PERANAN MANGROVE DALAM MITIGASI PERUBAHA

Buletin PSL Universitas Surabaya 18(2006): 9-10.
PERANAN MANGROVE DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Hery Purnobasuki
Dept. Biologi FST Universitas Airlangga

Hasil penelitian terbaru menunjukkan
bahwa mangrove memberi sumbangan
sangat potensial untuk mengurangi emisi
karbon dibanding hutan hujan tropis.
Hutan mangrove mempunyai peranan
kunci dalam strategi mitigasi perubahan
iklim. Masalahnya, mangrove terus
mengalami kerusakan dengan cepat di
sepanjang garis pantai, sejalan dengan
persoalan emisi gas rumah kaca. Para ahli
dari Center for International Forestry
Research (Cifor) dan USDA Forest
Service menekankan perlunya hutan
mangrove dilindungi sebagai bagian dari
upaya global dalam melawan perubahan

iklim.
Menurut peneliti senior Cifor bahwa
kerusakan mangrove saat ini sudah pada
tingkat yang menghawatirkan. Hal ini
harus segera ditangani secara serius dan
harus dihentikan. Bisa kita lihat tingkat
keparahan dari kerusakan hutan ini, pada
15 -20 tahun lalu, luas hutan mangrove
Indonesia masih sekitar 8 juta hektar. Saat
ini diperkirakan tinggal 2,5 juta hektar.
Sungguh luar biasa kerusakan ini. Seakan
kita tidak peduli lagi terhadap kenyataan
ini, walaupun bahaya akibat hal ini terus
mengancam.
Untuk lebih mengenal dan menyadari
peranan penting mangrove maka kita dapat
melihat fungsi mereka sebagai individu
tanaman dan lebih jauh lagi menjadi suatu
ekosistem yang unik di daerah garis
perbatasan darat dan lautan. Terkait

dengan hal ini penulis mencoba untuk
menghubungkan dengan fenomena saat ini
yang terkait dengan perubahan-perubahan

iklim yang tidak menentu di permukaan
bumi ini. Apakah mangrove memang
benar mempunyai peranan dalam mitigasi
perubahan iklim?
Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa
dibandingkan
dengan
kebanyakan hutan tropis, ternyata
hutan mangrove memiliki kemampuan
menyimpan karbon lebih banyak.
Karbon lebih banyak tersimpan di bawah
hutan bakau daripada di atas permukaan
tanah dan air. Hasil penelitian para ahli
di
Cifor

menunjukkan
bahwa
penyimpanan karbon di mangrove di
sepanjang kawasan pesisir wilayah IndoPacific. Meski hanya memiliki luas 0,7%
dari luasan hutan, akan tetapi mangrove
dapat menyimpan sekitar 10% dari semua
emisi. Sebagian besar karbon disimpan di
dalam tanah di bawah hutan mangrove. Di
hutan mangrove yang dikategorikan
sebagai
ekosistem
lahan
basah,
penyimpanan karbon mencapai 800-1.200
ton per hektar. Pelepasan emisi ke udara
pada hutan mangrove lebih kecil daripada
hutan di daratan, hal ini karena
pembusukan serasah tanaman aquatic tidak
melepaskan karbon ke udara. Adapun
tanaman hutan tropis yang mati

melepaskan sekitar 50 persen karbonnya
ke udara.
Pelepasan emisi yang berlebihan dari hasil
aktivitas metabolisme organism atau hasil
pembusukan ke udara bebas merupakan
bentuk cemaran tersendiri bagi atmosfer
yang pada dasarnya bersifat negative
terhadap kondisi lingkungan yang pada
akhirnya akan mempengaruhi cuaca atau

iklim dalam skala besar. Dari akumulasi
perubahan-perubahan kecil nantinya akan
mengarah pada perubahan besar. Emisi
karbon di alam dapat mempunyai bentuk
yang beragam diantara dalam bentuk CO2
(karbon dioksida) dari hasil respirasi
organisme dan CO (karbon monoksida)
dari hasil pembakaran fosil atau minyak
bumi.
Aktivitas

lainnya
seperti
pembakaran, merokok, keluarnya gas alam
CH4 (metana), gas rumah kaca seperti
HFC (hidrofluorokarbon) atau PFC
(perfluorokarbon) dan yang lainnya juga
menyumbang peningkatan gas karbon di
alam.
Lalu masalahnya dimana sehingga
berpengaruh terhadap iklim global dan apa
kaitannya dengan mangrove? Hutan
mangrove memiliki kerapatan empat kali
lebih besar dibandingkan hutan tropis pada
umumnya. Potensi penyimpanan karbon
pun berbanding jauh lebih besar.
Perusakan terhadap tanaman mangrove
terus terjadi dan menyebabkan kerusakan
substrat di bawahnya. Mangrove atau biasa
disebut bakau memiliki kesamaan sifat
dengan lahan gambut. Hutan mangrove,

rawa pasang surut, dan padang lamun
menghilangkan karbon dari atmosfer serta
menguncinya di dalam tanah selama
ratusan hingga ribuan tahun. Tidak seperti
hutan daratan umumnya, ekosistem laut
secara
terus-menerus
membangun
kantong-kantong karbon dalam jumlah
besar di dalam sedimen laut.

Carbon Sinks
Dengan kemampuan mangrove dalam
menyimpan karbon, maka peningkatan
emisi karbon di alam tentu dapat lebih
dikurangi. Jadi dalam hal ini habitat
mangrove merupakan tempat pembenaman
karbon (carbon sinks) yang besar. Menurut
beberapa literatur, carbon sinks, atau
carbon dioxide sinks, adalah reservoir atau

tempat ntuk menyimpan atau menyerap

gas karbon dioksida yang terdapat di
atmosfer bumi. Hutan dan laut adalah
tempat alamiah di bumi ini yang berfungsi
untuk menjadi tempat menyerap gas
karbon dioksida (CO2). Gas karbon
dioksida diserap oleh tumbuhan yang
sedang tumbuh dan disimpan di dalam
batang kayunya.
Proses berpindahnya gas karbon dioksida
dari atmosfer (ke dalam vegetasi dan
lautan) biasa disebut sebagai carbon
sequestration. Beberapa ahli di negaranegara maju saat ini banyak yang aktif
meneliti tentang proses ini dan berharap
menemukan sebuah cara efektif untuk
membuat sebuah proses buatan dalam
rangka mengurangi laju perubahan iklim
global (mitigasi pemanasan global) yang
menurut para ahli berada dalam level yang

“cukup mencemaskan” abad ini.
Di Hutan, dalam proses fotosintesis,
tanaman menyerap karbon dioksida dari
atmosfer, menyimpan karbonnya dan
melepaskan gas oksigennya kembali ke
atmosfer. Hutan yang sedang tumbuh
(hutan yang masih muda) akan berfungsi
sangat baik sebagai carbon sinks, karena
vegetasi di sana secara cepat akan
menyerap banyak gas karbon dioksida
pada proses fotosintesa dalam rangka
tumbuh dan berkembangnya vegetasi.
Vegetasi akan kembali melepaskan karbon
dioksida ke atmosfer ketika mereka mati.
Secara alamiah, dengan mengabaikan
aktivitas manusia, proses terserap dan
terlepasnya karbon dioksida ke atmosfer
akan berjalan secara berimbang atau netral.
Artinya, jumlah gas karbon dioksida di
atmosfer relatif tetap terhadap waktu.

Aktivitas manusia, seperti penebangan dan
pembakaran hutan
terutama hutan
mangrove, akan menjadikan karbon
dioksida yang terlepas ke atmosfer lebih
besar daripada yang mampu diserap dan
disimpan
hutan,
apalagi
jika
memperhitungkan jumlah pemakaian
bahan bakar fosil yang semakin hari

semakin meningkat. Konversi hutan
menjadi daerah pertanian juga berperan
sangat besar dalam proses kembalinya gas
karbon dioksida ke atmosfer. Lahan basah
yang
dikeringkan
untuk

pertanian
berpotensi juga melepaskan gas nitroksida
akibat persenyawaan dengan pupuk. Pada
satu hektar lahan menghasilkan 4-5
kilogram
gas
nitroksida.
”Jumlah
nitroksida 4-5 kilogram itu setara dengan 1
ton karbon dioksida.
Dalam Protokol Kyoto, negara-negara
yang memiliki hutan yang luas dapat
mengambil keuntungan, dari sumberdaya
hutannya
tersebut,
melalui
skema
perdagangan emisi. Dalam skema ini, akan
ada negara yang berperan sebagai penjual
emisi dan juga negara sebagai pembeli

emisi. Penulis sendiri kurang tahu sudah
sejauh mana para negara penjual dan
pembeli emisi ini membuat aturan main
perdagangan emisi mereka. Jika ditinjau
dari sumberdaya hutannya, Indonesia
sebenarnya bisa berperan dan berpeluang
cukup besar dalam perdagangan emisi ini,
apalagi kalau kita bisa menjaga
sumberdaya hutan kita dengan baik.
Potensi daya serap karbon hutan di
Indonesia berbeda-beda, misalnya saja,
telah diteliti bahwa satu hektare hutan
mangrove menyerap 110 kilogram karbon
dan sepertiganya dilepaskan berupa
endapan organik di lumpur. Penebangan
hutan
mangrove
menyebabkan
pembebasan karbon, endapan ini akan
tetap terisolasi selama ribuan tahun.
Karena itu, perubahan mangrove menjadi
tambak udang, seperti yang dilakukan
sementara orang sekarang ini, akan
mempercepat pelepasan karbon ke
atmosfer pula. Maka, dengan mencegah
penggundulan
hutan,
negara-negara
berkembang
dapat
secara
efektif
mereduksi
emisi
dan
menurunkan
pemanasan global.
Pemanfaatan Karbon di Alam

Walaupun demikian sesungguhnya, gas
karbon dioksida bukanlah suatu masalah.
Gas karbon dioksida adalah salah satu
yang menunjang kehidupan di atas bumi.
Tanpa gas karbon dioksida didalam
atmospir, bumi tidak bisa mendukung
kehidupan sebab temperatur bumi akan
terlalu dingin dan semua air akan
membeku. Gas karbon dioksida adalah
suatu peredam kuat sinar inframerah, gas
karbon dioksida akan menyerap panas
yang dipancarkan bumi dan dipantulkan
kembali. Ini adalah sebagai efek rumah
kaca. Proses tersebut merupakan suatu
proses alami yang sangat penting bagi
terbentuknya
kehidupan
di
bumi.
Bagaimanapun, ketika ada terlalu banyak
gas karbon dioksida didalam atmospir,
efek rumah kaca diintensifkan, hal tersebut
akan menyebabkan suatu masalah bagi
lingkungan. Sebelum masa revolusi
industri, konsentrasi gas karbon dioksida
didalam atmospir adalah 280 ppm. Sejak
tahun 1880, akibat dari peningkatan
pembakaran bahan bakar fosil sebagai
suatu sumber energi, konsentrasi CO2 telah
dengan mantap bangkit sebanyak kira-kira
1,5 ppm/tahun sehingga kandungan gas
karbon dioksida dalam atmosfir pada saat
ini mencapai 365 ppm. Selain itu
keberadaan gas karbon dioksida juga
sangat dibutuhkan tumbuhan untuk proses
fotosintesis yang nantinya menghasilkan
oksigen bagi kehidupan di permukaan
bumi.
Menurut ilmu biologi kenapa hutan bisa
menyerap karbon karena hutan adalah
tempat sekumpulan pohon yang memiliki
aktifitas biologisnya seperti fotosintesis
dan respirasi. Dalam fotosintesis pohon
(tanaman) menyerap CO2 dan H2O dibantu
dengan sinar matahari diubah menjadi
glukosa yang merupakan sumber energi
(sebelumnya diubah dulu melalui proses
respirasi) tanaman tersebut dan juga
menghasilkan H2O dan O2 yang
merupakan suatu unsure yang dibutuhkan
oleh oranisme untuk melangsungkan
kehidupan (bernapas). Sehingga, hanya

dengan mengetahui dan memahami hal
tersebut kita harus sadar bahwa hutan
sangat
dibutuhkan
manusia
untuk
menyerap carbon yang berlebih dalam
atmosfer.
Mekanisme tanaman dalam menyerap
karbon melalui fotosintesis. Fotosintesis
adalah
proses
penyusunan
energi
menggunakan cahaya pada organisme
yang memiliki kloroplas. Fotosintesis
adalah prose kimia yang paling penting di
bumi ini. Kebanyakan tanaman melakukan
fotosintesis
pada
daunnya.
Proses
fotosintesis diawali dengan reaksi terang
pada reaksi terang eneri matahari di
convert ke chemical energi dan diproduksi
oksigen. Lalu tahap yang kedua adalah
siklus calvin yang membuat molekul gula
dari karbon yang membutuhkan energi
ATP yang didapat dari proses respirasi.
Siklus ini juga membawa hasil produksi
dari reaksi terang.
Tumbuhan yang memiliki banyak daun
lebih berpotensi menyerap carbon lebih
banyak dari tumbuhan lain. Tetapi,
penyerapan karbon juga bergantung dari
kondisi tumbuhan tersebut apakah
tumbuhan tersebut tumbuh optimal pada
tempat yang sesuai dan tanahnya mengan
dung nutrien yang cukup untuk
menghidupi pohon tersebut.
Sekecil apapun yang namanya kerusakan
pasti memberikan kontribusi terhadap
kerusakan besar, karena besar itu berasal
dari yang kecil. Untuk itu jagalah perilaku
kita untuk tidak terbiasa melakukan
kerusakan walaupun kecil. Mangrove
merupakan ekosistem unik yang harus
tetap dilestarikan. Melihat peranannya
yang begitu penting dalam mitigasi
perubahan iklim, maka tidak ada alas an
lagi untuk tidak menjaga kelestarian
mangrove. Oleh karena itu, lestarikan
hutan sebagi penyerap karbon terbesar dan
sebagai makhluk yang memberikan unsur
pembentuk kehidupan makhluk lainnya.
Salam mangrove.