klarifikasi 60, sterilisasi 36 dan hidrosiklon 4. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa dari produksi satu ton tandan buah segar dihasilkan hampir 0,5-
0,75 ton LCPKS [2]. Karakteristik LCPKS dapat bervariasi dalam kualitas dan kuantitas untuk operasi yang berbeda setiap harinya dari pabrik-pabrik industri
kelapa sawit, hal ini tergantung pada jenis dan usia panen kelapa sawit serta kondisi pengolahan dalam pabrik [
21
]. Jika LCPKS langsung dibuang ke perairan, maka sebagian limbah akan
mengendap, terurai secara perlahan, mengkonsumsi oksigen terlarut, menimbulkan kekeruhan, mengeluarkan bau yang tajam dan dapat merusak ekosistem perairan.
Untuk itu LCPKS harus diolah terlebih dahulu sesuai dengan baku mutu limbah yang ditetapkan sebelum dibuang ke lingkungan [22]. LCPKS mentah memiliki
kandungan senyawa organik yang sangat tinggi sehingga dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku pembuatan biogas [23].
2.2 BIOGAS
Biogas merupakan energi terbarukan yang dihasilkan melalui proses dekomposisi senyawa organik oleh bakteri dalam kondisi anaerob. Biogas dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar maupun pembangkit tenaga listrik [ 24]
. Menurut Meynell dalam Erikson [25] pada biogas dengan kisaran normal yaitu 60-70
metana dan 30-40 karbon dioksida
.
Nilai volume biogas dinyatakan dengan “normal meter kubik” Nm
3
dimana kondisi volume gas pada
o
C dan tekanan atmosfer. Gas metana murni memiliki nilai energi 9,81 kWhNm
3
. Jika biogas terdiri dari 97 metana maka jumlah energi yang dihasilkan mendekati 9,67 kWhNm
3
. Kesetaraan biogas dengan sumber energi lainnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Kesetaraan biogas dengan sumber energi lain 1 Nm
3
biogas Sumber Energi
Daya yang dihasilkan Kesetaraan
Gas Alam 1 Nm
3
11,0 kWh 0,88 Nm
3
Bensin 1 L 9,06 kWh
1,07 L
Minyak solar 1 L 9,8 kWh
0,98 L E8 1 L
6,6 kWh 1,47 L
Bahan baku pembuatan biogas dapat berasal dari limbah organik perkotaan, limbah pertanian dan peternakan, limbah perairan, serta limbah organik industri [26].
Limbah cair pabrik kelapa sawit LCPKS mengandung senyawa organik berupa karbohidrat, protein dan lemak serta sejumlah mineral sehingga dapat dimanfaatkan
Universitas Sumatera Utara
sebagai substrat dalam digestasi anaerobik untuk pembentukan biogas [27]. Tingkat produksi biogas bervariasi tergantung kondisi dan parameter seperti suhu, kecepatan
pengadukan, konsentrasi umpan, katalis, dan sebagainya [28] .
2.3 PROSES DIGESTASI ANAEROBIK DUA TAHAP
Proses digestasi anaerobik merupakan proses penguraian bahan organik oleh aktivitas
bakteri pada
kondisi tanpa
oksigen dan
merubahnya dari
bentuk tersuspensi menjadi terlarut dan biogas [29]
. Pengolahan anaerob mengkonsumsi lebih sedikit energi dan ruang dibandingkan dengan pengolahan aerobik yang umumnya
memerlukan input energi yang tinggi untuk tujuan aerasi [30]. Proses biodegradasi senyawa organik terjadi dalam empat tahapan yaitu hidrolisis, asidogenesis,
asetogenesis dan metanogenesis [31].
Gambar 2.1 Tahapan Proses Digestasi Anaerobik [31]
Asetogenesis Hidrolisis
Asidogenesis
Oksidasi homoasetogenesis
Reduksi homoasetogenesis
Metanogenesis Senyawa Partikel Organik :
Karbohidrat, Protein dan Lemak
Asam Amino, Gula, Alkohol, Asam Lemak
Produk Intermediet :
Asam Asetat, Asam Propionat, Etanol, Asam Laktat
Asam Asetat H
2
CO
2
CH
4
+ CO
2
Universitas Sumatera Utara
Hidrolisis merupakan tahap awal dimana protein, karbohidrat dan lemak diuraikan menjadi turunan sederhana melalui degradasi fisikokimia dan reaksi
enzimatik. Tahap selanjutnya, asidogenesis dilaksanakan oleh mikroorganisme chemoorganotrophic yang memperoleh energi melalui fermentasi atau respirasi.
Mikroba ini memanfaatkan asam amino, sakarida, LCFAs, gliserol atau spesies yang berbeda dari VFA sebagai donor elektron. Bakteri metanogen kemudian
memanfaatkan asam asetat dan hidrogen sebagai donor elektron utama untuk produksi metana dan karbon dioksida. Pada proses digestasi anaerobik satu tahap,
konsentrasi VFA yang tinggi dapat terakumulasi selama tahap asidogenesis akibat organic loading rate OLR yang tinggi atau hydraulic retention time HRT yang
singkat. Akumulasi VFA akan menurunkan pH sistem, dan akhirnya menyebabkan kegagalan proses. Proses asidogenesis dan metanogenesis yang dilaksanakan dalam
reaktor yang terpisah dapat mengatasi masalah ini [32]. Penggunaan digester dua
tahap merupakan suatu strategi untuk meningkatkan kinerja proses secara keseluruhan dalam hal stabilitas dan efisiensi degradasi tiap-tiap tahap baik tahap
asidogenesis maupun tahap metanogenesis. Pengendalian konversi VFA pada tahap asidogenesis memungkinkan produksi bio-hidrogen yang lebih efisien, sehingga
meningkatkan proses metanogenesis [33].
Gambar 2.2 Digestasi Anaerobik Dua Tahap [32] Pada digestasi anaerob dua tahap, substrat dimasukkan ke dalam reaktor tahap
pertama, yaitu tahap hidrolisis-asidogenesis. Selanjutnya hasil dari reaktor pertama berupa cairan yang mengandung senyawa antara terutama VFA secara kontinu
dialirkan ke reaktor tahap kedua yaitu tahap metanogen. Dengan cara ini, kondisi masing-masing tahap dapat dioptimalkan, senyawa antara seperti VFA yang dapat
menghambat kelompok mikroorganisme dalam konsentrasi tinggi, dapat dikendalikan pada reaktor tahap pertama [32]. Reaktor asidogenesis akan selalu lebih
kecil dibanding reaktor metanogenesis, hal ini terkait dengan tingkat pertumbuhan
Universitas Sumatera Utara
dan aktivitas mikroorgansme yang tinggi pada tahap pertama. [31]. Tujuan dari proses digestasi anaerobik dua tahap tidak hanya untuk lebih mendegradasi limbah,
tetapi juga untuk mengekstrak energi yang lebih bersih dari sistem [33]. Penelitian Ventura et al, 2014 [34] membandingkan kinerja proses digestasi
anaerobik satu tahap SP dan dua tahap menggunakan reaktor CSTR dengan bahan baku limbah minyak nabati OW dan kotoran babi PM yang dilakukan adalah
dengan rasio OWPM pakan yang berbeda 1:0, 1:1 dan 1: 3 vv dan pada tingkat beban organik berkisar 0,25-3,1 kg VS m
-3
hari
-1
. Pencampuran OW dengan PM menetralkan efek negatif dari akumulasi lipid dan efisiensi penghilangan VS dalam
sistem lebih tinggi 63 dan 71 dalam sistem satu tahap dan 69 dan 72 dalam sistem dua tahap, pada 1: 1 dan 1: 3 campuran OWPM, masing-masing. Di bawah
kondisi operasional yang sama, yield metan adalah 0,30 dan 0,22 m
3
CH
4
kg
-1
penghilangan VS untuk digestasi anaerob satu tahap dan 0,30 dan 0,27 m
3
CH
4
kg
-1
penghilangan VS untuk digestasi anaerob dua tahap. Diperoleh kesimpulan bahwa digestasi anaerob dua tahap lebih stabil dan memiliki kapasitas pengolahan yang
lebih tinggi dibanding digestasi anaerob satu tahap. Penelitian Kongjan et al, 2013 [35] mengkaji proses anaerobik dua tahap
untuk memproduksi hidrogen dan metana secara kontinu dari desugared molasses menggunakan reaktor UASB yang dioperasikan pada kondisi termofilik. Reaktor
pertama yang didominasi dengan bakteri yang memproduksi hidrogen dari Thermoanaerobacterium thermosaccharolyticum dan Thermoanaerobacterium
aciditolerans menghasilkan tingkat produksi hidrogen 5600 mL H
2
hariL, sesuai dengan yield 132 mL H
2
g volatile solid VS. Efluen dari reaktor hidrogen selanjutnya dikonversi menjadi metana dalam reaktor kedua dengan tingkat produksi
yang optimal dari 3380 mL CH
4
hariL, sesuai dengan yield 239 mL CH
4
g VS. Aceticlastic Methanosarcina mazei adalah metanogen yang dominan dalam tahap
metanogenesis. Dari penelitian diperoleh campuran gas dengan kandungan volumetrik 16,5 H
2
, 38,7 CO
2
, dan 44,8 CH
4
. Penelitian ini menunjukkan bahan bakar gas bernilai tinggi dalam bentuk biohidrogen dan metana dapat
berpotensi dihasilkan dari desugared molasses dengan menggunakan proses anaerobik dua tahap .
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Hidrolisis
Pada tahap hidrolisis, senyawa organik kompleks tidak terlarut dengan berat molekul tinggi akan dihidrolisa menjadi senyawa organik lebih sederhana dengan
melibatkan enzim ekstraseluler [36]. Pada tahap ini, bahan-bahan organik seperti lemak, karbohidrat dan protein didegradasi menjadi senyawa dengan rantai pendek,
seperti asam lemak, gula sederhana, dan asam amino [37]. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut [38] :
a Lemak
→
lipase
enzim
asam lemak, gliserol b
Polisakarida
→
amilase
xilanase, selobiase,
selulosa, enzim
monosakarida c
Protein
→
protease enzim
asam amino Organisme yang aktif selama hidrolisis polisakarida termasuk berbagai
kelompok bakteri dalam, misalnya, Bacteriodes genera, Clostridium, dan Acetivibrio. Organisme proteolitik dalam proses biogas antara lain, genera
Clostridium, Peptostreptococcus, dan Bifidbacterium. Sedangkan mikroorganisme anaerobik yang menghasilkan lipase antara lain, genus Clostridium [39]
2.3.2 Asidogenesis
Asidogenesis adalah proses yang kompleks dimana mikroba anaerob mengurai senyawa organik menjadi asam organik molekul rendah [16]. Gula
sederhana, asam amino dan asam lemak terdegradasi menjadi asetat, karbon dioksida dan hidrogen 70 serta menjadi VFA asam asetat, asam propionat, asam butirat,
asam laktat, dll dan alkohol 30 [38]. Senyawa yang akan terbentuk tergantung pada jenis substrat yang digunakan, kondisi lingkungan proses, serta jenis
mikroorganisme yang ada. Meskipun berasal dari substrat yang sama, produk yang dihasilkan akan berbeda jika mikroorganisme yang bekerja berbeda [39].
Proses asidogenesis ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor temperatur yang didasarkan pada Hukum Arrhenius. Namun begitu, temperatur yang kurang dari
temperatur maksimal termofilik sering digunakan. Hal ini dikarenakan temperatur termofilik membutuhkan biaya energi yang lebih tinggi, dan dapat menyebabkan
denaturasi sel jika temperatur yang digunakan terlalu tinggi [40]. Mikoorganisme pada tahap ini sama dengan tahap hidrolisis, namun organisme lain juga aktif,
Universitas Sumatera Utara
misalnya Enterobacterium, Bacteriodes, Acetobacterium, Eubacterium, Clostridium, Ruminococcus, Butyribacterium, Propionibacterium, Lactobacillus, Streptococcus,
Pseudomonas, Desulfobacter, Micrococcus, Bacillus dan Escherichia [39].
2.3.3 Asetogenesis
Pada tahap asetogenesis, produk hasil asidogenesis diuraikan oleh bantuan bakteri asetogenik menjadi asam asetat, hidrogen dan karbondioksida. Asam asetat
yang terbentuk sebagian besar berasal dari asam propionat dan asam butirat [41]. Berikut adalah reaksi pembentukan asam asetat dari asam propionat dan asam butirat
[42]: CH
3
CH
2
COOH CH
3
COOH + CO
2
+ 3 H
2
asam propionat asam asetat
CH
3
CH
2
CH
2
COOH 2CH
3
COOH + 2 H
2
asam butirat asam asetat
Beberapa genus mikroorganisme yang terlibat dalam proses asetogenesis ini adalah Syntrophomonas, Syntrophus, Clostridium, dan Syntrobacter yang mana
mikroorganisme ini didapati bersintropi dengan mikroorganisme yang mengurai H
2
[39].
2.3.4 Metanogenesis
Metanogenesis merupakan tahap akhir dari proses biogas dimana terjadi pembentukan gas metan CH
4
dari tahapan sebelumnya. Terdapat dua kelompok mikroba metanogen dalam produksi metana yaitu aceticlastic methanogens yang
berfungsi untuk mengkonversi asetat menjadi gas metan dan karbondioksida, dan hydrogenotrophic methanogen yang menggunakan hidrogen sebagai donor elektron
dan karbondioksida sebagai penerima elektron untuk menghasilkan gas metan [43]. Reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut [44]:
CH
3
COOH
Metanogenesis
CH
4
+ CO
2
CO
2
+ 4H
2 Reduksi
CH
4
+ 3H
2
O Saat ini hanya ada dua kelompok yang diketahui dari metanogen yang
memecah asetat yaitu Methanosaeta dan Methanosarcina, sementara yang memecah
Universitas Sumatera Utara
gas hidrogen yaitu Methanobacterium, Methanococcus, Methanogenium dan Methanobrevibacter [39].
2.4 PARAMETER YANG PENTING DALAM PROSES DIGESTASI
ANAEROBIK
Proses digestasi anaerobik harus dipantau untuk memastikan keberhasilan operasi [43]. Beberapa parameter yang penting dalam proses digestasi anaerobik
yaitu:
2.4.1 pH
Derajat keasaman pH merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri. Aktivitas bakteri akan
maksimum pada kondisi pH optimum. Seiring dengan diproduksinya asam volatil, nilai pH akan mengalami penurunan dan akan meningkat dengan dikonsumsinya
asam volatil oleh bakteri pembentuk metana [44]. Tingkat pH optimal untuk kelompok fungsional biokimia pada proses anaerob yaitu [45]:
1 Hidrolisis, optimal di atas pH 6 tetapi memungkinkan hingga pH 5.
2 Asidogenesis, optimal antara pH 5,5 dan 8, tetapi memungkinkan hingga pH 4.
3 Asetogenesis, optimal antara pH 6,5 dan 8 tetapi memungkinkan hingga pH 5.
4 Metanogenenesis, optimal antara pH 7 dan 8 tetapi memungkinkan hingga pH 6.
Nilai pH di dalam digester tergantung pada tekanan parsial CO
2
dan konsentrasi komponen alkali-asam dalam fasa cairannya. Nilai pH pada digester termofilik akan
lebih tinggi dibanding digester mesofilik. Hal ini dikarenakan kelarutan CO
2
di dalam air akan menurun seiring dengan meningkatnya temperatur. Nilai pH juga
akan meningkat dengan dihasilkannya ammonia dari degradasi protein atau melalui kehadiran ammonia di aliran umpan. Jika terjadi penurunan pH, ion ammonium akan
dibentuk disertai pelepasan ion hidroksil. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut [38]:
NH
3
+ H
2
O ↔ NH
4 +
+ OH
-
NH
3
+ H
+
↔ NH
4 +
Dalam penelitiannya, Veeken et al. 2000 [46] mengkaji pengaruh pH dan VFA terhadap laju hidrolisis limbah padatan organik. Prosesnya berlangsung dalam
Universitas Sumatera Utara
anaerobic solid waste reactor ASWR. Pada penelitian ini tidak dilakukan penambahan inokulum. Pengaturan pH dilakukan dengan mengunakan pH controller
yang diatur untuk deviasi positif dan negatif dari titik setnya yang mana menggunakan asam HCl atau basa campuran NaOH dan KOH. Pengaturan VFA
dilakukan dengan menggantikan cairan di dalam reaktor dengan umpan baru untuk menjaga kandungan VFA. Pada penelitian ini terbukti bahwa proses hidrolisis limbah
padat organik sesuai dengan kinetika reaksi orde satu. Dari analisa statistik yang dilakukan, diperoleh bahwa konstanta laju hidrolisis tergantung pada pH tetapi
konsentrasi VFA tidak tergantung pada pH.
2.4.2 Alkalinitas
Nilai alkalinitas menyatakan jumlah total asam yang dapat dinetralkan oleh basa yang ditambahkan ke dalam sistem. Alkalinitas membantu mempertahankan pH agar
tidak mudah berubah yang disebabkan oleh penambahan asam [47]. Alkalinitas terutama terdiri dari ion bikarbonat yang berada dalam keseimbangan dengan karbon
dioksida. Proses asidifikasi yang terlalu kuat akan diantisipasi oleh karbon dioksidahidrogen karbonatkarbonat. Selama fermentasi, CO
2
secara kontinu dihasilkan dan dilepas ke udara. Pada kondisi pH yang semakin menurun, semakin
banyak CO
2
diserap ke dalam substrat sebagai molekul bebas. Jika nilai pH meningkat, CO
2
yang terlarut tersebut akan membentuk asam karbonat yang mana akan terionisasi dan menghasilkan ion hidrogen. Adapun reaksinya adalah sebagai
berikut [48]: CO
2
+ H
2
O ↔ H
2
CO
3
↔ HCO
3 -
+ H
+
↔ CO
3 2-
+ 2H
+
2.4.3 Temperatur
Tingkat metabolisme dan pertumbuhan reaksi kimia dan biokimia cenderung meningkat dengan kenaikan suhu, sampai toleransi suhu mikroorganisme terpenuhi.
Jika temperature terlalu ekstrim, denaturasi sel akan terjadi dan mengakhiri kehidupan efektif sel [49]. Terdapat tiga kondisi temperatur yang memungkinkan
mikroorganisme anaerobik berkembang, yaitu mesofilik dengan temperatur optimum pada 30-37°C, termofilik dengan temperatur optimum 55-60°C dan psikropilik
dengan temperatur optimum pada 15-20°C [39].
Universitas Sumatera Utara
Temperatur operasi dipilih dengan mempertimbangkan bahan baku yang digunakan dan temperatur proses yang diperlukan dapat disediakan oleh ruangan
atau menggunakan sistem pemanas pada digester [38]. Dalam penelitiannya, Moset et al 2015 [49] membandingkan produksi metana yang dihasilkan dari proses
digestasi anaerobik dengan bahan baku kotoran ternak pada temperatur mesofilik dan termofilik. Diperoleh hasil bahwa pada temperatur termofilik, digestasi anaerobik
menunjukkan degradasi bahan organik yang lebih tinggi, pH dan yield metana CH
4
yang lebih tinggi, serta emisi CH
4
yang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi mesofilik. Selain itu, keragaman mikroba yang lebih rendah ditemukan di reaktor
termofilik, terutama untuk kelas Clostridia. Umumnya, digestasi anaerobik berlangsung lebih cepat pada temperatur
termofilik. Hal ini dikarenakan mikroorganisme lebih aktif pada temperatur yang lebih tinggi. Selain itu temperatur yang lebih tinggi juga dapat meningkatkan
ketersediaan senyawa organik tertentu karena kelarutan umumnya meningkat dengan meningkatnya suhu. Sebagai akibat dari peningkatan kelarutan, viskositas bahan
tertentu mungkin lebih rendah dalam kondisi termofilik. Keuntungan lain penggunaan temperatur termofilik adalah berkurangnya mikroorganisme patogen
yang tidak diinginkan seperti Salmonella [39].
2.4.4 Pengadukan
Pengadukan merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai keberhasilan digestasi anaerobik limbah cair organik. Pengadukan bertujuan untuk
mendapatkan campuran substrat yang homogen dan temperatur yang merata. Dengan adanya pengadukan, intensitas kontak antara organisme-substrat akan semakin
meningkat dan potensi material yang mengendap di dasar akan semakin kecil [34].
2.4.5 Kebutuhan Nutrisi
Seperti semua operasi biokimia lainnya, nutrisi dibutuhkan dalam proses anaerobik. Makro-nutrisi, seperti nitrogen, fosfor, magnesium dan kalium diperlukan
untuk aktivasi mikroorganisme, sementara mikro-nutrisi seperti kobalt, nikel dan besi berperan dalam produksi metana. Nitrogen, fosfor dan kalium yang berlebihan dapat
menghambat efek shock loading dan mencegah flotasi butiran. Akumulasi logam
Universitas Sumatera Utara
dalam lumpur tergantung pada banyak faktor seperti sifat mineral dan konstituen organik, pH dan sifat logam [50]. Penambahan nutrisi diperlukan ketika limbah
organik yang diolah kekurangan unsur hara makro seperti nitrogen dan fosfor. Umumnya kebutuhan nutrisi untuk nitrogen, fosfor, dan sulfur masing-masing berada
di kisaran 10-13; 2-2,6; dan 1-2 mg per 100 mg biomassa [51] Nutrisi yang paling penting bagi mikroba adalah karbon dan nitrogen, namun
dua elemen ini harus disediakan dalam rasio yang tepat. Jika rasio CN sangat tinggi, nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh mikroba, sehingga produksi metan
menjadi rendah. Namun sebaliknya, jika rasio CN sangat rendah, maka akan terbentuk ammonia ketingkat yang dapat berakibat racun bagi mikroba yang ada
[50].
2.4.6 Volatile Fatty Acid VFA
VFA merupakan senyawa intermediet yang dihasilkan selama tahap asidogenesis [52]. Akumulasi VFA menggambarkan kinetika hubungan antara
produsen dan konsumen asam serta pengaruh overloading, variasi suhu tiba-tiba, adanya senyawa toksik atau penghambat dan beberapa faktor lainnya. Selama proses
digestasi anaerobik, konsentrasi asam asetat dalam VFA biasanya relatif lebih tinggi [53]. Berikut ini adalah kandungan VFA yang umum terdapat pada proses digestasi
anaerobik [54]: Tabel 2.3 Kandungan VFA yang Umum terdapat pada Proses Digestasi Anaerobik
Asam Format Asam Asetat
Asam Propionat Asam Butirat
Asam Valerat Asam Heksanoik
Asam Heptanoik Asam Oktanoik
HCOOH CH
3
COOH CH
3
CH
2
COOH CH
3
CH
2
CH
2
COOH CH
3
CH
2
CH
2
CH
2
COOH CH
3
CH
2
CH
2
CH
2
CH
2
COOH CH
3
CH
2
CH
2
CH
2
CH
2
CH
2
COOH CH
3
CH
2
CH
2
CH
2
CH
2
CH
2
CH
2
COOH
2.4.7 Beban Organik Organic Loading Rate
Beban organik merupakan parameter operasional yang penting dipelajari secara ekstensif untuk menyelidiki efek dari berbagai beban substrat. Beban organik
menunjukkan seberapa banyak bahan organik yang dapat dimasukkan ke dalam digester, per volume dan satuan waktu, sesuai dengan persamaan [38]:
Universitas Sumatera Utara
B
R
= m × c V
R
2.1 Keterangan:
B
R
= Beban organik kghari·m
3
m = Massa substrat umpan per satuan waktu kghari c
= Konsentrasi bahan organik V
R
= Volume digester m
3
Beban organik yang tinggi akan mengurangi efisiensi penyisihan COD dalam sistem pengolahan air limbah, namun memberikan dampak positif pada produksi gas
metan hingga tahap mikroba metanogenesis tidak dapat bekerja cukup cepat untuk
mengkonversi asam asetat menjadi metana [54, 55].
2.4.8
Hydraulic Retention Time
HRT
HRT adalah rata-rata interval waktu ketika substrat disimpan di dalam tangki digester. HRT berkorelasi dengan volume digester dan volume substrat umpan per
satuan waktu, sesuai dengan persamaan: HRT = V
R
V 2.2
Keterangan: HRT =
Hydraulic Retention Time hari
V
R
= Volume digester m
3
V = Volume substrat umpan per satuan waktu m
3
hari Berdasarkan persamaan diatas dapat dilihat bahwa peningkatan beban
organik akan mengurangi HRT. HRT ini penting karena menentukan jangka waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme dan konversi senyawa organik
menjadi gas. Waktu HRT ini haruslah cukup lama untuk memastikan jumlah mikroorganisme yang terbuang bersama effluent lebih rendah dibanding
mikroorganisme yang direproduksi. HRT yang rendah akan menyebabkan pembentukan gas yang rendah namun laju alir substrat yang baik. Oleh karena itu
adalah sangat penting untuk mengaplikasikan HRT yang sesuai dengan laju penguraikan substrat yang digunakan [17, 18].
2.5 POTENSI EKONOMI
Pada penelitian ini dilakukan analisa ekonomi yang sederhana terhadap proses asidogenesis LCPKS menggunakan temperatur termofilik dengan produk
yang diharapkan berupa VFA, yang dapat dikonversi menjadi biogas pada tahap
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya. Dari hasil analisa, dapat diketahui potensi ekonomi pemanfaatan LCPKS sebagai bahan baku biogas pada temperatur termofilik dalam skala industri. Beberapa
penelitian yang berhasil menghitung volume pembentukan biogas dari VFA ditunjukkan pada Tabel 2.4
Tabel 2.4 Volume Pembentukan Biogas dari VFA yang Terbentuk [56, 57, 58] Peneliti
Total VFA mgL
Volume Biogas LL hari
A.K. Kivaisi et al Rongpin Li et al
Cavinato et al 2.058,85
4.020,00 6.896,48
1,70 3,97
6,00
Pada penelitian ini, pH terbaik yaitu 5, menghasilkan total pembentukan VFA sebesar 9.724 mgL. Menurut A.K. Kivaisi et al [56], konversi VFA menjadi biogas
adalah 100. Melalui Tabel 2.4 dapat digambarkan grafik linear seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Konversi Total VFA menjadi Biogas [56, 57, 58] Gambar 2.3 menunjukkan grafik linearisasi pembentukan biogas dari VFA
dengan persamaan garis lurus: y = 0,062 x + 907 dengan y merupakan produksi biogas dan x merupakan VFA yang terbentuk. Berdasarkan persamaan tersebut maka
jumlah biogas yang dapat dihasilkan dari total VFA pH terbaik pada penelitian ini adalah:
y = 0,0009x + 0.1043
= 0,0009 9.724 + 0.1043 = 8,85 liter biogas liter LCPKS hari
= 8,85 m
3
biogas m
3
LCPKS hari
y = 0,0009x + 0,1043
1 2
3 4
5 6
7
2000 4000
6000 8000
P ro
d u
k si
B io
g a
s L
h a
ri
Total VFA mgL
Produksi Biogas Linear Produksi Biogas
Universitas Sumatera Utara
Ekivalensi 1 m
3
biogas terhadap Liquefied Petroleum Gas LPG sebesar 0,465 kg, sehingga
=
8,85 m
3
biogas 1 m
3
LCPKS
x
0,465 kg LPG 1 m
3
biogas
= 4,115 kg LPGm
3
LCPKS Harga LPG industri adalah Rp 7.355kg [59], sehingga untuk biogas yang dihasilkan
pada proses pembuatan biogas dua tahap diperoleh keuntungan sebesar: Keuntungan produksi biogas dua tahap
=
4,115 kg LPG 1 m
3
LCPKS
x
Rp 7.335 1kg LPG
= Rp 30.183,5m
3
LCPKS
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Berdasarkan data Food and Agriculture Organization of the United Nations FAO, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia GAPKI dan Kementrian
Pertanian Republik Indonesia, produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 32,5 juta ton atau mengalami kenaikan sebesar 1,5 juta ton
dibandingkan pada tahun 2014 yang mencapai 31 juta ton [1]. Tabel 1.1 Kapasitas Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit di Indonesia
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Produksi
juta ton 19.2
19.4 21.8
23.5 26.5
27.0 31.0
32.5
Eksport
juta ton 15.1
17.1 17.1
17.6 18.2
21.2 20.0
22.3
Kenaikan produksi akan berdampak pada meningkatnya volume limbah yang akan dihasilkan. Salah satu limbah hasil proses produksi minyak dari kelapa sawit
adalah Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit LCPKS atau Palm Oil Mill Effluent POME. LCPKS merupakan kombinasi dari air buangan yang diproduksi dan
dikeluarkan dari tiga sumber utama yaitu stasiun klarifikasi 60, sterilisasi 36 dan hidrosiklon 4. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa dari produksi satu ton
tandan buah segar dihasilkan hampir 0,5-0,75 ton LCPKS [2]. LCPKS mengandung sejumlah asam amino, nutrisi anorganik Na, K, Ca, Mg, Mn, Fe, Zn, Cu, Co dan
Cd, serat, senyawa nitrogen, asam organik bebas dan karbohidrat [3]. Terdiri atas 95-96 H
2
O, 0,6-0,7 minyak, 4-5 padatan dimana padatan tersuspensi sebesar 2- 4, pH 3,4-5,2 dan memiliki nilai Chemical dan Biological Oxygen Demand COD
dan BOD yang tinggi [4]. Konsentrasi COD pada LCPKS berada di kisaran 45,000- 65,000 mgL dan BOD 18,000-48,000 mgL [5].
Konsentrasi COD dan BOD yang tinggi pada LCPKS dapat menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan, khususnya perairan. Salah satu cara untuk
menanggulangi hal ini yaitu dengan memanfaatkan LCPKS sebagai bahan baku
Universitas Sumatera Utara