Wiwi Juwita Asri, 2014 Penggunaan Media Huruf Tiga Dimensi Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Huruf
Vokal Pada Anak Tunarungu Kelas I Slb B-C Kurnia Yplb Bakti Lemah Cai Kabupaten Garut
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
dalam Somad dan Herawati 1996 : 29, bahwa klasifikasi anak tunarungu adalah sebagai berikut:
a. 0 dB
: Menunjukkan pendengaran yang normal. b.
0– 26dB : Menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal.
c. 27-40 dB : Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang
jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara tergolong tunarungu ringan.
d. 41-55 dB : Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti
diskusi kelas membutuhkan alat Bantu dengar dan terapi bicara tergolong tunarungu agak berat.
e. 56 –70 dB : Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat,
masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengar tergolong
tunarungu agak berat. f.
71 – 90 dB : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang dianggap tuli membutuhkan alat bantu dengar dan latihan
bicara secara khusus tergolong tunarungu berat. g.
91 dB ke atas : Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak tergantung pada penglihatan dari pada pendengaran
untuk proses menerima informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli tergolong tunarungu berat sekali.
3. Dampak Ketunarunguan
a. Dampak Primer
Wiwi Juwita Asri, 2014 Penggunaan Media Huruf Tiga Dimensi Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Huruf
Vokal Pada Anak Tunarungu Kelas I Slb B-C Kurnia Yplb Bakti Lemah Cai Kabupaten Garut
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
Dampak primer yang dimaksudkan yaitu dampak langsung dari ketunarunguan bagi yang bersangkutan yaitu terhambatnya komunikasi,
baik secara verbal atau secara lisan secara ekspresif maupun reseptif yaitu kesulitan memahami pembicaraan orang lain sebagai lawan
bicara, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan
lingkungan sosial
sekitarnya yang
pada umumnya
menggunakan bahasa secara verbal atau lisan sebagai alat komunikasi. Akibat
ketunarunguan tidak dapat menerima umpan-balik auditoris pada masa lalu dan tidak dapat menerima suara-suara yang
dikeluarkannya sendiri, serta suara-suara lingkungan, terutama suara bahasa
ibunya sehingga
menimbulkan permasalahan-permasalahan
dalam kemampuan atau keterampilan berbahasanya. Natawidjaya dan Alimin, 1996, menjelaskan bahwa dampak ketunarunguan yang paling
menonjol ialah mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa, karena: 1 tidak ada umpan balik auditoris pada waktu bersuara, 2
tidak cukup menerima penguat verbal dari orang dewasa, dan 3 tidak dapat menerima model bahasa atau bicara orang dewasa.
Komunikasi merupakan proses menyampaikan dan menerima informasi antara dua orang atau lebih. Dengan keterbatasan yang
dimiliki oleh anak tunarungu maka berbeda pula cara mereka berkomunikasi dengan orang di sekitar mereka. Bunawan dan Yuwati
2000, anak tunarungu diperkenalkan oleh orangtuanya sejak kecil yaitu dengan bahasa isyarat gesture, kadang-kadang bahasa isyarat ini
disebut juga home sign, namun semakin ia dewasa bahasa isyarat berkurang sejalan dengan kemampuan berbicara yang terus dilatih
karena dengan cara ini juga mempermudahnya berkomunikasi dengan orang lain. Menurut Bunawan dan Yuwati 2000 komunikasi dengan
Wiwi Juwita Asri, 2014 Penggunaan Media Huruf Tiga Dimensi Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Huruf
Vokal Pada Anak Tunarungu Kelas I Slb B-C Kurnia Yplb Bakti Lemah Cai Kabupaten Garut
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
menggunakan bahasa isyarat gesture sangat mudah digunakan oleh anak tunarungu, gesture memiliki sifat propioseptif yaitu menimbulkan
suatu perasaan pada anak yang mirip degan aksi atau gerak yang dilambangkan misalkan isyarat ia ingin minum atau makan. Gesture ini
memiliki karakter umum untuk dipahami orang lain sehingga dapat digunakan anak tunarungu dalam berkomunikasi.
b. Dampak Sekunder