Keragaman genetik gen hormon pertumbuhan (GH) dan hubungannya dengan kualitas karkas pada sapi aceh

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON
PERTUMBUHAN (GH) DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KUALITAS KARKAS PADA SAPI ACEH

Eka Meutia Sari

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keragaman Genetik Gen
Hormon Pertumbuhan dan Hubungannya dengan Kualitas Karkas pada Sapi Aceh
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2011

Eka Meutia Sari
NIM D161080021

ABSTRACT

EKA MEUTIA SARI. Genetic Polymorphism of Growth Hormone (GH) in
Association with Carcass Quality of Aceh Cattle. Under the supervision of
RONNY RACHMAN NOOR, CECE SUMANTRI, and ENDANG TRI
MARGAWATI.
This study was conducted in order to identify polymorphism of growth
hormone gene and to characterize nucleotide changes and its position in the DNA
sequence of the exon five in the bovine growth hormone gene. In addition, this
study was done to determine the association of GH/AluI polymorphism with
carcass quality and to describe D-Loop of mtDNA and microsatellite alleles in
Aceh cattle. A total of 242 DNA genome samples were extracted from four Aceh
cattle population, i.e., Banda Aceh (29), Aceh Besar (30), Indrapuri (129), and

Saree (54), while for sample comparison was derived from the Gen Bank. The
bGH gene was sequenced to identify new single nucleotide polymorphism (SNP).
The sequence data were analyzed using BLAST and MEGA 4 software, and the
PCR-RFLP was used to amplify 404 bp of GH gene. D-Loop sequences of
mtDNA amplification were done by using specific primer with the PCR product
of 980 bp, and the dnaSP program was used to build the NJ tree and to identify the
haplotype. Three markers of BM1824, SPS115, and ILSTS028 were used for
microsatellite DNA genotyping. The data of genotyping was analyzed using
GeneMapper versi 4.0 software and Excel program. The result showed that one
new SNP was found in the exon five of bGH gene, which located at position of
2.230 bp (C/T). Genotype frequencies of SNP in position 2.230 bp of Aceh cattle
were 0.36; 0.14; and 0.50; for CC, TT, and CT respectively. On the contrary, the
LL genotype was the only genotype which found in other Aceh cattle population.
This finding indicated that there was not evidence of polymorphism of GH/AluI in
Aceh cattle, and there was not correlation of GH/AluI gene with carcass quality of
Aceh cattle. It could be affected by small number of sampling size. D-Loop
mtDNA analyses showed that there was 27 haplotypes, and 28 Aceh cattle
integrated into group of Buthan, China, India, and Zebu cattle with maternal
origin of Bos indicus and one sample was from Bos taurus. These finding could
be assumed that Aceh cattle has more genetic introgression of Bos indicus

compared to that Bos taurus breeds. Microsatellite analyses showed that the
average number of allele per locus was 7.6. The genotype of Indrapuri population
was higher than those of Banda Aceh and Saree population. Based on the
microsatellite alleles analyses, the frequency of C alele locus of SPS115 and
ILSTS028 was higher in Indrapuri population. Nevertheless, these locus could be
uses for further study to get more information about polymorphism in Indrapuri
population. However, this study suggests that GH gene could be possible used as
genetic marker.
Key words: Aceh cattle, SNPs, GH gene, D-Loop, microsatellite, carcass

RINGKASAN

EKA MEUTIA SARI. Keragaman Genetik Gen Hormon Pertumbuhan (GH)
dan Hubungannya dengan Kualitas Karkas pada Sapi Aceh. Dibimbing oleh
RONNY RACHMAN NOOR, CECE SUMANTRI dan ENDANG TRI
MARGAWATI.
Sapi Aceh merupakan salah satu dari tujuh bangsa sapi asli yang ada di
Indonesia, selain sapi Pesisir, Bali, Madura, Grati, Sumba Ongole, dan Ongole
cross. Sapi Aceh jantan dan betina bertanduk, dengan warna bulu bervariasi yaitu
putih, merah bata, hitam. Sapi Aceh resisten terhadap serangan parasit dan dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungan di daerah Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD). Meskipun dengan tatalaksana pemeliharaan yang sederhana, tetapi sapi
Aceh dapat berproduksi dan melahirkan anak sapi yang sehat dan induknya
mampu merawat anak dengan baik. Daging sapi Aceh memiliki serat daging yang
halus dan warna daging merah.
Populasi sapi Aceh semakin lama semakin menurun, karena persilangan
dengan bangsa sapi unggul lainnya, memiliki turunan anak sapi yang berukuran
besar dan memiliki nilai jual yang tinggi. Apabila kondisi ini dibiarkan
berlangsung, maka keberadaan sapi Aceh akan terancam punah, karena hilangnya
sumber daya genetik sapi Aceh. Melestarikan dan mempertahankan keberadaan
spesies dan bangsa sapi yang memiliki keunikan sangat diperlukan.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka dilakukan suatu penelitian yang
bertujuan untuk identifikasi polimorfisme gen hormon pertumbuhan (GH) dan
karakterisasi perubahan nukleotida dan posisinya di ekson lima pada gen GH, juga
membuktikan hubungan polimorfisme gen GH/AluI dengan kualitas karkas pada
sapi Aceh. Penelitian ini juga menentukan keragaman genetik D-Loop mtDNA
dan DNA mikrosatelit yang berguna sebagai acuan dalam pelaksanaan program
pelestarian plasma nutfah sapi Aceh untuk pengembangan dan pemanfaatannya
yang berkelanjutan.
Jumlah sampel sapi Aceh yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 242

ekor yang berasal dari Banda Aceh (29), Aceh Besar (30), Indrapuri (129) dan
Saree (54), serta data sampel sapi pembanding berasal dari Gen Bank. Ekstraksi
dan purifikasi DNA total dilakukan menurut metode Sambrook. Primer gen GH
yang digunakan berasal dari Gen Bank (kode akses M577641.1). Sekuensing gen
GH dilakukan untuk identifikasi adanya perubahan single nucleotide
polymorphism (SNP). Data sekuensing dianalisis dengan BLAST dan MEGA 4
software, dan PCR-RFLP digunakan untuk amplifikasi gen GH sepanjang 404 bp.
Sekuensing juga dilakukan pada D-Loop dengan produk PCR sepanjang 980 bp.
Program dnaSP digunakan untuk pembentukan NJ tree serta untuk identifikasi
jumlah haplotipe. Analisa DNA mikrosatelit menggunakan tiga lokus yaitu
BM1824, SPS115 dan ILSTS028. Ukuran-ukuran alel mikrosatelit dianalisis
dengan program GeneMapper versi 4.0 dan program Excel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan satu SNP baru di ekson
lima gen GH, yang berlokasi pada 2.230 bp (C/T). Frekuensi genotipe SNP pada
posisi 2.230 bp pada sapi Aceh adalah CC (0.36), TT (0.14) dan CT (0.50).

Selanjutnya, hanya genotipe LL yang dapat diidentifikasikan pada populasi sapi
Aceh lainnya, dan frekuensi gen GH/AluI untuk alel L adalah 1. Hasil penemuan
ini mengidentifikasikan bahwa belum ada bukti adanya polimorfisme gen
GH/AluI pada sapi Aceh, dan membuktikan juga belum ada hubungan antara gen

GH/AluI dengan kualitas karkas pada sapi Aceh. Keadaan ini disebabkan karena
terbatasnya jumlah sampel yang dimiliki. Namun demikian, dari hasil penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa gen GH dapat digunakan sebagai marker genetik
untuk sapi Aceh. Hasil analisis D-Loop mtDNA menunjukkan bahwa terdapat 27
haplotype, dengan 28 sampel sapi Aceh menyebar luas diantara sampel sapi
Buthan, China, India dan Zebu yang memiliki turunan Bos indicus dan hanya satu
sampel yang memiliki turunan Bos taurus. Fenomena ini dapat diasumsikan
bahwa sapi Aceh memiliki introgresi genetik dari Bos indicus dan Bos taurus.
Hasil analisis DNA mikrosatelit menunjukkan, bahwa rataan alel per lokus
adalah 7.6. Sapi Aceh memiliki derajat heterozigositas yang tinggi. Populasi sapi
Aceh yang berasal dari Indrapuri memiliki genotipe yang lebih banyak dari
populasi yang berasal dari Banda Aceh dan Saree. Hasil analisis alel mikrosatelit,
frekuensi alel C pada lokus SPS115 dan ILSTS028 adalah tinggi pada populasi
sapi Aceh di Indrapuri. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disarankan bahwa
lokus-lokus mikrosatelit ini dapat digunakan sebagai genetik marker pada
populasi sapi Aceh di Indrapuri.
Kata kunci: sapi Aceh, SNPs, GH gene, D-Loop, mikrosatelit, karkas

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan
atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON
PERTUMBUHAN (GH) DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KUALITAS KARKAS
PADA SAPI ACEH

Eka Meutia Sari

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul Penelitian

: Keragaman Genetik Gen Hormon Pertumbuhan
(GH) dan Hubungannnya dengan Kualitas Karkas
pada Sapi Aceh

Nama

: Eka Meutia Sari

NRP


: D161080021

Program Studi/Mayor

: Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc
Ketua

Prof. Dr.Ir.Cece Sumantri, M.Agr.Sc Dr. Ir. Endang Tri Margawati, M.Agr.Sc
Anggota
Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor


Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ilmu dan Teknologi Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Dr.Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

PRAKATA

Alhamdullilah dan segala puji bagi Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Keragaman
Genetik Gen Hormon Pertumbuhan (GH) dan Hubungannya dengan Kualitas
Karkas pada Sapi Aceh. Salah satu alasan yang melatarbelakangi penelitian ini
adalah pengamatan penulis terhadap keberadaan sapi Aceh yang sangat sulit
ditemukan. Hal ini disebabkan karena peternak lebih menyenangi memelihara
ternak yang menghasilkan anak sapi yang berukuran besar, sehingga banyak

peternak mengawinkan ternaknya dengan bangsa sapi unggul, sementara sapi
Aceh berdasarkan pertumbuhan ukuran tubuhnya, semakin lama semakin kecil.
Apabila keadaan ini berlangsung terus menerus, kemungkinan keberadaan sapi
Aceh akan semakin sulit ditemukan, sehingga diperlukan suatu pemikiran untuk
dapat melestarikan keberadaan sapi Aceh.
Melakukan karakterisasi keragaman genetik pada sapi Aceh merupakan
suatu cara untuk dapat melestarikan keberadaan sapi Aceh. Karakterisasi genetik
sapi lokal Indonesia sebenarnya telah lama dilakukan dan beberapa hasilnya telah
dipublikasikan, diantaranya berdasarkan perbedaan golongan darah dan protein
darah. Hasilnya bahwa sapi Bali memiliki alel HbX pada golongan darahnya yang
tidak dimiliki sapi lokal lain. Tetapi, studi karakterisasi genetik di tingkat
molekuler masih sangat kurang. Adanya pertimbangan perkembangan yang cepat
pada sejumlah penciri genetik molekuler yang lebih akurat dibandingkan
fenotipik, maka penggunaan marka ini akan sangat membantu dalam penanganan
manajemen sistem seleksi pada ternak sapi potong. Informasi tentang alel-alel
spesifik dari data molekuler sapi lokal Indonesia masih sangat terbatas.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya alel spesifik untuk sapi
Bali pada lokus mikrosatelit INRA 023, HEL9 dan INRA 035 dibandingkan sapi
Bos taurus (Simmental, Limousin, dan Brangus). Demikian pula hasil studi
berdasarkan 16 lokus penciri mikrosatelit memberikan gambaran awal tentang
hubungan genetik antara sapi Aceh, Bali, Madura, dan PO.
Penggunaan gen GH sebagai marker genetik telah banyak digunakan
dalam penelitian untuk melihat keterkaitan polimorfisme gen GH dengan sifat
produksi, karena keragaman gen GH tersebut ditunjukkan dengan adanya
polimorfisme pada situs tertentu yang kemungkinan ekspresi gen GH tersebut
berhubungan dengan sifat produksi. Gen GH merupakan gen yang menyandi
hormon pertumbuhan sebagai produknya dan terletak pada kromosom 19 pada
ternak sapi. Namun hasil penelitian tersebut belum menunjukkan adanya
hubungan antara penciri gen GH dengan sifat-sifat ekonomis sapi lokal, terutama
terhadap kualitas karkas dan daging.
Penelitian ini dapat terlaksana karena adanya dukungan dari semua pihak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor,
M.Rur.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri,
M.Agr. Sc dan Dr. Ir. Endang Tri Margawati, M.Agr. Sc. sebagai Anggota Komisi
Pembimbing, yang telah mendukung, membimbing dan meluangkan waktu serta
pikirannya, sejak perancangan penelitian, penulisan proposal sampai
terselesaikannya penulisan karya ilmiah ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Syiah Kuala
atas izinnya untuk melanjutkan pendidikan Doktor di IPB. Terimakasih kepada
Dikti atas dukungan dana pendidikan BPPS. Kepada Gubernur NAD yang telah
memberikan bantuan dana penelitian. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan
kepada Ir. Ahmady sebagai Kepala BPTU Indrapuri, Ir Asnawi (STPP Saree), Dr.
Yunus M.Agr.Sc (Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar), drh. Ronny (RPH
Kotamadya Banda Aceh) dan Bambang S.Pt yang telah membantu dalam
pengambilan sampel darah dan daging sapi Aceh. Kepada seluruh staf di BPTU
Indrapuri dan STPP Saree penulis ucapkan terima kasih atas bantuannya selama
pengambilan sampel darah. Terimakasih kepada Kepala Bagian dan Staff
Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Bag. Pemuliaan dan Genetika Fapet
IPB, atas segala fasilitas alat dan bahan yang dapat penulis gunakan untuk ekstrasi
DNA, kepada Eryk Andreas, S.Pt, MSi, Restu Misrianti, S.Pt atas bantuannya
selama melakukan ekstraksi DNA. Rasa terimakasih penulis ucapkan kepada guru
yang senantiasa memberi semangat, bimbingan dan diskusi yang sangat berharga
Prof. Gunawan, MS, Ir. Hasan Basri, MS, dan Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA.
Kepada Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA sebagai Koordinator Mayor Ilmu dan
Teknologi Peternakan yang senantiasa memberikan bimbingan dan pemikiran
yang sangat bermanfaat bagi penulis. Ucapan terimakasih penulis sampaikan
kepada Prof. Han Jianlin selaku kepala CAAS (Chinese Academy of Agriculture
Sciences) – ILRI Beijing – China, yang telah mengizinkan penulis melakukan
research di Lab CAAS sebagai visiting scientist. Ucapan terimakasih juga penulis
ucapkan kepada Dikti atas beasiswa yang diberikan untuk program Sandwich ke
Beijing, sehingga penulis dapat menyempurnakan penelitian di laboratorium.
Terimakasih juga kepada Yayasan Toyota Astra atas bantuan dana penelitian dan
SEARCA atas Thesis Grant yang diberikan kepada penulis. Terima kasih kepada
Dr. Ir. Chalid Talid, MS dan Dr. Ir. Dedy Duryadi, DEA sebagai penguji luar
komisi dan Dr. Ir. M. Yamin, M.Agr Sc sebagai pimpinan sidang pada ujian
tertutup saya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman
dan kolega.
Akhirnya, ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda H.
Sadi Lubis (Alm), Ibunda Hj. Saadah AK (Alm) yang selalu memberikan nasehat
bahwa ilmu pengetahuan merupakan harta yang sangat berharga, maka selalu
belajarlah, adinda Elin Nita Sari Lubis SH dan Zul Azhar SE, adinda Drs. Nata
Kurniawan Lubis dan Cut Maysarah SE, adinda Aldini Inda Sari Lubis. S.Pt
(Alm), Ayahanda Husein Maun (Alm), Ibunda Nursyiah Taher (Alm), kakanda
Dra. Mutmainah. MA, kakanda Dra. Ratna Sari, kakanda Dra. Mustabsyirah, MA,
kakanda Ir. Ulil Azmi, kakanda Siti Bararah SH, kakanda dr. Siti Safarah, M.Sc
(alm), adinda Abdul Qudus SH, dan adinda dr.Abdul Muhaimin M.Sc. Karya tulis
ini penulis persembahkan kepada suami tercinta Abdul Qawi A.Md serta ananda
Nabilah Putroe Agung, ananda Dwi Putroe Naulia, dan ananda Salsabilah Putroe
Wieka atas pengertian, kesabaran dan doanya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan
kemajuan ilmu peternakan di Indonesia dan khususnya di Nanggroe Aceh
Darussalam serta para pembaca.
Bogor, April 2011
Eka Meutia Sari

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh 24 Desember 1967 sebagai anak
pertama dari empat bersaudara dari pasangan H. Sadi Lubis (Alm) dan Hj. Saadah
AK (Alm). Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri 1 Banda Aceh
(1980), SMP Negeri 1 Banda Aceh (1983), dan SMA Negeri 1 Banda Aceh
(1986). Pada tahun 1986 penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Pertanian
Universitas Syiah Kuala jurusan Peternakan Prodi Produksi Ternak dan pada
tahun 1989 penulis mendapatkan beasiswa TID (Tunjangan Ikatan Dinas) dan
lulus sebagai Sarjana peternakan pada tahun 1991. Pada tahun 1992 penulis
diangkat menjadi Staff Pengajar di jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Unsyiah
dalam bidang studi Ilmu Pemuliaan dan Genetika Ternak. Kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan Master of Agriculture Science di University of New
England, Armidale Australia NSW pada tahun 1997 – 1998 setelah penulis
mendapatkan beasiswa dari pemerintahan Australia berupa Australian
Development Scholarship (ADS) dalam bidang Quantitative Genetics. Pada tahun
2008 penulis melanjutkan pendidikan Doktor pada Institut Pertanian Bogor (IPB)
pada program Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan dengan beasiswa pendidikan
dari BPPs Dikti Jakarta. Pada tahun 2009 penulis mendapatkan beasiswa program
Sandwich dari Dikti dan penulis memperoleh kesempatan untuk melakukan
penelitian di Laboratorium CAAS (Chinese Academy of Agriculture Sciences) –
ILRI (International Livestock Research Institute) JLLFGR (Joint Laboratory on
Livestock and Forage Genetic Resources) Beijing – China sebagai visiting
scientist. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Identification of Genotype
DNA Microsatellite in Association with Performance of Indonesian Aceh Cattle
pada Journal of Genetic Engineering and Biotechnology (JGEB) National
Research Centre, Cairo, Egypt, Vol. 8 No 1 2010. Artikel lain tentang D-Loop
dan gen GH sedang dalam tahap penyelesaian. Karya-karya ilmiah tersebut
merupakan bagian dari program S3 penulis.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL...........

..........................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR......

..........................................................................

xv

DAFTAR LAMPIRAN...

..........................................................................

xvi

PENDAHULUAN........... ..........................................................................

1

Latar Belakang..................................................................................

1

Tujuan Penelitian...............................................................................

4

Manfaat Penelitian.............................................................................

4

Hipotesis............................................................................................

5

TINJAUAN PUSTAKA.. ..........................................................................

7

Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Indonesia................................

7

Karakteristik Sapi Aceh....................................................................

8

Gen Hormon Pertumbuhan................................................................

10

Penanda Molekuler............................................................................

12

Faktor yang Berpengaruh pada Kualitas Daging dan Karkas..........

13

METODOLOGI PENELITIAN......

............................................................

15

Waktu dan Tempat Penelitian…………………………...………....

15

Sampel Darah Sapi Aceh………………………………....……......

15

Sampel Daging Sapi Aceh……………………………....…….........

16

Ekstraksi DNA Genom (Darah)…...………………………....….....

17

Ekstraksi DNA Genom (Daging).…………………………....….....

17

Identifikasi Single Nucleotide Polymorphism (SNP)..................…..

18

Identifikasi D-Loop…………………………………………….......

20

Identifikasi DNA Mikrosatelit……………………………………..

21

Identifikasi Gen GH/AluI....................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN.....

23

..............................................................

27

Identifikasi Single Nucleotide Polymorphism (SNP) Gen GH............

27

Identifikasi D-Loop.............................................................................

31

Identifikasi DNA Mikrosatelit.............................................................

41

Hubungan Kualitas Karkas Sapi Aceh dengan Gen Hormon
Pertumbuhan (GH)..............................................................................

48

Pembahasan Umum...........................................................................

52

SIMPULAN DAN SARAN.. .......................................................................

57

DAFTAR PUSTAKA........... ......................................................................

59

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jumlah sampel daging yang digunakan untuk analisis gen GH/SNP....

16

2 Jumlah sampel darah yang digunakan untuk analisis D-Loop..............

16

3 Jumlah sampel darah yang digunakan untuk analisis mikrosatelit........

16

4 Jumlah sampel daging yang digunakan untuk analisis gen GH/AluI....

17

5 Basa primer GH/AluI (Gen Bank M57764.1, Gordon et al. 1983).......

19

6 Basa primer D-Loop.............................................................................

20

7 Basa primer mikrosatelit lokus BM 1824, SPS 115 dan ILSTS 028....

21

8 Basa primer GH/AluI (Gen Bank M57764.1, Gordon et al. 1983).......

23

9 Variasi sekuen di daerah promotor dan ekson dari gen GH pada sapi..

28

10 Frekuensi alel dan genotipe SNP gen GH sapi Aceh pada posisi basa
ke 2.291 bp............................................................................................

29

11 Frekuensi alel dan genotipe SNP gen GH sapi Aceh pada posisi basa
ke 2.230 bp...........................................................................................

29

12 Maternal origin dari beberapa bangsa sapi...........................................

32

13 Persentase komposisi nukleotida D-Loop sapi Aceh..........................

35

14 Persentase komposisi nukleotida D-Loop sapi Aceh, Buthan, China
India dan Zebu......................................................................................

36

15 Rataan jarak genetik sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu
berdasarkan metode 2 parameter Kimura..............................................

37

16 Genotipe, jumlah sampel dan frekuensi lokus BM1824 sapi Aceh......

41

17 Genotipe, jumlah sampel dan frekuensi lokus SPS115 sapi Aceh.......

42

18 Genotipe, jumlah sampel dan frekuensi lokus ILSTS028 sapi Aceh....

44

19 Kisaran ukuran alel, jumlah alel dan heterozigositas pada tiga lokus
mikrosatelit pada sapi Aceh

45

20 Nilai heterozigositas lokus BM1824, SPS115, ILSTS028 sapi Aceh...

46

21 Perbandingan jumlah alel per lokus pada berbagai penelitian..............

47

22 Hasil analisa kualitas daging dan karkas sapi Aceh..............................

50

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Kerangka pemikiran alur penelitian.....................................................

6

2 Sapi Aceh di BPTU Indrapuri NAD...............................................

9

3 Grafik hasil elektroforesis Genetic Analyzer Applied Biosystem
3130x...................................................................................................

22

4 Posisi mutasi basa ke 2.230 bp pada gen GH ekson lima....................

30

5 Sketsa letak penempelan primer Forward dan Reverse untuk
mengamplifikasi fragmen daerah D-Loop sapi Aceh.........................

31

6 Sketsa daerah D-Loop hasil perunutan 230 bp sekuen sapi Aceh,
Buthan, China, India dan Zebu...........................................................

33

7 Konstruksi Median Joining Network dari 230 bp D-Loop sekuen
sapi Aceh (kuning), Zebu dari Indonesia (biru), Zebu dari China
(merah), India (pink) dan Buthan (pink muda)...................................

33

8 Dendogram Neighbour-Joining berdasarkan metode 2 parameter
Kimura (230 bp) sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu dengan
pengolahan bootstrap 1000 ulangan...................................................

40

9 Posisi primer forward, primer reverse dan produk PCR gen
GH................................................................................................

48

10 Visualisasi hasil amplifikasi ruas gen GH pada gel agarosa 1.5%.
M: marker 100 bp, 1-11: Sampel penelitian.......................................

48

11 Visualisai PCR-RFLP ruas gen GH|AluI pada gel agarosa 1.5%.
M: marker 100 bp, 1-16: Sampel penelitian.......................................

49

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Jenis kelamin dan nomor DNA sapi Aceh untuk analisa SNP, DLoop dan Mikrosatelit di BPTU Indrapuri...........................................

65

Jenis kelamin, lokasi dan nomor DNA sapi Aceh untuk analisa SNP,
D-Loop dan Mikrosatelit dari Banda Aceh dan Saree........................

67

Sekuen sampel dari Gen Bank yang digunakan untuk alignments gen
GH.......................................................................................................

68

4

Sekuen dari Gen Bank yang digunakan untuk alignments D- Loop...

69

5

Gen Bank M577641.1..........................................................................

70

6

Hasil BLAST (Basic local alignment search tool) sapi Aceh.............

72

7

Data Haplotype sapi Aceh (908 nt) menggunakan DnaSP
Ver.4.10.3............................................................................................

73

Data Haplotype sapi Aceh (230 nt) menggunakan DnaSP
Ver.4.10.3.............................................................................................

74

Jumlah nukleotida sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu setelah
disejajarkan dengan nukleotida Bos Taurus (Gen Bank
V00645)................................................................................................

80

10

Komposisi nukleotida sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu......

81

11

Jarak genetik menggunakan metode 2 parameter Kimura pada sapi
Aceh, Buthan, China, India dan Zebu.................................................

83

12

Hasil elektroforesis lokus BM1824......................................................

86

13

Hasil elektroforesis lokus SPS115......................................................

87

14

Hasil elektroforesis lokus ILSTS028...................................................

88

2
3

8
9

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum
telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah
tangga, namun usaha tersebut telah memberikan kontribusi yang cukup besar
dalam menunjang pembangunan sub sektor peternakan. Kontribusi tersebut
terutama dalam memenuhi kebutuhan penyediaan bahan pangan asal ternak, baik
dalam bentuk ternak hidup maupun daging, khususnya kebutuhan domestik dan
daerah. Meskipun kontribusi petani peternak cukup menentukan dan memegang
peranan penting dalam penyediaan kebutuhan sapi potong, namun belum
sepenuhnya mampu menjawab tantangan dan peluang pasar yang cenderung
meningkat yang mengakibatkan tingginya harga daging sapi di pasaran Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Persilangan yang semakin luas dan tidak terkontrol terhadap sapi Aceh
dengan bangsa sapi eksotik akan memberikan dampak terhadap peningkatan
produktivitas sapi-sapi Aceh disatu sisi, namun menurunkan keaslian sapi Aceh.
Kekhawatiran ini telah terjadi pada sapi di Lithuania (Eropah Timur) yang
terancam punah (Maleviciute et al. 2002) akibat persilangan yang disengaja tetapi
tidak terstruktur. Bahkan beberapa sapi asli di negara India telah punah sebelum
sapi ini diidentifikasi dan dimanfaatkan (Sodhi et al. 2006). Hal demikian juga
ditegaskan oleh FAO (2000) bahwa, sumber daya genetik ternak asli akan punah
akibat permintaan pasar, persilangan yang tidak terkendali, pergantian breed
(pergantian bangsa sapi yang sudah ada dengan bangsa sapi baru) dan kegiatan
mekanisasi pertanian (pergantian penggunaan tenaga sapi dengan tenaga mesin
untuk mengolah lahan pertanian). Mempertahankan sumber daya ternak lokal juga
penting artinya untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan bagi umat
manusia, selain itu juga memperkaya daftar plasma nutfah sebagai sumber protein
hewani. Oleh karena itu, dalam rangka mengurangi laju kepunahan, khususnya
pada sumber genetik ternak lokal Indonesia, salah satu yang harus dilakukan yaitu
menggali informasi genetik melalui upaya karakterisasi keanekaragaman genetik
pada ternak lokal tersebut.

2

Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam menentukan tingkat
produksi daging pada sapi, sehingga memiliki nilai ekonomi penting dalam
budidaya sapi pedaging. Sapi Aceh merupakan salah satu jenis sapi pedaging di
Indonesia yang telah dikenal sebagai jenis sapi yang cocok untuk dikembangkan
di Indonesia. Sapi Aceh ini dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi
lingkungan Indonesia, tahan terhadap iklim tropis, dapat hidup dengan kondisi
pakan dan air setempat, dan tahan terhadap keberadaan bakteri dan parasit
(Gunawan 1998). Meskipun sapi ini mampu beradaptasi dengan baik, namun
produktivitasnya masih rendah jika dibandingkan dengan sapi impor. Melalui
peningkatan produktivitas sapi lokal Indonesia, diharapkan minat para peternak
untuk beternak sapi lokal akan meningkat. Dengan demikian, populasi sapi lokal
akan meningkat dan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia akan daging
maupun sapi dari negara lain.
Peningkatan produktivitas sapi pedaging Indonesia akan lebih tepat bila
dilakukan melalui seleksi yang tidak hanya berdasarkan pada penampakan luar
(fenotip), melainkan dikombinasikan dengan seleksi langsung pada tingkat DNA
yang mengkodekan fenotip yang ingin diperbaiki kualitasnya. Peta genom pada
sapi (bovine genome map) yang dibuat berdasarkan marker pada DNA genom
menggunakan teknik molekuler seperti RFLP, mikrosatelit, minisatelit, PCRRFLP, dan PCR-SSCP dimungkinkan untuk mengidentifikasi lokus-lokus gen
yang bertanggung jawab terhadap variasi sifat yang memiliki nilai ekonomi.
Bruford et al. (2003) menyatakan bahwa diantara beberapa penanda
molekuler yang digunakan pada genom inti, mikrosatelit merupakan penanda
yang paling banyak digunakan. Hal ini karena mikrosatelit bersifat polimorfik dan
sangat informatif, keberadaannya di dalam genom inti relatif banyak dan dapat
diamplifikasi melalui PCR. Mikrosatelit telah digunakan untuk menjelaskan pola
domestikasi dan migrasi pada sapi Eropa (Loftus et al. 1994) dan karakterisasi
populasi ternak sapi dari turunan Bos indicus dan Bos taurus (Beja-Pereira et al.
2003). Lokus-lokus mikrosatelit juga digunakan oleh Machado et al (2003) untuk
mengevaluasi keanekaragaman genetik dalam masing-masing bangsa sapi dan
perbedaan genetik di antara setiap bangsa, sehingga informasi tersebut dapat

3

digunakan untuk membuat keputusan tentang konservasi pada ternak sapi (Sodhi
et al. 2006).
Patricia

et

al.

(2002)

mengggunakan

DNA

mitokondria

untuk

membuktikan dan menganalisa variasi dalam dan antarspesies, stuktur populasi
dan filogeni. Hal ini juga dibenarkan oleh Muladno (2006) bahwa DNA
mitokondria terutama daerah D-loop, sangat baik digunakan untuk analisis
keragaman hewan, baik intraspesies maupun antarspesies. Penelitian yang
dilakukan oleh Nijman et al. (2003) dan Edwards et al. (2007), penentuan daerah
D-loop mtDNA pada sapi telah dapat menunjukkan sejarah sapi, dan hibridisasi
yang terjadi pada Banteng dan sapi Madura. Berdasarkan penelitian Abdulah
(2008), runutan daerah D-loop DNA mitokondria sapi Aceh berada satu klaster
dengan sapi Pesisir dan PO serta mempunyai jarak genetik yang lebih dekat
dengan bangsa-bangsa sapi Bos indicus (zebu) dari India, sedangkan sapi Bali dan
Madura membentuk klaster sendiri. Dengan menggunakan analisis DNA
mikrosatelit dibuktikan bahwa sapi Aceh memiliki klaster yang sama dengan sapi
PO dan Pesisir serta satu kelompok dengan sapi Madura.
Penanda genetik molekuler yang terbaru yaitu SNP (Single Nucleotide
Polymorphism), yang dapat mengidentifikasikan dengan jelas posisi perubahan
hanya satu basa nukleotida pada sekuen DNA. Lucy et al. (1993) dan Zhang et al.
(1992) menemukan SNP pada ekson lima (codon 127) dimana terjadi perubahan
leusina ke valina (CTG – GTG) pada molekul GH. Ge et al. (2003) menggunakan
metode sekuensing pada sapi Angus dan menemukan tiga SNP yang baru pada
daerah promotor. Yao et al. (1996) mengidentifikasikan SNP pada ekson lima gen
GH, dimana terjadi perubahan basa A menjadi basa C.
Penggunaan gen GH sebagai marker genetik telah banyak digunakan
dalam penelitian, karena gen hormon pertumbuhan (GH) merupakan salah satu
gen yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (Di Stasio et al. 2005). Casas et al.
(2004) melaporkan QTL untuk sifat pertumbuhan, komposisi karkas dan kualitas
daging sapi tersebar pada kromosom 1, 2, 3, 16, 17, 19, 20, 21 dan 26. Peran gen
GH terhadap performans ternak sapi sangat jelas pengaruhnya (Breier. 1999),
sehingga polimorfisme gen GH pada sapi Aceh sangat menarik untuk dikaji.

4

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengindentifikasikan keragaman genetik gen hormon petumbuhan (GH) dan
hubungannya dengan kualitas karkas sapi Aceh. Penentuan keragaman genetik ini
dapat dipakai sebagai indikator untuk melakukan seleksi genetik sapi Aceh.
Perbaikan kualitas karkas dan daging pada sapi Aceh melalui penggunaan marka
gen hormon pertumbuhan (GH) dapat meningkatkan nilai ekonomis ternak sapi
Aceh. Selanjutnya melestarikan keberadaan sapi Aceh dapat juga dilakukan
dengan mengkarakterisasikan keragaman genetik dengan

penanda genetik

molekuler SNPs, D-Loop dan mikrosatelit, sehingga seluruh informasi yang
didapat dari hasil penelitian dapat melengkapi data yang telah ada untuk dijadikan
sebagai database dalam melakukan kebijakan pelestarian sapi Aceh dan
penggunaannya yang berkelanjutan.

Tujuan Penelitian
a.

Mengidentifikasi posisi perubahan basa nukleotida sekuen DNA gen GH
pada ekson lima, dan mempelajari jumlah dan frekuensi alel SNPs pada
populasi sapi Aceh.

b.

Mendeterminasi polimorfisme genotipe dan alel gen GH/AluI serta
pengaruh dari masing-masing genotipe terhadap kualitas karkas pada sapi
Aceh

c.

Mengidentifikasi

keragaman

pada

populasi

sapi

Aceh

dengan

menggunakan marker genetik D-Loop dan Mikrosatelit

Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka perbaikan
mutu genetik sapi Aceh melalui aplikasi teknik biologi molekuler
b. Dimungkinkan penciri genetik yang diperoleh dapat digunakan sebagai
MAS (Marker Assisted Selection) dalam percepatan perbaikan mutu genetik
sapi Aceh dan pengembangan ternak nasional pada umumnya.
c. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan Biologi
Molekuler/Genetika Molekuler, khususnya penerapan teknologi marker
genetik pada sapi Aceh.

5

Hipotesis
1. Penciri PCR-RFLP fragmen gen GH/AluI dan marker genetik D-Loop
serta mikrosatelit memiliki polimorfisme yang tinggi pada sapi Aceh.
2. Terdapat korelasi yang nyata antara polimorfisme gen GH/AluI dengan
kualitas karkas pada sapi Aceh.




Pemotongan
Persilangan

Kehilangan/Punahnya
Plasma Nutfah

SAPI ACEH




Data Kuantitatif/Kualitatif
Data Molekuler terbatas

PEMECAHAN MASALAH

FENOTIPIK

GENETIK

GEN GH

PERFORMANS
SEKUENSING
DARAH/DAGING

POLIMORFISME
PRODUKSI
KUALITAS KARKAS

Pemanfaatan Genetik
Marker

Program Pemuliaan & Pemanfaatan Secara Berkelanjutan

Gambar 1. Kerangka pemikiran alur penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Indonesia
Sumber daya ternak sapi di Indonesia saat ini terdiri atas tiga kelompok,
yakni (1) ternak asli, (2) ternak impor dan (3) ternak yang telah beradaptasi.
Sehubungan dengan pentingnya nilai konservasi pada kelompok ternak ini,
beberapa bangsa sapi menjadi target konservasi sekaligus pemanfaatannya (Utoyo
2002). Sumber daya ternak sapi tersebut diantaranya ialah sapi Aceh, Bali,
Peranakan Ongole, Sumba Ongole, Madura, Jawa, Pesisir dan Grati.
Keanekaragaman sapi di Indonesia menurut Utoyo (2002) terbentuk dari sumber
daya genetik asli dan impor. Bos indicus Ongole dari India telah diimpor mulai
pada awal abad ke-20 dan bangsa sapi ini memegang peranan penting dalam
program pengembangan peternakan di Indonesia. Sapi Ongole murni pertama
dibawa ke pulau Sumba kemudian disebut sebagai Sumba Ongole. Sapi ini
kemudian dibawa ke tempat-tempat lain untuk disilangkan dengan sapi asli Jawa
dan terbentuk Peranakan Ongole dan sapi Madura. Hasil domestikasi spesies liar
Bos (bibos) banteng adalah sapi Bali (Bos sondaicus) atau Bos javanicus (Talib et
al. 2002) yang sekarang telah menjadi salah satu bangsa ternak asli Indonesia
(Martojo 2003).
Sumber daya genetik ternak merupakan kerangka dasar acuan

bagi

peternakan dan pengembangan galur dan bangsa ternak untuk masa yang akan
datang. Berlimpahnya keanekaragaman bangsa ternak asli yang mampu
beradaptasi secara lokal dapat menyelamatkan petani dalam menghadapi iklim
yang sulit dan wilayah yang marjinal. Sumber daya genetik ternak lokal dapat
dimanfaatkan dengan biaya (input) minimum dan memegang peranan penting
dalam budaya masyarakat pedesaan (FAO 2001). Keragaman genetik pada ternak
penting dalam rangka pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus
berlanjut sampai masa yang akan datang (Soebandriyo dan Setiadi 2003).
Punahnya keragaman plasma nutfah ternak tidak akan dapat diganti meskipun
dengan kemajuan bioteknologi paling mutakhir, karena itu, pelestarian sumber
daya genetik ternak perlu dilakukan.

8

Menurut ILRI (1995), terdapat tujuh ternak sapi asli di Indonesia, yaitu
Sumba Ongole, Ongole cross, Bali, Madura, Aceh, Pesisir dan Grati. Sapi Aceh
sebagai salah satu sumber daya genetik ternak lokal dan menjadi aset plasma
nutfah nasional berperan sangat penting sebagai sumber daging bagi masyarakat
di Nanggroe Aceh Darussalam dan sekitarnya. Selain berperan sebagai sumber
daging, sapi Aceh juga sangat populer untuk kebutuhan hewan kurban dan hari
besar Islam lainnya. Keunggulan sapi Aceh lainnya mempunyai daya tahan
terhadap lingkungan yang buruk seperti krisis pakan, air dan pakan berserat tinggi,
penyakit parasit, temperatur panas dan sistem pemeliharaan tradisional (Gunawan
1998).
Pelestarian terhadap sumber daya genetik ternak lokal sebagai bagian dari
komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk memenuhi kebutuhan
pangan di masa yang akan datang. Ada beberapa alasan untuk hal tersebut, antara
lain (1) lebih dari 60 persen dari bangsa-bangsa ternak di dunia berada di negara
sedang berkembang, (2) konservasi bangsa ternak lokal tidak menarik bagi petani,
(3) secara umum tidak ada program monitoring yang sistematis dan tidak
tersedianya informasi deskriptif dasar sumber daya genetik hewan ternak dan (4)
sedikit sekali bangsa-bangsa ternak asli yang telah digunakan dan dikembangkan
secara aktif (FAO 2001).
Karakteristik Sapi Aceh
Sapi Aceh merupakan jenis sapi yang telah lama dikenal sebagai salah satu
jenis ternak yang dipelihara masyarakat tani di pedesaan (Gambar 2). Pada
awalnya penggunaan sapi Aceh sebagai ternak kerja untuk mengolah lahan
pertanian dan ternak potong serta sebagian kecil untuk hewan kesenangan atau
tabungan. Sapi Aceh memiliki beberapa variasi pada warna tubuhnya (merah bata,
cokelat, hitam, putih dan kombinasi yang mengarah ke warna gelap dan terang
dengan warna dominan merah bata dan coklat muda), berpunuk, bergelambir,
mempunyai garis muka dan garis punggung yang cekung, bertanduk dengan
bentuk tanduk sapi betina mengarah ke samping melengkung ke atas kemudian ke
depan dan pada jantan mengarah ke samping melengkung ke atas (Abdullah,
2008). Sapi Aceh mempunyai rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh yang
lebih kecil dibanding dengan rataan bobot badan dan ukuran tubuh sapi Bali,

9

Madura dan PO, namun lebih besar dari rataan bobot badan dan ukuran tubuh sapi
Pesisir di Sumatera Barat.
Keragaman yang cukup tinggi pada karakter bobot badan, lebar dada,
dalam dada, lebar pinggul dan lingkar dada pada semua kelompok umur, dapat
digunakan sebagai suatu ukuran seleksi pada sifat-sifat tersebut. Menurut Astuti
(2004), seleksi sapi lokal dengan memanfaatkan keragaman karakteristik sifat
produksi dan reproduksi akan meningkatkan produktivitas, disamping itu dapat
meningkatkan pelestarian terhadap sumber daya genetik ternak sapi

Gambar 2. Sapi Aceh di BPTU Indrapuri NAD
Pada umumnya sapi Aceh bertemperamen agresif dan pada sapi jantan
dewasa memiliki sifat menyerang. Sifat tersebut akan berkurang jika digunakan
cincin hidung dan sering diusap-usap pada tubuhnya oleh peternak. Sapi Aceh
jantan yang dipelihara secara kereman dijumpai dalam keadaan yang sangat
agresif, tanduk digosok-gosokkan pada bagian-bagian kandang, bahkan akan
ditanduk apa saja yang ditemuinya jika sewaktu-waktu dikeluarkan dari kandang
(Gunawan, 1998). Sifat agresif yang dimiliki sapi Aceh merupakan keunikan
tingkah laku yang tidak dimiliki oleh sapi Bali, Madura, PO dan Pesisir. Sifat
tersebut merupakan suatu keuntungan dalam pemeliharaan sapi Aceh yaitu untuk
menghindarkan dirinya dari hewan buas pemangsa apabila sapi ini digembalakan
di hutan dan disamping itu juga tidak mudah dicuri.

10

Gen Hormon Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi selsel, peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu
waktu tertentu (Lawrence dan Fowler 2002). Pertumbuhan secara efektif dikontrol
oleh hormon dan salah satu hormon yang penting dalam mengatur proses
pertumbuhan adalah Growth Hormone (hormon pertumbuhan). Hormon
pertumbuhan (GH) dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak,
metabolisme protein, pengaturan reproduksi, laktasi dan pertumbuhan tubuh
normal (Akers 2006, Beauchemin et al. 2006, ThidarMyint et al. 2008)
Pertumbuhan sapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetis.
Faktor lingkungan meliputi: pakan, baik hijauan maupun konsentrat, air, iklim,
manajemen dan fasilitas pemeliharaan yang lain. Pengaruh pertumbuhan yang
disebabkan faktor lingkungan ini tidak diturunkan kepada anaknya, sedangkan
faktor genetis yang dikendalikan oleh gen akan diturunkan kepada keturunannya.
Pertumbuhan dikendalikan oleh beberapa gen yang dibedakan menjadi major gene
yang pengaruhnya besar/utama dan minor gene yang pengaruhnya kecil. Salah
satu gen yang diduga merupakan gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan
adalah gen pengkode hormon pertumbuhan yang berperan terhadap sekresi
hormon pertumbuhan (Sutarno et al. 2005). Hormon pertumbuhan merupakan
hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh sel somatotrof pada lokus
anterior (Ayuk dan Sheppard 2006). Hormon pertumbuhan pada sapi memiliki
ukuran sebesar 22 kilo Dalton (kDa) (Dybus 2002) yang tersusun oleh 190-191
asam amino sebagai produk dari gen hormon pertumbuhan.
Target utama hormon pertumbuhan adalah hati (Hartman 2000). Hormon
pertumbuhan di dalam permukaan sel hati akan mengatur dan mengubah reaksi
biokimia yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan
komponen tubuh dan bekerja pada sel-sel target melalui ikatan reseptor hormon
pertumbuhan. Hati akan memproduksi insulin-like growth factor-1 (IGF-1)
dengan aktivasi tirosin kinase yang memiliki potensi untuk mengatur metabolisme
dengan mempercepat pengangkutan asam amino melalui membran sel ke dalam
sitoplasma. Meningkatnya konsentrasi asam amino di dalam sel akan

11

meningkatkan kecepatan sintesis protein dan berdampak pada peningkatan jumlah
sel sehingga mempercepat laju pertumbuhan jaringan di berbagai bagian tubuh.
Zakizadeh et al. (2006) menyatakan bahwa gen hormon pertumbuhan
(GH) pada sapi Bos taurus memiliki panjang sekuens nukleotida 2856 bp dengan
bagian open reading frame-nya 1800 bp. Selanjutnya dinyatakan bahwa gen GH
terdiri atas lima ekson dan dipisahkan oleh empat intron dengan panjang sekuens
nukleotida yang berbeda antara ekson dan intron. Gen GH merupakan gen yang
menyandi hormon pertumbuhan sebagai produknya dan terletak di kromosom 19
pada ternak sapi (Tatsuda et al. 2007). Gen GH berdasarkan data PCR-RFLP
telah diketahui memiliki keragaman yang tinggi (Curi et al. 2006) dan
polimorfisme untuk enzim pemotong AluI di ekson lima, yaitu tranversi dari
nukleotida sitosin (C) menjadi guanin (G) pada posisi asam amino 127 yang
menyebabkan asam amino berubah dari leusin menjadi valin (Lucy et al. 1993).
Adanya polimorfisme pada gen GH juga berhubungan dengan sifat
produksi (Pereira et al. 2005), deposisi daging (Oprzadek et al. 2003) dan bobot
karkas (Beauchemin et al. 2006). Hubungan yang nyata didapatkan antara
genotipe LL dan LV dari gen GH dengan rataan bobot badan hidup ternak dari
bangsa sapi Alentejana, Marinhoa dan Preta asal Portugis (Reis et al. 2001)
Unanian et al. (2000) melaporkan, bahwa adanya polimorfisme GH AluI dan GH
MspI mungkin dapat dijadikan sebagai penciri genetik yang potensial untuk sifat
pertumbuhan bobot badan pada sapi pejantan muda.
Grochowska et al. (2001) mendapatkan sapi perah bergenotipe LV
memproduksi susu dengan persentase protein lebih tinggi dibandingkan genotipe
LL dan VV, tetapi genotip VV mempunyai kadar lemak lebih tinggi. Di Stasio et
al. (2005) melaporkan hormon pertumbuhan GH sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan metabolisme melalui interaksi dengan spesifik receptor (GHR)
pada permukaan sel target, sehingga GHR menjadi gen kandidat yang
berpengaruh terhadap produksi daging pada sapi.
Pada sapi Zebu dan silangannya, Curi et al. (2006) mengidentifikasi
pengaruh dari gen GH (P