PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF PADA PROSES PENYIDIKAN PERKARA PIDANA ANAK (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

(1)

(2)

ABSTRAK

P

PEENNEERRAAPPAANNKKEEAADDIILLAANNRREESSTTOORRAATTIIFF P

PAADDAAPPRROOSSEESSPPEENNYYIIDDIIKKAANNPPEERRKKAARRAAPPIIDDAANNAAAANNAAKK (

(SSttuuddiiddiiKKeeppoolliissiiaannRReessoorrKKoottaaBBaannddaarrLLaammppuunngg))

Oleh :

Y

Yuurriiss SSeettiiaa NNiinnggssiihh AAbbdduuhh

Penegakan hukum pada anak harus mengedepankan kesejahteraan anak dan perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh untuk menghindari penjatuhan sanksi penjara. Hal ini berarti penanganan masalah pidana yang melibatkan anak tidak selalu mengacu pada hukuman atas kesalahan yang telah diperbuat, melainkan ikut serta mempertimbangkan aspek pelajaran dan pengalaman yang akan berguna bagi perkembangan positif psikologis anak. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengapa diperlukan penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak, bagaimanakah penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung, dan apa yang menjadi hambatan dalam penerapan keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung.

Penelitian ini bersifat yuridis normatif, empiris, dan menggunakan data primer serta data sekunder. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara analisis kualitatif yang merupakan rangkaian data yang tersusun secara sistematis dan dianalisis dengan cara pikir yang deskriptif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode induktif yang bersifat khusus ke umum dengan penalaran yang logis.

Hasil penelitian adalah perlunya penerapan keadilan restoratif agar upaya penyelesaian lebih difokuskan pada pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut, bukan pembalasan bagi pelaku. Praktik penyidikan tindak pidana oleh penyidik Polri dengan mengimplementasikan konsep keadilan restoratif melalui diversi. Diversi dilakukan dengan adanya diskresi kepolisian dalam pelaksanaan penegakan hukum. Hambatan dalam penerapan keadilan restoratif adalah tidak adanya payung hukum yang mengatur dan menjadi landasan legitimasi serta tidak adanya prosedur atau mekanisme yang formal-prosedural dalam mengambil keputusan pada proses penyidikan apakah berdasarkan konsep keadilan restoratif, kekhawatiran atau ketakutan penyidik akan dipersalahkan oleh atasan penyidik dan dipermasalahkan pada pemeriksaan oleh institusi pengawas dan pemeriksa internal Polri yang menggunakan parameter formal prosedural, tidak semua pihak yang bersengketa memiliki itikad baik untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan melalui proses mediasi. Pada akhirnya saran yang disampaikan yaitu menyarankan hendaknya semua pihak yang bersengketa pada perkara pidana anak memiliki itikad baik yang sama untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan melalui penerapan keadilan restorative, dan disusunnya dasar legitimasi mengenai adanya pengaturan


(3)

Y

YuurriissSSeettiiaaNNiinnggssiihhAAbbdduuh h tindakan lain yang dapat dilakukan oleh penyidik dapat digunakan oleh penyidik dalam setiap proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sambil menunggu berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan hendaknya dalam konteks pembaruan hukum pidana, penggunaan kebijakan penal saat ini dalam penanganan proses anak yang bermasalah dengan hukum haruslah dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan stigmatisasi bagi anak.


(4)

(5)

(6)

(7)

D

DAAFFTTAARR IISSII

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

LEMBAR PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP

MOTTO

PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR

Hlm I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 11

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 12

D. Kerangka Teori dan Konseptual... 13

E. Sistematika Penulisan... 20

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Keadilan Restoratif... 23

B. Pengertian Anak... 27

C. Pengertian Tindak Pidana... 31

D. Pengertian Diversi... 32

E. Dasar Hukum Perlindungan Anak... 33

F. Fungsi Penyidikan Oleh Polri... 35

G. Pengaturan terhadap Anak yang melakukan Tindak Pidana... 39

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 44

B. Sumber dan Jenis Data... 44

C. Penentuan Narasumber... 47

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 48


(8)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden... 50 B. Urgensi Penerapan Keadilan Restoratif dalam Proses

Penyidikan Perkara Pidana Anak... 58 C. Penerapan Keadilan Restoratif dalam Proses Penyidikan

Perkara Pidana Anak di Polresta Bandar Lamp... 66 D. Hambatan Penerapan Keadilan Restoratif dalam Proses

Penyidikan Perkara Pidana Anak di Polresta Bandar Lampung... 76 V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 83 B. Saran... 84


(9)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-Hak Anak, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat dengan UUPA), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang mengemukakan asas-asas umum perlindungan anak, yaitu perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan.


(10)

2 Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang. Masa kanak-kanak merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.1

Mengingat pentingnya peran anak bagi keberlangsungan hidup manusia berbangsa dan bernegara, maka amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B ayat (2) menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskrimininasi.2

Menyadari kedudukan anak sebagai generasi penerus bangsa, maka semua pihak harus selalu berupaya melindungi anak agar tidak menjadi korban kekerasan, atau terjerumus dalam melakukan perbuatan yang tidak terpuji dan melanggar hukum. Kurang lebih 4.000 anak diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial daerah setempat. Dengan demikian, tidak

1

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm 11.

2

DS. Dewi, Fatahilla A.Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia,Indie Pre Publishing, Depok, 2011, hlm 13.


(11)

3 mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan atas tindak pidana yang dilakukan.

Sebagai contoh sepanjang tahun 2012 tercatat dalam statistik kriminal Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) terdapat lebih dari 12.566 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak didik dari tahun per tahun cenderung bertambah. Pada tahun 2008 berjumlah 1.867, pada tahun 2009 berjumlah 2.023, pada tahun 2010 berjumlah 2.356, pada tahun 2011 berjumlah 2.726, pada tahun 2012 berjumlah 3.211 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.3

Tabel 1. Statistik Kriminal Anak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Tahun 2012 No Jenis Anak dalam Rutan/Lapas Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012

1 Anak di Lapas

1.064 1.189 1.461 1.881 2.017

2 Anak di Rutan

803 1.014 895 845 1.194

JUMLAH 1.867 2.203 2.356 2.726 3.211

Selama tahun 2012 di Propinsi Lampung anak yang berkonflik dengan hukum setidaknya ada 115 kasus. Dari 115 kasus, 64,3 persen atau 74 kasus, anak-anak terlibat dalam kasus pencurian dan 16,1 persen atau 15 kasus, anak-anak terlibat dalam kasus narkoba. Selain itu juga terdapat 6,8 persen atau sembilan kasus

3

http://ditjenpas.go.id/?index/main/statistik_kriminal, diakses pada hari Minggu tanggal 3 Februari 2013 pukul 20.00 WIB.


(12)

4 anak-anak yang terlibat dalam kasus penganiayaan. Sedangkan untuk kasus pemerkosaan terdapat delapan kasus atau 6 persen.4

Tabel 2. Statistik anak yang berkonflik dengan hukum di Propinsi Lampung Tahun 2012

No Jenis Kasus Banyaknya Kasus Persentase

1 Pencurian 74 64,3 %

2 Penyalahgunaan Narkoba 15 16,1 %

3 Penganiayaan 9 6,8 %

4 Pemerkosaan 8 6,0 %

5 Lainnya 9 6,8 %

JUMLAH 115 100%

Melihat prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak sehingga diperlukan penghargaan terhadap pendapat anak, maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam lembaga pemasyarakatan rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.5

Barda Nawawi Arief6 dalam bukunya Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana berpendapat:

“tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan

4

http://lampung.tribunnews.com/2013/01/01/kasus_anak, diakses pada hari Minggu tanggal 3 Februari 2013 pukul 20.15 WIB

5

Supeno, Kriminalisasi Anak : Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm 12.

6

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm 110.


(13)

5 penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. Disamping itu penegakan hukum pada anak harus mengedepankan kesejahteraan anak dan perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh untuk menghindari penjatuhan sanksi penjara.”7

Hal ini berarti penanganan masalah pidana yang melibatkan anak tidak selalu mengacu pada hukuman atas kesalahan yang telah diperbuat, melainkan ikut serta mempertimbangkan aspek pelajaran dan pengalaman yang akan berguna bagi perkembangan positif psikologis anak. Kekhususan penanganan masalah kenakalan anak tersebut karena disamping kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, persoalan penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana adalah gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial.

Bertolak dari hal tersebut, pada hakekatnya pengaturan mengenai anak telah diatur secara tegas dalam konstitusi Indonesia yaitu berkaitan dengan pengaturan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Peraturan perundang-undangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan hak terhadap anak antara lain : Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

7


(14)

6 Perlindungan Anak, dimana secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.

Sistem Peradilan Anak di Indonesia bertumpu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sementara menunggu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru akan berlaku terhitung mulai tanggal 30 Juli 2014 setelah diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012.8 Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa:

“Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.”

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penyelesaian perkara anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memiliki berbagai kelemahan, khususnya menyangkut pengaturan tentang perkara pemidanaan, dimana pengaruh aliran klasik paradigma keadilan retributive (pembalasan) sebagai tujuan pemidanaan masih tampak sangat melekat. Sehingga penerapan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tidak mengurangi jumlah tindak pidana yang dilakukan anak dan tidak mencegah anak melakukan tindak pidana.9

8

http://www.kemendagri.go.id/news/2012/07/04/uu-sistem-peradilan-anak-akhirnya-disahkan-dpr, diakses pada hari Minggu tanggal 24 Maret 2013 pukul 19.00 WIB.

9


(15)

7 Salah satu bentuk penanganan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum (selanjutnya disebut ABH) diatur dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Peraturan ini sesuai dengan Convention of The Right of The Child yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak-Hak Anak dengan menyatakan bahwa proses hukum dilakukan sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak.

Sebagian peraturan yang berkaitan dengan penahanan ABH sebenarnya sudah berupaya menerapkan keadilan restoratif, walaupun belum secara komprehensif. Akan tetapi pada kenyataannya banyak ABH yang melakukan kejahatan ringan kemudian dipenjara, seperti kasus Raju yang menghebohkan dunia hukum anak di Indonesia pada tahun 2008. Anak yang saat itu berusia 8 (delapan) tahun tersebut ditahan selama 19 (sembilan belas) hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma berat. Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara itu sebenarnya sudah prosedural, sesuai dengan ketentuan hukum peradilan anak yang berlaku, namun tetap memancing protes keras dari para pemerhati anak Indonesia yang mengganggap proses peradilan sangat mengganggu mental dan perkembangan anak tersebut.


(16)

8 Kasus yang mencerminkan penegakan hukum secara alternatif (non litigasi) adalah kasus pertengkaran anak sekolah sebagai akibat dari tawuran yang terjadi di Bandar Lampung pada tanggal 14 Desember 2012. Pada kasus ini, kepolisian melakukan mediasi guna menyelesaikan perkara. Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, namun dalam hal ini para pihak mengusahakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan diantara mereka tanpa harus melanjutkan proses hukum ke tingkat pengadilan.

Kasus lain yang terjadi di Bandar Lampung terhadap seorang anak bernama Heri (16) dan Hendri (15) yang keduanya merupakan teman sekelas di salah satu Sekolah Negeri di Kota Bandar Lampung, yang disangka sebagai pelaku atas tindakan penganiayaan terhadap teman sepermainan bernama Muslim (13) di sebuah bangunan kosong di wilayah Tanjung Karang Barat, Kota Bandar Lampung.

Pada hari Sabtu siang sepulang sekolah, ketiga anak tersebut terlibat adu mulut disertai dengan pertengkaran setelah ketiganya bermain sepakbola. Heri yang tidak terima setelah wajahnya terkena bola tanpa sengaja akibat lemparan Muslim, langsung memukul tubuh dan wajah Muslim dengan keras. Melihat hal ini, Hendri yang berada tidak jauh dari Heri turut serta memukul dan menendang bagian tubuh Muslim sehingga Muslim terkapar jatuh tidak berdaya dengan tubuh penuh


(17)

9 luka lebam. Melihat korbannya pingsan, Heri dan Hendri lalu melarikan diri pulang ke rumahnya masing-masing tanpa peduli keadaan korban.10

Adapun korban ditemukan oleh Siswandi (16) yang tidak lain adalah kakak kandung dari korban yang secara tidak sengaja melintas di tempat kejadian perkara. Siswandi pun membawa adiknya pulang ke rumah dalam keadaan siuman setelah hampir 1 (satu) jam berusaha menyadarkan adiknya dari jatuh pingsan. Lalu korban ditemani oleh kedua orangtuanya melaporkan Heri dan Hendri ke Polresta Bandar Lampung dengan tuduhan penganiayaan ringan dengan ancaman kurungan 4-5 tahun sesuai dengan Pasal 351 KUHP, Pasal 351 jo 352 KUHP, dan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak. Tak butuh waktu lama bagi aparat Polresta Bandar Lampung, Heri dan Hendri ditangkap di rumahnya masing-masing pada hari Minggu pagi pukul 08.30 WIB tanpa perlawanan untuk dipenjarakan ke dalam tahanan Polresta Bandar Lampung.

Tersangka Heri dan Hendri terlihat sangat shock dalam proses penyidikan sehingga tidak mampu menjawab beberapa pertanyaan dari penyidik. Penyidik Polresta Bandar Lampung berupaya melakukan mediasi penal untuk mewujudkan paradigma keadilan restoratif dalam menyelesaikan perkara ini. Mediasi penal ini sesuai dengan maksud dan tujuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu demi yang terbaik bagi anak. Hasil mediasi tersebut dituangkan dalam suatu kesepakatan damai antar kedua belah pihak serta menyetujui kesepakatan bahwa kasus tersebut tidak akan dilanjutkan ke tingkat pengadilan. Pada akhirnya perdamaian dapat tercapai melalui proses mediasi

10

http://www.tribunnews.com/read/20120723/70340/kasus-penganiayaan -pada-anak-di-bawah-umur.html diakses pada hari Minggu tanggal 3 Februari 2013 pukul 20.15 WIB.


(18)

10 tanpa harus menghukum berat pelaku penganiayaan karena pelaku masih dalam kategori anak di bawah umur. Keuntungan mediasi tersebut dapat menjadi ujung tombak dalam reformasi hukum di Indonesia karena selaras, sesuai dengan budaya Indonesia, yang mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan segala masalah yang menguntungkan baik dari pihak pelaku maupun korban.

Kasus di atas dapat dijadikan contoh akan perubahan paradigma tentang keadilan dalam hukum pidana merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Sistem peradilan anak harus berlandaskan pada keadilan retributive (menekankan keadilan pada pembalasan) dan restitutive (menekankan keadilan atas dasar pemberian ganti rugi) yang bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya.

Demi kepentingan terbaik bagi anak sudah selayaknya aparat penegak hukum menerapkan pendekatan restorative justice/keadilan restoratif mulai saat ini. Dibutuhkan koordinasi menyelutuh antar aparat penegak hukum agar terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) untuk menyamakan persepsi dalam penanganan ABH. Dibutuhkan kesadaran dari aparat penegak hukum dalam menerapkan keadilan restoratif lebih menggunakan moral justice (keadilan menurut nurani) dan memperhatikan social justice (keadilan masyarakat) selain wajib mempertimbangkan legal justice (keadilan berdasarkan perundang-undangan) sehingga tercapainya presice justice (penghargaan tertinggi untuk keadilan).


(19)

11 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk karya ilmiah dan menuangkan ke dalam Tesis dengan judul: “Penerapan Keadilan Restoratif pada Proses Penyidikan Perkara Pidana Anak (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung).”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Mengapa diperlukan penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak?

b. Bagaimanakah penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung?

c. Apa yang menjadi hambatan dalam penerapan keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup

Penelitian ini termasuk dalam kajian hukum pidana. Adapun ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini tentang penerapan Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan hukum peradilan anak. Substansi penelitian berkaitan dengan penerapan keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara pidana anak. Lokasi penelitian di wilayah Polresta Bandar Lampung.


(20)

12

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis bertujuan untuk:

a. Untuk mengetahui perlunya penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak.

b. Untuk memahami penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung.

c. Untuk mengetahui hambatan dalam penerapan keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan kegunaan sebagai berikut:

a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai penerapan keadilan restoratif untuk menyelesaikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung, hambatan penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung, dan perlunya penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak.

b. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbang saran dan pemikiran kepada institusi kepolisian dan institusi penegak hukum lainnya serta praktisi hukum dan akademisi tentang penerapan keadilan restoratif untuk menyelesaikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung.


(21)

13

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor‐faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Arti teori adalah sebuah kumpulan proposisi umum yang saling berkaitan dan digunakan untuk menjelaskan hubungan yang timbul antara beberapa variabel yang diobservasi. Teori selalu berdasarkan fakta, didukung oleh dalil dan proposisi. Secara defenitif, teori harus berlandaskan fakta empiris karena tujuan utamanya adalah menjelaskan dan memprediksikan realitas. Suatu penelitian dengan dasar teori yang baik akan membantu mengarahkan peneliti dalam upaya menjelaskan fenomena yang diteliti.

Kerangka pemikiran adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.11 Adapun yang menjadi kerangka pemikiran dalam penelitian ini mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. Anak perlu penanganan khusus dalam perkara pidana

b. Teori-teori yang digunakan untuk menjelaskan masalah yaitu teori mediasi penal (penyelesaian perkara di luar pengadilan) oleh Barda Nawawi Arief, teori Reintregative Scheme tentang keadilan testoratif oleh John Braithwaite, dan teori faktor penghambat penegakan hukum oleh Soerjono Soekanto.

11


(22)

14 c. Semua teori tersebut akan digunakan dalam pembahasan guna mengetahui

penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak.

Penanganan perkara anak harus memperhatikan kepentingan anak dan sesuai dengan standar nilai dan perlakuan sejumlah instrumen nasional maupun internasional untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak. Indonesia sudah memiliki aturan untuk melindungi, mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak antara lain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Perlindungan ini tidak hanya berlaku bagi anak yang berperilaku baik saja, tetapi juga bagi anak-anak yang melakukan tindak·pidana termasuk pada anak yang dijatuhi sanksi penjara pendek (kurang dari satu tahun penjara) karena perbuatan yang dilakukan adalah pencurian yang nilai ekonomisnya kecil, penganiayaan ringan atau perkelahian antar anak yang berakibat luka ringan.

Penjatuhan pidana penjara hanya bertujuan untuk penjeraan saja, pembinaan kemandirian (pemberian keterampilan) yang dilakukan selama di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) seringkali tidak tercapai, karena pada saat anak tengah menjalani proses pembinaan masa pidana penjaranya telah habis, sehingga keterampilan yang diberikan tidak tuntas. Sebagai ilustrasi, diambil hasil penelitian di Lapas Kelas I Bandar Lampung, pada bulan Januari tahun 2007 sampai dengan bulan Desember 2012 ada 51 (lima puluh satu) orang napi anak yang dijatuhi pidana penjara karena melakukan pencurian dan perkelahian dengan


(23)

15 variasi hukuman penjara antara 5-11 bulan penjara. Selama di Lapas anak-anak hanya memperoleh pembinaan kepribadian, seperti pembinaan keagamaan dan disiplin saja, sedang pembinaan kemandirian yang diperlukan tidak diperoleh.

Kecenderungan meningkatnya jumlah anak pelaku tindak pidana ringan atau kerugian yang diakibatkan relatif kecil seperti pencurian, umumnya terjadi di Indonesia, termasuk di wilayah Bandar Lampung. Keadaan ini makin mengindikasikan penjatuhan sanksi penjara pendek pada anak pelaku tindak pidana ringan tidak bermanfaat. Hal lain yang perlu diperhatikan, di daerah atau propinsi yang belum memiliki Lapas Anak, pelaksanaan pidana penjara bagi anak, dicampur dengan narapidana dewasa. Kondisi seperti ini bisa menjadi proses belajar yang salah (faulty learning) bagi anak, karena ada proses prisonisasi pada anak.

Prisonisasi menurut Clemmer dalam buku Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana oleh Barda Nawawi Arief12, adalah proses belajar seorang narapidana tentang sub kultur atau sistem sosial informal yang ada dalam penjara. Dalam proses prisonisasi ini, narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat narapidana dan yang dipelajari adalah kepercayaan, perilaku dan tata nilai dalam masyarakat narapidana di penjara. Proses prisonisasi yang diterima dan dialami oleh narapidana anak yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan ini akan berdampak negatif bagi perkembangan perilaku anak.

12

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana, Ananta, Semarang, 1992, hlm 14.


(24)

16 Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Teori mediasi penal (penyelesaian perkara di luar pengadilan) oleh Barda Nawawi Arief.13 Mediasi penal (penalmediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain mediation in criminal cases atau mediation in penal matters. Karena mediasi penal mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah Victim-Offender Mediation (VOM). Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution. ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan. Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa; musyawarah adat). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme

13


(25)

17 hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

b. Teori John Braithwaite14, yang dikenal dengan sebagai Reintregative Scheme.

Restorative Justice berdasarkan pada prinsip-prinsip due process model, yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah, hingga vonis pengadilan, hak untuk membela diri dan mendapatkan hukuman yang proporsional dengan kejahatan yang dilakukannya. Kepentingan korban juga sangat diperhatikan yang diterjemahkan melalui mekanisme kompensasi atau ganti rugi, dengan tetap memperhatikan hak-hak asasi anak yang disangka telah melakukan pelanggaran hukum pidana.

c. Teori faktor penghambat penegakan hukum oleh Soerjono Soekanto15, sebagai berikut :

1) Faktor hukumnya sendiri

Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif.

2) Faktor penegak hukum

Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Seorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

3) Faktor sarana atau fasilitas

Penegakan hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya.

14

DS. Dewi, Fatahilla A.Syukur, Op.Cit., hlm 14-15. 15


(26)

18 4) Faktor masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.

5) Faktor kebudayaan

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).

Secara yuridis normatif pada Pasal 22, 23 dan 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mengatur 2 (dua) jenis perlakuan hukum yang bisa dikenakan pada anak pelaku tindak pidana yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi tindakan sebenarnya lebih tepat diterapkan pada anak pelaku tindak pidana ringan, karena pelaku tidak harus menghuni Lapas, sehingga terhindar dari dampak negatif sanksi penjara. Hal ini sejalan dengan model baru dalarn sistem penghukuman yang bersifat restoratif. Model penghukuman ini sangat tepat digunakan dalam penanganan pada pelanggar berusia muda/dibawah umur.

Restorative justice, dianggap sebagai model penghukuman modern dan lebih manusiawi bagi model penghukuman terhadap anak. Prinsip restorative justice merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dengan pendekatan keadilan. Konsep dasar yang melatarbelakangi prinsip keadilan restoratif adalah adalah teori John Braithwaite, yang dikenal dengan sebagai Reintregative Scheme. Restorative Justice berdasarkan pada prinsip-prinsip due process model, yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah,


(27)

19 hingga vonis pengadilan, hak untuk membela diri dan mendapatkan hukuman yang proporsional dengan kejahatan yang dilakukannya. Kepentingan korban juga sangat diperhatikan yang diterjemahkan melalui mekanisme kompensasi, dengan tetap memperhatikan hak-hak asasi anak yang disangka telah melakukan pelanggaran hukum pidana. Berdasarkan alasan di atas, perlu dilakukan kajian ilmiah tentang rekonseptualisasi penerapan sanksi selain sanksi penjara bagi anak dengan memperhatikan aspek mendidik daripada aspek pembalasan.

2. Konseptual

a. Penerapan adalah penerapan adalah hal, cara atau hasil.16

b. Keadilan restorative adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.17

c. Proses adalah runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu.18 d. Penyidikan adalah Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

16

Badudu dan Zain, Kamus Umum Bahasa. Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 1996, hlm. 1487.

17

Eva Achjani Zulfa, Definisi Keadilan Restoratif, http://evacentre.blogspot.com/2009 /11/ definisi-keadilan-restoratif.html, diakses pada tanggal 6 September 2013.

18


(28)

20 tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 ayat (2) KUHAP).

e. Perkara adalah masalah atau persoalan. 19

f. Tindak pidana, yaitu perbuatan yang diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. 20

g. Anak (khususnya sebagai subyek hukum dalam tinjauan pidana anak) adalah seseorang yang sudah berusia 8 tahun namum belum mencapai usia 18 tahun dan selama dalam rentang waktu umur dimaksud belum pernah menikah. (Pasal 1 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang kemudian telah diubah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No: 1/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011 sehingga norma batasan usia anak yang dapat diproses hukum pidana adalah dalam rentang umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun, namun norma ini baru berlaku efektif sebagai hukum positif – normatif adalah sejak tanggal 24 Februari 2011 sehingga dalam konsteks penelitian ini tetap menggunakan dasar Pasal 1 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

E. Sistematika Penulisan

Untuk memahami isi penelitian ini, maka penulisannya dibagi dalam V (lima) Bab secara berurutan yang hubungannya saling berkaitan serta dapat memberikan gambaran secara utuh hasil penelitian secara rinci sebagai berikut :

19

www. Artikata.com 20


(29)

21 I. PENDAHULUAN

Penulis berusaha untuk memberikan gambaran awal tentang penelitian yang meliputi latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Memuat tentang kerangka landasan teori yang digunakan sebagai dasar dalam menganalisis masalah yang akan dibahas. Bab ini juga memuat pengertian keadilan restoratif, dasar hukum perlindungan anak, dan penyelesaian perkara anak di luar pengadilan.

III METODE PENELITIAN

Bab ini menyajikan metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan dan pengolahan data, yang merupakan bahan dalam penulisan ini meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, metode pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan tentang penerapan keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara anak, upaya Polresta Bandar Lampung dalam menangani hambatan penerapan keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara anak serta menghubungkan fakta yang ada dengan studi kepustakaan dan studi lapangan.


(30)

22 V PENUTUP

Merupakan bab terkait dalam penulisan penelitian hukum ini yang meliputi kesimpulan dan saran yang dapat membantu para pihak yang memerlukan referensi mengenai penelitian yang telah dilakukan.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Keadilan Restoratif 1. Teori Restorative Justice

Pada tahun 1980an, John Braithwaite21 dalam buku Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia oleh DS. Dewi, Fatahilla A. Syukur, memperkenalkan sistem penghukuman dengan pendekatan restorative justice, karena terinspirasi oleh masyarakat Maori dalam menangani penyimpangan di lingkungan mereka, yang menekankan penyelesaian masalah dengan melibatkan masyarakat dan petinggi masyarakat setempat untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.

Tony Marshall22 dalam buku Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia oleh DS. Dewi, Fatahilla A. Syukur, memberikan definisi dari restorative justice sebagai “proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana menyikapi dan menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan.”

21

DS. Dewi, Fatahilla A.Syukur, Op. Cit., hlm 19. 22


(32)

24

Sedangkan Marian Liebmann23 dalam buku Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia oleh DS. Dewi, Fatahilla A. Syukur, secara sederhana mengartikan restorative justice sebagai suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut.”

James Dignan, mengutip Van Ness dan Strong24 dalam buku Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia oleh DS. Dewi, Fatahilla A. Syukur, menjelaskan bahwa restorative justice pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash yang berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan dengan „keadilan distributif‟, yang penekanan utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga adalah „keadilan restoratif‟, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. Eglash dianggap sebagai orang pertama yang menghubungkan tiga hal tersebut dengan pendekatan yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang berbahaya dari tindakan pelaku kejahatan dengan berusaha untuk secara aktif melibatkan, baik korban dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelanggar.

23

Ibid., hlm 20. 24


(33)

25

2. Konsep Restorative Justice

Restorative Justice concept atau konsep keadilan restoratif merupakan sebuah konsep keadilan bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.

Wright25 dalam buku Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia oleh DS. Dewi, Fatahilla A. Syukur, menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif) pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Indonesia telah memberlakukan konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan anak. Hal tersebut lebih menjamin terpenuhinya rasa keadilan antara korban dan pelaku. Dalam pembahasan mengenai penerapan keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara anak oleh penyidik Polri, teori utama yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman26

di mana dalam bukunya yang berjudul “The Legal System A

25

Ibid., hlm 21-22. 26


(34)

26

Social Science Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum, substansi hukum (perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.

Analisis yuridis terhadap keadilan restoratif, dapat juga dilakukan melalui pendekatan legal system (sistem hukum) yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman.27 Sistem hukum harus memuat Substantive Law, Legal Structure, dan Legal Culture. Secara substansi hukum keadilan restoratif diatur dalam kerangka hukum internasional dan hukum nasional. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.

Menurut Lawrence M. Friedman28 dalam buku Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial menyatakan bahwa tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya, sementara itu budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan dan

27

Ibid., hlm 29. 28

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, Penerbit Nusa Media, Jakarta, 2009, hlm 203.


(35)

27

kepentingan. Dalam pertanggungjawaban pidana, pelaku tindak kejahatan tidak memiliki alasan pemaaf maupun alasan pembenar atas kesalahan yang dibuatnya.

B. Pengertian Anak

Menurut Lilik Mulyadi dalam bukunya Pengadilan Anak di Indonesia, apabila ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).29

Pada tingkat Internasional, tidak terdapat keseragaman dalam perumusan batasan tentang anak:

Dua puluh tujuh negara bagian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda menentukan batas umur antara 12-18 tahun. Negara Asia anatara lain : Srilanka mentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea mentukan batas umur antara 14-18 tahun, Kamboja menentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara ASEAN antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.30

Bertitik tolak dari aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak, hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai peraturan ataupun hukum yang berlaku, yaitu:

29

Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm 23. 30

Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, PT. Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 8.


(36)

28

a. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pada Pasal 1 ayat (1) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan si anak belum pernah kawin. Jadi anak dibatasi syarat dengan umur antara 8 tahun sampai 18 tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin, maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinannya atau perkawinanya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.

b. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 1 ayat (1) merumuskan bahwa anak adalah seseorang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

c. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

d. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pada Pasal 1 ayat (2) merumuskan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.31 Batasan umur ini juga digunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Perdata,

31


(37)

29

tetapi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah anak, yang digunakan istilah dewasa yaitu telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun akan tetapi sudah atau pernah kawin, sedangkan belum dewasa adalah seseorang yang umurnya belum mencapai 21 tahun dan tidak atau belum pernah kawin.

e. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 45 KUHP memberikan definisi anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana maka hakim boleh memerintahkan agar tersebut dikembalikan kepada orang tuanya; walinya ataupun pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.32

f. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pada Pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Pokok Perkawinan memberikan batasan-batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

g. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pada Pasal 330 KUH Perdata memberikan penjelasan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

32

Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 84.


(38)

30

h. Menurut Hukum Adat Indonesia. Dalam hukum adat Indonesia maka batasan untuk disebut anak bersifat pluralistic. Dalam artian kriteria untuk menyebut seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya : telah “kuat gawe”, “akil baliq”, “menek bajang”, dan lain sebagainya.33

i. Menurut Pasal 1 Konvensi Anak merumuskan pengertian anak sebagai setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.34

Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukan oleh anak tersebut.35 Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun wali.

33

Paulus Hadisuprapto, Op. Cit, hlm 6. 34

Chandra Gautama, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers Dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 2000, hlm 21.

35

Maulana Hasan Wadong, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm 2.


(39)

31

C. Pengertian Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana adalah terjemahan dari Bahasa Belanda strafbaar-feit atau juga disebut delict. Menurut Simons36 dalam buku Teknik Perumusan Perbuatan Pidana dan Asas-Asas Umum oleh Osman Simanjuntak, strafbaar-feit adalah perbuatan (handeling) yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Menurut Van Hammel37 dalam buku Teknik Perumusan Perbuatan Pidana dan Asas-Asas Umum oleh Osman Simanjuntak, strafbaar-feit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Hal ini lebih dipertegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu : Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu.

Hezewinkel Suringa38 dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana oleh PAF Lamintang mendefinisikan strafbaar-feit sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.

36

Osman Simanjuntak, Teknik Perumusan Perbuatan Pidana dan Asas-Asas Umum, Jakarta, 2003, hlm 167.

37

Ibid., hlm 167. 38


(40)

32

Menurut Pompe39 dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana oleh PAF Lamintang, strafbaar-feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

D. Pengertian Diversi

Menurut Eriyantow Wahid40 dalam buku Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau diskresi. Dengan penerapan konsep diversi, bentuk peradilan formal akan lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak daripada tindakan pemenjaraan.

Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang

39

Ibid., hlm 200. 40

Eriyantow Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, University Press, Jakarta, 2009, hlm 32.


(41)

33

melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.

E. Dasar Hukum Perlindungan Anak

Dasar hukum pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia, mengacu kepada peraturan perundang-undangan nasional dan internasional. Dasar hukum nasional yang utama adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berisi antara lain tentang definisi anak, tujuan perlindungan anak, hak-hak anak, kewajiban negara, masyarakat dan keluarga.

Disamping Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, terkait dengan perlindungan terhadap anak telah ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.


(42)

34

Lebih lanjut disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan anak sebagai berikut:

a. Meningkatkan akses terhadap layanan pemenuhan hak tumbuh kembang anak, termasuk pengembangan anak usia dini yang holistik dan integratif. b. Meningkatkan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan

diskriminasi.

c. Meningkatkan kapasitas kelembagaan perlindungan anak. Masih lemahnya kualitas dan kuantitas kelembagaan berperan dalam pencapaian pembangunan perlindungan anak yang belum optimal yang ditunjukkan dengan: (a) masih terdapatnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tidak konsisten dengan KHA dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang berpotensi merugikan dan menghambat pemenuhan hak-hak anak; dan (b) belum terbentuknya kelembagaan perlindungan anak yang komprehensif dan menjangkau semua wilayah, serta (c) masih lemahnya mekanisme pengawasan dan pendataan.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.


(43)

35

F. Fungsi Penyidikan oleh Polri

Menurut Mahmud Mulyadi41dalam bukunya “Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana” bahwa pihak Kepolisian merupakan salah satu komponen sistem peradilan pidana yang menjadi ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan dan peranan kepolisian kelihatannya lebih besar bila dibandingkan dengan komponen lainnya, sehingga kepolisian disebut sebagai The Gate Keeper of Criminal Justice karena kepolisian merupakan sub sistem yang secara langsung berhubungan dengan pelaku kejahatan dan masyarakat.

Fungsi Kepolisian (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI) adalah fungsi pemerintahan negara dibidang:

1. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. Penegakan hukum,

3. Perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Tujuan Kepolisian RI (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI) adalah mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi:

1. terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. tertib dan tegaknya hukum,

3. terselenggaranya perlindungan, pengayoman, 4. dan pelayanan kepada masyarakat,

5. serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

41


(44)

36

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan:

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri,

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Repulik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan:42

Dalam melaksanakan tugas pokoknya, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

42


(45)

37

f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khususnya penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidna sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian, serta melaksanakan tugas lain sesuai peraturan perundang-undangan.

Fungsi Kepolisian sebagai Penyelidik dalam Pasal 1 KUHAP ayat (1) dan (4), menyatakan bahwa kedudukan Polri dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai penyelidik dan penyidik. Pada Pasal 1 ayat (4) KUHAP dinyatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Yang dimaksud dengan penyelidikan dalam pasal ini adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.43

Penyelidikan bukanlah fungsi tersendiri yang terpisah dari penyidikan, tetapi hanya merupakan salah satu cara atau metode dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan,

43


(46)

38

penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.

Istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan artinya oleh KUHAP walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar sidik, yang artinya memeriksa, meneliti. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 KUHAP yang dikutip oleh Andi Hamzah bahwa definisi sebagai berikut: “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini.” Dalam organisasi kepolisian, istilah yang umum digunakan adalah reserse. Tugasnya meliputi penerimaan laporan dan pengaturan serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi penyelidikan ini tindakan untuk mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti dikemukakan oleh Van Bemmelen maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran.44

Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 memberikan definisi sebagai berikut:

44


(47)

39 “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.”45

Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:46

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik 3. Pemeriksaan ditempat kejadian

4. Pemanggilan tersangka dan terdakwa 5. Penahanan sementara

6. Penggeledahan

7. Pemeriksaan atau interogasi

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat) 9. Penyitaan

10. Penyampingan perkara

11. Pelimpahan perkara pada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.

G. Pengaturan terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana

1. Perlindungan Hukum terhadap Hak Anak

Hak-hak anak dalam proses penuntutan47 menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Kehakiman dalam buku Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penyerasian KUHAP dengan KUHP Baru, meliputi ; menetapkan masa

45

Ibid., hlm. 120. 46

Ibid., hlm. 120 47

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Kehakiman , Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penyerasian KUHAP dengan KUHP Baru, Jakarta, 2000, hlm 4.


(48)

40

tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan, membuat dakwaan yang dimengerti anak, secepatnya melimpahkan perkara ke Pengadilan, melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi.

Hak-hak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan48 menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Kehakiman dalam buku Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penyerasian KUHAP dengan KUHP Baru adalah sebagai berikut; hak untuk mendapatkan keringanan masa/waktu penahanan, hak untuk mengganti status penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara) menjadi tahanan rumah atau tahanan kota, hak untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara, hak untuk mendapatkan fasilitas dalam rangka pemerisaan dan penuntutan, hak untuk didampingi oleh penasehat hukum.

Hak-hak anak dalam proses persidangan49 menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Kehakiman dalam buku Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penyerasian KUHAP dengan KUHP Baru antara lain; hak untuk memperoleh pemberitahuan datang ke sidang pengadilan (Pasal 145 KUHAP), hak untuk menerima surat panggilan guna menghadiri sidang pengadilan (Pasal 146 ayat (1) KUHAP), hak untuk memperoleh apa yang didakwakan (Pasal 51 hurub b KUHAP), hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah (Pasal 53, Pasal 177, Pasal 165 ayat (4) KUHAP), hak untuk mengusahakan atau mengajukan saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 ayat (4) KUHAP).

48

Ibid., hlm 5. 49


(49)

41

Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai pelaku50 menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Kehakiman dalam buku Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penyerasian KUHAP dengan KUHP Baru adalah sebagai berikut:

a) Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan kasusnya. b) Hak untuk mendapatkan pendamping dan penasihat selama persidangan. c) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan

mengenai dirinya.

d) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja.

e) Hak untuk menyatakan pendapat.

f) Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

g) Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/ penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

h) Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya.

2. Penerapan Sanksi Pidana bagi Anak

Peradilan pidana anak mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga anak diadili secara tersendiri. Segala aktivitas yang dilakukan dalam Peradilan Pidana Anak, seyogianya dilakukan oleh Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak atau petugas Lembaga Pemasyarakatan Anak, berdasarkan prinsip demi kesejahteraan anak. Hakim menjatuhkan pidana atau tindakan dimaksudkan untuk memberikan yang paling baik, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya wibaya hukum. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan kepada kebenaran, keadilan dan kesejahteraan anak.

50


(50)

42

Peradilan Pidana Anak, pada dasarnya juga untuk melakukan koreksi, rehabilitasi, sehingga cepat atau lambat, anak dapat kembali ke kehidupan masyarakat normal dan bukan untuk mengakhiri harapan dan potensi masa depannya. Penjatuhan pidana atau tindakan merupakan suatu tindakan yang harus dipertanggaungjawabkan dan dapat bermanfaat bagi anak. Setiap pelaksanakan pidana atau tindakan, diusahakan tidak menimbulkan korban, penderitaan, kerugaian mental, fisik, dan sosial. Mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan yang sifatnya merugikan, perlu diperhatikan dasar etis bagi pemidanaan tersebut, yaitu keadilan sebagai satu-satunya dasar pemidanaan, setiap tindakan pemidanaan dinilai tidak hanya berdasarkan sifat keadilan saja, melainkan juga sifat kerukunan yang akan dicapainya, karena dalam kerukunan tercermin pula keadilan, pemidanaan merupakan tindakan terhadap anak nakal yang dapat mempertanggung jawapkan perbuatannya, penilaian anak nakal, tidak selalu didasarkan pada kualitas kemampuan rohaniah dan psikis pada waktu kenakalan dilakukan, tetapi terutama didasarkan pada kemampuan mereka berhak untuk menerima pidana dan tindakan Hakim tidak boleh menjatuhkan kumulasi hukuman kepada terdakwa, artinya pidana dan tindakan tidak boleh dijatuhkan sekaligus.

Menurut Maidin Gultom dalam buku Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah51 :

a) Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

b) Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja;

51


(51)

43

c) Menyerahkan kepada Kementerian Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja bagi anak.

Namun dalam perkara anak nakal dapat dijatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan sekaligus, misalnya pidana penjara atau ganti rugi. Dalam menjatuhkan pidana atau tindakan, Hakim harus memperhatikan berat ringannya tindakan pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak. Hakim wajib mempertimbangkan keadaan anak, keadan rumah tangga, orang tua/wali/orang tua asuhnya, hubungan anggota keluarga, keadaan lingkungan, dan Laporan Pembimbing Kemasyarakatan.


(52)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan Yuridis Normatif adalah pendekatan masalah yang dilakukan dengan berpedoman kepada peraturan perundangan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan penerapan keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara anak melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara menelaah asas-asas hukum, kaidah-kaidah atau norma-norma teori-teori dan literatur-literatur.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris merupakan upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus.52

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, yaitu:

52


(53)

45

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan (field research) secara langsung pada objek penelitian yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara yang dilakukan di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung.

2. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dengan maksud untuk memperoleh arah pemikiran dan tujuan penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mengutip, dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan lainnya yang mempunyai hubungan dengan penerapan keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara anak.

Data sekunder tersebut terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu : a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan, dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3) Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab


(54)

46

4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 9) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak

10) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUHAP 11) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi

Hak-Hak Anak

12) Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Penanganan Perkara Pidana Dalam Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah data yang diambil dari literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan, buku-buku ilmiah, petunjuk lapangan, petunjuk teknis, petunjuk pelaksana, dan peraturan pelaksana lainnya.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier antara lain berupa, bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum,


(55)

47

kamus bahasa Indonesia, artikel-artikel, jurnal ilmiah, surat kabar dan media cetak/elektronik.

C. Penentuan Narasumber

Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama.53 Populasi penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, serta pendapat aparat penegak hukum yang mempunyai peranan penting dalam penanganan perakara anak di Polresta Bandar Lampung yang dapat dijadikan sumber informasi bagi penelitian ini.

Sampel adalah sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi.54 Penentuan sampel dan jumlahnya dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu suatu cara penentuan jumlah sampel secara terarah, disertai suatu keyakinan bahwa sampel penelitian tersebut akan dapat memberikan informasi yang diperlukan bagi kepentingan tujuan penelitian.

Adapun responden dalam objek sampling terpilih adalah 1 (satu) orang Penyidik Polri Polresta Bandar Lampung, 1 (satu) orang Dosen Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Lampung, 1 (satu) orang pelaku perkara pidana anak, dan 1 (satu) orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta 1 (satu) orang korban perkara pidana anak.

53

Ibid., hlm 173. 54

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1987, hlm 152.


(56)

48

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik : a. Studi Kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip, dan menganalisis buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas pada literatur, perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya.

b. Studi Lapangan (field research)

Studi lapangan dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data dengan cara mengajukan tanya jawab kepada responden penelitian, yaitu pada Penyidik Polresta Bandar Lampung, Dosen Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Lampung, pelaku serta korban perkara pidana anak dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya.

c. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul maka kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

1) Seleksi data untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti;

2) Klasifikasi, yaitu mengelompokkan data yang diperoleh menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh


(57)

49

data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian;

3) Sistematisasi data, yaitu menyusun dan menetapkan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Sebagai tindak lanjut dari pengolahan data, dilanjutkan dengan analisis data. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara analisis kualitatif, yakni suatu analisis yang berasal dari hasil penelitian yang merupakan rangkaian data yang tersusun secara sistematis dan dianalisis dengan cara pikir yang deskriptif, selanjutnya data tersebut diuraikan secara kalimat per kalimat sehingga merupakan gambaran secara umum jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian. Penganalisaan deskriptif ini bertitik tolak dari analisis yuridis normatif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode induktif, yaitu penarikan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat khusus ke suatu yang bersifat umum. Bentuk kesimpulan akan didapat dari pernyataan-pernyataan spesifik berupa contoh konkrit dan fakta yang ditemukan untuk selanjutnya digeneralisasikan menjadi suatu kesimpulan yang bersifat umum dengan penalaran yang logis.


(1)

84

peradilan. Tindakan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap semua pihak sehingga tercapai keadilan.

3. Hambatan penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung meliputi :

a. Tidak adanya payung hukum yang mengatur dan menjadi landasan legitimasi serta tidak adanya prosedur atau mekanisme yang formal-prosedural dalam mengambil keputusan pada proses penyidikan apakah berdasarkan konsep keadilan restoratif atau konsep/pendekatan lain yang bersesuaian dengan aliran sociological jurisprudence.

b. Kekhawatiran atau ketakutan penyidik akan dipersalahkan oleh pimpinan atau atasan penyidik dan dipermasalahkan pada pengawasan dan pemeriksaan oleh institusi pengawas dan pemeriksa internal Polri yang menggunakan parameter formal prosedural.

c. Tidak semua pihak yang bersengketa memiliki itikad baik untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan melalui proses mediasi. Hal ini disebabkan adanya motif/unsur tertentu seperti balas dendam, kebencian, dan keinginan melihat pihak lain menderita sehingga menyulitkan proses damai.

B. Saran

1. Hendaknya semua pihak yang bersengketa pada perkara pidana anak memiliki itikad baik yang sama untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan melalui penerapan keadilan restoratif demi menjamin masa depan anak sebagai generasi penerus bangsa.


(2)

85

2. Hendaknya dasar legitimasi mengenai adanya pengaturan tindakan lain yang dapat dilakukan oleh penyidik dapat digunakan oleh penyidik dalam setiap proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sambil menunggu berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak agar proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan prinsip peradilan anak tersebut berjalan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.

3. Hendaknya dalam konteks pembaruan hukum pidana, penggunaan kebijakan penal saat ini dalam penanganan proses anak yang bermasalah dengan hukum haruslah dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan stigmatisasi bagi anak, oleh karena itu dari perspektif ius constituendum diperlukan pula penggunaan kebijakan non-penal. Kebijakan non penal melalui diversi dalam dalam proses anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan dukungan adanya pengaturan hukum positif secara jelas sehingga aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya memiliki pegangan yuridis yang jelas. Kebijakan tersebut sangat perlu diupayakan untuk mencegah stigmatisasi yang kerap terjadi apabila anak diproses melalui sistem peradilan pidana anak.


(3)

D

DAAFFTTAARR PPUUSSTTAAKKAA

A. BUKU

Abdussalam, 2007. Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta.

Badudu dan Zain. 1996. Kamus Umum Bahasa. Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta:

Dewi dkk., 2011. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak di Indonesia, Indie Publishing, Depok.

Friedman, Lawrence M, (terjemahan Yusuf Effendi). 2009. Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, Penerbit Nusa Media, Jakarta.

Gautama, Chandra. 2000. Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers Dan Pembangunan (LSPP), Jakarta.

Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.

Hamzah, Andi. 2009. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Kartono, Kartini. 1992. Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers,

Jakarta.

Kelana, Momo. 2002. Memahami Undang-undang Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002), Latar Belakang dan Komentar Pasal demi Pasal, PTIK Press, Jakarta.

Lamintang, PAF. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta.

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice), PT. Refika Aditama, Bandung.

Mulyadi, Mahmud. 2009. Peranan Kepolisian dalam Penegakan Hukum Pidana, PT Pratama, Medan.


(4)

Nawawi Arief, Barda. 1992. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana, Ananta, Semarang.

---, 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Nugraheni, 2009. Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana, Undip, Semarang.

Hadisuprapto, Paulus. 1997, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, PT. Aditya Bakti, Bandung.

Poerwadarminta, 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Prakoso, Djoko. 1986. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, Ghalia

Indonesia, Jakarta.

Prinst, Darwan. 1997. Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Saifullah, 2007. Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung.

Simanjuntak, Osman. 2003. Teknik Perumusan Perbuatan Pidana dan Azas-Azas Umum, Sinar Grafika, Jakarta.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1987. Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Sudirman, 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sukanegara, 2007. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dalam Pembaruan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang.

Supeno, 2010. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.


(5)

Wadong, Maulana Hasan. 2000. Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta.

Wahid, Eriyantow. 2009. Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, University Press, Jakarta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan

KUHAP

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak-Hak Anak Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Penanganan Perkara Pidana

Dalam Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia


(6)

C. INTERNET

Eva Achjani Zulfa, Definisi Keadilan Restoratif, http://evacentre.blogspot.Com/ 2009/11/ definisi-keadilan-restoratif.html.

http://ditjenpas.go.id/?index/main/statistik_kriminal. http://lampung.tribunnews.com/2013/01/01/kasus_anak

http://www.tribunnews.com/read/20120723/70340/kasus-penganiayaan-pada-anak -di-bawah-umur.html.

http://www.kemendagri.go.id/news/2012/07/04/uu-sistem-peradilan-anak- akhirnya-disahkan-dpr.