Prosedur Kerja METODE PENELITIAN

31 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penetapan Panjang Gelombang Analisis Pada penelitian ini, pemilihan panjang gelombang analisis dilakukan menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis. Senyawa aktif EPMS pada konsentrasi 5,05 µgmL diukur pada panjang gelombang 200 hingga 400 nm, dimana senyawa EPMS memiliki gugus kromofor di dalam molekulnya sehingga dapat diperoleh spektrum serapannya. Spektrum serapan yang dihasilkan menunjukkan bahwa EPMS berada panjang gelombang sinar UV yaitu 308 nm. Sehingga didapatkan panjang gelombang maksimum untuk analisis yaitu 308 nm. Hal ini sesuai dengan literatur, dimana analisis EPMS dideteksi pada panjang gelombang 308 nm Salkar,2014. Pemilihan panjang gelombang analisis ini berguna untuk meningkatkan selektivitas dan sensitifitas analisis dari sampel yang digunakan. Data spektrum serapan senyawa zat aktif EPMS dapat dilihat pada Gambar 4.1 dibawah ini. Gambar 4.1 Spektrum serapan panjang gelombang maksimum EPMS konsentrasi 5,05 µgmL pada spektrofotometer UV-Vis 32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.2 Optimasi Kondisi Analisis 4.2.1 Pemilihan Komposisi Fase Gerak Analisis EPMS dalam plasma secara in vitro menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi dilakukan pada kondisi optimum dengan laju alir 1 mLmenit, panjang gelombang analisis 308 nm, volume penyuntikan 20 µL dan menggunakan kolom Acclaim® C18 150 mm. Sistem kromatografi yang digunakan adalah sistem isokratik dengan komposisi fase gerak metanol dan air dalam berbagai perbandingan. Fase gerak tersebut bersifat polar sehingga dapat memisahkan senyawa EPMS yang memiliki molekul-molekul bersifat polar. Komposisi fase gerak sebagai kondisi awal yang digunakan adalah metanol 100. Pada fase gerak metanol 100 diperoleh kromatogram senyawa EPMS yang memiliki waktu retensi tR 2,077 menit. Kemudian komposisi fase gerak diubah dengan penambahan air dalam perbandingan metanol-air 80:20 vv; 70:30 vv dan 60:40 vv. Dimana pada komposisi fase gerak tersebut menghasilkan waktu retensi secara berurutan yaitu tR 3,393 menit, 6,440 menit dan 10,037 menit. Pengubahan fase gerak metanol 100 dengan penambahan air pada komposisi fase gerak dilakukan untuk menghasilkan puncak EPMS pada waktu retensi diatas menit kedua, karena pengotor dalam plasma umumnya muncul pada menit kedua sehingga nantinya dapat mengganggu puncak dari senyawa EPMS. Metode yang dipilih adalah pada kondisi metanol-air 60:40 vv, dikarenakan tidak ada puncak pengganggu pada waktu retensi EPMS yang dapat dilihat dari kromatogram plasma blangko dan kemungkinan memiliki daya pisah yang baik antara senyawa aktif EPMS dengan pengotor pada plasma. Dalam hasil percobaan, komposisi fase gerak tersebut memberikan luas puncak yang lebih besar yaitu 21,4820 dan jumlah lempeng teoritis N yang lebih besar yaitu 245 2500, nilai HETP yang diperoleh lebih kecil yaitu 0,6122 dan asimetrisitas yang baik yaitu 1,86 2,5. Data dapat dilihat pada tabel 4.1 dan data kromatogram hasil analisis tercantum dalam Gambar 4.2-4.5 dibawah ini. 33 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 4.1 Hasil penetapan komposisi fase gerak pada konsentrasi 10,1 µgmL, kecepatan alir 1 mLmenit, panjang gelombang 308 nm, dan volume penyuntikan 20 µL. Fase gerak vv TR menit Luas puncak mAU N HETP Asimetrisitas Metanol 2,077 23,4096 165 0,9090 1,52 Metanol-Air 80:20 3,393 22,7340 86 1,7442 0,98 Metanol-Air 70:30 6,440 20,4664 129 1,1628 2,16 Metanol-Air 60:40 10,037 21,4820 245 0,6122 1,86 Gambar 4.2 Kromatogram EPMS murni pada konsentrasi 10,1 µgmL dengan fase gerak metanol 100, kecepatan alir 1 mLmenit, panjang gelombang 308 nm dan volume penyuntikan 20 µL. Gambar 4.3 Kromatogram EPMS murni pada konsentrasi 10,1 µgmL dengan komposisi fase gerak metanol-air 80:20 vv, kecepatan alir 1 mLmenit, panjang gelombang 308 nm dan volume penyuntikan 20 µL. Gambar 4.4 Kromatogram EPMS murni pada konsentrasi 10,1 µgmL dengan komposisi fase gerak metanol-air 70:30 vv, kecepatan alir 1 mLmenit, panjang gelombang 308 nm dan volume penyuntikan 20 µL. Gambar 4.5 Kromatogram EPMS murni pada konsentrasi 10,1 µgmL dengan komposisi fase gerak metanol-air 60:40 vv, kecepatan alir 1 mLmenit, panjang gelombang 308 nm dan volume penyuntikan 20 µL. 34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.2.2 Uji Kesesuaian Sistem Sebelum metode analisis yang terpilih akan digunakan perlu dilakukan uji kesesuaian sistem. Dimana uji kesesuaian sistem ini dilakukan untuk memastikan bahwa sistem dan prosedur yang digunakan harus mampu memberikan data yang dapat diterima. Dalam uji kesesuaian sistem terdapat beberapa parameter-parameter, yaitu plat teoritis N dengan syarat 2500, asimetrisitas dengan syarat 2,5 dan syarat utama yaitu nilai koefesien variasi luas puncak dengan syarat RSD 2 dari pengulangan injeksi. Suatu metode dapat diterima apabila dari uji kesesuaian sistem terdapat minimal dua parameter yang memenuhi persyaratan Gandjar Rohman., 2007. Dari hasil analisis 5 kali penyuntikan, didapatkan luas puncak dari zat aktif EPMS. Nilai koefesien variasi yang diperoleh dari luas puncak adalah sebesar 1,2491 dan nilai koefesien variasi yang diperoleh dari waktu retensi adalah sebesar 0,8924 . Uji kesesuaian sistem yang telah dilakukan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan, kecuali pada parameter plat teoritis N. Keefesienan kolom dapat dilihat beberapa diantaranya pada nilai bilangan plat teoritis, HETP dan asimetrisitas. Dari data yang diperoleh plat teoritis yang dihasilkan tidak memenuhi persyaratan hal ini menunjukkan bahwa kondisi kolom yang digunakan kurang baik. Data dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan data selengkapnya tercantum dalam Lampiran 2 Tabel 5.1. Tabel 4.2 Hasil uji rata-rata kesesuaian sistem EPMS pada konsentrasi 10,1 µgmL dengan komposisi fase gerak metanol-air 60:40 vv pada kecepatan alir 1 mlmenit, panjang gelombang 308 nm dan volume penyuntikan 20 µL. Parameter Syarat Hasil yang diperoleh Kesimpulan RSD waktu retensi 2 0,8924 √ RSD Luas puncak 2 1,2491 √ Lempeng Teoritis N 2500 153 X Asimetrisitas 2,5 0,934 √ 4.2.3 Penetapan Metode Ekstraksi Metode ektraksi yang dilakukan bertujuan untuk memisahkan EPMS dari gangguan yang terdapat didalam plasma seperti protein dan senyawa endogen lainnya. Metode ekstraksi EPMS dalam plasma dilakukan dengan 35 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cara pengendapan protein menggunakan pelarut organik untuk mendenaturasi dan mengendapkan protein. Pelarut organik akan mengendapkan protein bedasarkan prinsip polaritas dan menurunkan solubilitas protein. Penambahan volume pelarut organik perlu dioptimasi agar EPMS terekstraksi dengan baik. Didalam prosedur penetapan metode ekstraksi adanya perlakuan vortex adalah untuk mencampurkan plasma yang telah ditambahkan dengan pelarut organik dan perlakuan sentrifugasi bertujuan untuk memisahkan pelarut pengestrak dengan protein-protein plasma setelah pengocokan. Pelarut organik yang digunakan adalah metanol dengan perbandingan metanol dalam plasma 1:1 dan 4:1. Setelah dilakukan pengamatan, dari dua perbandingan tersebut, tidak ada puncak pengotor protein yang mengganggu pada waktu retensi EPMS yang dilihat dari kromatogram blangko plasma. Gambar dapat dilihat pada Gambar 4.6 dan 4.8. Kemudian dilakukan pengamatan pada kromatogram plasma yang mengandung EPMS dengan melakukan metode ekstraksi yang sama. Data hasil analisis menunjukkan bahwa komposisi metanol sebanyak 4 kali bagian plasma merupakan metode pengendapan protein yang baik, dikarenakan menghasilkan asimetrisitas yang baik dan nilai resolusi yang paling besar sehingga dapat memisahkan puncak pengotor plasma dengan EPMS jika dibandingkan dengan perbandingan komposisi metanol sebanyak 1 kali bagian plasma. Data dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.7 dan 4.9. Tabel 4.3 Hasil optimasi pengendapan protein plasma Perbandingan Pelarut Metanol dengan plasma Luas puncak mAu N Resolusi Asimetrisitas 1:1 3,8328 442 0,96 1,67 4:1 3,4680 235 5,45 1,07 36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.3 Validasi Metode Analisis EPMS dalam Plasma In Vitro 4.3.1 Pengukuran Limit Kuantitasi Terendah LLOQ Validasi diawali dengan pengukuran batas kuantitasi LOQ dan batas kuantitasi terendah LLOQ. Rentang konsentrasi dalam plasma yang digunakan adalah 5,05-40,4 µgmL. Dari rentang konsentrasi tersebut didapatkan persamaan regresi linear Y=0,4215x-0,4924. Kemudian dihitung nilai LOQ, nilai LOQ yang diperoleh adalah 5,3767 µgmL. data perhitungan dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 3 Tabel 5.2. Kemudian dihitung nilai LLOQ dengan melakukan pengenceran konsentrasi LOQ menjadi Gambar 4.6 Kromatogram blangko plasma pada perbandingan metanol dalam plasma 1:1 dengan fase gerak metanol-air 60:40vv, kecepatan alir 1 mLmenit, panjang gelombang 308 nm dan volume penyuntikan 20 µL. Gambar 4.8 Kromatogram blangko plasma pada perbandingan metanol dalam plasma 4:1 dengan fase gerak metanol-air 60:40vv, kecepatan alir 1 mLmenit, panjang gelombang 308 nm dan volume penyuntikan 20 µL. Keterangan: A. Pengotor plasma dan B. EPMS Gambar 4.9 Kromatogram EPMS pada perbandingan metanol dalam plasma 4:1 dengan fase gerak metanol-air 60:40vv, kecepatan alir 1 mLmenit, panjang gelombang 308 nm dan volume penyuntikan 20 µL. Keterangan: A. Pengotor plasma dan B. EPMS Gambar 4.7 Kromatogram EPMS pada perbandingan metanol dalam plasma 1:1 dengan fase gerak metanol-air 60:40vv, kecepatan alir 1 mLmenit, panjang gelombang 308 nm dan volume penyuntikan 20 µL. A B A B