Keragaman genetik pisang musa balbisiana colla di indonesia menggunakan penanda Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

KERAGAMAN GENETIK PISANG Musa balbisiana Colla
DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA
AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (AFLP)

FAJARUDIN AHMAD

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaman Genetik
Pisang Musa balbisiana Colla Di Indonesia Menggunakan Penanda Amplified
Fragment Length Polymorphism (AFLP) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Fajarudin Ahmad
Nrp. G353100161

RINGKASAN
FAJARUDIN AHMAD. Keragaman Genetik Pisang Musa balbisiana Colla di
Indonesia Menggunakan Penanda Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP). Dibimbing oleh RITA MEGIA dan YUYU SURYASARI POERBA.
Indonesia merupakan salah satu pusat dari keragaman genetik keluarga
pisang, terutama dari jenis Musa acuminata Colla (genom AA). Selain M.
acuminata juga dapat ditemui jenis lain yaitu Musa balbisiana Colla (genom BB)
yang dikenal dengan nama lokal Pisang Klutuk atau Pisang Batu. Musa balbisiana
perlu dipelajari lebih dalam karena pisang ini mempunyai potensi ketahanan
terhadap serangan beberapa hama dan penyakit serta dapat tumbuh di lahan kering.
Studi keragaman genetik M. balbisiana secara molekuler belum banyak
dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mempelajari hal
tersebut menggunakan penanda Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP).
Lima belas aksesi M. balbisiana budidaya dan 6 aksesi M. balbisiana liar

yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Kebun Plasma Nutfah Pisang
Cibinong Science Center (CSC) Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Kebun Raya
Bogor dan hasil eksplorasi di kawasan sekitar Bogor, Sumatera Barat, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Utara. Metode CTAB digunakan dalam ekstraksi DNA total
dari daun. Dua puluh enam pasang primer selektif AFLP digunakan dalam
analisis AFLP dan pewarna non-radiokatif digunakan untuk visualisasi pita AFLP
diatas lampu UV. Aplikasi Densitograf ATTO CS Analyzer Ver. 2.08c digunakan
untuk penentuan kemunculan dan ukuran pita. Aplikasi NTSYS 2.02 digunakan
untuk menghitung indeks disimilaritas Nei dan LI (1979) dan analisis klaster.
Aplikasi Minitab 14 digunakan untuk Analisis Komponen Utama (KU).
Dari 26 pasang primer selektif AFLP yang digunakan, 22 pasang primer
menghasilkan pita yang jelas untuk analisis keragaman genetik. Total pita yang
dihasilkan adalah 485 pita dengan ukuran 51-3206 bp. Rentang jumlah pita tiap
pasangan primer berkisar antara 11-31 pita. Primer nomor 13 (E-AGC/M-CAC)
menghasilkan jumlah pita paling banyak, sedangkan pasangan primer nomor 11
(E-ACT/M-CTC) menghasilkan pita yang paling sedikit.
Polimorfisme dari total pita AFLP adalah sebesar 46.18% dengan rentang
polimorfisme tiap pasangan primer antara 0-80%. Tingkat polimorfisme paling
tinggi dihasilkan oleh pasangan primer nomor 7 (E-ACA/M-CTG), sedangkan
paling rendah oleh pasangan primer nomor 19 (E-AGG/M-CTT).

Indeks disimilaritas Nei dan Li (1979) berdasarkan pita AFLP berkisar
antara 0.014-0.152, hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik pada 21 aksesi
M. balbisiana adalah 13.8%. Keragaman genetik M. balbisiana liar sebesar 12.9%,
lebih tinggi dibandingkan keragaman genetik M. balbisiana budidaya sebesar
11.5%.
Analisis klaster berdasarkan UPGMA tidak dapat menunjukkan
pengelompokan aksesi M. balbisiana liar dan M. balbisiana budidaya dalam
klaster yang berbeda. Dalam dendrogram pada koefisien similaritas 0.89 terbentuk
tiga klaster. Pola klaster tersebut sama dengan pola pengelompokan dalam plot
analisis (KU), yaitu terbentuk tiga kelompok.

Aksesi penyusun dari klaster I adalah dua aksesi Klutuk Wulung-Jawa
Barat. Penyusun dari klaster II masing-masing dua aksesi Klutuk-Jogja, Klutuk
Sukun-Jogja, Cau Manggala-Jawa Barat, Klutuk Wulung-Jogja, Klutuk HitamJawa Barat, Unti Batu-Sulawesi Selatan, Pisang Pataga-Sulawesi Utara dan M.
balbisiana var liukiuensis (Matsum.) Hakkinen-Jepang serta satu aksesi KlutukJawa Barat. Klaster III terdiri atas dua aksesi Pisang Roti-Sumatera Barat.
Terdapat 17 pita AFLP yang paling berperan dalam pengelompokan 21
aksesi menjadi tiga kelompok. Pita tersebut adalah tiga pita AFLP berdasarkan
KU I dan 14 pita AFLP berdasarkan KU II.
Kata kunci: Amplified Fragment Length Polymorphism
keragaman genetik , Musa balbisiana Colla


(AFLP), Indonesia,

SUMMARY
FAJARUDIN AHMAD. Genetic diversity of Musa balbisiana Colla in Indonesia
Using AFLP Marker. Supervised by RITA MEGIA and YUYU SURYASARI
POERBA.
Indonesia is one of genetic diversity centers of banana, especially M.
acuminata (AA genome). In addition to M. acuminata, in this area can also be
found another Musa species that is Musa balbisiana (BB genome), which is
known as Pisang Klutuk or Pisang Batu. M. balbisiana is needed to be studied
futher because not only its resistance to some pests and diseases, but also its
ability to grow well in dry condition.
Molecular genetic diversity studies of M. balbisiana in Indonesia had not
much been done. Therefore the aim of this research is to study genetic diversity of
the banana using Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP).
Fifteen accessions of cultivated M. balbisiana and 16 accessions of wild M.
balbisiana were used for this study. Materials were collected from Banana Germ
Plasm collections Cibinong Science Center Research Center for Biology-LIPI,
Bogor Botanical Garden, Bogor, West Sumatera, South Sulawesi and North

Sulawesi. CTAB method was used to extract total DNA of leaves. Twenty six
pairs of AFLP selective primers were used for analysis and non-radioactive dye
was used for visualization of AFLP bands above UV light. Densitograf ATTO CS
Analyzer Ver 2.08 application was applied to determine the appearance and size
of AFLP bands. NTSYS 2.02 application was utilized to calculate dissimilarity
index of Nei and Li (1979) and cluster analysis. Minitab 14 application was used
to perform Principal Component Analysis (PCA).
The result showed that 22 pairs of 26 pairs of AFLP selective primers
produced clear bands for genetic diversity analysis. A total 485 bands with 513206 bp in size were produced by these primers pairs. Range of bands number per
primers pairs was 11-31 bands. Primer pair number 13 (E-AGC/M-CAC) created
the most number of bands and primer pair number 11 (E-ACT/M-CTC) generated
the least number of bands.
Polymorphism level of total AFLP band was 46.18% with range of
polymorphism level was 0-80% for each primer pair. The highest level of
polymorphism was generated by primer pair number 7 (E-ACA/M-CTG), while
the lowest was produced by primer pair number 19 (E-AGG/M-CTT).
Based on AFLP bands, dissimilarity index of Nei and Li (1979) were 0.0140.152. This result indicated that genetic diversity of the 21 accessions of M.
balbisiana was 13.8%. The genetic diversity of wild M. balbisiana (12.9%) higher
than genetic diversity of cultivated M. balbisiana (11.5%).
Cluster analysis based on UPGMA could not seperate wild M. balbisiana

and cultivated M. balbisiana in different clusters. The similarity coefficient 0.89
of dendrogram formed three clusters. The cluster pattern was similar to the
grouping pattern in PCA plot, which formed three groups.
Cluster I consist of two accessions of KlutukWulung-West Java. Cluster II
was made up of two accessions for each of Klutuk-Jogja, Klutuk Sukun-Jogja,
Cau Manggala-West Java, Klutuk Wulung-Jogja, Klutuk Hitam-West Java, Unti
Batu-South Sulawesi, Pisang Pataga-North Sulawesi, M. balbisiana var

liukiuensis (Matsum.) Hakkinen-Japan and an accession Klutuk-West Java.
Cluster III has two accessions of Pisang Roti-West Sumatera.
There were 17 AFLP bands that have the most important role in grouping of
21 accessions into three groups, i. e. three bands based on first principal
component and 14 bands based on second principal component.
Keywords: Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), genetic diversity,
Indonesia, Musa balbisiana Colla

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KERAGAMAN GENETIK PISANG Musa balbisiana Colla
DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA
AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (AFLP)

FAJARUDIN AHMAD

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

Penguji pada Ujian Tesis: Dr Utut Widyastuti, MSi

Judul Tesis : Keragaman Genetik Pisang Musa balbisiana Colla di Indonesia
Menggunakan Penanda Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP)
Nama
: Fajarudin Ahmad
NIM
: G353100161

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Rita Megia, DEA
Ketua

Dr Yuyu Suryasari Poerba, MSc

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Miftahudin, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 7 Februari 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang saya

pilih dalam penelitian ini adalah tentang keragaman genetik dengan judul
―Keragaman Genetik Pisang Musa balbisiana Colla Di Indonesia Menggunakan
Penanda Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)‖. Penelitian ini dapat
dilaksanakan atas bantuan beasiswa Karyasiswa Ristek 2010 dan ditunjang oleh
beberapa kegiatan penelitian di Pusat Penelitian Biologi yaitu, Program
Kompetitif LIPI Sub-Program Domestikasi dan Pemanfaatan Terukur dengan
Judul Eksplorasi dan Pemanfaatan Musa acuminata Liar Sebagai Tetua Jantan
Dalam Pemuliaan Pisang Triploid Tahan Fusarium, Program DIPA 2012 Plasma
Nutfah Umbi-umbian dan Buah-buahan dan Program Peningkatan Kompetensi
Peneliti dan Perekayasa Ristek 2012.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Rita Megia dan Ibu Dr Yuyu
Suryasari Poerba yang telah memberikan saran dan bimbingan. Penulis ucapkan
terima kasih kepada Ibu Dr Utut Widyastuti, MSi selaku dosen penguji atas saran
dan masukannya. Juga saya berikan banyak penghargaan kepada Bapak Dr
Ahmad Farajallah dari Departemen Biologi, Ibu Dr Kusumadewi Sri Yulita, Ibu
Dr Himmah Rustiami dan Ibu Dr Lina Juswara dari Pusat Penelitian Biologi LIPI
yang telah memberi saran dalam pengerjaan penelitian. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada Herlina, Dian serta staff Laboratorium Genetika
Tumbuhan Pusat Penelitian Biologi LIPI, juga Ibu Retno beserta staff
Laboratorium Terpadu Departemen Biologi FMIPA IPB yang banyak

memberikan bantuan teknik.
Pihak-pihak yang secara tidak langsung berhubungan dengan penelitian ini
tetapi banyak berjasa, yaitu keluargaku tercinta, istri dan anak-anakku yang sabar
mencurahkan kasih sayangnya. Terima kasih kepada kedua orang tua saya di
Jogja yang selalu mendoakan keberhasilan dan kemudahan bagi penulis.
Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi keilmuan dan
mendorong bagi kemajuan pengetahuan Indonesia.

Bogor, April 2013
Fajarudin Ahmad

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Musa balbisiana
Morfologi M. balbisiana
Persebaran M. balbisiana
Keunggulan M. balbisiana
Karakterisasi Molekuler
Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

2
2
3
5
6
7
8

3 METODE
Waktu danTempat Penelitian
Bahan
Ektraksi DNA Total
Analisis AFLP
Analisis Data

9
9
9
10
10
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pita AFLP yang dihasilkan dari 21 aksesi M balbisiana
menggunakan penanda AFLP
Pita AFLP berdasarkan pengelompokan varietas/kultivar M.
balbisiana dari asal/lokasi yang sama
Analisis klaster 21 aksesi M. balbisiana berdasarkan total pita
AFLP (485 pita) yang dihasilkan dari 22 pasang primer AFLP
Analisis Komponen Utama Pita AFLP

13

5 SIMPULAN

23

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

31

13
15
16
21

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

6

Dua puluh satu aksesi Musa balbisiana Colla yang digunakan dalam
studi keragaman genetik
Dua puluh enam primer selektif yang digunakan untuk analisis AFLP
Jumlah pita, tingkat polimorfisme dan rentang ukuran pita tiap
pasangan primer AFLP dari 21 aksesi Musa balbisiana
Jumlah pita dan tingkat polimorfisme pita AFLP dari tiap populasi
Musa balbisiana berdasar 22 pasang primer AFLP
Indeks disimilaritas (Nei dan Li 1979) pada 21 aksesi Musa
balbisiana berdasarkan total pita (485 pita) yang dihasilkan dari 22
pasang primer AFLP
Pita AFLP yang berperan dalam pembentukan kelompok dalam plot
Analisis Komponen Utama berdasarkan nilai mutlak tertinggi
Komponen Utama I dan II dari 485 pita AFLP pada 21 aksesi Musa
balbisiana

9
12
14
16

18

22

DAFTAR GAMBAR
1 Beberapa karakter utama morfologi Musa balbisiana Colla
2 Keragaman warna batang semu dan bentuk buah Musa balbisiana di
Indonesia
3 Kawasan pusat keragaman Musa balbisiana
4 Dendrogram 21 aksesi M. balbisiana berdasarkan koefisien Nei dan
Li (1979) menggunakan analisis klaster UPGMA dari 485 pita AFLP
5 Plot dua dimensi Analisis Komponen Utama 21 aksesi Musa
balbisiana berdasarkan 485 pita AFLP

4
5
6
19
21

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

3

4

Pita AFLP hasil dari pasangan primer 5 (E-AGG/M-CTA)
Contoh kurva standar spline ukuran pita AFLP pada gel
elektroforesis pasangan primer nomor 5 (E-AGG/M-CTA)
(Lampiran 1) berdasarkan jarak migrasi pita marka DNA 100 bp plus
Contoh ukuran pita AFLP aksesi KS-JG1 hasil amplifikasi dengan
pasangan primer nomor 5 (E-AGG/M-CTA) berdasarkan interpolasi
jarak migrasi 14 pita marka pada kurva standar spline (Lampiran 2)
Persentase proporsi keragaman 20 Komponen Utama berdasarkan
485 pita AFLP pada 21 aksesi Musa balbisiana

28

28

29
30

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keragaman genetik tanaman yang sekarang dijumpai adalah gabungan dari
proses adaptasi lingkungan dan domestikasi yang berjalan lama. Keragaman
genetik pisang yang tinggi di Indonesia memberikan nilai positif dengan
tersedianya sumber daya genetik yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan
pangan yang terjaga.
Pisang merupakan salah satu komoditas yang penting tidak hanya di
Indonesia tetapi juga di dunia. Produksi pisang dunia mencapai 106.5 juta ton
dengan produksi di Indonesia mencapai 6.1 juta ton pada tahun 2011 (FAO 2011).
Ancaman hama dan penyakit dari tanaman pisang sama tingginya dengan
produksi pisang dunia yang tinggi. Habitat tumbuh pisang didaerah tropis sampai
subtropis mempermudah berbagai penyakit berkembang. Ancaman ini tentu saja
akan mengganggu produksi dan pengembangan pisang dimasa depan. Penyakit
yang biasa menyerang tanaman pisang adalah jamur, bakteri dan virus. Penyakit
yang disebabkan oleh jamur lebih mudah ditemukan dan menyebar, misalnya
Sigatoka (yellow dan black) dan layu Fusarium. Serangan bakteri memunculkan
penyakit layu Xanthomonas, penyakit darah (blood disease) dan Moko.
Disamping itu serangan virus yang umum dijumpai pada pisang adalah penyakit
bunchy top disease (Blomme et al. 2011).
Musa acuminata Colla (genom A) dan Musa balbisiana Colla (genom B)
merupakan nenek moyang dari pisang-pisang yang dikonsumsi saat ini.
Kombinasi dari kedua jenis pisang ini membentuk berbagai macam hibrid
(Simmonds dan Shepperd 1955). Kombinasi dari sesama atau antar dua genom
tersebut menghasilkan berbagai kultivar tanaman pisang budidaya dengan ploidi
diploid (AA, AB), triploid (AAA, AAB, ABB, BBB) dan tetraploid (AAAA,
AAAB, ABBB). Pisang yang dikonsumsi saat ini didominasi oleh pisang triploid
(2n=3x=33) sedikit yang diploid dan tetraploid (Heslop-Horrison dan
Schwarzacher 2007). Musa acuminata memberikan sumbangan genom A yang
berhubungan dengan cita rasa buah, sedangkan M. balbisiana sendiri memberi
sumbangan berupa genom B yang berhubungan dengan kandungan pati,
ketahanan berbagai penyakit jamur daun dan virus (banana streak badnavirus,
BSV) serta habitus tanaman yang kekar (Swennen dan Vuylsteke 1990; Hohn et
al. 2008).
Musa balbisiana secara alami menghasilkan biji, walaupun demikian
perbanyakan dan persebaran dari M. balbisiana budidaya oleh manusia dilakukan
secara vegetatif. Kondisi tersebut menyebabkan keragaman pada M. balbisiana
budidaya cenderung tidak tinggi. Tidak demikian dengan M. balbisiana liar
misalnya yang ada di Filipina, menunjukkan variasi secara morfologi pada habitus,
buah dan bunga (Sotto dan Rabara 2000). Keragaman ini memberikan gambaran
akan potensi yang dimiliki oleh jenis pisang ini untuk dikembangkan sebagai
bahan pemuliaan tanaman pisang.
Studi keragaman dapat dilakukan dari aspek morfologi dan molekuler.
Perbedaan morfologi belum bisa untuk memastikan adanya perubahan secara
genetik, karena karakter morfologi sangat dipengaruhi faktor lingkungan yang

2

akan memicu adaptasi yang bersifat sementara atau permanen. Penggunaan marka
morfologi harus memperhatikan kondisi lingkungan dari objek yang diamati.
Berbeda dengan marka morfologi, marka molekuler tidak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Oleh karena itu marka molekuler bisa digunakan sebagai alat untuk
mempelajari perbedaan dan perubahan genetik antar waktu atau lokasi dari suatu
tingkat taksa atau populasi (Perrier et al. 2009). Beberapa penelitian yang
menggunakan marka molekuler untuk mempelajari keragaman genetik M.
balbisiana telah dilakukan, yaitu studi keragaman genetik M. balbisiana di India
dengan marka Random Amplified of Polymorphism DNA (RAPD) (Uma et al.
2006), di China menggunakan marka AFLP (Wang et al. 2007) dan di Thailand
dipelajari variasi dari genom B dari jenis pisang ini dengan Suppression
Substractive Hybridization (SSH) dan PCR-Restiction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP) (Arjcharoen et al. 2010).
Informasi tentang keragaman genetik dari M. balbisiana di Indonesia
masih belum banyak. Oleh karena itu studi yang lebih dalam perlu dilakukan
untuk memperkaya informasi tentang M. balbisiana di Indonesia. Informasi
keragaman genetik penting sebagai landasan pemanfaatan dan pengembangan
pisang ini di masa datang.
Salah satu cara untuk memperoleh informasi keragaman genetik adalah
dengan mempelajari karakter molekuler dengan menggunakan marka Amplified
Fragment Lenght Polymorphism (AFLP). Marka ini merupakan salah satu marka
yang penting karena telah banyak digunakan dalam berbagai studi keragaman
genetik. Sebagai salah satu marka molekuler yang bersifat dominan, AFLP
merupakan marka molekuler yang memiliki reprodusibilitas tinggi.
Studi keragaman genetik AFLP menghasilkan lebih banyak set data
dibandingkan marka RAPD, Inter-simple Sequence Repeat (ISSR) dan
mikrosatelit. Metode ini juga memiliki kelebihan lain apabila dibandingkan
dengan RFLP yaitu teknik pengerjaannya lebih sederhana dengan biaya yang
relatif lebih murah (Blears et al. 1998).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari keragaman genetik M.
balbisiana Colla di Indonesia dengan menggunakan penanda AFLP.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Musa balbisiana
Secara taksonomi M. balbisiana diklasifikasikan dalam suku Musaceae
dengan marga Musa. Dalam marga Musa sendiri terdapat lima seksi, yaitu
Australimusa, Callimusa, Rhodochlamys, Ingentimusa dan Eumusa. Musa
balbisiana yang merupakan anggota dari seksi Eumusa dengan jumlah kromosom
dasar n=11 (Hakkinen dan Wallace 2011) dan secara alami memiliki ploidi 2n
(BB) (Simmonds dan Shepherd 1955)

3

Dalam World Checklist of Selected Plant Families (WCSP 2012) M.
balbisiana disebutkan terdapat tujuh varietas yaitu var. andamica DB Singh, var.
bakeri (Hook.f.) Hakkinen, var brachycarpa (Backer) Hakkinen, var
dechangensis (J.L.Liu dan M.G.Liu) Hakkinen, var vittata (Hook.) M.R.Almeida,
var liukiuensis (Matsum.) Hakkinen, dan var balbisiana Colla.
Di Indonesia M. balbisiana dikenal dengan beberapa nama lokal/kultivar,
yaitu: Pisang Batu atau Pisang Klutuk (Jawa Tengah) (Rukmana 1999), Unti Batu
(Sulawesi Selatan) dan Cau Manggala/Batu (Jawa Barat). Di India dikenal dengan
nama Bhimkol dan Elavazhai (Uma 2006), serta di Filipina dikenal dengan nama
Abuhon (Valmayor et al. 2000) dan di Thailand dikenal dengan nama Kluai Tani
(Chamchalow dan Silayoi 1984).

Morfologi M. balbisiana
Ciri morfologi utama M. balbisiana adalah perawakan tanaman yang besar
yang mencapai 7 meter dibandingkan M. acuminata yang memilki perawakan 3-6
meter (Gambar 1a), braktea yang membuka terangkat tetapi tidak menggulung
(Gambar 1b), braktea bagian dalam berwarna merah terang tanpa adanya gradasi
(Gambar 1c), ovul terdiri atas empat baris tidak teratur pada tiap lokus (Gambar
1d), celah tangkai daun menutup tanpa sayap dan memeluk batang (Gambar 1e),
warna kepala putik putih gading atau kuning pucat sampai merah pucat (Gambar
1f), tepala bunga jantan terdapat variasi warna merah muda (Gambar 1g) dan tepal
bebas bunga jantan jarang berkerut (Gambar 1h). Selain karakter di atas terdapat
karakter penting dari M. balbisiana yaitu memiliki batang semu berwarna hijau
dengan sedikit bercak atau tanpa bercak, batang, tangkai tandan tidak berbulu,
rasio panjang-lebar braktea lebih dari 0.3, bentuk braktea oval lebar dengan ujung
tumpul, warna braktea bagian luarnya berwarna coklat keunguan dan bekas
braktea yang lepas kurang jelas (Simmonds dan Shepherd 1955).
Musa balbisiana merupakan pisang yang secara alami menghasilkan biji
atau tidak bersifat partenokarpik. Walaupun demikian di Filipina dilaporkan
ditemukan M. balbisiana triploid (BBB) dengan buah partenokarpik walaupun
masih perlu konfirmasi tentang substansi genomnya (Uma et al. 2011).
Indonesia bukan merupakan pusat persebaran atau keragaman dari pisang
ini, berbeda halnya Filipina yang merupakan salah satu daerah pusat keragaman M.
balbisiana (Sotto dan Rabara 2000). Akan tetapi keragaman dari pisang ini di
Indonesia tetap terlihat misalnya pada warna batang semu pada Klutuk
Wulung/Klutuk Hitam yang berwarna Ungu kehitaman (Gambar 2a) berbeda
dengan warna pseudostem Klutuk (Gambar 2b) dan buah yang membulat dengan
tangkai yang pendek pada Pisang Pataga (Gambar 2c) dan Pisang Roti (Gambar
2d) berbeda dengan buah Klutuk yang buahnya sedang dengan tangkai buah
panjang (Gambar 2e).

4

1m

10 c m

a

c

b

d

f

g

e

h

Gambar 1 Beberapa karakter utama morfologi Musa balbisiana
Perawakan yang besar M. balbisiana kultivar Klutuk-Jogja (panah
biru) dibandingkan dengan M. acuminata Pisang Mas (panah berwarna
merah) (a), tandan buah dengan braktea yang membuka (b), warna
braktea bagian dalam (c), penampang melintang buah (d), celah
tangkai daun (e), warna kepala putik putih (f), tepal (g), tepal bebas (h)

5

a

b

c
d
e
Gambar 2 Keragaman warna batang semu dan bentuk buah Musa balbisiana di
Indonesia. Klutuk Wulung memiliki warna ungu kehitaman (a) dan
Klutuk memiliki warna hijau (b), buah Pisang Pataga memiliki tangkai
pendek, (c) buah Pisang Roti berbentuk bulat dengan tangkai pendek
(d), buah Pisang Klutuk memiliki tangkai yang panjang (e).

Persebaran M. balbisiana
Kawasan Asia secara umum merupakan pusat persebaran dan keragaman
genetik semua jenis pisang. M. balbisiana memiliki area persebaran yang lebih
luas dibandingkan dengan M. acuminata, karena bisa tumbuh di daerah yang
kering di kawasan Asia (Valmayor et al. 1991). Pisang ini diduga memiliki titik
asal di kawasan Indochina, yang merupakan daerah transisi dari bagian utara dan
selatan kawasan Malesia yang terpisahkan oleh adanya fluktuasi naik turunnya
permukaan laut pada masa lalu (OECD 2010) dan secara alami tersebar dari India,
China, Asia Tenggara sampai Papua New Guinea (Gambar 3) (Simmonds 1959).
Pusat asal dari pisang ini adalah di India, China bagian selatan dan Filipina (de
Langhe 2009).

6

Gambar 3 Kawasan pusat keragaman Musa balbisiana
(dalam area kurva) (Jones 2000)
Indonesia merupakan salah satu kawasan Asia Tenggara yang bukan
merupakan pusat dari keragaman M. balbisiana. Walaupun demikian di wilayah
Indonesia misalnya di pulau Jawa, Sulawesi atau Sumatera bisa ditemukan jenis
pisang ini sebagai tanaman pekarangan (Ochsee 1931). Keberadaan M. balbisiana
di kawasan Indonesia kemungkinan besar dibawa masuk oleh manusia dari
kawasan pusat asal M. balbisiana. Hipotesa ini dibuktikan oleh studi arkeobotani
yang menunjukkan peninggalan biji M. balbisiana dikawasan Asia Tenggara
berasal dari lapisan tanah yang lebih muda dibandingkan biji yang ditemukan
dikawasan Asia Selatan sebagai pusat asalnya (de Langhe 2009).

Keunggulan M. balbisiana
Musa balbisiana penting untuk dipelajari karena memiliki beberapa
keunggulan. Keunggulan yang pertama adalah genom B dari pisang diketahui
berhubungan dalam hal sifat ketahanan terhadap beberapa penyakit pada pisang.
Pisang ini memiliki resistensi terhadap penyakit bercak daun (leaf spot) misalnya
Sigatoka (Mycosphaerella musicola R. Leach ex J.L. Mulder), Cordana and
Septoria leaf spot, jamur karat dan serangan bakteri (Erwinia spp.) (Uma 2006).
Selain itu pisang ini juga memiliki toleransi terhadap serangan kumbang
penggerek (Odoiporus longicollis Marshall, G.A.K., Cosmopolites sordidus
(Germar) (Uma 2006). Disamping penyakit di atas, pisang ini memiliki ketahanan
terhadap virus yaitu terhadap serangan banana streak badnavirus (BSV)
(Swennen dan Vuylsteke 1990; Hohn et al. 2008).
Keunggulan lain dari M. balbisiana adalah mampu tumbuh baik di daerah
marginal maupun daerah dengan kondisi iklim yang kering (Valmayor et al. 1991),
serta ketahanan terhadap suhu dingin (Wang et al. 2007).
Selain sifat ketahanan terhadap penyakit, sumbangan genom B biasanya
berhubungan dengan habitus tanaman yang kekar. Sifat ini penting dalam

7

pemuliaan pisang untuk merakit tanaman yang tahan terhadap terpaan angin
sehingga tidak mudah roboh karena batang patah.
Masyarakat Asia biasa memanfaatkan daun M. balbisiana sebagai
pembungkus atau alas makan. Manfaat lainnya adalah bunga jantan (jantung) dari
pisang ini dimanfaatkan sebagai sayur untuk bahan masakan (Uma 2006).

Karakterisasi Molekuler
Perbedaan M. acuminata dengan M. balbisiana berdasarkan Simmond dan
Shepherd (1955) adalah perbedaan 15 karakter morfologi diantara dua jenis
pisang anggota Eumusa ini. Tiap karakter diberi bobot penilaian (skor) sehingga
tiap rentang nilai tertentu bisa digunakan untuk pengelompokkan pisang
berdasarkan ploidi dan genomnya.
Karakter umum morfologi pada pisang yang telah dikenal terdapat 121
karakter (IPGRI 1996). Karakter tersebut meliputi ukuran tanaman, warna batang
semu, variasi warna pigmentasi pada batang dan daun, ukuran/ratio daun, bentuk
tandan, bentuk dan ukuran buah dan karakter-karakter detil pada pembungaan.
Karakter morfologi merupakan karakter yang penting untuk diketahui, tetapi
memiliki kekurangan yaitu karakter yang teramati bisa berbeda pada
varietas/kultivar pisang yang sama, perbedaan ini terjadi karena dipengaruhi
kondisi lingkungan yang berbeda.
Berbeda dengan karakter morfologi yang terkadang bersifat plastis karena
faktor lingkungan, karakter molekuler berupa protein atau DNA lebih stabil
terhadap perubahan lingkungan. Karena pertimbangan ini, karakter molekuler
sangat baik untuk studi keragaman dan perubahan genetik pada suatu tingkat taksa
tertentu juga antar populasi pada lokasi atau waktu yang berbeda (Perrier et al.
2009).
Marka molekuler yang umum digunakan dalam studi keragaman genetik
ada dua macam yaitu berdasarkan protein dan DNA. Salah satu marka molekuler
yang berdasarkan protein adalah isozim. Penggunaan marka molekuler seperti
isozim memiliki kekurangan yaitu ekspresi gen penyandi protein bisa berbeda
pada jaringan yang berbeda dan waktu yang berbeda (Staub et al. 1996).
Marka molekuler yang berdasarkan DNA antara lain adalah Restriction
Fragment Length Polymorphism (RFLP), Random Amplified Polymorphic DNA
(RAPD) (Williams et al. 1990), minisatelit dan mikrosatelit (Kaemmer et al.
1992), Diversity Arrays Technology (DArT) (Amorim et al. 2009) dan Amplified
Fragment Length Polymorphism (AFLP) (Vos et al. 1995). Marka molekuler
berdasarkan DNA memiliki kelebihan yaitu karakter DNA di jaringan apapun
akan sama pada semua kurun pertumbuhannya.
Metode RFLP didasarkan pada pemotongan genom DNA menggunakan
enzim restriksi dan dilanjutkan dengan penggunaan probe untuk mengidentifikasi
keberadaan suatu gen/suatu potongan DNA tertentu. Kekurangan dari metode ini
adalah pengerjaannya yang cukup rumit, memerlukan waktu kerja yang panjang
dan biaya yang relatif mahal. Selain itu digunakan bahan radiokatif untuk
visualisasi hasil RFLP sehingga keamanannya perlu diperhatikan (Yu et al. 1993).
Satu marka molekuler yang banyak digunakan adalah Random Amplified
Polymorphism DNA (RAPD). Metode dari RAPD ini sederhana, murah dan cepat,

8

tetapi memiliki kekurangan pada tingkat produksi pita yang kurang konsisten
apabila diulang di laboratorium yang berbeda, karena kondisi laboratorium yang
berbeda satu dengan yang lain (Mondini et al. 2009).

Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)
Marka molekuler yang digunakan pada penelitian ini adalah Amplified
Fragment Length Polymorphism (AFLP). Marka ini merupakan marka yang
bersifat dominan. Dibandingkan penggunaan marka RAPD, AFLP memiliki
tingkat reprodusibilitas yang lebih tinggi. Selain dari segi set data yang dihasilkan
lebih banyak dibandingkan mikrosatelit (Vos et al 1995). Metode AFLP ini lebih
sederhana dalam hal teknik pengerjaannya dan relatif lebih murah dibandingkan
metode RFLP (Blears et al. 1998).
Di Indonesia, marka AFLP dilaporkan digunakan pada analisis genetik
Phytoptora palmivora (Purwantara dan Umayah 2010), analisis abnormalitas pada
klon kelapa sawit hasil kultur jaringan (Yuniastuti et al. 2005), kekerabatan pada
jahe (Wahyuni et al. 2003) dan keragaman genetik pada klon karet (NurhaimiHaris et al. 2003), sedangkan pada pisang belum pernah dilaporkan.
Marka AFLP sudah digunakan dalam penelitian dengan objek M.
balbisiana yaitu genetika populasi pisang ini di Cina (Wang et al. 2007). Marka
ini juga digunakan dalam studi taksonomi, misalnya dalam hal pemisahan taksa
pada tingkat subspesies Musa acuminata (subsp. microcarpa, subsp. malaccensis
dan subsp. truncata) (Wong et al. 2001). AFLP telah banyak digunakan dalam
studi keragaman genetik seperti penelitian keragaman genetik dan hubungan
kekerabatan 39 aksesi dari empat seksi utama pada marga Musa (Ude 2002),
hubungan kekerabatan pisang dataran tinggi (Tugume et al. 2002) dan melihat
variasi genetik pada tujuh kultivar pisang dengan berbagai genom (Opara et al.
2010). Pada studi grup pisang dengan genom AAA marka ini dapat memisahkan
sampai tingkat sub grup dan menunjukkan pita spesifik untuk tiap kultivar dari
tiap sub grup (El Khishin et al. 2009).
Metode AFLP dikembangkan oleh Vos et al. (1995) dengan menggunakan
label radioaktif yang dipasang pada salah satu primer. Tujuan dari pemasangan
label radioaktif ini adalah untuk menghasilkan pita-pita AFLP yang menghasilkan
emisi cahaya sehingga bisa direkam pada plastik film. Perkembangan metode
pencitraan pita pada AFLP selanjutnya adalah dengan pewarnaan menggunakan
perak nitrat dan perwarna flouresen. Walaupun tidak menggunaan label radioaktif,
metode ini dapat memberikan hasil data set yang tetap baik sebanding dengan
penggunaan label radioaktif (Blears et al. 1998).

9

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2011 sampai Oktober 2012. Kegiatan
penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika Tumbuhan, Pusat Penelitian
Biologi-LIPI dan Laboratorium Terpadu Departemen Biologi FMIPA-IPB.

Bahan
Dua puluh satu aksesi Musa balbisiana yang digunakan sebagai bahan
ekstraksi DNA total dalam penelitian ini berasal dari koleksi Kebun Plasma
Nutfah Pisang Cibinong Science Center Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Kebun
Raya Bogor dan hasil eksplorasi di kawasan sekitar Bogor, Sumatera Barat,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (Tabel 1).
Tabel 1 Dua puluh satu aksesi Musa balbisiana yang digunakan dalam studi
keragaman genetik
Musa balbisiana (var/cv)
Asal
Kode aksesi Keterangan
a
Klutuk
Jogja
KLT-JG1
Budidaya
a
Klutuk
Jogja
KLT-JG2
Budidaya
Klutuk
Jawa Barat
KLT-JB
Budidaya
a
Klutuk Sukun
Jogja
KS-JG1
Budidaya
Klutuk Sukun
Jogjaa
KS-JG2
Budidaya
Unti Batu
Sulawesi Selatan UB-SS1
Budidaya
Unti Batu
Sulawesi Selatan UB-SS2
Budidaya
Cau Manggala
Jawa Barat
CM-JB1
Budidaya
Cau Manggala
Jawa Barat
CM-JB2
Budidaya
Klutuk Wulung
Jogjaa
KW-JG1
Budidaya
a
Klutuk Wulung
Jogja
KW-JG2
Budidaya
Klutuk Wulung
Jawa Barat
KW-JB1
Budidaya
Klutuk Wulung
Jawa Barat
KW-JB2
Budidaya
Klutuk Hitam
Jawa Barat
KH-JB2
Budidaya
Pisang Roti
Sumatera Barat PR-SB1
Liar
Pisang Roti
Sumatera Barat PR-SB2
Liar
Pisang Pataga
Sulawesi Utara PAT-SU1 Liar
Pisang Pataga
Sulawesi Utara PAT-SU2 Liar
var liukiuensis (Matsum.) Hakkinen Jepangb
LIU-JP1
Liar
b
var liukiuensis (Matsum.) Hakkinen Jepang
LIU-JP2
Liar
a
Koleksi kebun koleksi Kebun Plasma Nutfah Pisang Cibinong Science Center
Pusat Penelitian Biologi-LIPI; bKoleksi Kebun Raya Bogor

10

Ekstraksi DNA Total
Metode Cetyltrimetylammonium bromide (CTAB) (Delaporta et al. 1983;
Syamkumar et al. 2003) yang telah dimodifikasi yaitu penambahan
Polyvinylpirrolidone (PVP) dan β-merkaptoetanol digunakan untuk ekstraksi
DNA total.
Sampel daun muda segar sebanyak 0.2 g atau sampel daun kering
sebanyak 0.02 g dari tiap aksesi digerus menggunakan mortar dengan
ditambahkan 0.1 g PVP, kemudian ditambahkan buffer ekstraksi dengan
komposisi 4% CTAB (b/v), 0.1 M Tris, 0.05 M Ethylenediaminetetraacetic Acid
(EDTA), 0.5 M NaCl dan 0.2 % β-mercaptoethanol. Hasil ekstraksi di atas
kemudian dipurifikasi menggunakan 10 mg/ml RNAse dan selanjutnya
dipurifikasi kembali dengan Phenol Chloroform Isoamil Alcohol (PCI; 25:24:1).
Kadar dan kemurniannya diukur menggunakan spektrofotometer.

Analisis AFLP
Kit AFLP Analysis System I (Invitrogen) digunakan untuk analisis AFLP
berdasarkan metode Vos et al. (1995) yang dimodifikasi, yaitu tidak
menggunakan label radioaktif tetapi menggunakan pewarna Gel RedTM (Biotium).
Tahap-tahap proses AFLP terdiri atas tiga tahap utama.
Tahap pertama dari proses AFLP adalah restriksi. Setiap reaksi restriksi
digunakan komposisi sebagai berikut 14 ng/μl DNA sampel ditambahkan 2.5
unit/μl Eco-RI/Mse I dalam buffer 10 mM Tris-HCl, 50 mM NaCl, 0.1 mM
EDTA, 1 mM DTT, 0.1 mg/ml BSA dan 0.1% Triton® X-100 dan diinkubasi pada
suhu 37oC selama 2 jam. Hasil dari restriksi total DNA ini kemudian ditambahkan
adaptor Eco RI/Mse I yang memiliki struktur sebagai berikut:
Adaptor Eco-RI
5-CTCGTAGACTGCGTACC
CATCTGACGCATGGTTAA-5
Adaptor Mse-I
5-GACGATGAGTCCTGAG
TACTCAGGACTCAT-5
Komposisi tiap reaksi utuk proses ligasi adalah sebagai berikut 0.4 mM
ATP, 10 mM Tris-HCl (pH 7.5), 10 mM Mg-acetate, 50 mM K-acetate, 4 u/ml T4
DNA ligase, 1 mM DTT, 50 mM KCl kemudian diinkubasi pada suhu 20oC
selama 2 jam.
Tahap kedua yaitu praselektif amplifikasi menggunakan cetakan DNA
hasil penambahan adaptor dari proses restriksi. Pada tahap praselektif amplifikasi
digunakan pasangan primer yang didesain berdasarkan urutan basa adaptor dan
enzim restriksi dengan menambah basa A pada primer praselektif Eco-RI
(GACTGCGTACCAATTCA) dan basa C pada primer praselektif Mse-I
(GATGAGTCCTGAGTAAC). Kondisi PCR untuk proses praselektif amplifikasi
adalah sebagai berikut, pradenaturasi pada suhu 94°C selama 4 menit, kemudian

11

diikuti 24 siklus dengan kondisi sebagai berikut denaturasi pada suhu 94°C
selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 56°C selama 60 detik dan
pemanjangan pada suhu 72°C selama 60 detik. Proses PCR diakhiri dengan
pemanjangan akhir pada suhu 72oC selama 2 menit.
Setelah langkah praselektif amplifikasi kemudian dilanjutkan langkah
selektif amplifikasi menggunakan 26 pasang primer selektif AFLP yang disarikan
dari beberapa artikel penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Tabel 2).
Komposisi tahap selektif amplifikasi ini adalah DNA hasil praselektif amplifikasi
yang diencerkan 1:50, 2.78 ng primer Eco RI+NNN/Mse I+NNN, 20 mM TrisHCl (pH 8.4), 1.5 mM MgCl2, 50 mM KCl dan 0,5 μ/ml Taq polymerase.
Kemudian masuk tahap PCR dengan kondisi sebagai berikut, pradenaturasi
dengan suhu 94oC selama 4 menit, lalu diikuti siklus pertama yaitu denaturasi
pada suhu 94°C selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 65°C selama 30
detik dan pemanjangan pada suhu 72°C selama 60 detik, kemudian dilanjutkan
dengan mengurangi suhu penempelan primer sebesar 0.7°C tiap siklus sepanjang
12 siklus dan diikuti 23 siklus dengan kondisi denaturasi pada suhu 94°C selama
30 detik, penempelan primer pada suhu 56°C selama 30 detik dan pemanjangan
pada suhu 72°C selama 60 detik, selanjutnya diakhiri dengan pemanjangan akhir
pada suhu 72oC selama 2 menit.
Tahap ketiga adalah visualisasi pita AFLP dari produk PCR selektif
amplifikasi. Gel akrilamid 3.5% dengan peralatan vertical minigel electrophoresis
ATTO digunakan sebagai media elektroforesis hasil selektif amplifikasi. Gel
dibuat dengan mencampur 0.7 g polyacrylamide, 0.035 g bis-acrylamide, 8.74 ml
larutan TBE (10.78 g/L Tris, 5.5 g/L Boric acid, 0.74 g/L EDTA), 75 µl
ammonium persulfat (APS) 10% (b/v) dan 15 µl tetramethylethylenediamine
(TEMED). Campuran tersebut dimasukkan dalam plat kaca dan dipasang sisir
untuk mencetak sumuran, kemudian didiamkan selama 30 menit hingga
membeku. Plat kaca yang berisi gel tersebut kemudian dipasang pada peralatan
elektroforesis dan dimasukkan dalam tabung elektroforesis. Kemudian
ditambahkan larutan TBE pada tabung yang terdapat sumuran gel sebanyak 100
ml dan pada tabung diluar sumuran gel sebanyak 700 ml. Sebanyak 10 µl produk
PCR selektif amplifikasi ditambah 2 ul loading dye (10 mM Tris-HCl pH 7.6,
0.03% bromophenol blue, 0.03% xylene cyanol, 60% gliserol, 60 mM EDTA)
kemudian dimasukkan dalam sumuran gel. Elektroforesis dilakukan pada beda
potensial 85 volt selama 80 menit. Kemudian gel direndam dalam larutan pewarna
Gel RedTM (Biotium) selama 30 menit. Di atas UV transiluminator gel diambil
gambarnya menggunakan ATTO gel documentation.
Analisis Data
Densitograf ATTO CS Analzer Ver. 2.08c digunakan untuk menentukan
pita-pita AFLP yang terbentuk dengan pengaturan sensitifitas pembacaan pita
pada skala 4. Pita diberi skor 1 apabila muncul dan skor 0 apabila tidak muncul.
Panjang pita AFLP diperhitungkan menggunakan kurva spline (non-linier) dari
pita standar marka DNA 100 bp plus (Fermentas) berdasarkan jarak migrasi pita
AFLP dalam aplikasi densitograf.

12

Tabel 2 Dua puluh enam primer selektif yang digunakan untuk analisis AFLP
Primer
Urutan basa (5' —3')
E-AAC/M-CTCa
E-AAG/M-CTAa
E-ACG/M-CAAa
E-AGC/M-CTTa
E-AGG/M-CTAa
E-AAC/M-CAGb
E-ACA/M-CTGb
E-ACC/M-CTTb
E-ACG/M-CTAb
E-ACT/M-CACb
E-ACT/M-CATb
E-ACT/M-CTCb
E-ACT/M-CTGc
E-AGC/M-CACc
E-AGC/M-CTTc
E-ACC/M-CTAd
E-ACG/M-CTCd
E-ACT/M-CATd
E-ACA/M-CAAa,b
E-ACT/M-CTGa,c
E-ACC/M-CATb,c
E-AGC/M-CTGc,d
E-AGG/M-CTTc,d
E-AAC/M-CAAb,c,d
E-AAG/M-CACb,c,d
E-ACA/M-CAGa,b,c,d

GACTGCGTACCAATTCAAC / GATGAGTCCTGAGTAACTC
GACTGCGTACCAATTCAAG / GATGAGTCCTGAGTAACTA
GACTGCGTACCAATTCACG / GATGAGTCCTGAGTAACAA
GACTGCGTACCAATTCAGC / GATGAGTCCTGAGTAACTT
GACTGCGTACCAATTCAGG / GATGAGTCCTGAGTAACTA
GACTGCGTACCAATTCAAC / GATGAGTCCTGAGTAACAG
GACTGCGTACCAATTCACA / GATGAGTCCTGAGTAACTG
GACTGCGTACCAATTCACC / GATGAGTCCTGAGTAACTT
GACTGCGTACCAATTCACG / GATGAGTCCTGAGTAACTA
GACTGCGTACCAATTCACT / GATGAGTCCTGAGTAACAC
GACTGCGTACCAATTCACT / GATGAGTCCTGAGTAACAT
GACTGCGTACCAATTCACT / GATGAGTCCTGAGTAACTC
GACTGCGTACCAATTCACT / GATGAGTCCTGAGTAACTG
GACTGCGTACCAATTCAGC / GATGAGTCCTGAGTAACAC
GACTGCGTACCAATTCAGC / GATGAGTCCTGAGTAACTT
GACTGCGTACCAATTCACC / GATGAGTCCTGAGTAACTA
GACTGCGTACCAATTCACG / GATGAGTCCTGAGTAACTC
GACTGCGTACCAATTCACT / GATGAGTCCTGAGTAACAT
GACTGCGTACCAATTCACA / GATGAGTCCTGAGTAACAA
GACTGCGTACCAATTCACT / GATGAGTCCTGAGTAACTG
GACTGCGTACCAATTCACC / GATGAGTCCTGAGTAACAT
GACTGCGTACCAATTCAGC / GATGAGTCCTGAGTAACTG
GACTGCGTACCAATTCAGG / GATGAGTCCTGAGTAACTT
GACTGCGTACCAATTCAAC / GATGAGTCCTGAGTAACAA
GACTGCGTACCAATTCAAG / GATGAGTCCTGAGTAACAC
GACTGCGTACCAATTCACA / GATGAGTCCTGAGTAACAG

a

Ude et al. (2002); bOpara et al. (2010); cEl-Khishin et al. (2009); dWongniam et
al. (2010)
Aplikasi NTSYS 2.02 digunakan untuk perhitungan nilai disimilaritas dan
analisis klaster (Rohlf 1993). Indeks similaritas dihitung berdasarkan koefisien
Nei dan Li (1979) dalam perhitungan Similarity of Qualitative Data (SYMQUAL).
Analisis klaster dibuat dengan perhitungan Sequential Aglomerative
Heirarchical and Nested (SAHN) berdasarkan un-weighted pair group method
with aritmatical averages (UPGMA) dari indeks similaritas Nei dan Li (1979).
Hasil dari analisis klaster disajikan dalam bentuk dendrogram.
Pita penciri aksesi M. balbisiana untuk suatu klaster pada dendrogram
similaritas di identifikasi dengan cara rekapitulasi pita AFLP dengan bantuan
aplikasi Microsoft Exel.
Analisis Komponen Utama (KU) dilakukan menggunakan Minitab 14
(Minitab 2003). Hasil analisis KU disajikan dalam bentuk plot dua dimensi.

13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pita AFLP yang dihasilkan dari 21 aksesi M. balbisiana menggunakan
penanda AFLP
Dua puluh dua pasang primer AFLP dari 26 pasang primer yang
digunakan menghasilkan pola pita AFLP yang jelas. Contoh gambar pita AFLP
dalam gel akrilamid dari hasil amplifikasi pasangan primer nomor 5 (E-AGG/MCTA) disajikan dalam Lampiran 1. Ukuran tiap pita AFLP dari 22 pasang primer
AFLP berkisar antara 51-3206 bp yang diperhitungan dengan kurva spline marka
DNA 100 bp plus berdasarkan jarak rambat pita AFLP pada aplikasi densitograf.
Kurva spline digunakan untuk interpolasi ukuran pita karena lebih akurat
dibandingkan menggunakan kurva linier (Gariepy et al. 1986). Pola migrasi pita
AFLP dalam gel elektroforesis tidak linier walaupun sudah dikonversi dalam nilai
log, sehingga kesalahan perkiraan ukuran pita AFLP dengan grafik linier akan
lebih besar dibandingkan kurva spline. Contoh kurva spline dari marka DNA 100
bp plus pada elektroforesis hasil AFLP pasangan primer nomor 5 (E-AGG/MCTA) disajikan dalam Lampiran 2 dan hasil interpolasi kurva tersebut pada pita
AFLP aksesi KS-JG1 disajikan dalam Lampiran 3.
Jumlah pita AFLP hasil deteksi dengan aplikasi densitograf dari 22
pasangan primer adalah sebanyak 485 pita AFLP (Tabel 3). Rata-rata pita AFLP
yang dihasilkan tiap pasangan primer adalah 22.1 pita. Pita terbanyak dihasilkan
oleh pasangan primer nomor 13 (E-AGC/M-CAC) yaitu 31 pita, sedangkan
paling sedikit dihasilkan oleh primer pasangan primer nomor 11 (E-ACT/M-CTC)
yaitu 14 pita (Tabel 3). Perbedaan jumlah pita yang dihasilkan tiap pasangan
primer karena adanya perbedaan kombinasi tiga buah basa yang berdekatan
dengan ujung fragmen DNA hasil pemotongan enzim restriksi, sehingga tiap
pasangan primer akan mengamplifikasi fragmen DNA yang berbeda dengan
pasangan primer yang lain.
Jumlah pita polimorfik pada tiap pasangan primer terhadap 21 aksesi M.
balbisiana berkisar antara 0-20 pita. Pita polimorfik paling banyak dihasilkan oleh
pasangan primer nomor 2 (E-AAG/M-CTA) dan pita polimorfik paling sedikit
dihasilkan oleh pasangan primer nomor 19 (E-AGG/M-CTT).
Persentase pita polimorfik pada tiap pasangan primer terhadap 21 aksesi
M. balbisiana berkisar antara 0-80% dengan rata-rata pita polimorfik dari 22
pasangan primer adalah 46.2%. Persentase pita AFLP polimorfik paling tinggi
dihasilkan oleh pasangan primer nomor 7 (E-ACA/M-CTG), paling rendah
dihasilkan oleh pasangan primer nomor 19 (E-AGG/M-CTT). Persentase pita
polimorfik tidak ditentukan oleh jumlah pita polimorfik yang dihasilkan oleh
suatu pasangan primer. Primer nomor 2 (E-AAG/M-CTA) menghasilkan pita
polimorfik paling banyak tetapi tingkat polimorfismenya bukan yang paling tinggi
yaitu 68.9%. Pita polimorfik pada pasangan primer nomor 7 (E-ACA/M-CTG)
hanya 12, tetapi karena jumlah pita AFLP pada primer ini sebanyak 15 pita
sehingga persentase polimorfismenya paling tinggi.
Pasangan primer 19 (E-AGG/M-CTT) tidak menghasilkan pita polimorfik.
Monomorfisme pada pasangan primer tersebut menunjukkan bahwa fragmen

14

DNA dengan ujung ‗3 TCC dan ujung ‗5 GAA hasil pemotongan enzim restriksi
Eco-RI dan Mse-I pada genom dari 21 aksesi M. balbisiana memiliki panjang
yang sama.
Tabel 3 Jumlah pita, tingkat polimorfisme dan rentang ukuran pita tiap pasangan
primer AFLP dari 21 aksesi Musa balbisiana
No
Jumlah
Pita
% pita
Ukuran
primer Pasangan Primer
pita
polimorfik
polimorfik
pita (bp)
1
E-AAC/M-CTC
29
18
62.1
153-3206
2
E-AAG/M-CTA
29
20
68.9
70-3043
3
E-ACG/M-CAA
22
12
54.6
110-2937
4
E-AGC/M-CTT
19
6
31.6
85-1274
5
E-AGG/M-CTA
21
6
28.6
85-1745
6
E-AAC/M-CAG
25
16
64.0
92-1476
7
E-ACA/M-CTG
15
12
61-919
80.0
8
E-ACC/M-CTT
20
14
70.0
55-1274
9
E-ACG/M-CTA
16
9
56.3
71-1367
10
E-ACT/M-CAT
19
9
47.4
56-1269
11
E-ACT/M-CTC
7
50.0
57-537
14
12
E-ACT/M-CTG
25
12
48.0
51-2860
13
E-AGC/M-CAC
4
12.9
64-1544
31
14
E-AGC/M-CTT
23
10
43.5
79-1236
15
E-ACC/M-CTA
22
12
54.6
92-1259
16
E-ACG/M-CTC
18
7
38.9
101-1342
17
E-ACT/M-CAT
25
9
36.0
82-1478
18
E-ACC/M-CAT
23
7
30.4
72-1200
19
E-AGG/M-CTT
25
0
105-2804
0.0
20
E-AAC/M-CAA
24
14
58.3
85-1578
21
E-AAG/M-CAC
21
11
52.4
119-1308
22
E-ACA/M-CAG
19
9
47.4
87-1137
Total
485
224
Rata-rata
22.1
10.2
46.2
Persentase rata-rata pita AFLP polimorfik yang dihasilkan tiap pasangan
primer AFLP pada penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Ude et al. (2002)
yang menggunakan sampel dari berbagai seksi Musa yaitu sebesar 32.5%. Akan
tetapi persentase rata-rata pita polimorfik tiap primer pada penelitian ini lebih
rendah dari pada hasil penelitian keragaman genetik M. acuminata di Malaysia
yaitu 93% (Wong et al. 2001), 11 kultivar pisang dari Mesir yaitu 91.6% (ElKhishin et al. 2009) dan 7 kultivar di Oman dengan 12 pasang primer yaitu 92.5%
(Opara et al. 2010).
Persentase pita polimorfik pada penelitian Ude et al. (2002) lebih rendah
kemungkinan karena jumlah fragmen DNA hasil pemotongan total DNA dengan

15

enzim restriksi memiliki tingkat komplemen yang rendah dengan pasangan primer
digunakan. Penggunaan primer lain mungkin akan menghasilkan polimorfisme
yang lebih tinggi atau primer pada penelitian Ude et al. (2002) apabila digunakan
pada sampel pisang yang lain juga mungkin akan menghasilkan jumlah pita yang
berbeda.
Persentase polimorfisme pita AFLP dalam penelitian penelitian El-Khishin
et al. (2009) dan Opara et al. (2010) lebih tinggi dari pada dalam penelitian ini.
Kemungkinan karena penggunaan pisang kultivar dalam penelitian mereka.
Pisang kultivar memiliki genotipe kombinasi dari M. acuminata atau M.
balbisiana (Simmonds dan Shepperd 1955), sehingga struktur genotipenya lebih
heterogen. Oleh karena itu, kemungkinan situs potong dalam genom pisang
kultivar lebih bervariasi. Posisi titik potong enzim restriksi yang lebih bervariasi
akan menghasilkan fragmen DNA dengan ukuran lebih beragam (Vos et al. 1995),
dengan demikian polimorfisme pita AFLP menjadi tinggi.

Pita AFLP berdasarkan varietas/kultivar M. balbisiana
dari asal/lokasi yang sama
Penggabungan aksesi M. balbisiana dengan nama varietas/kultivar dan
asal/lokasi yang sama pada penelitian ini dianggap sebagai populasi, kecuali untuk
kultivar Klutuk-Jawa Barat karena hanya terdiri atas satu aksesi. Jumlah pita
AFLP dari tiap populasi adalah berbeda. Populasi Klutuk Sukun-Jogja memiliki
jumlah pita AFLP yang paling banyak yaitu 452 pita, sedangkan paling sedikit
dimiliki oleh populasi Pisang Roti-Sumatera Barat dengan 389 pita (Tabel 4).
Semakin banyak situs restriksi pada suatu genom maka semakin banyak pita
AFLP yang dihasilkan (Vos et al. 1995). Klutuk Sukun-Jogja memiliki pita AFLP
paling banyak, berarti situs restriksi Eco-RI dan Mse-I pada kultivar ini adalah
yang paling banyak dibandingkan M. balbisiana yang lain dalam penelitian ini.
Tiap populasi M. balbisiana menunjukkan adanya pita AFLP polimorfik.
Polimorfisme pita AFLP dalam satu populasi M. balbisiana menunjukkan adanya
keragaman pada satu kultivar/varietas dari asal/lokasi yang sama. Persentase
polimorfisme pita AFLP kultivar M. balbisiana paling tinggi dimiliki oleh
populasi Klutuk Wulung-Jawa Barat yaitu 13.1%, sedangkan paling rendah
dimiliki populasi Klutuk-Jogja yaitu 2.7 % (Tabel 4).
Persentase polimorfisme pita AFLP pada populasi Klutuk Wulung-Jawa
Barat yang paling tinggi menunjukkan keragaman genetik dari populasi ini paling
tinggi dibandingkan populasi lain. Bahkan persentase polimorfisme pita AFLP
populasi Klutuk Wulung-Jawa Barat yang merupakan M. balbisiana budidaya
lebih tinggi dari pada tiga populasi M. balbisiana liar. Tiga populasi M.
balbisiana liar tersebut adalah Pisang Roti-Sumatera Barat dengan persentase
polimorfisme 12%, Pisang Pataga-Sulawesi Utara dengan persentase
polimorfisme 4.4% dan M. balbisiana var liukiuensis-Jepang dengan persentase
polimorfisme 8.1%.
Persentase polimorfisme pita AFLP populasi Klutuk Wulung-Jawa Barat
lebih tinggi dari tiga populasi M. balbisiana liar mungkin karena dua aksesi dari
populasi ini berasal dari dua wilayah yang berjauhan di Provinsi Jawa Barat yaitu
KW-JB1 dari Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis dan KW-JB2 berasal

16

dari Kecamatan Mangunreja Kabupaten Garut, sedangkan populasi
kultivar/varietas M. balbisiana yang lain diambil dari rumpun yang berdekatan di
tiap wilayah. Faktor adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda mungkin
menyebabkan keragaman karena terjadi mutasi somatik atau sudah terjadi
rekombinasi karena perkawinan (Wong et al. 2007).
Dalam penelitian ini jumlah aksesi yang sedikit (dua aksesi tiap populasi)
belum menggambarkan keragaman yang sebenarnya dari tiap populasi. Sebagai
contoh Wang et al. (2007) menggunakan 12-15 individu untuk tiap populasi untuk
mengetahui k

Dokumen yang terkait

Identifikasi Keragaman Genetik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Berdasarkan Karakter Bunga dan DNA Menggunakan Teknik Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

1 6 120

Genetic Variation Analysis of Curcuma xanthorrhiza Roxb. by Using Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) Marker

0 6 64

Identifikasi Keragaman Genetik Klon Karet dengan Teknik Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP).

1 9 34

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

2 14 49

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 1 13

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 1 2

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 0 3

Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Menggunakan Penanda Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 0 8

KARAKTERISTIK GENETIK Kappaphycus alvarezii SEHAT DAN TERINFEKSI PENYAKIT ICE-ICE DENGAN METODE Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 0 10

Phylogenetic Analysis of Rubber Tree Clones using AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) Marker

0 0 12