Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Baku Dalam Perjanjian

2. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Baku Dalam Perjanjian

Pengangkutan 2.1.Pengertian Perjanjian Baku Pada dasarnya suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dan kedua belah pihak tersebut berusaha untuk mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian melalui suatu proses negosiasi diantara mereka. Namun, dewasa ini ada kecenderungan bahwa banyak perjanjian dalam transaksi bisnis yang terjadi dilakukan bukan dengan proses negosiasi yang seimbang diantara para pihak melainkan pihak yang satu telah menyiapkan suatu syarat baku pada formulir perjanjian dan pihak yang lain tinggal menyetujuinya dengan tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lain tersebut untuk melakukan negosiasi terhadap syarat-syarat yang disodorkan. Perjanjian yang demikian dapat disebut sebagai perjanjian baku atau perjanjian standar. Perjanjian baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu. Jadi perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Pihak lawan dari yang menyusun perjanjian yang umumnya disebut adherent, berhadapan dengan yang menyusun perjanjian, tidak mempunyai pilihan kecuali menerima atau menolak 38 . Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan yang dimaksud dengan klausula baku 38 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm.47. adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Ketika perjanjian tersebut ditandatangani, umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausulanya dan pihak lain dalam perjanjian tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk bernegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya perjanjian baku sangat berat sebelah 39 . Karakteristik utama perjanjian baku adalah 40 : 1. Dibuat agar suatu industri atau bisnis dapat melayani transaksi-transaksi tertentu secara efisien, khususnya untuk digunakan dalam aktifitas transaksional yang diperkirakan akan berfrekuensi tinggi. 2. Dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang cepat bagi pembuatnya danatau pihak-pihak yang akan mengikatkan diri di dalamnya. 3. Demi pelayanan yang cepat, sebagian besar atau seluruh persyaratan didalamnya ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dan dipersiapkan untuk digandakan dan ditawarkan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. 39 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis Buku Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.76. 40 Laboratorium Hukum FH Unpad, Keterampilan Perancangan Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.182. 4. Biasanya isi dan persyaratannya distandarisasi atau dirumuskan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang langsung berkepentingan dalam memasarkan produk barang atau layanan jasa tertentu kepada masyarakat. 5. Dibuat untuk ditawarkan kepada publik secara masal dan tidak memperhatikan kondisi danatau kebutuhan-kebutuhan khusus dari setiap konsumen dan konsumen hanya perlu menyetujui atau menolak sama sekali seluruh persyaratan yang ditawarkan. Perjanjian baku kebanyakan adalah perjanjian adhesie yaitu perjanjian dimana salah satu pihak pembuat perjanjian berada dalam keadaan terjepit terdesak. Dan keadaan itu dimanfaatkan oleh pihak lain yang mempunyai kedudukan yang lebih kuat. Pihak yang lebih kuat di dalam membuat penawaran dalam perjanjian dengan pihak yang lemah menggunakan prinsip take it or leave it ambil tinggalkan 41 . Dalam perjanjian baku juga terdapat default clauses yaitu klausula yang memberikan hak salah satu pihak yang lebih kuat kedudukannya untuk memutuskan sebelum waktunya dalam hal-hal tertentu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Perjanjian baku yang terdapat dalam masyarakat dibedakan dalam beberapa jenis antara lain 42 : 41 Purwahid Patrik, op cit ,hlm.43. 42 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm.11. 1. Perjanjian baku sepihak. Adalah perjanjian yang isinya dibuat oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu, pihak yang kuat disini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi lebih kuat dibanding debitur. 2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah. Adalah perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah yang isinya ditentukan oleh Pemerintah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian yang berupa antara lain akta jual beli, akta hipotik dan sebagainya. 3. Perjanjian baku yang ditentukan di kalangan Notaris atau Advokat. Perjanjian baku yang dimaksud disini berkaitan dengan perjanjian yang konsepnya sejak semula disiapkan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris dan Advokat yang bersangkutan. Dengan menggunakan perjanjian baku maka pengusaha akan mendapatkan keuntungan berupa : 43 1. Efisiensi dalam penggunaan biaya, tenaga, dan waktu. 2. Praktis karena sudah tersedia naskah yang tercetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani. 3. Penyelesaian cepat, karena konsumen hanya menyetujui danatau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya. 4. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah banyak. 43 Ibid, hlm.8. Perjanjian baku memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari perjanjian baku adalah bahwa perjanjian tersebut lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih simpel serta dapat ditandatangani seketika oleh para pihak. Sedangkan kelemahan dari perjanjian baku adalah kurangnya kesempatan bagi para pihak lawan untuk bernegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam perjanjian karena tidak mempunyai kekuatan menawar bargaining power, sehingga perjanjian tersebut sangat berpotensi untuk menjadi klausula yang berat sebelah. Walaupun secara teoritis yuridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang, namun kenyataanya, kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum 44 . Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya penggunaan perjanjian dengan syarat baku di dalam masyarakat. Ini disebabkan karena dengan menggunakan bentuk perjanjian semacam ini akan mempermudah kegiatan usaha dan mengurangi ongkos-ongkos. 2.2.Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Pengangkutan Sekarang ini, banyak perjanjian terjadi tanpa proses negosiasi yang seimbang diantara para pihak melainkan dengan cara penyiapan suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak konsumen untuk disetujui, dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak konsumen untuk menentukan isi perjanjian. Perjanjian yang demikian dinamakan perjanjian baku. 44 Mariam Darul Badrulzaman, op cit, hlm.105. Perjanjian baku lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri dan penggunaan perjanjian baku bagi kalangan usaha dikatakan dapat menimbulkan efisiensi atau penghematan dalam penggunaan biaya, waktu, dan tenaga bagi usaha mereka, sehingga perjanjian baku tersebut dibutuhkan dan diterima oleh masyarakat. Penggunan perjanjian dalam bentuk baku tidak dapat dielakkan lagi. Perjanjian baku yang memang sudah tidak seimbang karena dibuat hanya oleh salah satu pihak saja, sering menimbulkan kerugian di pihak yang lemah, khususnya pihak yang tinggal menerima perjanjian yang sudah baku, yang tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan isi perjanjian tersebut. Dalam perjanjian baku terdapat klausula-klausula yang dimaksudkan untuk membatasi tanggung jawab pihak yang membuat perjanjian baku tersebut. Tetapi kadang pihak lain telah mengetahui klausula-klausula tersebut namun tidak perduli seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa akibat dari perjanjian itu karena adanya kebutuhan yang mendesak sehingga terpaksa ia menandatangani perjanjian tersebut. Pengangkut dalam membuat perjanjian pengangkutan juga menggunakan perjanjian baku dimana klausula-klausula perjanjian telah disiapkan terlebih dahulu oleh pihak pengangkut. Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian timbal balik dengan mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menjalankan pengangkutan barang danatau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat sedangkan pihak lainnya berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut. Dengan menggunakan perjanjian baku maka terdapat perbedaan posisi para pihak dalam perjanjian pengangkutan. Pihak pengangkut dan pihak pengirim yang merupakan pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan tidak memiliki posisi tawar yang sama kuat. Bila salah satu pihak memiliki posisi tawar yang lemah, maka besar kemungkinan pihak yang kuat akan menentukan isi kontrak untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan pihak yang lemah. Hal tersebut menyebabkan kebebasan berkontrak yang merupakan asas dari suatu perjanjian tidak terwujud karena asas kebebasan berkontrak hanya akan terwujud bila para pihak memiliki posisi tawar yang sama kuat. Posisi yang tidak seimbang tersebut juga menyebabkan batas-batas kebebasan berkontrak seperti itikad baik, tidak melanggar norma-norma kepatutan, dan perasaan keadilan akan sulit diterapkan. Asas kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh Undang-Undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan, kepatutan, dan ketertiban umum. Unsur dari asas kebebasan berkontrak, yaitu 45 : 1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. 2. Kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat perjanjian. 3. Kebebasan untuk menetapkan bentuk perjanjian. 4. Kebebasan untuk menetapkan isi perjanjian. 5. Kebebasan untuk menetapkan cara membuat perjanjian. 45 Johannes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum, 1999, hlm.33. Pada dasarnya memang kebebasan berkontrak adalah bagian dari hak-hak kebebasan dasar manusia, namun perlu mulai ada pembatasan untuk menentukan batas-batas dari kebebasan tersebut. Haruslah diingat bahwa manusia adalah makhluk sosial dan bahwa hukum perdata tidak hanya bertujuan melindungi perorangan saja akan tetapi untuk melindungi masyarakat pada umumnya 46 . Pembatasan tersebut diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Sehingga kebebasan yang ada sifatnya tidak mutlak melainkan ada batasannya, yaitu : 1. Tidak dilarang oleh Undang-Undang. 2. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum. 3. Tidak bertentangan dengan kesusilaan. Menurut Sri Soedewi adanya pembatasan-pembatasan tersebut adalah akibat dari adanya 47 : 1. Perkembangan masyarakat, khususnya dibidang sosial ekonomi, misalnya adanya penggabungan perseroan perusahaan. Dengan adanya penggabungan tersebut mengakibatkan kebebasan berkontrak perorangan dibatasi. 2. Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum dan ekonomi lemah dari cengkeraman ekonomi kuat. 3. Adanya strooming atau aliran dari masyarakat yang menuju kearah “keadilan sosial” sehingga ada usaha untuk memberantas ketidakadilan 46 Purwahid Patrik, op cit , hlm.6. 47 Sri Soedewi dalam Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, UII, Yogyakarta, 1989, hlm.53. yang terjadi dalam perjanjian yang bertentangan dengan rasa keadilan serta hak-hak asasi manusia. Jika dikaitkan dengan perkembangan penggunaan perjanjian baku maka dapat dikemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak telah dibatasi berlakunya yaitu didalam perjanjian baku hanya ada 48 : 1. Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian tidak membuat perjanjian. 2. Kebebasan setiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat perjanjian. Dan asas kebebasan berkontrak yang kurang dapat diwujudkan yaitu dalam hal 49 : 1. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena perjanjian baku selalu berbentuk tertulis. 2. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian, karena isi perjanjian baku umumnya telah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak. 3. Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian, karena semua perjanjian baku cara pembuatannya telah ditetapkan oleh salah satu pihak. Dalam perjanjian pengangkutan yang menggunakan perjanjian baku, pengirim tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian. Hal tersebut terjadi baik karena kedudukannya maupun 48 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1976, hlm.78. 49 Johannes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standar dan Implementasinya pada Asas Kebebasan Berkontrak, Majalah Pro Justitia, Universitas Katolik Parahyangan, 1987, hlm.58. karena ketidaktahuannya, sehingga pengirim hanya dapat menerima atau menolak isi perjanjian secara utuh atau keseluruhan take it or leave it. Dalam perjanjian pengangkutan muncullah hak dan kewajiban antara pengirim dan pengangkut. Hak dan kewajiban pengangkut serta pengirim barang dapat diketahui dari penyelenggaraan pengangkutan serta berdasarkan dokumen pengangkutan yang telah diterbitkan dalam perjanjian itu. Dokumen pengangkutan adalah setiap tulisan yang dipakai sebagai bukti telah terjadi perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan, berupa naskah, tanda terima, tanda penyerahan, tanda milik atau hak 50 . Dalam Undang-Undang No 14 Tahun 1992 Pasal 43 sampai dengan Pasal 48 dijelaskan tentang hak dan kewajiban pihak pengangkut. Kewajiban pengangkut antara lain : 1. Pihak pengangkut wajib mengangkut orang danatau barang setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan. 2. Pihak pengangkut wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh penumpang danatau pengirim barang, jika terjadi pembatalan pemberangkatan. 3. Pihak pengangkut wajib memberikan ganti rugi apabila penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga mengalami kerugian karena kesalahan pengangkut dalam melaksanakan pelayanan angkutan. 50 Abdulkadir Muhammad, loc.cit 4. Pihak pengangkut wajib menjaga keselamatan barang yang diangkutnya dimulai sejak barang diterima sampai diserahkannya barang kepada pengirim danatau penerima barang. 5. Pihak pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya atas barang yang diangkutnya. Sedangkan hak pengangkut antara lain : 1. Pihak pengangkut berhak mendapatkan pembayaran biaya angkutan oleh penumpang danatau pengirim barang setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan. 2. Pihak pengangkut berhak menurunkan penumpang danatau barang yang diangkutnya pada tempat pemberhentian terdekat, apabila ternyata penumpang danatau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan. 3. Pihak pengangkut berhak mengenakan biaya tambahan penyimpanan barang kepada pengirim danatau penerima barang yang tidak mengambil barangnya di tempat tujuan dan dalam waktu yang telah disepakati. 4. Pihak pengangkut berhak mengetahui tentang jenis, sifat, dan jumlah barang yang akan diangkutnya. 5. Pihak pengangkut berhak meminta pengirim untuk menandatangani surat muatan yang telah dibuatnya. Selain pihak pengangkut, pihak pengirim juga mempunyai hak dan kewajiban yang melekat padanya setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan. Kewajiban pihak pengirim antara lain : 1. Pihak pengirim wajib membayarkan biaya angkutan yang telah disepakati kepada pengangkut. 2. Pihak pengirim wajib membayar biaya tambahan untuk penyimpanan barang apabila barang tidak segera diambil di tempat tujuan dalam waktu yang telah disepakati. 3. Pihak pengirim wajib memberitahukan pihak pengangkut tentang jenis, sifat, dan jumlah barang yang akan dia kirimkan. 4. Pihak pengirim wajib menandatangani surat muatan yang sudah dibuatnya dengan pengangkut. Hak yang melekat pada pihak pengirim, yaitu : 1. Pihak pengirim berhak meminta pengangkut untuk melakukan pengangkutan terhadap barang yang telah diserahkan pada pengangkut ke tempat tujuan dengan selamat sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang telah disepakati. 2. Pihak pengirim berhak meminta kembali barangnya dalam keadaan utuh dan biaya angkutan yang telah dia bayarkan kepada pengangkut jika terjadi pembatalan pemberangkatan. 3. Pihak pengirim berhak menerima ganti rugi dari pengangkut atas kerugian yang dideritanya akibat dari kesalahan pihak pengangkut dalam melaksanakan pelayanan angkutan. 4. Pihak pengirim berhak mendapatkan salinan surat muatan yang telah ditandatanganinya 51 . 51 R.Soekardono, op cit, hlm.39. Dalam hal ganti rugi, pengangkut diwajibkan bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang muncul dalam penyelenggaraan pengangkutan kepada pengirim, tetapi tidak semua kerugian yang muncul tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut untuk menggantinya karena pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh 52 : 5. Keadaan memaksa overmacht atau force majeure. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang menyebabkan kesukaran dalam pelaksanaan kontrak dan yang menyebabkan terhalangnya pemenuhan perikatan 53 . Keadaan memaksa tidak hanya terbatas pada bencana alam seperti banjir, gempa bumi, angin topan dan macam-macam keadaan yang disebabkan oleh alam, tapi juga termasuk kebakaran, pemogokan umum, sabotase serta hal-hal yang berada diluar kekuasaan atau kemampuan kedua belah pihak. Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah 54 : 1 Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara. 2 Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap. 52 HMN Purwosutjipto, op cit, hlm.34. 53 Subekti, op cit, hlm.52. 54 Abdulkadir Muhammad, loc cit. 3 Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun kreditur, jadi bukan karena kesalahan para pihak. 6. Cacat pada barang itu sendiri. 7. Kesalahan atau kelalaian pihak pengirim. 8. Keterlambatan datangnya barang di tempat tujuan, yang disebabkan karena keadaan memaksa, dalam hal ini barang tidak rusak atau musnah. Dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, terdapat prinsip-prinsip tanggung jawab yang mendasarinya. Penggunaan suatu prinsip tanggung jawab bergantung pada keadaan tertentu, baik ditinjau secara makro sesuai perkembangan masyarakat maupun ditinjau secara mikro sesuai dengan perkembangan dunia angkutan yang bersangkutan, baik darat, laut, atau udara. Ada tiga prinsip mengenai tanggung jawab pengangkut, yaitu 55 : 4. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan fault liability, liability based on fault principle. Prinsip ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perbuatan melawan hukum, yang oleh karena itu menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian tersebut mengganti kerugian. Prinsip kesalahan yaitu jika penyebab kerugian terbukti bersalah, pihak korban berhak untuk memperoleh santunan, dan bila tidak terbukti adanya unsur kesalahan maka santunan tidak diberikan. 55 Saefullah Wiradipraja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm.19. Beban pembuktian ada pada pihak penggugat yaitu pihak yang dirugikan. Pihak penggugat berkewajiban untuk membuktikan bahwa pihak pengangkut telah melakukan perbuatan melawan hukum, telah melakukan suatu kesalahan dan akibat kesalahannya itu mengakibatkan kerugian pada pihak penggugat. Bila penggugat gagal membuktikan salah satu elemen- elemen tersebut, maka tuntutannya gagal 56 . Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata adalah 57 : 1 Adanya perbuatan melawan hukum dari pihak tergugat. Syarat mutlak bagi adanya perbuatan melawan hukum adalah adanya unsur kesalahan pada seseorang yang menyebabkan timbulnya kerugian pada orang lain. 2 Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya. 3 Adanya kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat dari kesalahan tersebut. Kesalahan disini adalah dalam pengertian umum, yaitu baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian 2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga rebuttable presumption of liability principle. Tanggung jawab pengangkut dapat dihindarkan bila pengangkut membuktikan bahwa pihaknya tidak bersalah yaitu tidak melakukan kesalahan, telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu 56 Ibid, hlm.26. 57 Ibid, hlm.22. tidak mungkin dihindari. Beban pembuktian ada pada pengangkut, pihak yang dirugikan cukup menunjukan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan. 3. Prinsip tanggung jawab mutlak no-fault liability, absolute atau strict liability principle. Berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak, pengangkut tidak dapat membebaskan diri dari tanggung jawab hanya dengan membuktikan bahwa dia tidak bersalah dengan menyatakan bahwa semua tindakan yang perlu telah diambil untuk menghindari kerugian atau bahwa tindakan tersebut tidak mungkin dilakukan. Yang membedakan dari prinsip-prinsip tanggung jawab yang lain adalah tanggung jawab mutlak tidak mempersoalkan ada atau tidak adanya kesalahan. Pengangkut harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Seseorang yang menderita kerugian akibat perbuatan orang lain harus memperoleh santunan kompensasi tanpa melihat motivasi atau tujuan dari orang yang menyebabkan kerugian tersebut. Jadi prinsip atau teori tanggung jawab mutlak lebih menitikberatkan pada unsur penyebabnya daripada kesalahannya. Apabila perbuatan seseorang menyebabkan kerugian terhadap orang lain, dia diwajibkan memberikan santunan kompensasi tanpa melihat ada atau tidak adanya unsur kesalahan dari pelaku. Tanggung jawab dalam pengangkutan barang menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga yang berarti bahwa tanggung jawab pengangkut dapat dihindarkan bila pengangkut dapat membuktikan pihaknya tidak bersalah. Hal ini sesuai dengan Pasal 91 KUHD yang menyatakan bahwa pengangkut menanggung segala kerugian yang terjadi kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut diakibatkan karena cacat pada barang itu sendiri, keadaan yang memaksa, atau karena kesalahan atau kealpaan si pengirim atau ekspeditur. Kewajiban pengangkut adalah mengangkut barang sampai tempat tujuan dengan selamat, tetapi apabila barang tidak selamat atau muncul suatu kerugian dalam pelaksanaan pengangkutan tersebut, pengangkut dapat lepas dari tanggung jawab apabila dia dapat membuktikan bahwa kerugian yang muncul itu bukan akibat dari kesalahannya. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 45 1 menyatakan bahwa pengusaha angkutan umum bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan angkutan. Dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan yang menggunakan perjanjian baku, perusahaan pengangkutan adakalanya mencantumkan klausula tentang pembatasan tanggung jawab terhadap ganti rugi yang seharusnya diberikan jika muncul kerugian akibat kesalahan pengangkut. Dalam hal ini pengangkut hanya mengganti kerugian yang jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah kerugian yang nyata diderita oleh pengirim. Hal tersebut bertentangan dengan atauran dalam Pasal 45 ayat 2 yang menjelaskan bahwa besarnya ganti rugi adalah sebesar kerugian yang secara nyata diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga. Jadi besar ataupun kecil kerugian yang diderita merupakan tanggung jawab pengangkut untuk menggantinya. Adakalanya juga perusahaan pengangkutan tidak mencantumkan klausula tentang tanggung jawabnya tersebut dalam perjanjian baku yang dibuatnya sehingga jika muncul kerugian dikemudian hari maka hal tersebut akan sangat merugikan pihak pengirim. Ini memberikan kesan bahwa perusahaan angkutan tersebut memiliki itikad tidak baik kepada konsumen pengirim dalam berkontrak dan hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pihak pengirim dapat dirugikan atas ketidakjelasan informasi mengenai besarnya ganti rugi yang akan diterima pengirim. Hak pengirim dalam menerima ganti rugi terhadap kerugian yang dideritanya menjadi tidak jelas dan besar kemungkinan pihak pengirim sebagai pengguna jasa dapat terlampau dirugikan oleh perusahaan angkutan karena pengangkut akan sewenang-wenang dalam memberikan ganti rugi. Tujuan dari pembatasan tanggung jawab adalah mencegah pihak konsumen merugikan kepentingan pengusaha 58 . Pembatasan tersebut hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Pembatasan terhadap kerugian 58 Abdulkadir Muhammad, loc.cit. yang timbul karena kesengajaan pengusaha merupakan suatu bentuk itikad yang tidak baik dari pengusaha pengangkutan. Dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa dilarang mencantumkan klausula baku dalam perjanjian apabila : 1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. 2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen. 3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh konsumen. 4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. 6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. 7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, danatau perubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. 8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Pasal 18 ayat 2 juga mengatur bahwa pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Jika melanggar Pasal 18 ayat 1 dan 2 tersebut maka batal demi hukum setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada perjanjian. Ini berarti perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klausula baku yang dilarang dalam Pasal 18 ayat 1 atau yang memiliki format sebagaimana yang dilarang dalam Pasal 18 ayat 2 dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat para pihak pelaku usaha dan konsumen yang melakukan transaksi tersebut.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN