya.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Diabetes Mellitus

1. Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Johnson, 1998). Diabetes mellitus (DM) adalah keadaan di mana kadar gula darah tinggi melebihi kadar gula normal dan biasanya disertai berbagai kelainan metabolisme akibat gangguan hormonal dalam tubuh (Hariwijaya dan Sutanto, 2007).

Subekti (2004) menambahkan bahwa penyakit diabetes mellitus atau penyakit kencing manis adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula atau glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Menurut American Diabetes Association (ADA) DM merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Soegondo, 2004).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa diabetes mellitus adalah suatu keadaan di mana terjadinya peningkatan kadar gula dalam darah karena keterbatasan insulin di dalam tubuh seseorang.


(26)

2. Faktor-Faktor Penyebab Diabetes Mellitus

Menurut Johnson (1998) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya diabetes mellitus, yaitu :

a. Genetika

Genetika merupakan faktor utama penyebab terjadinya diabetes mellitus, jika ada seorang anggota keluarga yang menderita diabetes, ada kemungkinan anggota keluarga yang lain akan menderita diabetes juga. b. Kelebihan berat badan

Ada banyak bukti bahwa obesitas bisa menyebabkan diabetes. Insulin tidak bisa bekerja dengan sempurna bila tubuh mempunyai kelebihan lemak, sehingga kelebihan berat badan akan bisa memicu terjadinya diabetes.

c. Kurang olah raga

Kurangnya olah raga diperkirakan sebagai penyebab 10-16 % kasus diabetes.

d. Penyebab geografis

Industrialisasi dan dampak yang ditimbulkan dalam masyarakat bisa menjadi suatu penyebab terjadinya diabetes.

e. Latar belakang ras dan etnis

Kelompok ras dan penduduk tertentu mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita penyakit diabetes.

Menurut Lanywati (2001) penyakit diabetes mellitus tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan (genetik), tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain


(27)

yang multikompleks, antara lain kebiasaan hidup dan lingkungan. Orang yang tubuhnya membawa gen diabetes, belum tentu akan menderita penyakit gula, karena masih ada beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini pada seseorang, yaitu antara lain makan yang berlebihan / kegemukan, kurang gerak atau jarang berolah raga, dan kehamilan.

Berdasarkan dari beberapa tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab timbulnya diabetes mellitus adalah genetika, kelebihan berat badan (obesitas), kurang olahraga, pengaruh geografis, latar belakang ras dan etnis, kehamilan, kebiasaan hidup dan lingkungan.

3. Komplikasi Diabetes Mellitus

Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama (Tandra, 2007).

Tandra (2007) mengemukakan bahwa selama bertahun-tahun penderita hidup dengan diabetes dan dapat memungkinkan munculnya berbagai kerusakan atau komplikasi yang kronis pada penderitanya. Komplikasi kronis tersebut yaitu :

a. Kerusakan saraf (Neuropathy)

Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sum-sum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi,


(28)

tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena.

b. Kerusakan ginjal (Nephropathy)

Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau kerusakan saraf.


(29)

c. Kerusakan mata (Retinopathy)

Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadi penyebab utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu (1) retinopati, retina mendapatkn makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; (2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan (3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola matasehingg merusak saraf mata.

d. Penyakit jantung

Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi.

e. Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi.


(30)

f. Penyakit pembuluh darah perifer

Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.

g. Gangguan pada hati

Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan gula bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi tau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk.


(31)

Kelainan ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.

h. Penyakit paru-paru

Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru-paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosio-ekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru-paru, demikian pula sakit paru-paru akan menaikkan glukosa darah.

i. Gangguan saluran makan

Gangguan saluran makan pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gngguan saraf otonom yang mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat pemakaian obat-obatan yang diminum.

j. Infeksi

Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar


(32)

glukosa darah yang tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya infeksi.

4. Komplikasi Diabetes Mellitus Neuropathy (Kerusakan Saraf)

Tandra (2007) mengatakan bahwa neuropathy (kerusakan saraf) merupakan komplikasi diabetes yang paling sering terjadi. Hal ini dikarenakan sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sum-sum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic neuropathy).

Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf, saraf mana yang terkena (Tandra, 2007).

Menurut Tandra (2007), neuropati diabetik yang paling sering adalah neuropati perifer. Kerusakan ini mengenai saraf perifer atau saraf tepi, yang biasanya berada di anggota gerak bawah, yaitu kaki dan tungkai bawah.


(33)

Seringkali penderita diabetes datang pertama untuk keluhan saraf ini, dan setelah diperiksa oleh dokter, baru diketahui bahwa ia ternyata mengidap diabetes.

Ada beberapa penyakit yang menimbulkan keluhan yang mirip sekali dengan neuropati perifer, misalnya pada anemia pernisiosa (sel darah merah kurang karena usus tidak dapat menyerap vitamin B12), gagal ginjal, keracunan bahan kimia, atau pada pecandu alkohol. Perlu diingat bahwa alkohol dapat memperburuk neuropati akibat diabetes. Penyakit saraf lain yang disebut carpal tunnel syndrome, gangguan pada telapak tangan, mempunyai kemiripan dengan neuropati perifer. Dokter saraf dapat melakukan tes untuk memeriksa dan membedakannya (Tandra, 2007).

Gejala neuropati diabetik bisa bermacam-macam. Kerusakan saraf yang mengontrol otot akan menyebabkan kelemahan otot sampai membuat penderita tidak bisa jalan. Gangguan saraf otonom dapat mempercepat denyut jantung dan membuat muncul banyak keringat. Pada pria, bisa menimbulkan impotensi. Kerusakan saraf perasa dapat menyebabkan penderita tidak bisa merasakan nyeri, panas, dingin, atau meraba. Kerusakan saraf sensoris atau perasa biasanya terjadi pada kaki, kadang-kadang juga pada tangan dan lengan. Penderita bisa merasakan kram, kesemutan, rasa tebal, atau rasa nyeri. Ada pula rasa nyeri seperti terbakar, bahkan rasa nyeri yang hebat pada malam hari. Gejala-gejala ini dapat berubah-ubah, biasanya pada ujung jari kaki atau tangan dan akan menjalar naik ke atas (Tandra, 2007).

Tandra (2007) mengatakan bahwa keluhan neuropati yang paling berbahaya adalah rasa tebal di kaki. Hal ini dikarenakan tidak adanya rasa nyeri dan


(34)

penderita tidak tahu bahwa ada infeksi. Misalnya, bila kaki terinjak benda tajam atau ukuran sepatu terlalu kecil dapat membuat penderita tidak bisa merasakan apa-apa. Mungkin ada goresan kecil, luka, atau bisa jadi infeksi. Itu sebabnya neuropati, terutama jika kaki terasa tebal, sangat berisiko mengakibatkan munculnya ulkus (borok) kaki, yang disebut neuropathic foot ulcer. Bila tidak diobati dengan baik, bisa timbul infeksi, yang lama kelamaan bisa menjalar ke tulang dan terjadi osteomielitis (infeksi dan kerusakan tulang).

Penderita neuropati yang mengalami luka pada kaki, sebaiknya memeriksakan lukanya ke dokter. Menurut Tandra (2007), dokter dapat melakukan sejumlah tes untuk mengetahui adanya gangguan saraf pada kaki. Bila terjadi kerusakan saraf pada kaki, penderita tidak dapat merasakan adanya tusukan paku atau jarum atau panas api, dan lain-lain. Hal ini bisa menimbulkan luka dan infeksi yang terkadang dapat berakibat buruk pada kaki, bahkan sampai perlu diambil tindakan amputasi.

B. Penyesuaian Diri

1. Definisi Penyesuaian Diri

Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, konflik-konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.


(35)

Grasha & Kirschenbaum (1980) memandang penyesuaian diri sebagai usaha individu untuk menyeimbangkan antara kemampuan yang dimiliki dengan tuntutan lingkungannya. Kemampuan tersebut terbentuk melalui proses belajar dan pengalaman, dimana kedua hal tersebut berkaitan dengan mengatasi masalah yang terjadi dalam lingkungan individu yang bersangkutan.

Berkaitan dengan penyesuaian diri sebagai suatu proses dan hasil, maka Haber & Runyon (1984) menyebutkan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dan bukan merupakan keadaan yang statis, maka efektivitas dari penyesuaian diri ditandai dengan seberapa baik individu mampu manghadapi situasi dan kondisi yang selalu berubah.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses kemampuan individu untuk bereaksi terhadap adanya tuntutan yang dibebankan kepadanya yang ditandai dengan seberapa baik individu mampu menghadapi situasi dan kondisi yang selalu berubah.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Calhoun & Accocella (1990) ada 2 faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang :

a. Situasi

Cara seseorang menyesuaikan diri dan penilaian apakah hal itu merupakan penyesuaian yang sehat, sangat tergantung terhadap situasi dimana seseorang menyesuaikan diri. Beberapa orang dapat menyesuaikan dengan baik terhadap suatu lingkungan tetapi tidak terhadap lingkungan yang lain.


(36)

b. Nilai

Penilaian apakah seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik tergantung tidak hanya dari situasi saja, namun juga dari penilaian dan pemikiran tentang bagaimana seseorang seharusnya berperilaku. Tiap penilaian mencerminkan nilai-nilai diri.

3. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Efektif

Haber & Runyon (1984) menguraikan beberapa karakteristik individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dan dianggap sebagai hasil yang positif dari penyesuaian diri, yaitu :

a. Memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas

Hampir semua orang setuju bahwa persepsi yang akurat terhadap realitas merupakan prasyarat terhadap penyesuaian diri yang baik. Individu harus tetap mengingat bahwa persepsi setiap individu dipengaruhi oleh adanya keinginan atau motivasi yang berbeda-beda dari setiap persepsi tersebut. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan membuat tujuan yang realistis yang sesuai dengan kemampuan dan kenyataan yang ada. Hambatan dalam lingkungan dan kesempatan membuat individu menemukan bahwa individu harus mengubah atau memodifikasi tujuannya. Membuat tujuan dan memodifikasi tujuan merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang kehidupan.


(37)

b. Mampu mengatasi atau menangani stres dan kecemasan

Individu tidak dapat selalu memenuhi suatu kebutuhan dengan segera, karena itu individu harus belajar untuk dapat bertoleransi terhadap pemenuhan kebutuhan. Individu yang dapat mengatasi hal tersebut maka akan memiliki penyesuaian diri yang baik karena ia mampu mengatasi masalah dan konflik yang ada dalam diri sendiri.

c. Memiliki citra diri (self image) yang positif

Penyesuaian diri yang baik ditunjukkan dengan citra diri yang positif. Citra diri yang positif menyebabkan individu tidak kehilangan pandangan tentang kenyataan diri sendiri. Individu harus mau mengakui kelemahan dan kekuatan yang dimiliki. Individu juga harus mendasarkan persepsi dirinya dengan pandangan tentang seberapa dekatkah ia dengan orang lain dan cara orang lain memperlakukannya.

d. Mampu mengekspresikan perasaan

Orang yang sehat secara emosi dapat merasakan dan mengekspresikan emosi serta perasaan. Emosi yang ditunjukkan adalah sesuatu yang sesuai dengan tuntutan situasi dan secara umum berada di bawah kontrol individu. Contoh : individu menangis di pemakaman, tertawa pada situasi yang menggelikan, merasa senang ketika berada di dekat orang yang dicintai. Ketika marah, individu dapat mengekspresikannya dalam cara yang tidak menyakiti orang lain secara psikologis ataupun fisik.


(38)

e. Memiliki hubungan antar pribadi yang baik

Setiap orang pasti tidak ingin hidup sendiri, karena itu individu mencari kepuasan dengan berhubungan dengan orang lain dan menghabiskan banyak waktu bersama dengan orang lain. Tingkat keterlibatan setiap orang dengan orang lain bervariasi, dimulai dari orang-orang yang biasa dikenal seperti tetangga, teman. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik menyukai dan menghormati orang lain serta memberikan kegembiraan dengan membuat orang lain nyaman dengan keberadaannya.

C. Penyesuaian Diri Penderita Komplikasi Diabetes Mellitus Setelah Amputasi

Diabetes merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering ditemukan pada abad ke 21 ini (Tandra, 2007). Diabetes disebut juga dengan istilah diabetes mellitus. Diabetes mellitus merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Johnson, 1998).

Diabetes termasuk penyakit yang serius dan dapat menyerang siapa saja. Menurut Tandra (2007) siapa pun bisa terkena penyakit ini, kaya atau miskin, tua atau muda, pria atau wanita. Beberapa diantara penderita diabetes baru mengetahui sakit yang ia derita ketika ia sudah mengalami komplikasi.


(39)

Ketidaktahuan ini disebabkan karena kebanyakan penyakit diabetes terus berlangsung tanpa keluhan sampai beberapa tahun dan disebabkan karena minimnya informasi yang diperoleh masyarakat tentang penyakit diabetes itu sendiri.

Tandra (2007) mengemukakan bahwa selama bertahun-tahun penderita hidup dengan diabetes dan dapat memungkinkan munculnya berbagai kerusakan atau komplikasi pada penderitanya. Lebih rumit lagi diabetes tidak menyerang satu alat tubuh saja, tetapi dapat menyerang beberapa alat tubuh sekaligus dan dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang dapat diidap bersamaan dalam satu tubuh (Ranakusuma, 1987).

Diabetes merupakan suatu penyakit yang memiliki komplikasi

(menyebabkan terjadinya penyakit lain) yang kronis. Salah satu komplikasinya adalah neuropathy (kerusakan saraf). Tandra (2007) mengatakan bahwa neuropathy (kerusakan saraf) merupakan komplikasi diabetes yang paling sering terjadi. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic neuropathy).

Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat


(40)

kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena (Tandra, 2007).

Tandra (2007) menambahkan bahwa kerusakan saraf sensoris atau perasa yang paling berbahaya adalah rasa tebal di kaki. Hal ini dikarenakan tidak adanya rasa nyeri dan penderita tidak tahu bahwa ada infeksi. Misalnya, bila kaki terinjak benda tajam atau ukuran sepatu terlalu kecil dapat membuat penderita tidak bisa merasakan apa-apa. Mungkin ada goresan kecil, luka, atau bisa jadi infeksi. Itu sebabnya neuropati, terutama jika kaki terasa tebal, sangat berisiko mengakibatkan munculnya ulkus (borok) kaki, yang disebut neuropathic foot ulcer. Bila tidak diobati dengan baik, bisa timbul infeksi, yang lama kelamaan bisa menjalar ke tulang dan terjadi osteomielitis (infeksi dan kerusakan tulang).

Amputasi diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir manakala organ tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh penderita secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain. Amputasi yang sering terjadi adalah pada bagian kaki. Biasanya terjadi pada jari kaki, kaki bagian paha ke bawah, dan kaki bagian lutut ke bawah (Hariwijaya & Sutanto, 2007). Dapat dibayangkan sepasang kaki yang indah, yang berfungsi untuk berjalan, harus diamputasi. Bukan hanya estetika yang hilang, melainkan rasa percaya diri pun bisa terkubur karena tubuh sudah menjadi cacat.

Frankl (dalam Hasibuan, 2009) menyatakan bahwa menderita cacat sudah pasti menyebabkan stres dan menimbulkan perasaan-perasaan kecewa, tertekan,


(41)

susah, sedih, cemas, marah, malu, terhina, rendah diri, putus asa, hampa, dan tidak bermakna serta penghayatan-penghayatan yang tidak menyenangkan lainnya. Seorang penderita diabetes yang telah diamputasi mengaku, kondisinya yang tidak bisa berjalan dan selalu menyusahkan orang membuatnya malu dan merasa tidak berguna, namun ia menyadari bahwa ia tidak boleh berlama-lama seperti ini. Ia sadar ia harus menerima kenyataan fisiknya, namun ia mengatakan bahwa semuanya membutuhkan waktu (dalam Hasibuan, 2009).

Semua penghayatan penderita diabetes setelah diamputasi di atas tentu saja bervariasi pengaruhnya pada individu yang satu dengan individu yang lainnya. Hal itu tergantung pada seberapa baik proses penyesuaian yang mereka lakukan. Penyesuaian diri merupakan proses yang akan terjadi ketika individu mengalami perubahan dalam kehidupannya, begitu juga dengan penderita diabetes yang mengalami cacat akibat suatu penyakit komplikasi diabetes. Penderita diabetes akan mengalami perubahan dalam hidupnya. Perubahan dalam kehidupan akan memunculkan berbagai masalah yang kalau tidak diselesaikan akan memunculkan keputusasaan dan krisis psikologis lainnya (Holmes & Holmes, dalam Irmayanti, 2008).

Keputusasaan dan krisis psikologis yang dialami penderita komplikasi diabetes yang kakinya diamputasi akan menjadi suatu pengalaman hidup yang traumatis, sehingga akan membuat penderita diabetes melakukan penyesuaian diri terhadap pengalaman tersebut. Kubler-Ross (dalam Santrock, 1997) menyatakan, dalam melakukan penyesuaian diri terhadap pengalaman hidup yang traumatis, individu akan melalui beberapa tahapan. Individu yang mengalami suatu


(42)

pengalaman hidup yang traumatis, awalnya ia akan mengalami denial, yaitu suatu tahap yang di dalamnya individu secara sadar ataupun tidak, menolak realita yang ada. Tahap selanjutnya adalah anger, tahap yang didalamnya individu yang mengalami kemarahan terhadap fakta yang terjadi. Kemarahan ini dapat ditujukan kepada siapa saja, apakah dirinya sendiri, orang-orang sekitar yang dekat dengannya, dan bahkan Tuhan. Tahap selanjutnya adalah bargaining. Dimana pada tahap ini individu mencoba untuk melakukan tawar-menawar dan negosiasi untuk berkompromi dengan kenyataan. Selanjutnya individu akan mengalami tahap depression. Tahap ini ditandai dengan adanya kesedihan dan ketakutan yang mendalam, hadirnya perasaan akan adanya ketidakpastian, dan adanya penyesalan. Individu yang memasuki tahap ini sebenarnya sudah mulai menerima kenyataan yang ada, dan rasa sedih yang timbul sesungguhnya adalah usaha untuk memisahkan diri dari orang-orang yang dicintai. Tahap terakhir adalah acceptance. Tahap ini ditandai dengan adanya penerimaan terhadap kenyataan secara objektif.

Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, konflik-konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.

Selama rentang kehidupan, manusia akan selalu mengalami perubahan. Penyesuaian diri yang efektif terukur dari seberapa baik seseorang mengatasi


(43)

perubahan dalam hidupnya. Menurut Haber dan Runyon (1984), penyesuaian diri yang efektif adalah menerima keterbatasan-keterbatasan yang tidak bisa berubah dan secara aktif memodifikasi keterbatasan yang masih bisa diubah.


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Penelitian Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam berkaitan dengan penyesuaian diri penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pernyataan seputar subjek penelitian beserta konteksnya. Peneliti berharap dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, peneliti dapat mendapatkan gambaran mengenai apa saja fakor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dan karakteristik penyesuaian diri penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi.

Sejalan dengan definisi tersebut Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2006) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia, baik dalam kawasannya maupun dalam istilahnya. Menurut Moleong (2006) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara keseluruhan, dan dengan cara deskripsi


(45)

dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu kekuatan dari penelitian kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Pemilihan metode kualitatif sebagai metode dalam penelitian ini adalah karena peneliti ingin melihat bagaimana pengalaman subjek mengenai penyesuaian diri penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi.

B. Subjek Penelitian dan Lokasi 1. Subjek penelitian

a. Karakteristik subjek

Adapun karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah penderita komplikasi diabetes mellitus yang sudah diamputasi.

b. Jumlah subjek penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), penelitian kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah subjek yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.


(46)

Jumlah subjek yang diambil dalam penelitian ini sebanyak dua orang penderita komplikasi diabetes mellitus, dengan pertimbangan sulitnya menemukan subjek yang masih dapat bertahan hidup, sulit terbuka tentang bagaimana mereka menyesuaikan diri dalam kehidupan sehari-hari setelah mengalami amputasi pada bagian kakinya, serta sulit berbagi mengenai pengalaman yang dirasakan, karena mereka sudah menjadi cacat, sehingga dirasakan semakin sulit untuk mendapatkan jumlah subjek yang lebih besar.

c. Prosedur pengambilan subjek

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Patton, dalam Poerwandari, 2007). Diawali dengan peneliti mencari informasi tentang kasus yang diambil, menelusuri pihak-pihak yang dianggap mengetahui informasi lebih banyak tentang kasus sampai akhirnya menemukan dua orang subjek yang kakinya diamputasi karena komplikasi diabetes mellitus.

Berdasarkan pemaparan di atas prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk dalam pengambilan subjek berdasarkan teori, atau berasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Subjek dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar subjek sungguh-sungguh


(47)

mewakili (bersifat representatif terhadap) fenomena yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

2. Lokasi penelitian

Peneliti melakukan penelitian di kota Medan karena diketahui bahwa subjek merupakan penduduk asli Medan dan bertempat tinggal di Medan. Oleh karena itu lokasi penelitian disesuaikan dengan kesepakatan subjek dan peneliti, yaitu : di rumah subjek. Sehingga subjek dan peneliti dapat menjalani rangkaian proses penelitian dengan nyaman.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara.

1. Wawancara

Banister (dalam Poerwandari, 2007) memaparkan bahwa wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna partisipantif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum dimana dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, mencantumkan isu-isu yang harus


(48)

diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit (Poerwandari, 2007).

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengani aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus mnjadi daftar pengecek (check-list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2007).

Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal atau aspek-aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek, tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan mendalam (Poerwandari, 2007).

Peneliti menggunakan metode ini karena ingin mengetahui secara mendalam mengenai penyesuaian diri penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi. Selain itu, peneliti juga melakukan observasi pada saat wawancara berlangsung untuk melihat ekspresi dari subjek pada saat wawancara.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data 1. Alat perekam (Tape Recorder)


(49)

Menurut Poerwandari (2007) wawancara perlu direkam dan dibuat transkripsinya secara verbatim (kata demi kata). Alat perekam digunakan sebagai alat bantu pengumpulan data agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Dengan adanya alat perekam ini peneliti akan memperoleh data yang utuh karena sesuai dengan yang disampaikan subjek dalam wawancara. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek.

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan menjadi daftar pengecek apakah semua pertanyaan penelitian telah ditanyakan. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data lainnya. Pedoman wawancara ini berisikan daftar pertanyaan yang berkaitan dengan tema penelitian dimana urutan pertanyaan akan bersifat fleksibel karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung.

E. Lembar Observasi Subjek

Lembar observasi subjek digunakan untuk mempermudah proses observasi yang dilakukan. Observasi dilakukan seiring dengan wawancara. Lembar observasi antara lain memuat tentang penampilan fisik, setting wawancara, sikap subjek pada peneliti selama wawancara berlangsung, hal-hal yang tidak biasa


(50)

dalam wawancara serta hal-hal yang dilakukan subjek dalam menjawab pertanyaan selama wawancara.

F. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah pertama, paling banyak dipilih dan paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

Upaya yang dilakukan peneliti dalam menjaga kredibilitas dan keobjektifan penelitian ini, antara lain dengan :

1. Memilih subjek yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah penderita komplikasi diabetes mellitus yang sudah diamputasi. 2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori komplikasi diabetes

mellitus dan penyesuaian diri penderita komplikasi diabetes mellitus setelah diamput asi.

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.

4. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data di lapangan. Hal ini dilakukan dengan cara menambah durasi wawancara antara peneliti dan subjek penelitian pada pertemuan berikutnya. Hal ini


(51)

memungkinkan peneliti untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang subjek penelitian.

5. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai dari awal proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan untuk memperkecil kesalahan yang berasal dari keterbatasan kemampuan peneliti dengan kompleksitasan fenomena yang diteliti.

6. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara setelahnya.

G. Prosedur Penelitian

1. Tahap persiapan penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu sebagai berikut :

1) Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan diabetes mellitus dan penyesuaian diri.

a. Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan diabetes mellitus, definisi, faktor-faktor penyebab diabetes mellitus, komplikasi diabetes mellitus, dan komplikasi diabetes mellitus neuropathy (kerusakan saraf).


(52)

b. Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan penyesuaian diri, faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, dan karakteristik penyesuaian diri. 2) Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

3) Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mencari beberapa orang sampel yang sesuai dengan kriteria subjek yang telah ditentukan, meminta kesediaannya untuk menjadi subjek dan mengumpulkan informasi tentang calon subjek tersebut.

Peneliti mengetahui dan mengenal kedua subjek melalui seorang perawat yang bekerja di sebuah klinik yang ada di kota medan. Peneliti kemudian diberikan alamat rumah kedua subjek, kemudian peneliti datang ke rumah subjek, dan ketika bertemu dengan subjek, peneliti kemudian mencoba menjalin komunikasi. Kemudian peneliti menjelaskan maksud dan alasan kedatangan peneliti kepada subjek. Saat merasa subjek memiliki indikasi bersedia untuk menjadi subjek dalam penelitian, peneliti memintanya untuk menjadi subjek dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Kemudian peneliti dan kedua subjek saling bertukar nomor handpone untuk memudahkan dalam menentukan jadwal pertemuan selanjutnya.


(53)

Setelah memperoleh kesediaan dari ke dua subjek penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport sekaligus melakukan informed consent dimana peneliti menjelaskan penelitian secara umum meliputi tujuan dan manfaat penelitian serta aktivitas para subjek dalam penelitian ini, apa yang diharapkan dari subjek dan disampaikan bahwa informasi yang mereka berikan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian serta identitas subjek terjamin kerahasiaannya. Setelah itu peneliti dan subjek mengadakan kesepakatan tentang pelaksanaan penelitian yang meliputi waktu dan lokasi wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah diadakan kesepakatan pada tahap persiapan penelitian maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitan dengan melakukan tahapan sebagai berikut :

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara yang sebelumnya telah disepakati oleh subjek yang dilakukan peneliti sebelum melakukan wawancara. Penelitian secara umum merupakan hasil dari saling kerja sama antara peneliti dan subjek.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara peneliti meminta subjek untuk menandatangani lembar persetujuan wawancara yang menyatakan bahwa


(54)

subjek mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu, serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian, ketika melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan observasi terhadap subjek.

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Subjek I No Subjek Hari/Tanggal

wawancara

Waktu wawancara

Tempat wawancara 1 Nani Jum’at, 12 Maret

2010

14.30 – 16.55 WIB

Di rumah subjek 2 Nani Rabu, 17 Maret

2010

13.30 – 15.59 WIB

Di rumah subjek 3 Nani Selasa, 06 April

2010

13.10 – 16.03 WIB

Di rumah subjek 4 Nani Kamis, 13 Mei

2010

13.15 – 15.05 WIB

Di rumah subjek

Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Subjek II No Subjek II Hari/Tanggal

Wawancara

Waktu Wawancara

Tempat Wawancara 1 Ayu Sabtu, 20 Maret

2010

13.10 – 15.20 WIB

Di rumah subjek 2 Ayu Sabtu, 17 April

2010

13.35 – 14.38 WIB

Di rumah subjek 3 Ayu Rabu, 12 Mei 2010 13.30 – 15.20

WIB

Di rumah subjek

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim

Setelah hasil wawancara diperoleh peneliti melakukan langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan yaitu dengan memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis dan melakukan koding yaitu


(55)

membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari, dengan demikian pada gilirannya peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya (Poerwandari, 2007).

d. Melakukan analisa data

Peneliti menarik kesimpulan sementara dari hasil koding yang dilakukan pada data untuk menjawab pertanyaan peneltian.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan, kemudian peneliti menuliskan diskusi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian. Dengan memperhatikan hasil penelitian, kesimpulan data dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.

3. Tahap Pencatatan Data

Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada subjek untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Setelah wawancara dilakukan, peneliti kemudian membuat verbatim dari wawancara tersebut yang dapat dilihat pada lampiran.


(56)

H. Teknik dan Proses Pengolahan Data

Sesuai dengan proses analisa data yang dikemukakan oleh Poerwandari (2007) adalah sebagai berikut :

1. Organisasi data

Pengolahan dan analisis sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, peneliti berkewajiban untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Hal-hal yang penting untuk diorganisasikan diantaranya adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagian (transkrip wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang sudah dibubuhi kode-kode dan dokumentasi yang kronologis mengenai pengumpulan pengumpulan data dan analisis.

2. Koding

Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan medetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Peneliti berhak memilih cara melakukan koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang dikumpulkannya. Kemudian peneliti memberikan perhatian pada substansi data yang telah dikumpulkan,


(57)

membaca transkrip begitu transkrip selesai dibuat, membaca transkrip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk menghindari kesulitan dalam mengambil kesimpulan (Poerwandari, 2007).

3. Pengujian terhadap dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, kita mengembangkan dugaan-duagaan yang adalah juga kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang berkembang tersebut harus dipertajam serta diuji ketepatannya. Saat tema-tema dan pola-pola muncul dari data untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut (Poerwandari, 2007).

4. Strategi analisis

Analisis terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan mengenai apa yang dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2007) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subjek sendiri maupun konsep yang dikembangkan atau dipilih oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis.

5. Interpretasi

Menurut Kvale (dalam Poerwandari, 2007) interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data


(58)

melalui perspektif tersebut. Peneliti beranjak melampaui apa yang secara langsung dikatakan subjek untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera tertampilkan dalam teks (data mentah atau transkripsi wawancara).


(59)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penyesuaian diri penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi maka data akan dijabarkan dan dianalisa per subjek. Analisa data akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.

Kutipan dalam setiap bagian analisa diberikan kode-kode tertentu sebab satu kutipan dapat diinterpretasikan sampai beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah : S1.W1/b.21-23/hal 1, adapun maksud dari kode ini adalah kutipan dari subjek 1, wawancara 1, baris 21 sampai 23, dan verbatim hal 1.

A. Subjek I (Nani)

1. Analisa Data Subjek I (Nani) a. Identitas Diri Subjek I (Nani)

Tabel 3. Gambaran Umum Subjek I

Keterangan Subjek I

Nama (Samaran) Nani Jenis Kelamin Perempuan

Usia 53 Tahun

Agama Islam

Status Menikah

Pendidikan Terakhir SMA

Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Tahun Diagnosa Diabetes 2008


(60)

b. Latar Belakang Subjek I (Nani)

Subjek I dalam penelitian ini adalah seorang ibu bernama Nani yang berusia 53 tahun dan bersuku jawa. Nani menderita penyakit diabetes sejak tahun 2008 hingga saat ini. Keluhan awal yang dirasakan Nani sebelum terjadi luka, kaki kiri Nani terasa ngilu, nyeri, sakit, dan mendenyut yang tidak kunjung sembuh sampai beberapa hari pada kaki kirinya. Keluhan tersebut semakin tidak tertahankan olehnya dan Nani pun pergi ke praktik dokter untuk memeriksakannya. Setelah dokter memeriksanya, dokter mengatakan bahwa keluhan tersebut dikarenakan asam urat. Namun, keluhan tersebut tidak berkurang juga dan beberapa hari kemudian timbul benjolan kecil seperti kena api di sela ibu jari kaki kirinya.

Benjolan kecil itu pun pecah dan menjadi luka. Nani semakin merasakan mendenyut dan sakit, bahkan Nani sampai tidak sadarkan diri menahankan rasa sakit tersebut. Pihak keluarga membawa Nani untuk mencoba pengobatan alternatif. Namun, tetap saja rasa sakit tersebut tidak berkurang. Nani pun dibawa ke salah satu rumah sakit umum di medan. Setelah sampai di rumah sakit, keesokan harinya di bawah jempol kaki kirinya sudah bolong sampai tulangnya terlihat. Setelah dokter memeriksa lukanya, dokter mengatakan bahwa Nani sudah menderita komplikasi diabetes neuropati (kerusakan saraf) dan harus diamputasi. Tidak ada jalan lain lagi selain amputasi untuk menyembuhkannya.

Diagnosa dan saran yang diberikan dokter untuk amputasi membuat Nani dan keluarga terkejut. Nani tidak langsung menyetujui saran dokter untuk diamputasi. Karena Nani harus terlebih dahulu bermusyawarah dengan keluarga sebelum menyetujui untuk diamputasi. Hasil musyawarah dengan keluarga,


(1)

Hubungan antar pribadi yang baik antara subjek I dengan suami menjadi harmonis. Perhatian dan sikap suami semakin bertambah, begitu juga dengan sikap dan perhatian yang diberikan subjek I kepada suaminya juga bertambah. Hubungan subjek I dan anaknya semakin dekat. Perhatian dan sikap anak-anaknya semakin bertambah, begitu juga dengan perhatian dan sikap yang diberikan subjek I kepada anak-anaknya juga bertambah. Selanjutnya, hubungan antar pribadi antara subjek I dengan keluarga (sanak famili) tetap baik. perhatian keluarga semakin bertambah dan sikap keluarga semkin berubah menjadi lebih terbuka. Hubungan subjek I dengan tetangga tetap berjalan baik, karena tetangga juga termasuk ke dalam keluarganya. Perhatian tetangga semakin bertambah. Kemudian hubungan antar pribadi yang baik antara subjek I dengan teman-temannya menjadi dekat (akrab). Perhatian yang mereka berikan kepadanya menjadi bertambah.

Hubungan subjek II dengan suaminya sudah tidak baik sejak anaknya usia delapan bulan. Hal ini karena suaminya pergi meninggalkan dirinya. Hubungan subjek II dengan anaknya sejak enam bulan ini sudah tidak harmonis lagi. Hubungan subjek II dengan keluarga (sanak famili) masih tetap baik. Keluarga masih datang untuk melihat dan memberikan perhatian kapadanya. Subjek II juga memiliki hubungan antar pribadi yang baik dengan tetangga. Hubungan mereka masih tetap baik. Tetangga masih memberikan perhatian kepadanya saat ia sakit. Hubungan subjek II dengan temannya sudah tidak ada komunikasi lagi. Hal ini karena temannya sudah pindah ke luar kota.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan kesimpulan dari jawaban-jawaban masalah penelitian. Kesimpulan berdasarkan dari teori dan hasil penelitian yang telah ada. Pada akhir bab dikemukakan saran praktis dan saran penelitian selanjutnya yang berguna untuk masa mendatang khususnya penelitian dengan tema penyesuaian diri penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi di masa mendatang.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dengan menggunakan lima karakteristik penyesuaian diri yang efektif yang dikemukakan oleh Haber & Runyon (1984). Maka kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah subjek I menunjukkan gambaran penyesuaian diri yang efektif, karena subjek I memiliki lima karakteristik penyesuaian diri yang efektif. Sedangkan subjek II tidak menunjukkan gambaran penyesuaian diri yang efektif. Karena subjek II hanya memiliki tiga karakteristik penyesuaian diri yang efektif, yaitu : mampu mengatasi stres dan kecemasan, mampu mengekspresikan perasaan, dan memiliki hubungan antar pribadi yang baik hanya kepada keluarga (sanak famili) dan juga tetangga.


(3)

B. SARAN 1. Saran Praktis

a. Bagi penderita penyakit komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi 1) Bagi penderita penyakit komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi

agar melakukan penyesuaian diri dengan segala perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupannya.

2) Bagi penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi agar dapat berfikir positif tentang kondisinya, melakukan pendekatan spiritual kepada Tuhan, dan mengembangkan cara untuk mengatasi stres yang mungkin terjadi dalam kehidupannya.

b. Bagi pihak keluarga penderita komplikasi diabetes mellitus setelah amputasi

1) Disarankan agar pihak keluarga dapat memberikan dukungan baik moril dan materil kepada penderita komplikasi diabetes mellitus setelah diamput asi.

2) Keluarga juga disarankan dapat merawat dengan baik dan menerima kondisi mereka yang sudah diamputasi karena penyakit komplikasi diabetes mellitus guna membantu penderita komplikasi diabetes mellitus menyesuaikan diri setelah diamputasi.

2. Saran penelitian selanjutnya.

a. Penelitian selanjutnya disarankan untuk mengangkat tema tentang dukungan sosial atau coping stress pada penderita komplikasi diabetes


(4)

mellitus setelah amputasi. Mengingat bahwa dukungan sosial dan coping stress dapat membantu penderita komplikasi diabetes mellitus untuk menerima kondisi mereka setelah diamputasi.

b. Penelitian selanjutnya agar mendapatkan teori tambahan tentang komplikasi diabetes mellitus yang bisa mengakibatkan amputasi, sehingga bisa mendapatkan gambaran yang lebih luas lagi.

c. Penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan metode observasi sebagai salah satu alat pengumpulan data bukan sebagai alat pendukung saja agar data yang didapat lebih lengkap dan komprehensif.

d. Penelitian selanjutnya diharapkan melakukan pengambilan data tambahan dengan melakukan kroscek data terhadap orang-orang yang mengetahui identitas subjek, dan dokumen pribadi seperti catatan harian subjek.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Anies, Dr. (2006). Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular : Solusi Pencegahan dari Aspek Perilaku dan Lingkungan. Jakarta : Alex Media Komputindo.

Calhoun, J.F., Acocella, J.R. (1990). Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan (Edisi ketiga). New York: McGrawHill.

Grasha, A.F., Kirschenbaum, D.S. (1980). Psychology of Adjustment and Competence. USA: Winthrop Publishers, Inc.

Haber, Audrey., Runyon, Richard P. (1984). Psychology of Adjustment. Illinois : The Dorsey Press.

Hariwijaya, M., & Sutanto. (2007). Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit Kronis. Jakarta : Edsa Mahkota.

Irmayanti S., J. (2008). Dinamika Penyesuaian Diri Pada Wanita Bercerai. Tugas Akhir. Medan : USU.

Johnson, M. (1998). Diabetes Terapi dan Pencegahannya. Jawa Barat : Indonesia Publishing House.

Lanywati, Endang. (2001). Diabetes Mellitus Penyakit Kencing Manis. Yogyakarta : Kanisius.

Moleong, Lexy. J. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy. J. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Poerwandari, E Kristi. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian manusia. Jakarta : LPSP3 UI.

Poerwandari, E, K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pembangunan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Ranakusuma. (1987). Penyakit Kencing Manis Diabetes Mellitus. Jakarta: UI-Press.


(6)

Santrock, J. W., (1997). Life-Span Development (sixth edition). McGraw Hill : USA.

Schneiders, A. A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York : Holt, Renehart & Winston.

Soegondo, S. (2004). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Dalam Soegondo, S.. Soewondo, P., & Subekti, I. (eds), Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. (pp. 17-28). Jakarta – Fakultas Kedikteran UI.

Subekti, I. (2004). Apa Itu Diabetes : Patofisiologi, Gejala dan Tanda. Dalam Soegondo, S., Soewondo, P., & Subekti, I.. (eds), Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. (pp. 251-256). Jakarta : Fakultas Kedokteran UI.

Tandra, H. (2008). Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Waspadji,. (2008). [On-line].

kaki-bagi-penyandang-diabetes.html. Diakses Tanggal 15 April 2009.