Sejarah and Perkembangan Sosiologi Milit

SOSIOLOGI MILITER: SEJARAH DAN PERKEMBANGAN *

Tri Wibowo BS Editor

Sosiologi merupakan bagian dari pokok pembahasan ilmu-ilmu sosial yang sudah tidak asing lagi bagi kalangan akademisi. Sosiologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia baik secara individu maupun secara kelompok. Sosiologi, sebagai ilmu pengetahuan, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bersifat empiris, yakni objek kajiannya didasarkan pada observasi atas realitas empiris dalam wilayah sosial manusia (secara individu maupun kelompok); bersifat teoritis; bersifat kumulatif, yakni berbagai teori yang sudah terbentuk akan diperbaiki atau dimodifikasi atau dikembangkan oleh teori-teori selanjutnya. Karena merupakan ilmu pengetahuan, maka metode penelitiannya mengikuti kaidah-kaidah metode ilmiah yang telah baku dan juga menggunakan sikap yang ilmiah selama proses penelitian atas objek studinya. Dalam sosiologi terdapat beberapa perspektif, di antaranya adalah pespektif evolusionis, yang memusatkan pada pola perubahan dan perkembangan yang dinamis di dalam masyarakat; perspektif interaksionis, yang memusatkan perhatian pada interaksi sosial; perspektif fungsionalis, yang memandang masyarakat dan kelompok sebagai jaringan yang bekerja sama secara terorganisir dan memiliki seperangkat aturan dan nilai-nilai yang dianut sebagian besar anggotanya; dan perspektif konflik, yang memandang pertentangan dalam masyarakat adalah produk dari interaksi yang mengandung relasi konflik dan integrasi, sehingga, menurut perspektif ini, konflik dan integrasi adalah bagian inheren dari semua kehidupan masyarakat.

Penelitian dan kajian sosiologis terhadap militer sebagai institusi, atau organisasi, sesungguhnya telah lama muncul meski signifikansinya dan popularitasnya dari segi akademik belum mencapai level yang sudah dinikmati oleh kajian di bidang sosiologi lainnya seperti sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge), Sosiologi agama (sociology of religion ), sosiologi pendidikan (sociology of education), sosiolinguistik (sociolinguistics), sosiologi sejarah (historical sociology), sosiologi terapan (applied sociology) sosiologi pedesaan (rural sociology), dan sebagainya. Mengingat sosiologi militer adalah sub- disiplin dari bidang sosiologi yang lebih luas, maka kita perlu sejenak menengok Penelitian dan kajian sosiologis terhadap militer sebagai institusi, atau organisasi, sesungguhnya telah lama muncul meski signifikansinya dan popularitasnya dari segi akademik belum mencapai level yang sudah dinikmati oleh kajian di bidang sosiologi lainnya seperti sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge), Sosiologi agama (sociology of religion ), sosiologi pendidikan (sociology of education), sosiolinguistik (sociolinguistics), sosiologi sejarah (historical sociology), sosiologi terapan (applied sociology) sosiologi pedesaan (rural sociology), dan sebagainya. Mengingat sosiologi militer adalah sub- disiplin dari bidang sosiologi yang lebih luas, maka kita perlu sejenak menengok

Dalam sejarah perkembangannya, sosiologi telah menjalin relasi multidimensi dan multilevel dengan disiplin lain. Misalnya, hubungan antara sosiologi dengan beragam disiplin yang berbeda. Sosiologi, dalam konteks ini, bisa dikatakan sebagai salah satu disiplin yang paling terbuka terhadap disiplin lainnya. Keterbukaan ini tampak pada banyaknya sumber kutipan di berbagai publikasi akademik. Karena itu, dengan pertimbangan bahwa kajian sosiologi pada hakikatnya bersifat interdisipliner (lintas- disiplin), maka untuk memberikan dasar sudut pandang yang lebih komprehensif untuk kajian inti buku ini, kita perlu mengulas secara ringkas teori institusi, sosiologi politik dan sosiologi militer, di mana ketiganya sesungguhnya memiliki hubungan yang sangat erat karena secara faktual fenomena militer dan politik berada pada satu panggung yang lebih besar; dan pembatasan pengantar teoritis hanya pada tiga subbidang itu disesuaikan dengan tema buku ini, yakni Parlemen, TNI dan Kepolisian sebagai institusi.

Sosiologi Klasik

Sosiologi, sebelum menjadi bidang ilmu tersendiri, pada mulanya adalah bagian dari filsafat sosial yang membahas perkembangan dan perubahan masyarakat dari waktu ke waktu. Sesudah tradisi filsafat positivistik, dengan pilar utama empirisme dan rasionalisme, berkembang pesat seiring dengan perkembangan dan kemajuan di bidang ilmu-ilmu alam (sains dan teknologi), sebagian pemikir mulai mencoba mengkaji fenomena sosial dengan meminjam metodologi sains. Dalam hal ini, faktor penggerak utama dari munculnya benih sosiologi adalah Pencerahan, sebuah tradisi pemikiran di akhir abad 16 dan abad 17. Arus utama pemikiran filsafat sosial abad 17 biasanya diasosiasikan atau dikaitkan dengan pemikir seperti Rene Descartes, Thomas Hobbes, dan John Locke. Menurut George Ritzer (2008), fokus pemikiran mereka adalah pada bagaimana cara menyusun sistem ide yang mendasar dan abstrak secara rasional, untuk kemudian mengujinya di lapangan secara empiris. Dengan kata lain, mereka ingin mengombinasikan penelitian empiris dengan rasio (Seidman, 1983). Itu berarti Sosiologi, sebelum menjadi bidang ilmu tersendiri, pada mulanya adalah bagian dari filsafat sosial yang membahas perkembangan dan perubahan masyarakat dari waktu ke waktu. Sesudah tradisi filsafat positivistik, dengan pilar utama empirisme dan rasionalisme, berkembang pesat seiring dengan perkembangan dan kemajuan di bidang ilmu-ilmu alam (sains dan teknologi), sebagian pemikir mulai mencoba mengkaji fenomena sosial dengan meminjam metodologi sains. Dalam hal ini, faktor penggerak utama dari munculnya benih sosiologi adalah Pencerahan, sebuah tradisi pemikiran di akhir abad 16 dan abad 17. Arus utama pemikiran filsafat sosial abad 17 biasanya diasosiasikan atau dikaitkan dengan pemikir seperti Rene Descartes, Thomas Hobbes, dan John Locke. Menurut George Ritzer (2008), fokus pemikiran mereka adalah pada bagaimana cara menyusun sistem ide yang mendasar dan abstrak secara rasional, untuk kemudian mengujinya di lapangan secara empiris. Dengan kata lain, mereka ingin mengombinasikan penelitian empiris dengan rasio (Seidman, 1983). Itu berarti

Tokoh awal yang meyakini bahwa studi fenomena sosial harus menggunakan metode ilmiah yang sama dengan yang dipakai dalam ilmu pasti (ilmu alam) adalah Claude Henri Saint-Simon (1760-1825). Karenanya, Saint-Simon dapat dikatakan sebagai seorang positivis di ranah kajian sosial. Gagasan Saint-Simon ini kemudian dikembangkan lebih lanjut secara sistematis oleh Auguste Comte (1798-1857). Comte adalah orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi. Ia orang pertama yang mengembangkan apa yang kelak dikenal sebagai filsafat positif atau positivisme. Ia kemudian mengembangka sistem teori yang menjadi dasar bagi lahirnya sosiologi awal – sistem itu disebutnya fisika sosial yang kemudian ia ubah istilahnya menjadi sosiologi (Pickering, 2000). Teorinya yang terkenal adalah hukum tiga tahap perkembangan intelektual. Ini adalah fase perkembangan yang bersifat evolusional: (1) tahap teologis , sebuah sistem ide yang didasari oleh keyakinan pada kekuatan-kekuatan supranatural, animisme, politeisme, monoteisime, takhayul, dan sejenisnya. Tahap ini berada pada periode sebelum tahun 1300; (2) tahap metafisik, fase di mana manusia mencoba melakukan abstraksi dengan akal-rasionalnya untuk menjelaskan fenomena sosial dan alam. Fase ini berlangsung antara tahun 1300 sampai 1800; (3) tahap positivistik , atau positivisme, yang ditandai dengan keyakinan pada ilmu pengetahuan dan sains untuk menjelaskan segala fenomena. Tahap ini dimulai sejak 1800 dan seterusnya. Jelas bahwa dalam teorinya ini, Comte memfokuskan perhatian pada faktor intelelektual.

Walaupun Comte adalah orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi, namun tokoh yang mempopulerkan istilah tersebut adalah Herbet Spencer melalui karyanya, Principles of Sociology . Spencer mengembangkan kaidah-kaidah penelitian terhadap masyarakat, menerapkan teori evolusi organik untuk masyarakat manusia, serta mengembangkan teori evolusi sosial. Sosiologi makin kokoh sesudah Emile Durkheim, salah satu tokoh awal sosiologi yang sangat berpengaruh besar terhadap bidang ini,

mendirikan jurnal sosiologi ilmiah di Perancis pada 1898: L’annee sociologiquee. Jurnal ini berpengaruh besar terhadap perkembangan dan diseminasi gagasan-gagasan sosiologi ke seluruh dunia. Melalui jurnal ini, Durkheim berhasil menarik banyak pengikut, dan dalam beberapa tahun kemudian, mereka mulai membawa sosiologi ke wilayah nontradisionalnya, dengan mengkaji beragam aspek dalam kehidupan sosial, seperti sosiologi huku, sosiologi perkotaan, sosiologi pendidikan, dan sebagainya. Pada tahun 1910 Durkheim mendirikan pusat studi sosiologi, dan berhasil menancapkan sosiologi sebagai disiplin paling berpengaruh, setidaknya di Perancis. Selain itu Durkheim juga dikenal karena menyusun metodologi yang kokoh, yang menggabungkan antara riset empiris dengan teori sosiologi. Karena pengaruhnya yang besar, ia dianggap sebagai salah satu bapak sosiologi Perancis. Melalui pemikirannya, ia berhasil membangun sosiologi sebagai disiplin yang berbeda dari filsafat dan psikologi. Hal ini tampak dalam dua tema utama yang ada di banyak karya Durkheim: prioritas dunia sosial di atas individu, dan ide bahwa masyarakat dapat dipelajari secara ilmiah. Satu konsep penting yang membedakan sosiologi dengan filsafat dan psikologi adalah fakta sosial. Fakta sosial adalah struktur sosial yang tidak terkait pada individu tertentu, tidak dapat direduksi menjadi kesadaran individu. Maka, fakta sosial dapat dipelajari secara empiris. Ada dua fakta sosial menurut Durkheim: material dan immaterial. Dalam hal ini Durkheim lebih tertarik untuk mempelajari fakta sosial immaterial, terutama soal moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif dan kesadaran sosial.

Seiring dengan itu, di Jerman muncul tokoh-tokoh besar sosiologi awal, yang pemikirannya masih terus dipelajari dan dikembangkan hingga saat ini. Diantara tokoh yang terkenal adalah Karl Marx, Max Weber dan Georg Simmel. Weber dan Simmel mendirikan Masyarakat Sosiologi Jerman. Gagasan-gagasan sosiologi Simmel bahkan memengaruhi sosiologi Amerika. Karya Simmel memicu lahirnya salah satu aliran sosiologi Amerika yang cukup berpengaruh – Mazhab Chicago, dengan tokohnya seperti Albion Small dan Robert Park. Karl Marx, meski ia tidak menyebut dirinya sebagai sosiolog, gagasannya berpengaruh besar pada sosiologi Eropa. Kajiannya tentang masyarakat menjadi dasar pemikiran bagi generasi sosiolog selanjutnya. Di antara gagasannya yang penting dan relevan bagi sosiologi adalah orientasi materialisme dan gagasan ekonominya. Marx mengatakan problem masyarakat modern dapat dirunut ke sumber daya material, seperti struktur kapitalisme. Tetapi, seperti Hegel, dia menekankan dialektika, yang disebutnya materialisme dialektik.

Menurut konsep ini, proses material, relasi material, konflik, dan kontradiksi material menyebabkan perubahan dan gangguan sosial. Materialisme ini kemudian melahirkan gagasan teori nilai kerja, di mana ia berpendapat bahwa profit kapitalis didasarkan pada eksploitasi atas tenaga kerja atau buruh.

Dalam analisisnya terhadap perkembangan sosiologi klasik, Berger menyatakan bahwa sosiologi berkembang menjadi satu disiplin tersendiri karena beberapa pemikir seperti disebutkan di atas memandang ada semacam ancaman terhadap tatanan dan tertib sosial yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial. Laeyendecker (lihat Ritzer, 2008) mengidentifikasi beberapa ancaman tersebut, diantaranya adalah dua revolusi besar (revolusi industri dan revolusi Perancis), tumbuhnya kapitalisme pada awal abad 16, perubahan besar dalam bidang sosial dan politik akibat terciptanya beberapa teknologi industri baru, perubahan akibat maraknya gerakan reformasi, semisal reformasi religius yang dicetuskan oleh Martin Luther, meningkatnya paham individualisme, dan lahirnya ilmu pengetahuan modern dan sains modern. Teori-teori sosiologi klasik masih penting bukan hanya karena alasan historis, tetapi juga karena masih memiliki relevansi dengan sosiologi modern dan dunia sosial saat ini. Karya-karya pemikir klasik, seperti disebutkan di atas, masih mengilhami para sosiolog modern. Konsep- konsep klasik terus dielaborasi dan diinterpretasikan berdasarkan konteks ruang dan waktu para sosiolog dari generasi ke generasi. Banyak pemikir kontemporer berusaha menginterpretasikan ulang sosiologi klasik untuk diaplikasikan ke kajian dalam konteks kontemporer.

Sekarang, mari kita beralih ke ulasan yang lebih spesifik tentang teori institusi dan sosiologi politik, untuk mendapatkan wawasan sebelum memasuki pembahasan yang lebih rinci tentang peran militer dalam parlemen dari perspektif sosiologis. Pertama- tama kita kita akan melihat pada konsep institusi. Konsep institusi ini penting, sebab, seperti dikatakan oleh Ouellet

, institusi angkatan bersenjata masih menjadi titik awal untuk analisis perubahan angkatan bersenjata.

Teori Institusi

Institusi (semisal parlemen, TNI dan Kepolisian) adalah konsep sosial yang telah lama dibahas dalam ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi pada khususnya. Dalam ranah ilmu sosial lahir teori tersendiri, teori institusional, yang mengkaji proses-proses dan Institusi (semisal parlemen, TNI dan Kepolisian) adalah konsep sosial yang telah lama dibahas dalam ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi pada khususnya. Dalam ranah ilmu sosial lahir teori tersendiri, teori institusional, yang mengkaji proses-proses dan

Institusi di sini berarti seperangkat norma, keyakinan, nilai-nilai, yang saling berkaitan, yang berpusat pada kebutuhan dan aktivitas sosial yang penting dan berulang (Williams, 1970). Contohnya adalah institusi keluarga, pendidikan, agama, militer, sistem ekonomi, stratifikasi sosial dan sebagainya. Teori institusional mengkaji topik diseputar persoalan institusional dengan asumsi utama Ritzer,

institusi adalah struktur tata-pemerintahan, yang memiliki aturan-aturan untuk bertindak secara sosial, (2) kelompok orang dan/atau organisasi yang mengikuti aturan ini untuk bertahan hidup,

institusi ditandai oleh inersia, yakni kecenderungan untuk menolak perubahan, dan (4) memiliki sejarah penting, dalam pengertian bahwa masa lalu struktur institusional masa lalu akan membatasi dan/atau memfasilitasi perubahan menuju aransemen institusional baru. Berdasarkan asumsi ini, maka ada banyak pendekatan untuk mengkaji institusi: pendekatan individu versus struktural, pilihan rasional versus pengambilan keputusan, dan sebagainya. Banyak arena yang telah dikaji melalui analisis institusional, seperti proses modernisasi pada level global, dinamika rezim, struktur organisasi, persaingan antar organisasi (misalnya, militer versus kepolisian versus sipil), desain struktur organisasi, dan difusi inovasi ke entitas sosial. Pada umumnya, teori institusional saat ini perkembangannya dipengaruhi oleh tokoh besar sosiologi awal, seperti Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, Herbert Spencer, dan Charles Horton Cooley (Ritzer, 2005). Misalnya, Durkheim menekankan pentingnya sistem simbolik – sistem keyakinan dan representasi kolektif semisal partai, parlemen) yang, meskipun merupakan produk manusia, dipahami oleh individu sebagai fakta sosial objektif. Sarjana seperti Everett C. Hughes, Talcott Parsons, George H. Mead dan Alfred Schutz meneliti interdependensi antara institusi dengan individu, di mana kajian-kajian mereka mengilhami banyak sosiolog berikutnya untuk institusi ditandai oleh inersia, yakni kecenderungan untuk menolak perubahan, dan (4) memiliki sejarah penting, dalam pengertian bahwa masa lalu struktur institusional masa lalu akan membatasi dan/atau memfasilitasi perubahan menuju aransemen institusional baru. Berdasarkan asumsi ini, maka ada banyak pendekatan untuk mengkaji institusi: pendekatan individu versus struktural, pilihan rasional versus pengambilan keputusan, dan sebagainya. Banyak arena yang telah dikaji melalui analisis institusional, seperti proses modernisasi pada level global, dinamika rezim, struktur organisasi, persaingan antar organisasi (misalnya, militer versus kepolisian versus sipil), desain struktur organisasi, dan difusi inovasi ke entitas sosial. Pada umumnya, teori institusional saat ini perkembangannya dipengaruhi oleh tokoh besar sosiologi awal, seperti Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, Herbert Spencer, dan Charles Horton Cooley (Ritzer, 2005). Misalnya, Durkheim menekankan pentingnya sistem simbolik – sistem keyakinan dan representasi kolektif semisal partai, parlemen) yang, meskipun merupakan produk manusia, dipahami oleh individu sebagai fakta sosial objektif. Sarjana seperti Everett C. Hughes, Talcott Parsons, George H. Mead dan Alfred Schutz meneliti interdependensi antara institusi dengan individu, di mana kajian-kajian mereka mengilhami banyak sosiolog berikutnya untuk

Dalam pendekatan pilihan rasional, institusi, seperti institusi militer, misalnya, dipandang sebagai suatu tata-pemerintahan atau sistem aturan yang diciptakan oleh individu dalam rangka mengejar atau melindungi kepentingan mereka. Artinya, meskipun institusi mengatur dan membatasi individu, namun dalam beberapa kondisi, individu merasa bahwa tujuan mereka dapat dicapai secara lebih efektif melalui tindakan institusi. Ini menjelaskan mengapa beberapa individu menyusun sistem yang membatasi perilaku dan tindakan mereka sendiri. Dalam hal ini individu mengambil pilihan rasional guna mendapatkan kepentingannya melalui institusi. Pendekatan kedua, pendekatan normatif, menegaskan bahwa sistem institusi terutama dibangun di atas landasan normatif. Sistem ini terdiri dari norma dan nilai yang dianut bersama, yang melahirkan aturan, kewajiban, penilaian, tugas dan ajaaran untuk dilaksanakan dalam kehidupan sosial dan politik. Aturan bukan hanya ditegakkan secara eksternal, tetapi juga ditanamkan dalam diri pelaku atau anggota institusi. Misalnya, dalam institusi militer, selain penegakan aturan dan hukum, institusi militer juga menanamkan aturan dan kewajiban, seperti indoktrinasi dan nilai-nilai kepatuhan pada komando, pada diri prajurit, yang pada gilirannya, pelaksanaan dan penanaman aturan pada individu ini akan memengaruhi tindakannya saat berinteraksi di dunia sosial, ekonomi, dan politik. Pendekatan normatif ini, khususnya dalam wilayah sosiologi, didukung oleh sosiolog dari Mazhab Chicago, seperti Robert Park, Everett C. Hughes, Erving Goffman, dan Howard S. Becker (Ritzer, 2005, 2008). Pendekatan ketiga, kognitif- kultural , didasarkan pada karya Peter L. Berger di bidang fenomenologi, studi Harold Garfinkel di bidang etnomedologi, dan studi antropologi kultural oleh Mary Douglas dan Clifford Geertz (Borgatta, 2000; Ritzer, 2005). Elemen utama dari perspektif ini adalah konsep besama yang menentukan sifat dari realitas sosial. Realitas ini dikembangkan dalam interaksi sosial antarindividual baik di tingkat mikro maupun makro. Dari waktu ke waktu individu akan mulai mendapat pemahaman bersama Dalam pendekatan pilihan rasional, institusi, seperti institusi militer, misalnya, dipandang sebagai suatu tata-pemerintahan atau sistem aturan yang diciptakan oleh individu dalam rangka mengejar atau melindungi kepentingan mereka. Artinya, meskipun institusi mengatur dan membatasi individu, namun dalam beberapa kondisi, individu merasa bahwa tujuan mereka dapat dicapai secara lebih efektif melalui tindakan institusi. Ini menjelaskan mengapa beberapa individu menyusun sistem yang membatasi perilaku dan tindakan mereka sendiri. Dalam hal ini individu mengambil pilihan rasional guna mendapatkan kepentingannya melalui institusi. Pendekatan kedua, pendekatan normatif, menegaskan bahwa sistem institusi terutama dibangun di atas landasan normatif. Sistem ini terdiri dari norma dan nilai yang dianut bersama, yang melahirkan aturan, kewajiban, penilaian, tugas dan ajaaran untuk dilaksanakan dalam kehidupan sosial dan politik. Aturan bukan hanya ditegakkan secara eksternal, tetapi juga ditanamkan dalam diri pelaku atau anggota institusi. Misalnya, dalam institusi militer, selain penegakan aturan dan hukum, institusi militer juga menanamkan aturan dan kewajiban, seperti indoktrinasi dan nilai-nilai kepatuhan pada komando, pada diri prajurit, yang pada gilirannya, pelaksanaan dan penanaman aturan pada individu ini akan memengaruhi tindakannya saat berinteraksi di dunia sosial, ekonomi, dan politik. Pendekatan normatif ini, khususnya dalam wilayah sosiologi, didukung oleh sosiolog dari Mazhab Chicago, seperti Robert Park, Everett C. Hughes, Erving Goffman, dan Howard S. Becker (Ritzer, 2005, 2008). Pendekatan ketiga, kognitif- kultural , didasarkan pada karya Peter L. Berger di bidang fenomenologi, studi Harold Garfinkel di bidang etnomedologi, dan studi antropologi kultural oleh Mary Douglas dan Clifford Geertz (Borgatta, 2000; Ritzer, 2005). Elemen utama dari perspektif ini adalah konsep besama yang menentukan sifat dari realitas sosial. Realitas ini dikembangkan dalam interaksi sosial antarindividual baik di tingkat mikro maupun makro. Dari waktu ke waktu individu akan mulai mendapat pemahaman bersama

Banyak riset berdasar argumen institusional ini telah dilakukan pada level organisasi. Riset awal umumnya mengkaji komitmen ideologi mana yang berkembang di antara individu yang pada gilirannya akan dimanifestasikan ke dalam tata-aturan yang membatasi kebebasan bertindak partisipan, dan bagaimana sistem akan mengembangkan struktur karakter - yakni rutinitas dan aturan yang dilembagakan yang akan menyalurkan dan membatasi tindakan anggota. Riset manajerial telah mengembangkan tradisi ini dengan memasukkan kajian perkembangan dan fungsi kultur organisasi dan korporat. Kemunculan model kognitif-kultural telah mendorong sarjana sosiologi untuk mengalihkan perhatiannya dari organisasi individual ke level populasi organisasional dan bidang organisasi.

Belakangan, dengan makin pesatnya perubahan di segala bidang sebagai akibat dari meningkatnya teknologi, terutama informasi, dan makin mengglobalnya konstelasi populasi serta makin tingginya level interdependensi antar entitas sosial di seluruh dunia, perhatian para sosiologi institusi mulai diarahkan pada aspek perubahan pada institusi. Misalnya, pada level global, para sarjana mulai memperhatikan perubahan besar dalam tatanan sosial-politik di level internasional: ambruknya Uni Soviet dan munculnya negara baru di Eropa Timur; evolusi pasar dan desain institusi baru di Eropa Barat; dan modernisasi ekonomi di China dan sebagian negara Asia lainnya. Misalnya, dalam konteks Indonesia, gerakan reformasi dan ambruknya rezim Soeharto telah menimbulkan perubahan signifikan pada banyak institusi, termasuk militer. Perubahan paradigma, semisal ditinggalkannya konsep dwi-fungsi tentara, perubahan nama dari ABRI ke TNI, pemisahan tentara dengan kepolisian, hubungan sipil-militer, dan perubahan peran politik militer di parlemen, telah dibahas sejak awal 2000-an.

Sosiologi Politik

Secara historis, ada dua tradisi intelektual yang berpengaruh besar pada bidang sosiologi politik: tradisi stratifikasi sosial yang dipelopori oleh Karl Marx dan Frederick Engels, dan tradisi organisasi yang diawali oleh Max Weber dan Robert Michels (Lipset, 1981). Pada tradisi pertama, sosiologi politik didefinisikan secara umum sebagai studi kekuasaan sosial di semua sektor institusi masyarakat dengan penekanan pada negara dan akar struktur sistem kelas. Tradisi ini memandang struktur sosial dan perubahan secara holistik, dan menyatakan bahwa sistem kelas akan menentukan organisasi negara dan tindakan politik. Fungsi negara menurut pendapat ini adalah menjaga ketertiban sosial dan karenanya negara dikaji dari segi fungsinya ini. Tradisi kedua mendefinisikan sosiologi politik dalam term lebih sempit, yakni dalam term organisasi kelompok politik dan kepemimpinan politik, dengan penekanan pada struktur negara dan kelompok-kelompok yang bersaing memperebutkan kekuasaan negara. Negara dipandang sebagai pemilik monopoli yang sah atas cara-cara kekerasan. Pendekatan ini menekankan pada organisasi formal dan informal, seperti partai politik, kelompok kepentingan, dan gerakan sosial, kaitannya dengan birokrasi pemerintah dan pusat- pusat pembuatan kebijakan resmi, mitos-mitos yang sah yang digunakan untuk menjustifikasi sistem undang-undang, dampak opini publik, termasuk organisasi media massa dan pemilih politik (Jenkins, 2005). Karl Marx dan Frederick Angels mengembangkan dua teori berbeda tentang negara: teori instrumental dan teori strukturalis (Carnoy, 1979). Dalam argumen pertama, negara adalah instrumen atau alat kekuasaan, digunakan untuk melindungi sistem properti/hak milik, dan menegakkan aturan dengan kekuasaan dan manipulasi ideologi. Penguasa adalah kelas dominan yang menguasai sistem ekonomi sekaligus politik. Negara, meminjam konsep Weber (1974), adalah memonopoli alat-alat kekuasaan yan sah dalam masyarakat dan mengkonsolidasikan kekuatan kelas atas melalui kekuasaan dan penipuan. Argumen ini belakangan mengilhami lahirnya teori elit kekuasaan Mills, 1956), yakni kelompok pemimpin yang kohesif yang menyatukan elit korporat kaya, elit politik, dan elit militer. Argumen ini juga melahirkan teori dominasi bisnis (Domhoff, 1979, 1990, 1998) dan tesis lingkaran-dalam (Useems, 1984).

Marx dan Engels juga mengemukakan teori struktural tentang negara, yang memperlakukan negara sebagai produk dari perjuangan kelas. Dalam esainya,

Eighteeth Brumaire of Louis Bonaparte (1852, 1964), Marx berpendapat bahwa perkembangan politik dari gerakan kelas pekerja, yang beriringan dengan konflik internal di dalam kelas penguasa, akan menimbulkan kediktatoran militer. Kelas kapitalis terlalu terpecah-belah, sehingga harus dilindungi oleh diktator militer (Jenkins, 2005). Argumen ini digunakan oleh beberapa analis politik untuk menjelaskan kediktatoran di suatu negara. Misalnya, Neumann menjelaskan kebangkitan kediktatoran fasis Jerman selama 1930-an dalam term kombinasi mobilisasi kelas pekerja, kelompok borjuis yang terpecah-belah, dan tradisi politik autokratik yang kuat (Neumann, 1942). Tetapi sebagian pengkritik menunjukkan bahwa argumen ini tidak menjelaskan mekanisme spesifik yang digunakan kelas penguasa (misal, Skocpol, 1981). Sebagai respon atas kritik ini, Offe (1984) dan Block (1987) mengatakan bahwa dalam kapitalisme, negara dibatasi untuk melakukan kegiatan mencari laba, sehingga penguasa negara secara struktural tergantung pada kapitalis dalam melaksanakan investasi dan dalam hal menciptakan lapangan kerja, pajak, dan pertumbuhan ekonomi. Penguasa, atau pengelola negara, karena itu, secara struktural tertekan untuk menciptakan akumulasi modal dan bertindak otonom untuk mempromosikan reformasi yang merasionalisasikan dan menstabilkan sistem kapitalis. Jadi tradisi stratifikasi ini secara perlahan memasukkan argumen dari tradisi organisasional, dengan fokus pada kelompok pemimpin dan otonomi institusi politik (Jenkins, 2005). Tetapi pandangan ini juga mendapat kritik. Menurut sebagian pengkritik, stratifikasi sosial bukan soal kelas tetapi soal prestise dan praktik sosial yang eksklusif (Webr, 1947; Parkin, 1979). Jadi menurut argumen Weber (1947), perjuangan politik memperebutkan kekuasaan negara biasanya bukan perjuangan kelas, tetapi perjuangan gaya hiduo dan status prestise. Weber juga berpendapat bahwa otoritas legal-rasional dan organisasi birokrasi akan menggantikan kekuasaan tradisional dan kekuasaan karismatik, sehingga menciptakan sangkat besi birokrasi negara modern. Kedua argumen ini menunjukkan pentingnya organisasi politik dalam kehidupan bernegara.

Maka lahirlah tradisi kedua, tradisi organisasi, yang berakar dalam gagasan Weber dan Michells, serta teoritisi elit seperti Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto (Jenkins, 2005). Inti argumen mereka adalah kekuasaan oleh segelintir orang (elit) adalah keniscayaan. Hal ini disebabkan langkanya talenta pemimpin, juga karena massa membutuhkan kepemimpiunan, dan karena dibutuhkannya organisasi yang kompleks. Maka persoalan politik bukan soal eliminasi kelas penguasa atau penciptaan masyarakat Maka lahirlah tradisi kedua, tradisi organisasi, yang berakar dalam gagasan Weber dan Michells, serta teoritisi elit seperti Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto (Jenkins, 2005). Inti argumen mereka adalah kekuasaan oleh segelintir orang (elit) adalah keniscayaan. Hal ini disebabkan langkanya talenta pemimpin, juga karena massa membutuhkan kepemimpiunan, dan karena dibutuhkannya organisasi yang kompleks. Maka persoalan politik bukan soal eliminasi kelas penguasa atau penciptaan masyarakat

Ritzer, . Otoritas dengan legitimasi tradisional biasanya didasarkan pada kepercayaan yang telah mapan terhadap kesucian kuno dan keabsahan pihak-pihak yang menjalankan otoritas berdasarkan tradisi tersebut Weber,

. Dan legitimasi karisma didasarkan pada keyakinan para pengikut terhadap sosok yang suci, luar biasa, berkarisma, memiliki kekuatan lebih, serta keyakinan pada tatanan normatif yang ditetapkan oleh sosok yang berkarisma itu Weber,

Dalam perkembangan berikutnya, sosiologi politik semakin bervariasi sekaligus semakin kuat sesudah muncul interpretasi baru atas hubungan masyarakat sipil dengan negara. Perkembangan baru ini boleh dikatakan membawa sosiologi politik, dan sosiologi pada umumnya, masuk ke ranah sosiologi modern (Bottomore, 1992). Ciri

modern ini tampak menonjol dalam upaya sosiolog untuk tidak lagi membagi-bagi secara kaku antarkelompok politik. Hal ini dapat dilihat dalam pemikiran dan karya tokoh-tokoh sosiologi generasi berikutnya, seperti Goentano Mosca (yang menekankan pentingnya interdependensi dan perimbangan kekuasaan), Karl Popper (yang mengkritik sosiologi politik Marxis dan mengemukakan argumen bahwa persoalan politik hanya bisa ditelaah secara sosiologis dan empiris melalui realitas sosial dari masyarakat politik), dan Vilfredo Pareto (yang memandang elit politik sebagai entitas penting). Mengingat berbagai macam pendekatan dan metodologi yang berkembang dalam sosiologi politik itu berguna, maka ada beberapa upaya untuk melakukan beberapa sintesis antarmetodologi, misalnya dengan menggunakan teori-teori secara kontekstual, dengan alasan bahwa setiap teori didasarkan pada seting politik tertentu atau mengandung aspek politik spesifik. Ada juga upaya untuk mengintegrasikan argumen-argumen teoritis tersebut ke dalam kerangka teoritis yang komprehensif, seperti pendekatan teori multidimensional (Lukes, 1974; Alford & Friedland, 1985) yang mengintegrasikan konsep-konsep dalam berbagai pendekatan tersebut.

Sosiologi Militer: Sejarah dan Perkembangannya

Bidang kajian ini menyoroti angkatan bersenjata sebagai organisasi atau institusi bertipe khusus dengan fungsi sosial spesifik (Bredow, 2000). Karenanya, sosiologi militer membahas banyak topik, dan perlu dicatat bahwa cakupannya tidak hanya pada institusi militer dan anggotanya saja, tetapi juga meluas ke bidang seperti profesionalisme militer, hubungan akademisi-industri militer, hubungan sipil-militer dalam konstelasi politik dan persaingan kekuasaan, dependensi militer pada riset, struktur organisasi militer, dan sebagainya.

Meskipun disiplin sosiologi militer muncul dalam bentuk disiplin tersendiri sesudah Perang Dunia II, namun aspek militer ini sudah dibahas oleh para perintis sosiologi awal, seperti Comte, Spencer, Tocqueville, Weber, dan lain-lain – oleh Cafario (2006), para pemikir klasik ini disebut sebagai perintis forerunner) sosiologi militer modern. Pendekatan klasik yang memandang militer sebagai fenomena sosial adalah tidak berbeda dengan pendekatan terhadap sektor kehidupan lain. Sosiologi klasik mengemukakan konsep masyarakat yang komprehensif, dan di dalam sosiologi klasik kita bisa menjumpai analisis umum berbagai macam institusi sosial dari segi kekhususannya dan dalam hubungannya dengan masyarakat pada umumnya. Militer adalah salah satu dari sekian banyak institusi sosial dasar. Para sosiolog klasik memandang militer berdasarkan perspektif mazhab sosiologi masing-masing. Konsekuensinya, ada perbedaan sudut pandang tentang perilaku militer, aturan dan norma militer serta nilai-nilai kemiliteran dan hubungan mereka dengan masyarakat pada umumnya. Karena militer dijelaskan dan dikaji di dalam kerangka teori sosiologi yang berbeda, maka pada masa klasik ini muncul penjelasan tentang peran militer sebagai aspek dasar dari masyarakat manusia atau penjelasan evolusioner, yang memandang struktur militer sebagai struktur tahap pertama dalam evolusi manusia. Karenanya, sosiolog klasik seperti Comte dan Spencer menganggap bahwa struktur dan fungsi militer niscaya akan semakin menurun sebagai akibat dari perkembangan manusia dari tahap primitif ke tahap yang lebih maju (Nuciari, 2006).

Dalam karya berjudul A Course of Positive Philosophy (enam jilid), Auguste Comte mengatakan bahwa kehidupan militer didasari oleh tahap pertama dari tiga tahap evolusi. Menurut Comte, kehidupan militer ada pada tahap perkembangan teologis dan mencerminkan kecenderungan primitif manusia. Berdasar gagasan evolusinya,

kecenderungan militer ini kelak akan digantikan oleh kecenderungan ke arah kehidupan industri modern, yang akan terwujud pada tahap ilmiah atau positivistik (Nuciari, 2006; Weinberg, 1978). Pada periode yang hampir sama, Tocqueville mencurahkan satu bab dalam karya pentingnya, Democracy in America, untuk membahas perang dan militer. Menurut Tocqueville, aspek sosiopolitik dari suatu negara akan bergerak ke arah menjauhi perang menuju ke melemahnya signifikansi militer. Senada dengan pandangan Comte dan Spencer, Tocqueville menyatakan penurunan signifikansi militer ini disebabkan oleh proses industrialisasi dan demokratisasi. Namun penurunan ini akan berjalan lambat dan bersifat parsial. Karena itu, selama proses panjang ini masyarakat demokratis tidak bisa lepas dari kewajiban untuk mempertahankan angkatan bersenjatanya. Tocqueville menyimpulkan, berdasar alasan tersebut, maka perlu dilakukan studi elemen-elemen sosial yang membentuk institusi tentara dan tendensi-tendensi yang menyebabkan lahirnya angkatan bersenjata. Karena itu, pada poin ini dapat dikatakan bahwa Tocqueville menciptakan satu pokok persoalan, satu topik studi, yang kelak akan disebut sebagai sosiologi militer. Dan studi awal Tocqueville ini dapat dikatakan cukup mendalam, karena ia juga membahas banyak tema penting, seperti hubungan antara angkatan bersenjata dengan masyarakat, akar sosial dari pejabat militer, profesi militer sebagai sarana untuk menaiki status sosial, dan masalah karir dalam militer, dan isu divergensi/konvergensi militer dengan masyarakat sipil, dan problem kontrol politik atas angkatan bersenjata – tema yang kelak menjadi debat dan riset utama di bidang sosiologi militer sepanjang paruh kedua abad 20 (Caforio, 2006).

Herbert Spencer, salah satu perintis sosiologi militer lainnya, menggunakan metode komparatif untuk mengkaji masyarakat pada level yang berbeda-beda. Sebagai prinsip integrasinya, ia menggunakan perspektif evolusi spesies biologis (Darwin) yang diaplikasikan ke agregat sosial. Tesis umum yang dikemukakan Spencer adalah ada hukum evolusi organisme dan kelompok, di mana hukum ini menyebabkan proses perkembangan yang natural. Evolusi kelompok manusia dipandang sebagai sederet proses dan produk yang membutuhkan koordinasi tindakan dari banyak individu. Bentuk tertinggi dari evolusi ini adalah masyarakat; studi tentang masyarakat adalah sosiologi (Caforio, 2006). Menurut Spencer, struktur masyarakat ini bersifat homeostatic, yakni perubahan di satu bagian akan menimbulkan perubahan di bagian lain dalam rangka mempertahankan keseimbangan sistem. Individu dan kelompok akan Herbert Spencer, salah satu perintis sosiologi militer lainnya, menggunakan metode komparatif untuk mengkaji masyarakat pada level yang berbeda-beda. Sebagai prinsip integrasinya, ia menggunakan perspektif evolusi spesies biologis (Darwin) yang diaplikasikan ke agregat sosial. Tesis umum yang dikemukakan Spencer adalah ada hukum evolusi organisme dan kelompok, di mana hukum ini menyebabkan proses perkembangan yang natural. Evolusi kelompok manusia dipandang sebagai sederet proses dan produk yang membutuhkan koordinasi tindakan dari banyak individu. Bentuk tertinggi dari evolusi ini adalah masyarakat; studi tentang masyarakat adalah sosiologi (Caforio, 2006). Menurut Spencer, struktur masyarakat ini bersifat homeostatic, yakni perubahan di satu bagian akan menimbulkan perubahan di bagian lain dalam rangka mempertahankan keseimbangan sistem. Individu dan kelompok akan

Pemikir klasik yang membawa analisis sosiologi lebih dekat ke sub-bidang spesifik- militer adalah Gateano Mosca. Mosca melangkah lebih jauh ketimbang perspektif positivis yang berpendapat perang akan hilang karena kedatangan masyarakat yang positif (Comte), industrial (Spencer) atau demokratis (Tocqueville). Mosca menunjukkan bahwa penyebab perang sesungguhnya bukan institusi militer. Fungsi militer akan terus hadir dalam masyarakat karena perang hanyalah salah satu dari sekian banyak manifestasi sifat manusia. Jadi, militer dan evolusi historisnya perlu dikaji secara serius guna memahami bagaimana organisasi militer itu dapat berperan optimal sesuai zamannya. Dalam negara modern, problem supremasi kekuasaan sipil atas militer dipecahkan melalui penataan angkatan bersenjata (dalam studi kasusnya ia menyebut negara-negara Eropa), di mana elemen-elemen sosial yang beragam direpresentasikan dan diseimbangkan. Tetapi, menurutnya, yang lebih penting dalam solusi problem hubungan ini adalah dengan memasukkan pejabat militer ke dalam kelompok yang disebutnya sebagai elit kekuasaan (power elit) (Mosca, 1896, Cafario, 2006). Menurut Mosca, dengan memasukkan pejabat militer ke dalam kelompok elit kekuasaan, petinggi sipil bisa mendapatkan loyalitas angkatan bersenjata dan meletakkan militer di bawah kekuasaan sipil.

Pemikir sosiologi klasik lain yang perlu disebut, tentu saja, adalah Max Weber, yang pernah bertugas di pasukan Jerman di Strasbourg. Analisis militer adalah penting bagi definisi negara birokratik, menurut Weber. Dia mendefinisikan negara modern sebagai komunitas manusia yang memiliki monopoli untuk menggunakan kekuatan paksa

secara sah. Analisis Weber diawalu dengan penelitian historis-komparatif untuk mendefinisikan jenis rekrutmen militer dan karakteristik organisasi dari berbagai masyarakat dan periode yang berbeda. Weber menyusun tipologi militer yang tidak dikaitkan dengan satu periode sejarah atau kawasan geografis, dan tidak menyertakan proses evolusi linier. Satu tipologi yang menarik adalah institusi militer di negara modern. Di negara modern, yang ditandai dengan birokratisasi, seseorang tidak tunduk kepada orang, melainkan kepada aturan yang disepakati bersama oleh komunitas. Karenanya, pejabat militer tidak berbeda dengan pejabat lain; ia juga harus pada norma sosial dan aturan; haknya untuk berkuasa dilegitimasi oleh aturan yang mendefinisikan perannya. Kepatuhan pada norma dan nilai tersebut, yang dikombinasikan dengan penekanan pada peran pelaksanaan institusi dan loyalitas institusional, melahirkan disiplin militer (Caforio, 2003). Militer, menurut Weber, membangun organisasinya berdasarkan kapitalisme, lalu memulihkan objektivitas konsep disiplinnya berdasarkan konsep korporasi industri. Aspek lain dari pemikiran Weber yang menarik perhatian dalam bidang ini adalah gagasannya tentang hubungan antara teknologi militer, organisasi militer dan politik. Secara khusus Weber membahas organisasi sosial dan distribusi kekerasan militer (Talbot et.al., 2010). Dalam esai Politics as a Vocation, Weber berpendapat bahwa militer dan politik adalah agen utama milik negara yang melaksanakan fungsi kekerasan terkontrol.

Sesudah studi Weber dikenal dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, sosiologi militer tampaknya mulai dilirik orang di Eropa. Namun dalam konteks Eropa, studi-studi milite relatif sedikit, masih terfragmentasi, dan belum komprehensif. Sesudah Perang Dunia II, studi militer mulai berkembang menjadi kajian yang lebih spesifik, terutama di Amerika Serikat. Dalam tahap ini militer tidak lagi dipelajari sebagai sekadar bagian dari masyarakat atau dunia sosial, tetapi sebagai objek analisis tersendiri yang mudah dianalisis secara kualitatif dan diukur secara kuantitatif.

Karya penting awal yang berpengaruh besar terhadap perkembangan studi sosiologi militer adalah buku berjudul American Soldier (Stouffler et al., 1950). Karya ini dianggap sebagai salah satu karya perintis sosiologi militer yang membahas struktur sosial tentara, personel militer, dan psikologi sosial, yang didasarkan pada metode ilmiah dan disajikan secara sistematis (Vladimir, 2006). Karya ini merupakan riset yang ekstensif, didasarkan pada lebih dari 200 laporan dan wawancara dengan ratusan ribu tentara Karya penting awal yang berpengaruh besar terhadap perkembangan studi sosiologi militer adalah buku berjudul American Soldier (Stouffler et al., 1950). Karya ini dianggap sebagai salah satu karya perintis sosiologi militer yang membahas struktur sosial tentara, personel militer, dan psikologi sosial, yang didasarkan pada metode ilmiah dan disajikan secara sistematis (Vladimir, 2006). Karya ini merupakan riset yang ekstensif, didasarkan pada lebih dari 200 laporan dan wawancara dengan ratusan ribu tentara

Secara khusus, Huntington bisa dikatakan sebagai ilmuwan pertama yang melakukan sistematisasi sosiologi yang membahas militer. Dalam karya klasiknya, The Soldier and the State , Huntingt on mengidentifikasi sektor studi hubungan sipil-militer, yang dipahami sebagai salah satu aspek dari kebijakan keamanan nasional. Kerangka teoritis yang diberikan Huntington adalah dengan membagi kebijakan keamanan nasional menjadi tiga area utama: kebijakan keamanan militer, kebijakan keamanan dalam negeri (domestik), dan kebijakan keamanan situasional (Huntington, 1957). Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mengembangkan sistem hubungan sipil-militer yang dapat memaksimalkan keamanan militer dengan mengorbankan nilai sosial lain seminimal mungkin. Di sini Huntington membahas profesi militer, yang diartikannya sebagai aktivitas yang dilakukan oleh jenis kelompok tertentu yang memiliki keahlian khusus, yang mengandung unsur keterampilan, tanggungjawab dan kelembagaan. Setelah menjelaskan karakteristik profesi militer, Huntington membahas bagaimana kontrol sipil dapat dilaksanakan secara efektif untuk mengontrol kekuasaan militer yang dipegang pejabat militer (Caforio, 2003, 2006). Huntington mendasarkan landasan teoritis pemikirannya pada dua pemikiran: yang pertama, dari filsafat Thomas Hobbes, di mana Huntington mengambil konsep tentang sifat manusia yang pada dasarnya suka konflik dan tentang kondisi negara yang selalu berpotensi untuk saling serang; yang kedua, dari studi perang Karl von Clausewitz, terutama konsep sifat ganda dari perang.

Menurut Huntington, ada dua tipe kontrol politik terhadap militer: kontrol subjektif dan kontrol objektif. Kontrol subjektif dilakukan dengan memaksimalkan kekuasaan Menurut Huntington, ada dua tipe kontrol politik terhadap militer: kontrol subjektif dan kontrol objektif. Kontrol subjektif dilakukan dengan memaksimalkan kekuasaan

Beberapa tahun sesudah terbitnya karya Huntington, Morris Janowitz mempublikasikan karya penting The Professional Soldier (1960), yang berpengaruh besar pada studi militer karena ia memberi landasan model yang berbeda untuk kontrol politik atas angkatan bersenjata. Tesis sentral Janowitz adalah bahwa institusi militer harus dikaji dalam term proses perubahannya, sebab institusi ini selalu berubah seiring dengan berubahnya kondisi masyarakat (Caforio, 2006; Janowitz, 1960). Dengan kata, dihadapan perubahan yang kompleks dan terus-menerus, militer harus mencari cara untuk melakukan serangkaian adaptasi. Perubahan yang kompleks ini, serta dampaknya terhadap institusi dan pejabat militer menyebabkan Janowitz memberi perhatian khusus pada studi profesi militer (Caforio, 2006).

Jadi para sosiolog pada periode yang lebih baru ini membahas institusi militer dalam hubungannya dengan tindakan personel, relevansinya di dalam konteks organisasional, masyarakat, dan konteks global. Talbot et al. (2010) mengemukakan bahwa dalam pengertiannya yang paling umum, sosiologi militer modern mengkaji dua kategori besar: (a) kajian dengan fokus internal, yang meriset militer sebagai institusi sosial (mengeksplorasi isu-isu seperti profesionalisme tentara, integrasi gender ke dalam angkatan bersenjata, dan peran militer yang berubah, dan (b) kajian dengan fokus eksternal yang membahas relasi antara institusi militer dengan negara, dengan masyarakat dan dengan negara-negara asing. Dalam konteks ini ada beberapa karya penting yang cukup berpengaruh, seperti karya Caforio (2003), Janowitz (1971), Moskos et al. (1999), Ouellet (2005), Segal (1989) dan sebagainya.

Seperti dikemukakan Janowitz, perubahan tatanan sosial dan kondisi masyarakat akan menyebabkan militer harus beradaptasi, dan tesis ini tampak berlaku untuk melihat periode sejarah yang lebih baru, yakni pasca berakhirnya Perang Dingin dan pada Seperti dikemukakan Janowitz, perubahan tatanan sosial dan kondisi masyarakat akan menyebabkan militer harus beradaptasi, dan tesis ini tampak berlaku untuk melihat periode sejarah yang lebih baru, yakni pasca berakhirnya Perang Dingin dan pada

Perubahan yang menonjol di lingkungan baru adalah pada struktur kelembagaan dan fungsi militer. Manigari (2006) menyebutkan setidaknya ada lima variabel yang berpengaruh signifikan terhadap struktur organisasi militer: level perkembangan ekonomi, perkembangan teknologi, perubahan lingkungan sosio-kultural, lingkungan geopolitik di mana institusi militer berada, dan misi organisasi. Pengaruh-pengaruh lingkungan ini memaksa banyak institusi militer untuk melakukan restrukturisasi organisasi militernya dalam rangka meningkatkan kapabilitas dan menyesuaikan diri dengan perubahan. Proses-proses restrukturisasi yang biasanya terjadi adalah perampingan, profesionalisasi, penggunangan pasukan cadangan, integrasi antar- angkatan, dan multinasionalisasi angkatan bersenjata (yang terakhir ini terutama terjadi di Uni Eropa) (Manigari, 2006).

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

The correlation intelligence quatient (IQ) and studenst achievement in learning english : a correlational study on tenth grade of man 19 jakarta

0 57 61

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22