Identifikasi Keragaman Genetik Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan (GHR AluI) pada Sapi Bali

IDENTIFI
I
IKASI KE
ERAGAM
MAN GENETIK GE
EN
RES
SEPTOR HORMON
N PERTU
UMBUHAN (GHR|A
Alu I)
PAD
DA SAPI BALI
B

ZUL
LKHARN
NAIM

SEKOLAH
S

H PASCA
A SARJAN
NA
IN
NSTITUT PERTAN
P
IAN BOG
GOR
BOGOR
R
2010

 
 

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Keragaman Genetik Gen
Reseptor Hormon Pertumbuhan (GHR|AluI) pada Sapi Bali adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2010

Zulkharnaim
NRP. D151080111

 
 

 
 

ABSTRACT
ZULKHARNAIM. Identification of Genetic Diversity Growth Hormone Receptore
(GHR|AluI) Gene in Bali Cattle. Under supervised of RONNY RAHMAN NOOR and
JAKARIA.
One of factor affects in growing is Growth Hormone Receptor (GHR). GHR is required for
GH to carry out its effects on target tissues. The objective of the study was to estimate
genetic diversity of the GHR|AluI in Bali, Limousin, Simmental and Pesisir cattle.

Genotyping was performed on 248 animals, including 162 Bali, 21 Limousin, 17
Simmental and 48 Pesisir cattle breeds. Single nucleotide polymorphisms (SNP) has been
found in exon 10, coding for the cytoplasmic domain of GHR, which was located at
position 81 bp (A/G) induce amino acid substitutions Ser/Gly. Genotype frequencies of
Bali cattle AA (0.988), GG (0.006) and AG (0.006) were evidenced for the GHR AluI
monomorphism, but largerly different from Limousin GG (0.667), AA (0.238) and AG
(0.095), Simmental AG (0.529), GG (0.471) and AA (0.000), Pesisir AA (0.604), GG
(0.375) and AG (0.021) were the evidenced of polymorphism. It was suggested that
homozigosity (monomorphism) in Bali cattle could be affected by adaptability in extreme
environmental conditions such as poor nutrition and improper manajement practice. It also
could be affected by natural selection and phenotype plasticity phenomena.
Keyword : Bali cattle, GHR| AluI, genetic diversity, PCR-RFLP, sequencing

 
 

 
 

RINGKASAN

ZULKHARNAIM. Identifikasi Keragaman Genetik Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan
(GHR|AluI) pada Sapi Bali. Dibimbing oleh RONNY RAHMAN NOOR dan JAKARIA.
Ternak sapi memberikan kontribusi cukup besar dalam penyediaan daging nasional.
Berdasarkan produksi daging nasional 2008, kontribusi daging sapi mencapai lebih dari
352 ribu ton, yaitu sekitar 16.2 % dari total produksi daging nasional dari beberapa
komoditas ternak, dan menempati peringkat kedua setelah produksi daging unggas.
Perannya yang sedemikian penting menjadi alasan bahwa produktivitas dan populasi sapi
di Indonesia selalu menjadi perhatian besar dari pemerintah. Sapi Bali merupakan satu dari
empat bangsa sapi lokal utama (Aceh, Pesisir, Madura dan Bali) di Indonesia, yang
merupakan hasil domestikasi langsung dari Banteng (Bos banteng).
Pelestarian sumber daya genetik ternak lokal menjadi hal yang penting untuk
dilaksanakan selain sebagai sumber pangan, ternak lokal juga merupakan kekayaan alam
yang harus dipertahankan. Kemampuan sapi Bali beradaptasi terhadap lingkungan yang
marjinal, berpengaruh terhadap pertumbuhannya, yang ditunjukkan oleh keragaman
pertumbuhan sapi Bali pada kondisi lingkungan yang berbeda. Keragaman gen GHR|AluI
pada sapi Bali menarik untuk dikaji, hal ini disebabkan informasi tersebut belum ada.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman fragmen gen reseptor hormon
pertumbuhan (GHR|AluI) pada sapi Bali.
Materi penelitian yang digunakan untuk analisis DNA adalah 162 sampel sapi Bali
dari UP3 Bali, 21 sampel sapi Limousin dari BIB Singosari Malang, 17 sampel sapi

Simmental dari BIB Singosari Malang dan 48 sampel sapi Pesisir dari Kabupaten Pesisir
Selatan. Penarikan sampel data penelitian berdasarkan kriteria bangsa yaitu bangsa sapi
Bali, Simmental, Limousin dan Pesisir. Sapi Bali merupakan bangsa Bos javanicus, sapi
Limousin dan Simmental termasuk Bos taurus, sedangkan sapi Pesisir merupakan salah
satu sapi lokal Indonesia. Pemilihan sapi Pesisir sebagai pembanding sapi Bali antar sapi
lokal Indonesia, sedangkan Bos taurus (Limousin dan Simmental) sebagai pembanding dari
bangsa sapi asal subtropis.
Identifikasi keragaman gen GHR|AluI dilakukan menggunakan pendekatan PCRRFLP. Analisis yang dilakukan yakni, frekuensi alel, uji Khi-kuadrat, frekuensi
heterosigositas pengamatan, frekuensi heterosigositas harapan dan ragam heterosigositas
harapan, Polymorphic Informative Content dan perunutan susunan nekleotida.
Amplifikasi fragmen gen GHR|AluI menggunakan primer forward 5’CGCTTACTTCTGCGAGGTAGACGC-3’ dan primer reverse 5’-GTCTGGCT
CACATAGCCAC-3’. Panjang produk hasil amplifikasi sepanjang 298 bp. Genotipe yang
ditemukan adalah genotipe AA, AG dan GG. Gen GHR|AluI pada sapi Bali bersifat
monomorfik dengan frekuensi alel A dan genotipe AA yang tinggi, sedangkan polimorfik
pada sapi Limousin, Simmental dan Pesisir.
Frekuensi alel A (0.991) dan genotipe AA (0.988) yang sangat tinggi pada sapi Bali
menjadi indikator bahwa sapi Bali berbeda dengan sapi Limousin, Simmental dan Pesisir.
Rendahnya keragaman frekuensi alel dan genotipe gen GHR|AluI pada sapi Bali
disebabkan sapi Bali merupakan ternak domestik daerah tropis Indonesia dan merupakan
hasil domestikasi langsung dari Banteng Bos banteng. Ketidakseimbangan Hardy 

 

 
 

Weinberg pada populasi sapi Bali diduga disebabkan oleh seleksi alam yang terjadi dalam
proses domestikasi sapi Bali dan seleksi negatif yakni pemotongan dan penjualan sapi-sapi
yang mempunyai pertumbuhan yang baik oleh peternak.
Nilai pendugaan heterozigositas (0.006) dan Polymorphic Informative Content
(0.018) sapi Bali rendah jika dibandingkan dengan sapi Limousin, Simmental dan Pesisir.
Rendahnya heterozigositas atau keragaman genetik pada sapi Bali kemungkinan
disebabkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan marjinal yang didapatkan dari
seleksi alam dan kelenturan fenotipik. Pendugaan nilai Polymorphic Informative Content
yang rendah pada sapi Bali mengindikasikan bahwa fragmen gen GHR AluI kurang
informatif sebagai penciri genetik pada sapi Bali.
Hasil sekuen fragmen gen GHR|AluI menunjukkan adanya mutasi basa adenin (A)
menjadi guanin (G) pada posisi 81 bp (3338 bp Kode Akses. EF207442 GenBank).
Berdasarkan pohon genetik fragmen gen GHR|AluI terdapat pemisahan yang jelas antara
sapi Bali, Limousin, Simmental dan Pesisir.
Kata kunci : sapi Bali, GHR|AluI, keragaman genetik, PCR-RFLP, runutan susunan

nukleotida

 
 

 
 

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB

 
 


 
 

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK GEN
RESEPTOR HORMON PERTUMBUHAN (GHR|Alu I)
PADA SAPI BALI

ZULKHARNAIM

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

 

 

 
 

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA

 
 

 
 

Judul Tesis
Nama
NIM

: Identifikasi Keragaman Genetik Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan
(GHR|AluI) pada Sapi Bali
: Zulkharnaim

: D151080111

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M. Rur. Sc
Ketua

Dr. Jakaria, S. Pt, M.Si
Anggota

Diketahui
Ketua Mayor
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M. S


Tanggal Ujian : 20 Mei 2010

Tanggal Lulus :

 
 

 
 

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
petunjuk-Nya dan Nabi Muhammad SAW sebagai sauritauladan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi, penelitian, dan penulisan tesis ini. Tesis ini berjudul Identifikasi
Keragaman Genetik Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan (GHR|AluI) pada Sapi Bali.
Penghargaan tertinggi penulis ucapkan kepada kedua orang tua tercinta atas
bimbingan, perhatian dan doanya yang tak pernah terbalaskan. Kepada adik dan saudara
penulis semua yang selalu memberikan semangat kepada penulis. Terimakasih juga penulis
ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rahman Noor, M. Rur. Sc dan Dr. Jakaria, S. Pt, M. Si
atas bimbingan dan kesempatan yang diberikan untuk menimba ilmu pemuliaan dan
genetika ternak seluas-luasnya.
Ucapan terimakasih juga kepada juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir.
Muladno, MSA dan Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc yang telah memberikan
kesempatan melakukan penelitian di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak. Kepada
teman-teman di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, teman-teman Pascasarjana S2
angkatan 2008/2009, 2009/2010 dan Pascasarjana S3 2008/2009 atas bantuannya selama
penulis melaksanakan studi. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungannya. Penulis mengharapkan
semoga karya ini bermanfaat bagi upaya pengembangan keilmuan dan pembangunan
peternakan di Indonesia.

Bogor, Juni 2010

Zulkharnaim

 
 

 
 

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 22 April 1985 di Makassar. Penulis adalah anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan H. Baharuddin dan Hj. Ratnawati.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1997 di SD Negeri Pa’ Baeng-baeng,
Makassar. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SLTP
Negeri 3, Makassar. Pendidikan lanjutan menengah tingkat atas diselesaikan pada tahun
2003 di SLTA Negeri 3, Makassar. Pendidikan strata satu diselesaikan pada tahun 2008 di
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis
melanjutkan kependidikan strata dua dan diterima di Sekolah Pascasarjana, Mayor Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor tahun
ajaran 2008/2009.
Selama mengikuti pendidikan, penulis menjadi asisten mata kuliah Pemuliaan
Ternak pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor tahun 2009/2010. Selain itu juga penulis ikut dalam beberapa
kegiatan seminar dan pelatihan.

 
 

 
 

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ..................................................................................................

xii

DAFTAR TABEL ..........................................................................................

xiii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

xiv

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

xv

PENDAHULUAN .........................................................................................

1

Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan Penelitian .................................................................................
Manfaat Penelitian .............................................................................

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................

4

Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya ............................................
Karakteristik Fenotipik Sapi Bali .......................................................
Keragaman Genetik Sapi Bali ............................................................
Gen-Gen Pengontrol Pertumbuhan ....................................................
Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone Receptor) ..
Polimorfisme pada Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan ..................
Penciri Genetik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RLFP) ..............................................................
MATERI DAN METODE .............................................................................

4
6
6
8
10
13
14
16

Tempat dan Waktu .............................................................................
Materi dan Alat Penelitian .................................................................
Isolasi DNA ...........................................................................
Analisis PCR ..........................................................................
Analisis PCR-RLFP ...............................................................
Analisis Elektroforesis ...........................................................
Metode Penelitian ..............................................................................
Penarikan Sampel Data Penelitian .........................................
Pengambilan Sampel Darah ...................................................
Isolasi DNA Total ....................................................................
Amplifikasi Gen GHR Menggunakan Mesin Thermal Cycler
Analisis PCR-RFLP .................................................................
Elektroforesis DNA Total, Produk PCR dan Produk PCR-RLFP

16
16
16
16
17
17
17
17
18
18
18
19
19

Analisis Data .......................................................................................
Frekuensi Alel ........................................................................
Frekuensi Heterozigositas Pengamatan .................................
Frekuensi Heterozigositas Harapan .......................................
Ragam Heterozigositas Harapan ............................................

20
20
20
21
21

 
 

 
 

Polymorphic Informative Content (PIC) .................................
Perunutan Susunan Nukleotida ..............................................
Jarak Genetik dan Pohon Genetik Gen GHR|AluI ...................

21
21
22

HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................

23

Amplifikasi Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan .............................
Keragaman Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan ..............................
Frekuensi Alel dan Genotipe Fragmen Gen GHR AluI .........
Keseimbangan Gen dalam Populasi .......................................
Pendugaan Nilai Heterozigositas .......................................................
Pendugaan Nilai Polymorphic Informative Content (PIC) ................
Sekuens Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan (GHR) .......................
Homologi dan Deteksi Mutasi Gen GHR|AluI ......................
Jarak Genetik dan Pohon Genetik Sekuens Gen GHR|AluI ...............

23
26
26
29
30
31
32
32
35

KESIMPULAN ..............................................................................................

37

Simpulan ............................................................................................

37

Saran ..................................................................................................

37

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

38

LAMPIRAN ..................................................................................................

43

 
 

 
 

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4

Jumlah DNA dan tahun pengambilan sampel darah
yang digunakan dalam penelitian .......................................................
Frekuensi genotipe dan alel fragmen gen GHR|AluI .........................
Distribusi frekuensi alel A dan G fragmen gen GHR|AluI
berdasarkan daerah pengembangan ...................................................

16
26
29

Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas
harapan (He) fragmen gen GHR|AluI .................................................

30

Pendugaan nilai Polymorphic Informative Content (PIC)
pada sapi Bali, Limousin, Simmental dan Pesisir ..............................

32

6

Mutasi basa nukleotida pada fragmen gen GHR|AluI ........................

33

7

Jarak genetik fragmen gen GHR|AluI ................................................

35

5

 
 

 
 

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Kemungkinan rute domestikasi sapi di Asia ......................................

5

2

Lokasi sampel dan hubungan genetik dari populasi sapi Indonesia ..

5

3

Lintasan transduksi sinyal yang diaktifkan oleh GHR ......................

11

4

Rekonstruksi struktur gen GHR berdasarkan sekuens gen GHR di
GenBank (Kode Akses. EF207442) ...................................................

12

Fragmen gen GHR|AluI didasarkan pada sekuens gen GHR
di GenBank (Kode Akses. EF207442) ...............................................

18

6

Posisi fragmen gen GHR|AluI serta situs enzim pemotongnya .........

23

7

Produk PCR gen GHR|AluI (298 bp) .................................................

23

8

Genotipe hasil pemotongan produk PCR fragmen gen GHR
enzim AluI .........................................................................................

24

Genotipe hasil pemotongan produk PCR fragmen gen GHR
enzim AluI sapi Bali ...........................................................................

25

Alignment sekuens fragmen gen GHR|AluI (ekson 10)
pada sapi Bali, Limousin, Simmental dan Pesisir ..............................

34

Dendogram pohon genetik berdasarkan gen GHR|AluI .....................

35

5

9
10
11

 
 

 
 

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2

Sekuens gen reseptor hormon pertumbuhan (GHR) pada sapi yang
diakses di Gen Bank (Kode Akses. EF207442) .................................

44

Modifikasi metode isolasi DNA menggunakan Genomic DNA Mini
Kit Geneaid ........................................................................................

48

 
 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak sapi memberikan kontribusi cukup besar dalam penyediaan daging
nasional. Berdasarkan produksi daging nasional 2008, kontribusi daging sapi
mencapai lebih dari 352 ribu ton, yaitu sekitar 16.2 % dari total produksi daging
nasional dari beberapa komoditas ternak, dan menempati peringkat kedua setelah
produksi daging unggas (Direktorat Jenderal Peternakan 2009). Perannya yang
sedemikian penting menjadi alasan bahwa produktivitas dan populasi sapi di
Indonesia selalu menjadi perhatian cukup besar dari pemerintah.
Sapi Bali merupakan satu dari empat bangsa sapi lokal utama (Aceh,
Pesisir, Madura dan Bali) di Indonesia, yang merupakan hasil domestikasi
langsung dari Banteng (Martojo 2003).

Keunggulan sapi Bali dibandingkan

dengan sapi lokal lainnya yaitu memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap
lingkungan yang marjinal (Masudana 1990). Daya adaptasi sapi Bali diantaranya
adalah, dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah (Sastradipraja 1996),
mempunyai fertilitas dan conception rate yang sangat baik (Oka dan Dramadja
1996), dan memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah
(Bugiwati 2007).
Pelestarian sumber daya genetik ternak lokal menjadi hal yang penting
untuk dilaksanakan. Ternak lokal selain sebagai sumber pangan juga merupakan
kekayaan alam yang harus dipertahankan. Indonesia sebagai pusat domestikasi
sapi Bali di dunia menjadi penting untuk melaksanakan program pelestarian sapi
Bali mengingat keunggulan sapi Bali sebagai ternak lokal. Salah satu program
nasional yang berhubungan dengan pelestarian sapi Bali adalah program
pemurnian dan peningkatan mutu genetik sapi Bali. Program pemurnian sapi Bali
dilaksanakan dengan penetapan wilayah peternakan murni sapi Bali yang meliputi
Pulau Bali, Pulau Sumbawa di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Pulau Flores
di Propinsi Nusa Tengara Timur (NTT) dan Kabupaten Bone di Propinsi Sulawesi
Selatan (Pane 1991).
Potensi genetik ternak sapi dapat dilihat dari keragaman genetiknya yang
tidak hanya terdapat pada ternak yang berlainan bangsa tetapi juga dapat terjadi


 

pada ternak yang sebangsa, antarpopulasi maupun di dalam populasi, atau diantara
individu dalam populasi (Abdullah 2008). Keragaman penampilan produksi sapi
Bali dapat diukur berdasarkan bobot dewasanya, dimana terdapat keragaman
bobot dewasa sapi Bali yang dipelihara pada daerah pemurnian dan pembibitan
Pulau NTT, NTB, Bali dan Sulawesi Selatan yakni ; 221.5; 241.9; 303.3 dan 211
kg (Talib et al. 2003). Identifikasi tingkat keragaman genetik spesies domestik
dilakukan terutama pada lokus-lokus yang mempunyai sifat bernilai penting dan
mempunyai keterkaitan dengan seleksi dalam program pemuliaan (Handriawan
dan Subandriyo 2004). Keragaman tersebut dapat terjadi karena kemampuan
adaptasi

ternak

berbeda

terhadap

perubahan

lingkungan

di

daerah

pemeliharaannya dan kondisi sosial budaya masyarakat di daerah tersebut.
Kemampuan sapi Bali beradaptasi terhadap lingkungan yang marjinal,
berpengaruh terhadap pertumbuhannya hal ini ditunjukkan dari pertumbuhan sapi
Bali yang beragaman pada kondisi lingkungan yang berbeda. Salah satu faktor
genetik yang mempunyai peranan dalam pertumbuhan suatu individu adalah gen
reseptor hormon pertumbuhan (Growth Hormone Reseptor) (GHR). Zhou dan
Jiang (2005) menyatakan bahwa pada tingkatan jaringan, aksi biologis dari
hormon pertumbuhan (Growth Hormone) (GH) dimediasi oleh GHR. Pada sapi,
GHR ditandai sebagai gen yang tunggal (Moody et al. 1995). Berdasarkan fungsi
mediasi yang dimiliki oleh GHR maka keragaman pertumbuhan ternak sapi dapat
juga diidentifikasi dari sifat keragamannya. Gen bovine Growth Hormone
Receptor (bGHR) terletak pada kromosom 20 (Moody et al. 1995).
Keragaman genetik fragmen gen GHR|AluI pada exon 10 telah
diidentifikasi

pada

beberapa

sapi

pedaging/potong.

Ge

et

al.

(2000)

mengidentifikasi single nucleotide polymorphism (SNP) fragmen gen GHR|AluI
sapi Angus, yang berlokasi pada posisi 76 (T/C), 200 (G/A), 229 (T/C) dan 257
(A/G) bp. SNP pada posisi 200 dan 257 bp merubah susunan asam amino, secara
berturut-turut Ala/Thr dan Ser/Gli, sedangkan dua mutasi lainnya merupakan
silent mutation (mutasi yang tidak mengubah susunan asam amino). Penelitian
mengenai kandidat gen untuk sifat produksi daging pada sapi Piedmontese
diinvestigasi pada hubungan SNP 257 bp dengan sifat in vivo dan karakteristik
dagingnya (Di Stasio et al. 2005).

 
 


 

Keragaman fragmen gen GHR|AluI pada sapi Bali menarik untuk dikaji,
hal ini disebabkan informasi tersebut belum ada. Informasi ini penting untuk
diketahui dalam rangka melengkapi kerangka kerja genetika molekuler pada
tingkat regional maupun benua untuk penggunaan pada saat ini maupun masa
yang akan datang.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari keragaman fragmen gen
gen reseptor hormon pertumbuhan (GHR) AluI pada sapi Bali.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu informasi dasar dalam
melengkapi kerangka kerja genetika molekuler dalam upaya perbaikan mutu
genetik, strategi pengembangan dan penentuan kebijakan sapi Bali agar
pemanfaatannya bisa berjalan secara berkelanjutan.

 
 

TINJAUAN PUSTAKA
Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya
Sapi Bali merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos banteng)
(Namikawa et al. 1980), Bos javanicus, Bos sondaicus (Payne dan Hodges 1997).
Banteng atau Bos banteng ditemukan hidup di Myanmar, Cambodia, Laos,
Vietnam, Thailand, Malaya, Pulau Bali, Pulau Jawa, dan Pulau Kalimantan
(Borneo) (Payne dan Hodges 1997). Domestikasi sapi Bali diduga terjadi di Asia
Tenggara dan terpusat di Indonesia. Sapi Bali didomestikasi selama lebih kurang
3500 SM (Rollinson 1984).
Tempat dimulainya domestikasi sapi Bali belum disepakati, dimana Meijer
(1962) berpendapat proses domestikasi terjadi di Pulau Jawa, namun Payne dan
Rollinson (1973) menduga asal mula sapi Bali adalah dari Pulau Bali mengingat
tempat ini merupakan pusat distribusi sapi Bali dari Pulau Bali yang kemudian
menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen sapi
Bali adalah di Pulau Bali, di samping pusat gen sapi Zebu di India dan pusat gen
primigenius di Eropa (Gambar 1) (Handiwirawan et al. 2003).
Sapi Bali merupakan satu dari empat bangsa sapi lokal utama (Aceh,
Pesisir, Madura dan Bali) di Indonesia, dimana sapi Bali merupakan hasil
domestikasi langsung dari Banteng liar (Martojo 2003). Hubungan antara sapi
Bali dan sapi lokal lainnya telah banyak diteliti, salah satunya dengan analisis
DNA mitokondria. Menurut Kusdiantoro (2009) hubungan maternal dari sapi Bali
asli dari empat tempat berbeda (Sulawesi, Bali, Sumatera Selatan, dan Sumatera
Barat) berhubungan erat dengan banteng ditinjau dari analisis DNA mitokondria
(mt), kromosom Y (Y) dan mikrosatelit alel autosom (µst) (Gambar 2).
Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya
pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan
1927 (Herweijer 1950). Kemudian, sekitar tahun 1947 dilakukan pengiriman
besar-besaran sapi Bali oleh pemerintah Belanda ke Sulawesi Selatan yang
langsung didistribusikan kepada petani (Pane 1991). Sapi-sapi inilah bersama
dengan pendahulunya menjadi cikal bakal sapi Bali di Sulawesi Selatan yang
telah berkembang menjadi propinsi dengan jumlah sapi Bali terbanyak di

5
 

Indonesia
I
(T
Talib 2002).. Penyebarann sapi Bali ke Lombok mulai dilak
kukan pada
abad
a
ke-19 yang
y
dibawaa oleh raja-rraja pada zam
man itu (Haardjosubroto dan Astuti
1993), dan sampai
s
ke Pu
ulau Timor antara tahun
n 1912 dan 11920. Penyeebaran sapi
Bali
B
ke ban
nyak wilayaah di Indonnesia kemud
dian dilakukkan sejak taahun 1962
(Hardjosubr
(
roto dan Asttuti 1993) ddan saat ini telah
t
menyeebar hampir di seluruh
wilayah
w
Indoonesia.

Gam
mbar 1. Kem
mungkinan rute domesstikasi sapi di Asia (P
Payne dan
Rolllinson 1973)

Gam
mbar 2. Lokkasi sampell dan hubungan genetiik dari pop
pulasi sapi
Inddonesia (Kusdiantoro 200
09)
Tahuun 1964 di Bali terjaddi musibah penyakit jeembrana seccara besarbesaran
b
yang menyebabbkan sapi Baali tidak boleeh dikeluarkkan lagi dari pulau Bali


 

sebagai ternak bibit. Mulai periode inilah sumber bibit sapi Bali bagi daerah lain
di Indonesia digantikan oleh NTT, Sulawesi Selatan dan NTB (Talib 2002).
Karakteristik Fenotipe Sapi Bali
Sapi Bali memiliki karakteristik fenotipe yang unik dibandingkan dengan
sapi lainnya. Menurut Pane (1986) anak sapi jantan hingga sekitar umur 6 bulan
berwarna sama dengan sapi betina yaitu merah bata kecoklatan, tetapi dengan
semakin tua umurnya akan mulai berubah menjadi coklat kehitaman mulai dari
bagian depan tubuh ke belakang. Terdapat warna putih pada bagian belakang paha
(pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di
atas kuku, bagian dalam telinga, dan pinggiran bibir atas pada sapi Bali jantan dan
betina (Hardjosubroto dan Astuti 1993).
Sapi Bali merupakan ternak tipe potong atau pedaging dan sebagai ternak
pekerja. Sapi Bali merupakan penghasil daging utama untuk ruminansia besar di
Indonesia. Berat sapi jantan dewasa sekitar 400 kg, lingkar dada sekitar 192 cm,
tinggi gumba sekitar 127 cm, dan panjang tubuh sekitar 140 cm. Berat sapi betina
dewasa sekitar 260 kg dengan lingkar dada sekitar 165 cm, tinggi gumba sekitar
114 cm, dan panjang badan sekitar 260 cm (Pane 1986).
Banyak laporan yang telah mengemukakan hasil penelitian mengenai
keunggulan produksi sapi Bali. Keunggulan produksi sapi Bali dapat dilihat dari
beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot
dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat karkas (persentase karkas dan
kualitas karkas), maupun sifat reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas,
jarak kelahiran (calving interval), dan persentase kelahiran. Beberapa sifat
produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis yang dapat
dipergunakan sebagai indikator seleksi (Handiwirawan dan Subandriyo 2004).
Keragaman Genetik Sapi Bali
Sapi Bali sebagai ternak domestik Indonesia yang berasal dari hasil
domestikasi Banteng liar Bos banteng (Namikawa et al. 1980), Bos javanicus, Bos
sondaicus (Payne dan Hodges 1997), memiliki karakteristik genetik yang khas.
Hal tersebut disebabkan, sapi Bali hidup dan didomestikasi di daerah tropis

 
 


 

sehingga lingkungan mempengaruhi sifat fenotipik dan genotipiknya. Kondisi
tersebut yang membuat sapi Bali berbeda dengan bangsa sapi lain di dunia.
Kemampuan sapi Bali beradaptasi pada lingkungan yang marjinal menjadi
hal yang penting, disebabkan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh beberapa
bangsa sapi lainnya. Sapi Bali dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah
(Sastradipraja 1996), mempunyai fertilitas dan conception rate yang sangat baik
(Oka dan Dramadja 1996), dan memiliki daging berkualitas baik dengan kadar
lemak rendah (Bugiwati 2007).
Karakteristik genetik pada ternak banyak disebabkan oleh kondisi
lingkungan. Rata-rata efek dari sebuah gen tergantung pada keadaan yang ekstrem
akan diekspresikan oleh genetika lingkungan yang dibawa oleh gen tersebut yang
dapat memberikan perubahan fenotipik sampai intra-lokus dominan, epistatis
terhadap lokus yang mekanisme fungsinya berhubungan dan lingkungan fisik
dimana mempunyai dampak terhadap fenotipik, hal tersebut disebabkan dasar
fisiologis menyebabkan dampak pada penampilan sifat yang diobservasi pada
daerah yang berbeda. Sebagai contoh, gen yang mengatur efisiensi pakan
seharusnya memberikan dampak yang nyata pada keadaan nutrisi kurang, dan gen
yang mengatur nafsu makan seharusnya memberikan dampak pada keadaan
nutrisi yang berlimpah (Noor et al. 1993).
Kultur sel atau organisme secara keseluruhan memberikan respon dengan
mensintesa sejumlah protein yang dikenal sebagai heat shock protein atau stress
protein, pada saat bersamaan sebagian besar protein akan switched off (Noor
2002). Organisme memberikan respon terhadap stress dengan jalan mengatur
fisiologi atau morfologi untuk meredam pengaruhnya dan mempertahankan fungsi
normal, resistensi melibatkan respon fisiologis dan morfologis sehingga
organisme dapat bertahan dan bereproduksi pada kondisi stress.
Kemampuan suatu individu/genotipe untuk menampilkan lebih dari satu
bentuk morfologi, status fisiologi dan/atau tingkah laku sebagai respon terhadap
perubahan lingkungan disebut sebagai kelenturan fenotipik (Noor 2002).
Kelenturan fenotipik merupakan suatu fenomena genetik karena subjek seleksi
alam, subjek perubahan secara evolusi, adanya variasi genetik pada arah dan
besarnya respon serta adanya respon seleksi terhadap kelenturan fenotipik. Tiga

 
 


 

teori utama tentang aspek genetik kelenturan fenotipik, yakni ; (1) suatu sifat yang
dikontrol oleh gen-gen yang terletak pada lokus yang berbeda dengan gen-gen
yang mengatur rataan sifat pada lingkungan tertentu, (2) suatu fenomena seleksi
untuk rataan sifat yang berbeda pada lingkungan yang berbeda, (3) perubahan
fenotip pada lingkungan yang berbeda merupakan fungsi menurun dari jumlah
lokus heterosigot (Noor 2002).
Secara umum, produktivitas ternak lokal di daerah tropis rendah, tetapi
adaptabilitas dan ketahanan terhadap lingkungan buruk mungkin menjadi hal yang
baik. Di beberapa Negara tropis, usaha untuk meningkatkan produktifitas telah
dilakukan dengan mendatangkan ternak dari daerah subtropik dan menyilangkan
dengan ternak lokal (Noor et al. 1993).
Kelenturan fenotipik merupakan fenomena genetik, yang disebabkan
beberapa hal, yakni : (1) Kelenturan fenotipik adalah suatu sifat yang menjadi
subjek seleksi alam dan perubahan secara evolusi, (2) terdapat variasi genetik
pada arah dan besarnya respon terhadap perubahan lingkungan, dan (3) telah
dideteksi adanya respon seleksi terhadap kelenturan fenetopik (Noor 2008).
Interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan merupakan
masalah yang sangat serius di bidang peternakan pada umumnya dan imporekspor ternak pada khususnya. Interaksi ini dikatakan ada jika ternak-ternak yang
dipelihara pada lingkungan tertentu akan berubah tingkat produksinya saat
dipelihara di lingkungan berbeda. Fenomena kelenturan fenotipik akan
memberikan arah baru dalam program seleksi. Program seleksi tidak saja
ditujukan pada gen-gen yang mengatur daya lentur sifat poduksi, tetapi juga pada
gen-gen yang mengatur daya lentur sifat produksi tersebut pada lingkungan yang
berbeda (Noor 2008).
Gen-Gen Pengontrol Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan salah satu sifat utama dan bagian penting dari
makhluk hidup. Secara umum pertumbuhan memiliki aspek yang luas seperti
pertumbuhan sel, organ, fetus, tulang dan beberapa aspek lain yang terkait dengan
pertumbuhan individu. Menurut Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa
pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel,

 
 


 

serta peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu
waktu tertentu. Pertumbuhan dikarakterisasikan oleh peningkatan ukuran dari sel
individu (hypertrophy) sama seperti peningkatan jumlah sel pada jaringan
(hyperplasia).
Salah satu faktor genetik yang mempunyai peranan di dalam pertumbuhan
suatu individu adalah gen GH. Gen GH diperlukan untuk pertumbuhan jaringan,
metabolisme lemak, dan pertumbuhan tubuh normal (Burton et al. 1994).
Disebabkan fungsinya yang penting, gen GH merupakan kandidat gen untuk
program Marker Asissted Selection pada sapi (Beauchemin et al. 2006).
Fungsi dari gen GH pada suatu individu khususnya ternak menjadi hal
yang penting dikarenakan gen GH mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi
yang tinggi. Menurut Sumantran et al. (1992) gen GH telah terbukti menjadi
pengatur utama pada pertumbuhan pasca kelahiran, metabolisme pada mamalia,
kecepatan pertumbuhan, susunan tubuh, kesehatan. Selanjutnya, gen GH
merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas dan respon
immun (Ge et al. 2003). Secara mendalam gen GH juga diperlukan dalam
pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan reproduksi (Burton et al. 1994).
Pertumbuhan juga diatur oleh gen POU1F1 (juga dinamakan Pit-1 atau
GHF-1) yang merupakan anggota dari POU-transcription factors family yang
diekspresikan terutama pada pituitary (Pan et al. 2008). Ekspresi gen Pit-1
diperlukan pada pembelahan sel secara normal, perkembangan dan pertahanan
tiga tipe sel adenohypophysis (thyrotrophs, somatotrophs and lactotrophs).
Gen Pit-1 mengatur ekspresi gen GH, prolaktin (PRL) (Tuggle et al. 1993)
dan thyroid-stimulating hormone β (TSH-β) (Pan et al. 2008) pada pituitary
anterior. Menurut McCormick et al. (1990) defisiensi dari gen Pit-1 mengurangi
ekspresi gen GH, disebabkan penurunan ploriferasi lapisan sel dalam
memproduksi gen GH.
Gen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan pada ternak adalah gen
Insulin-like growth factor I (IGF-I) yang merupakan faktor utama peningkatan
polipeptida hormon pertumbuhan pada hewan. Gen IGF-I mengatur pertumbuhan
somatik dari rangsangan perkembangan dan penghambatan beberapa tipe sel
apoptosis, termasuk otot, tulang, epitel dan sel fibroblast (Wu et al. 2008).

 
 

10 
 

Gen Insulin-like growth factor I (IGF-I) merupakan kandidat gen untuk
pertumbuhan pada ternak yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan. Gen IGF-I memediasi rangsangan aksi pembelahan sel dan proses
metabolism yang berhubungan dengan deposisi protein. Gen IGF-I menstimulasi
metabolism protein dan berperan penting terhadap fungsi beberapa organ (Pereira
et al. 2005).
Gen Growth Hormone Receptore (GHR) menjadi kandidat gen untuk
pertumbuhan pada ternak disebabkan gen GH membutuhkan reseptor dalam
mekanisme ekspresinya ketarget jaringan. Zhou dan Jiang (2005) menyatakan
bahwa pada tingkatan jaringan, aksi biologis dari gen GH dimediasi oleh gen
GHR. Hubungan antara keragaman gen GHR dan sifat pertumbuhan sapi telah
dilakukan pada sifat in vivo dan karakteristik daging sapi Piedmontese (Di Stasio
et al. 2005), lemak karkas pada sapi Bos taurus (Tatsuda et al. 2008), lemak intra
muscular (Han et al. 2009) dan komposisi otot (lemak intramuscular, protein dan
kadar air) (Reandon et al. 2010).
Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan
(Growth Hormone Receptor)
Salah satu faktor yang juga menentukan pertumbuhan secara hormonal
pada individu khususnya ternak adalah Growth Hormone Receptor (GHR).
Menurut Moody et al. (1995) Growth Hormone Receptor (GHR) adalah sel
permukaan reseptor untuk growth hormone (GH) dan dibutuhkan oleh GH untuk
membawa pengaruhnya ketarget jaringan. GH memiliki berat molekul yang tinggi
sehingga sulit sulit memasuki sel yang harus melewati membrane sel. Karenanya
efek pertama dari GH adalah pada reseptor yang terdapat dalam membrane sel,
agar GH dapat memberikan efeknya ke target sel tanpa merusak membrannya
(Djojosoebagio 1995).
Growth Hormone Receptor merupakan anggota dari kelas I cytokine
receptor super family. Cytokine receptor tidak termasuk ke dalam suatu tyrosine
kinase tetapi tepatnya berasosiasi dengan salah satu anggota dari Janus Kinase
Family (JAK), yang mengaktifkan specific transcription factors, signal
transducer, dan aktivator transkripsi (Scanes 2003). GHR termasuk cytokine
receptor super family yang transkripsinya diatur dalam jaringan spesifik yang
 
 

11
 

dibuat
d
mennggunakan kelipatan eekson yangg tidak terrpetakan (E
Edens dan
Talamantes
T
gikatan GH dengan reseeptornya menngakibatkann terjadinya
1998). Peng
aktivasi
a
enzzim tyrosinee kinase JA
AK2 (Janus--family Tyroosine Kinasse 2) yang
berikatan
b
deengan GHR, sehingga tterjadi fosfo
orilasi resepttor dengan JAK
J 2 pada
residu
r
tirosil. Kejadian ini menimbuulkan aktivaasi sejumlahh lintasan pem
mbentukan
sinyal, salahh satunya fossforilasi prottein STAT (Signal
(
Trannduser and Activator
A
of
Transcriptioon) (Gambarr 3).
GHR 

Gam
mbar 3. Lintaasan transduuksi sinyal yang
y
diaktifkkan oleh GH
HR (Scanes
2003))
Gen adalah baagian segmeen DNA teermasuk sem
mua nukleootida yang
ditranskripsi
d
i ke dalam mRNA yanng akan ditranslasi mennjadi proteinn (Nicholas
1996). Horm
mon GHR merupakan
m
hhasil translasi dari gen GHR, yangg kemudian
berperan
b
dalam pertumbbuhan ternakk. Gen GHR
R terletak paada kromosoom 20 sapi
(Moody
(
et al.
a 1995). Geen GHR padaa sapi terdirii atas 10 exoon, dengan panjang
p
gen
25.688
2
bp (Lampiran
(
1) (Gambar 4) (Lucy ett al. 1998; JJiang dan Lu
ucy 2001).
Proses
P
transkripsi gen GHR
G
pada saapi diinisiasikkan oleh tigaa promotor exon
e
utama
1A, 1B dab 1C, secara umum
u
variassi mRNA GHR 1A, 1B dan 1C berllainan pada
bagian
b
5’-untranslated (Jiang dan Lucy 2001). Identifikaasi dan lokaalisasi dari
mRNA
m
GHR
R pada otot sapi selamaa perkembanngan fetus m
menggunakann Northernblot
b dan anaalisis in situ hybridisatioon. Pada otoot fetus, sebuuah transkrippsi tunggal
diobservasi
d
4 kb yang mana
m
hal terssebut konsissten dengan
dengan ukurran sekitar 4,5
transkripsi
t
G
GHR
sapi yaang dilaporkaan pada hati sapi dewasaa (Listrat et al.
a 1994).

12 
 

Sama halnya dengan gen GH, target utama dari gen GHR adalah hati.
Ekspresi gen GHR bersifat autoregulation. Gen GHR 1A diekspresikan secara
eksklusif pada hati (Lucy et al. 1998), sedangkan gen GHR 1B dan GHR 1C
diekspresikan pada jaringan (Jiang dan Lucy 2001). Ekspresi mRNA GHR 1A
bermacam-macam pada tahapan perkembangan, ada sedikit mRNA GHR 1A pada
fetus hati tetapi setengah pada mRNA GHR dalam hati individu dewasa yang
dihasilkan olah mRNA GHR 1A (Jiang dan Lucy 2001). Menurut Scanes (2003)
terdapat dua mRNA GHR yang dihasilkan dari sambungan dan inisiasi pada
transkripsi dari promotor 1 dan 2. Hal ini digambarkan berturut-turut sebagai gen
GHR 1A dan GHR 1B pada sapi. Ekspresi gen GHR 1A dibatasi pada hati dan
merupakan pengontrol perkembangannya, hal tersebut tidak terjadi pada saat
setelah panyapihan. Sebaliknya, ekspresi gen GHR 1B ditemukan pada lipatan
jaringan dan dalam tahapan awal dan akhir perkembangan setelah kelahiran (Liu
et al. 2000).
Coding sequence (CDS)

5’

3’

Kodon awal ATG

Exon 1

Exon 2

Intron 1
Flanking
region 5’

Exon 3

Intron 2
1

Kodon akhir TAG

Exon 4

Intron 3

Exon 5
Intron 4

Exon 6
Intron 5

Exon 7
Intron 6

Exon 8
Intron 7

Exon 9

Intron 8

Exon 10
Intron 9

Flanking
region 3’

Keterangan :
Lokus
Panjang
Gen
Sekuen depan
Exon 1
Exon 2
Exon 3
Exon 4
Exon 5
Exon 6
Exon 7
Exon 8
Exon 9
Exon 10

= EF207442
= 3876 pb
= 10 – 35, 200 – 280, 416 -481, 675 – 804, 935 – 1095, 1321 – 1499, 1612 – 1777, 1981 – 2071,
2246 – 2315, 2609 – 3876
= 9
=
9 bp
= 10 – 35
= 25 bp
Intron 1
= 36 – 199
= 163 bp
= 200 – 280
= 80 bp
Intron 2
= 281 – 415
= 134 bp
= 416 -481
= 65 bp
Intron 3
= 482 – 674
= 192 bp
= 675 – 804
= 129 bp
Intron 4
= 805 – 934
=
29 bp
= 935 – 1095
= 160 bp
Intron 5
= 1096 – 1320
= 234 bp
= 1321 – 1499 = 178 bp
Intron 6
= 1500 – 1611
= 111 bp
= 1612 – 1777 = 165 bp
Intron 7
= 1778 – 1982
= 204 bp
= 1981 – 2071 = 90 bp
Intron 8
= 2072 – 2245
= 173 bp
= 2246 – 2315 = 69 bp
Intron 9
= 2316 – 2608
= 292 bp
= 2609 – 3876 = 126 bp
= 129 bp

Gambar 4. Rekonstruksi struktur gen GHR berdasarkan sekuens gen GHR
di GenBank (Kode Akses. EF207442)
Gen Growth Hormone Receptor sangat penting di dalam proses
pertumbuhan ternak. Mutasi pada gen GHR telah diasosiasikan sebagai Larontype dwarfism pada manusia (Godowski et al. 1989), sex-linked dwarfism pada

 
 

13 
 

ayam (Burnside et al. 1992), sifat pertumbuhan pada sapi pedaging (Hale et al.
2000) dan sifat produksi susu pada sapi Holstein (Aggrey et al. 1999). Dwarfism
dihubungkan dengan rendahnya peredaran konsentrasi dari gen IGF-I dan dengan
ketiadaan atau rendahnya ekspresi gen GHR (Vandeerpooten et al. 1991). Gen
Growth hormone (GH), insulin-like growth factors 1 dan 2 (IGF1 dan IGF2) dan
hubungan mereka pada pengikatan protein dan reseptor transmembran (GHR,
IGF1R dan IGF2R) mengatur sebuah pengaturan penting dalam fisiologis
pertumbuhan mamalia (Curi et al. 2004).
Gen GHR bertanggung jawab pada pertumbuhan dan karkas, keragaman
gen GHR berhubungan dengan keragaman produksi daging yang terjadi pada
liver-specific promoter sapi (Ohkubo et al, 2006). Gen GHR pada sapi dipetakan
sebagai sebuah gen tunggal (Moody et al. 1995) dan gen GHR memiliki ekspresi
pada tubuh dengan level yang tinggi pada hati (Lucy et al. 1998).
Perbedaan observasi dalam metabolisme ternak dengan perbedaan ukuran
dalam bermacam tahapan pertumbuhan, pengaturan hormon dari somatotropic
axis harus menjadi penekanan (Owens et al. 1994). Somatotropic axis merupakan
hal yang penting terkait pada GH, insulin-like growth factors I dan II (IGF-I dan
IGF-II) dan reseptornya yang berhubungan dengan pengikatan protein (GHR,
IGF-IR, IGF-IIR dan IGFBP) berperan dalam pengaturan metabolisme dan
fisiologis dari pertumbuhan mamalia (Curi et al. 2006).
Keragaman pada Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan
(Growth Hormone Receptor)
Seperti halnya dengan gen GH, gen GHR juga bersifat beragam.
Berdasarkan hal tersebut maka gen GHR sering dijadikan penanda dalam
menentukan sifat produksi dari sapi. Menurut Womack (1993) keragaman teknik
dapat digunakan untuk mengidentifikasi gen tersebut, termasuk metode
berdasarkan pemetaan genetik yang mana penanda keragaman molekuler bekerja
untuk mengetahui lokasi bagian kromosom dalam menentukan ekspresi normal
pada sifat atau keragaman dalam ekspresinya. Sebuah metode alternatif dalam
mengetahui kandidat gen, berdasarkan penelitian terhadap mekanisme fisiologis
termasuk dalam manifestasi pada sifat yang menarik, variasi dalam gen spesifik

 
 

14 
 

antara individu yang menampilkan perbedaan fenotipik yang diseleksi dan
diinvestigasi.
Salah satu metode dalam penentuan keragaman dari gen GHR adalah
menggunakan metode PCR-RFLP. Identifikasi keragaman pada gen GHR telah
dilakukan pada exon 10. Menurut Ge et al. (2000) single nucleotide
polymorphism (SNP) fragmen gen GHR|AluI ditemukan pada exon 10, dengan
mengkode pada sitoplasma domain gen GHR yang berlokasi pada posisi 76 (T/C),
200 (G/A), 229 (T/C) dan 257 (A/G). SNP pada posisi 200 dan 257 pb merubah
susunan asam amino, secara berturut-turut Ala/Thr dan Ser/Gli, sedangkan dua
mutasi lainnya merupakan silent mutation (mutasi yang tidak mengubah susunan
asam amino).
Menurut Di Stasio et al. (2005) penelitian mengenai kandidat gen untuk
sifat produksi daging pada sapi diinvestigasi pada hubungan SNP posisi 257 bp
pada exon 10 gen GHR (fragmen gen GHR|AluI) dengan sifat in vivo dan
karakteristik daging sapi Piedmontese. Hubungan antara keragaman gen
GHR|AluI dan sifat pertumbuhan sapi telah dilakukan pada sifat in vivo dan
karakteristik daging sapi Piedmontese (Di Stasio et al. 2005), lemak karkas pada
sapi Bos taurus (Tatsuda et al. 2008), lemak intra muscular (Han et al. 2009) dan
komposisi otot (lemak intramuscular, protein dan kadar air) (Reandon et al. 2010).
Single Nucleotide Polimorphism (SNP) pada umumnya merupakan
perbedaan basa tunggal DNA antar individu (Kwok 2003). Pendeteksian
perbedaan basa tunggal DNA terjadi pada penyisipan atau penghilangan satu atau
beberapa basa pada DNA. Sifat keragaman pada bagian DNA yang terjadi variasi
atau SNP frekuensinya tidak lebih dari 1% di dalam populasi (Kwok 2003).
Penciri Genetik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP)
Salah satu teknik penciri genetik (genetic marker) yang dikembangkan
telah dipopulerkan oleh Botstein et al. (1980) dan digunakan untuk mengetahui
adanya keragaman sekuens DNA, teknik ini dikenal dengan Restriction Fragment
Length Polymorphism (RFLP). Mullis et al. (1986) menyatakan bahwa setelah
adanya teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mengampilifikasi
fragmen DNA spesifik secara in-vitro, penggunaan teknik RFLP menjadi lebih
 
 

15 
 

intensif dengan mengkombinasikan teknologi PCR tersebut sehingga lahirlah
teknik PCR-RFLP yang penggunaannya terus hingga sekarang ini. PCR-RFLP
adalah teknik pertama yang dikembangkan untuk menvisualisasikan perbedaan
pada level DNA yang didasarkan pada penggunaan enzim pemotongan
(restriction enszymes) yang dapat memotong DNA pada tempat sekuens
nukleotida spesifik (Montaldo dan Herrera 1998). Teknik ini pada prinsipnya
menggunakan primer. Pengamatan keragaman dalam genom organisme digunakan
juga suatu enzim pemotong tertentu (restriction enzymes). Karena sifatnya yang
spesifik, maka enzim ini akan memotong situs tertentu yang dikenali oleh enzim
ini. Situs enzim pemotong dari genom suatu kelompok organisme yang kemudian
berubah karena mutasi atau berpindah karena genetic rearrestrictionment dapat
menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim, atau enzim restriksi
akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan terbentuknya
fragmen-fragmen DNA yang berbeda ukurannya dari satu organisme ke
organisme lainnya. Li dan Gaur (1991) menyatakan bahwa enzim pemotong yang
dapat mengenal sekuens DNA spesifik disebut recognition sequences dan
biasanya memiliki panjang empat sekuens basa atau lebih dan bersifat
palindrome.
Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman pada
gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu
(Sumantri et al. 2007). Selain PCR-RFLP, PCR-SSCP juga dapat digunakan
untuk analisis keragaman DNA. PCR-SSCP merupakan metode analisis lebih
lanjut yang memanfaatkan produk PCR. Metode PCR-SSCP merupakan metode
yang handal dalam mendeteksi adanya mutasi secara cepat (Hayashi, 1991).
Asumsi yang mendasari metode analisis SSCP adalah bahwa perubahan yang
terjadi pada nukleotida meskipun terjadi hanya pada satu basa, akan
mempengaruhi bentuk dari fragmen DNA pada kondisi untai tunggal (Bastos et
al. 2001). Perbedaan konformasi molekul akan menyebabkan perbedaan
migrasinya dalam gel poliakrilamid pada saat elektroforesis (Montaldo dan
Herrera 1998).

 
 

MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian laboratorium analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) serta
analisis penciri Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP) dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler
Ternak, Bagian Pemuliaan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor. Analisis DNA berlangsung pada bulan Nopember 2009-Januari 2010.
Materi dan Alat Penelitian
Materi penelitian yang digunakan untuk analisis DNA adalah sampel sapi
Bali, Limousin, Simmental dan Pesisir. Sampel DNA yang digunakan merupakan
koleksi sampel Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan
Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Jumlah setiap sampel
DNA dan tahun pengambilan sampel darah disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah DNA dan tahun pengambilan sampel darah yang
digunakan dalam penelitian
No.
1.
2.
3.
4.

Bangsa Sapi
Bali
Pesisir
Limousin
Simmental
Total

Jumlah

Asal

162
48
21
17
248

UP3 Bali Pulau Bali
Kab. Pesisir Selatan
BIB Singosari Malang
BIB Singosari Malang

Tahun Pengambilan
Sampel Darah
2009
2004
2006
2006

Isolasi DNA
Isolasi DNA menggunakan beberapa bahan atau pelarut seperti TrisEDTA konsentrasi rendah (low TE), lysis buffer, digestion buffer, rinse buffer,
etanol absolut, etanol 70%, dan larutan pengencer DNA (Master mix) 1x.
Peralatan yang digunakan untuk isolasi DNA adalah pipet tip Axygen
TR222Y dan T1000B, mikro pipet 200 P, 1000 P Gilson, microtube eppendorf
ukuran 1.5 ml, mikrosentrifuge, waterbath/inkubator, dan vortex.
Analisis PCR
Beberapa bahan yang digunakan untuk PCR (Polymerase Chain Reaction)
adalah destilated water, templet DNA, primer forward dan reverse fragmen gen

17 
 

GHR|AluI, beberapa pereaksi PCR yang terdiri atas enzim Tag DNA polymerase
5 unit/µl, bufer thermophilic DNA polymerase 10x reaksi bebas MgCl2 25 mM
dan campuran nukleotida 40 nM (masing-masing 10 mM dATP, dATP, dCTP,
dGTP, dan dTTP).
Peralatan yang digunakan dalam analisis PCR adalah pipet tip Axygen,
mikropipet 10 P, 20 P, dan 200 P Gilson, microtube, dan mesin PCR (eppendorf
5332) serta stabilizer.
Analisis PCR-RFLP
Bahan yang digunakan dalam analisis PCR-RFLP (Polymerase Chain
Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism) adalah produk PCR
fragmen gen reseptor hormon pertumbuhan, destilated water, dan enzim
pemotong AluI 10 unit/µl dan buff