ANALISIS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN

(Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung) Oleh

ERLANGGA REKAYASA

Perkara pidana lalu lintas pada umumnya terjadi karena faktor ketidaksengajaan, karena pada dasarnya baik pelaku maupun korban perkara pidana lalu lintas tidak mengharapkan hal tersebut terjadi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian? (2) Apakah faktor-faktor yang menghambat penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian yaitu anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Penyelesaian tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian dilaksanakan dengan mekanisme hukum pidana yang berlaku melalui proses peradilan, namun demikian pelaku dan keluarga korban dapat melakukan perdamaian, karena pada dasarnya tindak pidana lalu lintas terjadi tanpa kesengajaan. Perdamaian yang dilakukan oleh pelaku dan keluarga korban dimediasi oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung tidak menghapuskan unsur pidana dalam perkara lalu lintas yang terjadi. (2) Faktor-faktor yang menghambat penyelesaian tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang mengebabkan kematian adalah: a) Faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah anggota Satlantas Polresta Bandar Lampung dalam menangani perkara lalu lintas di seluruh Kota Bandar Lampung dan secara kualitas masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan penyidik Satlantas dalam menerapkan perdamaian dalam penyelesaian perkara pidana lalu lintas. b) Faktor masyarakat, yaitu ketidak lengkapan data dan informasi yang disampaikan oleh pelaku dan korban yang terlibat dalam perkara pidana lalu lintas, sehingga pelaku dan korban hanya memberikan data yang dianggap tidak berpotensi merugikan pihaknya. c) Faktor Kebudayaan, yaitu karakter personal pelaku, korban dan kleluarganya yang tidak mendukung penyelesaian perkara di luar peradilan atau perdamaian.


(2)

Erlangga Rekayasa

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum disarankan terus meningkatkan profesionalisme dan kapasitas sebagai pelaksana proses perdamaian antara pihak-pihak yang terlibat dalam perkara pidana lalu lintas, dengan cara terus mengasah potensi yaitu mengikuti berbagai pelatihan untuk menyesuaikan diri pada perkembangan teknik perdamaian (2) Kepada pelaku dan korban yang terlibat dalam perkara pidana lalu lintas hendaknya menyampaikan data dan informasi secara lengkap dan akurat kepada penyidik selaku mediator mengenai peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas. Hal ini penting dilakukan agar penyidik selaku mediator memiliki gambaran yang jelas mengenai peristiwa yang terjadi serta dapat mengupayakan jalan keluar terbaik.


(3)

i

ANALISIS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN

(Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

Oleh

ERLANGGA REKAYASA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 28 Februari 1991, merupakan putra ke tiga dari empat bersaudara, pasangan Bapak Ir.Herry Azhari M.M. dan Ibu Sri Destho Sujiati S.E

Penulis menempuh pendidikan TK Assalam Bandar Lampung selesai pada tahun 1997, Sekolah Dasar (SD) Negeri 3 Kuripan Kota Agung Tanggamus diselesaikan pada Tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Bandar lampung diselesaikan pada tahun 2006, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 12 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2009. Pada Tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(8)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahmat dan

Hidayah-Nya Serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Papa dan Mama

sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan

membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan kasih

sayang yang tulus dan memberikan do’a

yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati

serta yang tidak pernah meninggalkan penulis

dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun

kakak ku Agnes Nara Egyta,S.E dan Citra Ria beserta adikku Cindy,

yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju memikirkan

masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang.

Keluarga besarku atas motivasi dan dukungannya untuk keberhasilanku

Yang spesial Mama tercinta

selalu memberikan motivasi serta semangat kepada penulis

demi terselesaikannya skripsi ini

Almamaterku Tercinta

Universitas Lampung


(9)

MOTO

Orang yang menginginkan impiannya menjadi kenyataan harus menjaga diri

agar tidak tertidur

(Richard Wheeler)

If you know can do better,then do better

(Penulis)


(10)

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Analisis Penyelesaian Perkara Pidana Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak Yang Menyebabkan Kematian” (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Heryandi,S.H.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

4. Bapak Dr.Maroni, S.H.,M.H., selaku Pembimbing I, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini


(11)

5. Ibu Dona Monica Raisa, S.H.,M.H, selaku Pembimbing II, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

6. Bapak Tri Adrisman,S.H,M.H, selaku Pembahas I, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

7. Bapak A.Irzal Ferdiansyah,S.H,M.H,selaku Pembahas II, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

8. Ibu Hj. Aprilianti, S.H,M.H, selaku Pembimbing Akademik, atas bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi

9. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi

10.Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi

11.Kepala Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas lampung yang telah memberikan izin penelitian, saran serta masukan kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini

12.Teman-teman sekaligus sahabat seperjuangan Niko Dul,Riski Catring,Seto Penyayang dan yang lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu kalian yang telah menjadi penghibur disaat saya mengalami masalah serta Lidya yang selalu memberi semangat dalam pembuatan skripsi ini

13.Teman-teman KKN Desa Sukamernah

14.Seluruh angkatan 2009, terutama teman-teman Jurusan Pidana 2009 atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya


(12)

dukungannya.

16.Almamater tercinta Universitas Lampung

Penulis menyadari bahawa skripsi ini kurang sempurna, oleh karenanya kritik dan saran apapun bentuknya penulis hargai guna melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Semoga amal ibadahnya di terima oleh Allah SWT.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana Lalu Lintas ... 16

B. Tinjauan Umum Tentang Anak ... 21

C. Keadilan Restoratif dan Diversi ... 28

III. METODE PENELITIAN ... 40

A. Pendekatan Masalah ... 40

B. Sumber dan Jenis Data ... 40

C. Penentuan Narasumber... 42

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 42

E. Analisis Data ... 43

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Karakteristik Narasumber ... 44

B. Penyelesaian Perkara Pidana Lalu Lintas yang Dilakukan Anak yang Menyebabkan Kematian ... 45

C. Faktor-Faktor yang Menghambat Penyelesaian Perkara Pidana Lalu Lintas yang Dilakukan Anak yang Menyebabkan Kematian ... 62


(14)

A. Simpulan ... 68 B. Saran ... 69


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak pada dasarnya merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan potensi masa depan dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Pengertian anak Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.1 Sementara itu anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 2

Seiring dengan perkembangan zaman dapat dilihat bahwa telah terjadi pola perubahan dan perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Anak yang seharusnya menjalani kehidupannya secara wajar sesuai dengan usianya, ternyata melakukan berbagai perbuatan tercela yang mengarah pada pelanggaran dan tindak pidana, seperti menjadi pelaku tindak pidana pencurian, pencabulan bahkan pembunuhan.

1

Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

2


(16)

Fenomena lain yang saat ini berkembang adalah anak telah terbiasa mengendarai kendaraan bermotor, padahal mereka belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), belum memahami dan tidak mematuhi peraturan lalu lintas, tidak memiliki kemampuan mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan tidak mengutamakan keselamatan dalam berkendara. Pada umumnya anak yang mengendarai kendaraan bermotor berstatus sebagai pelajar yang belum memahami kelas jalan, rambu-rambu dan marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi, gerak lalu lintas berhenti dan parkir, persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor dan tidak mengindahkan kecepatan minimum dan kecepatan maksimum dalam berkendara. Berbagai hal tersebut menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas di kalangan pelajar atau yang dikategorikan sebagai anak.

Sebagai contoh kasus tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak adalah kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ (13 tahun), yang mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, sehingga menabrak pembatas jalan dan menabrak dua mobil lain, sehingga mengakibatkan 7 pengendara mobil tersebut meninggal dunia dan 9 terluka. Pihak kepolisian telah melakukan penyidikan terhadap perkara ini dan menetapkan AQJ sebagai tersangka, karena Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Kelalaian AQJ yang mengakibatkan kecelakaan dengan korban meninggal dunia dengan ancaman 6 tahun pidana penjara. AQJ juga melanggar Pasal 281 jo. Pasal 77 UU LLAJ, karena mengemudikan kendaraan bermotor tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Selain itu melanggar Pasal 280 jo. Pasal 68 UU LLAJ karena Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang dipasang tidak sesuai dengan yang


(17)

3

ditetapkan Polri. 3 Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mendakwa AQJ (Dul) karena melanggar Pasal 310 ayat (1), (3) dan (4), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dengan ancaman hukuman 6 tahun pidana penjara.4

Pasal 310 ayat (1), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009:

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Perkara tindak pidana lalu lintas umumnya terjadi tanpa kesengajaan, di sini yang ada hanya unsur kealpaan atau kelalaian. Pengenaan pidana kepada orang yang karena alpa melakukan kejahatan disebut dengan strict liability, artinya ada kejahatan yang pada waktu terjadinya keadaan mental terdakwa adalah tidak mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan. Namun meskipun demikian dia dipandang tetap bertanggung jawab atas terjadinya perkara yang terlarang itu, walaupun dia sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan yang ternyata adalah kejahatan.5

3

http://hukum.kompasiana.com/2013/09/29/pertanggungjawaban-pidana-anak-ditengah-masa- transisi. artikel/heruwijayanto.Diakses Sabtu 29 April 2014

4

http://www.indopos.co.id/2014/02/dul-di-tuntut-enam-jaksa.html Diakses Sabtu 29 April 2014

5

C.S.T, Kansil dan Christine S.T. Kansil, Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya ,Jakarta, Rineka Cipta, 1995, hlm.4


(18)

Ketentuan Pasal 229 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menggolongkan kecelakaan lalu lintas sebagai berikut:

(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas: a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

Selanjutnya ketentuan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan bahwa perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan aturan perundang-undangan. Aparat penegak hukum dalam menangani perkara pidana lalu lintas dapat melakukan tindakan represif yaitu tindakan yang pada prinsipnya didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP, misalnya dalam bentuk penegakah hukum (penyidikan) kepada pelaku, namun dalam hal tertentu tindakan represif tidak harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan dapat juga dibenarkan oleh Pengadilan.

Kriteria seperti di atas dalam praktek Polisi sebagai penyidik penegak hukum juga bisa menyelesaikan kasus yang menyangkut tindak pidana lalu lintas khususnya


(19)

5

dari pasal itu menjelaskan unsur kesalahan yang berbentuk culpa dimana akibat yang berakibat matinya korban. Kealpaan maka satu-satunya ukuran yang diperlukan untuk adanya kealpaan tersebut ada perbuatan yang obyektif menyebabkan mati atau luka-luka ialah apakah dalam melakukan perbuatan telah memperhatikan dan mentaati norma-norma yang bertalian dengan perbuatan tersebut, baik yang telah diwujudkan sebagai peraturan tertulis maupun masih menampakkan diri sebagai perbuatan yang patut atau tidak patut. 6

Perkara pidana lalu lintas dapat diselesaikan melalui perdamaian sebagai proses penyelesaian pekara pidana lalu lintas di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution). Polisi sebagai penyidik dalam menyelesaikan tindak pidana lalu lintas khususnya yang termasuk Pasal 359 KUHP di luar Pengadilan ini kalau pelaku dan pihak korban sudah ada kesepakatan kehendak. Penyelesaian di dalam Pengadilan, apabila para pihak pelaku dan keluarga korban tidak ada kesepakatan kehendak untuk diselesaikan di luar Pengadilan, Polisi sebagai penyidik sesuai dengan tugasnya membuat berita acara tentang kejadiannya dan kemudian menyerahkan ke Jaksa penuntut Umum agar dilakukan penuntutan. Hukum Pidana harus dipandang sebagai hukum yang mempunyai fungsi subsider, karena hukum pidana baru digunakan apabila upaya lain dirasakan tidak berhasil atau tidak sesuai.

Uraian di atas selaras dengan konsep pemidanaan yang diwujudkan dalam proses Pengadilan itu bertujuan untuk prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum yaitu dengan dipidananya pelaku kejahatan maka diharapkan pelaku akan mengurungkan niatnya untuk berbuat jahat, sedangkan prevensi khusus yaitu dengan telah diselesainya menjalani pidana maka ia diharapkan tidak akan mengulangi lagi

6


(20)

perbuatannya. Persyaratan pidana pada umumnya meliputi persyaratan yang menyangkut segi perbuatan dan segi orang. Kedua segi tersebut terdapat dua asas yang saling berpasangan yaitu asas legalitas yang menyangkut segi perbuatan dan asas culpabilitas atau kesalahan yang menyangkut segi orang. Asas legalitas menghendaki ketentuan yang pasti lebih dahulu, sedangkan asas kesalahan menghendaki agar hanya orang yang bersalah yang dapat dikenakan pemidanaan.

Polisi sebagai penyidik dalam menangani perkara kecelakaan lalu lintas harus melihat dahulu sebab-sebab terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut, sehingga dapat tidaknya perkara tersebut diselesaikan di luar pengadilan atau harus melalui pengadilan. Polisi dalam menentukan kriteria tersebut harus mempunyai dasar keahlian khusus di bidang lalu lintas karena polisi tersebut dalam menangani perkara tersebut harus dapat menyelesaikan dengan baik dan adil. Adapun dalam hal tersebut berkaitan langsung dengan cara penyelesaiannya, apabila dapat dibuktikan karena kealpaan pelaku dan korban dianggap bersalah maka dapat diselesaikan di luar pengadilan dan sebaliknya apabila kesalahan dari pelaku maka polisi selaku penyidik akan melimpahkan perkara tersebut ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan dan selanjutnya harus diselesaikan melalui pengadilan.

Kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan beberapa dampak terhadap korbannya yaitu sebagai berikut:

1) Meninggal dunia adalah korban kecelakaan lalu lintas yang dipastikan meninggal dunia akibat kecelakaan laulintas dalam jangka paling lama 30 hari stelah kecelakaan tersebut.


(21)

7

2) Luka berat adalah korban kecelakaan yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat di inap di rumah sakit dalam jangka lebih dari 30 hari sejak terjadi kecelakaan. Suatu kejadian digolongkan cacat tetap jika sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali dan tidak dapat pulih kembali untuk selama-lamanya (cacat permanen/seumur hidup).

3) Luka ringan adalah korban yang mengalami luka-luka yang tidak memerlukan rawat inap atau harus diinap lebih dari 30 hari.

Sebagai contoh perkara kecelakaan lalu lintas yang diselesaikan di luar pengadilan adalah tabrakan sepeda motor antara korban Suhardi Bin Zubir (28 tahun) yang mengendarai Sepeda Motor Yamaha Mio Nopol BE 6553 YS dengan tersangka Oghi Putra (16 tahun) yang mengendarai sepeda Motor Yamaha Vega R Nopol BE 8791 CU. Kecelakaan terjadi pada Hari Jum'at, Tanggal 11 November 2013, pukul 21.00 wib di Jl. Soekarno Hatta Simpang Gg. Sawah Baru By Pass Raya Rajabasa Bandar Lampung. Keluarga kedua belah pihak telah mengadakan perdamaian dan menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan. Dalam konteks ini Pihak Kepolisian menjadi fasilitator untuk mengupayakan perdamaian.7

Kesenjangan yang terjadi dalam perkara di atas adalah meskipun Pihak Kepolisian telah memfasilitasi upaya perdamaian antara pelaku dengan pihak keluarga korban, tetapi proses hukum tetap berjalan, padahal Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.


(22)

Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian dan menuangkannya ke dalam Skripsi yang berjudul: “Analisis Penyelesaian Perkara Pidana Lalu Lintas

yang Dilakukan oleh Anak yang Menyebabkan Kematian” B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak

yang menyebabkan kematian?

b. Apakah faktor-faktor yang menghambat penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan kajian mengenai pelaksanaan penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian dan faktor-faktor yang menghambatnya. Lokasi penelitian dilaksanakan pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dengan waktu penelitian yaitu pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian


(23)

9

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan alternative dispute resolution terhadap tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai kontribusi positif bagi pihak Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung sebagai aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara pidana lalu lintas, khususnya oleh anak di bawah umur yang menyebabkan korbannya mengalami kematian.

D. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum.8 Kerangka teoritis yang lain digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Diversi dan Tujuan Pemidanaan

Menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

8


(24)

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa diversi bertujuan:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak

Ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Pasal 7 Ayat (2) menyebutkan bahwa diversi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a) diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan (b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Tujuan diversi dalam sistem peradilan pidana tersebut adalah untuk semakin efektifnya perlindungan anak dalam sistem peradilan demin terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system) atau juga bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai yang telah ada sebelumnya. Pemberlakuan kedua undang-undang tersebut merupakan upaya untuk memenuhi berbagai hak anak yang bermasalah dengan hukum. 9

Pada pelaksanaannya apabila diversi tidak tercapai maka dilaksanakan pemidanaan. Pemidanaan dalam aliran hukum secara garis besar dapat dibagi dua yaitu aliran klasik dan aliran modern, aliran klasik dipengaruhi paham indeterministis, yaitu paham yang menganggap manusia mempunyai kehendak bebas dalam melakukan

9

Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009, hlm.34


(25)

11

tindakan dan pidana ditentukan secara pasti. Aliran klasik ini berpijak pada tiga asas sebagai berikut:

a. Asas legalitas yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa Undang-Undang, tiada tindak pidana tanpa Undang dan tiada penuntutan tanpa Undang-Undang.

b. Asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana bukannya dengan sengaja atau kealpaan.

c. Asas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler yang berisi bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengar maksud untuk mencapai sesuatu basil yang bermanfaat, melainkan stimpal dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan 10

Sehubungan dengan hal tersebut menurut Muladi, tujuan pemidanaan dikenal tiga teori tujuan pemidanaan, yaitu sebagai berikut:

a. Teori Absolut atau Pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan suatu pembalasan yang mutlak dari tindak pidana tanpa tawar menawar.Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat jelas bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan masyarakat. tetapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan.

b. Teori Relatif atau Tujuan

Menurut teori relatif, tujuan pidana bukanlah sekedar melaksanakan pembalasan dari suatu perbuatan jahat, tetapi juga rnernpunyai tujuan lain yang bermanfaat, dalam arti bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang telah berbuat jahat, melainkan pidana dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan. Memidana harus ada tujuan lebih lanjut daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Jadi dasar pembenaran pidana munurut teori relatif atau tujuan ini adalah terletak pada tujuannya. Teori ini seperti telah dikenal dengan rehabilitation theory. Ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu pengaruh pencegahan, pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh mendorong suatu kebiasaan perbuatan patuh pada hukum. Prevensi umum mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan kewibawaan, menegakkan norma dan membentuk norma. Tujuan pidana untuk rnencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara prevensi khusus (special prevention) dengan prevensi umum (general prevention), prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap pidana hingga pencegahan kejahatan ini ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana.

10

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 101-102.


(26)

c. Teori Integratif atau Gabungan

Menurut teori ini pemberian pidana di samping sebagai pembalasan dari suatu tindak pidana yang dilakukan juga sebagai usaha mencegah dilakukannya tindak pidana. Selain sebagai pembalasan atas suatu tidak pidana, pidana diberikan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat umum demi perlindungan masyarakat. Tujuan pidana dan pembenaran penjatuhan pidana di samping sebagai pembalasan juga diakui sebagai pidana yang memiliki kemanfaatan baik terhadap individu maupun terhadap masyarakat.11

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

(2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

(3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

(4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

11

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 2001. hlm. 75.


(27)

13

(5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.12

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian. Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penyelesaian adalah suatu proses menyelesain suatu masalah atau hal yang ditempuh melalui tahapan tertentu agar dapat menghasilkan penyelesaian yang sebaik-baiknya13

b. Perkara pidana adalah bagian dari perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku14

c. Perkara pidana lalu lintas adalah jenis perkara yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya persyaratan untuk mengemudikan kendaraaan oleh pengemudi, pelanggaran terhadap ketentuan peraturan lalu lintas maupun yang berkaitan

12

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1986, hlm.8-11

13

JS, Badudu, Komposisi Bahasa Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti2001, hlm. 23

14

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 1993, hlm. 46


(28)

dengan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang berakibat pada timbulnya korban baik luka-luka maupun meninggal dunia. 15

d. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum16

e. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 Ayat (2), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)

f. Kematian adalah suatu keadaan di mana seseorang kehilangan nyawanya atau meninggal dunia17

E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

15

C,S,T, Kansil dan Christine S,T, Kansil, Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya ,Jakarta, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm.41

16

Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1998, hlm. 25

17


(29)

15

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian penegakan hukum, pengertian dan unsur-unsur tindak pidana dan tindak pidana lalu lintas dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dalam penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian dan faktor-faktor yang menghambat penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana Lalu Lintas

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 18

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan19

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku

18

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra Adityta Bakti, 1996, hlm. 16

19

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2001, hlm. 22


(31)

17

III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana

c. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang dan Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak


(32)

pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal20

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat ( = perbuatan )

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.21

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

20Ibid

, hlm. 25-27

21Ibid


(33)

19

2. Pengertian Tindak Pidana Lalu Lintas

Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sangat sulit di prediksi kapan dan dimana terjadinya. Kecelakaan tidak hanya mengakibatkan trauma, cidera, ataupun kecacatan tetapi dapat mengakibatkan kematian. Kasus kecelakaan sulit diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan22

Berdasarkan defenisi tentang kecelakaan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang tidak disangka-sangka atau diduga dan tidak diinginkan disebabkan oleh kenderaan bermotor, terjadi di jalan raya, atau tempat terbuka yang dijadikan sebagai sarana lalu lintas seerta mengakibatkan kerusakan, luka-luka, kematian manusia dan kerugian harta benda.

Karakteristik kecelakaan lalu lintas menurut jumlah kenderaan yang terlibat digolongkan menjadi:

1) Kecelakaan tunggal, yaitu kecelakaan yang hanya melibatkan satu kenderaan bermotor dan tidak melibatkan pemakai jalan lain, contohnya seperti menabrak pohon, kenderaan tergelcincir, dan terguling akibat ban pecah.

22

C.S.T, Kansil dan Christine S.T. Kansil, Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya, Jakarta, Rineka Cipta, 1995, hlm. 35


(34)

2) Kecelakaan ganda, yaitu yaitu kecelakaan yang melibatkan lebih dari satu kenderaan bermotor atau dengan pejalan kaki yang mengalami kecelakaan di waktu dan tempat yang bersamaan.23

Karakteristik kecelakaan menurut jenis tabrakan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Angle (RA), tabrakan antara kenderaan yang bergerak pada arah yang berbeda namun bukan dari arah yang berlawanan.

2) Rear-End (RE), kenderaan yang menabrak kenderaan lain yang bergerak searah. 3) Sideswipe (Ss), kenderaan yang bergerak yang menabrak kenderaan lain dari

samping ketika kenderaan berjalan pada arah yang sama atau pada arah yang berlainan.

4) Head-On (Ho), kenderaan yang bertabrakan dari arah yang berlawanan namun bukan Sideswipe, hal ini sering disebut masyarakat luas suatu tabrakan dengan istilah adu kambing.

5) Backing, tabrakan yang terjadi pada saat kenderaan mundur dan menabrak kenderaan lain ataupun sesuatu yang mengakbiatkan kerugian. 24

Dampak yang ditimbulkan akibat kecelakaan lalu lintas dapat menimpa sekaligus atau hanya beberapa hanya diantaranya. Berikut kondisi yang digunakan untuk mengklasifikasikan korban lalu lintas yaitu:

1) Meninggal dunia adalah korban kecelakaan lalu lintas yang dipastikan meninggal dunia akibat kecelakaan laulintas dalam jangka paling lama 30 hari stelah kecelakaan tersebut.

23

Ibid, hlm. 36

24


(35)

21

2) Luka berat adalah korban kecelakaan yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat di inap di rumah sakit dalam jangka lebih dari 30 hari sejak terjadi kecelakaan. Suatu kejadian digolongkan cacat tetap jika sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali dan tidak dapat pulih kembali untuk selama-lamanya (cacat permanen/seumur hidup).

3) Luka ringan adalah korban yang mengalami luka-luka yang tidak memerlukan rawat inap atau harus diinap lebih dari 30 hari. 25

Selanjutnya ketentuan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan bahwa perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aparat penegak hukum dalam menangani perkara pidana lalu lintas dapat melakukan tindakan represif yaitu tindakan yang pada prinsipnya didasarkan para peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP, namun dalam hal tertentu tindakan represif tidak harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan dapat juga dibenarkan oleh Pengadilan.

B. Tinjauan Umum Tentang Anak

1. Pengertian Anak

Beberapa pengertian mengenai anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang usia yang dikategorikan sebagai anak yang antara lain sebagai berikut:

25


(36)

a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 287 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa usia yang dikategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum mencapai lima belas tahun.

a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Pasal 1 angka (2) menyatakan anak adalah seorang yang belum mencapai batas usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Pasal 1 angka (1) menyatakan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin

c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal angka (5) menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 angka (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menjelaskan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan


(37)

23

hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang melakukan tindak pidana, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan itu harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme


(38)

yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu:

1) Nondiskriminasi;

2) Kepentingan yang terbaik bagi anak;

3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; 4) Penghargaan terhadap pendapat anak.

Upaya pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, memerlukan peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Hak-hak anak di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah sebagai berikut:

(a) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).

(b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).


(39)

25

(c) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).

(d) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7 Ayat (1) dan (2).

(e) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).

(f) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9 Ayat (1) dan (2).

(g) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).

(h) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11).


(40)

(i) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).

(j) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Setiap orang yang melakukan segala bentuk perlakuan itu dikenakan pemberatan hukuman (Pasal 13 Ayat (1) dan (2).

(k) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14).

(l) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).

(m)Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16 Ayat (1), (2) dan (3).

(n) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;


(41)

27

memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 Ayat (1) dan (2).

(o) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan perwujudan dari pemenuhan hak-hak anak dalam konteks sistem peradilan pidana anak. Hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini adalah sebagai berikut; sebagai tersangka, hak-hak yang diperoleh sebagai tindakan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan (fisik, psikologis dan kekerasan), hak untuk yang dilayani kerena penderitaan fisik, mental, dan sosial atau penyimpangan perilaku sosial; hak didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan, pengaduan dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan; hak untuk dilindungi dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporan dan pengaduan yang diberikan.

Hak-hak anak dalam proses penuntutan, meliputi sebagai berikut: menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan, membuat dakwaan yang dimengerti anak, secepatnya melimpahkan perkara ke Pengadilan, melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi. Hak-hak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan sebagai berikut; hak untuk mendapatkan keringanan masa/ waktu penahanan, hakuntuk mengganti status


(42)

penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara) menjadi tahanan rumah atau tahanan kota, hak untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara, hak untuk mendapatkan fasilitas dalam rangka pemerisaan dan penuntutan, hak untuk didampingi oleh penasehat hukum.

Hak-hak anak dalam proses persidangan antara lain adalah; hak untuk memperoleh pemberitahuan datang kesidang pengadilan (Pasal 145 KUHAP), hak untuk menerima surat penggilan guna menghadiri sidang pengadilan (Pasal 146 ayat (1) KUHAP), hak untuk memperoleh apa yang didakwakan (Pasal 51 hurub b KUHAP), hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah (Pasal 53, Pasal 177, Pasal 165 ayat (4) KUHAP), hak untuk mengusahakan atau mengajukan saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 ayat (4) KUHAP).

C. Keadilan Restoratif dan Diversi

1. Keadilan Restoratif

Konsep keadilan restoratif (restorative justice) merupakan paradigma baru dalam penegakan hukum pidana, meskipun sebenarnya konsep tersebut sudah lama berkembang dan dipraktikkan dalam penyelesaian perkara pidana di beberapa negara yang menganut common law system. Sebagai suatu filosofi pemidanaan, maka

restorative justice dalam implementasinya membutuhkan suatu konsep yang memiliki legitimasi dalam aplikasinya, sebagai wujud aktualisasi dari filosofi tersebut maka konsep tersebut harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Perubahan dan dinamika masyarakat yang teramat kompleks di satu sisi


(43)

29

sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata sifat publik dari hukum pidana bergeser sifatnya karena relatif juga memasuki ranah privat dengan dikenal dan dipraktekan mediasi penal sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara di luar pengadilan. 26

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu tidak merugikan seseorang dan perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil27

Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.

Hakim mampu menjadi seorang interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar pelaksana undang-undang. Artinya, hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif

26

Adrianus Meliala, Penyelesaian Sengketa Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.3

27


(44)

undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal28

Keadilan restoratif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum restoratif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak restoratif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan restoratif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan restoratif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum

Putusan perkara pidana mengenal kesenjangan dalam penjatuhan pidana yang lebih dikenal dengan disparitas. Disparitas adalah penerapan pidana (disparity of sentencing) yang tidak sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pemberian yang jelas. Disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice), secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum, meskipun

28


(45)

31

demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim. 29

Disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:

1) Disparitas antara tindak pidana yang sama

2) Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama 3) Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim

4) Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama30

Sesuai dengan pendapat di atas maka dapat diketahui adanya wadah dimana disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja kenyataan mengenai ruang lingkup tumbuhnya disparitas ini menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.

29

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 75

30

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 101-102.


(46)

Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Pedoman pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaan setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.31

Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat sudarto ini dibenarkan pula oleh Muladi, karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional.

Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap putusan hakim pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat penghukuman yang tepat dan serasi. Akan tetapi uniformitas mutlak bukanlah yang dimaksudkan, oleh karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, yang perlu hanyalah keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan rasa keadilan si terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/indikator dalam bentuk yang dinamakan

checking points yang disusun setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional maupun nasional dengan mengikutsertakan ahli-ahli yang disebut behavior scientist.”(Istilah uniformitas pemidanaan ini dirasa dapat

31


(47)

33

menimbulkan pengertian yang kurang sesuai dan oleh karenanya kata ketetapan dan keserasian pemidanaan lebih dipergunakan).

Hal lain yang dapat menimbulkan disparitas pidana adalah ketidakadaan patokan pemidanaan dalam perundang-undangan kita maupun dalam praktek di pengadilan. Tanpa pedoman yang memadai dalam undang-undang hukum pidana dikhawatirkan masalah disparitas pidana dikemudian hari akan menjadi lebih parah dibandingkan dengan saat ini. Dengan tidak adanya pedoman dalam hukum pidana, keanekaragaman pidana akan terjadi walaupun hakim-hakim akan melaksanakan tugas pemidanaan dengan penuh tanggung jawab dan secermat mungkin. Maksud patokan pemidanaan adalah pidana rata-rata yang dijatuhkan hakim dalam wilayah pengadilan tertentu. Dengan demikian pidana yang terlalu ekstrim, terlalu berat, atau terlalu ringan dapat dibatasi. Patokan ini tidak bersifat mutlak. Setiap majelis hakim bebas untuk menyimpang dari patokan tersebut, asalkan memberikan pertimbangan yang cukup dalam putusannya. 32

2. Diversi

Penyelesaian perkara anak yang melakukan tindak pidana tidak harus dilaksanakan dengan pemidanaan, tetapi diupayakan melalui cara lain yang berorientasi pada pembinaan terhadap anak, sehingga mereka menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulangi tindak pidana di masa yang akan datang.

Diversi menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa diversi adalah pengalihan

32

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 101-102.


(48)

penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa diversi bertujuan:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak

Ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Pasal 7 Ayat (2) menyebutkan bahwa diversi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a) diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Tujuan diversi dalam sistem peradilan pidana adalah untuk semakin efektifnya perlindungan anak demi terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system) atau juga bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai yang telah ada sebelumnya. Pemberlakuan kedua undang-undang tersebut merupakan upaya untuk memenuhi berbagai hak anak yang bermasalah dengan hukum. 33

Diversi pada dasarnya merupakan pelaksanaan penyelesaian perkara di luar peradilan atau Alternative Dispute Resolution (ADR) pada dasarnya menekankan penyelesaian-penyelesaian sengketa secara konsensus yang sudah lama dilakukan

33

Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009, hlm.34


(49)

35

oleh masyarakat, yang intinya menekankan pada upaya musyawarah mufakat, kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya. ADR mempunyai daya tarik khusus di Indonesia karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdasarkan musyawarah mufakat.

George Applebey dalam An Overview of Alternative Dispute Resolution berpendapat bahwa ADR merupakan suatu eksperimen untuk mencari model-model:

1) Model-model baru dalam penyelesaian sengketa

2) Penerapan-penerapan baru terhadap metode-metode lama 3) Forum-forum baru bagi penyelesaian sengketa

4) Penekanan yang berbeda dalam pendidikan hukum.34

Philip D. Bostwick menyatakan bahwa ADR merupakan serangkaian praktek dan teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk:

1) Memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaiakan diluar pengadilan untuk keuntungan atau kebaikan para pihak yang bersengketa

2) Mengurangi biaya atau keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan melalui litigasi konvensional

3) Mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak di bawa ke pengadilan35

Berdasarkan konsep tersebut maka dapat dinyatakan bahwa ADR merupakan kehendak sukarela dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan, dalam arti diluar mekanisme ajudikasi standar konvensional. Oleh karena itu, meskipun masih berada dalam lingkup atau sangat

34

Barda Nawawi Arief. Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23

35

Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm.1


(50)

erat dengan pengadilan, tetapi menggunakan prosedur ajudikasi non standar, mekanisme tersebut masih merupakan ADR.

ADR dalam konteks hukum positif yang berlaku di Indonesia pada dasarnya telah diakui sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 butir (10) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa ADR adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsolidasi, atau penilaian ahli.

ADR dapat diartikan sebagai alternative to litigation atau alternative to adjudication. Alternative to litigation berarti semua mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sehingga dalam hal ini arbitrase termasuk bagian dari ADR. Sedangkan Alternative to adjudication berarti mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif, tidak melalui prosedur pengajuan gugatan kepada pihak ke tiga yang berwenang mengambil keputusan. Termasuk bagian dari ADR adalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan pendapat ahli, sedangkan arbitrase bukan termasuk ADR. Tujuan yang dikehendaki pihak-pihak yang bersengketa melalui mekanisme ADR adalah win win solution atau mutual acceptable solution.36

Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme di luar peradilan saat ini semakin lazim dilakukan dan dapat diterima oleh masyarakat karena dirasakan lebih mampu menjangkau rasa keadilan, walaupun para praktisi dan ahli hukum berpandangan

36

Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang, 2008. hlm. 15-16


(51)

37

bahwa ADR hanya dapat diterapkan dalam perkara perdata, bukan untuk menyelesaikan perkara pidana karena pada asasnya perkara pidana tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme di luar peradilan. Penyelesaian perkara pidana dalam restorative justice dapat dicontohkan dalam bentuk mediasi penal, karena dampak yang ditimbulkan dalam mediasi penal sangat signifikan dalam proses penegakan, walaupun mungkin menyimpang dari procedur legal system.

Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi tidak dapat dilepaskan dari cita hukum yang didasarkan pada landasan filsafat hukum yaitu keadilan (law is justice), dan asas hukum proses penyelesaian perkara yang mengacu pada sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Perumusan kaidah hukum untuk penyelesaian perkara pidana dilakukan melalui mediasi yang diderivasi dari cita hukum dan asas hukum. Oleh karena itu pola mediasi yang diterapkan harus mengacu pada nilai-nilai keadilan, nilai kepastian hukum dan kemanfaatan. Sedangkan norma hukum yang diterapkan harus mempertimbangkan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. 37

Beberapa kategorisasi sebagai tolok ukur dan ruang lingkup terhadap perkara yang dapat diselesaikan di luar pengadilan melalui mediasi penal adalah sebagai berikut: a. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan

yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.

b. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).

c. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan

“kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.

37

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta. 2002. hlm. 12-13


(52)

d. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.

e. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi. f. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke

pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.

g. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat. 38

Eksistensi ADR dapat dikaji dari perspektif filosofis, sosiologis dan yuridis. Pada perspektif filosofis, maka eksistensi mediasi penal mengandung asas diterapkannya

solusi “menang-menang” (win-win)dan bukan berakhir dengan situasi “kalah-kalah”

(lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost) sebagaimana ingin dicapai oleh peradilan dengan pencapaian keadilan formal melalui proses hukum litigatif (law enforcement process).

Melalui proses mediasi penal maka diperoleh puncak keadilan tertinggi karena terjadinya kesepakatan para pihak yang terlibat dalam perkara pidana tersebut yaitu antara pihak pelaku dan korban. Pihak korban maupun pelaku diharapkan dapat mencari dan mencapai solusi serta alternatif terbaik untuk menyelesaikan perkara tersebut. Implikasi dari pencapaian ini maka pihak pelaku dan korban dapat mengajukan kompensasi yang ditawarkan, disepakati dan dirundingkan antar mereka

bersama sehingga solusi yang dicapai bersifat “menang-menang” (win-win). Selain

38

Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009. hlm.25


(53)

39

itu, melalui mediasi penal ini akan mempunyai implikasi bersifat positif dimana secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan karena pihak yang terlibat relatif lebih sedikit dibandingkan melalui proses peradilan dengan komponen Sistem Peradilan Pidana.


(54)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan pendekatan empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.

2. Pendekatan yuridis empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus39.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

39


(55)

41

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan

(5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum sekunder berasal dari:

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(2) Keputusan Kapolri Nomor 01/VII/2003 tentang Naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia


(1)

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber sebagai sumber informasi yang dibutuhkan dalam penelitian yaitu sebagai berikut:

1). Anggota Satlantas Polresta Bandar Lampung = 2 orang 2). Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas.


(2)

43

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian. 40.

40Ibid


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penyelesaian tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian dilaksanakan dengan mekanisme hukum pidana yang berlaku melalui proses peradilan, namun demikian pelaku dan keluarga korban dapat menempuh jalur di luar peradilan melalui diversi atau perdamaian, karena pada dasarnya tindak pidana lalu lintas terjadi tanpa kesengajaan. Perdamaian yang dilakukan oleh pelaku dan keluarga korban dimediasi oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung tidak menghapuskan unsur pidana dalam perkara lalu lintas yang terjadi.

2. Faktor-faktor yang menghambat penyelesaian tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang mengebabkan kematian adalah:

a. Faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah anggota Satlantas Polresta Bandar Lampung dalam menangani perkara lalu lintas di seluruh Kota Bandar Lampung dan secara kualitas masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan penyidik Satlantas dalam menerapkan perdamaian dalam penyelesaian perkara pidana lalu lintas.

b. Faktor masyarakat, yaitu ketidak lengkapan data dan informasi yang disampaikan oleh pelaku dan korban yang terlibat dalam perkara pidana lalu


(4)

69

lintas, sehingga pelaku dan korban hanya memberikan data yang dianggap tidak berpotensi merugikan pihaknya.

c. Faktor Kebudayaan, yaitu karakter personal pelaku, korban dan kleluarganya yang tidak mendukung penyelesaian perkara di luar peradilan atau perdamaian.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum disarankan terus meningkatkan profesionalisme dan kapasitas sebagai pelaksana proses perdamaian antara pihak-pihak yang terlibat dalam perkara pidana lalu lintas, dengan cara terus mengasah potensi yaitu mengikuti berbagai pelatihan untuk menyesuaikan diri pada perkembangan teknik perdamaian. Hal ini penting dilakukan dalam rangka memaksimalkan pencapaian tujuan perdamaian yaitu mencari penyelesaian atas perselisihan atau konflik yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.

2. Kepada pelaku dan korban yang terlibat dalam perkara pidana lalu lintas hendaknya menyampaikan data dan informasi secara lengkap dan akurat kepada penyidik selaku mediator mengenai peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas. Hal ini penting dilakukan agar penyidik selaku mediator memiliki gambaran yang jelas mengenai peristiwa yang terjadi serta dapat mengupayakan jalan keluar terbaik. Pelaku dan keluarga korban hendaknya mengedepankan akal sehat dan tujuan bersama untuk mencapai kesepakatan ketika perdamaian dilaksanakan. Pelaku dan korban seharusnya tidak mencari-cari kesalahan pihak lain dan lebih berorintasi ke depan demi kebaikan bersama.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. LITERATUR

Faal, M. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Pradnya Paramita. Jakarta. 1991.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2000. ---Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia.

Jakarta. 2001.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta. 1998.

Kelana, Momo. Hukum Kepolisian. PTIK. Jakarta. 1981.

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996.

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana,

Bina Aksara, Jakarta. 1993.

Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 1992.

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 1997.

Nawawi Arief, Barda.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti. Bandung, 2003,

---Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004 ---Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang, 2008.

Raharjo, Satjipto. Polisi Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1991.


(6)

Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Melihat Kejahatan

dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan

Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983 ---Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta.

Jakarta. 1986.

Soemadiningrat, H.R. Otje Salman. Rekonseptualisasi Hukum Adat. Rineka Cipta. Jakarta. 2001

Zulfa, Eva Achjani. Keadilan Restoratif di Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Keputusan Kapolri Nomor 01/VII/2003 tentang Naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

C. SUMBER LAIN

Data Laporan Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung Bulan Desember 2013.

http://hukum.kompasiana.com/2013/09/29/pertanggungjawaban-pidana-anak- ditengah-masa-transisi. artikel/heruwijayanto.Diakses Sabtu 29 April 2014 http://www.indopos.co.id/2014/02/dul-di-tuntut-enam-jaksa.html Diakses Sabtu