Studi Hubungan Sipil-Militer: Militer dan Parlemen

Studi Hubungan Sipil-Militer: Militer dan Parlemen

Terakhir, ada beberapa perspektif dasar dalam kajian sosiologi militer yang membahas persoalan hubungan sipil-militer pada umumnya, dan hubungan militer dengan politik (termasuk dengan parlemen) pada khususnya.

Menurut teori hubungan sipil-militer yang terkenal, konsep militer sebagai lembaga atau institusi permanen yang dipelihara semata-mata demi mendukung tujuan kebijakan luar negeri adalah konsep yang memuat asumsi bahwa ada masyarakat sipil berbasis konsensus yang menjaga keberlangsungan militer. Dalam masyarakat semacam ini, angkatan bersenjata akan dipanggil untuk mengatasi kekacauan domestik hanya jika situasinya benar-benar luar biasa. Jika kekacauan dalam negeri tidak dianggap luar biasa, tugas pengamanan diserahkan kepada polisi. Namun, ketidakmampuan pemerintah sipil untuk menyelesaikan problem internal yang akut, dan ketidakmampuan memobilisasi home front untuk mendukung tujuan nasional, sering memaksa militer melakukan tindakan campur tangan internal. Peran militer di sini penting terutama di negara-negara yang institusi sipil dan pemahaman identitas nasionalnya belum lama berkembang Sills,

. Hubungan sipil-militer memiliki banyak dimensi, dan dapat dilihat dari berbagai macam perspektif yang berbeda.

Beberapa di antara dimensi itu adalah bidang kekuasaan dan politik, ekonomi dan media, sains dan teknologi, kultur dan sejarah (Pugh, et al., 2006).

Secara historis, upaya mempelajari hubungan antara sipil dan militer dengan perangkat ilmu sosial (sosiologi) dan empiris baru menunjukkan hasil yang relatif lebih tepat pada abad 20, dengan tokoh-tokoh perintis seperti Weber, Mosca, dan lain-lain, seperti telah dijelaskan di atas. Peningkatan teori terjadi pada era 1970-an dan 1980-an, terutama karena dipengaruhi oleh berakhirnya Perang Vietnam, dihapuskannya wajib militer di banyak negara, dan semakin intensnya konflik bipolar atau lebih dikenal sebagai Perang Dingin (Rukavishnikov, et al., 2006).

Militer dianggap bukan aktor utama dalam pemerintahan domestik, meski tak bisa dipungkiri di banyak negara, militer memainkan peran sentral dalam tata- pemerintahan, terutama di negara otoriter atau fasis. Dalam studi relasi sipil-militer muncul perdebatan tentang bagaimana kontrol sipil atas militer mesti dilaksanakan. Huntington (seperti telah dijelas kan di atas menganut pendekatan ilmu politik sedangkan pemikir seperti Morris Janowitz lebih mengedepankan pendekatan sosiologis. Menurut pendekatan sosiologis, militer harus profesional. Pendekatan sosiologis kemudian dikembangkan dari keyakinan bahwa kontrol sipil yang kuat dan komprehensif terhadap militer hanya dapat direalisasikan apabila militer diintegrasikan ke dalam jejaringan relasi-relasi sosial dan kemasyarakatan yang lebih luas (Pugh, et al., 2006).

Pola hubungan sipil-militer akan berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Perbedaan ini disebabkan oleh sejumlah faktor, diantaranya adalah: faktor hukum dan perundang-undangan, sistem dan konstelasi politik, tradisi historis negara, akar sejarah terbentuknya militer, kondisi sosial dan ekonomi, evolusi atau perkembangan lanskap politik, faktor lingkungan internasional, dan personel militer dan pemimpin sipil. Hubungan informal antara elit sipil dan elit militer juga bisa memengaruhi keseimbangan dalam hubungan sipil-militer. Faktor-faktor ini terkadang saling berkelindan dan saling memengaruhi dalam proses pembentukan relasi sipil-militer. Sebagai contoh, faktor sejarah militer Indonesia, faktor kepribadian personel tokoh militer dan sipil, dan lanskap politik, melahirkan doktrin dwi-fungsi ABRI di masa Orde Baru. Doktrin ini sebagian dipengaruhi oleh keyakinan dari petinggi militer pada

saat itu bahwa tentara nasional lahir dari rakyat dan militer berperan aktif dalam pendirian negara Republik Indonesia sehingga militer tak bisa lepas tangan dalam persoalan-persoalan politik dan sipil. Contoh lain adalah militer di bawah sistem komunis-sosialis seperti di Uni Soviet dan kawasan Eropa Timur. Faktor sejarah dan kondisi sosial-politik menyebabkan militer berada di bawah kendali ketat dari penguasa Partai Komunis. Jadi, tampak bahwa relasi antara militer dan negara, struktur sosial dan institusi akan membentuk relasi sipil-militer yang kompleks. Tetapi Rukavishnikov (2006) memperingatkan bahwa meski poin ini sangat penting, perlu disadari bahwa semua isu yang berkaitan dengan hubungan sipil-militer tidak bisa direduksi hanya pada kontrol politik atas angkatan bersenjata. Pada dasarnya, menurut Rukavishnikov, militer sebagai subsistem masyarakat, memiliki karakteristik berjarak dari masyarakat dan memiliki kultur dan subkultur nonsipil yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan fungsi, tugas dan tanggung jawab yang dibebankan pada militer. Para sosiolog di banyak negara telah melakukan berbagai survei dan penelitian tentang pandangan militer dan sipil tentang berbagai isu seperti nilai kultural, kebijakan luar negeri, kebijakan keamanan, hubungan sipil-militer, format angkatan bersenjata dan peran politik militer atau peran militer dalam parlemen – seperti yang nanti dikaji di bab-bab selanjutnya buku ini. Studi-studi itu mengintegrasikan data survei dengan data sejarah, sosiologis dalam rangka menelaah berbagai macam isu: perbedaan sikap, perspektif dan nilai politik antara sipil dengan militer, dan isu latarbelakang personel pejabat militer dan prajurit; faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat dan pengaruhnya terhadap efektivitas sipil dan militer; pendidikan militer, serta kerjasama antara sipil-militer. Seperti akan pembaca lihat, buku ini akan membahas isu peran dan sumbangan pandangan politik dari militer Indonesia terhadap politik, sebelum militer sebagai institusi resmi meninggalkan aktivitas politiknya di parlemen.

Jadi tampak bahwa status hubungan sipil-militer tak bisa dilepaskan dari sifat negara (demokratis atau nondemokratis), di satu pihak, dan motivasi serta tujuan dari pejabat militer, di pihak lain. Sikap militer terhadap pemerintah sipil mungkin akan berpengaruh krusial bagi kemajuan suatu negara. Meskipun militer di negara demokratis tampak menjaga jarak dengan politik, namun sesungguhnya militer tak pernah sepenuhnya bercerai dengan politik. “da hubungan langsung antara sistem politik negara dengan kecenderungan negara untuk menggunakan kekerasan dalam Jadi tampak bahwa status hubungan sipil-militer tak bisa dilepaskan dari sifat negara (demokratis atau nondemokratis), di satu pihak, dan motivasi serta tujuan dari pejabat militer, di pihak lain. Sikap militer terhadap pemerintah sipil mungkin akan berpengaruh krusial bagi kemajuan suatu negara. Meskipun militer di negara demokratis tampak menjaga jarak dengan politik, namun sesungguhnya militer tak pernah sepenuhnya bercerai dengan politik. “da hubungan langsung antara sistem politik negara dengan kecenderungan negara untuk menggunakan kekerasan dalam

Mengingat selalu ada kemungkinan militer untuk melakukan intervensi ke dalam politik (baik secara tak langsung atau secara langsung), maka para sosiolog militer mengangakt isu sejauh mana hubungan sipil-militer itu bergantung pada pola perkembangan ekonomi dan sosial dan tipe rezim politik suatu negara. Karenanya, tidak mengherankan jika banyak kajian pada akhir abad 20 membahas persoalan militer dan politik dan isu kontrol sipil atas militer. ”elakangan ini istilah kontrol politik sering dipertukarkan dengan istilah kontrol sipil Pugh, et al.,

. Kelompok sipil mengindikasikan institusi sipil yang didasarkan pada kedaulatan rakyat. Inti dalam hubungan di sini adalah kontrol atas alat kekerasan harus berada di tangan otoritas sipil yang sah. Ini berarti kontrol atas militer harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang demokratis.

Prinsip demokratis yang dimaksud di sini adalah prinsip kedaulatan rakyat. Dalam konteks Indonesia, misalnya, salah satu alat kontrol demokratis ada di institusi politik, atau parlemen, yang beranggotakan politisi yang mengatasnamakan konstituen yang memilih mereka. Idealnya, institusi parlemen dan institusi militer harus tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi, seperti toleransi atas perbedaan pendapat, debat terbuka, kebebasan pers, tawar-menawar politik antarpartai, dan sebagainya. Ini mengisyaratkan sistem multipartai. Ini adalah esensi dasar dari demokrasi pluralistik, dan prinsip kesetaraan warga negara di dalam negara demokrasi.

Kontrol yang demokratis selalu merupakan proses dua arah, atau proses interaktif antar elit militer dengan otoritas sipil dan antara militer dengan masyarakat. Pemerintahan yang demokratis memiliki wewenang untuk menentukan ukuran, tipe dan komposisi angkatan bersenjata; ikut menentukan doktrin keamanan nasonal dan konsep reformasi militer; mengajukan anggaran pertahanan/militer; dan sebagainya. Dalam kasus Indonesia masa Orde Baru, kepentingan militer diwakili secara institusional, dengan adanya fraksi ABRI atau TNI di parlemen. Perwakilan ini memberi pengaruh besar pada proses pengambilan kebijakan, bukan hanya di bidang pertahanan, tetapi juga di bidang lain. Sesudah era reformasi, kepentingan militer Kontrol yang demokratis selalu merupakan proses dua arah, atau proses interaktif antar elit militer dengan otoritas sipil dan antara militer dengan masyarakat. Pemerintahan yang demokratis memiliki wewenang untuk menentukan ukuran, tipe dan komposisi angkatan bersenjata; ikut menentukan doktrin keamanan nasonal dan konsep reformasi militer; mengajukan anggaran pertahanan/militer; dan sebagainya. Dalam kasus Indonesia masa Orde Baru, kepentingan militer diwakili secara institusional, dengan adanya fraksi ABRI atau TNI di parlemen. Perwakilan ini memberi pengaruh besar pada proses pengambilan kebijakan, bukan hanya di bidang pertahanan, tetapi juga di bidang lain. Sesudah era reformasi, kepentingan militer

Hubungan militer-parlemen dalam sistem demokrasi pluralistik ini mensyaratkan para pejabat militer mengakui supremasi sipil (presiden, parlemen, dan pemerintah) di atas pejabat militer. Pada saat yang sama militer secara keseluruhan mesti memahami bahwa mereka berperan sebagai abdi negara dan warga negara, bertugas melindungi kepentingan keamanan nasional.

Pengenalan prinsip-prinsip demokratis ke dalam pembuatan kebijakan keamanan dan pertahanan pertama-tama dimulai melalui perundang-undangan atau hukum. Ini membutuhkan kerja legislatif dan perbaikan terus-menerus dari kedua belah pihak. Misalnya, Sidang Tahunan MPR RI pada 2002 fraksi TNI-Polri menyatakan diri untuk tidak lagi berada di parlemen. Ini membuka banyak kemungkinan dalam relasi sipil- militer di Indonesia, seperti perubahan aturan, perubahan peran (seperti ditinggalkannya doktrin dwi-fungsi tentara), dan lain-lain. Dalam hal ini, meski disepakati bahwa TNI-Polri akan keluar dari parlemen pada 2009, namun pihak militer berinisiatif mundur lebih awal, yakni pada tahun 2004. Dari ilustrasi ini tampak bahwa prinsip demokratis di era reformasi sudah mulai diterapkan sendiri oleh militer. Proses tawar-menawar dan perundingan yang mengawali perubahan peran ini membentuk relasi militer-sipil yang baru, dan, seperti yang nanti dapat kita lihat dalam pembahasan di bab-bab selanjutnya buku ini, perubahan signifikan ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang saling terkait, seperti demokratisasi masyarakat dan politik, berkembangnya institusi sipil dan peran masyarakat sipil, reformasi ekonomi pasar dan perubahan besar dalam struktur sosial, re-orientasi kebiakan keamanan dan luar negeri (terutama pasca Perang Dingin dan ancaman terorisme pasca serangan gedung WTC 11 September), dan reformasi internal tentara, seperti tercermin dalam Paradigma Baru TNI.

Kita bisa mengatakan bahwa secara umum tingkat kontrol sipil atas militer adalah indikator yang baik dari seberapa mendalamkah proses demokratisasi di negara-negara yang tengah menjalani transisi sulit menuju sistem demokrasi. Dalam hal ini setiap Kita bisa mengatakan bahwa secara umum tingkat kontrol sipil atas militer adalah indikator yang baik dari seberapa mendalamkah proses demokratisasi di negara-negara yang tengah menjalani transisi sulit menuju sistem demokrasi. Dalam hal ini setiap

Di sisi lain, tantangan yang dihadapi negara-negara dalam transisi menuju sistem demokrasi lebih banyak terjadi di bidang ekonomi, sosial dan politik ketimbang di bidang militer. Akibatnya, ada kecenderungan di banyak negara bahwa reformasi hubungan sipil-militer bukan menjadi prioritas utama dalam agenda politik. Namun, dalam proses ini seringkali otoritas sipil menyadari bahwa reformasi militer merupakan tugas yang membutuhkan lebih banyak fokus dan perhatian. Sebab, kontrol sipil atas militer juga menyangkut persoalan transparansi dalam anggaran dan perencanaan strategi keamanan dan pertahanan. Dalam negara yang demokratis, pemerintah wajib memberi laporan publik kepada warga. Warga negara berhak tahu apa rencana pemerintah dalam persoalan angkatan bersenjata. Karenanya, dalam proses reformasi militer ini, sesungguhnya warga negara umum (termasuk media massa) ikut berperan secara tidak langsung dalam memengaruhi kebijakan melalui opini dan tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan yang mewakili berbagai macam sektor masyarakat.

Parlemen memiliki wewenang sampai tingkat tertentu untuk mengontrol anggaran pertahanan. Tetapi dalam banyak kasus, parlemen tidak efektif dalam mereview dan mengawasi implementasi anggaran militer dan persoalan-persoalan terkait yang muncul. Sebagian penyebabnya adalah, di beberapa negara, anggota parlemen belum memahami betul struktur dan aspek operasional institusi militer, peran dan fungsinya, dan belum mengerti benar segala isu yang menyangkut kebijakan keamanan dan pertahanan negara. Debat soal investasi dan anggaran militer mencerminkan Parlemen memiliki wewenang sampai tingkat tertentu untuk mengontrol anggaran pertahanan. Tetapi dalam banyak kasus, parlemen tidak efektif dalam mereview dan mengawasi implementasi anggaran militer dan persoalan-persoalan terkait yang muncul. Sebagian penyebabnya adalah, di beberapa negara, anggota parlemen belum memahami betul struktur dan aspek operasional institusi militer, peran dan fungsinya, dan belum mengerti benar segala isu yang menyangkut kebijakan keamanan dan pertahanan negara. Debat soal investasi dan anggaran militer mencerminkan

Berdasar uraian di atas dapat dilihat bahwa kontrol demokratis dapat dibagi menjadi tiga dimensi, yakni kontrol vertikal, kontrol horisontal dan kontrol-diri. Hans Born (2006) menjelaskan tiga dimensi kontrol ini sebagai berikut: Kontrol vertikal adalah kontrol oleh parlemen dan pemerintah terhadap angkatan bersenjata, melalui berbagai instrumen seperti kontrol anggaran, perundang-undangan, mikromanajemen, pengangkatan jenderal, dan pengawasan parlemen. Kadang-kadang kontrol sipil ini menggunakan manajemen persaingan antar angkatan di dalam tubuh militer. Kontrol horisontal dilakukan oleh institusi masyarakat, seperti media, NGO (nongovernmental organization ), organisasi keagamaan, institusi riset, integrasi pendidikan sipil-militer, dan ombudsmen nasional. Institusi-institusi itu punya kepentingan dalam pelaksanaan fungsi angkatan bersenjata, dan karnanya berperan dalam memantau dan memengaruhi angkatan bersenjata. Institusi-institusi ini dapat dipandang sebagai jembatan antara masyarakat dengan angkatan bersenjata. Mereka memperkaya nilai- nilai sosial yang ada di dalam tubuh angkatan bersenjata. Kontrol horisontal ini bertujuan untuk mengintegrasikan angkatan bersenjata ke dalam masyarakat. Kontrol horisontal terutama penting di negara di mana wajib militer (conscription) – perantara alamiah antara masyarakat dengan militer – telah dihapuskan.

Kontrol diri, sebagai tipe ketiga dari kontrol demokratis, adalah esensial karena militer merupakan pemegang monopoli kekerasan yang berbasis hukum dan karena fakta bahwa militer memiliki otonomi sampai tingkat tertentu untuk mendukung pemimpin politik mereka. Kontrol-diri militer, dalam konteks kontrol demokratis atas angkatan bersenjata, berarti mengemban tanggung jawab sosial, yakni pemimpin militer (korps perwira) menghormati aturan sipil dan menjunjung hak asasi manusia. Rasa hormat ini muncul bukan karena didikte dari atas, melainkan tumbuh dari Kontrol diri, sebagai tipe ketiga dari kontrol demokratis, adalah esensial karena militer merupakan pemegang monopoli kekerasan yang berbasis hukum dan karena fakta bahwa militer memiliki otonomi sampai tingkat tertentu untuk mendukung pemimpin politik mereka. Kontrol-diri militer, dalam konteks kontrol demokratis atas angkatan bersenjata, berarti mengemban tanggung jawab sosial, yakni pemimpin militer (korps perwira) menghormati aturan sipil dan menjunjung hak asasi manusia. Rasa hormat ini muncul bukan karena didikte dari atas, melainkan tumbuh dari

Kajian kontrol-diri ini merupakan salah arah baru dalam sosiologi militer seperti dipaparkan oleh Ouellet (ed., 2005), yakni sosiologi emosi dalam militer. Adalah benar bahwa tindakan institusi militer adalah rasional dan tertata, namun banyak dari aktivitasnya juga bergantung pada kematangan dan kecerdasan emosional dari personel militer, mulai dari tingkat perwira tinggi hingga rendah. Militer, sebagai institusi, tidak bisa melarang ekspresi emosi, tetapi institusi ini bisa mengaturnya dengan cara tertentu – melalui pendidikan dan training serta sosialisasi nilai-nilai keprajuritan – sehingga menimbulkan kesan militer bertindak secara rasional dan rapi. Ekspresi dan manajemen emosi sangat penting bagi pelaksanaan fungsi militer (Jelusic, 2005). Ini adalah arah baru yang patut mendapat perhatian dalam kajian sosiologi militer di masa mendatang.

Dari paparan di atas, sampai poin ini tampak bahwa militer memiliki banyak sumber data yang bisa dimanfaatkan untuk studi sosiologi militer, untuk menyusun analisis dan mengembangkan teori baru. Riset militer, berdasarkan data tersebut, telah banyak dikembangkan hingga menyentuh berbagai aspek militer, seperti studi sikap, studi kelompok, studi institusi, studi militer dan politik, studi keluarga militer, studi aspek bisnis dan ekonomi militer, studi profesi militer atau profesionalisme, sampai studi militer postmodern. Dan ke depan sangat mungkin akan bermunculan kajian-kajian baru yang bermanfaat bagi sosiologi pada umumnya, dan sosiologi militer pada khususnya.

Secara umum, Sielbold (2001) menyebut ada empat kategori inti dalam kajian militer. Mereka adalah (a) studi militer sebagai institusi dan organisasi; (b) hubungan sipil- militer; (c) etos profesi militer; dan (d) relasi militer dengan pemerintah dan parlemen (aspek politik) dan relasi militer dengan militer lain. Kategori inti melahirkan Secara umum, Sielbold (2001) menyebut ada empat kategori inti dalam kajian militer. Mereka adalah (a) studi militer sebagai institusi dan organisasi; (b) hubungan sipil- militer; (c) etos profesi militer; dan (d) relasi militer dengan pemerintah dan parlemen (aspek politik) dan relasi militer dengan militer lain. Kategori inti melahirkan

*Artikel ini adalah draft yang ditulis atas permintaan untuk memberikan ulasan ringkas buku tentang sosiologi militer yang terbit pada 2014 .

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

The correlation intelligence quatient (IQ) and studenst achievement in learning english : a correlational study on tenth grade of man 19 jakarta

0 57 61

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22