Analisis Sebaran Lahan Industri Dalam Pengembangan Wilayah Di Jabodetabek
ANALISIS SEBARAN LAHAN INDUSTRI DALAM
PENGEMBANGAN WILAYAH DI JABODETABEK
DEWI SETYOWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sebaran Lahan Industri
Dalam Pengembangan Wilayah di Jabodetabek adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian
Bogor.
Bogor, Juni 2015
Dewi Setyowati
NIM A156120081
RINGKASAN
DEWI SETYOWATI. Analisis Sebaran Lahan Industri Dalam Pengembangan Wilayah di
Jabodetabek. Di bawah bimbingan KHURSATUL MUNIBAH dan SETIA HADI.
Pengembangan kawasan industri di Jabodetabek berkembang pesat sejak awal 1970.
Perkembangan perkotaan yang pesat di Jabodetabek mengakibatkan munculnya daerahdaerah baru di pinggiran kota induk untuk menampung pertumbuhan kegiatan kota induk
tersebut, diantaranya dengan membangun daerah industri. Hal ini terjadi karena adanya
keterbatasan penyediaan lahan dalam skala besar terutama untuk kegiatan industri. Tujuan
penelitian ini adalah menganalisis perubahan penggunaan lahan ke lahan industri di
Jabodetabek dan kaitannya dengan PDRB sektor industri, menganalisis faktor yang
mempengaruhi PDRB sektor industri, menganalisis pemusatan dan pertumbuhan sektor
industri di Jabodetabek, menyusun arahan pengembangan industri di Jabodetabek.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perubahan penggunaan lahan non industri ke
industri Tahun 1998 sampai Tahun 2012 terbesar terdapat di Kabupaten Bekasi dengan
penambahan jenis penggunaan lahan permukiman, ruang terbuka dan persawahan. Terdapat
korelasi yang positif antara perubahan penggunaan lahan non industri ke industri dengan
perubahan PDRB industri di Jabodetabek. Terdapat beberapa variabel internal yang
berpengaruh terhadap pembentukan PDRB sektor industri, namun hanya variabel bahan baku
yang pengaruhnya kuat.Terdapat beberapa kecamatan potensial yang mempunyai nilai
Location Quotient (LQ) >1 dan Shift Share Analysis positif.
Untuk menentukan arahan pengembangan industri di Jabodetabek didasarkan pada
pertimbangkan nilai LQ dan SSA, penyerapan tenaga kerja, ketersediaan lahan, inkonsistensi
lahan industri dan arahan pola ruang dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupten/ Kota di
Jabodetabek. Hasilnya terdapat 4 (empat) prioritas lokasi pengembangan sektor industri yang
sebagian besar berada di daerah pinggiran Kota Jakarta.
Kata kunci: industri, Jabodetabek, pengembangan, wilayah
SUMMARY
DEWI SETYOWATI. Industrial Land Distribution Analysis in Regional Development of
Jabodetabek. Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and SETIA HADI.
The development of industrial zones in Jabodetabek area growing rapidly since the
early 1970s. Urban developments very fast in Greater Jakarta resulting in the appearance of
new areas in core city of the suburbs to accommodate growth activities core city the like
build industrial area. This is due to the limited supply of land on a large scale, especially for
industrial activities. The purpose of this research is analyzing changes in land use and
connection with industrial land to industrial gdp, analyzing the factors affecting the industrial
sector, analyzing the concentration and growth of the industrial sector in Greater Jakarta and
determining direction industrial sector development.
The results showed that the largest industrial area in the period 1998 and 2012 is in
Regency of Bekasi with the addition of the settlement, open space and rice fields.. Showed a
positive correlation where non-industrial land use change to the industry will be followed by
changes in industrial GDP. There are several internal variables that affect the formation of
industrial sector GDP, but only variable raw material strong influence. There are some
districts that have a potential value of Location Quotient (LQ)> 1 and Shift Share Analysis
positive.
The direction of development of the industrial sector on the basis of consideration of
the value of LQ and SSA, absorption of labor, availability of land, industrial land
inconsistencies and direction of spatial plans districts / cities in Greater Jakarta. The result is
there are four (4) priority development sites are mostly industrial sector is in a suburb of
Jakarta.
Keywords: development, industry, Jabodetabek, regional,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS SEBARAN LAHAN INDUSTRI DALAM
PENGEMBANGAN WILAYAH DI JABODETABEK
DEWI SETYOWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Santun RP Sitorus
333PRAKATA
Dengan mengucap Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga penelitian yang berjudul “Analisis Sebaran Industri dalam
Pengembangan Wilayah di Jabodetabek” dapat selesai dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih atas masukan dan arahan dari Dr.Dra. Khursatul
Munibah, MSc, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr.Ir. Setia Hadi MS selaku anggota
Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Santun RP Sitorus sebagai Penguji Luar Komisi, serta Dr.
Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc selaku Pimpinan Sidang Ujian Tesis. Tak lupa juga penulis
haturkan terima kasih kepada rekan-rekan kuliah PWL regular dan kelas khusus angkatan
2012 dan rekan-rekan lainnya yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang
memberi bantuan moril dan material kepada penulis dalam melakukan penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda tercinta, serta seluruh keluarga,
teman atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan masukan dari berbagai pihak demi kesempurnaan tesis ini.
Demikian penulis sampaikan, besar harapan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
banyak pihak yang berkepentingan.
Bogor, Juni 2015
Dewi Setyowati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Kerangka Pemikiran
1
1
3
4
4
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
6
Pengembangan Wilayah
Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan
Teori Lokasi Industri
6
7
10
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan
Alat
Metode analisis
13
13
13
13
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan Lahan Aktual
Analisis Perubahan Sebaran Lahan Industri 1998-2012 dan Kaitannya
dengan Perubahan PDRB Sektor Industri
Faktor Internal Yang Mempengaruhi PDRB Industri
Analisis Pemusatan dan Pertumbuhan Industri
Prioritas Pengembangan Wilayah Industri di Jabodetabek
Arahan Pengembangan Wilayah Lokasi Industri di Jabodetabek
19
19
20
38
47
48
58
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
GLOSARIUM
RIWAYAT HIDUP
64
64
64
65
69
70
88
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Interpretasi Koefisien Korelasi
Rencana Metode Penelitian
Kriteria Arahan Prioritas Pengembangan Industri
Kriteria Arahan Pengembangan Wilayah Lokasi Industri
Luas Lahan (ha) Menurut Jenis Penggunaan Lahan Tiap Kabupaten/ Kota
di Jabodetabek, Tahun 2012
6 Perubahan Penggunaan Lahan Non Industri Dan Industri
Tahun 1998-2012 di Jabodetabek
7 Variabel Internal yang Mempengaruhi Proses Pembentukkan PDRB
8 Nilai Bahan Baku (Rp) yang Digunakan dalam Kegiatan Industri
di Jabodetabek
9 Panjang Jalan di Jabodetabek Tahun 2012
10 Kecamatan-Kecamatan Potensial di Jabodetabek Berdasarkan Nilai
Shift Share Analysis (SSA) dan LQ (Location Quotient))
11 Jumlah Penduduk dan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri
di Kabupaten/ Kota Jabodetabek Tahun 2012
12 Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Menurut Kecamatan
di Jabodetabek
13 Inkonsistensi Lahan Industri di Jabodetabek
14 Ketersediaan Lahan Menurut Kecamatan Potensial (Nilai SSA positif
dan LQ >1) di Jabodetabek
15 Pemilihan Prioritas Lokasi Industri
16 Arahan Pengembangan Industri di Jabodetabek
15
18
18
18
21
27
42
44
46
48
50
52
53
57
58
61
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran
2. Teori Jalur Terpusat
3 Teori Sektor
4. Teori Pusat Lipat Ganda
5. Lokasi Penelitian
6. Kerangka Pendekatan Studi
7 Type Penggunaan Lahan di Jabodetabek
8 Sebaran Lahan Industri di Jabodetabek Tahun 2012
9 Penggunaan Lahan di Jabodetabek Tahun 2012
10. Sebaran Lahan Industri di Jabodetabek Tahun 1998
11. Sebaran Lahan Industri di Jabodetabek Tahun 2012
12. Luas Penggunaan Lahan Industri Tahun 1998 - 2012
13 Lahan industri di Jabodetabek
14. Penambahan Jenis Lahan Non Industri ke Industri di Jabodetabek
15. Perubahan Penggunaan Lahan Non Industri ke Industri Tahun 1998
sampai Tahun 2012 Pada Setiap Kabupaten/ Kota di Jabodetabek
16. Perubahan Penggunaan Lahan Non Industri menjadi Lahan Industri
17. Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Jakarta Tahun 1998
dan 2012
18 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Bogor Tahun 1998
dan 2012
19 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Tangerang
Tahun 1998 dan 2012
20 Perbandingan sebaran penggunaan lahan industri di Wilayah Bekasi
Tahun 1998 dan 2012
21. Kontribusi PDRB Industri Kabupaten/Kota di Jabodetabek Tahun 2012
22. Sebaran Jarak Industri di wilayah DKI Jakarta dari Pusat Kota Jakarta
23. Sebaran Jarak Industri di wilayah Bekasi dari Pusat Kota
24. Sebaran Jarak Industri di wilayah Bogor dari Pusat Kota
25. Sebaran Jarak Industri di wilayah Tangerang dari Pusat Kota
26. Peta Arah Kecenderungan Penyebaran Lahan Industri Jabodetabek
27. Grafik biplot faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Sektor Industri
28. Peta Sebaran Jenis Industri di Jabodetabek
29. Analisis Regresi Variabel Bahan Baku
30. Analisis Regresi Variabel Tenaga Kerja
31. Analisis Regresi Variabel Laju Pertumbuhan PDRB
32. Analisis Regresi Variabel Panjang Jalan
33. Analisis Regresi Variabel Penjualan/ Pengurangan Kendaraan
34. Kecamatan Potensial dengan Nilai LQ >1 dan SSA positif
35. Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Jabodetabek
36 Inkonsistensi Lahan Non Industri Menjadi Lahan Industri
di Jabodetabek
37 Peta Konsistensi Penggunaan Lahan Industri
38 Arahan Pengembangan Industri di Jabodetabek
5
8
9
9
13
14
19
20
22
23
24
25
26
27
27
29
30
31
32
33
34
35
35
36
38
39
41
43
45
45
45
45
45
49
54
55
56
63
DAFTAR LAMPIRAN
1. Luas Lahan Industri Tahun 1998 dan Tahun 2012
2. Jarak Lokasi Industri dari Pusat Kota Jakarta
3. Perhitungan Analisis Korelasi antara Perubahan Lahan Non Industri ke Industri
dengan Perubahan PDRB Industri
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukkan PDRB Sektor Industri
5. Analisis per Kecamatan di Jabodetabek
6. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan Industri di Jabodetabek
7. Rencana Tata Ruang Jabodetabek (Perpres No.54 Tahun 2008)
8. Kebijakan Sektor Industri Menurut RTRW Kabupaten/ Kota di Jabodetabek
71
73
75
76
77
80
83
85
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana pada pasal 4
menyatakan tentang penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang
bersandingan. memberikan pengaruh yang sangat besar bagi desentralisasi daerah.
Tiap-tiap daerah mempunyai potensi sumber daya alam yang berbeda-beda.
Potensi tersebut agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
penduduk di wilayah tersebut, sehingga dapat dihindari adanya ketimpangan
wilayah. Penerapan UU diatas dipandang sebagai bagian dari upaya untuk
mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan antar wilayah.
Ketimpangan tersebut dapat dicegah dengan adanya pemerataan
pembangunan sebagai bagian dari upaya pengembangan wilayah. Pengembangan
wilayah mempunyai target untuk pembangunan jangka panjang, yaitu
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan yang dilaksanakan melalui
pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki secara optimal agar harmonis,
selaras dan terpadu melaui pendekatan yang bersifat komprehensif (Djakapermana
2010).
Sektor industri adalah salah satu sektor yang berperan penting dalam
pengembangan wilayah. Agar pengembangan wilayah dapat berjalan dengan
sebagimana mestinya, maka diperlukan perwujudan sarana-sarana pembangunan
khususnya yang menyangkut pemerataan dan pengembangan lapangan kerja, agar
tujuan pengembangan wilayah dapat tercapai, maka pembangunan industri yang
mamanfaatkan kekayaan sumberdaya alam yang terdapat di daerah perlu
digalakkan yang berarti bahwa industri tersebut pada umumnya berada di lokasi
sumber daya alam tersebut. juga sedekat mungkin dengan sumber daya energi
(Balitbang Industri Hasil Pertanian 1985).
Dalam tahap operasinya industri-industri tersebut perlu didukung berbagai
sarana dan prasarana, seperti jalan, air bersih, listrik, pelabuhan dan permukiman.
Keseluruhan proses industri ini dapat mendorong berdirinya beragam industri hilir
dan beragam kegiatan ekonomi lainnya (Balitbang Industri Hasil Pertanian 1985).
Di Indonesia pengembangan kawasan industri pada awal Tahun 1970 oleh
BUMN sebagai reaksi terhadap meningkatnya penanaman modal di bidang
perindustrian. Untuk mendorong pembangunan industri dilakukan pembangunan
kawasan industri, hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun
2009 tentang kawasan industri. Seiring dengan meningkatnya perkembangan
investasi, kemudian swasta dilibatkan melalui Keppres No 53 Tahun 1989. Swasta
dalam ini bisa domestik atau asing tanpa partispasi dari BUMN, maka munculah
kawasan-kawasan industri baru seperti beberapa tempat di Jabodetabek (Kwanda
2000).
Perkembangan perkotaan di Indonesia beserta masalah yang ditimbulkannya
semakin bertambah, terutama dengan semakin meningkatnya penduduk perkotaan
serta investasi yang tetap mengarah ke kota-kota besar atau metropolitan tersebut.
Akibatnya mulai tumbuh daerah-daerah baru di pinggiran kota induk untuk
menampung pertumbuhan kegiatan di kota induk tersebut,diantaranya dengan
membangun daerah-daerah permukiman dan daerah industri. Hal ini terjadi karena
2
adanya keterbatasan dalam penyediaan lahan dengan skala besar, terutama untuk
kegiatan industri serta keterbatasan daya dukung lingkungan. Sebagai contoh
adalah Kota Jakarta yang mengalami pertumbuhan sangat pesat, sehingga
mengakibatkan sulitnya mencari lahan bagi pengembangan kegiatan maupun
untuk penyediaan sarana dan prasarana. Akibatnya banyak kegiatan, diantaranya
kegiatan industri dan permukiman yang diarahkan ke daerah pinggiran atau ke
kota-kota di sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi yang
tujuannya untuk mengurangi beban kota Jakarta. Hal ini menimbulkan zona
industri yang sudah ada sejak Tahun 1970 di Jabodetabek mengalami
perkembangan pesat (Tjahjati 1995).
Ekonomi di kawasan Jabodetabek yaitu sektor industri, jasa dan
perdagangan akan tetap berkembang di pusat kawasan, yaitu DKI Jakarta, namun
kehidupan ekonomi perkotaannya mulai menyebar di Bodetabek diwarnai oleh
berkembang dan tumbuhnya sektor jasa, jasa angkutan, perdagangan grosir dan
eceran, keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan, pengetahuan dan
perkembangan teknologi sampai pada pelayanan teknologi informasi (Direktorat
Jenderal Penataan Ruang 2008).
Sehubungan dengan itu. semua bentuk kegiatan ekonomi di kawasan
Jabodetabek harus mampu memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat
dan memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi masyarakatnya dari
kegiatan yang sifatnya padat karya sampai padat modal, dari upah yang sifatnya
balas jasa terhadap modal hingga upah tenaga kerja dari yang profesional sampai
yang kasar, dari tenaga kerja lepas sampai pada yang sifatnya kontrak dan pekerja
tetap (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2008).
Peranan kawasan industri di kawasan Jabodetabek dalam perekonomian
nasional untuk beberapa tahun ke depan dinilai masih akan tetap tinggi. Sektor
industri pengolahan dan sektor jasa, yang secara nasional meningkat pangsanya
dari 23.8 % menjadi 26.8 % akan meningkatkan pula pertumbuhan sektor-sektor
tersebut di Jabodetabek.
Namun keberadaan beberapa kawasan industri tersebut diatas tidak
semuanya menyerap jumlah angkatan kerja karena kerterbatasan dan penambahan
jumlah kesempatan kerja akibat keterbatasan peningkatan jumlah investasi.
Akibatnya menimbulkan rawan pengangguran dan tenaga yang tidak terserap di
sektor tersebut bekerja di sektor informal.
Dari data BPS (2012), disebutkan bahwa meskipun tenaga kerja yang
terserap oleh sektor industri di Jabodetabek sebesar 88.95% namun tingkat
penganggurannya tergolong masih tinggi juga yaitu sebesar 75.88%.
Selain lembaga ekonomi formal Kawasan Jabodetabek juga memberi ruang
gerak bagi sektor ekonomi informal. Hubungan yang saling menguntungkan antar
kedua sektor ekonomi tersebut menciptakan kehidupan di Kawasan Jabodetabek
terus berjalan. Namun adakalanya hubungan tersebut memicu konflik dan
tindakan yang tidak selalu adil bagi yang tergolong lemah. Golongan ekonomi
kuat memiliki ruang gerak yang leluasa dan memungkinkan terjadinya akumulasi
sumber daya tanpa tersentuh oleh kebijakan yang dapat mendistribusikannya
secara adil dan merata. Sebaliknya golongan ekonomi lemah lebih sering menjadi
korban penggusuran secara paksa tanpa adanya kebijakan memberi ruang yang
memadai bagi mereka (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2008).
Perkembangan perekonomian Jabodetabek yang pesat akan mempengaruhi
perubahan tata guna lahan dimana lahan pertanian berubah menjadi lahan
3
perumahan dan industri. Di Kabupaten Bekasi tercatat rata-rata lahan pertanian
menyusut 608.79 ha/ tahun, dengan laju penurunan 0.83 % per tahun berubah
menjadi perumahan, bisnis dan industri (Anjani 2010). Lahan pertanian di Depok
setiap tahunnya berkurang 208.98 ha, dengan laju penurunan 6.70% per tahun
(Mukhoriyah 2012). Di wilayah Tangerang, sekitar 467.76 ha lahan pertanian dan
rawa setiap tahunnya beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan industri,
dengan laju penurunan 4.54 % per tahun (Kantor Wilayah BPN Provinsi Banten
2009). Lahan pertanian di Kabupaten Bogor menyusut 845 ha per tahun dengan
laju penurunan 0.85 % per tahun (Sariasih 2010) menjadi permukiman, bisnis dan
industri.
Dengan meningkatnya pertumbuhan daerah-daerah industry, membuka
peluang kerja di sektor industri dan sektor lain yang tumbuh sebagai ikutan.
Akibatnya daerah tersebut dipadati oleh pendatang selain pekerja di sektor industri
itu sendiri, yang memerlukan tempat tinggal.
Paradigma baru pembangunan menurut Rustiadi et al. (2011), harus
diarahkan pada terjadinya (a) pemerataan (equity), (b) pertumbuhan (eficiency)
dan keberlanjutan (suistainability) yang berimbang dalam pembangunan ekonomi.
Paradigma baru pembangunan ini mengacu kepada dalil fundamental ekonomi
kesejahteraan. Penelitian ini mencoba melihat faktor yang mempengaruhi PDRB
sektor industri di wilayah Jabodetabek.
Perumusan Masalah
Kota Jakarta menarik bagi lokasi industri. Oleh karena itu di kota ini mudah
terjadi gejala aglomerasi. Dengan aglomerasi akan terjadi penghematan
aglomerasi, yaitu penghematan ekstern (external economies). Penghematan ini
terjadi karena faktor-faktor luar dan dinikmati oleh semua industri yang ada di
Kota Jakarta tersebut (Djojodipuro 1992).
Pada waktu Kota Jakarta tidak lagi dapat menampung industri baru, karena
ketiadaan lahan yang dapat digunakan maka terjadilah deglomerasi, yaitu kegiatan
–kegiatan industri dialihkan ke daerah pinggiran kota yaitu wilayah Bodetabek
(Suparlan 1996). Banyak pertimbangan yang menyebabkan daerah di Bodetabek
menarik bagi pengembangan lokasi industri. Industri modern saat ini memerlukan
lahan yang luas selain untuk proses produksi tetapi juga untuk kegiatan lainnya
seperti pergudangan dan parkir. Dengan demikian, maka lahan yang diperlukan
semakin banyak. Sebaliknya, alternatif penggunaan tanah di Kota Jakarta yang
makin banyak untuk permukiman, bisnis, perkantoran, rekreasi dan kegiatan
perkotaan lainnya mendorong harga tanah makin tinggi. Gejala inilah yang
mendorong lokasi industri ke pinggiran kota yang harganya relatif masih rendah
(Djojodipuro 1992). Selain hal tersebut di atas, hal yang memicu deglomerasi
adalah sarana dan prasarana di daerah lain semakin berkembang menjadi baik,
namun upah buruhnya masih tergolong rendah.
Tumbuhnya kegiatan industri menimbulkan munculnya kawasan industri
atau zona industri. Pertumbuhan sektor industri di suatu wilayah tidak terlepas
dari dari peran daerah belakangnya (hinterland).
Namun dengan hal tersebut di atas menimbulkan adanya pergeseran fungsi
kota inti (core), dalam hal ini DKI Jakarta dari pusat manufaktur menjadi kegiatan
jasa-jasa, termasuk keuangan (finance), sementara itu kegiatan manufaktur
4
bergeser ke arah pinggiran kota (Firman 1996). Secara fisik proses restrukturisasi
di tandai dengan perubahan penggunaan tanah (land use) baik di kota inti (core)
maupun di pinggiran. Kawasan pusat kota mengalami perubahan penggunaan
lahan yang sangat intensif dari kawasan tempat tinggal menjadi kawasan bisnis,
perkantoran, perhotelan dan sebagainya. Di lain pihak, di kawasan pinggir kota
terjadi alih fungsi (konversi) pengunaan lahan secara besar-besaran dari tanah
pertanian subur ke kawasan industri dan permukiman berskala besar (Firman.
1996).
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana sebaran lahan industri pada periode waktu Tahun 1998 dan 2012?
b. Mengapa sebaran industri menyebar tidak teratur?
c. Faktor-faktor apa saja yang signifikan berpengaruh terhadap PDRB sektor
industri
d. Bagaimana arahan pengembangan industri di Jabodetabek
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perubahan sebaran lahan industri dan kaitannya dengan PDRB
sektor industri.
2. Menganalisis faktor internal yang mempengaruhi PDRB sektor industri di
Jabodetabek
3. Menganalisis pemusatan dan pertumbuhan sektor industri di Jabodetabek.
4. Menyusun arahan pengembangan industri di Jabodetabek
Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
- Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota
Dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai input bagi pengembangan
wilayah sektor industri Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten.
Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota untuk
perumusan kebijakan.
- Bagi Keilmuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu
pengembangan wilayah dan kota.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini didasarkan dari pengembangan industri pada awal tahun 1970
an di Jabodetabek. Menurut Kwanda (2000) tahun 1973 pemerintah mulai
membangun kawasan industri yang pertama di JIEP (Jakarta Industrial Estate
Pulo Gadung). Pada saat itu Jakarta menjadi pusat pertumbuhan nasional dengan
jumlah penduduk mencapai dua kali lipat dari 2.9 juta jiwa pada tahun 1961
menjadi 4.6 juta jiwa pada tahun 1971 dengan laju pertumbuhan 5.8 % per tahun.
5
Dengan adanya industrialisasi di Jakarta, tingkat urbanisasi meningkat melebihi
batas-batas administratif hingga ke kabupaten-kabupaten di sekitarnya di wilayah
Jabodetabek (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2008).
Peningkatan penduduk di Jabodetabek pada saat itu mengakibatkan
peningkatan fasilitas-fasiltas yang melayani penduduk tersebut seperti perumahan,
perdagangan dan jasa, jaringan jalan dan lainnya yang berada di sekitar industri.
Selain itu, karena kejenuhan aktivitas perkotaan di kota Jakarta mendorong
menyebarnya industri di pinggiran kota wilayah Jabodetabek, hal ini
menimbulkan banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi industri, hal ini
terjadi sebagai akibat dinamika pertumbuhan Kota Jakarta yang pesat. Dimana
kebutuhan ruang bagi industri harus dialokasikan.
Munculnya Peraturan Pemerintah tentang kawasan industri dan Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum yang disusun akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
industri menyebar tidak teratur bahkan ada yang berlokasi di pusat kota. Dan juga
terdapat intervensi pertumbuhan industri ke pinggiran kota.
Atas hal tersebut perlunya arahan pengembangan kawasan industri agar
dapat bersinergi dengan rencana tata ruang.
Hasil analisis di atas kemudian dapat digunakan sebagai rekomendasi
sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan untuk perencanaan dan
pengembangan wilayah di Jabodetabek. Secara lebih jelas kerangka pemikiran
diatas dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada saat itu Jakarta sebagai
pusat pertumbuhan nasional
Industri berkembang tahun 1970 an di Jakarta
- Peningkatan jumlah penduduk di Jakarta
- Urbanisasi meningkat hingga ke wilayah
Jabodetabek
Peraturan
Pemerintah
No.24/2009
tentang
Kawasan Industri
Kota Jakarta sudah tidak
dapat lagi menampung
industri baru
Industri berkembang di Jabodetabek
- Aglomerasi Industri di kota Jakarta
- Sebaran industri sudah tidak sesuai dengan
Peraturan Menteri PU No.41/PRT/M/2007
tentang Pedoman Kawasan Industri. dimana
pembangunan kawasan industri minimal berjarak
2 km dari permukiman
- Perubahan penggunaan lahan industri
- Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB sektor Industri
- Pertumbuhan sektor industri
Sebaran Lokasi Industri perlu sinergi dengan Rencana Tata Ruang
Arahan Pengembangan Industri di Jabodetabek
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengembangan Wilayah
Prodhomme (1985) menyatakan definisi pengembangan wilayah adalah
pengembangan wilayah merupakan program yang menyeluruh dan terpadu dari
semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan
kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah. Pengembangan wilayah
merupakan keterpaduan secara harmonis antara sumberdaya alam, sumberdaya
manusia dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan,
Ditinjau dari berbagai segi, baik dari segi social, ekonomi maupun fisik yang
bertujuan untuk penciptaan keseimbangan hubungan antara manusia dengan
alamnya.
Konsep pengembangan wilayah bertujuan untuk:
a) Mewujudkan keseimbangan antar daerah dalam hal tingkat
pertumbuhannya.
Keseimbangan antar daerah memungkinkan berlangsungnya
perdagangan antar daerah yang efisien. Perdagangan yang efisien
mendorong semakin intensifnya perdangangan yang intensif dan
merangsang timbulnya “spesifikasi dan spesialisasi” yang berarti
merangsang daerah untuk berkembang
b) Memperkokoh kesatuan ekonomi nasional
Spesialisasi daerah membuat perdagangan antar daerah semakin
intensif, yang berarti semakin tingginya tingkat ketergantungan ekonomis
antar daerah. Tingkat ketergantungan ekonomi antar daerah merupakan
suatu ukuran efektif bagi kesatuan ekonomi nasional.
c) Memelihara efisiensi pertumbuhan nasional
Sebagai upaya mewujudkan pengembangan wilayah. maka seperti yang
dikemukakan oleh Djakapermana (2010), pengembangan wilayah bertujuan agar
wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan.
Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya
yang dimiliknya secara harmonis. serasi dan terpadu melalui pendekatan yang
bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, sosial, budaya dan lingkungan hidup
untuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini juga sering disebut juga
pembangunan berkelanjutan dengan basis pendekatan penataan ruang wilayah.
Tujuan penataan ruang antara lain adalah tercapainya pemanfaatan ruang
yang berkualitas untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera.
mewujudkan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien dan
efektif bagi manusia. dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah
kerusakan lingkungan. Untuk mewujudkan hasil yang optimal dalam
pengembangan wilayah diperlukan penataan ruang, yaitu proses yang dimulai dari
penyusunan rencana tata ruang, dengan mengalokasikan rencana ruang
sumberdaya alam dan buatan secara optimal, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang (Djakapermana 2010).
Ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan serta kegiatan pengolahan
hasil ekstrasi tersebut akan berinteraksi dengan penduduk setempat, permukiman,
7
atau dengan lokasi-lokasi pasar (outlet- kota/ pelabuhan). Interaksi yang aman,
nyaman, murah dan lancer, tidak mengganggu lingkungan alam. Dalam kaitannya
ini sumberdaya memerlukan sarana prasarana transportasi untuk memasarkan
sumberdaya (Djakapermana 2010).
Pengembangan wilayah menurut Zen (1999), adalah membicarakan
mengenai memberdayakan masyarakat setempat, terutama dalam memanfaatkan
sumberdaya alam dan lingkungan setempat dengan means yang mereka miliki
atau kuasai, yaitu teknologi. Jadi pengembangan wilayah itu tidak lain dari usaha
menggabungkan secara harmonis sumberdaya alam, manusianya dan teknologi
dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri. Kesemuanya itu
disebut memberdayakan masyarakat.
Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), penggunaan tanah (lahan)
adalah wujud kegiatan atau usaha memanfaatkan lahan untuk memenuhi
kebutuhan tertentu. Penggunaan lahan (land use) diartikan setiap bentuk intervensi
(campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan
ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan
lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian, dibedakan seperti penggunaan
lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, dan sebagainya.
(Arsyad 1989)
Penggunaan lahan dalam wilayah yang lebih luas, terdiri atas penggunaan
wilayah pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan. Namun karena wilayah
merupakan kesatuan, maka antara penggunaan lahan di wilayah pedesaan dan di
kota terdapat hubungan yang saling berkaitan. Dalam hal itu. penggunaan lahan
untuk jalan dan rel kereta api, serta penggunaan sungai untuk lalu lintas yang
menghubungkan wilayah pedesaan dengan kota, merupakan hal yang penting.
Wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan dihubungkan dengan macam-macam
jaringan dan lokasi macam-macam prasarana. Wilayah pedesaan dan wilayah
perkotaan sebaiknya dalam keadaan selaras, namun yang terjadi di negara
berkembang, kota keadaannya lebih makmur dibanding di pedesaan (Jayadinata
1986).
Menurut Nehru dalam Jayadinata (1986), perbedaan kemakmuran antara
kota dan desa harus dihindari dengan membuat pengaturan sehingga jika dibiarkan
maka kekayaan akan jatuh pada orang kaya. Antara wilayah pedesaan dan wilayah
perkotaan terdapat interaksi social, ekonomi, dan politik, dengan bantuan jaringan
dan lokasi prasarana itu.
Migrasi ke kota merupakan masalah bagi kota. Salah satu faktor adalah
memecahkan masalah migrasi dari desa ke kota dengan pengembangan desa
secara bertahap. Karena wilayah pedesaan menjual hasil pertaniannya ke kota dan
kota memberikan pelayanan serta menjual hasil industrinya ke wilayah pedesaan,
maka penggunaan wilayah pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan merupakan
kesatuan kegiatan yang saling mengisi (Jayadinata 1986).
Menurut Malingreau (1979) dalam Malingreau dan Rosalia (1981),
penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara permanen atau
periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan, baik
10
Menurut Wijaya dalam Weni 2010, perubahan penggunaan lahan diartikan
sebagai perubahan suatu jenis penggunaan ke penggunaan lahan lainnya.
Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yaitu kenampakan
penggunaan lahan berubah pada kurun waktu tertentu. Perubahan penggunaan
lahan dapat terjadi secara sistemik dan non sistemik. Perubahan penggunaan lahan
sistemik terjadi dengan ditandai oleh phenomena yang berulang, yaitu tipe
penggunaan lahan pada lokasi yang sama. Phemomena yang ada dapat dipetakan
berdasarkan seri waktu. Perubahan non sistemik terjadi karena kenampakan
perubahan luas, yang berkurang, bertambah atau tetap (Murcharke 1990).
Di daerah perkotaan perubahan penggunaan lahan cenderung berubah dari
jenis penggunaan lahan pertanian ke non pertanian. dalam rangka memenuhi
kebutuhan sektor jasa dan komersial. Menurut Cullingswoth (1997) dalam
Supardi (2008), perubahan penggunaan yang cepat di perkotaan dipengaruhi oleh
empat factor, yakni: (1) adanya konsentrasi penduduk dengan segala aktivitasnya;
(2) aksesibilitas terhadap pusat kegiatan dan pusat kota; (3) jaringan jalan dan
sarana transportasi dan; (4) orbitasi. yakni jarak yang menghubungkan suatu
wilayah dengan pusat-pusat pelayanan yang lebih tinggi.
Di dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas
dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan nilai land rent
yang lebih tinggi. Sedangkan land rent diartikan sebagai nilai keuntungan bersih
dari aktivitas pemanfaatan lahan per satuan luas lahan dan waktu tertentu
(Rustiadi et al. 2011).
Teori Lokasi Industri
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap lokasi Industri
Persoalan lokasi industri merupakan bagian dari aktivitas ekonomi.
Aktivitas ekonomi untuk industri biasanya berlokasi di kota-kota. Karena kota
memiliki daya tarik bagi kegiatan ekonomi. Dengan demikian dalam kondisi yang
demikian akan muncul kota-kota besar dengan segala macam variasi kegiatan
ekonominya. seperti industri, jasa, perdagangan dan lainnya (Gunawan 1981).
Setiap orang menuju ke kota terutama tertarik oleh alasan ekonomis untuk
memenuhi kebutuhan sosio kultural. Demikian juga halnya dengan penempatan
kegiatan industri. berusaha mencari tempat yang dapat memberikan keuntungan
ekonomis yang sebesar-besarnya (Gunawan 1981). Hal tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan biaya-biaya produksi serta distribusi yang dapat
diperhitungkan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.
Berkenaan dengan studi mengenai lokasi industri. Weber (1909) dalam
Gunawan (1981) melihat faktor-faktor ekonomi dan lokasi yang berpengaruh
terhadap lokasi industri. yaitu:
1. Tempat bahan baku diketahui, hanya pada tempat-tempat tertentu saja;
2. Tempat konsumsi deketahui, tiap produksi mempunyai pasaran yang “tak
terbatas”
3. Terdapat beberapa lokasi tenaga kerja, mobilitas tenaga kerja belum
dipertimbangkan, penawaran tenaga kerja tak terbatas pada tingkat upah
tertentu.
11
Menurut Gunawan (1981) dalam suatu proses produksi. terdapat beberapa
faktor yang akan merupakan bagian dari biaya produksi. Faktor-faktor tersebut
adalah
1. Harga tanah dimana kegiatan tersebut berlangsung;
2. Harga bahan-bahan mentah yang akan dipergunakan dalam proses produksi;
3. Ongkos tenaga kerja yang dipakai;
4. Ongkos pengangkutan faktor-faktor produksi (material) maupun untuk
distribusi produksi (ke konsumen)
5. Tingkat bunga dan keuntungan dan depresiasi serta pengeluaran-pengeluaran
umum lainnya
Pendekatan Lokasi Industri
Weber (1909) dalam Gunawan (1981) mengatakan terdapat beberapa
pendekatan mengenai lokasi industri, yang akan diuraikan dibawah ini. yaitu:
1. Ongkos transport
2. Tenaga kerja
Ongkos transport yang dicakup disini adalah ongkos pengangkutan
hasil/produk dari tempat produksi ke tempat konsumsi. Ongkos transport selain
tergantung kepada berat yang diangkut dan jarak yang ditempuh juga bergantung
pada: 1) tipe sistem transport yang dipakai, 2) keadaan daerah dan keadaan
jaringan jalan, 3) macam barang yang diangkut. Dalam pendekatan teori ini
diasumsikan bahwa satuan ongkos transport adalah homogen. Penetuan lokasi
yang mempunyai ongkos transport yang minimum dapat dihitung secara
matematis apabila diketahui lokasi pemasaran, tempat material dan jumlah yang
dipakai untuk produksi. Sehubungan dengan pemakaian bahan baku/ material dan
pengaruhnya terhadap ongkos transport, maka jenis bahan baku/ material dapat
dibedakan menurut distribusinya, yaitu: 1) ubiquites yaitu bahan baku yang
terdapat di seluruh daerah dan 2) localized material yaitu material/ bahan baku
yang hanya terdapat ditempat-tempat tertentu di daerah tersebut. Dari segi sifatnya
selama proses produksi dapat dibedakan atas:1) pure material, yaitu yang
beratnya selama proses produksi tetap, 2) weight loosing material yaitu yang
beratnya selama proses produksi berkurang.
Selain ongkos transport, faktor utama yang berpengaruh adalah tenaga kerja.
Dengan ongkos tenaga kerja dipakai, diasumsikan adanya penawaran tenaga kerja
dalam jumlah yang tak terbatas dan tingkat upah tertentu. Ciri-ciri umum yang
berpengaruh terhadap bekerjanya faktor tenaga kerja adalah berat lokasional dan
indeks ongkos tenaga kerja (index of labor cost) yaitu besar kecilnya ongkos
tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 unit produk. Adapun kondisikondisi lingkungan yang menentukan orientasi tenaga kerja adalah: 1) posisi
geografis daripada faktor-faktor produksi (bahan baku. tempat pemasaran dan
tenaga kerja), 2) tingkat satuan ongkos pengangkutan, 3) penghematan yang dapat
dilakukan atas tenaga kerja.
12
Keputusan Lokasi Industri
Dalam menentukan lokasi industri berdasarkan pertimbangan ongkos
transport, jenis material yang perlu ditinjau adalah “localized material” karena
adanya hanya pada tempat-tempat tertentu saja, maka perlu mengangkut ke
tempat-tempat produksi (lokasi yang dicari) yang mana diperlukan sejumlah
ongkos transport (Gunawan 1981).
Selain daripada kedua faktor (ongkos transport dan tenaga kerja) yang telah
dijelaskan diatas sebagai faktor regional yang harus dipertimbangkan, juga ada
faktor aglomerasi dan deglomerasi (Gunawan 1981).
Menurut Gunawan 1981, faktor aglomerasi adalah suatu keuntungan atau
penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh karena
kegiatan-kegiatan produksi dilakukan di satu tampat (ada konsentrasi kegiatan).
Aglomerasi dapat berupa:
- perluasan skala kegiatan
- kumpulan kegiatan-kegiatan sejenis atau yang berkaitan keuntungankeuntungan karena faktor aglomerasi ini disebabkan antara lain:
a. economies of scale: penghematan karena skala produksi yang membesar;
b. pemakaian peralatan-peralatan teknis secara bersama memungkinkan
pemasaran yang lebih luas;
c. penghematan dalam “general overhead cost” dan organisasi buruh yang
lebih baik
Faktor deglomerasi adalah sebaliknya dari aglomerasi, yaitu keuntungan
apabila kegiatan-kegiatan tidak terkonsentrasi letaknya, tapi terjadi dispersi.
Faktor deglomerasi disebabkan misalnya kenaikan nilai tanah karena konsentrasi
kegiatan-kegiatan sehingga mendorong industri-industri untuk menyebar
(Gunawan 1981).
14
Metode Analisis
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Analisis spasial
dengan SIG, (2) Analisis Korelasi, (3) Location Quotient (4) Shift Share Analysis.
Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
Penggunaan
Lahan Industri 1998
Analisis Perubahan
Penggunaan Lahan
Penggunaan
Lahan Industri 2012
Analisis Perubahan
Penggunaan Lahan
Industri
Analisis Faktor Yang berpengaruh
Terhadap PDRB sektor industri
Kaitannya dengan
perubahan PDRB
Ketersediaan Lahan
- Perpres No.54/ 2008
Jabodetabek
- RTRW Kabupaten/ Kota
Analisis Pertumbuhan industri
Sintesis Analisis
PODES
(Jabodetabek
2011)
Arahan Pengembangan Industri
Gambar 6 Kerangka pendekatan studi
Analisis SIG untuk melihat perubahan penggunaan lahan industri
Untuk menganalisa perubahan penggunaan lahan industri. diperlukan peta
penggunaan lahan dengan kurun waktu yang berbeda. Dalam penelitian ini
dilakukan tahapan analisa terhadap peta penggunaan lahan Tahun 1998 dan 2012
untuk melihat arah kecenderungan perkembangan sektor industri tersebut.
Tahapan tersebut adalah:
1. Pengolahan data untuk mendapatkan informasi digital yang berasal dari
peta-peta tematik dilakukan melaui proses geoprocessing sehingga
diperoleh basis data digital yang dapat dipergunakan untuk tahapan
analisis berikutnya.
2. Pengolahan data untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan dengan
melakukan proses overlay (tumpang tindih) antara peta penggunaan lahan
Tahun 1998 dan Tahun 2012.
15
3. Analisis spasial perubahan penggunaan lahan industri dilakukan dengan
analisis overlay dan juga dari data tabulasi.
4. Analisa arah kecenderungan perkembangan industri dilakukan dengan
analisa deskriptif.
Hubugan antara perubahan penggunaan lahan industri dengan perubahan
PDRB sektor industri
Menurut Sudjana (1989), menyatakan analisis korelasi adalah metode
statistik yang digunakan untuk mengetahui derajat hubungan linear antara dua
variabel atau lebih yang bersifat kuantitatif. Bahwa adanya perubahan sebuah
variabel disebabkan atau akan diikuti oleh perubahan variabel lain. koefisien
perubahannya dinyatakan dalam koefisien korelasi, dimana semakin besar
koefisien korelasi maka akan semakin besar keterkaitan perubahan suatu variabel
dengan variabel yang lain. Suatu variabel dikatakan saling berkorelasi jika
perubahan suatu variabel diikuti dengan perubahan variabel yang lain.
Dalam regresi linear derajat hubungan dinyatakan dalam r dan biasa disebut
koefisien korelasi. Nilai korelasi berkisar antara -1 dan 1. Apabila r = -1 artinya
korelasi negatif sempurna. r = 0 artinya tidak ada korelasi dan r = 1 artinya
korelasinya sangat kuat Sudjana (1989).
r2 =
rxy
Σ (Yi - Y)2 - Σ (Yi - Ŷi)2
Σ (Yi - Y)2
n X
n X i Yi ( X i )( Yi )
2
i
( X i ) 2
n Y
r2 = koefisien determinasi
r = koefisien korelasi
Y i = variabel tak bebas
2
i
( Yi ) 2
X i = variabel bebas
n = jumlah data
Ŷi = persamaan regresi Y atas X
Y = rata-rata variabel Y
Adapun interpretasi dari besarnya nilai korelasi sampel antara variabel dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
Tabel 1 Interpretasi Koefisien Korelasi
Nilai Korelasi Sampel (r)
0.00 – 0.09
0.10 – 0.29
0.30 – 0.49
0.50 – 0.70
> 0.70
Interpretasi
Hubungan korelasi sangat rendah
Hubungan korelasi rendah
Hubungan korelasi cukup kuat
Hubungan korelasi kuat
Hubungan korelasi sangat kuat
Sumber: Statsdata.dijabarkan oleh Yamin dan Kurniawan (2009)
Analisis Pemusatan dan Pertumbuhan Industri
Analisis pemusatan industri dan pertumbuhan industri dilakukan dengan
metoda LQ dan Shift Share Analysis. Dari kedua metoda ini didapat wilayah yang
16
mempunyai LQ >1, dan nilai SSAnya positif untuk sektor industri, yang berarti
sektor industrinya mengalami pertumbuhan.
Location Quotient (LQ)
Metode ini digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan (basis)
aktifitas terutama pada wilayah yang penggunaan lahannya berubah dari
penggunaan lahan non industri ke penggunaan lahan industri. LQ dapat
didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i
terhadap persentase aktifitas total wilayah (Panuju dan Rustiadi 2012) .
Persamaan indeks LQ adalah:
LQ
IJ
X /X
X /X
IJ
I.
.J
..
Dimana: LQIJ = indeks pemusatan aktivitas ke-j di wilayah ke-i
XIJ
= nilai aktivitas ke j pada unit wilayah ke-i
XI.
= jumlah seluruh aktivitas di unit wilayah ke-i
X.J
= jumlah aktivitas ke j di seluruh unit wilayah
X..
= besaran aktivitas total di seluruh unit wilayah
Penafsiran hasil analisis LQ, menurut ketentuan adalah sebagai berikut
(Panuju dan Rustiadi 2012):
1. Jika nilai LQI. > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu
aktivitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah
atau terjadi pemusatan aktivitas di sub wilayah ke-i.
2. Jika nilai LQI. =1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa aktivitas
setara dengan pangsa total.
3. Jika nilai LQI. < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif
lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas yang secara umum ditemukan di
seluruh wilayah.
Shift Share Analysis
Shift share analysis digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik tingkat
perkembangan dan pertumbuhan aktivitas di suatu wilayah maupun antar wilayah
dalam suatu kurun waktu tertentu. Dari hasil analisis ini akan dapat diketahui
bagaimana perkembangan suatu sektor di suatu wilayah apabila dibandingkan
dengan perkembangan sektor sejenis maupun sektor lainnya di wilayah lain
maupun di keseluruhan wilayah, apakah cenderung pesat ataukan lebih lambat
(Panuju dan Rustiadi 2012).
Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas
di suatu sub wilayah dan membandingkan kinerjanya dengan pertumbuhan
wilayah. Analisis shift-share mampu memberikan gambaran sebab-sebab
terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang
dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) sebab yang berasal dari dinamika
lokal (sub wilayah), (2) sebab dari dinamika aktifitas/sektor (total wilayah) dan (3)
sebab dari dinamika wilayah secara umum (Panuju dan Rustiadi 2012).
Sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan di atas. dari hasil analisis shift
share diperoleh gambaran kinerja aktifitas di suatu wilayah. Gambaran kinerja ini
dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu: (Panuju dan Rustiadi 2012)
17
1. Komponen laju pertumbuhan total (komponen share). Komponen ini
menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang
menunjukkan dinamika total wilayah.
2. Komponen pergeseran proporsional (komponen proportional shift). Komponen
ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relative,
dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah.
Pergeseran proporsional menunjukkan dinamika sektor/aktifitas total dalam
wilayah.
3. Komponen pergeseran diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini
menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas
tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut secara
agregat.
Komponen
ini
menggambarkan
dinamika
(keunggulan/
ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap
aktifitas tersebut di sub wilayah lain.
Persamaan analisis shift-share ini adalah sebagai berikut : (Panuju dan
Rustiadi 2012)
SSA
1
(t 0)
X ..
X ..
( t1)
X.
X.
j ( t1)
j (t 0)
(t 0)
X ..
X ..
( t1)
X
X
ij ( t1)
ij ( t 0 )
j (t 0)
X.
X.
j ( t1)
Dimana: a = komponen regional share
b = komponen proportional shift
c = komponen differential shift. dan
X.. = Nilai total aktifitas wilayah secara agregat
X.i = Nilai total aktifitas tertentu di unit wilayah ke-i
Xij = Nilai di wilayah ke-i dan aktifitas ke-j
t1 = titik tahun akhir
t0 = titik tahun awal
Rencana metode penelitian dapat dilihat pada Tabel 2
Arahan Pengembangan Industri
Setelah dilakukan analisis-analisis di atas. maka dapat ditentukan prioritas
arahan pengembangan sektor industri. Prioritas diutamakan untuk kecamatankecamatan yang mempunyai nilai LQ > 1, nilai Shift Share Analysisnya positif,
terdapat lahan yang tersedia bagi pengembangan industri dan arahan pemanfaatan
ruang di RTR Jabodetabek konsisten dengan arahan RTRW kabupaten/ kota di
Jabodetabek. Prioritas berikutnya untuk kecamatan-kecamatan yang mempunyai
nilai LQ > 1, nilai Shift Share Analysisnya positif, terdapat lahan yang tersedia
bagi pengembangan industri dan arahan pemanfaatan ruang di RTR Jabodetabek
yang tidak konsisten dengan arahan RTRW kabupaten/ kota di Jabodetabek.
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
18
Tabel 2 Rencana Metode Penelitian
Tujuan
Sumber Data
Teknik
Analisis
Data
-Analisis
Overlay
-Analisis
Korelasi
-Analisis
kualitatif
-Analisis
deskriptif
Jenis data
Hasil
Yang
Diharapkan
-Peta penggunaan
lahan 1998 dan
peta penggunaan
lahan 2012
-Peta Pemanfaatan
Ruang Jabodetabek
- PDRB
Perubahan
Penggunaan
Lahan industri
kaitannya
dengan
perubahan
PDRB
Faktor-faktor
yang
memberikan
kontribusi
dalam
pembentukan
PDRB sektor
industri
Pertumbuhan
sektor industri
Menganalisis
perubahan
penggunaan
lahan ke lahan
industri
dikaitkan
dengan
perubahan
PDRB industri
Menganalisis
faktor-faktor
internal yang
berpengaruh
terhadap PDRB
sektor industri
Peta Penggunaan Lahan
dari BPN, BPS
PDRB Kab/ Kota di Analisis
Kawasan Jabodetabek, Biplot,
BPS
Analisis
Regresi
- PDRB
kabupaten/ kota
terpilih
Menganalisis
pertumbuhan
sektor industri
PDRB Kab/ Kota di Analisis LQ
Kawasan
dan
Shift
Jabodetabek,BPS
Share
-Pemusatan
Aktivitas
Sektor
Industri
-Keunggulan
kompetitif
Menyusun
arahan
pengembangan
industri
di
Jabodetabek
Hasil analisis tujuan Sintesis
1,2,3,
Podes,
Peta Analisis
Arahan
Pemanfaatan
Ruang Jabodetabek dan
Peta Rencana Pola
Ruang
RTRW
Kabupaten/ Kota
Arahan
pengembangan
industri
di
Jabodetabek
Tabel 3 Kriteria Arahan Prioritas Pengembangan Industri
Prioritas
LQ
1
2
3
≥1
≥1
≥1
Shift
Share
Analysis
positif
positif
positif
4
≥1
positif
Penyerapan
Tenaga Kerja
Ketersediaan
Lahan Industri
Pemanfaatan ruang di RTR
Jabodetabek dan RTRW
30 %
< 30 %
30%
Tersedia
Tersedia
Tersedia
< 30 %
Tersedia
Industri (konsisten)
Industri (konsisten)
Non
Industri
(tidak
konsisten)
Non
Industri
(tidak
konsisten)
Tabel 4 Kriteria Arahan Pengembangan Wilayah Lokasi Industri
Prioritas
1
2
3
4
Arahan Pengembangan Wilayah
Mempertahankan keberadaan lahan industri aktual dengan jenis industri padat
karya
Mempertahankan keberadaan lahan industri aktual dengan jenis industri diarahkan
padat karya
Relokasi industri, tidak melakukan penambahan lahan industri yang ada,
mempertahankan jenis industri padat karya
Relokasi industri, kegiatan industri dibatasi pada lahan eksisting yang konsisten
dengan RTRW, pelarangan penerbitan ijin baru bagi lokasi industri
19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan Lahan Aktual
Hampir di semua kabupaten/ kota terdapat lahan industri. Lahan industri
terbesar di Kabupaten Bekasi sebanyak 5808 ha (di Kecamatan Cibitung,
Cikarang, Tambun, Lemahabang), kemudian di Kabupaten Tangerang sebanyak
4808 ha, dan Kota Tangerang sebesar 3980 ha. Hal tersebut karena di Kabupaten
Bekasi, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang (sebelum pemekaran), telah
dialokasikan dalam rencana tata ruangnya, lahan untuk kawasan industri.
Penggunaan l
PENGEMBANGAN WILAYAH DI JABODETABEK
DEWI SETYOWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sebaran Lahan Industri
Dalam Pengembangan Wilayah di Jabodetabek adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian
Bogor.
Bogor, Juni 2015
Dewi Setyowati
NIM A156120081
RINGKASAN
DEWI SETYOWATI. Analisis Sebaran Lahan Industri Dalam Pengembangan Wilayah di
Jabodetabek. Di bawah bimbingan KHURSATUL MUNIBAH dan SETIA HADI.
Pengembangan kawasan industri di Jabodetabek berkembang pesat sejak awal 1970.
Perkembangan perkotaan yang pesat di Jabodetabek mengakibatkan munculnya daerahdaerah baru di pinggiran kota induk untuk menampung pertumbuhan kegiatan kota induk
tersebut, diantaranya dengan membangun daerah industri. Hal ini terjadi karena adanya
keterbatasan penyediaan lahan dalam skala besar terutama untuk kegiatan industri. Tujuan
penelitian ini adalah menganalisis perubahan penggunaan lahan ke lahan industri di
Jabodetabek dan kaitannya dengan PDRB sektor industri, menganalisis faktor yang
mempengaruhi PDRB sektor industri, menganalisis pemusatan dan pertumbuhan sektor
industri di Jabodetabek, menyusun arahan pengembangan industri di Jabodetabek.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perubahan penggunaan lahan non industri ke
industri Tahun 1998 sampai Tahun 2012 terbesar terdapat di Kabupaten Bekasi dengan
penambahan jenis penggunaan lahan permukiman, ruang terbuka dan persawahan. Terdapat
korelasi yang positif antara perubahan penggunaan lahan non industri ke industri dengan
perubahan PDRB industri di Jabodetabek. Terdapat beberapa variabel internal yang
berpengaruh terhadap pembentukan PDRB sektor industri, namun hanya variabel bahan baku
yang pengaruhnya kuat.Terdapat beberapa kecamatan potensial yang mempunyai nilai
Location Quotient (LQ) >1 dan Shift Share Analysis positif.
Untuk menentukan arahan pengembangan industri di Jabodetabek didasarkan pada
pertimbangkan nilai LQ dan SSA, penyerapan tenaga kerja, ketersediaan lahan, inkonsistensi
lahan industri dan arahan pola ruang dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupten/ Kota di
Jabodetabek. Hasilnya terdapat 4 (empat) prioritas lokasi pengembangan sektor industri yang
sebagian besar berada di daerah pinggiran Kota Jakarta.
Kata kunci: industri, Jabodetabek, pengembangan, wilayah
SUMMARY
DEWI SETYOWATI. Industrial Land Distribution Analysis in Regional Development of
Jabodetabek. Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and SETIA HADI.
The development of industrial zones in Jabodetabek area growing rapidly since the
early 1970s. Urban developments very fast in Greater Jakarta resulting in the appearance of
new areas in core city of the suburbs to accommodate growth activities core city the like
build industrial area. This is due to the limited supply of land on a large scale, especially for
industrial activities. The purpose of this research is analyzing changes in land use and
connection with industrial land to industrial gdp, analyzing the factors affecting the industrial
sector, analyzing the concentration and growth of the industrial sector in Greater Jakarta and
determining direction industrial sector development.
The results showed that the largest industrial area in the period 1998 and 2012 is in
Regency of Bekasi with the addition of the settlement, open space and rice fields.. Showed a
positive correlation where non-industrial land use change to the industry will be followed by
changes in industrial GDP. There are several internal variables that affect the formation of
industrial sector GDP, but only variable raw material strong influence. There are some
districts that have a potential value of Location Quotient (LQ)> 1 and Shift Share Analysis
positive.
The direction of development of the industrial sector on the basis of consideration of
the value of LQ and SSA, absorption of labor, availability of land, industrial land
inconsistencies and direction of spatial plans districts / cities in Greater Jakarta. The result is
there are four (4) priority development sites are mostly industrial sector is in a suburb of
Jakarta.
Keywords: development, industry, Jabodetabek, regional,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS SEBARAN LAHAN INDUSTRI DALAM
PENGEMBANGAN WILAYAH DI JABODETABEK
DEWI SETYOWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Santun RP Sitorus
333PRAKATA
Dengan mengucap Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga penelitian yang berjudul “Analisis Sebaran Industri dalam
Pengembangan Wilayah di Jabodetabek” dapat selesai dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih atas masukan dan arahan dari Dr.Dra. Khursatul
Munibah, MSc, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr.Ir. Setia Hadi MS selaku anggota
Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Santun RP Sitorus sebagai Penguji Luar Komisi, serta Dr.
Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc selaku Pimpinan Sidang Ujian Tesis. Tak lupa juga penulis
haturkan terima kasih kepada rekan-rekan kuliah PWL regular dan kelas khusus angkatan
2012 dan rekan-rekan lainnya yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang
memberi bantuan moril dan material kepada penulis dalam melakukan penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda tercinta, serta seluruh keluarga,
teman atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan masukan dari berbagai pihak demi kesempurnaan tesis ini.
Demikian penulis sampaikan, besar harapan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
banyak pihak yang berkepentingan.
Bogor, Juni 2015
Dewi Setyowati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Kerangka Pemikiran
1
1
3
4
4
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
6
Pengembangan Wilayah
Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan
Teori Lokasi Industri
6
7
10
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan
Alat
Metode analisis
13
13
13
13
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan Lahan Aktual
Analisis Perubahan Sebaran Lahan Industri 1998-2012 dan Kaitannya
dengan Perubahan PDRB Sektor Industri
Faktor Internal Yang Mempengaruhi PDRB Industri
Analisis Pemusatan dan Pertumbuhan Industri
Prioritas Pengembangan Wilayah Industri di Jabodetabek
Arahan Pengembangan Wilayah Lokasi Industri di Jabodetabek
19
19
20
38
47
48
58
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
GLOSARIUM
RIWAYAT HIDUP
64
64
64
65
69
70
88
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Interpretasi Koefisien Korelasi
Rencana Metode Penelitian
Kriteria Arahan Prioritas Pengembangan Industri
Kriteria Arahan Pengembangan Wilayah Lokasi Industri
Luas Lahan (ha) Menurut Jenis Penggunaan Lahan Tiap Kabupaten/ Kota
di Jabodetabek, Tahun 2012
6 Perubahan Penggunaan Lahan Non Industri Dan Industri
Tahun 1998-2012 di Jabodetabek
7 Variabel Internal yang Mempengaruhi Proses Pembentukkan PDRB
8 Nilai Bahan Baku (Rp) yang Digunakan dalam Kegiatan Industri
di Jabodetabek
9 Panjang Jalan di Jabodetabek Tahun 2012
10 Kecamatan-Kecamatan Potensial di Jabodetabek Berdasarkan Nilai
Shift Share Analysis (SSA) dan LQ (Location Quotient))
11 Jumlah Penduduk dan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri
di Kabupaten/ Kota Jabodetabek Tahun 2012
12 Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Menurut Kecamatan
di Jabodetabek
13 Inkonsistensi Lahan Industri di Jabodetabek
14 Ketersediaan Lahan Menurut Kecamatan Potensial (Nilai SSA positif
dan LQ >1) di Jabodetabek
15 Pemilihan Prioritas Lokasi Industri
16 Arahan Pengembangan Industri di Jabodetabek
15
18
18
18
21
27
42
44
46
48
50
52
53
57
58
61
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran
2. Teori Jalur Terpusat
3 Teori Sektor
4. Teori Pusat Lipat Ganda
5. Lokasi Penelitian
6. Kerangka Pendekatan Studi
7 Type Penggunaan Lahan di Jabodetabek
8 Sebaran Lahan Industri di Jabodetabek Tahun 2012
9 Penggunaan Lahan di Jabodetabek Tahun 2012
10. Sebaran Lahan Industri di Jabodetabek Tahun 1998
11. Sebaran Lahan Industri di Jabodetabek Tahun 2012
12. Luas Penggunaan Lahan Industri Tahun 1998 - 2012
13 Lahan industri di Jabodetabek
14. Penambahan Jenis Lahan Non Industri ke Industri di Jabodetabek
15. Perubahan Penggunaan Lahan Non Industri ke Industri Tahun 1998
sampai Tahun 2012 Pada Setiap Kabupaten/ Kota di Jabodetabek
16. Perubahan Penggunaan Lahan Non Industri menjadi Lahan Industri
17. Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Jakarta Tahun 1998
dan 2012
18 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Bogor Tahun 1998
dan 2012
19 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Tangerang
Tahun 1998 dan 2012
20 Perbandingan sebaran penggunaan lahan industri di Wilayah Bekasi
Tahun 1998 dan 2012
21. Kontribusi PDRB Industri Kabupaten/Kota di Jabodetabek Tahun 2012
22. Sebaran Jarak Industri di wilayah DKI Jakarta dari Pusat Kota Jakarta
23. Sebaran Jarak Industri di wilayah Bekasi dari Pusat Kota
24. Sebaran Jarak Industri di wilayah Bogor dari Pusat Kota
25. Sebaran Jarak Industri di wilayah Tangerang dari Pusat Kota
26. Peta Arah Kecenderungan Penyebaran Lahan Industri Jabodetabek
27. Grafik biplot faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Sektor Industri
28. Peta Sebaran Jenis Industri di Jabodetabek
29. Analisis Regresi Variabel Bahan Baku
30. Analisis Regresi Variabel Tenaga Kerja
31. Analisis Regresi Variabel Laju Pertumbuhan PDRB
32. Analisis Regresi Variabel Panjang Jalan
33. Analisis Regresi Variabel Penjualan/ Pengurangan Kendaraan
34. Kecamatan Potensial dengan Nilai LQ >1 dan SSA positif
35. Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Jabodetabek
36 Inkonsistensi Lahan Non Industri Menjadi Lahan Industri
di Jabodetabek
37 Peta Konsistensi Penggunaan Lahan Industri
38 Arahan Pengembangan Industri di Jabodetabek
5
8
9
9
13
14
19
20
22
23
24
25
26
27
27
29
30
31
32
33
34
35
35
36
38
39
41
43
45
45
45
45
45
49
54
55
56
63
DAFTAR LAMPIRAN
1. Luas Lahan Industri Tahun 1998 dan Tahun 2012
2. Jarak Lokasi Industri dari Pusat Kota Jakarta
3. Perhitungan Analisis Korelasi antara Perubahan Lahan Non Industri ke Industri
dengan Perubahan PDRB Industri
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukkan PDRB Sektor Industri
5. Analisis per Kecamatan di Jabodetabek
6. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan Industri di Jabodetabek
7. Rencana Tata Ruang Jabodetabek (Perpres No.54 Tahun 2008)
8. Kebijakan Sektor Industri Menurut RTRW Kabupaten/ Kota di Jabodetabek
71
73
75
76
77
80
83
85
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana pada pasal 4
menyatakan tentang penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang
bersandingan. memberikan pengaruh yang sangat besar bagi desentralisasi daerah.
Tiap-tiap daerah mempunyai potensi sumber daya alam yang berbeda-beda.
Potensi tersebut agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
penduduk di wilayah tersebut, sehingga dapat dihindari adanya ketimpangan
wilayah. Penerapan UU diatas dipandang sebagai bagian dari upaya untuk
mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan antar wilayah.
Ketimpangan tersebut dapat dicegah dengan adanya pemerataan
pembangunan sebagai bagian dari upaya pengembangan wilayah. Pengembangan
wilayah mempunyai target untuk pembangunan jangka panjang, yaitu
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan yang dilaksanakan melalui
pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki secara optimal agar harmonis,
selaras dan terpadu melaui pendekatan yang bersifat komprehensif (Djakapermana
2010).
Sektor industri adalah salah satu sektor yang berperan penting dalam
pengembangan wilayah. Agar pengembangan wilayah dapat berjalan dengan
sebagimana mestinya, maka diperlukan perwujudan sarana-sarana pembangunan
khususnya yang menyangkut pemerataan dan pengembangan lapangan kerja, agar
tujuan pengembangan wilayah dapat tercapai, maka pembangunan industri yang
mamanfaatkan kekayaan sumberdaya alam yang terdapat di daerah perlu
digalakkan yang berarti bahwa industri tersebut pada umumnya berada di lokasi
sumber daya alam tersebut. juga sedekat mungkin dengan sumber daya energi
(Balitbang Industri Hasil Pertanian 1985).
Dalam tahap operasinya industri-industri tersebut perlu didukung berbagai
sarana dan prasarana, seperti jalan, air bersih, listrik, pelabuhan dan permukiman.
Keseluruhan proses industri ini dapat mendorong berdirinya beragam industri hilir
dan beragam kegiatan ekonomi lainnya (Balitbang Industri Hasil Pertanian 1985).
Di Indonesia pengembangan kawasan industri pada awal Tahun 1970 oleh
BUMN sebagai reaksi terhadap meningkatnya penanaman modal di bidang
perindustrian. Untuk mendorong pembangunan industri dilakukan pembangunan
kawasan industri, hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun
2009 tentang kawasan industri. Seiring dengan meningkatnya perkembangan
investasi, kemudian swasta dilibatkan melalui Keppres No 53 Tahun 1989. Swasta
dalam ini bisa domestik atau asing tanpa partispasi dari BUMN, maka munculah
kawasan-kawasan industri baru seperti beberapa tempat di Jabodetabek (Kwanda
2000).
Perkembangan perkotaan di Indonesia beserta masalah yang ditimbulkannya
semakin bertambah, terutama dengan semakin meningkatnya penduduk perkotaan
serta investasi yang tetap mengarah ke kota-kota besar atau metropolitan tersebut.
Akibatnya mulai tumbuh daerah-daerah baru di pinggiran kota induk untuk
menampung pertumbuhan kegiatan di kota induk tersebut,diantaranya dengan
membangun daerah-daerah permukiman dan daerah industri. Hal ini terjadi karena
2
adanya keterbatasan dalam penyediaan lahan dengan skala besar, terutama untuk
kegiatan industri serta keterbatasan daya dukung lingkungan. Sebagai contoh
adalah Kota Jakarta yang mengalami pertumbuhan sangat pesat, sehingga
mengakibatkan sulitnya mencari lahan bagi pengembangan kegiatan maupun
untuk penyediaan sarana dan prasarana. Akibatnya banyak kegiatan, diantaranya
kegiatan industri dan permukiman yang diarahkan ke daerah pinggiran atau ke
kota-kota di sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi yang
tujuannya untuk mengurangi beban kota Jakarta. Hal ini menimbulkan zona
industri yang sudah ada sejak Tahun 1970 di Jabodetabek mengalami
perkembangan pesat (Tjahjati 1995).
Ekonomi di kawasan Jabodetabek yaitu sektor industri, jasa dan
perdagangan akan tetap berkembang di pusat kawasan, yaitu DKI Jakarta, namun
kehidupan ekonomi perkotaannya mulai menyebar di Bodetabek diwarnai oleh
berkembang dan tumbuhnya sektor jasa, jasa angkutan, perdagangan grosir dan
eceran, keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan, pengetahuan dan
perkembangan teknologi sampai pada pelayanan teknologi informasi (Direktorat
Jenderal Penataan Ruang 2008).
Sehubungan dengan itu. semua bentuk kegiatan ekonomi di kawasan
Jabodetabek harus mampu memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat
dan memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi masyarakatnya dari
kegiatan yang sifatnya padat karya sampai padat modal, dari upah yang sifatnya
balas jasa terhadap modal hingga upah tenaga kerja dari yang profesional sampai
yang kasar, dari tenaga kerja lepas sampai pada yang sifatnya kontrak dan pekerja
tetap (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2008).
Peranan kawasan industri di kawasan Jabodetabek dalam perekonomian
nasional untuk beberapa tahun ke depan dinilai masih akan tetap tinggi. Sektor
industri pengolahan dan sektor jasa, yang secara nasional meningkat pangsanya
dari 23.8 % menjadi 26.8 % akan meningkatkan pula pertumbuhan sektor-sektor
tersebut di Jabodetabek.
Namun keberadaan beberapa kawasan industri tersebut diatas tidak
semuanya menyerap jumlah angkatan kerja karena kerterbatasan dan penambahan
jumlah kesempatan kerja akibat keterbatasan peningkatan jumlah investasi.
Akibatnya menimbulkan rawan pengangguran dan tenaga yang tidak terserap di
sektor tersebut bekerja di sektor informal.
Dari data BPS (2012), disebutkan bahwa meskipun tenaga kerja yang
terserap oleh sektor industri di Jabodetabek sebesar 88.95% namun tingkat
penganggurannya tergolong masih tinggi juga yaitu sebesar 75.88%.
Selain lembaga ekonomi formal Kawasan Jabodetabek juga memberi ruang
gerak bagi sektor ekonomi informal. Hubungan yang saling menguntungkan antar
kedua sektor ekonomi tersebut menciptakan kehidupan di Kawasan Jabodetabek
terus berjalan. Namun adakalanya hubungan tersebut memicu konflik dan
tindakan yang tidak selalu adil bagi yang tergolong lemah. Golongan ekonomi
kuat memiliki ruang gerak yang leluasa dan memungkinkan terjadinya akumulasi
sumber daya tanpa tersentuh oleh kebijakan yang dapat mendistribusikannya
secara adil dan merata. Sebaliknya golongan ekonomi lemah lebih sering menjadi
korban penggusuran secara paksa tanpa adanya kebijakan memberi ruang yang
memadai bagi mereka (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2008).
Perkembangan perekonomian Jabodetabek yang pesat akan mempengaruhi
perubahan tata guna lahan dimana lahan pertanian berubah menjadi lahan
3
perumahan dan industri. Di Kabupaten Bekasi tercatat rata-rata lahan pertanian
menyusut 608.79 ha/ tahun, dengan laju penurunan 0.83 % per tahun berubah
menjadi perumahan, bisnis dan industri (Anjani 2010). Lahan pertanian di Depok
setiap tahunnya berkurang 208.98 ha, dengan laju penurunan 6.70% per tahun
(Mukhoriyah 2012). Di wilayah Tangerang, sekitar 467.76 ha lahan pertanian dan
rawa setiap tahunnya beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan industri,
dengan laju penurunan 4.54 % per tahun (Kantor Wilayah BPN Provinsi Banten
2009). Lahan pertanian di Kabupaten Bogor menyusut 845 ha per tahun dengan
laju penurunan 0.85 % per tahun (Sariasih 2010) menjadi permukiman, bisnis dan
industri.
Dengan meningkatnya pertumbuhan daerah-daerah industry, membuka
peluang kerja di sektor industri dan sektor lain yang tumbuh sebagai ikutan.
Akibatnya daerah tersebut dipadati oleh pendatang selain pekerja di sektor industri
itu sendiri, yang memerlukan tempat tinggal.
Paradigma baru pembangunan menurut Rustiadi et al. (2011), harus
diarahkan pada terjadinya (a) pemerataan (equity), (b) pertumbuhan (eficiency)
dan keberlanjutan (suistainability) yang berimbang dalam pembangunan ekonomi.
Paradigma baru pembangunan ini mengacu kepada dalil fundamental ekonomi
kesejahteraan. Penelitian ini mencoba melihat faktor yang mempengaruhi PDRB
sektor industri di wilayah Jabodetabek.
Perumusan Masalah
Kota Jakarta menarik bagi lokasi industri. Oleh karena itu di kota ini mudah
terjadi gejala aglomerasi. Dengan aglomerasi akan terjadi penghematan
aglomerasi, yaitu penghematan ekstern (external economies). Penghematan ini
terjadi karena faktor-faktor luar dan dinikmati oleh semua industri yang ada di
Kota Jakarta tersebut (Djojodipuro 1992).
Pada waktu Kota Jakarta tidak lagi dapat menampung industri baru, karena
ketiadaan lahan yang dapat digunakan maka terjadilah deglomerasi, yaitu kegiatan
–kegiatan industri dialihkan ke daerah pinggiran kota yaitu wilayah Bodetabek
(Suparlan 1996). Banyak pertimbangan yang menyebabkan daerah di Bodetabek
menarik bagi pengembangan lokasi industri. Industri modern saat ini memerlukan
lahan yang luas selain untuk proses produksi tetapi juga untuk kegiatan lainnya
seperti pergudangan dan parkir. Dengan demikian, maka lahan yang diperlukan
semakin banyak. Sebaliknya, alternatif penggunaan tanah di Kota Jakarta yang
makin banyak untuk permukiman, bisnis, perkantoran, rekreasi dan kegiatan
perkotaan lainnya mendorong harga tanah makin tinggi. Gejala inilah yang
mendorong lokasi industri ke pinggiran kota yang harganya relatif masih rendah
(Djojodipuro 1992). Selain hal tersebut di atas, hal yang memicu deglomerasi
adalah sarana dan prasarana di daerah lain semakin berkembang menjadi baik,
namun upah buruhnya masih tergolong rendah.
Tumbuhnya kegiatan industri menimbulkan munculnya kawasan industri
atau zona industri. Pertumbuhan sektor industri di suatu wilayah tidak terlepas
dari dari peran daerah belakangnya (hinterland).
Namun dengan hal tersebut di atas menimbulkan adanya pergeseran fungsi
kota inti (core), dalam hal ini DKI Jakarta dari pusat manufaktur menjadi kegiatan
jasa-jasa, termasuk keuangan (finance), sementara itu kegiatan manufaktur
4
bergeser ke arah pinggiran kota (Firman 1996). Secara fisik proses restrukturisasi
di tandai dengan perubahan penggunaan tanah (land use) baik di kota inti (core)
maupun di pinggiran. Kawasan pusat kota mengalami perubahan penggunaan
lahan yang sangat intensif dari kawasan tempat tinggal menjadi kawasan bisnis,
perkantoran, perhotelan dan sebagainya. Di lain pihak, di kawasan pinggir kota
terjadi alih fungsi (konversi) pengunaan lahan secara besar-besaran dari tanah
pertanian subur ke kawasan industri dan permukiman berskala besar (Firman.
1996).
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana sebaran lahan industri pada periode waktu Tahun 1998 dan 2012?
b. Mengapa sebaran industri menyebar tidak teratur?
c. Faktor-faktor apa saja yang signifikan berpengaruh terhadap PDRB sektor
industri
d. Bagaimana arahan pengembangan industri di Jabodetabek
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perubahan sebaran lahan industri dan kaitannya dengan PDRB
sektor industri.
2. Menganalisis faktor internal yang mempengaruhi PDRB sektor industri di
Jabodetabek
3. Menganalisis pemusatan dan pertumbuhan sektor industri di Jabodetabek.
4. Menyusun arahan pengembangan industri di Jabodetabek
Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
- Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota
Dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai input bagi pengembangan
wilayah sektor industri Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten.
Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota untuk
perumusan kebijakan.
- Bagi Keilmuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu
pengembangan wilayah dan kota.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini didasarkan dari pengembangan industri pada awal tahun 1970
an di Jabodetabek. Menurut Kwanda (2000) tahun 1973 pemerintah mulai
membangun kawasan industri yang pertama di JIEP (Jakarta Industrial Estate
Pulo Gadung). Pada saat itu Jakarta menjadi pusat pertumbuhan nasional dengan
jumlah penduduk mencapai dua kali lipat dari 2.9 juta jiwa pada tahun 1961
menjadi 4.6 juta jiwa pada tahun 1971 dengan laju pertumbuhan 5.8 % per tahun.
5
Dengan adanya industrialisasi di Jakarta, tingkat urbanisasi meningkat melebihi
batas-batas administratif hingga ke kabupaten-kabupaten di sekitarnya di wilayah
Jabodetabek (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2008).
Peningkatan penduduk di Jabodetabek pada saat itu mengakibatkan
peningkatan fasilitas-fasiltas yang melayani penduduk tersebut seperti perumahan,
perdagangan dan jasa, jaringan jalan dan lainnya yang berada di sekitar industri.
Selain itu, karena kejenuhan aktivitas perkotaan di kota Jakarta mendorong
menyebarnya industri di pinggiran kota wilayah Jabodetabek, hal ini
menimbulkan banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi industri, hal ini
terjadi sebagai akibat dinamika pertumbuhan Kota Jakarta yang pesat. Dimana
kebutuhan ruang bagi industri harus dialokasikan.
Munculnya Peraturan Pemerintah tentang kawasan industri dan Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum yang disusun akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
industri menyebar tidak teratur bahkan ada yang berlokasi di pusat kota. Dan juga
terdapat intervensi pertumbuhan industri ke pinggiran kota.
Atas hal tersebut perlunya arahan pengembangan kawasan industri agar
dapat bersinergi dengan rencana tata ruang.
Hasil analisis di atas kemudian dapat digunakan sebagai rekomendasi
sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan untuk perencanaan dan
pengembangan wilayah di Jabodetabek. Secara lebih jelas kerangka pemikiran
diatas dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada saat itu Jakarta sebagai
pusat pertumbuhan nasional
Industri berkembang tahun 1970 an di Jakarta
- Peningkatan jumlah penduduk di Jakarta
- Urbanisasi meningkat hingga ke wilayah
Jabodetabek
Peraturan
Pemerintah
No.24/2009
tentang
Kawasan Industri
Kota Jakarta sudah tidak
dapat lagi menampung
industri baru
Industri berkembang di Jabodetabek
- Aglomerasi Industri di kota Jakarta
- Sebaran industri sudah tidak sesuai dengan
Peraturan Menteri PU No.41/PRT/M/2007
tentang Pedoman Kawasan Industri. dimana
pembangunan kawasan industri minimal berjarak
2 km dari permukiman
- Perubahan penggunaan lahan industri
- Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB sektor Industri
- Pertumbuhan sektor industri
Sebaran Lokasi Industri perlu sinergi dengan Rencana Tata Ruang
Arahan Pengembangan Industri di Jabodetabek
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengembangan Wilayah
Prodhomme (1985) menyatakan definisi pengembangan wilayah adalah
pengembangan wilayah merupakan program yang menyeluruh dan terpadu dari
semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan
kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah. Pengembangan wilayah
merupakan keterpaduan secara harmonis antara sumberdaya alam, sumberdaya
manusia dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan,
Ditinjau dari berbagai segi, baik dari segi social, ekonomi maupun fisik yang
bertujuan untuk penciptaan keseimbangan hubungan antara manusia dengan
alamnya.
Konsep pengembangan wilayah bertujuan untuk:
a) Mewujudkan keseimbangan antar daerah dalam hal tingkat
pertumbuhannya.
Keseimbangan antar daerah memungkinkan berlangsungnya
perdagangan antar daerah yang efisien. Perdagangan yang efisien
mendorong semakin intensifnya perdangangan yang intensif dan
merangsang timbulnya “spesifikasi dan spesialisasi” yang berarti
merangsang daerah untuk berkembang
b) Memperkokoh kesatuan ekonomi nasional
Spesialisasi daerah membuat perdagangan antar daerah semakin
intensif, yang berarti semakin tingginya tingkat ketergantungan ekonomis
antar daerah. Tingkat ketergantungan ekonomi antar daerah merupakan
suatu ukuran efektif bagi kesatuan ekonomi nasional.
c) Memelihara efisiensi pertumbuhan nasional
Sebagai upaya mewujudkan pengembangan wilayah. maka seperti yang
dikemukakan oleh Djakapermana (2010), pengembangan wilayah bertujuan agar
wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan.
Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya
yang dimiliknya secara harmonis. serasi dan terpadu melalui pendekatan yang
bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, sosial, budaya dan lingkungan hidup
untuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini juga sering disebut juga
pembangunan berkelanjutan dengan basis pendekatan penataan ruang wilayah.
Tujuan penataan ruang antara lain adalah tercapainya pemanfaatan ruang
yang berkualitas untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera.
mewujudkan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien dan
efektif bagi manusia. dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah
kerusakan lingkungan. Untuk mewujudkan hasil yang optimal dalam
pengembangan wilayah diperlukan penataan ruang, yaitu proses yang dimulai dari
penyusunan rencana tata ruang, dengan mengalokasikan rencana ruang
sumberdaya alam dan buatan secara optimal, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang (Djakapermana 2010).
Ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan serta kegiatan pengolahan
hasil ekstrasi tersebut akan berinteraksi dengan penduduk setempat, permukiman,
7
atau dengan lokasi-lokasi pasar (outlet- kota/ pelabuhan). Interaksi yang aman,
nyaman, murah dan lancer, tidak mengganggu lingkungan alam. Dalam kaitannya
ini sumberdaya memerlukan sarana prasarana transportasi untuk memasarkan
sumberdaya (Djakapermana 2010).
Pengembangan wilayah menurut Zen (1999), adalah membicarakan
mengenai memberdayakan masyarakat setempat, terutama dalam memanfaatkan
sumberdaya alam dan lingkungan setempat dengan means yang mereka miliki
atau kuasai, yaitu teknologi. Jadi pengembangan wilayah itu tidak lain dari usaha
menggabungkan secara harmonis sumberdaya alam, manusianya dan teknologi
dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri. Kesemuanya itu
disebut memberdayakan masyarakat.
Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), penggunaan tanah (lahan)
adalah wujud kegiatan atau usaha memanfaatkan lahan untuk memenuhi
kebutuhan tertentu. Penggunaan lahan (land use) diartikan setiap bentuk intervensi
(campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan
ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan
lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian, dibedakan seperti penggunaan
lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, dan sebagainya.
(Arsyad 1989)
Penggunaan lahan dalam wilayah yang lebih luas, terdiri atas penggunaan
wilayah pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan. Namun karena wilayah
merupakan kesatuan, maka antara penggunaan lahan di wilayah pedesaan dan di
kota terdapat hubungan yang saling berkaitan. Dalam hal itu. penggunaan lahan
untuk jalan dan rel kereta api, serta penggunaan sungai untuk lalu lintas yang
menghubungkan wilayah pedesaan dengan kota, merupakan hal yang penting.
Wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan dihubungkan dengan macam-macam
jaringan dan lokasi macam-macam prasarana. Wilayah pedesaan dan wilayah
perkotaan sebaiknya dalam keadaan selaras, namun yang terjadi di negara
berkembang, kota keadaannya lebih makmur dibanding di pedesaan (Jayadinata
1986).
Menurut Nehru dalam Jayadinata (1986), perbedaan kemakmuran antara
kota dan desa harus dihindari dengan membuat pengaturan sehingga jika dibiarkan
maka kekayaan akan jatuh pada orang kaya. Antara wilayah pedesaan dan wilayah
perkotaan terdapat interaksi social, ekonomi, dan politik, dengan bantuan jaringan
dan lokasi prasarana itu.
Migrasi ke kota merupakan masalah bagi kota. Salah satu faktor adalah
memecahkan masalah migrasi dari desa ke kota dengan pengembangan desa
secara bertahap. Karena wilayah pedesaan menjual hasil pertaniannya ke kota dan
kota memberikan pelayanan serta menjual hasil industrinya ke wilayah pedesaan,
maka penggunaan wilayah pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan merupakan
kesatuan kegiatan yang saling mengisi (Jayadinata 1986).
Menurut Malingreau (1979) dalam Malingreau dan Rosalia (1981),
penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara permanen atau
periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan, baik
10
Menurut Wijaya dalam Weni 2010, perubahan penggunaan lahan diartikan
sebagai perubahan suatu jenis penggunaan ke penggunaan lahan lainnya.
Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yaitu kenampakan
penggunaan lahan berubah pada kurun waktu tertentu. Perubahan penggunaan
lahan dapat terjadi secara sistemik dan non sistemik. Perubahan penggunaan lahan
sistemik terjadi dengan ditandai oleh phenomena yang berulang, yaitu tipe
penggunaan lahan pada lokasi yang sama. Phemomena yang ada dapat dipetakan
berdasarkan seri waktu. Perubahan non sistemik terjadi karena kenampakan
perubahan luas, yang berkurang, bertambah atau tetap (Murcharke 1990).
Di daerah perkotaan perubahan penggunaan lahan cenderung berubah dari
jenis penggunaan lahan pertanian ke non pertanian. dalam rangka memenuhi
kebutuhan sektor jasa dan komersial. Menurut Cullingswoth (1997) dalam
Supardi (2008), perubahan penggunaan yang cepat di perkotaan dipengaruhi oleh
empat factor, yakni: (1) adanya konsentrasi penduduk dengan segala aktivitasnya;
(2) aksesibilitas terhadap pusat kegiatan dan pusat kota; (3) jaringan jalan dan
sarana transportasi dan; (4) orbitasi. yakni jarak yang menghubungkan suatu
wilayah dengan pusat-pusat pelayanan yang lebih tinggi.
Di dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas
dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan nilai land rent
yang lebih tinggi. Sedangkan land rent diartikan sebagai nilai keuntungan bersih
dari aktivitas pemanfaatan lahan per satuan luas lahan dan waktu tertentu
(Rustiadi et al. 2011).
Teori Lokasi Industri
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap lokasi Industri
Persoalan lokasi industri merupakan bagian dari aktivitas ekonomi.
Aktivitas ekonomi untuk industri biasanya berlokasi di kota-kota. Karena kota
memiliki daya tarik bagi kegiatan ekonomi. Dengan demikian dalam kondisi yang
demikian akan muncul kota-kota besar dengan segala macam variasi kegiatan
ekonominya. seperti industri, jasa, perdagangan dan lainnya (Gunawan 1981).
Setiap orang menuju ke kota terutama tertarik oleh alasan ekonomis untuk
memenuhi kebutuhan sosio kultural. Demikian juga halnya dengan penempatan
kegiatan industri. berusaha mencari tempat yang dapat memberikan keuntungan
ekonomis yang sebesar-besarnya (Gunawan 1981). Hal tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan biaya-biaya produksi serta distribusi yang dapat
diperhitungkan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.
Berkenaan dengan studi mengenai lokasi industri. Weber (1909) dalam
Gunawan (1981) melihat faktor-faktor ekonomi dan lokasi yang berpengaruh
terhadap lokasi industri. yaitu:
1. Tempat bahan baku diketahui, hanya pada tempat-tempat tertentu saja;
2. Tempat konsumsi deketahui, tiap produksi mempunyai pasaran yang “tak
terbatas”
3. Terdapat beberapa lokasi tenaga kerja, mobilitas tenaga kerja belum
dipertimbangkan, penawaran tenaga kerja tak terbatas pada tingkat upah
tertentu.
11
Menurut Gunawan (1981) dalam suatu proses produksi. terdapat beberapa
faktor yang akan merupakan bagian dari biaya produksi. Faktor-faktor tersebut
adalah
1. Harga tanah dimana kegiatan tersebut berlangsung;
2. Harga bahan-bahan mentah yang akan dipergunakan dalam proses produksi;
3. Ongkos tenaga kerja yang dipakai;
4. Ongkos pengangkutan faktor-faktor produksi (material) maupun untuk
distribusi produksi (ke konsumen)
5. Tingkat bunga dan keuntungan dan depresiasi serta pengeluaran-pengeluaran
umum lainnya
Pendekatan Lokasi Industri
Weber (1909) dalam Gunawan (1981) mengatakan terdapat beberapa
pendekatan mengenai lokasi industri, yang akan diuraikan dibawah ini. yaitu:
1. Ongkos transport
2. Tenaga kerja
Ongkos transport yang dicakup disini adalah ongkos pengangkutan
hasil/produk dari tempat produksi ke tempat konsumsi. Ongkos transport selain
tergantung kepada berat yang diangkut dan jarak yang ditempuh juga bergantung
pada: 1) tipe sistem transport yang dipakai, 2) keadaan daerah dan keadaan
jaringan jalan, 3) macam barang yang diangkut. Dalam pendekatan teori ini
diasumsikan bahwa satuan ongkos transport adalah homogen. Penetuan lokasi
yang mempunyai ongkos transport yang minimum dapat dihitung secara
matematis apabila diketahui lokasi pemasaran, tempat material dan jumlah yang
dipakai untuk produksi. Sehubungan dengan pemakaian bahan baku/ material dan
pengaruhnya terhadap ongkos transport, maka jenis bahan baku/ material dapat
dibedakan menurut distribusinya, yaitu: 1) ubiquites yaitu bahan baku yang
terdapat di seluruh daerah dan 2) localized material yaitu material/ bahan baku
yang hanya terdapat ditempat-tempat tertentu di daerah tersebut. Dari segi sifatnya
selama proses produksi dapat dibedakan atas:1) pure material, yaitu yang
beratnya selama proses produksi tetap, 2) weight loosing material yaitu yang
beratnya selama proses produksi berkurang.
Selain ongkos transport, faktor utama yang berpengaruh adalah tenaga kerja.
Dengan ongkos tenaga kerja dipakai, diasumsikan adanya penawaran tenaga kerja
dalam jumlah yang tak terbatas dan tingkat upah tertentu. Ciri-ciri umum yang
berpengaruh terhadap bekerjanya faktor tenaga kerja adalah berat lokasional dan
indeks ongkos tenaga kerja (index of labor cost) yaitu besar kecilnya ongkos
tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 unit produk. Adapun kondisikondisi lingkungan yang menentukan orientasi tenaga kerja adalah: 1) posisi
geografis daripada faktor-faktor produksi (bahan baku. tempat pemasaran dan
tenaga kerja), 2) tingkat satuan ongkos pengangkutan, 3) penghematan yang dapat
dilakukan atas tenaga kerja.
12
Keputusan Lokasi Industri
Dalam menentukan lokasi industri berdasarkan pertimbangan ongkos
transport, jenis material yang perlu ditinjau adalah “localized material” karena
adanya hanya pada tempat-tempat tertentu saja, maka perlu mengangkut ke
tempat-tempat produksi (lokasi yang dicari) yang mana diperlukan sejumlah
ongkos transport (Gunawan 1981).
Selain daripada kedua faktor (ongkos transport dan tenaga kerja) yang telah
dijelaskan diatas sebagai faktor regional yang harus dipertimbangkan, juga ada
faktor aglomerasi dan deglomerasi (Gunawan 1981).
Menurut Gunawan 1981, faktor aglomerasi adalah suatu keuntungan atau
penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh karena
kegiatan-kegiatan produksi dilakukan di satu tampat (ada konsentrasi kegiatan).
Aglomerasi dapat berupa:
- perluasan skala kegiatan
- kumpulan kegiatan-kegiatan sejenis atau yang berkaitan keuntungankeuntungan karena faktor aglomerasi ini disebabkan antara lain:
a. economies of scale: penghematan karena skala produksi yang membesar;
b. pemakaian peralatan-peralatan teknis secara bersama memungkinkan
pemasaran yang lebih luas;
c. penghematan dalam “general overhead cost” dan organisasi buruh yang
lebih baik
Faktor deglomerasi adalah sebaliknya dari aglomerasi, yaitu keuntungan
apabila kegiatan-kegiatan tidak terkonsentrasi letaknya, tapi terjadi dispersi.
Faktor deglomerasi disebabkan misalnya kenaikan nilai tanah karena konsentrasi
kegiatan-kegiatan sehingga mendorong industri-industri untuk menyebar
(Gunawan 1981).
14
Metode Analisis
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Analisis spasial
dengan SIG, (2) Analisis Korelasi, (3) Location Quotient (4) Shift Share Analysis.
Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
Penggunaan
Lahan Industri 1998
Analisis Perubahan
Penggunaan Lahan
Penggunaan
Lahan Industri 2012
Analisis Perubahan
Penggunaan Lahan
Industri
Analisis Faktor Yang berpengaruh
Terhadap PDRB sektor industri
Kaitannya dengan
perubahan PDRB
Ketersediaan Lahan
- Perpres No.54/ 2008
Jabodetabek
- RTRW Kabupaten/ Kota
Analisis Pertumbuhan industri
Sintesis Analisis
PODES
(Jabodetabek
2011)
Arahan Pengembangan Industri
Gambar 6 Kerangka pendekatan studi
Analisis SIG untuk melihat perubahan penggunaan lahan industri
Untuk menganalisa perubahan penggunaan lahan industri. diperlukan peta
penggunaan lahan dengan kurun waktu yang berbeda. Dalam penelitian ini
dilakukan tahapan analisa terhadap peta penggunaan lahan Tahun 1998 dan 2012
untuk melihat arah kecenderungan perkembangan sektor industri tersebut.
Tahapan tersebut adalah:
1. Pengolahan data untuk mendapatkan informasi digital yang berasal dari
peta-peta tematik dilakukan melaui proses geoprocessing sehingga
diperoleh basis data digital yang dapat dipergunakan untuk tahapan
analisis berikutnya.
2. Pengolahan data untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan dengan
melakukan proses overlay (tumpang tindih) antara peta penggunaan lahan
Tahun 1998 dan Tahun 2012.
15
3. Analisis spasial perubahan penggunaan lahan industri dilakukan dengan
analisis overlay dan juga dari data tabulasi.
4. Analisa arah kecenderungan perkembangan industri dilakukan dengan
analisa deskriptif.
Hubugan antara perubahan penggunaan lahan industri dengan perubahan
PDRB sektor industri
Menurut Sudjana (1989), menyatakan analisis korelasi adalah metode
statistik yang digunakan untuk mengetahui derajat hubungan linear antara dua
variabel atau lebih yang bersifat kuantitatif. Bahwa adanya perubahan sebuah
variabel disebabkan atau akan diikuti oleh perubahan variabel lain. koefisien
perubahannya dinyatakan dalam koefisien korelasi, dimana semakin besar
koefisien korelasi maka akan semakin besar keterkaitan perubahan suatu variabel
dengan variabel yang lain. Suatu variabel dikatakan saling berkorelasi jika
perubahan suatu variabel diikuti dengan perubahan variabel yang lain.
Dalam regresi linear derajat hubungan dinyatakan dalam r dan biasa disebut
koefisien korelasi. Nilai korelasi berkisar antara -1 dan 1. Apabila r = -1 artinya
korelasi negatif sempurna. r = 0 artinya tidak ada korelasi dan r = 1 artinya
korelasinya sangat kuat Sudjana (1989).
r2 =
rxy
Σ (Yi - Y)2 - Σ (Yi - Ŷi)2
Σ (Yi - Y)2
n X
n X i Yi ( X i )( Yi )
2
i
( X i ) 2
n Y
r2 = koefisien determinasi
r = koefisien korelasi
Y i = variabel tak bebas
2
i
( Yi ) 2
X i = variabel bebas
n = jumlah data
Ŷi = persamaan regresi Y atas X
Y = rata-rata variabel Y
Adapun interpretasi dari besarnya nilai korelasi sampel antara variabel dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
Tabel 1 Interpretasi Koefisien Korelasi
Nilai Korelasi Sampel (r)
0.00 – 0.09
0.10 – 0.29
0.30 – 0.49
0.50 – 0.70
> 0.70
Interpretasi
Hubungan korelasi sangat rendah
Hubungan korelasi rendah
Hubungan korelasi cukup kuat
Hubungan korelasi kuat
Hubungan korelasi sangat kuat
Sumber: Statsdata.dijabarkan oleh Yamin dan Kurniawan (2009)
Analisis Pemusatan dan Pertumbuhan Industri
Analisis pemusatan industri dan pertumbuhan industri dilakukan dengan
metoda LQ dan Shift Share Analysis. Dari kedua metoda ini didapat wilayah yang
16
mempunyai LQ >1, dan nilai SSAnya positif untuk sektor industri, yang berarti
sektor industrinya mengalami pertumbuhan.
Location Quotient (LQ)
Metode ini digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan (basis)
aktifitas terutama pada wilayah yang penggunaan lahannya berubah dari
penggunaan lahan non industri ke penggunaan lahan industri. LQ dapat
didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i
terhadap persentase aktifitas total wilayah (Panuju dan Rustiadi 2012) .
Persamaan indeks LQ adalah:
LQ
IJ
X /X
X /X
IJ
I.
.J
..
Dimana: LQIJ = indeks pemusatan aktivitas ke-j di wilayah ke-i
XIJ
= nilai aktivitas ke j pada unit wilayah ke-i
XI.
= jumlah seluruh aktivitas di unit wilayah ke-i
X.J
= jumlah aktivitas ke j di seluruh unit wilayah
X..
= besaran aktivitas total di seluruh unit wilayah
Penafsiran hasil analisis LQ, menurut ketentuan adalah sebagai berikut
(Panuju dan Rustiadi 2012):
1. Jika nilai LQI. > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu
aktivitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah
atau terjadi pemusatan aktivitas di sub wilayah ke-i.
2. Jika nilai LQI. =1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa aktivitas
setara dengan pangsa total.
3. Jika nilai LQI. < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif
lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas yang secara umum ditemukan di
seluruh wilayah.
Shift Share Analysis
Shift share analysis digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik tingkat
perkembangan dan pertumbuhan aktivitas di suatu wilayah maupun antar wilayah
dalam suatu kurun waktu tertentu. Dari hasil analisis ini akan dapat diketahui
bagaimana perkembangan suatu sektor di suatu wilayah apabila dibandingkan
dengan perkembangan sektor sejenis maupun sektor lainnya di wilayah lain
maupun di keseluruhan wilayah, apakah cenderung pesat ataukan lebih lambat
(Panuju dan Rustiadi 2012).
Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas
di suatu sub wilayah dan membandingkan kinerjanya dengan pertumbuhan
wilayah. Analisis shift-share mampu memberikan gambaran sebab-sebab
terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang
dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) sebab yang berasal dari dinamika
lokal (sub wilayah), (2) sebab dari dinamika aktifitas/sektor (total wilayah) dan (3)
sebab dari dinamika wilayah secara umum (Panuju dan Rustiadi 2012).
Sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan di atas. dari hasil analisis shift
share diperoleh gambaran kinerja aktifitas di suatu wilayah. Gambaran kinerja ini
dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu: (Panuju dan Rustiadi 2012)
17
1. Komponen laju pertumbuhan total (komponen share). Komponen ini
menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang
menunjukkan dinamika total wilayah.
2. Komponen pergeseran proporsional (komponen proportional shift). Komponen
ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relative,
dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah.
Pergeseran proporsional menunjukkan dinamika sektor/aktifitas total dalam
wilayah.
3. Komponen pergeseran diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini
menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas
tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut secara
agregat.
Komponen
ini
menggambarkan
dinamika
(keunggulan/
ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap
aktifitas tersebut di sub wilayah lain.
Persamaan analisis shift-share ini adalah sebagai berikut : (Panuju dan
Rustiadi 2012)
SSA
1
(t 0)
X ..
X ..
( t1)
X.
X.
j ( t1)
j (t 0)
(t 0)
X ..
X ..
( t1)
X
X
ij ( t1)
ij ( t 0 )
j (t 0)
X.
X.
j ( t1)
Dimana: a = komponen regional share
b = komponen proportional shift
c = komponen differential shift. dan
X.. = Nilai total aktifitas wilayah secara agregat
X.i = Nilai total aktifitas tertentu di unit wilayah ke-i
Xij = Nilai di wilayah ke-i dan aktifitas ke-j
t1 = titik tahun akhir
t0 = titik tahun awal
Rencana metode penelitian dapat dilihat pada Tabel 2
Arahan Pengembangan Industri
Setelah dilakukan analisis-analisis di atas. maka dapat ditentukan prioritas
arahan pengembangan sektor industri. Prioritas diutamakan untuk kecamatankecamatan yang mempunyai nilai LQ > 1, nilai Shift Share Analysisnya positif,
terdapat lahan yang tersedia bagi pengembangan industri dan arahan pemanfaatan
ruang di RTR Jabodetabek konsisten dengan arahan RTRW kabupaten/ kota di
Jabodetabek. Prioritas berikutnya untuk kecamatan-kecamatan yang mempunyai
nilai LQ > 1, nilai Shift Share Analysisnya positif, terdapat lahan yang tersedia
bagi pengembangan industri dan arahan pemanfaatan ruang di RTR Jabodetabek
yang tidak konsisten dengan arahan RTRW kabupaten/ kota di Jabodetabek.
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
18
Tabel 2 Rencana Metode Penelitian
Tujuan
Sumber Data
Teknik
Analisis
Data
-Analisis
Overlay
-Analisis
Korelasi
-Analisis
kualitatif
-Analisis
deskriptif
Jenis data
Hasil
Yang
Diharapkan
-Peta penggunaan
lahan 1998 dan
peta penggunaan
lahan 2012
-Peta Pemanfaatan
Ruang Jabodetabek
- PDRB
Perubahan
Penggunaan
Lahan industri
kaitannya
dengan
perubahan
PDRB
Faktor-faktor
yang
memberikan
kontribusi
dalam
pembentukan
PDRB sektor
industri
Pertumbuhan
sektor industri
Menganalisis
perubahan
penggunaan
lahan ke lahan
industri
dikaitkan
dengan
perubahan
PDRB industri
Menganalisis
faktor-faktor
internal yang
berpengaruh
terhadap PDRB
sektor industri
Peta Penggunaan Lahan
dari BPN, BPS
PDRB Kab/ Kota di Analisis
Kawasan Jabodetabek, Biplot,
BPS
Analisis
Regresi
- PDRB
kabupaten/ kota
terpilih
Menganalisis
pertumbuhan
sektor industri
PDRB Kab/ Kota di Analisis LQ
Kawasan
dan
Shift
Jabodetabek,BPS
Share
-Pemusatan
Aktivitas
Sektor
Industri
-Keunggulan
kompetitif
Menyusun
arahan
pengembangan
industri
di
Jabodetabek
Hasil analisis tujuan Sintesis
1,2,3,
Podes,
Peta Analisis
Arahan
Pemanfaatan
Ruang Jabodetabek dan
Peta Rencana Pola
Ruang
RTRW
Kabupaten/ Kota
Arahan
pengembangan
industri
di
Jabodetabek
Tabel 3 Kriteria Arahan Prioritas Pengembangan Industri
Prioritas
LQ
1
2
3
≥1
≥1
≥1
Shift
Share
Analysis
positif
positif
positif
4
≥1
positif
Penyerapan
Tenaga Kerja
Ketersediaan
Lahan Industri
Pemanfaatan ruang di RTR
Jabodetabek dan RTRW
30 %
< 30 %
30%
Tersedia
Tersedia
Tersedia
< 30 %
Tersedia
Industri (konsisten)
Industri (konsisten)
Non
Industri
(tidak
konsisten)
Non
Industri
(tidak
konsisten)
Tabel 4 Kriteria Arahan Pengembangan Wilayah Lokasi Industri
Prioritas
1
2
3
4
Arahan Pengembangan Wilayah
Mempertahankan keberadaan lahan industri aktual dengan jenis industri padat
karya
Mempertahankan keberadaan lahan industri aktual dengan jenis industri diarahkan
padat karya
Relokasi industri, tidak melakukan penambahan lahan industri yang ada,
mempertahankan jenis industri padat karya
Relokasi industri, kegiatan industri dibatasi pada lahan eksisting yang konsisten
dengan RTRW, pelarangan penerbitan ijin baru bagi lokasi industri
19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan Lahan Aktual
Hampir di semua kabupaten/ kota terdapat lahan industri. Lahan industri
terbesar di Kabupaten Bekasi sebanyak 5808 ha (di Kecamatan Cibitung,
Cikarang, Tambun, Lemahabang), kemudian di Kabupaten Tangerang sebanyak
4808 ha, dan Kota Tangerang sebesar 3980 ha. Hal tersebut karena di Kabupaten
Bekasi, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang (sebelum pemekaran), telah
dialokasikan dalam rencana tata ruangnya, lahan untuk kawasan industri.
Penggunaan l