INILAH DAKWAH KITA!

INILAH DAKWAH KITA!
Dakwah bukanlah pekerjaan ringan. Dan oleh karenanya perlu
kesiapan prima bagi setiap ‘pelakunya’. Sebagai seorang da’i, kita harus
menyiapkan diri untuk menjadi yang terbaik: secara moral maupun
intelektual!
Dalam hal ini, Allah SWT menyatakan bahwa diperlukan modal
“bashîrah” bagi setiap pelaku dakwah (baca: da’i) ketika sudah berniat
terjun di dunia dakwah, dan inilah salah satu persyaratan yang tak bisa
ditawar bagi siapa pun yang berkeinginan menjadi seorang da’i sejati.
Dan Allahlah yang akan menjadi ‘saksi’ atas setiap langkah kita.
Allah berfirman:

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang
hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai
saksi.” (QS al-Fath, 48: 28)
Menjadi seorang da’i yang mengajak umat untuk menghamba
kepada Allah adalah sebuah tugas yang sangat utama dan mulia. Tugas
yang membuktikan kesejatian ittibâ’ (komitmen untuk setia kepada sunnah)
pada diri seorang muslim terhadap Nabi yang dicintainya.
Dalam kaitannya dengan tugas seorang da’i, Allah Ta’ala berfirman,


“Katakanlah; Inilah jalanku. Aku mengajak (kamu) kepada Allah di atas
bashîrah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan maha

1

suci Allah, aku bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS Yûsuf, 12:
108).
Ayat yang mulia ini mengisyaratkan bahwasanya orang yang paling
sempurna dalam ittiba’ adalah yang paling sempurna dalam berdakwah
{lihat ad-Durar al-Ghâliyah fî Adab ad-Da’wah wa ad-Dâ’iyah oleh Syaikh Abdul
Hamid bin Badis rahimahullâh, hal. 18}
Formula Dakwah
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menerangkan kepada kita
bahwasanya jalan dakwah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dibangun di atas
tiga perkara:

1. Mengajak kepada Allah di atas bashîrah/ilmu.
Melalui QS Yûsuf, 12: 108 tersebut di atas, Ibnu Katsir menafsirkan
kata ”bashîrah” sebagai satu bentuk kekuatan yang harus dimiliki
oleh setiap penyeru (dai), yaitu: kekuatan keyakinan dan argumentasi

akal dan syar’i yang bisa diterima.
Bashîrah, secara kebahasaan, berarti: “hati nurani” atau kata hati atau
hati kecil untuk menyebut kejujuran seseorang atas diri sendiri. Kata
nurani berasal dari bahasa Arab yang artinya ‘cahaya’, dan (nurani)
artinya sejenis cahaya atau yang bersifat cahaya, sehingga hati nurani
dapat disebut sebagai cahaya hati atau lubuk hati yang terdalam.
Dalam bahasa Arab, hati nurani dalam konteks tersebut disebut
bashîrah.
Dalam bahasa Arab, bashîrah juga berarti: jendela hati, artinya
pandangan dan lintasan hati. Allah mampu melihat sesuatu secara
total, yang tampak maupun yang tidak tampak tanpa memerlukan
alat. Jika dihubungkan dengan diri kita sebagai manusia, maka
mempunyai empat arti, yaitu: (a) ketajaman hati, (b) kecerdasan, (c)
kemantapan dalam agama, dan (d) keyakinan hati dalam hal agama
dan realita. Meskipun juga mengandung arti: melihat, tetapi jarang
sekali kata bashîrah tersebut digunakan dalam literatur Arab untuk
pengertian indera penglihatan tanpa disertai pandangan hati. Dengan
demikian, maka ‘hati nurani’ dapat dipahami sebagai pandangan
mata hati sebagai lawan dari pandangan mata kepala.
2


2. Menyucikan Allah Ta’ala -dari segenap celaan dan kekurangan-, dan
3. Berlepas diri dari orang-orang musyrik (lihat ad-Durar al-Ghâliyah,
hal. 8 )
Mengajak Kepada Allah
Hendaknya seorang da’i mengingat, bahwasanya dakwah yang
dilakukannya adalah untuk mengajak manusia kepada Allah, yaitu:
mengajak manusia kepada agama-Nya, agar mereka mentauhidkan-Nya,
dan mengajak mereka untuk masuk ke dalam surga-Nya. Sehingga seorang
da’i harus ikhlas dalam berdakwah (lihat al-Jadîd fî Syarh Kitâb at-Tauhîd,
Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi, hal. 50). Berdakwah kepada
hukum-hukum Allah juga termasuk dalam dakwah kepada Allah, karena
hal itu merupakan ajakan terhadap apa yang diperintahkan dan untuk
menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya (lihat adh-Dhau’ al-Munîr fî at-Tafsîr,
hal. 550). Artinya, semestinya dakwah yang diserukannya bukanlah dalam
rangka meraih target kekuasaan, ambisi tertentu, harta, ataupun urusanurusan dunia lainnya. Akan tetapi dakwahnya bertujuan mengajak manusia
mentauhidkan Allah dan mengikuti syari’at-Nya (Syarh Kitâb at-Tauhîd,
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullâh, hal. 42)
Dari sini kita mengetahui bahwa yang dimaksud mengajak kepada
Allah ialah:

1. Mengajak kepada agama-Nya, yaitu Islam
2. Mengajak kepada tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah
3. Mengajak untuk menempuh jalan menuju surga-Nya, yaitu jalan
yang lurus
4. Mengajak untuk menerapkan hukum-hukum Allah, yaitu
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya
Mengajak Kepada Agama-Nya
Allah ta’ala berfirman,

“Dialah yang telah mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar
untuk dimenangkan di atas seluruh agama…” (QS al-Fath, 48: 28).
3

Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya agama -- yang benar -- di sisi Allah adalah Islam.” (QS Âli
‘Imrân, 3: 19).
Allah ta’ala berfirman,

“Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima

darinya dan di akherat nanti dia pasti termasuk golongan orang-orang yang
merugi.” (QS Âli ‘Imrân, 3: 85).

...
“Dari Ibnu Abbas r.a., sesungguynya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman bersabda, “Sesungguhnya kamu akan
mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, hendaknya kamu ajak mereka
untuk bersyahadat tiada sesembahan -- yang benar -- selain Allah dan bahwasanya
aku adalah utusan Allah…” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan pula kepada kita bahwasanya seseorang
tidak dihukumi sebagai muslim kecuali setelah dia mengucapkan dua
kalimat syahadat, demikian keterangan Imam an-Nawawi rahimahullâh (lihat
Syarh Muslim [2/48]). Hal ini tentu saja berbeda jauh dengan apa yang sering
digembar-gemborkan oleh kaum liberal dan pluralis bahwa seorang bisa
menjadi muslim tanpa mengikuti agama Islam dan tanpa dua kalimat
syahadat [?!] Kalau pun mereka menamai gerakan mereka sebagai Jaringan
Islam Liberal -- dengan label Islam -- maka itu sebenarnya menunjukkan
betapa pengecutnya mereka sehingga tidak berani untuk menyingkap
4


hakikat dakwah mereka yang berisi kekafiran! “Mereka malu kepada manusia
tetapi tidak malu kepada Allah, padahal Dia senantiasa mengawasi gerak-gerik
mereka…”.
Mengajak Kepada Tauhid
Allah Ta’ala berfirman,

“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia berkata; Wahai
kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya...” (QS alA’râf, 7: 59). Allah ta’ala berfirman,

“Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai
kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya...” (QS alA’râf, 7: 65). Allah ta’ala berfirman,

“Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata;
Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya...” (QS
al-A’râf, 7: 73). Allah Ta’ala berfirman,

“Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata;
Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya...” (QS
al-A’râf, 7: 85). Allah Ta’ala berfirman,


5

“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak;
sembahlah Allah dan jauhilah thaghut...” (QS an-Nahl, 16: 36). Ayat-ayat yang
mulia ini menunjukkan bahwa dakwah seluruh rasul adalah dakwah tauhid.
Demikian juga semestinya yang dilakukan oleh para ulama dan da’i yang
melanjutkan perjuangan mereka.
Oleh sebab itu mereka pun senantiasa memperingatkan umat dari
bahaya syirik. Allah Ta’ala berfirman,

“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu, apabila kamu
berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu, dan kamu benar-benar akan
termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS az-Zumar, 39: 65).
Nabi Ibrahim ‘alaihis salâm pun berdoa kepada Allah supaya
dijauhkan dari pemujaan kepada berhala, sebagaimana dikisahkan dalam
ayat al-Quran,

“...dan jauhkanlah diriku dan anak keturunanku dari pemujaan kepada berhala.”
(QS Ibrâhîm, 14: 35).
Mengungkap Kesalahpahaman Tentang Tauhid

Banyak yang mengira bahwa tauhid adalah sekedar keyakinan bahwa
Allah itu satu, tidak berbilang. Tauhid itu maknanya Allah satu-satunya
pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta. Itulah yang biasa dikenal
di dalam istilah para ulama sebagai tauhid rububiyah, yaitu mengakui
keesaan Allah dalam perkara mencipta, mengatur dan semacamnya.
Padahal, tauhid yang menjadi inti dakwah para nabi dan rasul bukan itu.
6

Tauhid yang menjadi tujuan utama dakwah ialah tauhid uluhiyah; yaitu
menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah dan meninggalkan
segala sesembahan selain-Nya. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan oleh
Allah dalam ayat,

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan apapun.”
(QS an-Nisâ’, 4: 36).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata, “Bukanlah yang
dimaksud dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah
semata yang menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari
kalangan ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah
bisa menetapkan kebenaran hal ini dengan bukti dalil maka mereka merasa telah

mengukuhkan hakikat tauhid. Mereka beranggapan apabila mereka telah
menyaksikan dan mencapai tingkatan ini maka itu artinya mereka telah berhasil
menggapai puncak ajaran tauhid. Padahal sesungguhnya apabila ada seseorang
yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah ta’ala dan menyucikanNya dari segala sesuatu yang mencemari kedudukan-Nya dan juga meyakini
bahwasanya Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia menjadi
seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat la ilaha illallah; tiada
sesembahan yang benar kecuali Allah semata, sehingga dia mengakui bahwa Allah
semata yang berhak untuk diibadahi dan dia menjalankan ibadah kepada Allah serta
tidak mempersekutukan-Nya.” (Dikutip dari Fath al-Majîd, hal. 15-16)
Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat,
Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilâh dalam syahadat la
ilâha illallâh dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga
mereka menafsirkan la ilâha illallâh dengan tiada yang berkuasa untuk
mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka
semisal Ummul Barâhin, dijelaskan bahwa makna ilâh adalah Dzat yang
tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya
membutuhkan-Nya. Ini artinya mereka telah menyimpangkan makna
tauhid uluhiyah kepada tauhîd rubûbiyyah. Hal ini pula yang menimbulkan
munculnya pemaknaan la ilâha illallâh dengan ‘tiada tuhan selain Allah’,
karena istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur

dan pemelihara alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah tiada

7

sesembahan yang benar selain Allah (lihat at-Tam-hîd li Syarh Kitâb at-Tauhîd,
hal. 75-76)
Menjelaskan Hakikat Ibadah
Dakwah tauhid tidak tegak tanpa pemahaman yang benar mengenai
hakikat ibadah. Oleh sebab itu menjelaskan kepada umat mengenai
keluasan cakupan ibadah dan pilar-pilarnya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari dakwah tauhid itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

“Rabb kalian berkata: Berdoalah kepada-Ku, pasti akan Aku kabulkan.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku
pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina.” (QS Ghâfir/al-Mu’min, 40: 60).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ibadah merupakan
sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah,
berupa ucapan dan perbuatan, yang batin maupun lahir. Ini artinya sholat, zakat,
puasa, haji, jujur dalam berbicara, menunaikan amanat, berbakti kepada kedua
orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang

ma’ruf, melarang yang mungkar, berjihad memerangi orang kafir dan munafik,
berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, maupun budak
dari kalangan manusia atau binatang piaraan, doa, dzikir, membaca al-Qur’ab, dan
lain sebagainya itu semua adalah ibadah. Demikian juga kecintaan kepada Allah dan
rasul-Nya, rasa takut kepada Allah, inabah kepada-Nya, mengikhlaskan agama
untuk-Nya, bersabar menghadapi ketetapan-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, ridha
dengan takdir-Nya, bertawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut
kepada azab-Nya, dan semisal itu pun termasuk ibadah kepada Allah.” (al’Ubûdiyyah, hal. 6)
Ibadah pada asalnya mengandung makna “perendahan diri”, akan
tetapi ibadah yang diperintahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya
adalah suatu bentuk perendahan diri yang paling tinggi kepada Allah
dengan disertai puncak rasa cinta kepada-Nya. Seorang yang
menundukkan dirinya kepada orang lain namun menyimpan rasa benci
kepadanya tidaklah dianggap beribadah kepadanya. Demikian juga orang
8

yang mencintai seseorang namun tidak menundukkan diri kepadanya pun
tidak dikatakan beribadah kepadanya. Oleh sebab itu kedua pilar ibadah
tersebut -yaitu perendahan diri dan puncak kecintaan- itu harus selalu ada
dalam menjalani ibadah kepada Allah. Bahkan Allah harus lebih dicintainya
daripada segala sesuatu dan menjadi sosok yang paling agung daripada
segala-galanya. Bahkan, tidaklah berhak untuk mendapatkan rasa cinta dan
ketundukan yang sempurna kecuali Allah semata. Segala sesuatu yang
dicintai bukan karena Allah maka kecintaannya adalah kecintaan yang
rusak/tidak sah. Begitu pula tidaklah sesuatu selain Allah diagungagungkan tanpa perintah dari-Nya melainkan pengagungan itu adalah
sebuah kebatilan (lihat al-’Ubûdiyyah, hal. 12)
Ibadah ditopang dengan tiga buah pilar amalan hati, yaitu:
1. Rasa cinta
2. Rasa takut
3. Rasa harap (lihat at-Tauhîd al-Muyassar, hal. 53)
Ketiga hal di atas harus terkumpul dalam diri seorang muslim, tidak
boleh dipisah-pisahkan antara satu dengan yang lainnya. Barangsiapa yang
bersandar hanya kepada salah satunya dan menyingkirkan yang lainnya
maka dia tidak beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya.
Beribadah kepada Allah hanya dengan cinta adalah jalan kaum Sufi.
Beribadah kepada Allah hanya dengan harapan adalah jalan kaum Murji’ah.
Beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut adalah jalan kaum
Khawarij (lihat al-Irsyâd ilâ Shahîh al-I’tiqâd, hal. 35)
Ibadah terdiri dari tiga jenis amalan:
1. Amalan hati
2. Amalan lisan
3. Amalan anggota badan (lihat Fath al-Majîd, hal. 17)
Menjelaskan Hakikat Syirik dan Bahayanya
Mendakwahkan Islam dan tauhid tidak akan terwujud kecuali
dengan menjelaskan hakikat syirik dengan sejelas-jelasnya, sehingga dengan
itu seorang muslim akan selamat dari bahayanya. Oleh sebab itu kita dapati
banyak dalil dalam al-Quran maupun as-Sunnah yang menjelaskannya. Di
antaranya adalah syirik dalam hal doa. Yaitu tatkala seorang hamba
9

menujukan doanya kepada Allah dan juga kepada selain-Nya. Dia
gantungkan harapan dan rasa takutnya kepada selain Allah di samping
harapan dan takut kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman mengenai ulah
orang-orang musyrik,

“Kemudian apabila mereka naik di atas perahu (kemudian diterjang badai lautan)
maka mereka pun berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya,
namun ketika Allah selamatkan mereka ke daratan tiba-tiba mereka pun kembali
melakukan kesyirikan.” (QS al-‘Ankabût, 29: 65)
Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah dalam
hal-hal yang menjadi kekhususan bagi Allah. Syirik ini terbagi menjadi dua:
1. Syirik Akbar; yaitu segala sesuatu yang disebut sebagai kesyirikan
oleh pembuat syari’at (Allah) dan padanya terkandung tindakan
keluar dari agama
2. Syirik Asghar; yaitu segala perbuatan atau ucapan yang disebut
sebagai syirik atau kekafiran, namun berdasarkan dalil-dalil yang lain
diketahui bahwa ternyata hal itu tidak mengeluarkan dari agama
(lihat at-Tauhîd al-Muyassar, hal. 20)
Bahaya syirik banyak sekali, di antaranya adalah:
1. Pelakunya tidak akan diampuni apabila mati dalam keadaan belum
bertaubat darinya (lihat QS an-Nisâ’, 4: 48)
2. Pelakunya keluar dari Islam, menjadi halal darah dan hartanya (lihat
QS at-Taubah, 9: 5)
3. Amalan apa saja yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah, ia
hanya akan menjadi sia-sia bagaikan debu yang beterbangan (lihat
QS al-Furqân, 25: 23)
4. Pelakunya haram masuk surga (lihat QS al-Mâ’idah, 5: 72) (lihat atTauhîd al-Muyassar, hal. 26)
Mengajak Kepada Jalan Yang Lurus

10

Allah Ta’ala berfirman,

“Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan
orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.” (QS.
al-Fâtihah, 1: 7).
Syaikh as-Sa’di rahimahullâh menerangkan bahwa hakikat jalan yang
lurus itu akan diperoleh dengan cara mengenali kebenaran dan
mengamalkannya (lihat Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hal. 39).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullâh berkata, “Dengan ucapan anda
‘Ihdinash shirâthal mustaqîm, itu artinya anda telah meminta kepada Allah Ta’ala
ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12).
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullâh berkata, “Maka orang yang
diberi nikmat atas mereka yaitu orang yang berilmu sekaligus beramal. Adapun
orang-orang yang dimurkai yaitu orang-orang yang berilmu namun tidak beramal.
Sedangkan orang-orang yang tersesat ialah orang-orang yang beramal tanpa
landasan ilmu.” (Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 14). Ibnul Qayyim rahimahullâh
menjelaskan bahwa penyebab orang terjerumus dalam kesesatan ialah
rusaknya ilmu dan keyakinan. Sedangkan penyebab orang terjerumus
dalam kemurkaan ialah rusaknya niat dan amalan (lihat al-Fawâ’id, hal. 21)
Allah Ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salâm,

“...maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku. Sesungguhnya Allah
adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS
Âli ‘Imrân, 3: 50-51, lihat juga QS az-Zukhruf, 43: 63-64).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah, yaitu penyembahan kepada
Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan

11

lurus’ yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya, adapun yang
selain jalan itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.” (Taisîr
al-Karîm ar-Rahmân, hal. 132). Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata,
“…Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada
jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah
tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syari’at
yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan
dengan [landasan] hawa nafsu maupun bid’ah-bid’ah…” (at-Tafsîr al-Qayyim, hal.
116-117)
Allah ta’ala berfirman,

“Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam; Janganlah
kalian menyembah syaitan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi
kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS Yâsîn, 36: 60-61).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud
‘mentaati syaitan’ itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan.
Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah, taat kepadaNya, dan mendurhakai syaitan (lihat Taisîr al-Kar٠m ar-Rahmân, hal. 698)
Mengajak Kepada Hukum Allah
Allah Ta’ala berfirman,

“Tidak pantas bagi seorang yang beriman, lelaki ataupun perempuan, apabila Allah
dan rasul-Nya telah menetapkan suatu urusan kemudian ada bagi mereka pilihan
yang lain dalam urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan

12

rasul-Nya sungguh di telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS alAhzâb, 33: 36).
Allah Ta’ala berfirman,

“Demi Rabbmu, sesungguhnya mereka tidaklah beriman sampai mereka mau
menjadian kamu (Muhammad) sebagai hakim atas segala yang diperselisihkan di
antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati mereka
atas apa yang kamu putuskan, dan mereka pasrah dengan sepenuhnya.” (QS anNisâ’, 4: 65).
Allah Ta’ala berfirman,

“...kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara, kembalikanlah kepada
Allah (al-Quran) dan rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada
Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus akibatnya.” (QS an-Nisâ’,
4: 59).
Allah Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa yang menaati rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS anNisâ’, 4: 80).
Allah Ta’ala berfirman,

13

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik
hukumnya daripada Allah, bagi orang-orang yang yakin.” (QS al-Mâ’idah, 5: 50).
Allah Ta’ala berfirman,

“Dan putuskanlah hukum di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka...” (QS al-Mâ’idah, 5: 49)
Allah Ta’ala berfirman,

“Dan janganlah kalian merusak bumi setelah perbaikannya...” (QS al-A’râf, 7: 56).
Abu Bakr bin ‘Iyasy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah telah
mengutus Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada segenap penduduk bumi
sementara ketika itu mereka berada dalam kerusakan, maka Allah memperbaiki
mereka dengan diutusnya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Maka
barangsiapa yang mengajak untuk menyelisihi/menentang ajaran yang dibawa oleh
Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, itu artinya dia termasuk golongan orangorang yang melakukan perusakan di atas muka bumi.” (Fath al-Majîd, hal. 383).
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullâh berkata, “…Berhukum
kepada selain Allah dan rasul-Nya termasuk sebab paling besar yang menimbulkan
kerusakan di atas muka bumi sehingga memunculkan berbagai kemaksiatan, maka
tiada kebaikan baginya kecuali dengan berhukum dengan Kitab Allah dan Sunnah
rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah jalannya orang-orang yang
beriman.” (Fath al-Majîd, hal. 383)
Berdakwah Dengan Ilmu
Dakwah bukan perkara sembarangan. Ia membutuhkan perbekalan
dan pemahaman. Seorang yang berdakwah berarti mengajak orang untuk
14

beragama
dengan
pemahaman
yang
disebarkannya.
Apabila
pemahamannya keliru, maka menimbulkan pemahaman orang yang
didakwahinya pun menjadi keliru. Sehingga yang seharusnya dia bisa
bergembira dengan limpahan pahala berlipatganda karena dakwahnya,
namun karena kebodohan juteru sebaliknya yang dia peroleh, dosa
bertumpuk-tumpuk yang dia dapatkan, wal ‘iyâdzu billâh.
Salah satu sebab yang banyak mengacaukan dakwah ini adalah
ketidakadaan ilmu. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “.. karena
sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas
atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu syari’at
saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan
orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya;
itulah yang dikenal dengan istilah hikmah…” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab atTauhid [1/82]). Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Adapun
orang yang berdakwah tanpa bashîrah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak
daripada apa yang dia perbaiki.” (Syarh al-Manzhûmah al-Mîmiyyah, hal. 111)
Dari Mu’awiyah r.a., Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda,

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan dari Allah, niscaya akan dipahamkan
dalam agama.” (HR Bukhari dan Muslim).
Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam hafizhahullâh berkata,
“Sesungguhnya di antara buah yang bisa dipetik dari bertafaqquh/mendalami
agama Allah adalah berjalan di atas jalan keselamatan dari fitnah/kekacauan…”.
Itulah metode yang ditempuh oleh para sahabat sehingga mereka bisa
selamat dari api fitnah. Seperti contohnya ketika mereka berselisih mengenai
siapakah yang menggantikan Nabi s.a.w., maka mereka pun merujuk
kepada dalil dan pasrah kepadanya sehingga perselisihan pun usai.
Sehingga diangkatlah Abu Bakar sebagai khalifah karena beliau adalah dari
Quraisy, sebagaimana yang dipesankan oleh Nabi agar pemimpin umat ini
dari kalangan mereka.

15

Kemudian Syaikh Muhammad al-Imam berkata, “Lihatlah bagaimana
perselisihan itu bisa dibendung dengan sebab tafaqquh dalam agama serta pasrah
kepada dalil, dan lihatlah betapa banyak perselisihan yang timbul di kalangan para
sahabat akhirnya lenyap dan berakhir apabila telah datang dalil dan keterangan
syari’at. Maka tafaqquh dalam agama merupakan asas semua kebaikan, akan tetapi
itu berlaku apabila ia diasuh oleh seorang guru yang benar akidahnya dan selamat
manhajnya serta baik niatnya…” (at-Tanbîh al-Hasan fî Mauqif al-Muslim min alFitan)
Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan serta-merta mencabutnya
dari hamba-hamba-Nya. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan
para ulama, sampai apabila sudah tidak disisakan lagi seorang yang berilmu, maka
orang-orang pun mengangkat para pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh.
Mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR
Bukhari).
Menyucikan Allah Dari Segala Celaan
Celaan atau penodaan terhadap keagungan Allah dan agama-Nya
timbul karena dakwah yang disampaikan tidak berlandaskan
bashirah/ilmu. Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
menjelaskan makna ayat ‘Maha suci Allah’, maksudnya di sini adalah,
“Maha suci Allah dari dakwah yang aku lakukan yang tidak berlandaskan
bashirah!” (al-Qaul al-Mufîd [1/83]). Akibat dari berbicara tentang Allah dan
agama-Nya tanpa ilmu, maka terjadilah berbagai bentuk penodaan dan
pelecehan terhadap keagungan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya
(lihat Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hal. 406).
Allah Ta’ala berfirman,

16

“Katakanlah; Sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan perkara-perkara keji
yang tampak ataupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa
hak, kamu mempersekutukan Allah yang sama sekali tidak ada dalil yang
diturunkan untuk membenarkannya, dan kamu berbicara mengatasnamakan Allah
apa-apa yang tidak kamu ketahui.” (QS al-A’râf, 7: 33)
Berlepas Diri Dari Penganut Kesyirikan
Allah Ta’ala berfirman,

“Dan ingatlah, tatkala Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya; Sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah kecuali Yang Menciptakanku.” (QS
az-Zukhruf, 43: 26).
Seorang yang hendak merealisasikan tauhid di dalam dirinya maka
dia harus berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah (lihat al-Qaul asSadîd fî Maqâshid at-Tauhîd, hal. 32). Sehingga tidak akan terkumpul pada diri
seseorang antara keimanan dengan rasa cinta kepada musuh-musuh Allah.
Allah Ta’ala berfirman,

17

“Sungguh telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami
berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami
ingkari kalian dan telah nyata antara kami dengan kalian permusuhan dan
kebencian untuk selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja...” (QS
al-Mumtahanah, 60: 4).
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Abu Mushlih Ari Wahyudi, www.muslim.or.id,
dalam http://aljaami.wordpress.com/2011/03/27/inilah-dakwah-kita/)

18