Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

DAFTAR PUSTAKA
Anggereini, E. 2008. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Suatu Metode
Analisis DNA Dalam Menjelaskan Berbagai Fenomena Biologi. Jurnal
Biospecies Vol 1 (2) : 73-76.
Ardiana, Dwi W. 2009. Teknik Isolasi DNA Genom Tanaman Pepaya Dan Jeruk
Dengan Menggunakan Modifikasi Bufer CTAB. Buletin Teknik Pertanian
Vol. 14 No. 1. Hal 12-16.
Arif, G. A. 2009. Pemanenan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dan Identifikasi
Serangga Penyerbuk Di Pt. Bina Sains Cemerlang, Minamas Plantation,
Sumatera Selatan. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Astuti, Dwi. 2011. Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
Kakatua Putih (Cacatua alba dan C. Moluccensis). Jurnal Biologi
Indonesia, (Online), 7 (2) : 263-276
Azizah, A. 2009. Perbandingan Pola Pita Amplifikasi DNA Daun, Bunga, Dan Buah
Kelapa Sawit Normal Dan Abnormal. [Skripsi]. Fakultas Matematika Dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Erniwati dan S, Kahono. 2012. Keanekaragaman dan Potensi Musuh Alami Dari
Kumbang Elaeidobius kamerunicus Faust (Coleoptera: Curculionidae) di
Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan
Timur. Vol 21 (2) : 9-5.
Fatchiyah, Dra, M.Kes. Ph. D. 2011. Isolasi DNA & RNA.Table of Genetic

Disorders. Jurusan Biologi. Universitas Brawijaya.
Govarthanan, M., Guruchandar A., Arunapriya, S. Selvankumar, T., Selvam, K.,
2011.Genetic variability among Coleus sp. studied by RAPD banding
pattern analysis.International Journal for Biotechnology and Molecular
Biology Research Vol. 2(12), pp. 202-208.
Harumi, E, R. 2011. Populasi Kumbang Elaeidobius kamerunicus Faust Pada
Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Di Ptpn Viii Cimulang,
Bogor. [Skripsi]. Fakultas Ilmu Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Institut Pertanian Bogor.
Herlinda, S., Y, Pujiastuti., T, Adam., dan R, Thalib. 2006. Daur Hidup Kumbang
Penyerbuk, Elaeidobius kamerunicus (Coleoptera: curculionidae) Bunga
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis). Vol 3 (1) : 10-12.
Hewajuli, D, A. dan Dharmayanti. 2014. Perkembangan Teknologi Reverse
Transcriptase-Polymerase Chain Reaction Dalam Mengidentifikasi Genom
Avian Influenza dan Newcastle Diseases. Wartozoa Vol. 24 (1) : 3-14.

Universitas Sumatera Utara

Hutaharuk CH, Sipayung A, Soedharto PS. 1982. Elaeidobius kamerunicus hasil uji
kekhususan inang dan perananya sebagai penyerbuk kelapa sawit. BuI PPM

3: 7-21.
Langga, I, F., M, Restu., dan T, Kuswinanti. 2012. Optimalisasi Suhu dan Lama
Inkubasi Dalam Ekstraksi Dna Tanaman Bitti (Vitex cofassus Reinw)Serta
Analisis Keragaman Genetik Dengan Teknik Rapd-Pcr. Jurnal Sains dan
Teknologi Vol (12) : 3 : 265-276.
Mueller, U. G. And Wolfenbarger, L.L. 1999. AFLP Genotyping and Fingerprinting.
Reviews.Tree, V.14.
Muzuni., D, A, Adi., dan S, Syarif. 2014. Karakterisasi Fragmen Gen 18S Rrna
Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di Sungai Pohara
Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe. Vol 1 (1) : 25-38.
Padmalatha, K. Jayaram, K., Prasad, M, N, V. 2006.A Rapid Protocol for the
Isolation of Polysaccharide and Polyphenolic-Free Genomic DNA for
RAPD Analysis of Threatened Medicinal Plants. Medicinal and Aromatic
Plant Science and Biotechnology. Global Science Books.
Saefudin. 2007. Genetika. [Skripsi]. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Saunders, J.A., S. Mischke, dan A.A. Hemeida, 2001. The use of AFLP techniques
for DNA fingerprintingin plants. Beckman Coulter, Inc.,Fullerton. 9 hlm.
Simatupang, B dan Widyaiswara. 2011. Pemanfaatan Serangga Penyerbuk Kelapa
Sawit (Elaeidobius kamerunicus) Dalam Upaya Peningkatan Produktivitas
Kelapa Sawit. [Skripsi]. Universitas Jambi.

Sitepu, R. H. 2008. Kajian Musuh Alami Serangga Penyerbuk Kelapa Sawit
Elaidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : curculionidae) Pada Tanaman
Kelapa Sawit (Elaies guineensis Jacq). [Skripsi]. Universitas Sumatera
Utara.
Siregar, A. Z. 2006. Kelapa Sawit Minyak Nabati Berprospek Tinggi. [Skrispsi].
Universitas Sumatera Utara.
Sunarno., A, Rizki., K, Sariadji., A, Malik., A, Karuniawati., dan A, Soebandiro.
2013. Direct Polymerase Chain Reaction:Sebuah Alternatif Metode
Diagnostik Difteri Secara Cepat, Mudah dan Hemat. Mekara Sari
Kesehatan 17 (2) : 88-94.
Syam, R., Gusti, R, S., dan Muzuni. 2012. Analisis Variasi Genetik Jambu mete
(Anacardium Occidentale L.)Asal Sulawesi Tenggara Menggunakan marka
molekuler AFLP (Amplified Fragment Length Polimorphism). Vol 1 (2) :
164-173.

Universitas Sumatera Utara

Tamura, K., Dudley, J., Nei, M. And Kumar, S.2007. MEGA 4: Molecular
Evolutionary Genetiks Analisis (MEGA) Software Version 4.0. Molecular
Biology Evolution, 24(8): 1596-1599.

Vos, P., Hogers, R., Bleeker, M., Reijans, M., van de Lee, T., Hornes,M., Frijters,
A., Pot, J., Peleman, J., Kuiper, M., Zabeau, M.,1995. AFLP: a new
technique for DNA fingerprinting. Nucleic Acids Res. 11 : 4407–4414.
Yanti, F, A. 2011. Populasi Kumbang Elaeidobius kamerunicus Faust PadaTanaman
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Di PtpnViii Kebun Sukamaju,
Cikidang, Sukabumi. [Skripsi]. Fakultas Ilmu Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Yulianti, E. 2006. Pengembangan Teknik Isolasi DNA Tumbuhan Menggunakan
Detergen Komersial [Skripsi]. Yogyakarta

Universitas Sumatera Utara

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
Marihat Sumatera Utara dengan ketinggian tempat ± 400 m di atas permukaan laut
mulai bulan Mei sampai dengan September 2016.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah imago E. kamerunicus,
imago S. oryzae, ethanol 70%,


Genomic DNA Mini Kit, buffer A,

dNTP.

BioReagents Taq DNA polymerase, EcoR1, Tru91, buffer F, buffer H, ddH2O, T4
DNA ligation buffer, T4 buffer, Agarose, MgCl2, PCR buffer, 1 kb DNA Ladder,
NH4 reaction buffer, Biotaq dan bahan lain yang akan mendukung penelitian ini
(Lampiran 1).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah PCR Real Time,
homogenizer rotorstator, sentrifuge, tabung reaksi, alat elektroforesis, hot plate,
gelas ukur, mikropestle, pipet tetes, botol, pinset dan alat lain yang mendukung
penelitian ini (Lampiran 1).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode AFLP, dengan mengambil DNA
E. kamerunicus kemudian diekstraksi menggunakan Genomic DNA Mini Kit lalu
dilihat genotipenya menggunakan PCR kemudian di sesuaikan hasil sekuen dengan
primer universal yang biasa diuji kemudian hasil uji dilakukan sekuensing langsung
menggunakan jasa 1stBASE (Malaysia) untuk mengetahui jenisnya.


Universitas Sumatera Utara

Pelaksanaan Penelitian
Pengoleksian Serangga Uji
Serangga uji E. kamerunicus diambil dari beberapa kabupaten di provinsi
Sumatera Utara yang telah dikumpulkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit di
Marihat yang kemudian dikumpulkan dan ditempatkan pada botol yang berisi
ethanol 70% dan disimpan ke dalam freezer. Sampel yang dipakai pada penelitian
ini dapat dilihat pada Tabel 1 (Lampiran 2).
Tabel 1. Sampel Uji Yang Dipakai Dalam Penelitian.

1.

Binanga

(SPKS)

Jumlah
Ulangan
6


2.

Marihat

(SPKS)

6

3.

Bukit Sentang

(SPKS)

6

4.

Ajamu


(SPKS)

6

5.

Padang Madrasah

(SPKS)

6

6.

Bah Birong Ulu

(SPKS)

6


7.

PT. TPS Sibolga

(SPKS)

6

8.

Medan

(KUTU BERAS)

3

No

Kabupaten


Pengekstraksian DNA E. kamerunicus
DNA kumbang E. kamerunicus diekstraksi menggunakan Genomic DNA Mini
Kit (Tissue) (GeneAid GT100) sesuai dengan instruksi masing-masing pabrikan.
Serangga diambil sebagai sampel dan kemudian dihancurkan dengan homogenizer
rotor-stator dan mikropestle untuk mengekspos sel sebanyak mungkin (Lampiran 3).

Universitas Sumatera Utara

Genotipe E. Kamerunicus Berdasarkan Amplified Fragment Length
Polymorphism (AFLP)
Dilakukan penggabungan DNA (dari sampel nomor 1 hingga 6, pada
masing-masing daerah pengambilan sampel). Perbandingan volume DNA tiap
individu sama dengan konsentrasi masing-masing sampel adalah10 ng/µL. Proses
AFLP untuk tiap penggabungan sampel DNA menggunakan protokol

Vos

et al., (1995). Protokol tersebut diaplikasikan pada masing-masing perlakuan
penggabungan DNA. Tahapan pada protokol AFLP tersebut adalah sebagai berikut:

o Pemotongan DNA genom: setiap campuran terdiri dari 9,75 μl DNA, 0,3 μl
EcoRI (15 U/ μl) (Invitrogen), 0,5 μl Tru9I (10 U/μl) (Promega), 0,6525 μl
buffer F (10x), 0,0725 μl buffer H (10x) dan 0,0725 μl 0,5% BSA (buffer dan
BSA tersedia bersama dengan masing-masing enzim restriksi). Total larutan
diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37°C, kemudian diinkubasi pada suhu
70°C selama 15 menit dan didinginkan hingga suhu kamar.
o Ligasi adaptor dengan fragmen DNA hasil pemotongan: adaptor EcoRI dan
Tru9I dipanaskan masing-masing pada suhu 95°C selama 5 minutes, kemudian
didinginkan perlahan hingga suhu kamar. DNA genom hasil pemotongan
kemudian diligasi dengan adaptor dengan mencampur DNA hasil pemotongan
dengan adaptor dalam reaksi yang terdiri dari 1,25 μl EcoRI adaptor
(Invitrogen), 1,25 μl Tru9I adaptor (Invitrogen), 1,25 μl T4 DNA ligase (1 U/
μl) (Invitrogen), 2,4 μl T4 DNA ligation buffer (5x) (Invitrogen) dan 5,85 μl
PCR grade water (Invitrogen). Larutan tersebut diinkubasi pada suhu 20°C
selama 2 jam dan kemudian disimpan pada 4°C hingga akan digunakan.
Produk ligase diencerkan 10 kali dengan Ultrapure destillet water (Invitrogen)
untuk tahap berikutnya.

Universitas Sumatera Utara

o Pre-amplifikasi produk ligasi: satu reaksi amplifikasi terdiri dari 2 μl produk
ligasi, 14,76 μl pre-amplification primer mix (Inv itro gen), 2 μl PCR bu ffer
(10x), 1,2 μl

MgCl2 (25 mM), dan 0,04 μl

BioTaq DNA polymerase

(Bioline). PCR buffer dan MgCl2 tersedia bersama dengan taq polymerase.
PCR dilakukan pada mesin C1000 Touch Cycler (BioRad),dengan program:
20 siklus pada 94°C selama 30 detik, 56°C selama 1 menit dan 72°C selama 1
menit. Hasil pre-amplifikasi diencerkan 50 kali dengan Ultrapure destillet
water (Invitrogen) untuk tahap berikutnya.
o Amplifikasi selektif: Satu reaksi terdiri dari 0,1 μl BioTaq DNA polymerase
(Bioline), 0,8 μl primer selektif Tru9I (5 μM) (Sigma), 0.8 μl primer selektif
EcoRI (5 μM) (Sigma), 2 μl hasil pre-amplifikasi yang sudah diencerkan, 13,3
μl Ultrapure destillet water (Invitrogen), 0,4 μl dNTPs (10 mM) (Promega), 2
μl NH4 reaction buffer (10x) dan 0,6 μl MgCl2 (50 mM). NH4 reaction buffer
dan MgCl2 tersedia bersama dengan taq polymerase.

PCR menggunakan

mesin C1000 Touch Cycler (BioRad), dengan program: 94°C selama 2 menit,
13 siklus pada 94°C selama 30 detik, 65°C (annealing temperature) selama 30
detik dan 72°C selama 1 menit, dan menurunkan annealing temperature 0.7°C
setiap siklus. Tahap ini kemudian diikuti oleh 23 siklus pada 94°C selama 30
detik, 56°C selama 30 detik dan 72°C selama 1 menit, kemudian 72°C selama
5 menit (Lampiran 4).

Universitas Sumatera Utara

Ditahap Amplifikasi selektif PCR sampel DNA E. Kamerunicus menggunakan 3
primer yaitu :
-

HEX (EcoR1 ACA – Mse1 CTT)

-

FAM (EcoR1 AGG – Mse1 CAG)

-

FAM (EcoR1 AGG – Mse1 CTT)

o Primer selektif EcoRI diberi label fluoresen yang berbeda sehingga hasil
amplifikasi dengan label yang berbeda dapat digabung sebagai satu sampel
pada analisis fragmen menggunakan capillary sequencer, menggunakan jasa
yang disediakan secara komersial oleh 1stBASE (Malaysia). Profil AFLP pada
masing-masing sampel E. kamerunicus dibandingkan menggunakan perangkat
lunak GeneMarker®version 1.97 (SoftGenetics LLC®), untuk perbandingan
jumlah individu yang DNA-nya digabung pada protokol BSA-AFLP, dan
untuk mengidentifikasi polimorfisme antar DNA sampel E. kamerunicus.
Sekuensing Langsung Produk PCR (Polymerase Chain Reaction)
Sampel yang digunakan pada masing-masing produk PCR adalah 10 μl.
Dilakukan direct sequencing pada hasil amplifikasi menggunakan jasa komersial
yang disediakan oleh 1stBASE (Malaysia) (Lampiran 5).
Analisis Keragaman Genetik E. kamerunicus
Data AFLP ddiolah bentuk skoring data biner (Lampiran 4) lalu dendrogram
dikonstruksi menggunakan metode Neighbor-Joining Tree, dengan bantuan MEGA
versi 6 (Tamura et al., 2013) (Lampiran 6).

Universitas Sumatera Utara

Peubah Amatan
Tingkat Keragaman E. kamerunicus di Setiap Kabupaten
Pengamatan

dilakukan

dengan

membandingkan

tingkat

keragaman

E. kamerunicus di beberapa kabupaten di provinsi Sumatera Utara dengan
menggunakan pohon silsilah sehingga diperoleh hubungan kekerabatan yang sesuai.
Filogenetik E. Kamerunicus Berdasarkan Basa Nitrogen Nukleotida
Pengamatan

dilakukan

dengan

membandingkan

tingkat

keragaman

E. Kamerunicus di beberapa kabupaten di provinsi Sumatera Utara dengan
menggunakan pohon filogenetik sehingga diperoleh hubungan kekerabatan yang
sesuai.

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi DNA
Beberapa

metode

isolasi

DNA

yang

dilakukan

pada

penelitian

ini

memungkinkan hasil isolat DNA yang berbeda. Hal ini bergantung pada efektifitas
metode tersebut dalam menghasilkan isolat DNA baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya serta efisiensi waktu pengerjaan. Hasil yang diperoleh tergantung pada
teknik isolasi yang digunakan dan ketelitian cara pengerjaan. Teknik molekuler
bervariasi dalam cara pelaksaan untuk mendapatkan data, baik tekniknya maupun
tingkatan target data yang diinginkan sesuai kemudahan pelaksanaan, ketersediaan
sumber daya manusia, fasilitas, dan dana (Karp dkk., 1997 dalam Ardiana, 2009).
DNA yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil isolasi DNA dari
kumbang E. kamerunicus sebanyak 42 sampel dan kutu beras sebagai kontrol
sebanyak 3 sampel yang diambil dari beberapa daerah di provinsi Sumatera Utara.
Ekstraksi DNA sampel menggunakan metode Genomic DNA mini kit (Tissue)
(GeneAid GT100). Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan proses
elektroforesis diantaranya adalah ukuran molekul DNA, konsentrasi gel agarose,
konformasi DNA, voltase, keberadaan pewarna DNA dan komposisi buffer
elektroforesis. Keberhasilannya dilihat menggunakan elektroforesis gel agarose.

Universitas Sumatera Utara

Elektroforesis Gel Agarose
Dalam penelitian ini penulis menggunakan gel agarose dengan konsentrasi
1%. Konsentrasi gel agarose sangat mempengaruhi laju migrasi DNA pada proses
elektroforesis. Hal ini sesuai dengan penelitian Fatciyah (2011) dimana konsentrasi
agarose yang digunakan akan menentukan besarnya pori-pori gel yang akan
memisah-misahkan DNA. Semakin rendah konsentrasi agarose maka matriks gel
akan semakin kecil dan fragmen DNA dapat dipisah semakin jauh berdasarkan
ukurannya. DNA yang sudah di ekstraksi langsung di elektroforesis gel agarose
untuk melihat jelas atau tidaknya pita DNA dari sampel yang di uji. Elektroforesis
gel agarose DNA hasil ekstraksi disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Hasil Elektroforesis DNA hasil ekstraksi E. Kamerunicus dan
kutu beras (S. oryzae).
Hasil positif gel agarosa adalah munculnya pita yang berpendar jika gel
dilihat di bawah sinar ultra violet. Hasil negatif elektroforesis gel agarose adalah
tidak adanya pita yang berpendar jika gel agarose dilihat di bawah sinar UV.
Ketebalan dan intensitas pita DNA sampel dibandingkan dengan marka DNA yang
telah diketahui konsentrasinya. Hasil isolasi DNA E. kamerunicus yang didapatkan

Universitas Sumatera Utara

disimpan pada suhu 4oC, dan dapat digunakan untuk aplikasi selanjutnya (Syam et
al., 2012).
Berdasarkan hasil elektroforesis DNA, hasil ekstraksi penelitian ini tampak
jelas tetapi terdapat beberapa sampel yang smear (kabur). Hasil yang jelas akan
menyebabkan penempelan primer yang sempurna pada DNA tersebut. Hal ini sesuai
dengan literatur Langga et al., (2012) menjelaskan bahwa dimana penanda genetik
(RAPD) sangat sensitif pada kondisi reaksi serta kualitas DNA template. Oleh
karena itu diperlukan konsentrasi dan kemurnian DNA primer serta prosedur
penyiapan DNA genom konsisten.
Ekstraksi sampel dengan Genomic DNA mini kit berhasil mengisolasi genom
kumbang E. kamerunicus Faust. Hal tersebut dapat dilihat pada pita genom yang
jelas, meskipun masih terdapat smear (kabur). Hasil ekstraksi ini menunjukan bahwa
isolasi DNA genom berhasil dengan baik sehingga dapat digunakan untuk analisis
selanjutnya yaitu Amplifikasi PCR.
Amplifikasi dan Genotyping
Tabel 2. Urutan Primer Yang Dipakai Dalam Penelitian Ini Didalam Proses
Amplifikasi dan Genotyping.
No

Nama Primer

Kombinasi

1.

Hex (EcoR1 ACA – Mse1 CTT)

Kombinasi 16

2.

FAM (EcoR1 AGG – Mse1 CAG)

Kombinasi 10

3.

FAM (EcoR1 AGG – Mse1 CTT)

Kombinasi 14

Sebanyak 45 sampel pada setiap primernya telah dianalisis menggunakan
mesin PCR. Hasil amplifikasi PCR menunjukkan bahwa beberapa hasil isolat
E. kamerunicus tampak jelas, tipis dan sangat tipis hal ini dikarenakan kuantitas dari

Universitas Sumatera Utara

hasil ekstraksi DNA E. kamerunicus yang terlalu sedikit. Hal ini sesuai dengan
literatur Yulianti (2006) menjelaskan bahwa untuk mendapatkan metode yang benar
dan dapat menghasilkan DNA dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, sebaiknya
dilakukan pengujian mengenai langkah-langkah yang dilakukan, bahan-bahan yang
digunakan beserta ukurannya serta eksplan apa yang paling banyak mengandung
DNA, sehingga untuk penelitian, DNA yang diperoleh bisa tampak lebih jelas. Pada
Gambar 5-7 menunjukkan bahwa produk amplifikasi primer diseparasi dengan
elektroforesis gel agarose 1% dan divisualisasikan dengan UV transimulator.

Gambar 5. Hasil Elektroforesis DNA hasil PCR tahap restriksi/ligasi sampel
E. kamerunicus dan kutu beras (S. oryzae).
Pada Gambar 5 di atas merupakan hasil elektroforesis dari tahap
restriksi/ligasi. Ligasi adapter dilakukan menurut invitrogen (2003). Sampel yang
telah didigesti kemudian adapter secara simultan. Adapter merupakan DNA untai
ganda yang memiliki panjang sekitar 20 pb. Terdapat dua jenis adapter yaitu adapter
ujung pemotongan EcoRI dengan kelebihan basa AATT pada ujung 5’ dan ujung
pemotongan MseI dengan kelebihan basa TA pada ujung 5’. Proses ligasi dilakukan
dengan bantuan enzim T4 DNA ligase yaitu membentuk ikatan fosfodiester antara
ujung 5’ (ujung fosfat) dan ujung 3’ (ujung OH) pada untai DNA (Struhl, 1993).

Universitas Sumatera Utara

Adapter berfungsi menyamakan dua ujung pragmen hasil digesti dan sebagai
tempat menempelnya primer untuk proses amplifikasi selanjutnya. Hasil positif
ligasi dapat dilihat pada akhir proses AFLP karena urutan basa pada primer sehingga
bila proses ligasi gagal maka proses amplifikasi tidak akan berjalan (Saunders et al.,
2001).

Gambar 6. Hasil Elektroforesis DNA hasil PCR tahap pre-amplifikasi produk
ligasi sampel E. kamerunicus dan kutu beras
(S.
oryzae).
Pada Gambar 6 diatas menampilkan hasil elektroforesis dari tahap
Preamplifikasi hasil dari produk ligasi sebelumnya. Tahap preamplifikasi ini
tujuannya untuk lebih menjelaskan penempelan primer pada DNA sehingga tidak
terjadi kesalahan. Hal ini sesuai dengan literature Vos et al. (1995), preamplifikasi
bertujuan mengurangi kompleksitas fragmen hasil digesti, sehingga tidak terjadi
kesalahan penempelan primer pada amplifikasi selektif dan mengurangi hasil pita

Universitas Sumatera Utara

smear (kabur) pada elektroforesis gel poliakrilamid.

Gambar 7. Hasil Elektroforesis DNA hasil PCR tahap selektif amplifikasi
sampel E. kamerunicus dan kutu beras (S. oryzae).
Pada Gambar 7 di atas menjelaskan hasil elektroforesis tahap selektif
amplifikasi dari hasil preamplifikasi sebelumnya. Tahap ini bertujuan untuk lebih
menunjukkan perbedaan ukuran pita yang mampu menggambarkan polimorfisme
dari sampel. Menurut (Saunders et al., 2001) basa-basa selektif pada primer melekat
pada fragmen hasil digesti yang memiliki basa–basa berkomplemen. Perbedaan
basa–basa selektif pada setiap primer mengakibatkan perbedaan amplifikasi
fragmen, sehingga menghasilkan perbedaan pita berdasarkan ukuran pita yang
dihasilkan dari masing–masing sampel. Perbedaan ukuran pita menggambarkan
polimorfisme dari sampel.
Pita yang muncul memiliki ukuran basa dan intensitas yang bervariasi.
Perbedaan intensitas pita DNA dipengaruhi oleh sebaran situs penempelan primer
pada genom, kemurnian dan konsentrasi genom dalam reaksi. Banyaknya pita yang
dihasilkan oleh setiap primer tergantung pada sebaran situs homolog pada genom
(Williams et al., 1990 dalam Govarthanan et al., 2011). Fragmen yang tidak muncul

Universitas Sumatera Utara

disebabkan tidak terjadinya amplifikasi, mungkin terjadi karena primer yang
digunakan tidak sesuai dengan DNA cetakan. Beberapa bukti percobaan
menunjukkan bahwa perbedaan satu pasang basa saja cukup menyebabkan
ketidaksesuaian cetakan primer yang kemudian mencegah amplifikasi. (Williams et
al., 1990)
Muncul atau tidaknya pita pada setiap primer berpengaruh terhadap
konsentrasi primer yang juga berpengaruh terhadap intensitas produk PCR-AFLP.
Menurut Padmalatha dan Prasad (2006) konsentrasi primer yang terlalu rendah atau
terlalu tinggi menyebabkan tidak terjadinya amplifikasi. Rasio yang rendah antara
primer dan DNA cetakan dapat menyebabkan produk AFLP yang dihasilkan tidak
konsisten.
Teknik

AFLP

dapat

mendeteksi

polimorfisme

pada

serangga

E. Kamerunicus dengan menganalisis seluruh genom. Polimorfisme yang dihasilkan
menunjukkan adanya perbedaan letak marka AFLP (urutan basa pengenalan enzim
restriksi EcoRI dan MseI dan primer selektif) sehingga dapat diperoleh perbedaan
informasi genetik pada setiap sampel. Perbedaan ukuran fragmen DNA
menghasilkan suatu polapita DNA tertentu. Teknik AFLP diawali dengan memotong
serangga E. Kamerunicus dengan enzim EcoR1 dan MseI. Serangga E. Kamerunicus
memiliki basa adenin dan timin yang lebih tinggi daripada basa guanin dan sitosin.
Menurut (Vos et al., 1995) menyatakan bahwa analisis AFLP dengan enzim EcoRI
dan MseI bertujuan agar polimorfisme yang didapatkan lebih rinci karena komposisi
basa adenin dan timin pada kedua enzim (EcoR1 dan MseI) lebih tinggi daripada
basa guanin dan sitosin.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan hasil elektroforesis tahap PCR pada gambar 5-7 terdapat
beberapa pita DNA tersebut tidak terbentuk secara sempurna. Pada saat
didokumentasikan dengan menggunakan Gel-doc terlihat pita-pita yang smear (tidak
jelas/kabur). Hal ini disebabkan pita DNA yang tidak terbentuk secara sempurna.
Hal ini sesuai dengan literatur Azizah (2009) hasil amplifikasi yang kurang baik
dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian primer, efisiensi, dan optimasi proses PCR.
Primer yang tidak spesifik atau sesuai dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah
lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah
genom yang teramplifikasi. Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan
karakter yang diinginkan yang menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA
dalam mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah dapat menyebabkan belum
terbukanya DNA utas ganda sehingga tidak memungkinkan terjadinya penempelan
primer. Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan
suhu optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak
terjadi karena primer tidak menempel atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah
menyebabkan primer menempel pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya.
Hal ini menyebabkan teramplifikasi banyak daerah tidak spesifik dalam genom
tersebut. Suhu penempelan ini ditentukan berdasarkan primer.
Analisis Keragaman Genetik E. kamerunicus Faust.
Berdasarkan elektroforesis hasil amplifikasi dengan menggunakan 3 primer,
diperoleh data berupa skoring untuk menentukan kesamaan genetik antar individu
dalam 42 sampel kumbang E. kamerunicus dan 3 sampel kutu beras (S. oryzae).
Sebelum dilakukan pengelompokan hasil analisis keragaman genetik melalui pohon
filogenetik (dendogram), dilakukan skoring terlebih dahulu untuk mendapatkan data

Universitas Sumatera Utara

biner yang nantinya akan dianalisis di software MEGA versi 6 dengan menggunakan
metode Neighbor Joining Tree. Hasil data skoring DNA dengan menggunakan 3
primer (Lampiran 7).
Dendogram merupakan topologi pohon filogenetik yang menggambarkan
percabangan dan pengelompokkan (clustering) sampel yang berderet rata secara
vertikal pada satu sisi pohon. Berdasarkan dendogram, maka dapat diketahui pola
percabangan dengan pengelompokkan sampel berdasarkan marka molekular AFLP.
Software MEGA versi 6 menganalisis data biner menjadi dendogram dengan
menggunakan metode Neighbor Joining Tree, diperoleh 3 kelompok besar pada 42
sampel kumbang E. kamerunicus dan 3 sampel kutu beras (S. oryzae) yang tertera
pada Gambar 8.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 8. Pohon filogenetik 42 sampel kumbang E. kamerunicus dan 3 sampel kutu
beras (S. oryzae) yang dianalisis berdasarkan software MEGA versi 6
dengan metode Neighbor Joining Tree.
Hasil dendogram pada Gambar 8 menunjukkan bahwa dari 42 sampel
kumbang E. kamerunicus dan 3 sampel kutu beras (S. oryzae), terdapat dua
kelompok yaitu kelompok A yang terdiri dari kumbang E. kamerunicus yang
terdapat di beberapa kabupaten di Sumatera Utara, sedangkan kelompok B terdiri
dari kutu beras (S. oryzae) yang terdapat di Kota Medan.

Universitas Sumatera Utara

Pada hasil dendogram pada Gambar 8 juga menunjukkan pada kelompok A
memiliki 2 kelompok yang dimana terdapat kelompok 1 terdiri dari semua
kabupaten yang dijadikan sampel uji dan di kelompok 2 terdiri dari Marihat dan Bah
Birong Ulu yang dimana pada kelompok 1 juga terdapat 1 sampel yang berasal dari
Bah Birong Ulu. Dari kelompok tersebut bisa diliat Marihat dan Bah Birong Ulu
memiliki geografis yang sama yaitu merupakan daerah dataran tinggi hal ini sesuai
dengan (Astuti, 2011) yang menyatakan berdasarkan letak geografis, variasi genetik
dipengaruhi oleh biogeografi atau pengaruh lingkungan. Dalam biogeografi
dipelajari bahwa penyebaran organisme dari suatu tempat ke tempat lainnya
melintasi berbagai faktor penghalang. Faktor-faktor penghalang ini menjadi
pengendali penyebaran organisme. Faktor penghalang yang utama adalah iklim dan
topografi. Faktor lingkungan utama yang berpengaruh terhadap persebaran makhluk
hidup adalah faktor fisik (abiotik) adalah iklim (suhu, kelembaban udara, angin), air,
tanah, dan ketinggian permukaan bumi, dan yang termasuk faktor non fisik (biotik)
adalah manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.

1
2
3
4
5
6
7

Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat Menurut
Kabupaten dan Keadaan Tanaman di Sumatera Utara, Tahun 2014
Daerah/Kabupaten
Luas Areal
Produksi
(Ha)
(Ton)
TBM TM
TTM Jumlah
Bukit Sentang/Kab. Langkat
5.862 39.200
372
45.434
133.008
Padang
Madarsah/Kab.
20
10
14
44
15
Tapanuli Utara
Ajamu/Kab. Labuhan Batu 1.936 40.136
602
42.674
135.110
Selatan
Sibolga/Kab. Tapanuli Tengah
1.522
1.673
33
3.228
5.621
Binanga/Kab. Karo
481
762
93
1.336
1.884
Marihat/Kab. Simalungun
3.210 25.140
32
28.382
92.850
Bah
Birong
Ulu/Kab. 3.210 25.140
32
28.382
92.850
Simalungun
(Direktorat Jendral Perkebunan, 2015).

Universitas Sumatera Utara

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa produksi kelapa sawit di 7 daerah di
Sumatera Utara memiliki tingkat perbedaan yang signifikan hanya pada daerah
Marihat dan Bah Birong Ulu yang memiliki nilai produksi yang sama di karenakan
daerah tersebut terletak dalam kabupaten yang sama. Hal ini membuktikan dan
mampu menjelaskan dari perbedaan yang terdapat di hasil dendogram pada
kelompok 1 dan 2 yang terdapat di dalam kelompok A bahwa hubungan kekerabatan
E. kamerunicus di Sumatera Utara tidak mempengaruhi dalam meningkatkan
produksi kelapa sawit.
Pengelompokkan sampel kumbang E. kamerunicus dan kutu beras
(S. oryzae) berdasarkan marka AFLP menunjukkan perbedaan dan kemiripan
genetik antar sampel. Perbedaan dan kemiripan genetik tersebut dihasilkan
berdasarkan pola pita DNA (Mueller dan Wolfenbarger, 1999). Sampel kumbang E.
kamerunicus yang tergolong dalam satu kelompok memiliki beberapa pola pita yang
mirip dari beberapa kabupaten di Sumatera Utara namun untuk sampel kutu beras
dari kota Medan yang tergolong dalam satu kelompok terdapat perbedaan pola pita
seperti pada sampel Medan 1 berbeda pola pitanya dengan sampel Medan 2 dan
Medan 3.
Pada penelitian ini dilakukan perbandingan dengan spesies outgroup yaitu S.
oryzae (kutu beras). Dilihat dari pohon filogenetik pada Gambar.9, jarak genetik dan
komposisi sekuens antara E. kamerunicus dengan

S. oryzae

menunjukkan kelompok yang berbeda begitu juga dengan hasil yang jauh dan
komposisi basanya sangat berbeda, hal tersebut disebabkan oleh kedua individu
tersebut berasal dari kelas yang berbeda sehingga sangat banyak variasi yang
digambarkan dari sekuens komposisi basanya. Kutu beras juga memiliki ukuran

Universitas Sumatera Utara

yang hampir sama dengan E. kamerunicus, mudah dicari dan memiliki hubungan
kekerabatan yang jauh dari E. kamerunicus pada tingkat spesies.
Kelompok outgrup berguna untuk mengetahui keakuratan hubungan
kekerabatan E. Kamerunicus pada setiap daerah sehingga dengan adanya kutu beras
sebagai outgrup yang telah diketahui memiliki hubungan yang jauh dengan E.
Kamerunicus

maka

hasil

filogenetik

akan

dapat

terpercaya.

Menurut

Swofford et al., (1996) untuk mendapatkan hasil yang meyakinkan maka
ditambahkan outgrup pada hasil akhir yang sudah diketahui hubungannya yang jauh
dengan sempel.
Kelompok outgroup sangat dibutuhkan dalam pembuatan pohon filogenetik
karena moyang terakhir dari suatu kelompok yang lebih modern (Kielak, 2009).
Oleh karena itu kelompok outgroup yang dipilih dari penelitian ini merupakan
spesies yang berbeda pada tingkatan genus. Spesies yang digunakan moyang adalah
S. oryzae yang termasuk dalam genus sitophilus. Hasil topologi pohon filogenetik
menunjukkan bahwa kelompok outgroup berada pada cabang yang terpisah dengan
kelompok sampel E. kamerunicus.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Analisis filogenetik dari DNA genom E. kamerunicus dari berbagai
kabupaten di Sumatera Utara dengan menggunakan metode Amplified
Fragment Length Polymorphism (AFLP)

ditemukan adanya keragaman

genetik.
2.

Penggunaan primer HEX (EcoR1 ACA – Mse1 CTT), FAM (EcoR1 AGG –
Mse1 CAG) dan FAM (EcoR1 AGG – Mse1 CTT) dalam metode AFLP
dinilai sangat efisien dan tepat untuk serangga E. kamerunicus dikarenakan
mampu menghasilkan keragaman genetik yang tergolong cukup tinggi
dengan koefisien kesamaan yang rendah.

3. Pada pohon filogenetik didapati dua kelompok besar yaitu kelompok A yang
terdiri dari kumbang E. kamerunicus yang terdapat di beberapa kabupaten di
Sumatera Utara,sedangkan kelompok B terdiri dari kutu beras (S. oryzae)
yang terdapat di Kota Medan.
4. Posisi taksa E. kamerunicus yang dibandingkan dengan spesies outgroup S.
oryzae sudah benar yaitu membentuk cluster yang jauh dikarenakan
keduanya tidak saling berkerabat dekat.

Universitas Sumatera Utara

SARAN
1. Penelitian ini masih perlu di lakukan dengan menggunakan primer yang lebih
spesifik lagi agar di dapat hasil yang lebih maksimal untuk kedepannya.
2. Sebaiknya ada penelitian lebih lanjut mengenai sekuen E. kamerunicus
menggunakan metode metode lainnya dengan jumlah individu lebih banyak
dan individu yang menyebar lebih luas.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae)
Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni
siklus hidupnya terdiri dari telur–larva–pupa–imago. E. kamerunicus memiliki peran
dalam penyerbukan tanaman kelapa sawit. Penyerbukan terjadi karena kumbang ini
tertarik dengan aroma bunga jantan, kemudian mendekati, dan saat hinggap di bunga
jantan, serbuk sari akan melekat di tubuhnya. Sewaktu hinggap di bunga betina yang
mekar (reseptif), serbuk sari akan terlepas dari kumbang dan menyerbuki bunga
betina. Selain itu, kumbang ini tidak berbahaya dan tidak mengganggu tanaman lain,
karena kumbang ini hanya dapat makan dan bereproduksi pada bunga jantan kelapa
sawit (Harumi, 2011).
E. kamerunicus merupakan kumbang penyerbuk kelapa sawit yang efektif
karena bersifat spesifik dan beradaptasi sangat baik pada tanaman kelapa sawit
(Siregar, 2006). Kumbang ini hanya dapat makan, bertelur, dan berkembang biak
pada bunga jantan kelapa sawit, walaupun kumbang ini dapat makan pada tanaman
yang lain, seperti kelapa (Cocos nucifera), bunga sepatu (Hibiscus rosasinensis),
bunga

kanna

(Cana

indica),

dan

ubi

kayu

(Manihot

utilisima)

(Hutaharuk et al., 1982).
Bunga jantan dan betina kelapa sawit terdapat pada ketiak daun yang berbeda
tetapi pada tanaman yang sama (monoecius). Penyerbukan bunga kelapa sawit
terjadi secara silang karena kedua bunga mekar pada waktu yang tidak sama. Untuk
itu, dalam proses penyerbukan perlu adanya bantuan faktor luar agar didapat

Universitas Sumatera Utara

penyerbukan yang maksimal. Penyerbukan tidak hanya dilakukan oleh angin tetapi
juga perlu dibantu oleh serangga penyerbuk (Herlinda et al., 2006).
Kelapa sawit adalah tanaman monoecious, yaitu bunga jantan dan betina
ditemukan dalam satu tanaman. Bunga jantan dan betina matang (anthesis) pada
waktu yang berbeda atau sangat jarang terjadi bersamaan. Penyerbukan alami terjadi
dengan bantuan angin atau serangga, tetapi biasanya kurang efektif sehingga jumlah
buah yang dihasilkan relatif lebih sedikit pada setiap tandannya. Oleh karena itu,
untuk memperoleh tandan-tandan dengan jumlah buah yang optimal, penyerbukan
dapat dibantu melalui penyerbukan bantuan (assisted pollination). Penyerbukan
kelapa sawit paling efektif menggunakan E. kamerunicus, yang bersifat spesifik dan
beradaptasi baik pada musim basah maupun kering (Harumi, 2011).
Tanaman

kelapa

sawit

adalah

satu-satunya

tanaman

inang

bagi

E. kamerunicus dimana serangga ini dapat bertelur dan berkembang biak dengan
baik. E. kamerunicus bertelur setelah berumur 2-3 hari sebanyak 1-11 butir per hari
yang diletakkan di dalam yang dibuat pada sisi luar tangkai kantong sari bunga
kelapa sawit yang sedang mekar. Telur bewarna kuning jeruk, bentuknya lonjong,
panjang + 0,65 mm dan lebar + 0,40 mm (Sitepu, 2008).
Tubuh serangga E . kamerunicus memiliki bulu-bulu halus pada bagian
punggung (dorsal) membentuk seperti jamur, pada bulu tersebut biji serbuk sari
dapat melekat dan ketika kumbang berpindah ke bunga betina maka proses
penyerbukan terjadi. Adapun tampak jelas bulu-bulu tersebut pada Gambar 1 dimana
diliat dari sisi ventral dengan mikroskop digital pembesaran 80 kali.

Universitas Sumatera Utara

Gambar1.

Kumbang E. kamerunicus tampak dari sisi ventral
memakaipembesaran 80 kali dengan mikroskop digital.

dengan

.
Adapun klasifikasi dari serangga penyerbuk kelapa sawit ini adalah sebagai
berikut :Kingdom : Animalia; Filum : Arthropoda; Kelas: Insecta; Ordo: Coleoptera
; Famili : Curculionidae; Genus: Elaeidobius; Spesies : Elaeidobius kamerunicus
Faust. (Simatupang dan Widyaiswara, 2011)
DNA (Deoxyribonucleid acid)
DNA/ADN (Deoxyribonucleid acid /Asam deoksiribosa nukleat) merupakan
molekul paling terkenal saat ini, karena molekul ini merupakan substansi penurunan
sifat. DNA merupakan suatu polimer heliks ganda yang terdiri dari nukleotida,
setiap nukleotida terdiri dari tiga komponen satu basa nitrogen, satu gula pentosa
yang disebut deoksiribosa, dan satu gugusfosfat (Saefudin, 2007).
DNA (Deoxyribonucleid acid) merupakan suatu struktur double heliks DNA
yang memiliki banyak komponen yang menyusun DNA tersebut. Adapun pada
Gambar 2 dijelaskan struktur double heliks tersebut beserta komponenkomponennya.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Struktur doubel heliks DNA, dan komponen-komponen penyusunnya.
Sumber : (Saefuddin, 2007).
Ekstraksi untuk mendapatkan DNA berkualitas tinggi merupakan satu kaidah
dasar yang harus dipenuhi dalam analisis molekuler. Masalah-masalah dalam
ekstraksi DNA masih merupakan hal penting yang perlu diatasi. Berbagai teknik
analisis biologi molekuler berdasarkan pada hibridisasi molekuler atau Polymerase
Chain Reaction (PCR) membutuhkan DNA dalam jumlah yang cukup dan kualitas
yang baik (Restu dan Gusmiaty, 2012).
Mengidentifikasi suatu organisme menggunakan teknik molekuler belum
banyak dilakukan. Beberapa teknik molekuler telah dikembangkan untuk melacak
adanya urutan DNA spesifik dari organisme tertentu, contohnya penggunaan urutan
gen. Untuk menentukan hubungan kekerabatan suatu organisme dengan yang lain
melalui filogenetik. Kualitas DNA dapat diukur dengan elektroforesis dan

Universitas Sumatera Utara

spektofotometer, sedangkan kuantitas DNA diukur dengan alat spektrofotometer
(Muzuni et al., 2014).

PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR adalah suatu metode in vitro untuk menghasilkan sejumlah besar
fragmen DNA spesifik dengan panjang dan sekuens yang telah ditentukan dari
sejumlah kecil template kompleks. PCR merupakan suatu tekhnik sangat kuat dan
sensitif yang dapat diaplikasi dalam berbagai bidang seperti biologi molekuler,
diagnostik, genetika populasi dan analisis forensik (Anggereini, 2008).
Keberhasilan proses PCR juga ditentukan oleh jenis enzim DNA polimerase
yang digunakan. Enzim DNA polimerase yaitu enzim yang melakukan katalisis
reaksi sintesis rantai DNA. Enzim DNA polimerase idealnya harus tahan panas,
mempunyai

laju

polimerisasi

dan

prosesivitas

yang

tinggi

(Hewajuli dan Dharmayanti, 2014).
Perkembangan teknik polymerase chain reaction (PCR) terus mengalami
kemajuan hingga saat ini. Berbagai modifikasi dilakukan untuk mendapatkan hasil
terbaik sesuai tujuan yang ingin dicapai. Salah satu modifikasi dilakukan untuk
mempersingkat

proses,

mempermudah

pekerjaan

dan

menurunkan

biaya

pemeriksaan melalui pengembangan direct PCR. Jika pada umumnya proses PCR
didahului dengan isolasi/ekstraksi DNA yang akan digunakan sebagai sampel atau
DNA template, hal itu tidak dilakukan pada direct PCR (Sunarno et al., 2013).
Metode PCR dibedakan menjadi dua yaitu PCR konvensional dan
real time. Analisis hasil amplifikasi fragmen DNA pada PCR konvensional
dilakukan dengan visualisasi di agar elektroforesis. Sedangkan PCR real time,

Universitas Sumatera Utara

jumlah DNA yang diamplifikasi dapat dideteksi dan diukur di setiap siklus proses
PCR (Hewajuli dan Dharmayanti, 2014).
Metode PCR dibedakan menjadi dua yaitu PCR konvensional dan
real time. Perbandingan prosedur antara PCR konvensional dan PCR real time
secara singkat dapat dilihat pada Gambar 3.
Isolasi DNA atau RNA dan analisis

Transkriptase balik
(untuk sampel RNA)
Amplifikasi PCR
real time

Amplifikasi PCR
konvensional

Hasil berdasarkan
fluoresensi di setiap
siklus PCR

Hasil divisualisasi pada
agar elektroforesis di
akhir proses PCR

Analisis data

Pengukuran hasil PCR
dengan densitometri

Analisis data
Gambar 3. Perbandingan prosedur PCR konvensional dan real time.
Sumber : (Hewajuli dan Dharmayanti, 2014).
AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism)
AFLP adalah teknik yang menggabungkan kekuatan RFLP (pemotongan
DNA dengan enzim restriksi) dan fleksibilitas teknologi PCR (Vos et al., 1995).
Tahapan teknik AFLP terdiri dari ekstraksi DNA, pemotongan DNA dengan
menggunakan enzim restriksi (biasanya menggunakan EcoR1 dan Mse1), meligasi
fragmen restriksi dengan sekuen adapter, amplifikasi dengan PCR menggunakan dua

Universitas Sumatera Utara

primer yang berkomplemen dengan sekuen adapter, dan pemisahan amplikon
dengan mengggunakan gel poliakrimid atau elektroporesis kapiler.
Keunggulan teknik AFLP adalah dapat mendeteksi variasi genetik tanpa
memerlukan informasi urutan basa genom. Selain itu, teknik AFLP memiliki tingkat
reproduksi yang tinggi berdasarkan amplifikasi selektif fragmen hasil digesti genom.
Teknik AFLP mampu menganalisis genom secara menyeluruh sehingga dihasilkan
informasi yang memadai untuk menganalisis variasi genetik (Syam et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia Komoditas perkebunan kelapa sawit telah berkembang dari
Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
dan Papua. Produksi kelapa sawit di Indonesia telah meningkat selama sepuluh
tahun terakhir ini, sebesar 7,5% per tahun. Faktor yang mendukung tanaman ini
mencapai produktivitas yang tinggi, diantaranya adalah tanah, iklim, dan faktor
pendukung lain yaitu optimalisasi serangga penyerbuk (Yanti, 2011).
Laju perkembangan areal tanam kelapa sawit di Indonesia semakin pesat,
sehingga memerlukan jumlah pupuk dan input produksi lain yang juga semakin
pesat. Faktor yang mempengaruhi produktivitas kelapa sawit antara lain curah hujan,
jenis tanah, pemupukan, umur tanaman, dan populasi tanaman. Faktor lain yang
mempengaruhi produktivitas adalah penyerbukan. Keberhasilan penyerbukan akan
meningkatkan fruit set buah tandan sehingga produksi juga meningkat (Arif, 2009).
Penyerbukan kelapa sawit paling efektif menggunakan E. kamerunicus,
karena bersifat spesifik, yaitu dapat beradaptasi dengan baik. Bentuk bunga kelapa
sawit sesuai dengan ukuran kumbang yang kecil sehingga kumbang tersebut mudah
masuk di sela-sela bunga hingga paling dalam. Kondisi populasi kumbang sawit
dalam suatu lingkungan perkebunan kelapa sawit sangat menentukan tingkat
keberhasilan dari produksi buah (Erniwati dan Kahono, 2012).
Serangga merupakan pollinator yang paling efektif dan efisien pada tanaman
kelapa sawit. Serangga yang sering berperan sebagai pollinator bunga kepala sawit
di dunia adalah Elaeidobius kamerunicus, Elaeidobius plagiatus, Elaeidobius

Universitas Sumatera Utara

singularis, Elaeidobius bilineattusm, Prosoestus sculplitis, P. minor, Thrips
hawaiiensis, Pyroderces sp. dan beberapa dari ordo coleopteran, dipteral,
hymenoptera serta heteroptera (Simatupang dan Widyaiswara, 2011).
Salah satu jenis serangga penyerbuk kelapa sawit yang dibahas pada
penelitian ini adalah Kumbang (E. kamerunicus) yang lebih dikenal dengan sebutan
serangga

penyerbuk

kelapa

sawit

dimana

memiliki

peran

yang

sangat

menguntungkan dalam proses penyerbukan kelapa sawit. Namun dewasa ini terjadi
penurunan produksi kelapa sawit yang di akibatkan karena adanya penurunan
populasi E. kamerunicus di kebun.
Dalam bidang pemuliaan tanaman, pemanfaatan E. kamerunicus hingga saat
ini masih terbatas pada seleksi dan uji lapangan dengan menggunakan karakter
morfologi dalam mendeskripsikan serangga. Karakter morfologi telah banyak
dipergunakan, namun karakter morfologi memiliki kendala yaitu adanya faktor
lingkungan sehingga perbedaan antar spesies berkerabat dekat sering kali sulit
diamati. Kebanyakan karakter sulit dianalisis karena tidak memiliki sistem
pengendalian genetik yang sederhana. Oleh karena itu, diperlukan adanya analisis
molekuler. Teknik molekuler memberikan peluang untuk mengembangkan dan
mengidentifikasi peta genetik dari suatu kultivar. Pendekatan genetika molekuler
dengan menggunakan penanda DNA telah berhasil membentuk penanda molekuler
yang mampu mendeteksi gen dan sifat sifat tertentu dan mengevaluasi keragaman
dan evolusi pada tingkat genetik. Beberapa teknik penanda DNA tersebut adalah
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Restriction Fragment Length
Polymorphism (RFLP), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), Simple
Sequence Repeat (SSR), Mikrosatelit (Hoon-Lim et al., 1999).

Universitas Sumatera Utara

Variasi genetik E. Kamerunicus dilihat dari polimorfisme yang digambarkan
dengan perbedaan pola pita yang dipisahkan berdasarkan ukuran berat molekul.
Polimorfisme adalah variasi alel pada lokus DNA tertentu dari suatu populasi. Data
polimorfisme dapat digunakan untuk melihat variasi genetik pada populasi E.
kamerunicus. Variasi tersebut diharapkan terekspresi sampai tingkat fenotip E.
kamerunicus. Salah satu teknik untuk mendeteksi adanya variasi genetik adalah
AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism).
Untuk itu peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai karakterisasi
molekuler dari serangga penyerbuk kelapa sawit E. kamerunicus asal Indonesia
dengan menggunakan metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP).
Tujuan Penelitian
Memanfaatkan teknik AFLP untuk mengetahui keragaman genetik
E. kamerunicus di beberapa kabupaten di provinsi Sumatera Utara.
KegunaanPenelitian
- Sebagai dasar pertimbangan untuk mengimpor serangga penyerbuk jenis
baru dari Afrika yang akan mempengaruhi jumlah fruit set.
-

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara, Medan.Sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

MHD. RIZA FAHLEVI. Karakterisasi Molekuler Pada Serangga Elaeidobius
kamerunicus Faust. (Coleoptera; Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan
Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). Di bawah bimbingan
DARMA BAKTI dan SUZANNA FITRIANY SITEPU.
Serangga Elaeidobius kamerunicus berasal dari Afrika dan diintroduksi ke
Indonesia di Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Marihat. Adanya perubahan gen
Elaeidobius kamerunicus menjadi salah satu faktor yang mengurangi produksi
minyak kelapa sawit di Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan mengetahui
keragaman genetik Elaeidobius kamerunicus berdasarkan analisis molekuler dengan
teknik Amplified Fragment Length Polimorphysm (AFLP) menggunakan 3 primer.
Analisis keragaman menggunakan program MEGA Versi 6. Pohon filogenetik
dikontruksi dengan cara ‘Neighbor - Joining Tree’. Hasil amplifikasi Amplified
Fragment Length Polymorphism (AFLP) terhadap 42 sampel genom Elaeidobius
kamerunicus dan 3 sampel genom Sitophilus oryzae sebagai kontrol menunjukkan
adanya keragaman yang tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa Elaeidobius
kamerunicus secara genetik dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar , dan
untuk genom Sitophilus oryzae membentuk satu kelompok besar. Kelompok A
terdiri dari Elaeidobius kamerunicus yang terdapat di beberapa kabupaten di
Sumatera Utara, sedangkan kelompok B terdiri dari Sitophilus oryzae yang terdapat
di Kota Medan.
Kata kunci: E. Kamerunicus, Keragaman genetik, Amplified Fragment Length
Polimorphysm (AFLP).

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

MHD.

RIZA

FAHLEVI.

Insect
Molecular
characterization
Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera; Curculionidae) Origin North Sumatra
Method Using Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). Supervised by
DARMA BAKTI and SUZANNA FITRIANY SITEPU.
Elaeidobius kamerunicus insect originated in Africa and was introduced to
Indonesia in Palm Research Center, Marihat. The change of gene
Elaeidobius kamerunicus be one of the factors that reduce the production of palm oil
in North Sumatra. This study aims to determine the genetic diversity of Elaeidobius
kamerunicus based molecular analysis techniques amplified fragment length
polimorphysm (AFLP) using three primers. Analysis of variance using the program
MEGA version 6. The phylogenetic tree constructed by means of 'Neighbor-Joining
Tree'. Amplification product amplified fragment length polymorphism (AFLP) of
the 42 samples of genomic Elaeidobius kamerunicus and 3 samples of Sitophilus
oryzae genome as a control showed a high diversity. The analysis showed that
Elaeidobius kamerunicus genetically can be grouped into two major groups, and to
the genome of Sitophilus oryzae form one large group. A group consisting of
Elaeidobius kamerunicus contained in several districts in North Sumatra, while
group B consists of Sitophilus oryzae contained in Medan.
Keywords : Elaeidobius kamerunicus, Genetic diversity, Amplified Fragment
Length Polimorphysm (AFLP).

Universitas Sumatera Utara

KARAKTERISASI MOLEKULER PADA SERANGGA Elaeidobius kamerunicus Faust.
(Coleoptera: Curculionidae) ASAL SUMATERA UTARA MENGGUNAKAN METODE
Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

SKRIPSI

MHD. RIZA FAHLEVI
120301038

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara

KARAKTERISASI MOLEKULER PADA SERANGGA Elaeidobius kamerunicus Faust.
(Coleoptera: Curculionidae) ASAL SUMATERA UTARA MENGGUNAKAN METODE
Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

SKRIPSI

MHD. RIZA FAHLEVI
120301038
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana
Pertanian di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi

:

Karakterisasi

Molekuler

Pada

Serangga

Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae)
Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified
Fragment Length Polymorphism (AFLP)
Nama

:

Mhd. Riza Fahlevi

NIM

:

120301038

Program Studi

:

Agroekoteknologi

Disetujui Oleh :
Komisi Pembimbing

Ketua Komisi Pembimbing

Anggota Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS.)
NIP. 19560122 198601 1 001

(Ir. Suzanna Fitriany Sitepu, MSi)
NIP. 19640222 198903 2 001

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

MHD. RIZA FAHLEVI. Karakterisasi Molekuler Pada Serangga Elaeidobius
kamerunicus Faust. (Coleoptera; Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan
Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). Di bawah bimbingan
DARMA BAKTI dan SUZANNA FITRIANY SITEPU.
Serangga Elaeidobius kamerunicus berasal dari Afrika dan diintroduksi ke
Indonesia di Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Marihat. Adanya perubahan gen
Elaeidobius kamerunicus menjadi salah satu faktor yang mengurangi produksi
minyak kelapa sawit di Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan mengetahui
keragaman genetik Elaeidobius kamerunicus berdasarkan analisis molekuler dengan
teknik Amplified Fragment Length Polimorphysm (AFLP) menggunakan 3 primer.
Analisis keragaman menggunakan program MEGA Versi 6. Pohon filogenetik
dikontruksi dengan cara ‘Neighbor - Joining Tree’. Hasil amplifikasi Amplified
Fragment Length Polymorphism (AFLP) terhadap 42 sampel genom Elaeidobius
kamerunicus dan 3 sampel genom Sitophilus oryzae sebagai kontrol menunjukkan
adanya keragaman yang tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa Elaeidobius
kamerunicus secara genetik dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar , dan
untuk genom Sitophilus oryzae membentuk satu kelompok besar. Kelompok A
terdir

Dokumen yang terkait

Keragaman genetik pisang musa balbisiana colla di indonesia menggunakan penanda Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 21 116

Identifikasi Keragaman Genetik Klon Karet dengan Teknik Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP).

1 9 34

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 1 13

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 1 2

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 0 3

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 0 7

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 0 3

Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Menggunakan Penanda Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 0 8

KARAKTERISTIK GENETIK Kappaphycus alvarezii SEHAT DAN TERINFEKSI PENYAKIT ICE-ICE DENGAN METODE Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 0 10

Phylogenetic Analysis of Rubber Tree Clones using AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) Marker

0 0 12