Identifikasi Keragaman Genetik Klon Karet dengan Teknik Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP).

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK KLON KARET
DENGAN TEKNIK AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH
POLYMORPHISM (AFLP)

JUNIZA FIRDHA SUPARNINGTYAS

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Keragaman
Genetik Klon Karet dengan Teknik Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Juniza Firdha Suparningtyas
NIM G84100045

ABSTRAK
JUNIZA FIRDHA SUPARNINGTYAS. Identifikasi Keragaman Genetik Klon
Karet dengan Teknik Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP).
Dibimbing oleh SURYANI dan TEUKU TAJUDDIN.
Tanaman karet di Indonesia telah banyak dikembangkan dalam bentuk klonklon unggul. Proses pemuliaan dengan mengidentifikasi keragaman genetik secara
molekuler, salah satunya dengan teknik AFLP, memiliki tingkat polimorfisme dan
pengulangan yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
keragaman genetik klon karet. Sebanyak 3 klon karet, IRR 104, RRIM 600, dan
PR 300 masing-masing diisolasi DNA genomnya, kemudian direstriksi
menggunakan dua enzim restriksi, diligasikan terhadap adapter, dilakukan preamplifikasi dan diamplifikasi menggunakan 64 kombinasi pasangan primer serta
analisis hasil elektroforesis dari elektroferogram gel poliakrilamid 6 %. Sebanyak
1023 pita AFLP telah dihasilkan. Keseluruhan pita polimorfis diubah menjadi
dendrogram dengan kesamaan genetik ketiganya sebesar 29 %. Selanjutnya garis
dendrogram terpisah menjadi dua kelompok, kelompok 1 terdiri dari klon IRR

104 dan RRIM 600 dengan kesamaan genetik sebesar 43 %. Kelompok 2 yang
hanya terdiri dari klon PR 300. Informasi dendrogram yang diperoleh telah
menunjukkan keragaman genetik ketiga klon karet yang bersifat polimorfis.
Kata kunci: klon karet, AFLP, polimorfisme, keragaman genetik
ABSTRACT
JUNIZA FIRDHA SUPARNINGTYAS. Genetic Diversity Identification of
Rubber Tree Clones by Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)
Technique. Supervised by SURYANI and TEUKU TAJUDDIN.
Rubber tree in Indonesian has been developed into many clones. To make a
stock breeding by identify the genetic diversity in a molecular way, the one is
AFLP, have a higher level of polymorphisme and reproduciblity. The objective of
this research is to identify the genetic diversity of rubber tree clones. The DNA
genome of three clones contain IRR 104, RRIM 600, and PR 300 were extracted,
and then restricted with two restriction enzymes, ligated into adapter, preamplificated, then amplificated with 64 primers combination, and analyzed the
electropherogram of 6 % gel polyacrilamid. For about 1023 AFLP fragments had
been detected. All of the polymorphic fragments constructed into dendrogram
among the three clones reached 29 % of genetic similarity level. The dendrogram
lane separated into two group, the first group contained IRR 104 and RRIM 600
showing 43 % of genetic similarity. The second group only contained PR 300.
This dendrogram information had been showed the polymorphism of the genetic

diversity among this three clones.
Keywords: rubber tree, AFLP clones, polymorphisme, genetic diversity

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK KLON KARET DENGAN
TEKNIK AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (AFLP)

JUNIZA FIRDHA SUPARNINGTYAS

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 sampai
September 2014 ini ialah penanda molekuler, dengan judul Identifikasi
Keragaman Genetik Klon Karet dengan Teknik Amplified Fragment Length
Polymorphism (AFLP).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Suryani, SP, MSc dan Bapak
Dr Ir Teuku Tajuddin, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Devit Purwoko yang
telah banyak membantu penulis di laboratorium sehingga penelitian dan penulisan
karya ilmiah ini dapat terlaksana dengan baik. Ibu Rahma, Bapak Imam C
Cartealy, Mbak Leha, Ibu Anna, dan Ibu Syofi yang telah mengizinkan penulis
menggunakan fasilitas di laboratorium Teknologi Gen. Ungkapan terima kasih
terutama juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, serta seluruh keluarga besar
atas segala doa, dukungan moril dan material serta kasih sayangnya. Selanjutnya
kepada seluruh rekan laboratorium Kak Okky, Kak Hamisya, Kak Angel, Fazri,
Oho yang telah membantu berdiskusi di perpustakaan Biotek, serta terima kasih
untuk Kementerian Lingkungan Hidup BEM KM IPB 2014 serta keluarga besar
BEM KM IPB juga Pinus merkusii Biokimia 47 dan Ayumas IPB yang telah
memberikan dukungan dan bantuan jasa lainnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Januari 2015
Juniza Firdha Suparningtyas

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1


METODE

2

Waktu dan Tempat

2

Bahan

2

Alat

3

Prosedur Penelitian

3


HASIL

6

DNA Karet Hasil Isolasi

6

Produk PCR AFLP DNA Karet

6

Keragaman Genetik Klon Karet

8

Pembahasan
DNA Karet Hasil Isolasi


9
9

Produk PCR AFLP DNA Karet

11

Keragaman Genetik Klon Karet

13

SIMPULAN DAN SARAN

14

Simpulan

14

Saran


14

DAFTAR PUSTAKA

14

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR TABEL
1
2

Konsentrasi dan kemurnian DNA karet hasil isolasi
Pasangan primer spesifik dan ukuran spesifik yang dihasilkan pada
masing-masing klon

6

8

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Hasil elektroforesis DNA isolasi
Elektroforegram DNA genom hasil isolasi terhadap pemotongan
dengan enzim restriksi EcoRI dan MseI serta ligasi adapater
Elektroforegram DNA hasil digesti/ligasi setelah dilakukan preamplifikasi
Pohon filogenetik 3 klon karet berdasarkan seluruh pola pita hasil
AFLP

6
7
7
9


DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Diagram alir penelitian
Prinsip teknik Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)
Pasangan Primer AFLP
Urutan primer pada gel poliakrilamid 1.
Urutan primer pada gel poliakrilamid 2.
Elektroferogram poliakrilamid gel 1
Elektroferogram poliakrilamid gel 2

17
18
19
20
21
22
23

PENDAHULUAN
Informasi untuk mengetahui keragaman genotipe plasma nutfah tanaman
karet merupakan modal dasar untuk keberhasilan pemuliaan dalam pengembangan
tanaman unggul di lapang sebagai upaya meningkatkan kapasitas produksi lateks
dan hasil kayu. Teknik pemuliaan tanaman dalam perolehan informasi bibit
unggul yang lebih cepat sangat diperlukan mengingat teknik pemuliaan tanaman
secara tradisional memerlukan waktu seleksi yang panjang yang dapat mencapai
20 hingga 25 tahun sejak persilangan hingga menghasilkan produk dengan area
penanaman yang dibutuhkan luas (Novalia 2009). Para peneliti pun beralih
menggunakan teknik penelitian molekuler, salah satunya dengan mencari urutan
DNA polimorfismenya untuk dipelajari perbedaan genetik dan hubungan
kekerabatan antara individu (Weising et al. 2005) sehingga dapat melengkapi
pengembangan dalam pemuliaan tanaman karet yang unggul dan potensial secara
cepat. Penelitian secara molekuler ini hanya membutuhkan waktu pengujian dan
proses pengolahan data secara cepat, jika telah dilakukan optimasi dan bank data
genom tanaman karet.
Penelitian teknik menggunakan marka molekuler yang pernah dilakukan
untuk tanaman karet antara lain Restriction Fragment Length Polymorphism
(RFLP) (Lespinasse et al. 2000), Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)
(Zulkifli 2001; Toruan-Marthius 2002 Nurhaimi- Haris et al. 2003; Wibowo
2010), marka isozim dan mikro satelit (Lespinase et al. 2000), Simple Sequence
Repeat (SSR) (Lekawipat et al., 2003; Hamzah 2014). Namun demikian, beberapa
hasil yang diperoleh tidak konsisten, misalnya pada teknik RAPD, disebabkan
rendahnya akurasi dalam pengulangan hasil amplifikasi, jumlah lokus yang
dihasilkan lebih sedikit, jumlah fragmen DNA yang diperoleh dari primer yang
digunakan lebih sedikit, dan tingkat diferensiasi dalam analisis dendrogram klon
karet yang lebih rendah sehingga hasil setiap kelompok klon karet kurang terpisah
dengan baik (Toruan-Marthius et al. 2002).
Teknik Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) digunakan pada
tanaman karet yang sebelumnya juga pernah dilakukan (Luo et al. 2001; Zulkifli
2001; Nurhaimi-Haris 2003; Toruan-Marthius 2002; Nurhaimi 2006) karena
memiliki tingkat pengulangan dengan derajat kekonsistenan hasil yang tinggi
(Mueller dan Wolfenbarger 1999). Menurut Mueller dan Wolfenbarger (1999)
dalam Damayanti (2012) marka Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP) dapat mendeteksi variasi dan keragaman genetik antar populasi, individu,
juga spesies berdasarkan perbedaan letak basa tertentu dari marka DNA dalam
genom tanaman.
Teknik AFLP memiliki beberapa perbedaan secara prinsip kerja
dibandingkan teknik dengan marka molekuler lainnya dengan membedakan
komposisi gen berdasarkan jumlah dan ukuran fragmen tertentu yang
diamplifikasi dengan primer yang digunakan. Sehingga, dengan menganalisis gen
tersebut, seolah telah diperoleh potret dari tanaman yang unggul. Berdasarkan
protokol dari Gitzendanner (2000) untuk mendeteksi keragaman genetik, teknik
AFLP terdiri dari proses digesti menggunakan dua jenis enzim restriksi, ligasi
menggunakan adapter, proses pre-amplifikasi dengan primer yang memiliki satu
nukleotida selektif, dan terakhir adalah proses amplifikasi yang menggunakan

2
primer dengan tiga nukleotida selektif yang divisualisasikan menggunakan gel
poliakrilamid 6%. Gel poliakrilamid 6% yang digunakan dalam visualisasi akhir
hasil amplifikasi AFLP akan diperoleh pita DNA sehingga dapat menunjukkan
polimorfisme.
Menurut Mueller dan Wolfenbarger (1999), tingkat keragaman diperoleh
berdasarkan perbedaan dan kesamaan pola pita yang muncul dari hasil
pemotongan dengan dua enzim restriksi, EcoRI (G↓AATTC) dan MseI (T↓TAA)
serta primer yang digunakan. Vulysteke et al.(2007) menyatakan bahwa kedua
jenis primer dalam proses amplifikasi di teknik AFLP adalah primer dengan
kelebihan satu basa –A dan –C pada proses pre-amplifikasi serta menggunakan
primer dengan kelebihan tiga basa –ANN dan –CNN pada ujung 3’OH nya pada
proses amplifikasi akhir. Komposisi basa yang digunakan dalam primer selektif
ini tersebar luas dalam seluruh bagian genom tanaman (Mba dan Tohme 2005).
Oleh sebab itu, tanpa mencari informasi urutan basa genom terlebih dahulu, teknik
AFLP ini unggul dalam mendeteksi polimorfisme berdasarkan amplifikasi hasil
pemotongan dengan enzim restriksi oleh primer selektif. Teknik ini juga memiliki
tingkat pengulangan yang tinggi karena dapat mendeteksi secara konsisten
(Invitrogen 2003).
Tujuan dari hasil penelitian ini adalah melakukan identifikasi keragaman
genetik dengan AFLP dari tiga klon tanaman karet di Balai Pengkajian
Bioteknologi-BPPT, Puspiptek-Serpong yaitu IRR 104, RRIM 600 dan PR 300
dengan dari penggunaan 64 kombinasi pasangan primer yang tersedia. Manfaat
yang diharapkan yaitu hasil dari keragaman genetik ini bisa menjadi acuan dalam
pemilihan tetua/induk unggul untuk persilangan klon selanjutnya, dan primer
selektif yang diperoleh dapat digunakan di lapang untuk mendeteksi klon karet
yang sama dalam penelitian ini.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan mulai bulan Februari hingga September 2014.
Bertempat di Laboratorium Teknologi Gen dan Laboratorium Pertanian, Balai
Pengkajian Bioteknologi-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), di
kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK)
Serpong, Tangerang Selatan, serta di Laboratorium Biomolekuler-Balai Besar
Biogen, Cimanggu, Bogor.
Bahan
Isolasi DNA Karet. bahan yang digunakan adalah sampel daun karet dari 3
klon pohon karet yang ditanam di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT-Serpong
(IRR 104, RRIM 600, PR 300), Poly Vinyl Poly Pirolidon (PVPP), Cethyl
Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB) 10%, kloroform, isoamilalkohol,
isopropanol, buffer TE, Natrium Asetat 3 M pH 5.2, alkohol absolut, penanda
(marker)1 kb DNA ladder (Fermentas), agarosa, SYBR Safe, loading dye.

3
PCR AFLP. Enzim T4 DNA ligase, bufer ligasi, penanda (marker) 100 bp
DNA ladder (Fermentas), rATP, enzim MseI, enzim EcoRI, adapter EcoRI
(forward dan reverse) (1st BASE), adapter MseI (forward dan reverse) (1st BASE),
25 mM MgCl2, 2 mmol dNTP, Fast Taq DNA/Taq DNA polymerase (Fermentas)/
Dream Taq DNA polymerase, 10 pmol primer Mse-C, 10 pmol primer Eco-A, dan
10 pmol kombinasi pasangan primer terpilih (Biolabs) (Lampiran 3).
Elektroforesis Poliakrilamid. Alkohol 70%, bufer TBE 10X, 40%
akrilamid/bis-akrilamid (19:1), urea, EDTA, amonium persulfat (APS) 10%,
TEMED, Tris HCL, NaOH,.37% formaldehid, campuran perak nitrat, sodium
karbonat, asam asetat glasial, bind silane, sodium tiosulfat.
Analisis Data AFLP. Asam asetat glasial, nitrat perak, formaldehid, dan
natrium karbonat.

Alat
Alat-alat yang digunakan adalah lumpang dan mortar, vorteks, tabung
Eppendorf (1.5 mL), tabung PCR, tip, pipet mikro (1-1000 µL), spektrofotometer
Nanodrop, gel doc, perangkat UV-Vis, PCR thermocycler (Takara), perangkat
elektroforesis agarosa, dan perangkat elektroforesis poliakrialamid dan plat kaca
(40 cm x 32 cm).

Prosedur Penelitian
Isolasi DNA Karet
Ekstraksi DNA (Doyle & Doyle 1988). Isolasi DNA genom tanaman karet
dilakukan dengan metode Doyle & Doyle (1988) yang telah dimodifikasi. Daun
karet dicuci lalu dibersihkan dari tulang daun pada air yang mengalir. Sebanyak
0.2 gr daun karet ditambahkan 300 µL PVPP kemudian digerus hingga halus dan
dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf. Selanjutnya 1000 µL buffer CTAB 10%
(v/v) ditambahkan ke dalam suspensi jaringan daun yang sudah digerus, kemudian
diinkubasi pada suhu 65 oC selama 30 menit. Setelah inkubasi, campuran
ditambahkan 720 µL kloroform:isoamilalkohol (CIAA 24:1), campuran kemudian
dikocok kuat. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10
menit. Larutan yang jernih (supernatan) diambil, kemudian dipindahkan ke tabung
Eppendorf yang baru. Supernatan ditambahkan 1000 µL kloroform:isoamilalkohol
(24:1), kemudian dicampur dan disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm
selama 10 menit.
Supernatan yang diperoleh dipindahkan ke tabung Eppendorf yang baru,
kemudian ditambahkan 1 mL isopraponol dingin dan dihomogenkan dengan
membolak-balik tabung. Campuran disimpan di dalam lemari es yang bersuhu 4
o
C selama 10 menit. Setelah disimpan, campuran disentrifugasi pada kecepatan
11000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh dibuang sedangkan
peletnya dilarutkan dengan 100 µL buffer TE. Larutan ditambahkan 10 µL

4
natrium asetat 3 M pH 5.2 dan 270 µL alkohol absolut dingin, kemudian
dihomogenkan dengan membolak-balikan tabung. Campuran diinkubasi pada
lemari pendingin pada suhu -20 oC selama 30 menit kemudian disentrifugasi
dengan kecepatan 14000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh
dibuang, sedangkan peletnya dicuci dengan alkohol 70 % lalu dikeringanginkan.
Pelet DNA yang sudah kering dilarutkan dengan 100 µL buffer TE.
Analisis Kuantitatif dan Kualitatif DNA. Sebanyak 2 µL DNA hasil
isolasi masing-masing diuji kuantitasnya dengan menggunakan spektrofotometer
Nanodrop dan diukur pada perbandingan panjang gelombang 260 nm dan 280 nm
(Å260/Å280). Hasil yang ditampilkan berupa konsentrasi DNA hasil isolasi DNA
dalam ng/µL dan rasio kemurnian masing-masing DNA hasil isolasi yang diuji
terhadap kontaminasi protein.
Setiap sampel DNA hasil isolasi diambil sebanyak 4 µL untuk dilakukan
elektroforesis menggunakan gel agarosa dengan konsentrasi 1.5 % dalam bufer
TE 1X selama 50 menit dengan daya 50 V dan pewarna SYBR safe.
Analisis PCR AFLP (Gitzendamer 2000)
Metode AFLP yang digunakan adalah metode Gitzendamer (2000) yang
telah dimodifikasi. Genom DNA dengan konsentrasi 250 ng sebanyak 1 µL
dipotong dengan sepasang enzim restriksi (0.2 µL MseI dan 0.1 µL EcoRI) yang
ditambahkan adaptor 1 µL MseI dan 1 µL EcoRI, 1 µL T4 buffer, 0.2 µL T4
ligase, 1 µL rATP, dan 4.5 µL nuclease water sehingga total volume menjadi 12.5
µL. Bahan dicampur sampai homogen dan kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 2 jam dan diinaktivasi dengan suhu 65 oC selama 15 menit lalu dilanjutkan
dengan suhu 65 oC selama 20 menit oleh pemotongan enzim MseI. Selanjutnya
dilakukan ligasi dengan adapter EcoRI dan MseI pada suhu 37 oC selama 4 jam.
Hasil ligasi, kemudian dipakai sebagai cetakan untuk pre-amplifikasi. Untuk
mengetahui berhasil atau tidaknya hasil digesti dan ligasi, maka dilakukan
elektroforesis menggunakan gel agarose 1% dan buffer TAE 1X dengan tegangan
50 V selama 50 menit.
Reaksi pre-amplifikasi terdiri dari 1 µL DNA hasil ligasi, 2.5 µ L buffer
PCR 10X, 2.5 µL 25 mM MgCl2, 2 µL dNTP mix, 0.2 µL Fast Taq DNA, 1 µL
primer Mse-C 10 pmol, 1 µL primer Eco-A 10 pmol, dan 14.8 µL ddH2O. Proses
PCR dilakukan menggunakan PCR thermocycle pada suhu 72 oC selama 2 menit
(pre-denaturasi), kemudian sebanyak 29 siklus pada 94 oC selama 30 detik
(denaturasi), 56 oC selama 30 detik (penempelan primer), 72 oC selama 2 menit
(ekstensi), dan suhu 60 oC selama 10 menit untuk pemanjangan akhir, serta
disimpan dalam suhu
4oC. Setelah diamplifikasi, hasil yang diperoleh
diamplifikasi selektif menggunakan kombinasi pasangan primer yang memiliki
tambahan 3 basa pada ujung 3’OH nya (Lampiran 4).
Sebanyak 1 µ L hasil pre-amplifikasi dicampur dengan 2.5 µL buffer PCR
10X, 2.5 µ L 25 mM MgCl2, 2 µ L dNTP campuran, 0.2 µL Taq polimerase, primer
terpilih 1 µ L 10 pmol MseI dan 1 µ L 10 pmol EcoRI, dan 14.8 µL nuclease water
sampai volume mencapai 25 µ L. Campuran kemudian dicampur secara perlahan
dan disentrifugasi singkat untuk menurunkan seluruh cairan di dalam tabung.
Program PCR yang digunakan yaitu: pre-denaturasi 94 oC selama 2 menit,
kemudian satu siklus denaturasi suhu 94 oC selama 30 detik, penempelan primer

5
pada suhu 65 oC selama 30 detik dan pemanjangan pada suhu 72 oC selama 2
menit. Tahap berikutnya adalah 12 siklus dengan suhu penempelan yang
diturunkan 0.7 oC setiap siklusnya selama 60 detik dan diikuti 23 siklus dengan
kondisi denaturasi 94 oC selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 56 oC
selama 30 detik dan pemanjangan pada suhu 72 oC selama 1 menit diakhiri
dengan suhu 72 oC selama 2 menit untuk pemanjangan akhir serta penyimpanan
pada suhu 4 oC.
Elektroforesis Poliakrilamid. Hasil amplifikasi PCR dielektroforesis pada
70 mL larutan PAGE 5 % (Urea, 10X TBE, 40 % akrilamid/bis-akrilamid) yang
dicampurkan dengan 840 µL APS 10 % dan 35 µL TEMED. Campuran
dimasukkan dalam plat kaca berukuran 30 cm x 32 cm dan didiamkan hingga
memadat. Plat kaca berisi gel tersebut dilakukan pre-elektroforesis (pemanasan)
dilakukan selama 30 menit (110 W) hingga suhu permukaan gel mencapai + 55 oC.
Hasil amplifikasi selektif dan marka 100 pb masing-masing diambil
sebanyak 6-7 µL dicampur dengan 1 µL loading dye, kemudian didenaturasi pada
suhu 95 oC selama tiga menit dan segera didinginkan dan disimpan dalam es pada
suhu minimal 4 0C. Campuran sampel sebanyak 5 µL dimasukkan pada setiap
sumur dan dielektroforesis selama ± 40 menit dengan daya 80 W.
Pewarnaan Gel Poliakrilamid. Gel poliakrilamida kemudian dibilas
dengan ddH2O bebas ion selama 1 menit, kemudian difiksasi dengan asam asetat
glasial 10% selama 10 menit dan dibilas kembali dengan ddH2O bebas ion selama
20 detik lalu dibiarkan mengering. Gel diwarnai dengan larutan perak nitrat di atas
pengocok selama 20 menit dan dicuci dengan ddH2O bebas ion selama 20 detik.
Selanjutnya gel direndam dalam larutan developer (campuran 45 gram sodium
karbonat, 2.25 mL formaldehid 37 %, 300 µL sodium tiosulfat dalam 1500 mL
ddH2O, yang sebelumnya disimpan pada suhu 4-10oC) dan dibiarkan hingga
fragmen-fragmen dapat dilihat sesuai dengan yang diinginkan.
Setelah seluruh pita terlihat, gel direndam dalam larutan stop berupa larutan
fiksasi selama 2 menit. Gel kemudian dibilas dengan menggunakan ddH2O bebas
ion dan dibiarkan mengering selama 1 hari kemudian dipindai dengan alat
pemindai.
Identifikasi Data AFLP
Skoring. Pita-pita DNA dari hasil elektroferogram diubah ke dalam bentuk
data biner dengan memberi nilai 1 jika terdapat pita DNA dan 0 jika tidak ada
pita. Panjang pita AFLP diperhitungkan menggunakan pita standar marka DNA
10 bp [Thermoscientific] berdasarkan jarak migrasi pita AFLP dengan aplikasi
PhotoCapt MW.
Identifikasi Keragaman Genetik (Damayanti 2012). Data biner yang
diperoleh dari AFLP tersebut selanjutnya digunakan dalam analisis keragaman
genetik, kesamaan genetik dibuat dalam bentuk matrik dengan similarity for
qualitative data (SIMQUAL). Berdasarkan nilai kesamaan genetik tersebut
dilakukan analisis pengelompokan (pengklasteran) dengan sub program SAHN
dengan metode Unweighted Pair Group Method Average (UPGMA) program
NTSYS-pc 2.11.

6

HASIL
DNA Karet Hasil Isolasi
Isolasi DNA karet dengan menggunakan metode Doyle dan Doyle (1988)
telah berhasil dilakukan, kemudian dilakukan analisis kuantitatif dan kualitatif
DNA hasil isolasi. Berdasarkan analisis kuantitatif diperoleh nilai kemurnian
DNA hasil isolasi berturut-turut dari klon IRR 104, RRIM 600, dan PR 300 yaitu
1.97, 2.04, dan 1.78 sedangkan konsentrasi DNA yang diperoleh secara berurutan
yaitu 1024.2, 1259.5, dan 4127.3 ng µ L-1 (Tabel 1). Selanjutnya hasil analisis
kualitatif berupa elektroferogram (Gambar 1) menunjukkan bahwa DNA hasil
isolasi memiliki ukuran DNA genom sekitar 10 kb. Hasil isolasi nampak cukup
jelas menandakan bahwa DNA telah terisolasi dengan baik.

10
10kb
kb

Gambar 1 Hasil elektroforesis DNA isolasi (Marka 1 kb, 1-3: DNA klon IRR
104, klon RRIM 600, dan klon PR 300).

Tabel 1 Konsentrasi dan kemurnian DNA karet hasil isolasi
Nomor
Sampel
1
2
3

Jenis Klon

Konsentrasi DNA (ng/µL)

Klon IRR 104
Klon RRIM 600
Klon PR 300

1024,2
1259,5
4127,3

Kemurnian (Å260/Å280)
1,97
2,04
1,78

Produk PCR AFLP DNA Karet
Hasil isolasi DNA karet yang diperoleh dilanjutkan dengan pengujian
pemotongan/digesti oleh enzim restriksi EcoRI dan MseI. Selanjutnya pengujian
dengan ligasi menggunakan adapter yang spesifik untuk EcoRI dan MseI tampak
berupa bayangan panjang pada gel agarosa 1.5 %. Hasil digesti-ligasi tersebut
kemudian menjadi DNA cetakan untuk pre-amplifikasi menggunakan primer
EcoR-A dan Mse-C. Hasil elektroforesis dari pre-amplifikasi berupa bayangan

7
yang lebih pendek dibandingkan hasil digesti/ligasi (Gambar 3). Ukuran fragmen
DNA yang nampak pada elektroferogram hasil digesti-ligasi menggunakan
aplikasi PhotoCapt MW yaitu sekitar 84 bp hingga 1379 bp (Gambar 2). Akan
tetapi setelah dilakukan pre-amplifikasi panjang bayangan pita memendek dengan
ukuran fragmen DNA sekitar 300 bp hingga 1300 bp (Gambar 3).
Tahap pre-amplifikasi kemudian dilanjutkan dengan tahap amplifikasi
menggunakan 64 primer kombinasi terhadap masing-masing klon tanaman karet.
Hasil amplifikasi divisualisasikan pada dua gel poliakrilamid 6% selama 40 menit
dengan sumur masing-masing berjumlah 96 buah dengan urutan primer untuk
masing-masing klon seperti pada Lampiran 4. Hasil elektroforesis menggunakan
marka 10 bp, berupa elektroferogram pada Lampiran 6 dan 7 menunjukkan bahwa
total pita yang terdeteksi sebanyak 1023 pita dengan ukuran 1 bp hingga 333 bp.

1000
1000bpbp
500 bp
500 bp
100 bp
100 bp

Gambar 2 Elektroforegram DNA genom hasil isolasi terhadap pemotongan
dengan enzim restriksi EcoRI dan MseI serta ligasi adapater.
(Marka 100 bp; 1-3: klon IRR 104, klon RRIM 600, dan klon PR
300)

1000 bp
500 bp
300 bp

Gambar 3 Elektroforegram DNA hasil digesti/ligasi setelah dilakukan preamplifikasi (1-3: klon IRR 104, klon RRIM 600, dan klon PR
300; marka 100 bp).

8
Hasil elektroferogram AFLP (Lampiran 6 dan 7) menunjukkan jumlah pita
AFLP terbanyak adalah 24 pita yang berasal dari amplifikasi MCAT/EAAG pada
klon PR 300 (Lampiran 7). Klon IRR 104 hanya memiliki pita terbanyak sejumlah
10 pita oleh primer MCAC/EAGG dan MCAT/EACA. Selain itu, pita terbanyak
klon RRIM 600 diperoleh sejumlah 23 pita oleh primer MCAC/EAAG.
Sebaliknya, jumlah pita AFLP paling sedikit hanya menghasilkan satu pita AFLP
saja pada masing-masing klon. Selanjutnya, terdapat primer yang tidak
mengamplifikasi yaitu pasangan primer M-CTC/E-AGG, M-CAC/E-ACT, MCAC/E-AAC, M-CTT/E-ACC, M-CTT/E-AAC, M-CTA/E-ACA, M-CTG/EAAG, dan M-CTG/E-AGG untuk klon IRR 104. Primer M-CAC/E-ACG, MCAT/E-AGG, dan M-CAA/E-ACG tidak mengamplifikasi pada klon RRIM 600.
Serta pada klon PR 300 hanya pasangan primer M-CTC/E-AAG yang tidak
menghasilkan pita AFLP.
Berdasarkan elektroferogram pada Lampiran 6 dan 7, terdapat pula primer
yang menghasilkan pita-pita dengan ukuran yang unik, seperti primer
MCAA/EAGC pada klon IRR 104 (Tabel 2). Pita unik merupakan pita yang
memiliki satu ukuran tertentu yang hanya dihasilkan oleh satu klon saja oleh satu
primer spesifik. Pita unik juga dihasilkan pada klon RRIM 600 oleh primer
MCTC/EACG, MCTC/EACA, MCAC/EACG, MCTA/EAGG, dan MCTT/EACC.
Berikutnya untuk klon PR 300, pita unik dihasilkan oleh pasangan primer
MCTC/EAAC, MCTA/EAGG, MCAT/EACC, MCAT/EAAG, MCAC/EACC,
dan MCTG/EAGG.
Tabel 2 Pasangan primer spesifik dan ukuran unik yang dihasilkan pada masingmasing klon
Nama Klon
IRR 104
RRIM 600

PR 300

Pasangan Primer Spesifik
MCAA/EAGC
MCTC/EACG
MCTC/EACA
MCAC/EACG
MCTA/EAGG
MCTT/EACC
MCTC/EAAC
MCTA/EAGG
MCAT/EACC
MCAT/EAAG
MCAC/EACC
MCTG/EAGG

Ukuran Pita Unik
20 bp
326 bp
31 bp
333 bp
261 bp
185 bp
23 bp, 30 bp
64 bp
61 bp, 72 bp
27 bp, 54 bp, 71 bp, 91 bp
58 bp
51 bp, 43 bp

Keragaman Genetik Klon Karet
Elektroferogram yang diperoleh dari amplifikasi dengan teknik AFLP
menghasilkan pita-pita AFLP dengan berbagai variasi ukuran. Berdasarkan variasi
tersebut, dilakukan pengolahan data biner/skoring untuk pembentukan pohon

9
filogenetik berupa dendrogram. Dendrogram dibuat dengan menggunakan seluruh
pita hasil AFLP.
Berdasarkan hasil dendrogram dengan menggunakan program NTSYS 2.11
diperoleh koefisien kemiripan genetik antar ketiga klon adalah rendah yaitu
sebesar 0.29 yang menunjukkan kekerabatan genetik sebesar 29 %. Garis
filogenetik terbagi menjadi dua kelompok, kelompok 1 terdiri dari klon IRR 104
dan klon RRIM 600, sedangkan kelompok 2 hanya terdiri dari klon PR 300.
Koefisien kesamaan genetik pada kelompok 1 sebesar 0.43 yang menunjukkan
adanya kekekerabatan sebesar 43 % antar kedua klon tersebut. Sebaliknya, di
kelompok 2 yang hanya terdiri dari klon PR 300 yang terpisah dalam kelompok
tersendiri.

Gambar 4 Pohon filogenetik 3 klon karet berdasarkan seluruh pola pita hasil
AFLP

PEMBAHASAN
DNA Karet Hasil Isolasi
Isolasi DNA karet merupakan tahap awal dalam penelitian ini untuk
mendapatkan DNA genom yang selanjutnya akan menjadi DNA cetakan dalam
amplifikasi dengan teknik PCR. DNA karet diisolasi dari daun yang diambil dari
daun pertama pada pucuk. Isolasi DNA memiliki empat prinsip utama, yaitu:
pelisisan dinding sel, pelepasan sel-sel dari jaringan, pemisahan DNA dari
makromolekul lain, dan pemurnian hasil ekstraksi DNA.
Isolasi DNA karet pada penelitian ini menggunakan metode CTAB menurut
Doyle dan Doyle (1988) yang dimodifikasi menggunakan penambahan PVPP
sebagai antioksidan guna mencegah reaksi oksidasi (Dewi 2008). Metode ini
sering digunakan dalam proses isolasi DNA tanaman karena mudah dan dapat
menghasilkan konsentrasi serta kemurnian DNA hasil isolasi yang baik. Metode
isolasi DNA tersebut, menggunakan bufer ekstraksi mengandung CTAB (Cetyl
Trimethyl Ammonium Bromide) yang secara kimiawi akan menghancurkan sel
(Sulandri dan Zei 2003).

10
Menurut Surzycki (2000), bufer ekstraksi CTAB banyak digunakan untuk
tanaman yang mengandung banyak polisakarida untuk mengurangi aktivitas
enzim nuklease yang merupakan enzim pendegradasi DNA (Yuwono 2005).
Larutan EDTA yang terdapat dalam bufer ekstraksi berfungsi untuk mengkelat ion
magnesium yang merupakan kofaktor enzim nuklease (Barnum 2005) sehingga
melindungi asam nukleat dari degradasi (Barnum 2005; Horison et al. 2003). TrisHCl dalam komposisi bufer ekstraksi memiliki peran penting yaitu menjaga
kondisi pH larutan tetap stabil sehingga struktur DNA terjaga selama proses
isolasi (Corkill dan Rapley 2008). Penambahan 2-merkaptoetanol dalam bufer
lisis digunakan untuk mereduksi ikatan disulfida yang terdapat pada sisa-sisa
protein
(Wilson
dan
Walker
2000).
Selanjutnya,
penggunaan
kloroform:isoamilalkohol dalam tahapan proses isolasi dapat melisiskan RNA
(Agustian 2008), menghilangkan protein dan polisakarida lain serta lemak
(Hamzah 2014). Isopropanol dan etanol absolut akan memisahkan DNA dari
garam mineral dan mengendapkannya, sekaligus akan melarutkan sisa
kloroform:isoamilalkohol (Agustian 2008).
Hasil isolasi DNA karet diuji secara kuantitatif dengan menggunakan
spektrofotometer Nanodrop pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm serta
secara kualitatif menggunakan gel elektroforesis agarosa 1 % dengan pewarna
SYBR safe (Gambar 1). DNA hasil isolasi dianggap baik dan murni jika memiliki
rasio Å260/Å280 berkisar 1.8-2.0 (Walker dan Wilson 2000; Yuwono 2005).
Urutan klon karet yang diisolasi DNAnya adalah IRR 104, RRIM 600, dan
PR 300. Berdasarkan hasil yang diperoleh secara kuantitatif (Tabel 1) kemurnian
hasil isolasi DNA karet secara berurutan yaitu 1.97, 2.04, dan 1.78. Nilai
kemurnian yang kurang dari 1.8 menandakan adanya kontaminasi protein dan
polisakarida lainnya dalam DNA hasil isolasi, sedangkan kemurnian hasil isolasi
DNA yang melebihi 2.0 menandakan adanya RNA yang tersisa dari hasil isolasi
(Walker & Wilson 2000). Berdasarkan nilai kemurnian yang diperoleh, DNA
hasil isolasi tetap dapat digunakan sebagai DNA cetakan untuk PCR dengan
AFLP karena proses PCR tetap akan mengamplifikasi DNA cetakan secara
spesifik oleh primer bahkan dengan kemurnian yang cukup rendah (Bintang 2010).
Oleh sebab itu, dengan kemurnian yang diperoleh DNA hasil isolasi ini dapat
digunakan selama proses tahapan AFLP.
Selanjutnya, konsentrasi DNA yang diperoleh secara berurutan yaitu 1024.2,
1259.5, dan 4127.3 ng µL-1. Perbedaan konsentrasi DNA hasil isolasi dapat
disebabkan oleh kontaminan, terbuangnya DNA selama proses isolasi (Henry
2001) dan pemilihan sampel berupa daun muda/daun tua untuk diisolasi. Proses
AFLP ini menggunakan konsentrasi DNA karet yang diencerkan sebesar 250
ng/µL (Zulkifli 2001), namun dalam penelitian yang lainnya dengan konsentrasi
DNA 50 ng/µ L saja AFLP dapat dilakukan (Nurhaimi-Haris et al. 2003). Proses
pengenceran ini dimaksudkan untuk menghasilkan hasil PCR AFLP dengan
ketebalan pita yang sama.
Analisis kualitatif dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa 1%
(Gambar 1) dan pewarna SYBR safe. Menurut Sambrook dan Russel (2001)
pewarna SYBR safe dapat membuat pita DNA hasil isolasi berpendar setelah
dielektroforesis di bawah sinar UV. SYBR safe memiliki nama lain metil benzen
sulfonat, yang dilarutkan dalam dimetilsulfoksida (Evenson et al 2012). Hasil
kualitatif tersebut telah cukup menunjukkan keberadaan DNA genom hasil isolasi

11
karet, walaupun tidak secara utuh karena adanya bayangan pada masing-masing
lajur. Pita tebal yang berada di atas menunjukkan bahwa bobot molekul DNA
genom yang diperoleh cukup besar, sekitar 10 kb (pasang basa). Ukuran yang
cukup besar menyebabkan pada visualisasi DNA hasil isolasi tersebut
menunjukkan pita DNA genom masih berada di atas karena pergerakan
molekulnya yang lebih lambat (Bintang 2010). Bayangan di bawah pita DNA
genom hasil isolasi menunjukkan terjadinya pemotongan/fragmentasi DNA
genom yang terjadi selama proses isolasi (Hamzah 2014).
Produk PCR AFLP DNA Karet
Hasil isolasi DNA kemudian dilakukan proses PCR AFLP dengan tahapan
awal berupa restriksi DNA genom hasil isolasi yang diencerkan terlebih dahulu
menjadi 250 ng/µ L, menggunakan dua enzim restriksi. Kedua enzim tersebut
memiliki perbedaan situs pemotongan dan tingkat kemunculan hasil pemotongan
DNA yang berbeda pula, selanjutnya diberi istilah enzim pemotong sering dan
enzim pemotong jarang. Enzim restriksi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
EcoRI sebagai enzim pemotong jarang dan TruI sebagai enzim pemotong sering.
Enzim TruI yang digunakan merupakan enzim yang mengenali situs pemotongan
basa yang sama dengan enzim MseI, hanya saja suhu optimasi saat proses
pemotongan berlangsung adalah berbeda, yaitu 65oC untuk TruI dan 37oC untuk
MseI. Tujuan dari pemotongan menggunakan enzim restriksi adalah menghasilkan
jumlah optimum fragmen DNA sehingga pola pita AFLP nantinya dapat diskor
dengan baik karena tingkat polimorfisme yang dihasilkan lebih rinci dan tinggi.
Menurut Vulysteke et al. (2007), karena tanaman eukariot memiliki basa
adenin dan timin yang lebih tinggi dibandingkan basa guanin dan sitosin, maka
digunakan enzim EcoRI dan MseI/TruI untuk menghasilkan polimorfisme yang
lebih rinci karena basa adenin dan timin yang dimiliki kedua enzim tersebut lebih
tinggi. EcoRI merupakan enzim pemotong jarang yang mempunyai situs
pengenalan 6 basa (G↓AATTC), sedangkan TruI merupakan enzim pemotong
sering yang mempunyai situs pengenalan 4 basa (T↓TAA) yang dapat memotong
DNA genom tanaman menjadi potongan DNA menjadi berukuran 50-2000 bp
(Saunders JA et al. 2001). Enzim restriksi pemotong sering akan menghasilkan
jumlah situs potongan DNA yang sangat banyak, namun jumlah tersebut akan
dikendalikan dengan situs pemotongan oleh enzim pemotong jarang (Setiawan
2001) sebelum diamplifikasi.
Tahapan AFLP selanjutnya adalah penggabungan DNA hasil pemotongan
tersebut dengan adapter EcoRI dan MseI. Adapter ini berfungsi untuk membentuk
ujung tumpul dari DNA hasil pemotongan yang berujung lancip, serta
memudahkan proses amplifikasi karena adapter ini memiliki situs yang
komplemen terhadap primer AFLP. Vulysteke et al. (2007) menyatakan bahwa
adapter EcoRI mengandung kelebihan basa AATT pada ujung 5’ dan ujung
pemotongan TruI dengan kelebihan basa TA pada ujung 5’ nya. Keberhasilan dari
proses pemotongan dan ligasi dapat dilihat secara visual menggunakan
elektroforesis seperti elektroferogram yang dihasilkan pada Gambar 2,
menunjukkan ukuran bayangan/smear yang dihasilkan sekitar 84 bp hingga 1379
bp.

12
Menurut Vuylsteke et al. (2007) hasil digesti-ligasi ini menjadi cetakan bagi
primer pada proses selanjutnya, yaitu pre-amplifikasi. Tujuan dari proses ini
adalah untuk meningkatkan selektifitas fragmen DNA yang telah direstriksi dan
ligasi sebelumnya Proses pre-amplifikasi menggunakan primer yang
berkomplemen pada fragmen DNA hasil digesti-ligasi dengan tambahan satu
nukleotida selektif pada ujung 3’. Sehingga berdasarkan protokol dari
Gitzendamer (2000), primer pre-amplifikasi yang digunakan adalah EcoR-A dan
Mse-C. Keberhasilan dari proses pemotongan dan ligasi dapat dilihat secara visual
menggunakan elektroforesis yang ditunjukkan pada Gambar 3 memperlihatkan
ukuran bayangan/smear yang dihasilkan memendek dengan ukuran sekitar 300 bp
hingga sekitar 1300 bp. Hasil tersebut sesuai dengan protokol Applied Biosystem
(2010) yang menyatakan bahwa secara visual, hasil elektroferogram pada tahap
pre-amplifikasi berupa pita berbayang dengan rentang ukuran yang lebih pendek
dibandingkan rantang ukuran hasil digesti/ligasi.
Tahap pre-amplifikasi kemudian dilanjutkan dengan tahap amplifikasi
menggunakan 64 primer kombinasi terhadap masing-masing klon tanaman karet.
Hasil amplifikasi tiga klon tanaman karet tersebut divisualisasikan dari hasil
elektroforesis pada gel 6% selama 40 menit di dalam sumur yang masing-masing
berjumlah 96 buah dengan urutan primer untuk masing-masing klon seperti pada
Lampiran 4 dan 5. Hasil elektroforesis dengan menggunakan marka 10 bp
terdapat pada Lampiran 6 dan 7 dengan total pita yang terdeteksi sebanyak 1023
pita yang berkuran variatif antara 1 bp hingga 333 bp. Ukuran yang muncul
berbeda dengan ukuran hasil pre-amplifikasi sebelumnya yang memiliki rentang
bayangan 300 bp – 1000 bp.
Menurut Setiawan (2001) banyaknya DNA yang terpotong sebelum
mengalami digesti menyebabkan banyaknya DNA genom tidak terpotong
sempurna oleh kedua enzim restriksi dan tidak terligasi dengan baik oleh kedua
adapter yang menyebabkan fragmen DNA tidak teramplifikasi dengan baik karena
tidak memiliki situs penempelan primer. Oleh karena itu, DNA hasil isolasi yang
baik sangat penting dalam teknik AFLP ini untuk menghindari pemotongan DNA
yang tidak lengkap dan dapat menyebabkan kesalahan dalam identifikasi pita
polimorfis (Nurhaimi 2006). Kesalahan identifikasi pita menyebabkan tidak
munculnya ukuran pita pada hasil elektroferogram di tahap digesti-ligasi maupun
pre-amplifikasi sebelumnya dan menyebabkan perbedaan ukuran fragmen DNA
pada elektroforegram gel poliakrilamid setelah amplifikasi. Namun, dalam
penelitian ini seluruh pita yang dihasilkan tetap dianggap mewakili karakter
tertentu pada masing-masing klon, maka seluruh pita tetap digunakan dalam
identifikasi keragaman genetik.
Berdasarkan hasil elektroferogram yang diperoleh dan pengolahan data
biner/skoring, pita terbanyak dihasilkan oleh primer MCAT/EAAG pada klon PR
300 dengan jumlah pita sebanyak 24 pita (Lampiran 7, kolom 63). Jumlah pita
paling sedikit yang dihasilkan hanya satu pita saja. Jika dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya, jumlah pita AFLP pada penelitian ini lebih sedikit
dibandingkan jumlah pita AFLP dari penelitian sebelumnya yang bisa mencapai
34-65 pita AFLP (Nurhaimi 2006). Jumlah pita yang sedikit terdeteksi disebabkan
karena pita yang seharusnya dihasilkan belum tampak saat pita lain sudah tampak.
Hal ini dapat disebabkan karena proses pewarnaan menggunkan perak nitrat yang
kurang optimum.

13
Keragaman Genetik Klon Karet
Keragaman genetik merupakan variasi genetik yang tejadi dalam suatu
spesies, khususnya, yang disebabkan oleh berbagai macam faktor. Berbagai
macam variasi genetik pada tanaman khususnya, banyak dikembangkan guna
menghasilkan tanaman unggul. Salah satunya di Indonesia adalah tanaman karet,
khususnya dari Hevea brasillensis dengan berbagai macam klon telah dihasilkan
sejak tahun 1864 (Setiawan dan Agus 2008). Tiga klon yang digunakan dalam
penelitian yaitu IRR 104, RRIM 600, dan PR 300 adalah contoh dari klon yang
dikembangkan di Indonesia.
Klon pertama adalah IRR 104 (Indonesian Rubber Research) merupakan
klon karet ungul anjuran asal Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian (2005) . Klon ini berasal dari tetua BPM 101 dengan RRIC 110 (Nancy
2007). Klon RRIC (Rubber Research Ceylon) sendiri merupakan klon asal
Srilangka, dan BPM (Balai Penelitian Medan) merupakan klon asal Indonesia.
Klon kedua adalah RRIM 600 yang berasal dari Malaysia hasil persilangan TJIR 1
(Tjirandji 1) asal Indonesia dengan PB 86 (Prang Besar 86) asal Malaysia
(Situmorang et al. 2012; Priyadarshan 2011). Berikutnya klon ketiga adalah klon
PR 300 asal Indonesia yang berasal dari persilangan PR 226 dan PR 228 yang
keduanya juga berasal dari Indonesia. Ketiga klon tersebut merupakan klon
penghasil lateks (Rachmawan et al. 2006).
DNA hasil isolasi yang telah diamplifikasi menggunakan teknik AFLP
berupa hasil elektroforesis sebelumnya (Lampiran 6 dan 7) diubah dalam bentuk
data biner untuk dikonstruksi menjadi pohon filogenetik, atau biasa disebut
dengan tahapan skoring, sehingga diperoleh tingkat keragaman genetik antar
ketiga klon yang digunakan. Penyusunan dilakukan berdasarkan kesamaan pola
pita hasil AFLP, dengan bobot molekul hasil pita pada masing-masing primer
digunakan sebagai parameter pembeda antar klon. Jika terdapat pita yang muncul
pada posisi bobot molekul tertentu maka diberi nilai 1 dan jika tidak muncul maka
diberi nilai 0 (Sari 2007 dalam Wibowo 2010). Melalui program NTSYS 2.11
dengan menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair Grup Method
Arithmatic Mean) hasil biner ini dapat digunakan untuk konstruksi dendrogram
/pohon filogenetik tiga klon tanaman karet.
Pita DNA AFLP yang diperoleh dikonstruksi menjadi dendrogram untuk
mengetahui tingkat kemiripan genetik tiga klon karet yaitu IRR 104, RRIM 600,
dan PR 300 seperti pada Gambar 4. Diperoleh hasil bahwa ketiga klon masuk
dalam satu kelompok yang menunjukkan kekerabatan secara fenotipe menurut
Priyadarshan (2011) sebagai klon unggul penghasil lateks. Selanjutnya garis
kekerabatan pada dendrogram terpisah menjadi dua kelompok. Pengelompokan
ini terjadi berdasarkan atas klon tetua asal yang dimiliki masing-masing klon.
Perbedaan asal tetua dari masing-masing klon juga dapat menyebabkan
keragaman genetik, karena lingkungan tempat tumbuh terutama jika lingkungan
tersebut diketahui sangat berbeda secara geografisnya dapat mempengaruhi
variasi genetik yang akan mengekspresikan variasi secara fenotipenya (Agustian
2008).

14

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Teknik AFLP berhasil mengidentifikasi keragaman genetik tiga klon karet
dari perkebunan balai Biotek-BPPT, Puspiptek-Serpong berdasarkan banyaknya
pita polimorfis yang muncul dan tingkat kesamaan genetik yang dihasilkan.
Identifikasi keragaman genetik dari tiga klon karet yaitu, IRR 104, RRIM 600,
dan PR 300 menggunakan teknik AFLP dengan 64 pasang primer menghasilkan
1023 pita AFLP dengan ukuran pita yang bervariasi antara 1 bp-333 bp yang
bersifat polimorfis. Tingkat kesamaan genetik ketiga klon karet tersebut sebesar
23%, dan terbagi dua kelompok dengan tingkat kesamaan genetik pada puncak
pohon filogenetik yang diperoleh antara IRR 104 dan RRIM 600 adalah 43%.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan primer dan klon
yang lain untuk hasil yang lebih spesifik dan beragam dalam penentuan
keragaman antar klon tanaman karet unggulan yang ada di Indonesia. Seleksi
marka lanjutan dan proses sekuensing juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi
pita spesifik dan unik yang dapat digunakan sebagai sidik jari dari klon tanaman
karet unggul setelah diperoleh keragaman genetik antar klon karet yang diuji.

DAFTAR PUSTAKA
Agustian A. 2008. Karakterisasi variasi genetik Jatropha curcas L. dengan
menggunakan marka molekuler Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP) [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Anwar C. 2001. Manajemen dan Budidaya Karet. Medan (ID): Pusat Penelitian
Karet
Barnum SR. 2005. Biotechnology an Introduction. 2nd Ed. US: Brooks-Cole.
Corkill G, Rapley R. 2008. The manipulation of nucleic acids: basic tools and
techniques. In: Molecular Biomethods Handbook Second Edition. US: Human
Press.
Damayanti D. 2012. Analisis keragaman genetik temulawak (Curcuma xanthoriza
Roxb.) menggunakan penanda Amplified Fragment Length polymorphism
(AFLP) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Dewi K P.2008. Identifikasi keragaman genetik jarak pagar (Jatropha curcas L.)
berdasarkan karakter bunga dan dna menggunakan teknik Amplified Fragment
Length Polymorphism (AFLP) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Doyle JJ, Doyle JL. 1988. Isolation of plant DNA from fresh tissu. Focus 12: 1315
Evenson WE, Boden LM, Muzikar KA, O’Leary DJ. 2012. 1H and 13C NMR
assignments for the cyanine dyes SYBR safe and Thiazole Orange. J. Org
Chem 77 (23): 10967-10971

15
Gitzendanner M. 2000. AFLP protocols. Massachusets (US). Applied Biosystems
[internet].
[diacu:
2013
Dec
21].
Tersedia
pada:
http://docs.appliedbiosystems.com/pebiodocs/00100509.pdf
Hamzah P. 2014. Evaluasi marka Simple Sequence Repeat (SSR) untuk
identifikasi genotip klon karet (Hevea brasiliensis) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Haris N, Hajrial A, Nurita TM, Agus P. 2003. Kemiripan genetik klon karet
(Hevea brasiliensis Muell Arg.) berdasarkan metode Amplified Fragment
Legth Polymorphism (AFLP). Menara Perkebunan. 71(1):1-15
Harni R. 2013. Penyakit gugur daun Odium pada tanaman karet.. Sukabumi (ID):
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar [internet]. [diacu 2013 Des
27]. Tersedia pada: http://balittri.litbang.deptan.go.id/index.php/component/
content/article/49-infotekno/175-penyakit-gugur-daun-oidium-pada-tana mankaret
Horison C, Rustikawati, Eliyanti. 2003. Penentuan protokol yang tepat untuk
menyiapkan DNA genom cabai. J. Akta Agrosia. 6(2): 38-43.
Invitrogen. 2003. AFLP® Analysis system I, AFLP® starter kit [protokol].
California (US): Life Technologies.
Saunders JA, Mitschke S, Hemetda AA. 2001. The use of AFLP techniques for
DNA fingerprinting in plants [application information]. California (US):
Beckman Coulter
Lespinasse D, Rodier-Goud M, Grivet L, Leconte A, Legnate H, Seguin M. 2000
A saturated genetic linkage map of rubber tree (Hevea spp) based on RFLP,
AFLP, microsatellite and isozyme markers. Ther Appl Genet 100: 127–138
Lodhi MA, Ye GN, Weeden NF, Reisch BI. 1994. A simple methode for DNA
extraction from grapevine cultivars and vitis species. Plant Mol. Biol. Rep.
12:6-13.
Mathius T, Lizawati, H. Aswidinoor, I Boerhendy. 2002. Pengaruh batang bawah
terhadap pola pita isoenzim dan protein batang atas pada okulasi tanaman karet
(Hevea brasiliensis Muell Arg.). Menara Perkebunan 70: 20-34
Mba C, Tohme J. 2005. Use of AFLP markas in surveys of plant diversity.
Methods enzymol. 395:177-201
Mueller UG, Wolfenbarger LL. 1999. AFLP genotyping and fingerprinting. Els
Sci 14:389-394
Mulsanti IW. 2010. Identifikasi dan evaluasi kemurnian genetik benih padi
hibrida menggunakan mikrosatelit [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Nancy C. 2007. Klon karet unggul untuk 2006-2010. Sinar Tani Ed: 28 Maret-3
April 2007.
Nagy S, Poczai P, Cernak I, Gorji AM, Hegedus G, Taller J. 2012. PICcalc: an
online program to calculate polymorphic information content for molecular
genetic studies. Biochem Genet. 50:670-672
Nurhaimi-Haris, Aswidinnoor H, Toruan-Mathius N, Purwantara A. 2003.
Kemiripan genetik klon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) berdasarkan
metode Amplified Fragment Length Poymorphisms (AFLP). Menara
Perkebunan. 71(1):1-15.
Priyadarshan PM. 2011. Biology of Hevea rubber. India: Rubber Research Institut
of India.

16
Rachmawan A, Anas A, Woelan S. 2006. Karakteristik sifat lateks dan kayu klonklon karet anjuran [prosiding]. Lokakarya Nasional Budidaya Tanaman Karet;
2006 Sep 4-6; Medan. Medan (ID): Balai Penelitian Sungei Putih
Sambrook J, Russel DW. 2001. Molecular clonning: a laboratory manual. 3rd ed.
New York (US): CSHL Press.
Setiawan A. 2001. Pemetaan marker AFLP untuk membuat peta genetik bit gula.
Bul. Agron. 29 (2): 40-49
Setiawan DH, Agus A. 2008. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. Jakarta (ID):
Agromedia Pustaka
Sudjarmoko B. 2013. Peran strategis industri benih dalam geakan nasional
peningkatan produktivitas karet di Indonesia. Sukabumi (ID): Balai Penelitian
Tanaman Industri dan Penyegar [internet]. [diacu 2013 Des 27]. Tersedia pada:
http://balittri.litbang.deptan.go.id/index.php/component/content/article/49-info
tekno/166-peran-strategis-industri-benih-dalam-gerakan-nasional-peningkatanproduktivitas-karet-di-indonesia
Sulandri S, Zein MSA. 2003. Panduan praktis laboratorium DNA bidang zoologi.
Bogor (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Surzycki SJ. 2000. Basic techniques in molecular biology. Springer-Verlag ISBN
3-540-66678-8
Vulysteke M, Peleman JD, van Eijk MJT. 2007. AFLP-based transcript profiling
(cDNA-AFLP) for genome-wide expression analysis. Nature Protocols 2:
1399-1413
Walker JM, Wilson K. 2000. Principles and techniwques of practica biochemistry.
Cambridge (GB): Cambridge University Press.
Wibowo IY. 2010. Analisis keragaman genetik tanaman karet hasil persilangan
antara RRIM 600 dan PN 1546 dengan menggunakan teknik RAPD [skripsi].
Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Woelan S, R. Tistama, Aidi D. 2007. Determinasi keragaman genetik hasil
persilangan interpopulasi berdasarkan karakteristik morfologi dan teknik
RAPD. J. Penelitian Karet 25(1):13-27.
Yuwono T. 2005. Teori dan Aplikasi Polymerasi Chain Reaction. Yogyakarta
(ID): Andi
Zulkifli L. 2001. Analisis pembeda klon karet tahan dan rentan penyakit gugur
daun corynespora serta anaisis keragaman genetik dengan AFLP dan RAPD
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

17
LAMPIRAN
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Isolasi DNA genom 3 klon karet
metode CTAB Doyle & Doyle

Uji kuantitatif dan kualitatif
DNA hasil isolasi

PCR AFLP (digesti-ligasi)

PCR AFLP (pre-amplifikasi)

PCR AFLP (amplifikasi)

Elektroforesis gel poliakrilamid 6%

Skoring profil pita AFLP

Identifikasi Keragaman Genetik
(dendrogram)

18
Lampiran 2 Prinsip teknik Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)
berdasarkan teori Saunders JA, Mitschke S, dan Hemetda AA
(2001)

19
Lampiran 3 Pasangan Primer AFLP
Primer
E-ACT
E-ACA
E-AAC
E-ACC
E-AGC
E-AAG
E-ACG
E-AGG

M-CTG
E-ACT/
M-CTG
E-ACA/
M-CTG
E-AAC/
M-CTG
E-ACC/
M-CTG
E-AGC/
M-CTG
E-AAG/
M-CTG
E-ACG/
M-CTG
E-AGG/
M-CTG

M-CAA
E-ACT/
M-CAA
E-ACA/
M-CAA
E-AAC/
M-CAA
E-ACC/
M-CAA
E-AGC/
M-CAA
E-AAG/
M-CAA
E-ACG/
M-CAA
E-AGG/
M-CAA

M-CTA
E-ACT/
M-CTA
E-ACA/
M-CTA
E-AAC/
M-CTA
E-ACC/
M-CTA
E-AGC/
M-CTA
E-AAG/
M-CTA
E-ACG/
M-CTA
E-AGG/
M-CTA

M-CTC
E-ACT/
M-CTC
E-ACA/
M-CTC
E-AAC/
M-CTC
E-ACC/
M-CTC
E-AGC/
M-CTC
E-AAG/
M-CTC
E-ACG/
M-CTC
E-AGG/
M-CTC

M-CTT
E-ACT/
M-CTT
E-ACA/
M-CTT
E-AAC/
M-CTT
E-ACC/
M-CTT
E-AGC/
M-CTT
E-AAG/
M-CTT
E-ACG/
M-CTT
E-AGG/
M-CTT

M-CAT
E-ACT/
M-CAT
E-ACA/
M-CAT
E-AAC/
M-CAT
E-ACC/
M-CAT
E-AGC/
M-CAT
E-AAG/
M-CAT
E-ACG/
M-CAT
E-AGG/
M-CAT

M-CAG
E-ACT/
M-CAG
E-ACA/
M-CAG
E-AAC/
M-CAG
E-ACC/
M-CAG
E-AGC/
M-CAG
E-AAG/
M-CAG
E-ACG/
M-CAG
E-AGG/
M-CAG

M-GAC
E-ACT/
M-GAC
E-ACA/
M-GAC
E-AAC/
M-GAC
E-ACC/
M-GAC
E-AGC/
M-GAC
E-AAG/
M-GAC
E-ACG/
M-GAC
E-AGG/
M-GAC

20
Lampiran 4 Urutan primer pada gel poliakrilamid 1.
No
1
2

Primer
E-AAC
E-ACT

33
34

3
4
5
6
7

E-ACA
E-ACC
E-ACG
E-AAG
E-AGC

8

Primer

Primer

65
66

35
36
37
38
39

E-ACC
E-ACG
E-AAC
E-AAG
E-AGC

67
68
69
70
71

E-ACA
E-AAC
A-AGG
E-ACC
E-AGC

E-AGG

40

E-A

Dokumen yang terkait

Identifikasi Keragaman Genetik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Berdasarkan Karakter Bunga dan DNA Menggunakan Teknik Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

1 6 120

Genetic Diversity of Artemisia annua L. and Artemisia vulgaris L. Based on Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) and Morphological Traits

0 10 129

Genetic Variation Analysis of Curcuma xanthorrhiza Roxb. by Using Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) Marker

0 6 64

Keragaman genetik pisang musa balbisiana colla di indonesia menggunakan penanda Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 21 116

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

2 14 49

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 1 13

Karakterisasi Molekuler pada Serangga Elaedobius kamerunicus Faust.(Coleoptera : Curculionidae) Asal Sumatera Utara Menggunakan Metode Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 1 2

Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Menggunakan Penanda Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 0 8

KARAKTERISTIK GENETIK Kappaphycus alvarezii SEHAT DAN TERINFEKSI PENYAKIT ICE-ICE DENGAN METODE Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

0 0 10

Phylogenetic Analysis of Rubber Tree Clones using AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) Marker

0 0 12