Validasi Metode Analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam Plasma secara In Vitro menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Validasi Metode Analisis N-(hidroksietil)-

p

-metoksi

sinamamida dalam Plasma secara

In Vitro

menggunakan

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

SKRIPSI

Farmasi

ELSA RAHMI

1112102000034

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2016


(2)

i

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Validasi Metode Analisis N-(hidroksietil)-

p

-metoksi

sinamamida dalam Plasma secara

In Vitro

menggunakan

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ELSA RAHMI

1112102000034

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2016


(3)

(4)

(5)

(6)

v ABSTRAK

Nama : Elsa Rahmi NIM : 1112102000034 Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Validasi Metode Analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam Plasma secara In Vitro menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).

N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida merupakan senyawa hasil modifikasi etil

p-metoksisinamat melalui reaksi amidasi dengan menggunakan etanolamin. Substitusi gugus ester pada etil p-metoksisinamat menjadi bentuk amida terbukti meningkatkan aktifitas antiinflamasi. Kadar N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida perlu diukur dan dipantau, sehingga keamanan, dosis dan efikasi dari penggunaan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida sebagai agen antiinflamasi dapat dipastikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh kondisi optimum dan metode bioanalisis yang tervalidasi untuk analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma secara in vitro menggunakan KCKT dengan

Diode Array Detector (DAD). N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida diekstraksi dari plasma dengan metode pengendapan protein menggunakan metanol. Metanol ditambahkan ke dalam plasma dengan perbandingan metanol-plasma 4:1 kemudian divortex selama 20 detik dan disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Sistem kromatografi terdiri dari kolom Dionex C18 (150 x 4,6 mm, 3 µm) dengan fase gerak metanol-akuabides perbandingan 40:60 dengan laju alir 1,0 mL/menit. Senyawa dideteksi pada panjang gelombang 290 nm. Pada rentang konsentrasi 5,04 − 40,32 µL dihasilkan kurva kalibrasi yang linier dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,9962. Nilai akurasi (% diff) dari metode ini berada diantara -1,813% sampai 11,954% dengan nilai presisi (KV) antara 0,439% sampai 3,895% dan uji perolehan kembali antara 98,187% sampai 111,954%.

Kata kunci: Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida, pengendapan protein plasma, validasi metode.


(7)

ABSTRACT

Name : Elsa Rahmi Study Program : Farmasi

Title : Validation of Analytical Method of N-(hydroxyethyl)-p -methoxycinnamamide in Plasma In Vitro by High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

N-(hydroxyethyl)-p-methoxycinnamamide is a modified compound of ethyl p

methoxycinnamate (EPMC) through amidation reaction using ethanolamine. Substitution of the ester of EPMC to amide can increase the anti-inflammatory activity. The level of N-(hydroxyethyl)-p-methoxycinnamamide in the plasma needs to be quantified and monitored so that the safety, dosage, and efficacy of the use of N-(hydroxyethyl)-p-methoxycinnamamide as an anti-inflammatory agent can be ascertained. The aim of this study was to obtain the optimum conditions and validates methods for analysis of N-(hydroxyethyl)-p -methoxycinnamamide in plasma in vitro using HPLC with Diode Array Detector

(DAD). N-(hydroxyethyl)-p-methoxycinnamamide was extracted from plasma by protein deproteination using methanol. Chromatographic system consisted of a Dionex C18 column (150 x 4,6 mm, 3 µm) with an isocratic mobile phase of the methanol-aquabidest ratio of 40:60 with a flow rate of 1,0 mL/min. Samples were detected at a wavelength of 290 nm. Linearity was established for range concentration of 5,04 − 40,32 µL with a correlation coefficient (r) of 0,9962. Accuracy (% diff) of this method is between -1,813% to 11,954% with precision (CV) between 0,439% to 3,895% and test recovery between 98,187% to 111,954%.

Keyword: High Performance Liquid Chromatography, method validation, N-(hydroxyethyl)-p-metoxycinnamamide, plasma protein deproteination.


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia serta nikmat iman dan islam yang tak terhingga, Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur atas limpahan nikmat dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang

berjudul “Validasi Metode Analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam

Plasma secara In Vitro menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).” bertujuan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada penyelesaian penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mengarahkan, yaitu kepada :

1. Kedua orang tua, ibunda tersayang Elmi dan ayahanda Guslimar, yang selalu memberikan kasih sayang, doa yang tak pernah putus, semangat serta dukungan baik moril dan materil.

2. Bapak Supandi, M.Si.,Apt selaku pembimbing I dan Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt selaku pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta dengan sabar membimbing dan memberikan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr.Nurmeilis, M.si.,Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu/Bapak Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh pendidikan.

6. Kakak-kakak laboran: Mbak Rani, Kak Eris, Kak Anis, Kak Walid, Kak Yaenab, Kak Lisna, Mbak Ai, Kak Rahmadi, dan Kak Tiwi, yang telah selalu


(9)

(10)

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4.Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida ... 4

2.2 Plasma ... 5

2.3. Analisis Obat dalam Plasma ... 6

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 8

2.4.1 Teori Dasar KCKT ... 8

2.4.2 Instrumentasi ... 10

2.4.2.1 Wadah Fase Gerak pada KCKT ... 10

2.4.2.2 Fase Gerak pada KCKT ... 11

2.4.2.3 Pompa pada KCKT ... 11

2.4.2.4 Penyuntikan Sampel pada KCKT ... 11

2.4.2.5 Kolom pada KCKT ... 12

2.4.2.6 Fase Diam pada KCKT ... 12

2.4.2.7 Detektor ... 13

2.4.2.8 Komputer, Integrator, atau Rekorder ... 15

2.5 Uji Kesesuaian Sistem ... 15

2.6 Validasi Metode Analisis ... 16

2.6.1 Tipe dan Tingkatan Validasi ... 17

2.6.1.1Validasi Lengkap ... 17

2.6.1.2Validasi Parsial ... 17

2.6.1.3Validasi Silang ... 18

2.6.2 Pengembangan Metode Bioanalisis ... 18

2.6.2.1Selektivitas ... 19


(12)

xi

2.6.2.3Batas Deteksi ... 20

2.6.2.4Batas Kuantifikasi ... 20

2.6.2.5Akurasi ... 21

2.6.2.6 Presisi ... 21

2.6.2.7 Perolehan Kembali ... 22

2.6.2.8Stabilitas ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

3.2 Alat dan Bahan ... 25

3.2.1 Alat ... 25

3.2.2 Bahan ... 25

3.3 Prosedur Kerja ... 26

3.3.1 Pembuatan Larutan Induk N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida konsentrasi 1000 µg/mL ... 26

3.3.2 Pembuatan Fase Gerak ... 26

3.3.3 Penentapan Panjang Gelombang Analisis ... 26

3.3.4 Optimasi Kondisi Analisis ... 27

3.3.4.1 Pemilihan Komposisi Fase Gerak ... 27

3.3.5 Uji Kesesuaian Sistem ... 27

3.3.6 Penetapan Metode Ekstraksi ... 27

3.3.7 Validasi Metode Bioanalisis N-(hidroksietil)-p -metoksi sinamamida dalam Plasma secara in vitro ... 28

3.3.7.1 Pengukuran Batas Kuantitasi Terendah (LLOQ) ... 28

3.3.7.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Uji Linearitas dalam Plasma secara in vitro ... 28

3.3.7.3 Uji Selektivitas ... 29

3.3.7.4 Uji Akurasi, Presisi dan Perolehan Kembali .. 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Penetapan Panjang Gelombang Analisis ... 31

4.2 Optimasi Kondisi analisis ... 31

4.2.1 Pemilihan Komposisi Fase Gerak ... 31

4.3 Uji Kesesuaian Sistem ... 34

4.4 Penetapan Metode Ekstraksi ... 36

4.5 Validasi Metode Analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam Plasma secara In Vitro ... 38

4.5.1 Pengukuran Batas Kuantifikasi Terendah(LLOQ) ... 38

4.5.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Uji Linieritas dalam Plasma secara In Vitro... 38

4.5.3 Uji Selektivitas ... 39


(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Komposisi Fase Gerak ... 26 Tabel 4.1 Data hubungan antara waktu retensi, jumlah lempeng teoritis

dan asimetrisitas terhadap perubahan komposisi fase gerak ... 34 Tabel 4.2 Hasil uji rata-rata kesesuaian sistem ... 35 Tabel 4.3 Hasil optimasi metode ekstraksi N-(hidroksietil)-p-metoksi

sinamamida dalam plasma ... 37 Tabel 4.4 Hasil uji akurasi, presisi dan perolehan kembali hari ke-1 ... 41 Tabel 5.1 Data hasil uji kesesuaian sistem ... 50 Tabel 5.2 Data pengukuran kurva kalibrasi N-(hidroksietil)-p-metoksi

sinamamida dalam plasma untuk penentuan LLOQ ... 51 Tabel 5.3 Data kurva kalibrasi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida

dalam plasma ... 52 Tabel 5.4 Data uji selektivitas N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida

dalam plasma ... 54 Tabel 5.5 Data uji akurasi, perolehan kembali (%recovery), dan presisi

N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma, Hari ke-1 ... 55 Tabel 5.6 Data uji akurasi, perolehan kembali (%recovery), dan presisi

N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma, Hari ke-2 ... 55 Tabel 5.7 Rumus-Rumus ... 56


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur kimia N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida ... 4

Gambar 2.2 Diagram Alat dan Komponen KCKT ... 10

Gambar 4.1 Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida menggunakan fase gerak metanol 100% ... 32

Gambar 4.2 Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida menggunakan fase gerak metanol : akubides (70:30) ... 32

Gambar 4.3 Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida menggunakan fase gerak metanol : akuabides (60:40) ... 32

Gambar 4.4 Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida menggunakan fase gerak metanol : akuabides (40:60) ... 33

Gambar 4.5 Kromatogram plasma blangko dengan perbandingan metanol - plasma (1:1) ... 37

Gambar 4.6 Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan perbandingan metanol - plasma (1:1) ... 37

Gambar 4.7 Kromatogram plasma blangko dengan perbandingan metanol - plasma (4:1) ... 37

Gambar 4.8 Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan perbandingan metanol - plasma (4:1) ... 37

Gambar 4.9 Kurva Kalibrasi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma ... 39

Gambar 5.1 Spektrum serapan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida pada spektofotometer UV-Vis ... 48

Gambar 5.2 Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida ... 49

Gambar 5.3 Kromatogram Plasma Blangko ... 49

Gambar 5.4 Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma ... 49

Gambar 5.5 Kurva Kalibrasi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma ... 51

Gambar 5.6 Kurva Kalibrasi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma ... 52

Gambar 5.7 Alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dionex Ultimate® 3000 ... 57

Gambar 5.8 Kolom KCKT ... 58

Gambar 5.9 Plasma ... 58

Gambar 5.10 Pot penyimpanan sampel ... 58

Gambar 5.11 Vial penyuntikan KCKT ... 58

Gambar 5.12 Plasma mengandung senyawa untuk disentrifugasi ... 58

Gambar 5.13 Penyaring fase gerak ... 58

Gambar 5.14 Sonikator ... 58


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Alur penelitian ... 46

Lampiran 2 Perhitungan pembuatan larutan ... 47

Lampiran 3 Spektrum serapan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida pada spektrofotometer UV-Vis ... 48

Lampiran 4 Kromatogram Hasil Analisis ... 49

Lampiran 5 Uji kesesuaian sistem ... 50

Lampiran 6 Pengukuran Batas Kuantifikasi Terendah (LLOQ) ... 51

Lampiran 7 Hasil pengukuran kurva kalibrasi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma ... 52

Lampiran 8 Uji selektivitas N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma ... 54

Lampiran 9 Uji akurasi dan presisi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma ... 55

Lampiran 10 Rumus-rumus ... 56

Lampiran 11 Alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ... 57


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etil p-metoksisinamat (EPMS) memiliki potensi yang besar sebagai dasar sintesis untuk turunan sinamat karena memiliki gugus fungsi ester yang sangat reaktif sehingga mudah ditransformasikan dengan gugus fungsi lainnya seperti gugus amina (Barus, 2009). N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida merupakan hasil modifikasi etil p-metoksisinamat melalui reaksi amidasi dengan etanolamin. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muhammad Reza (2015), telah melaporkan mengenai hubungan struktur aktivitas hasil modifikasi EPMS terhadap aktivitas anti-inflamasi melalui reaksi amidasi dengan etanolamin menunjukkan bahwa penambahahan gugus amida terbukti meningkatkan aktivitas anti-inflamasi. Peningkatan aktifitas tersebut mejadikan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida ini layak untuk dikembangkan lebih lanjut serta bisa menjadi agen terapi yang menjanjikan (kandidat obat) karena aktifitas yang dimilikinya.

Setelah diperoleh kandidat obat, maka selanjutnya kandidat obat tersebut akan melalui serangkaian uji yang memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh Badan pemberi izin. Uji yang harus ditempuh oleh kandidat obat adalah uji praklinik dan uji klinik. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk kandidat obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas kandidat obat. Setelah dinyatakan mempunyai manfaat dan aman pada hewan percobaan, barulah dapat diujikan pada manusia (uji klinik) (Sukandar, 2006).

Dalam pengembangan obat baru, analisis obat pada matriks biologi merupakan salah satu tahapan yang penting. Untuk itu diperlukan suatu metode analisis obat yang terpercaya dalam matriks biologis yang sesuai. Metode analisis yang selektif dan sensitif untuk penilaian secara kuantitatif suatu senyawa penting agar dapat dijadikan pedoman untuk uji praklinik


(18)

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan/atau biofarmasetik dan uji farmakologi klinik (Food and Drug Administration, 2001; Harahap. Y., 2010).

Pengukuran analit dalam matriks biologis harus divalidasi. Validasi metode bioanalisis mencakup semua prosedur yang menunjukkan bahwa metode yang digunakan untuk pengukuran kuantitatif analit yang berasal dalam matriks biologis, seperti darah, plasma, serum, atau urin, dapat dipercaya dan dapat dilakukan ulang (reproducible) untuk penggunaan yang diinginkan. Beberapa parameter validasi metode meliputi limit deteksi (LOD) dan limit kuantifikasi (LOQ), selektivitas, linearitas, akurasi, dan presisi, stabilitas (Food and Drug Administration, 2001).

Pada penelitian ini, akan dilakukan validasi metode analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma secara in vitro

menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan detektor DAD (Diode Array Detector). Analisis kadar senyawa dalam plasma merupakan hal yang kompleks karena plasma mengandung sejumlah unsur endogen, sehingga perlu untuk memisahkan analit yang akan dianalisis dari unsur endogen tersebut (Swarbrick dan Boylan, 1988). Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode pengendapan protein menggunakan metanol. Metode KCKT fase balik dengan menggunakan fase diam oktadesil silika (ODS atau C18) merupakan metode yang populer digunakan saat ini untuk menetapkan kadar obat baik dalam bentuk sediaan atau dalam sampel hayati. Hal ini dikarenakan metode ini bersifat selektif, memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi, serta sederhana dalam perlakuannya (Harmita, 2006; Gandjar dan Rohman, 2007).

1.2 Perumusan masalah

a. Bagaimanakah optimasi kondisi analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida menggunakan KCKT?

b. Bagaimanakah metode ekstraksi untuk analisis N-(hidroksietil)-

p-metoksi sinamamida dalam plasma secara in vitro menggunakan KCKT?


(19)

c. Apakah metode analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma secara in vitro menggunakan KCKT memiliki nilai validitas yang sesuai dengan persyaratan?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Memperoleh kondisi optimum metode analisis N-(hidroksietil)-

p-metoksi sinamamida menggunakan KCKT.

b. Memperoleh metode ekstraksi untuk analisis N-(hidroksietil)-

p-metoksi sinamamida dalam plasma secara in vitro menggunakan KCKT.

c. Memperoleh metode yang valid untuk analisis N-(hidroksietil)-

p-metoksi sinamamida dalam plasma secara in vitro menggunakan KCKT.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu mendapatkan metode analisis yang valid untuk N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma secara in vitro menggunakan KCKT.

.


(20)

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida Struktur kimia :

Gambar 2.1 Struktur kimia N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida (Reza, 2015)

Nama kimia : N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida Rumus Molekul : C14H15NO3

Bobot Molekul : 221,0 g/mol

Pemerian : Berbentuk serbuk krem, tidak berbau Titik leleh : 1210C-1250C

Kelarutan : Larut dalam metanol, etil asetat, tidak larut dalam n-heksan.

N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida merupakan senyawa hasil modifikasi etil p-metoksisinamat melalui reaksi amidasi dengan menggunakan etanolamin. Substitusi gugus ester pada etil p -metoksisinamat menjadi bentuk amida terbukti meningkatkan aktifitas antiinflamasi. N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida aktif menghambat denaturasi Bovine Serum Albumin (BSA) dengan persen inhibisi terbesar 78,62% (Reza, 2015). Pada uji BSA, jika senyawa dapat menghambat denaturasi protein dengan persen inhibisi ˃ 20%, dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi dan layak untuk dikembangkan lebih lanjut (Williams et al., 2008). Sehingga N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida memiliki potensi yang cukup baik sebagai antiinflamasi (Reza, 2015).


(21)

2.2 Plasma

Darah terdiri atas plasma dan sel-sel darah. Sebagian besar sel darah merupakan sel darah merah atau eritrosit, sedangkan jumlah sel darah putih atau leukosit relatif sangat sedikit, yaitu 0,2% dari jumlah eritrosit. Disamping eritrosit dan leukosit, ada partikel lain yang disebut trombosit. Trombosit sangat berguna pada proses penggumpalan darah (Pudjiadi, 1994).

Apabila darah yang sebelumnya telah diberi antikoagulan dilakukan sentrifugasi, maka sel-sel darah merah akan mengendap sedangkan plasma akan berada dalam bentuk cairan bening atau supernatan di atasnya (Pudjiadi, 1994).

Volume rata-rata plasma pada pria adalah 55%, pada wanita 58% dari volume darah (Sherwood, 1996). Plasma manusia mengandung 90-92% air. Peranan air dalam darah sangat besar, sebab disamping sebagai pelarut zat - zat, air diperlukan untuk menjaga tekanan darah, kondisi osmotik, dan pengatur suhu tubuh dengan meratakan panas tubuh (Pudjiadi, 1994).

Zat-zat yang terdapat dalam plasma diantaranya adalah protein darah; garam-garam mineral (garam kalsium, kalium, natrium, dan lain-lain) yang berguna dalam metabolisme dan juga mengadakan osmotik; zat makanan (asam amino, glukosa, lemak, mineral, dan vitamin); hormon; dan antibodi/ antitoksin (Syaifuddin, 2006). Protein adalah zat padat yang paling banyak terdapat di dalam plasma, yaitu antara 6-8% dari plasma. Protein yang terdapat di dalam plasma antara lain adalah fibrinogen, globulin, dan albumin. Albumin dan globulin merupakan protein yang paling banyak terdapat dalam plasma yang berfungsi sebagai zat yang menentukan besarnya tekanan osmotik (Pudjiadi, 1994). Adapun fibrinogen merupakan suatu protein darah yang sangat berguna dalam peristiwa penggumpalan darah. Plasma masih terdapat fibrinogen di dalamnya, hal ini disebabkan fibrinogen tidak berubah menjadi fibrin karena penambahan antikoagulan (Sadikin, 2001).


(22)

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.3 Analisis Obat dalam Plasma

Farmakokinetik obat berhubungan dengan paparan obat terhadap tubuh dan perubahan konsentrasi obat terhadap waktu. Darah merupakan salah satu cairan biologis yang bisa diperoleh dan konsentrasi obat dapat dianalisis berulang kali dalam beberapa waktu setelah pemberian obat. Namun, konsentrasi obat dalam darah utuh jarang digunakan untuk melihat profil farmakokinetik obat karena darah merupakan sistem fisik yang sangat kompleks. Darah mengandung sel darah merah, sel darah putih, dan platelet yang tersuspensi dalam air plasma. Darah dengan penghilangan unsur sel tersebut dengan cara sentrifugasi setelah sebelumnya ditambahkan antikoagulan sehingga mendapatkan plasma, atau dengan penggumpalan darah sehingga diperoleh serum, lebih disukai. Alasan lain fokus terhadap konsentrasi plasma dalam farmakokinetik adalah karena plasma merupakan suatu cairan kompleks yang terdapat dalam sistem sirkulasi yang berfungsi sebagai medium transportasi zat-zat yang di angkut dalam darah (Ganong, 2001; Rosenbaum, 2011). Selain itu, intensitas efek farmakologi atau efek toksik suatu obat seringkali dikaitkan dengan konsentrasi obat pada reseptor, yang biasanya terdapat dalam sel-sel jaringan. Oleh karena sebagian besar sel-sel-sel-sel jaringan diperfusi oleh cairan jaringan atau plasma, maka pemeriksaan kadar obat dalam plasma merupakan suatu metode yang sesuai untuk pemantauan pengobatan (Shargel, 2005).

Obat ditemukan dalam kompleks matriks biologi seperti darah, urin, saliva, cairan serebrospinal (CSF) dan jaringan. Dalam banyak kasus, konsentrasi obat dihitung dalam mikrogram sampai nanogram atau pikogram. Penentuan kadar obat dalam matriks biologis termasuk plasma merupakan hal yang kompleks. Hal ini dikarenakan plasma mengandung sejumlah unsur endogen yang dapat mengganggu metode analisis kimia dan fisika yang digunakan untuk mendeteksi dan mendeterminasi zat yang ingin dianalisis. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu perlakuan awal sebelum di injeksikan untuk memisahkan analit yang akan dianalisis dari unsur endogen tersebut (Swarbrick dan Boylan, 1988).


(23)

Ada beberapa teknik penyiapan sampel yang biasa digunakan untuk analisis dalam matriks plasma, antara lain :

a. Pengendapan protein

Pada metode ini, digunakan asam atau pelarut organik yang bercampur dengan air untuk menghilangkan protein dengan cara denaturasi atau presipitasi. Asam seperti asam trikloroasetat (TCA) dan asam perklorat merupakan pengendap protein yang sangat efisien untuk mengendapkan protein pada konsentrasi 5-20%. Pelarut organik seperti metanol, asetonitril, aseton, dan etanol meskipun kurang efisien dalam mengendapkan protein, namun pelarut-pelarut tersebut telah secara luas digunakan untuk bioanalisis karena kompatibel dengan fase gerak KCKT serta dapat mengekstraksi senyawa berdasarkan prinsip kepolaran. Pelarut organik dapat menurunkan solubilitas protein sehingga protein akan mengendap (Evans, 2004).

b. Ekstraksi cair-cair

Ekstraksi cair-cair berguna untuk memisahkan analit dari pengotor dengan menyekat sampel diantara 2 fase larutan yang tidak tercampurkan. Fase pertama umumnya berupa fase aqueous, sedangkan fase kedua berupa fase organik. Analit yang akan diekstraksi harus larut diantara satu fase larutan tersebut. Prinsip ekstraksi cair-cair ini adalah senyawa yang bersifat lebih hidrofobik akan cenderung mudah ditemukan di fase organik. Analit yang terekstraksi ke dalam fase organik akan dengan mudah diperoleh kembali melalui penguapan, sedangkan analit yang terkstraksi ke dalam fase aqueous dapat langsung disuntikkan ke dalam kolom KCKT fase terbalik. Larutan aqueous yang dapat digunakan adalah air, larutan yang bersifat asam/ basa, garam, dan lainnya. Pelarut organik yang dapat digunakan adalah heksan, etil asetat, toluen, dan lainnya. Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat diaplikasikan ke semua analit, contohnya analit yang bersifat sangat polar akan sulit menggunakan metode ini (Evans, 2004).


(24)

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Ekstraksi fase padat

Prinsip mekanisme pemisahan dan isolasi yang digunakan dalam ekstraksi fase padat adalah fase terbalik, fase normal, dan ion exchange, sama seperti yang digunakan dalam KCKT. Prinsip umum ekstraksi fase padat yaitu adsorbsi obat dari larutan ke dalam adsorben atau fase diam. Adsorben yang digunakan pada ekstraksi ini terdiri dari partikel silika ukuran 40-60 µm yang berikatan membentuk fase hidrokarbon. C18 merupakan adsorben yang memiliki kapasitas paling baik dalam mengadsorbsi analit. Ekstraksi fase padat adalah suatu teknik yang dapat mengatasi beberapa masalah yang ditemui pada ekstraksi cair-cair. Ektraksi fase padat secara umum melalui 5 tahap proses, diantaranya pengkondisian (conditioning), penyeimbangan fase diam (equlibration), memasukkan sampel (loading), pencucian dan elusi sampel (washing dan elution). (Evans, 2004 ; Harahap, Y., 2010).

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi 2.4.1 Teori Dasar KCKT

Kromatografi adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk bermacam-macam teknik pemisahan yang didasarkan atas partisi sampel diantara suatu fase gerak yang bisa berupa gas atau cair, serta fase diam yang juga bisa berupa cairan atau suatu solid (padatan). Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau High Pressure Liquid Chromatography (HPLC) termasuk metode analisis terbaru, merupakan teknik kromatografi dengan fase gerak cairan dan fase diam cairan atau padatan (Effendy, 2004). KCKT dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Saat ini KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang, termasuk bidang farmasi. KCKT merupakan suatu teknik dimana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi disebabkan solut melewati kolom


(25)

kromatografi. Pemisahan solut dipengaruhi oleh distribusi solut dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair membutuhkan penggabungan berbagai macam kondisi operasional secara tepat seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel.

Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian (impurities); analisis senyawa-senyawa tidak mudah menguap (non volatile); penentuan molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion; isolasi dan pemurnian senyawa; pemisahan senyawa-senyawa yang memiliki struktur hampir sama; pemisahan senyawa-senyawa dalam jumlah sekelumit (trace elements), dalam jumlah banyak, dan dalam skala proses industri. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif (Gandjar dan Rohman, 2007).

Dalam analisis farmasi, metode KCKT merupakan metode yang sangat populer untuk menetapkan kadar senyawa obat baik dalam bentuk sediaan maupun dalam sampel hayati. Hal ini disebabkan KCKT merupakan metode yang memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi.

Kelebihan metode KCKT jika dibandingkan dengan Kromatografi Cair tradisional, yaitu (Johnson dan Stevenson, 1991):

a. Cepat;

b. Daya pisah baik; c. Peka; detektor unik;

d. Kolom dapat dipakai kembali; e. Ideal untuk molekul besar dan ion; f. Mudah memperoleh kembali cuplikan.


(26)

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.4.2 Instrumentasi

Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok, yaitu wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak dan alat untuk memasukkan sampel, kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, dan komputer atau integrator atau perekam (Gandjar dan Rohman, 2007).

Keterangan : 1 = Wadah fase gerak; 2 = saluran penghubung dengan frit; 3 =

pompa; 4 = autosampler; 5 = kolom; 6 = detektor; 7 = pembuangan; 8 =

pengolah data

Gambar 2.2 Diagram Alat dan Komponen KCKT

(Sumber : Practical High-Performance Liquid Chromatography 4th edition,

2004)

2.4.2.1Wadah Fase Gerak pada KCKT

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah ini biasanya dapat menampung fase gerak antara 1-2 liter pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan

degassing (penghilang gas) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis (Gandjar dan Rohman, 2007).


(27)

2.4.2.2Fase Gerak pada KCKT

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur, berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.4.2.3Pompa pada KCKT

Pompa yang digunakan untuk KCKT harus inert

terhadap fase gerak. Pompa berfungsi untuk mengalirkan eluen ke dalam kolom. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 mL/menit. Untuk tujuan preparatif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 20 mL/menit.

Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, reprodusibel, konstan, dan bebas dari gangguan. Terdapat 2 jenis pompa dalam KCKT, yaitu pompa dengan tekanan konstan dan pompa dengan aliran fase gerak yang konstan (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.4.2.4Penyuntikan Sampel pada KCKT

Injektor merupakan komponen KCKT yang berfungsi untuk memasukkan analit ke dalam kolom. Alat ini terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop) internal dan eksternal.


(28)

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada saat penyuntikan, katup diputar sehingga fase gerak mengalir melewati keluk sampel dan memasukkan sampel ke kolom (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.4.2.5Kolom pada KCKT

Kolom merupakan jantung kromatografi. Keberhasilan atau kegagalan analisis bergantung pada pilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kolom analitik dan kolom preparatif. Kolom umumnya terbuat dari tembaga tahan karat dan biasanya dioperasikan pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi, terutama untuk kromatografi pertukaran ion dan kromatografi eksklusi (Johnson dan Stevenson, 1991).

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih kolom, yaitu (Harmita, 2006) :

a. Panjang kolom b. Diameter kolom c. Pengisi kolom d. Fase gerak e. Tekanan kolom

2.4.2.6Fase Diam pada KCKT

Kebanyakan fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan divinil benzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu gugus silanol (Si-OH).

Silika dapat dimodifikasi secara kimiawi dengan menggunakan reagen-reagen seperti klorosilan. Reagen-reagen ini akan bereaksi dengan gugus silanol dan menggantinya dengan gugus-gugus fungsional yang lain.


(29)

Hasil reaksi yang diperoleh disebut dengan silika fase terikat yang stabil terhadap hidrolisis karena terbentuk ikatan-ikatan siloksan (Si-O-O-Si). Silika yang dimodifikasi ini mempunyai karakteristik kromatografi dan selektifitas yang berbeda jika dibandingkan dengan silika yang tidak dimodifikasi.

Oktadesil silika (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang, maupun tinggi (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.4.2.7Detektor

Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan, yaitu detektor universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik, dan tidak bersifat selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa; dan golongan detektor yang spesifik, seperti detektor UV-Vis, detektor fluoresensi, dan elektrokimia.

Idealnya, suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel,

b. Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada kadar yang sangat kecil,

c. Stabil dalam pengoperasiannya,

d. Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan peleburan pita. Untuk kolom konvensional, selnya bervolume 8 µl atau lebih kecil, sementara kolom mokrobor selnya bervolume 1 µl atau lebih kecil lagi,


(30)

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

e. Signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut pada kisaran yang luas (kisaran dinamis linier), dan

f. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.

Beberapa detektor yang sering digunakan pada KCKT : a. Detektor Spektrofotometri UV-Vis

Detektor ini didasarkan pada adanya penyerapan radiasi ultraviolet (UV) dan sinar tampak (Vis) pada kisaran panjang gelombang 190-800 nm oleh spesies solut yang mempunyai struktur-struktur atau gugus-gugus kromoforik. Detektor spektrofotometri UV-Vis dapat berupa detektor dengan panjang gelombang tetap (merupakan detektor yang paling sederhana) serta detektor dengan panjang gelombang bervariasi.

b. Detektor photodiode-array (PDA)

Detektor PDA merupakan detektor UV-Vis dengan berbagai keistimewaaan. Detektor ini mampu memberikan kumpulan kromatogram secara simultan pada panjang gelombang yang berbeda pada sekali proses (single run). Selama proses berjalan, suatu kromatogram pada panjang gelombang yang diinginkan (biasanya antara 190-400) dapat ditampilkan.

c. Detektor Flouresensi

Fluoresensi merupakan fenomena luminisensi yang terjadi ketika suatu senyawa menyerap sinar UV atau visibel lalu mengemisikannya pada panjang gelombang yang lebih besar. Tidak semua senyawa obat mempunyai sifat flouresen sehingga detektor


(31)

flouresensi ini sangat spesifik. Disamping itu, detektor ini juga sangat sensitif dibandingkan dengan detektor UV.

d. Detektor Indeks Bias

Detektor ini akan merespon setiap perbedaan indeks bias antara analit (zat terlarut) dengan pelarutnya (fase geraknya). Penggunaan detektor ini terutama untuk senyawa-senyawa yang tidak mempunyai gugus kromofor.

e. Detektor Elektrokimia

Detektor ini bekerja berdasarkan oksidasi dan reduksi senyawa organik (termasuk obat) secara elektrokimia pada elektroda yang cocok.

(Gandjar dan Rohman, 2007).

2.4.2.8Komputer, Integrator, atau Rekorder

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator, atau rekorder dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor lalu memplotkannya sebagai suatu kromatogram yang selanjutnya dapat dievaluasi oleh analis (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.5 Uji Kesesuaian Sistem

Seorang analisis harus memastikan bahwa sistem dan prosedur yang digunakan mampu memberikan data yang dapat diterima. Hal ini dapat dilakukan dengan uji kesesuaian sistem. Uji kesesuaian sistem adalah serangkaian uji untuk menjamin bahwa metode tersebut dapat menghasilkan akurasi dan presisi yang dapat diterima.


(32)

Persyaratan-16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

persyaratan kesesuian sistem biasanya dilakukan setelah dilakukan pengembangan metode dan validasi metode.

United States Pharmacopeia (USP) menentukan parameter yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian sistem sebelum analisis. Parameter-parameter yang digunakan meliputi: jumlah lempeng teoritis (N), asimetrisitas, faktor kapasitas (k’ atau α) dan nilai standar deviasi relatif (RSD) tinggi puncak dan luas puncak dari serangkaian injeksi. Pada umumnya, paling tidak ada 2 kriteria yang biasanya dipersyaratkan untuk menunjukkan kesesuaian sistem suatu metode. Parameter yang berguna untuk uji kesesuaian sistem adalah keberulangan penyuntikan larutan baku yang dinyatakan dalam standar deviasi relatif (RSD) yang dinyatakan dalam persen bila tidak dinyatakan lain dalam monografi baku yang digunakan dengan nilai RSD kurang dari 2% (Farmakope Indonesia edisi IV).

2.6 Validasi Metode Analisis

Validasi metode menurut United States Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis.

Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi masalah analisis. Oleh karena itu suatu metode harus divalidasi ketika: a. Metode baru dikembangkan untuk mengatasi masalah analisis

tertentu,

b. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau karena munculnya suatu masalah yang mengarahkan bahwa metode baku tersebut harus direvisi,

c. Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode baku telah berubah seiring dengan berjalannya waktu,

d. Metode baku digunakan di laboratorium yang berbeda, dikerjakan oleh analis yang berbeda, atau dikerjakan dengan alat yang berbeda,


(33)

e. Untuk mendemonstrasikan kesetaraan antar 2 metode, seperti antara metode baru dan metode baku.

(Gandjar dan Rohman, 2007).

Validasi metode bioanalisis ini digunakan pada studi farmakologi klinis, pengujian ketersediaan hayati (bioavailabilitas) dan bioekuivalensi, serta uji farmakokinetika. Metode analisis yang selektif dan sensitif sangat penting untuk evaluasi obat dan metabolitnya (analit) secara kuantitatif untuk keberhasilan studi farmakologi pre-klinis dan klinis. Validasi metode bioanalisis mencakup semua prosedur yang menunjukkan bahwa metode yang digunakan untuk analisis analit secara kuantitatif di dalam matriks biologis, seperti darah, plasma, serum, atau urin dapat dipercaya dan reprodusibel sesuai tujuan penggunaannya.

2.6.1 Tipe dan Tingkatan Validasi

Dalam bioanalisis, validasi metode dibagi menjadi 3 kategori, yaitu (Food and Drug Administration, 2001):

2.6.1.1Validasi Lengkap

Validasi lengkap penting dilakukan saat melakukan pengembangan dan implementasi metode bioanalisis untuk pertama kali. Validasi lengkap juga penting untuk obat-obat baru dan dilakukan jika ada metabolit yang ditambahkan pada suatu penetapan kadar.

2.6.1.2 Validasi Parsial

Validasi parsial merupakan suatu modifikasi dari metode bionalasis yang telah divalidasi. Validasi parsial dilakukan mulai dari akurasi dan presisi pada proses inta-assay sampai mendekati validasi lengkap. Perubahan metode bioanalisis yang termasuk kedalam kategori ini, yaitu :


(34)

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

a. Metode bioanalisis yang di pindahkan antar laboratorium atau analis,

b. Perubahan dalam metode analisis (misal perubahan dalam sistem deteksi),

c. Perubahan dalam antikoagulan yang digunakan dalam cairan biologis,

d. Perubahan matriks (misal dari plasma menjadi urin), e. Perubahan dalam prosedur proses sampel,

f. Perubahan spesies pada matriks yang sama (misal dari

rat plasma menjadi mouse plasma), g. Perubahan dalam rentang konsentrasi,

h. Perubahan instrumen dan/ atau software yang digunakan, i. Volume sampel yang terbatas (misal pada studi pediatri), j. Matriks yang jarang.

2.6.1.3 Validasi Silang

Validasi silang merupakan perbandingan parameter validasi ketika 2 atau lebih metode bioanalisis digunakan untuk mendapatkan data pada studi yang sama ataupun studi yang berbeda. Salah satu contoh dari validasi silang adalah keadaan dimana metode bioanalisis yang telah tervalidasi dianggap sebagai referensi dan metode bioanalisis hasil revisi dijadikan sebagai pembanding. Perbandingan harus dilakukan dua arah.

2.6.2 Pengembangan Metode Bioanalisis

Pengukuran terhadap setiap analit dalam matriks biologis harus divalidasi terlebih dahulu. Berikut beberapa parameter pokok untuk validasi metode bioanalisis, yaitu akurasi, presisi, selektivitas, sensitivitas, reprodusibilitas, dan stabilitas.


(35)

Pengembangan dan penetapan metode bioanalisis meliputi : 2.6.2.1Selektivitas

Selektivitas adalah kemampuan metode analisis untuk membedakan dan mengukur secara kuantitatif analit dengan adanya komponen lain di dalam sampel. Untuk selektivitas, analisis sampel blangko dari matriks biologi yang sesuai (seperti plasma, urin, atau matriks lainnya) harus dilakukan sedikitnya dari enam sumber yang berbeda. Tiap sampel blangko harus diuji terhadap interferensi, dan selektivitas harus dipastikan pada kadar batas kuantifikasi terendah (LLOQ). Jika suatu metode mengukur lebih dari satu analit, maka tiap analit harus diuji untuk memastikan tidak ada interferensi (Food and Drug Administration, 2001).

2.6.2.2Kurva Kalibrasi

Kurva kalibrasi merupakan hubungan antara respon instrumen dan konsentrasi analit yang diketahui. Kurva kalibrasi disiapkan dalam matriks biologi yang sama dengan sampel, dengan cara menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi yang diketahui ke dalam matriks. Rentang konsentrasi standar dipilih berdasarkan literatur atau penelitian. Pembuatan kurva kalibrasi harus mencakup sampel blangko (matriks tanpa baku dalam), sampe zero

(matriks dengan baku dalam), dan 6 sampai 8 non-zero

sampel pada rentang konsentrasi standar, termasuk LLOQ.

a. Lower Limit of Quantification (LLOQ)

Standar terendah dari kurva kalibrasi harus diterima sebagai LLOQ jika berada pada kondisi berikut: respon analit pada LLOQ setidaknya 5 kali respon sampel blangko, puncak analit (respon) harus dapat teridentifikasi, dapat terpisah dengan baik, dan


(36)

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

reprodusibel dengan nilai presisi ≤20% dan akurasi 80-120%.

b. Kurva Kalibrasi/ Kurva Standar/ Konsentrasi-Respon Syarat kurva kalibrasi agar dapat diterima, yaitu nilai nilai deviasi sebesar ≤20% dari konsentrasi LLOQ dan nilai nilai deviasi sebesar ≤15% dari konsentrasi standar selain LLOQ. Sedikitnya empat dari enam standar non-zero berada diatas kriteria diatas, termasuk LLOQ dan konsentrasi tertinggi dari kurva kalibrasi.

(Food and Drug Administration, 2001)

2.6.2.3Batas Deteksi (limit of detection, LOD)

Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. LOD merupakan batas uji yang secara spesifik menyatakan apakah analit diatas atau dibawah nilai tertentu. Definisi batas deteksi yang paling umum digunakan dalam kimia analisis adalah kadar analit yang memberikan respon sebesar respon blangko (yb) ditambah dengan 3 simpangan baku blangko

(3Sb).

LOD dapat dihitung berdasarkan pada standar deviasi (SD) respon dan kemiringan (slope, S) kurva baku pada level yang mendekati LOD sesuai dengan rumus, LOD = 3,3 (SD/S) (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.6.2.4Batas Kuantifikasi (limit of quantification, LOQ)

Batas Kuantifikasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi


(37)

operasional metode yang digunakan. Seperti halnya LOD, LOQ juga diekspresikan sebagai konsentrasi (dengan akurasi dan presisi juga dilaporkan). Untuk menentukan LOQ, dapat menggunakan perhitungan yang didasarkan pada standar deviasi respon (SD) dan slope (S) kurva baku sesuai rumus : LOQ = 10 (SD/S) (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.6.2.5Akurasi

Akurasi adalah suatu metode analisis yang menggambarkan kedekatan nilai rata-rata hasil uji yang diperoleh dengan nilai konsentrasi analit sebenarnya. Akurasi ditentukan oleh analisis berulang dari sampel yang telah diketahui kadar analit yang terkandung didalamnya (Food and Drug Administration, 2001). ICH merekomendasikan pengukuran minimal menggunakan 3 kali pengukuran (Ravichandranravichandran, V., Shalini S., Sundram K. M., Harish Rajak, 2010). Uji akurasi minimal menggunakan tiga konsentrasi pada rentang yang telah direkomendasikan, yaitu pada konsentrasi rendah (tiga kali LLOQ), sedang, dan tinggi dari kurva standar. Perbedaan nilai rata-rata harus + 15% terhadap nilai sebenarnya, kecuali pada LLOQ tidak boleh lebih dari 20% (Food and Drug Administration, 2001).

2.6.2.6Presisi

Presisi adalah suatu metode analisis yang menggambarkan kedekatan hasil pengukuran individu analit ketika suatu metode analisis diulang. ICH merekomendasikan pengukuran minimal menggunakan 3 kali pengukuran (Ravichandranravichandran, V., Shalini S., Sundram K. M., Harish Rajak, 2010). Uji presisi minimal


(38)

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menggunakan tiga konsentrasi pada rentang yang telah direkomendasikan, yaitu pada konsentrasi rendah (tiga kali LLOQ), sedang, dan tinggi dari kurva standar. Pengukuran presisi dikelompokkan menjadi within-run (selama waktu analisis), intra-batch precision atau repeatabilitas (dalam satu kali analisis) dan between-run, inter-batch precision

atau repeatabilitas (bila metode dilakukan oleh analis, alat, reagen, dan laboratorium yang berbeda). Perbedaan nilai rata-rata harus tidak lebih dari 15% terhadap nilai sebenarnya, kecuali pada LLOQ tidak boleh lebih dari 20% (Food and Drug Administration, 2001).

2.6.2.7Perolehan Kembali

Perolehan kembali suatu analit adalah respon detektor yang diperoleh dari jumlah analit yang ditambahkan dan diekstraksi dari matriks biologi dibandingkan dengan respon detektor analit yang diketahui konsentrasinya. Perolehan kembali analit tidak harus 100% namun tingkat perolehan kembali analit dan baku dalam harus konsisten, presisi, dan reprodusibel dengan rentang syarat 80-120%. Uji perolehan kembali harus dilakukan dengan membandingkan hasil analisis sampel pada tiga konsentrasi (rendah, sedang, dan tinggi) yang diekstraksi dari matriks biologi dengan baku yang tidak diekstraksi yang mewakili perolehan kembali 100% (Food and Drug Administration,

2001).

2.6.2.8Stabilitas

Stabilitas obat dalam cairan biologis adalah fungsi dari kondisi penyimpanan, sifat-sifat kimia obat, matriks, dan sistem penyimpanan. Stabilitas analit dalam suatu matriks dan sistem penyimpanan hanya relevan pada


(39)

matriks dan sistem penyimpanan tersebut dan tidak dapat diekstrapolasikan ke matriks dan sistem penyimpanan lain.

Semua penentuan stabilitas harus menggunakan sampel yang disiapkan dari larutan stok analit yang dibuat baru dalam matriks biologis yang bebas analit dan bebas dari interferensi. Larutan stok analit harus disiapkan dalam pelarut yang sesuai pada konsentrasi yang diketahui.

Penentuan uji stabilitas dapat menggunakan beberapa cara, antara lain :

a. Stabilitas Beku-Cair

Stabilitas analit dapat ditentukan setelah tiga siklus beku-cair. Sedikitnya tiga larutan senyawa dari setiap konsentrasi rendah, sedang, dan tinggi di simpan pada kondisi penyimpanan yang diinginkan selama 24 jam kemudian dikeluarkan dan dibiarkan hingga mencair pada temperatur ruang. Setelah semua mencair, sampel dibekukan kembali selama 12-24 jam pada kondisi yang sama. Siklus beku-cair ini harus diulang sebanyak 2 kali lagi, kemudian dianalisis setelah tiga siklus. Jika analit tidak stabil pada temperatur penyimpanan, maka uji dapat dilakukan dengan menyimpan sampel pada suhu -700C selama tiga siklus beku-cair.

b. Stabilitas Jangka Pendek

Tiga larutan senyawa dari setiap konsentrasi rendah, sedang, dan tinggi dicairkan pada suhu ruang dan dibiarkan pada suhu ini selama 4 sampai 24 jam (atau berdasarkan durasi yang diperkirakan sampel stabil pada temperatur ruang berdasarkan penelitian) kemudian dianalisis.


(40)

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Stabilitas Jangka Panjang

Waktu penyimpanan pada evaluasi stabilitas jangka panjang harus melebihi waktu pertama kali sampel di kumpulkan sampai waktu terakhir sampel dianalisis. Stabilitas jangka panjang ditentukan dengan menyimpan sedikitnya tiga larutan senyawa dari setiap konsentrasi rendah, sedang, dan tinggi dicairkan pada kondisi yang sama seperti uji sampel. Konsentrasi dari semua sampel dibandingkan dengan rata-rata nilai perolehan kembali yang sesuai dengan konsentrasi standar dari hari pertama uji stabilitas jangka panjang.

d. Stabilitas Larutan Stok

Stabilitas larutan stok obat dan baku dalam harus dievaluasi pada temperatur ruang selama minimal 6 jam. Jika larutan stok dibekukan selama periode tertentu, perlu dicatat stabilitasnya. Setelah itu, dilakukan uji stabilitas dengan membandingkan respon instrumen terhadap larutan yang baru dibuat.

e. Stabilitas Post-Preparatif

Stabilitas dari sampel yang telah diproses, termasuk waktu sampel berada dalam autosampler. Stabilitas obat dan baku dalam harus ditentukan selama waktu analisis untuk setiap batch dalam validasi sampel dengan menentukan konsentrasi berdasarkan kalibrasi standar.


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Analisa Obat dan Pangan Halal Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penlitian dimulai dari bulan Maret sampai Juni 2016.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Dionex UltiMate® 3000) dilengkapi dengan; pompa, autosampler, kolom Acclaim® Polar Advantage II (C18; 3 µm; 4,6 x 150 mm), detektor DAD (Diode Array Detector), dan program komputer PC (Chromeleon®). Spektrofotometer Ultaviolet-Visibel (Hitachi U-2910), sentrifus (Eppendorf 5417R) dengan tabung sentrifugasi, syringe filter

(Sartorius, RC 0,45 µm), timbangan analitik kepekaan 220 g – 1 mg (AND-GH202), vorteks, mikropipet (Rainin 20-200 µL dan 100-1000 µL), dry vacuum pump/compressor (Welch®), tabung vacutainer, lemari pendingin, sonikator (Elmasonic®), dan alat-alat gelas.

3.2.2 Bahan

N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida, metanol grade Liquid Chromatography (Merck), akuabides (Otsuka), plasma (PMI DKI Jakarta).


(42)

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Pembuatan Larutan Induk N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida konsentrasi 1008 µg/mL

Ditimbang sebanyak 50,4 mg N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida. Dilarutkan ke dalam metanol hingga 50,0 mL sehingga diperoleh konsentrasi 1008 µg/mL. Pengenceran dilakukan untuk memperoleh larutan dengan konsentrasi tertentu.

3.3.2 Pembuatan Fase Gerak

Beberapa komposisi fase gerak dibuat dengan mengkombinasikan metanol dan akuabides dengan komposisi yang dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Komposisi Fase Gerak

No. Metanol Akuabides

1 100 -

2 70 30

3 60 40

4 40 60

Fase gerak yang telah dibuat disaring menggunakan vakum dan filter 0,45 um. Gas yang terdapat di dalam larutan dihilangkan menggunakan sistem penghilang gas (degasser).

3.3.3 Penentapan Panjang Gelombang Analisis

Larutan induk N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida diencerkan dengan metanol hingga diperoleh konsentrasi 5,04 µg/mL. Kemudian diukur nilai serapannya pada panjang gelombang 200-400 nm menggunakan Spektrofotometer UV-Visibel. Ditentukan nilai panjang gelombang maksimumnya untuk analisis.


(43)

3.3.4 Optimasi Kondisi Analisis

3.3.4.1 Pemilihan Komposisi Fase Gerak

Larutan induk N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida diencerkan dengan metanol hingga diperoleh konsentrasi 10,08 µg/mL. Sebanyak 20,0 µL supernatan disuntikkan ke dalam KCKT menggunakan komposisi fase gerak dalam variasi perbandingan diatas dengan laju alir 1,0 mL/menit, dan dideteksi pada panjang gelombang terpilih. Kemudian dicatat waktu retensi (tR), luas puncak, dihitung jumlah lempeng teoritis (N), HETP (height equivalent theoritical plate), dan asimetrisitas. Hasil analisis yang diperoleh dari beberapa perbandingan fase gerak dibandingkan.

3.3.5 Uji Kesesuaian Sistem

Larutan yang mengandung N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida pada konsentrasi 10,08 µg/mL disiapkan. Sebanyak 20,0 µL supernatan disuntikkan ke dalam KCKT pada kondisi analisis terpilih. Kemudian dihitung jumlah lempeng teoritis (N), HETP, asimetrisitas dan nilai RSD (standar deviasi relatif) pada lima kali penyuntikan.

3.3.6 Penetapan Metode Ekstraksi (Polson, 2002)

Sebanyak 0,5 mL plasma diekstraksi menggunakan metanol, dengan perbandingan metanol-plasma (1:1) dan (4:1) dalam tabung sentrifugasi. Kemudian dikocok dengan vorteks selama ± 20 detik dilanjutkan dengan sentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 3.000 rpm. Supernatan yang diperoleh kemudian diambil dan disaring menggunakan syringe filter. Sebanyak 20,0 µL supernatan disuntikkan ke dalam KCKT dan dianalisis kromatogram dari masing-masing perbandingan untuk mengetahui kondisi kromatogram blanko plasma.


(44)

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dibuat larutan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida 10,08 µg/mL dalam plasma. Lalu diambil 0,5 mL campuran tersebut dan dilakukan ekstraksi sesuai dengan perbandingan metanol-plasma (1:1) dan (4:1), lalu sebanyak 20,0 µL supernatan diinjeksikan ke dalam KCKT. Kemudian dilakukan pengamatan kromatogram plasma mengandung N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dengan membandingkan luas area, resolusi, jumlah lempeng teoritis, dan asimetrisitas puncak N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dari masing-masing perbandingan tersebut.

3.3.7 Validasi Metode Analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam Plasma secara In Vitro

3.3.7.1 Pengukuran Batas Kuantifikasi Terendah(LLOQ)

Larutan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan konsentrasi 10,08 µg/mL; 15,12 µg/mL; 20,16 µg/mL; 30,24 µg/mL; dan 40,32 µg/mL disiapkan. Kemudian masing-masing larutan diekstraksi sesuai dengan prosedur. Sebanyak 20 µL supernatan disuntikkan ke dalam KCKT pada kondisi analisis terpilih. Dibuat kurva kalibrasi, ditentukan persamaan garis regresi linier dan koefisien korelasinya, kemudian dihitung nilai LOQ. Setelah diperoleh nilai LOQ, dibuat larutan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan konsentrasi ½ atau ¼ dari nilai LOQ tersebut.

3.3.7.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Uji Linieritas dalam Plasma secara In Vitro

Dibuat sampel blangko (plasma), serta 6 larutan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan konsentrasi 5,04 µg/mL; 10,08 µg/mL; 15,12 µg/mL; 20,16 µg/mL; 30,24 µg/mL; dan 40,32 µg/mL. Kemudian masing-masing larutan diekstraksi sesuai dengan prosedur. Sebanyak 20,0 µL supernatan disuntikkan ke dalam KCKT


(45)

pada kondisi analisis terpilih. Setelah itu dianalisis regresi luas puncak terhadap konsentrasi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dari masing-masing konsentrasi dan dibuat kurva kalibrasi dengan persamaan garis regresi linier (y = a + bx). Dihitung pula koefisien korelasi (r) dari kurva tersebut, kemudian dihitung lengukuran batas deteksi (LOD) dan limit batas kuantifikasi (LOQ).

Nilai LOD dan LOQ dihitung dengan menggunakan data kalibrasi. LOQ diperoleh dengan rumus :

LOQ =

Sedangkan LOD diperoleh dengan rumus : LOD =

dimana adalah simpangan baku residual, b adalah

slope dari persamaan regresi.

3.3.7.3 Uji Selektivitas

Sebanyak 20,0 µL plasma hasil deproteinasi yang mengandung N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida pada konsentrasi LLOQ (5,04 µg/mL) disuntikkan ke dalam KCKT dengan kondisi analisis terpilih. Diulang sebanyak enam kali menggunakan enam plasma dari sumber yang berbeda. Kemudian dihitung koefisien variasinya (KV)

dengan nilai ≤20% dan akurasi (%diff) dengan nilai ± 20%.

3.3.7.4 Uji Akurasi, Presisi dan Perolehan Kembali (% recovery) Dibuat larutan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan tiga seri konsentrasi, yaitu konsentrasi rendah 12,096 µg/mL, konsentrasi sedang 18,144 µg/mL dan konsentrasi tinggi 28,224 µg/mL. Kemudian masing-masing larutan diekstraksi sesuai dengan


(46)

30

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam KCKT pada kondisi analisis terpilih. Prosedur tersebut diulangi sebanyak tiga kali untuk masing-masing konsentrasi. Kemudian dihitung persentase akurasi (%diff), perolehan kembali (% recovery) dan nilai koefisien variasinya (KV) pada masing-masing konsentrasi larutan tersebut. Nilai rata-rata % diff yang disyaratkan adalah + 15%, dan nilai koefisien variasi (KV) yang disyaratkan tidak lebih dari 15%. Adapun % recovery dihitung dengan membandingkan nilai terukur dari konsentrasi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan nilai yang sebenarnya dikalikan 100%. Nilai % recovery

yang disyaratkan berada pada rentang 80-120%. Perolehan kembali analit tidak harus 100% namun tingkat perolehan kembali analit harus konsisten, presisi, dan reprodusibel. Uji akurasi dan presisi dilakukan selama dua hari.


(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penetapan Panjang Gelombang Analisis

Pada penelitian ini, penetapan panjang gelombang analisis dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis. Sebanyak 5,04 µg/mL larutan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida diukur pada panjang gelombang 200 nm hingga 400 nm. Diperoleh spektrum serapan maksimumnya. Spektrum serapan yang dihasilkan memperlihatkan bahwa N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida berada pada panjang gelombang sinar UV, yaitu 290 nm. Hal ini disebabkan karena N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida mempunyai gugus kromofor yang terdeteksi pada daerah UV. Spektrum N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida pada spektrofotometer UV-Vis dapat dilihat pada lampiran 3 gambar 5.1. Pemilihan panjang gelombang analisis ini berguna untuk meningkatkan selektivitas dan sensitivitas analisis sampel yang digunakan. Panjang gelombang ini kemudian yang digunakan pada instrumen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) untuk mendeteksi sampel pada analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma secara in vitro.

4.2 Optimasi Kondisi Analisis

4.2.1 Pemilihan Komposisi Fase Gerak

Pada pemilihan komposisi fase gerak, analisis dilakukan menggunakan KCKT dengan kolom C18 panjang 150 mm, dengan volume penyuntikan sampel sebanyak 20,0 µL. Sistem kromatografi yang digunakan adalah sistem isokratik dengan kombinasi fase gerak metanol dan akuabides pada beberapa perbandingan. Struktur molekul N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida tersusun dari molekul-molekul yang bersifat sedikit polar dikarenakan adanya gugus amida. Oleh karena itu, komposisi fase gerak yang digunakan untuk memisahkan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida terdiri dari campuran pelarut organik metanol dan akuabides agar diperoleh fase gerak yang mampu membawa N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dan memisahkannya dari pengotor dalam plasma.


(48)

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida diujikan pada beberapa komposisi fase gerak. Komposisi fase gerak yang pertama kali diujikan adalah metanol 100% dengan laju alir 1,0 mL/menit. Pada komposisi fase gerak ini, diperoleh kromatogram tunggal dengan waktu retensi sekitar 1,863 menit.

Gambar 4.1. Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida menggunakan fase gerak metanol 100%

Kemudian komposisi fase gerak diubah menjadi metanol-akuabides dengan perbandingan (70:30), (60:40), dan (40:60) masing-masing dengan laju alir 1,0 mL/menit. Pada komposisi fase gerak metanol-akuabides (70:30) dan laju alir 1,0 mL/menit, N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida muncul pada waktu retensi 2,873 menit, dan pada komposisi fase gerak (60:40) muncul pada waktu retensi 3,800 menit. Sedangkan pada komposisi fase gerak metanol-akuabides (40:60) muncul pada waktu retensi sekitar 7,247 menit.

Gambar 4.2 Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida

menggunakan fase gerak metanol : akuabides (70:30)

Gambar 4.3 Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida

menggunakan fase gerak metanol : akuabides (60:40)


(49)

Gambar 4.4. Kromatogram N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida menggunakan fase gerak metanol : akuabides (40:60)

Pada fase gerak metanol-akuabides (70:30) dan (60:40) muncul disekitar menit kedua, sedangkan pengotor plasma umumnya muncul disekitar menit kedua, sehingga fase gerak tersebut tidak dapat digunakan. Komposisi fase gerak yang dapat digunakan adalah metanol-akuabides dengan perbandingan 40:60 karena dengan kondisi fase gerak ini pada kromatogram plasma blangko tidak ada puncak yang mengganggu pada waktu retensi N-(hidroksietil)-

p-metoksi sinamamida.

Komposisi fase gerak metanol-akuabides (40:60) memberikan hasil dengan waktu retensi 7,247 menit, dan asimetrisitas (Tf) 1,57, jumlah lempeng teoritis (N) 163, dan HETP 0,920. Dari hasil percobaan, komposisi fase gerak tersebut memberikan jumlah lempeng teoritis yang kecil yang menunjukkan keefisienan kolom yang kurang baik. Adapun asimetrisitas kromatogram senyawa yang diperoleh kurang dari 2,5 yang berarti sudah memenuhi persyaratan, dengan komposisi fase gerak ini N-(hidroksietil)-


(50)

34

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel. 4.1 Data hubungan antara waktu retensi, jumlah lempeng teoritis dan asimetrisitas terhadap perubahan komposisi fase gerak

Fase Gerak (v/v)

Waktu Retensi (menit)

Lempeng Teoritis

(N)

HETP Asimetri Metanol 100% 1,863 141 1,064 1,36 Metanol-akuabides (70:30) 2,873 77 1,948 2,38 Metanol-akuabides (60:40) 3,800 63 2,381 2,22 Metanol-akuabides (40:60) 7,247 163 0,920 1,57

Dari hasil optimasi ini, maka diperoleh suatu kondisi analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida di dalam plasma dengan ketentuan sebagai berikut:

Spesifikasi alat

HPLC merk Dionex UltiMate® 3000 dilengkapi dengan; pompa, autosampler, detektor DAD (Diode Array Detector).

Kolom Acclaim® Polar Advantage II (C18; 3 µm; 4,6 x 150 mm)

Fase Gerak Metanol : Akuabides (40:60) Laju Alir 1,0 mL/menit

Teknik Isokratik Panjang Gelombang 290 nm

Volume Injeksi 20 µL Suhu Kolom Ambient

Waktu Akuisisi 15 menit

4.3 Uji Kesesuaian Sistem

Uji kesesuaian sistem perlu dilakukan sebelum validasi metode analisis dilakukan. Uji kesesuaian sistem bertujuan untuk menjamin bahwa sistem operasional KCKT yang tersedia memberikan hasil yang sesuai dengan tujuan analisis. Hal ini dilakukan karena terdapat variasi dalam peralatan dan teknis analisis. Uji kesesuaian sistem dilakukan sebanyak 5 kali penyuntikan.


(51)

Parameter yang berguna untuk uji kesesuaian sistem adalah keberulangan penyuntikan larutan baku yang dinyatakan dalam standar deviasi relatif (RSD) yang dinyatakan dalam persen bila tidak dinyatakan lain dalam monografi baku yang digunakan dengan nilai RSD kurang dari 2% (Farmakope Indonesia edisi IV).

Menurut USP, ada beberapa parameter yang dijadikan rujukan untuk menunjukkan bahwa metode telah sesuai dengan sistem yang tersedia. Parameter-parameter tersebut meliputi: jumlah lempeng teoritis (N), asimetrisitas, faktor kapasitas dan nilai standar deviasi relatif (RSD) tinggi puncak dan luas area dari serangkaian injeksi. Suatu metode dinyatakan memenuhi syarat uji kesesuaian sistem bila minimal ada 2 parameter yang memenuhi persyaratan dari beberapa parameter yang diujikan.

Dari uji kesesuaian sistem, diperoleh rata-rata waktu retensi N-(hidroksietil)-

p-metoksi sinamamida muncul pada menit 7,258 dengan rata-rata nilai area N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida pada 5 kali penyuntikan adalah 65,062 mAu dengan % RSD luas area sebesar 0,042%. Data uji kesesuaian sistem dapat dilihat pada tabel 4.2 dan data selengkapnya tercantum dalam lampiran 5 tabel 5.1.

Tabel 4.2 Hasil uji rata-rata kesesuaian sistem analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida menggunakan fase gerak metanol : akuabides (40:60 (v/v))

Nilai jumlah lempeng teoritis dan asimetrisitas menunjukkan kinerja kolom dalam memisahkan komponen dengan menggunakan metode tersebut. Semakin besar nilai lempeng teoritis berarti semakin efisien suatu kolom dalam memisahkan komponen menggunakan metode tersebut. Asimetrisitas menunjukkan bentuk puncak N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida yang simetris atau tidak memiliki pengekoran. Dari uji kesesuaian sistem ini, fase gerak yang ditetapkan telah memberikan hasil parameter yang telah memenuhi persyaratan uji kesesuaian sistem, kecuali untuk parameter lempeng teoritis yang kurang dari kondisi ideal.

Parameter Syarat Hasil yang diperoleh Kesimpulan RSD waktu retensi <2% 0,493 % ✓

RSD luas area <2% 0,042 % ✓ Lempeng teoritis ≥2500 103,6 ✖ Asimetrisitas <2,5 2,24 ✓


(52)

36

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.4 Penetapan Metode Ekstraksi

Sebelum dianalisis menggunakan KCKT, N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma perlu diekstraksi terlebih dahulu, terutama protein yang ada dalam plasma. Ekstraksi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dilakukan dengan menggunakan pelarut organik, yaitu metanol. Penyiapan sampel dengan menggunakan metanol sebagai pengendap protein ini bertujuan untuk memisahkan analit dari gangguan yang ada dalam plasma seperti protein dan senyawa endogen lainnya. Penambahan larutan organik seperti metanol pada larutan protein dalam air akan menurunkan konstanta dielektrik air yang meningkatkan tarikan antara molekul-molekul bermuatan dan memfasilitasi interaksi elektrostatik protein. Selain itu pelarut organik juga akan menggantikan beberapa molekul air disekitar daerah hidrofob dari permukaan protein yang berasosiasi dengan protein sehingga menurunkan konsentrasi air dalam larutan dengan demikian kelarutan protein akan menurun dan memungkinkan terjadinya pengendapan.

Pada penelitian ini, ekstraksi dilakukan dengan menambahkan sejumlah metanol ke dalam plasma. Komposisi yang diujikan adalah metanol-plasma dengan perbandingan 1 : 1 dan 4 : 1, kemudian dilakukan perngamatan kromatogram plasma blangko dengan melihat apakah pada daerah waktu retensi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida terdapat pengotor plasma atau tidak. Hasil yang diperoleh dari kedua komposisi metanol yang diujikan untuk mengendapkan protein adalah tidak satupun komposisi pelarut yang menghasilkan puncak pengotor pada waktu retensi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida saat analisis dilakukan. Gambar dapat dilihat pada Gambar 4.5 dan 4.7.

Kemudian dilakukan ekstraksi dengan proses yang sama pada plasma yang telah mengandung N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida. Selanjutnya dilakukan pengamatan kromatogram plasma yang mengandung N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dengan membandingkan luas area, jumlah lempeng teoritis, resolusi, dan asimetrisitas puncak N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida pada masing-masing perbandingan metanol untuk mengendapkan protein. Gambar dapat dilihat pada gambar 4.6 dan gambar 4.8. Berikut data hasil analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida yang diekstraksi dengan beberapa perbandingan metanol dapat dilihat pada tabel 4.3.


(53)

Tabel 4.3 Hasil optimasi pengendapan protein Pengendap

Protein

Luas Area (mAU)

Lempeng

Teoritis Resolusi Asimetrisitas 1x Metanol 3,857 46 0,72 1,13 4x Metanol 1,914 194 3,37 1,19

Gambar 4.5 Kromatogram plasma blangko dengan perbandingan metanol - plasma (1:1)

dengan fase gerak metanol-air (40:60v/v), kecepatan alir 1,0 mL/menit, panjang gelombang 290 nm dan volume penyuntikan

20,0 µL

Gambar 4.7 Kromatogram plasma blangko dengan perbandingan metanol - plasma (4:1)

dengan fase gerak metanol-air (40:60v/v), kecepatan alir 1,0 mL/menit, panjang gelombang 290 nm dan volume penyuntikan

20,0 µL

Keterangan: A. Pengotor plasma, B. N-HEPMS

Gambar 4.6 Kromatogram

N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan perbandingan metanol - plasma (1:1) dengan fase gerak metanol-air (40:60v/v), kecepatan alir 1,0 mL/menit, panjang gelombang 290

nm dan volume penyuntikan 20,0 µL

Keterangan: A. Pengotor plasma, B. N-HEPMS

Gambar 4.8 Kromatogram

N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan perbandingan metanol - plasma (4:1)

dengan fase gerak metanol-air (40:60v/v), kecepatan alir 1,0 mL/menit, panjang gelombang 290 nm dan volume penyuntikan

20,0 µL

A

B A


(54)

38

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari data diatas, dengan membandingkan kedua komposisi metanol yang digunakan untuk mengendapkan protein plasma dapat dilihat bahwa pada penambahan metanol 4 kali volume plasma memberikan pemisahan yang paling baik dengan pengotor dalam plasma, yaitu dengan nilai resolusi 3,37 dimana telah

memenuhi persyaratan resolusi ≥1,5, serta menghasilkan puncak senyawa dengan kriteria puncak yang paling baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai resolusi yang lebih besar, nilai lempeng teoritis yang lebih besar, serta asimetrisitas yang kecil bila dibandingkan dengan penambahan metanol 1 kali volume plasma.

Nilai resolusi yang besar menyatakan metode ekstraksi menggunakan metanol 4 kali volume plasma dapat memisahkan puncak pengotor plasma yang muncul pada waktu retensi sekitar 1,753 dengan puncak N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida yang muncul pada waktu retensi sekitar 7,237 dengan pemisahan yang paling baik.

4.5 Validasi Metode Analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam Plasma secara In Vitro

4.5.1 Pengukuran Batas Kuantifikasi Terendah(LLOQ)

Pengukuran sebanyak 5 konsentrasi larutan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan konsentrasi 10,08 µg/mL; 15,12 µg/mL; 20,16 µg/mL; 30,24 µg/mL; dan 40,32 µg/mL menghasilkan persamaan regresi y = 0,361x - 1,7941 dengan linieritas koefisien korelasi 0,9953. Dari hasil pengolahan data diperoleh LOQ 9,675 µg/mL.

Kemudian LLOQ dibuat dengan cara mengencerkan ½ konsentrasi LOQ. LLOQ merupakan standar terendah pada kurva kalibrasi yang dapat diterima (Food and Drug Administration, 2001). Pada penelitian ini, konsentrasi LLOQ yang dibuat adalah 5,04 µg/mL.

4.5.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Uji Linieritas dalam Plasma secara In Vitro

Kurva kalibrasi merupakan hubungan antrara respon instrumen dan konsentrasi analit yang diketahui. Untuk analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma, kurva kalibrasi terdiri dari plasma blangko (plasma tanpa penambahan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida) dan 6 konsentrasi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma (termasuk LLOQ) yaitu 5,04 µg/mL; 10,08 µg/mL; 15,12 µg/mL; 20,16 µg/mL; 30,24 µg/mL; dan


(55)

40,32 µg/mL. Persamaan garis kurva kalibrasi yang diperoleh adalah y = 0,3559x - 1,6435 dengan koefisien korelasi 0,9962; dimana x adalah konsentrasi senyawa dan y adalah luas area senyawa. Koefisien korelasi ini mendekati persyaratan nilai koefisien korelasi yang ideal sehingga dapat dapat disimpulkan bahwa metode analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan konsentrasi 5,04 – 40,32 µg/mL memenuhi kriteria uji linieritas dan dapat diterima untuk suatu metode analisis yang valid. Pada analisis senyawa dalam plasma, nilai koefisien korelasi yang dapat diterima adalah lebih dari 0,95 (Food and Drug Administration, 1998). Kurva kalibrasi dalam plasma dapat dilihat pada gambar 4.9. Kemudian dari pengolahan data kurva kalibrasi tersebut diperoleh nilai LOD 2,982 µg/mL dan LOQ 9,037 µg/mL.

Gambar 4.9 Kurva Kalibrasi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma

4.5.3 Uji Selektivitas

Selektivitas adalah kemampuan metode analisis untuk membedakan dan mengukur secara kuantitatif analit dengan adanya komponen lain di dalam sampel (Food and Drug Administration, 2001). Pada percobaan ini komponen lain tersebut adalah pengotor plasma. Uji selektivitas ini dilakukan terhadap enam plasma manusia dari sumber yang berbeda pada konsentrasi LLOQ yaitu 5,04 µg/mL, diperoleh nilai koefisien variasi 2,123% dan % diff antara 8,795%

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00

0 10 20 30 40 50

R a ta -r a ta lua s a r e a ( m A U ) Konsentrasi (µg/mL)

Kurva Kalibrasi N-(hidroksietil)-

p

-metoksi sinamamida dalam Plasma


(56)

40

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sampai 15,045% serta tidak terdapat puncak pengotor plasma yang muncul pada kromatogram. Data hasil uji selektivitas dapat dilihat pada lampiran 8 tabel 5.4.

4.5.4 Uji Akurasi, Presisi dan Perolehan Kembali (% recovery)

Uji akurasi bertujuan memperoleh data kedekatan nilai rata-rata hasil uji yang diperoleh dengan nilai konsentrasi analit sebenarnya. Untuk analisis dalam matriks biologis, selisih hasil analisis dengan nilai konsentrasi yang sebenarnya adalah + 15%, kecuali jika pengukuran dilakukan pada kadar LLOQ maka tidak boleh melebihi 20% dan nilai dari uji perolehan kembali berada dalam rentang 80-120% (Food and Drug Administration, 2001). Perolehan kembali analit tidak harus 100% namun tingkat perolehan kembali analit harus konsisten, presisi, dan reprodusibel (Food and Drug Administration, 2001).

Uji presisi bertujuan memperoleh data kedekatan hasil uji yang satu dengan yang lainnya. Pengukuran presisi pada setiap level konsentrasi, harus memiliki nilai koefesien variasi (KV) tidak lebih dari 15%, kecuali LLOQ dimana nilai KV tidak boleh lebih dari 20% (Food and Drug Administration, 2001). Pada penelitian ini, uji akurasi dan presisi dilakukan selama 2 hari.

Uji akurasi dan presisi digunakan larutan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma dengan tiga konsentrasi, yaitu konsentrasi rendah, sedang, dan tinggi (Food and Drug Administration,2001). Pada penelitian ini, konsentrasi rendah yang digunakan adalah 12,096 µg/mL, konsentrasi sedang 18,144 µg/mL dan konsentrasi tinggi 28,224 µg/mL. Pada uji akurasi dan presisi hari ke-1, hasil rata-rata % diff yang diperoleh untuk konsentrasi rendah, sedang, dan tinggi berturut-turut sebesar 7,204%, 4,628%, dan 3,230% dengan nilai koefisien variasi (%KV) diperoleh 1,158%, 2,705%, dan 1,707% untuk konsentrasi rendah, sedang dan tinggi. Sedangkan pada pengujian hari ke-2, hasil rata-rata % diff yang diperoleh untuk konsentrasi rendah, sedang, dan tinggi berturut-turut sebesar 5,295%, 6,597%, dan 7,974% dengan nilai koefisien variasi sebesar 4,306%, 3,307% dan 0,439% untuk konsentrasi rendah, sedang dan tinggi.


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan)

Kondisi analisis :

Kolom : Acclaim® Polar Advantage II (C18; 3 µm; 4,6 x 150 mm) Fase Gerak : Metanol : akuabides (40:60)

Laju Alir : 1,0 mL/menit Teknik : Isokratik Panjang Gelombang : 290 nm Volume Injeksi : 20 µ L Suhu Kolom : Ambient


(2)

Lampiran 8. Uji selektivitas N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma

Tabel 5.4 Data uji selektivitas N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma

Kons

(µg/mL) Plasma

Luas area (mAU)

Kons terukur (µg/mL)

Rata-rata kons terukur

(µg/mL)

SD KV

(%) %diff

5,040

A 0,316 5,505

5,599 0,119 2,123

9,219

B 0,324 5,527 9,665

C 0,362 5,634 11,778

D 0,366 5,647 12,034

E 0,420 5,798 15,045


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 9. Uji akurasi dan presisi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma

Tabel 5.5 Data uji akurasi, perolehan kembali (%recovery), dan presisi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma, Hari ke-1

Tabel 5.6 Data uji akurasi, perolehan kembali (%recovery), dan presisi N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam plasma, Hari ke-2

Konsentrasi (µg/mL) Luas area (mAU) Konsentrasi terukur (µg/mL)

%diff %recovery SD KV (%)

12,096

2,882 12,716 5,127 105,127

0,150 1,158 2,983 12,998 7,457 107,457

3,050 13,188 9,028 109,028 Rata-rata 2,972 12,967 7,204 107,204

18,144

5,435 19,890 9,621 109,621

0,514 2,705 5,026 18,740 3,287 103,287

4,877 18,321 0,976 100,976 Rata-rata 5,106 18,984 4,628 104,628

28,224

8,921 29,683 5,171 105,171

0,497 1,707 8,852 29,489 4,482 104,482

8,405 28,235 0,038 100,038 Rata-rata 8,726 29,136 3,230 103,230

Konsentrasi (µg/mL) Luas area (mAU) Konsentrasi terukur (µg/mL)

%diff %recovery SD KV (%)

12,096

2,534 11,738 -2,961 97,039

0,548 4,306 3,045 13,173 8,902 108,902

3,090 13,299 9,945 109,945 Rata-rata 2,906 12,737 5,295 105,295

18,144

4,868 18,295 0,831 100,831

0,640 3,307 5,586 20,313 11,954 111,954

5,266 19,415 7,007 107,007 Rata-rata 5,240 19,341 6,597 106,597

28,224

9,167 30,375 7,623 107,623

0,134 0,439 9,289 30,718 8,835 108,835

9,151 30,331 7,464 107,464 Rata-rata 9,202 30,475 7,974 107,974


(4)

Lampiran 10. Rumus-rumus

Tabel 5.7 Rumus-Rumus

Rumus Formula

S(y/x)

SD = √ ̄

LOD

LOD = ⁄

LOQ

LOQ = ⁄

% diff % diff =

x 100%

% recovery % recovery =

x 100%

SD

SD = √ ̄

KV

̄


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 11. Alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Keterangan :

A : Wadah penampungan fase gerak B : Pompa

C : Autosampler

D : Oven kolom

E : Detektor DAD (Diode Array Detector)

F : Komputer dengan perangkat lunak Chromeleon®

Gambar 5.7 Alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dionex Ultimate® 3000 A

B

C

D E


(6)

Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian

Gambar 5.8. Kolom KCKT

Gambar 5.9 Plasma

Gambar 5.10 Pot penyimpanan sampel

Gambar 5.11 Vial penyuntikan KCKT

Gambar 5.12 Senyawa dalam plasma

Gambar 5.13 Penyaring fase gerak

Gambar 5.14 Sonikator