Analisis Pola Sebaran Dan Arahan Pengembangan Industri Peternakan Di Kota Tangerang Selatan

ANALISIS POLA SEBARAN DAN
ARAHAN PENGEMBANGANINDUSTRI PETERNAKAN
DI KOTA TANGERANG SELATAN

ZULYADNAN RIFAI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pola Sebaran
dan Arahan Pengembangan Industri Peternakan di Kota Tangerang Selatan adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2016

Zulyadnan Rifai
NIM A140165264

RINGKASAN
ZULYADNAN RIFAI. Analisis Pola Sebaran dan Arahan Pengembangan Industri
Peternakan di Kota Tangerang Selatan. Dibimbing oleh BABA BARUS dan
WIDIATMAKA.
Industri Peternakan saat ini telah menjadi salah satu sektor penting di bidang
pertanian, Pada tahun 2010 industri peternakan menyumbang diseluruh Rp. 80
Triliun untuk produk domestik bruto. Wilayah perkotaan seperti Kota Tangerang
Selatan dengan jumlah penduduk yang banyak telah menjadi pasar yang
menjanjikan bagi industri peternakan. BPS mengklaim bahwa penduduk Kota
Tangerang Selatan membelanjakan sebanyak 20% dari total pendapatan untuk
produk peternakan. Sejak 2009 industri peternakan telah berkembang Pesat di
Kota Tangerang Selatan. Ini bisa menjadi masalah jika tidak ada peraturan atau
kebijakan dari pemerintah yang mengatur hal tersebut. Penelitian ini dimaksudkan
untuk Mengatasi masalah ini. Data diperoleh dari wawancara dengan para

pemangku kepentingan dan data koordinat sebagai data primer sedangkan data
dari instansi terkait sebagai data sekunder. Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: AHP untuk analisis faktor yang paling berpengaruh dalam
industri pternakan, analisis MCE untuk memilih wilayah potensial untuk
pngembangan industri peternakan, dan CA Markov untuk prediksi industri di
tahun 2024.
Distribusi sebaran industri peternakan pada tahun 2004 menunjukan
sebagian besar masih berada dekat Jakarta namun tahun 2014 sudah tersebar
merata di Kota Tangerang Selatan. Hasil AHP untuk faktor pembobotan faktor
yang mempengaruhi industri peternakan adalah modal (25%), penduduk (25%),
aksesibilitas (23%), perizinan (16%), lahan (11%). Wilayah paling potensial ialah
Kecamatan Serpong dan Pondok Aren. Hasil prediksi sebaran industri peternakan
menyebar dominan di Kecamatan Serpong dan Pamulang. Wilayah yang
direkomendasikan sebagai prioritas pengembangan industri peternakan ialah
Kecamatan Serpong. Masih terdapat ketidaksesuaian antara prediksi sebaran
industri peternakan tehadap pola ruang.
Kata kunci: industri peternakan, pola spasial, CA-Markov, AHP, MCE

SUMMARY
ZULYADNAN RIFAI. Spatial Pattern Analysis and Development Direction of

Livestock Industry at South Tangerang Municipality. Supervised byBABA
BARUS and WIDIATMAKA
Livestock Industry currently has been one of leading sector in Agriculture,
refering that in 2010 Livestock industry contributes arround Rp. 80 Trilion for
gross domestic product. Urban area such as South Tangerang Municipality with a
high number of citizen has been a promising market for livestock industry. BPS
claims that South Tangerang Citizens spend 20% of their income for livestock
products. Since 2009 livestock industry has been growing rapidly in South
Tangerang. This could be a problem if there is no regulation or public policy from
goverment. This study is intended to overcome these problem. Data were obtained
from the interview with stakeholders and GPS coordinate as primary data, while
relevant agencies data as secondary. The analytical methods used in this study
were : AHP method for analysis of most potentially district for livestock industry,
and CA Markov prediction for spatial industrial in 2024.
The distribution of livestock indusry in 2004 mostly near Jakarta but in
2014 spread evenly in South Tangerang area. The result for AHP weighting
driving factor for livestock industry is capital (25%), market (25%), accessibilty
(23%), policy (16%), land (11%). The most potential district is Serpong and
Pondok Aren meanwhile spatial industrial prediction in 2024 showed that mostly
in Pamulang and Serpong District. The most reccomended district for livestock

industry base is Serpong District. There were mismatch between spatial prediction
and city spatial plans.
Keywords:Livestock Industry, Spatial Pattern, CA Markov, AHP, MCE
.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS POLA SEBARAN DAN
ARAHAN PENGEMBANGANINDUSTRI PETERNAKAN
DI KOTA TANGERANG SELATAN

ZULYADNAN RIFAI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Andrea Emma P, SP, M.Si

Judul Tesis : Analisis Pola Sebaran dan Arahan Pengembangan Industri
Peternakan di Kota Tangerang Selatan
Nama
: Zulyadnan Rifai
NIM
: A156140264


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Baba Barus, MSc
Ketua

Dr Ir Widiatmaka, DEA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 21 Maret 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian
ini dengan baik. Proposal penelitian ini adalah langkah awal dan merupakan salah
satu syarat dalam melaksanakan penelitian pada Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Adapun proposal
penelitian ini berjudul Analisis Pola Sebaran dan Arahan Pengembangan
IndustriPeternakan di Kota Tangerang Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc dan
Bapak Dr Ir Widiatmaka, DEA selaku komisi pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Khalid saifullah sebagai mentor serta
berbagai pihak yang turut membantu dalam penelitian yang telah dilaksanakan
sejak bulan September 2015.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengemnbangan industri
peternakan Indonesia di masa depan.


Bogor,

Mei 2016

Zulyadnan Rifai

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
4
4
4
5

2


TINJAUAN PUSTAKA

6

Eksistensi Industri Peternakan di Perkotaan

6

Kawasan Pengembangan Peternakan

7

Sistem Informasi Geografis

9

3

Penginderaan Jauh


11

Model Cellular Automata

11

Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP)

12

Pemodelan Multi-Criteria Evaluation (MCE)

14

METODE

16

Waktu dan Lokasi Penelitian

16

Bahan dan Alat

16

Teknik Pengumpulan Data

16

Prosedur Analisis Data

17

Analisis Pola Sebaran Industri Peternakan

19

Penentuan Wilayah Ideal Pengembangan Industri Peternakan

19

Proses Hirarki Analitik (AHP)

19

Analisis Multi Criteria Evaluation (MCE)

20

Prediksi Sebaran Industri Peternakan

21

Penyusunan Arahan Pengembangan Industri Peternakan

22

4

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Fisik Wilayah
Kondisi Sosial Wilayah
Kondisi Perekonomian Wilayah

22
22
25
27

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

29

Pola Sebaran Industri Peternakan

29

Penentuan Wilayah Ideal Pengembangan Industri Peternakan

31

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Industri Peternakan

31

Persepsi Bappeda Kota Tangerang Selatan

32

Persepsi Dinas Pertanian Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan 32

6

Persepsi Pakar Industri Peternakan

33

Persepsi Pelaku Usaha

34

Persepsi Tokoh Masyarakat

34

Persepsi Seluruh Responden

35

Evaluasi Multi Kriteria

36

Prediksi Sebaran Industri Peternakan

40

Tren Perubahan Industri Peternakan di Kota Tangerang Selatan

42

Arahan Pengembangan Industri Peternakan

43

Penentuan Wilayah Prioritas Industri Peternakan

43

Perbandingan Prediksi Sebaran Industri Peternakan dengan Pola Ruang

44

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

47
47
47

DAFTAR PUSTAKA

48

LAMPIRAN

51

RIWAYAT HIDUP

60

DAFTAR TABEL
1

Nilai RI pada beberapa nilai n

14

2

Matriks pencapaian tujuan.

17

3

Jenis dan jumlah responden penelitian

19

4

Potensi fisik dasar Kota Tangerang Selatan

23

5

Luas wilayah berdasarkan kecamatan Kota Tangerang Selatan

23

6

Penggunaan lahan Kota Tangerang Selatan

24

7

Penduduk Kota Tangerang Selatan menurut jenis kelamin tahun

26

2013
8

Penduduk Kota Tangerang Selatan berdasarkan tingkat pendidikan

26

tahun 2013
9

Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama

27

tahun 2013
10

Gambaran PDRB Kota Tangerang Selatan dari tahun 2010-2013

28

11

Perbandingan jumlah industri dengan penggunaan lahan

31

12

Perbandingan jumlah penduduk, perizinan, dan modal setiap

36

kecamatan

39

13

Sistem skor dan pembobotan dalam MCE

42

14

Lokasi dan luas industri peternakan hasil simulasi CA-Markov

42

15

Perubahan jumlah industri peternakan

43

16

Perbandingan hasil prediksi dan wilayah potensial industri

43

peternakan
17

Matriks kesesuaian pola ruang dan penggunaan lahan

44

18

Keselarasan prediksi industri peternakan dengan pola ruang

46

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka Pikir Penelitian

5

2

Model struktur PHA 2 level dengan N kriteria dan M alternatif.

13

3

Peta lokasi penelitian

16

4

Diagram alir penelitian

18

5

Peta penggunaan lahan Kota Tangerang Selatan tahun 2014

25

6

Peta lokasi industri Peternakan di Kota Tangerang Selatan

29

7

Peta industri peternakan berdasarkan penggunaan lahan 2004

30

8

Peta industri peternakan berdasarkan penggunaan lahan 2014

30

9

Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi Badan Perencanaan

32

Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Tangerang Selatan
10

Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi DPKP

33

11

Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi pakar industri

33

12

Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi pelaku usaha

34

13

Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi tokoh masyarakat

35

14

Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi semua responden

35

15

Peta perbandingan jumlah penduduk, perizinan, dan modal setiap

37

kecamatan
16

Peta jarak dengan jalan wilayah Kota Tangerang Selatan

38

17

Peta ketersediaan lahan industri peternakan

38

18

Peta pemodelan wilayah ideal pengembangan industri peternakan

39

19

Hasil validasi model prediksi penggunaan lahan pada berbagai

40

iterasi
20

Peta prediksi industri peternakan berdasarkan markov-chain

41

21

Peta Kesesuaian Industri Peternakan

41

22

Peta prediksi industri peternakan Tahun 2024

42

23

Peta lokasi prediksi industri peternakan berdasarkan pola ruang

45

DAFTAR LAMPIRAN
1

Matriks konsistensi pola ruang dan penggunaan lahan

2

Kriteria

penilaian

kesesuaian

lingkungan

ekologis

50
untuk

52

peternakan
3

Kriteria penilaian kesesuaian industri

52

4

Kuesioner untuk input data pada metode AHP menghasilkan

53

perencanaan pengembangan industri peternakan berdasarkan
potensi wilayah di Kota Tangerang Selatan

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan sampai saat ini masih menjadi salah satu sektor yang dapat
diandalkan. Terpaan krisis tahun 2008 ternyata tetap membuat industri ini terus
bertahan. Sektor peternakan bahkan mampu menyumbang produk Domestik Bruto
(PDB) sebesar Rp. 86 Triliyun pada tahun 2010.
Industri peternakan mencakup seluruh proses industri yang berkaitan
dengan sektor peternakan mulai dari penyediaan pakan, obat, dan sarana prasarana
hingga pengolahan hasil ternak seperti Rumah Potong Hewan (RPH), sosis,
nugget, susu hingga bulu. Industri ini terus berkembang dan bertambah mulai dari
skala besar hingga skala rumah tangga, mulai dari wilayah perdesaan hingga
perkotaan.Jumlah penduduk yang banyak dan kesadaran gizi yang baik menjadi
pendorong utama dalam peningkatan jumlah permintaan akan produk hasil
industri peternakan.Tingginya harga daging sapi juga tidak banyak berpengaruh
karena konsumen beralih ke daging unggas. Tipikal masyarakat urban yang
menyukai hal serba praktis menjadikan industri pengolahan makanan siap saji
semakin berkembang. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi
juga turut meningkatkan permintaan terhadap segala bentuk produk peternakan
dan olahannya.
Wilayah perkotaan seperti Kota Tangerang Selatan yang berpenduduk 1.4
juta jiwa tentu saja menjadi pasar yang menggiurkan bagi para pelaku industri,
termasuk industri peternakan. Menurut Badan Pusat Statistik Kota Tangerang
Selatan (2014) pengeluaran rata-rata penduduk Kota Tangerang Selatan untuk
makanan jadi dan produk peternakan mencapai 20% dari total pengeluaran. Dari
sisi konsumsi, dengan asumsi konsumsi daging per kapita 2kg per tahun maka
dibutuhkan sekitar 28.000 ton daging untuk masyarakat Kota Tangerang Selatan
setiap tahunnya. Hal ini ditambah dengan ketersediaan sarana dan prasaran yang
baik sehingga meningkatkan aksesibilitas keluar masuk barang.
Losch (1954) mengemukakan tentang teori lokasi industri optimal (Theory
of optimal industrial location) dalam bukunya yang berjudul The Economics of
Location. Teori ini didasarkan pada permintaan (demand), sehingga dalam teori
ini diasumsikan bahwa lokasi optimal dari suatu pabrik atau industri yaitu apabila
dapat menguasai wilayah pemasaran yang luas, sehingga dapat dihasilkan
pendapatan paling besar. Untuk membangun teori ini, Losch juga berasumsi
bahwa pada suatu tempat yang topografinya datar atau homogen, jika disuplai
oleh pusat (industri) volume penjualan akan membentuk kerucut (mengecil).
Semakin jauh dari pusat industri maka semakin berkurang volume penjualan
barang karena harganya semakin tinggi, akibat dari naiknya ongkos transportasi.
Berdasarkan teori ini, setiap tahun pabrik akan mencari lokasi yang dapat
menguasai wilayah pasar seluas-luasnya. Di samping itu, teori ini tidak
menghendaki wilayah pasarannya akan terjadi tumpang tindih dengan wilayah
pemasaran milik pabrik lain yang menghasilkan barang yang sama, sebab dapat
mengurangi pendapatannya. Karena itu, pendirian pabrik-pabrik dilakukan secara
merata dan saling bersambungan sehingga berbentuk heksagonal.

2
Semenjak Kota Tangerang Selatan berdiri sebagai wilayah administrasi
sendiri sudah banyak terjadi perkembangan di wilayah ini. Banyaknya industri
yang bermunculan juga menjadi salah satu tolak ukur kemajuan suatu wilayah.
Krugman dan Livas (1996) menyatakan bahwa suatu perusahaan akan cenderung
mendekatkan lokasi usaha ke tempat pemasaran untuk meminimalkan biaya
transportasi. Hal ini juga mendukung teori Dicken (1998) yang menyatakan
bahwa seiring dengan makin kencangnya arus globalisasi maka sentralisasi
industri dalam skala besar akan semakin berkurang, dan akan banyak
bermunculan industri dengan skala kecil yang mendekati pasar.
Perkembangan dan penyebaran industri ini di perkotaan menarik untuk
diteliti sebagai bahan acuan dalam pengembangan wilayah perkotaan. Memahami
pola sebaran dan konsentrasi spasial pada berbagai aktivitas ekonomi telah
menjadi tantangan bagi para ekonom dan kartografer belakangan ini, dan hal ini
terus meningkat seiring dengan meningkatnya arus globalisasi di seluruh dunia
(Tiwari et al. 2003).
Pola penyebaran industri ini tentunya harus dilihat perkembangan
berdasarkan jenis waktu tertentu. Dalam analisis pola sebaran diperlukan data
faktual dan prediksi sebaran di masa depan. Hal inilah yang menjadi dasar
pentingnya penggunaan model tertentu dalam memprediksi pola sebaran dan
kondisi spasial industri peternakan
Semakin maraknya kemunculan industri yang lokasinya semakin mendekati
pasar atau pemukiman masyarakat tentunya dapat menjadi masalah bila tidak
diatur dan dibuat regulasinya. Perkembangan industri yang dibiarkan dapat
berakibat buruk terhadap lingkungan karena dapat menghasilkan limbah yang
berbahaya. Selain itu secara sosial dapat meningkatkan arus urbanisasi dan
merubah perilaku masyarakat. Secara spasial pertumbuhan ini dapat menimbulkan
pemukiman kumuh dan pada akhirnya memunculkan pola pembangunan yang
tidak teratur di daerah perkotaan.
Konsep perkotaan yang populer di Indonesia saat ini ialah Green City,
dimana konsep ini masuk dalam rencana strategis Direkotrat Perkotaan
Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2010 yang dicanangkan pada peringatan
pucak Hari Tata Ruang Nasional di Sanur Bali. Konsep Green City tentunya
selain menuntut ketersediaan ruang terbuka hijau yang memadai juga menjadikan
pengelolaan lingkungan, sampah, limbah, dan pengaturan zonasi dan tata kota
berjalan dengan baik. Tentunya pertumbuhan industri yang tidak terkendali tidak
diinginkan dalam pengembangan konsep green city. Namun tidak bisa juga sektor
industri dihilangkan dari sistem perkotaan karena memang menjadi kebutuhan
masyarakat baik dalam ketersediaan produk konsumsi juga menjadi lapangan
pekerjaan bagi masyarakat kota. Oleh karena itu kajian mengenai sistem industri
yang sesuai di perkotaan yang dalam hal ini Kota Tangerang Selatan memang
diperlukan.
Dengan berbagai pertimbangan maka perlu dilakukan riset mengenai arahan
pengembangan industri peternakan di wilayah Kota Tangerang Selatan.
Diharapkan hasil riset ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan
kebijakan daerah seperti tata ruang, perizinan dan berbagai hal teknis lainnya.

3
Perumusan Masalah
Kota mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Pertumbuhan kota yang
cepat telah membuat suatu wilayah mengalami perubahan fisik, sosial dan
ekonomi yang cepat pula. Konsekuensi yang selalu mengikuti pertumbuhan kota
ini adalah pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk selalu
diikuti dengan pertambahan kebutuhan rumah/tempat tinggal dan jumlah kegiatan
baru untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan. Pertambahan kebutuhan
rumah dan seluruh aktivitas pendukung kehidupan, simultan dengan kebutuhan
tanah/ruang. Di sisi lain, terdapat keterbatasan lahan di perkotaan untuk
memenuhi kebutuhan perumahan, salah satunya industri.Dalam proses pemenuhan
kebutuhan masyarakat urban yang terjadi adalah proses pemadatan (densifikasi)
permukiman di dalam kota (Rindarjono 2010), dan penambahan ruang yang
dilakukan di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah pinggiran kota atau sering pula
disebut sebagai urban fringe atau daerah peri-urban (Yunus 2008).
Kota Tangerang Selatan yang merupakan wilayah otonom baru yang berdiri
tahun 2009 dengan penduduk yang mencapai lebih dari 1 juta jiwa merupakan
pasar yang amat potensial bagi dunia usaha. Pendirian sebuah usaha industri baru
maupun cabang dari industri besar merupakan hal yang dapat menjadi pisau
bermata dua. Pertumbuhan industri dapat menjadi pemicu pertumbuhan sektor
lain seperti perdagangan dan jasa namun di sisi lain dapat menjadi bumerang bila
tidak dapat diatur dan ditata dengan baik sehingga penataan dan arahan
pengembangan industri peternakan di Kota Tangerang Selatan dapat menjadi
solusi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di sektor industri.
Banyak aspek yang mendorong pertumbuhan industri di suatu wilayah
seperti ketersediaan bahan baku, lahan, tenaga kerja, jumlah permintaan, lokasi
pasar, ketersediaan energi, kemudahan aksesibiltas dan modal yang cukup. Dari
beberapa aspek tersebut. Jumlah permintaan, aspek lokasi pasar dan aksesibiltas
mungkin masih menjadi daya tarik di Kota Tangerang Selatan. Hal ini tentunya
harus ditunjang dengan ketersediaan ruang yang memadai yang akan diteliti pada
riset ini. Ketersediaan dan kesesuaian lahan aktual saat ini dan masa depan juga
akan diteliti melalui pemodelan tertentu yang dirasa tepat untuk pola penyebaran
industri peternakan di Kota Tangerang Selatan.
Fakta yang terjadi menurut Balai Lingkungan BPPT Serpong ialah dari
seluruh industri yang ada di wilayah Tangerang hanya setengahnya yang memiliki
instalasi pengolahan limbah. Masalah lain yang terjadi ialah ketidaksesuaian
lokasi industri yang berada pada lokasi yang harusnya menjadi wilayah
perumahan atau kawasan green belt seperti sempadan sungai pada faktanya
didirikan lokasi industri. Hal ini tentu dapat menjadi masalah baik dari aspek
ruang, lingkungan, sosial dan ekonomi.
Pola pertumbuhan atau sebaran Industri –dalam hal ini industri peternakandapat diamati dan dibuat model prediksi pengembangannya, selanjutnya pola itu
dapat disesuaikan dengan RTRW dan dibuat skenario pengendalian industri
peternakan dan arahan pengembangannya agar perkembangannya dapat sesuai
dengan lingkungan dan kondisi yang diharapkan sehingga dapat meminimalisir
efek negatif di masa yang akan datang. Diharapkan dengan hasil penelitian ini
dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam merumuskan
kebijakan industri di wilayahnya.

4
Berdasarkan beberapa pemikiran di atas, maka penelitian ini difokuskan
untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut,
1. Bagaimana pola sebaran lokasi industri peternakan tahun 2004-2014 di
Kota Tangerang Selatan?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan industri peternakan di
Kota Tangerang Selatan?
3. Bagaimana model yang dapat dibangun untuk memprediksi perkembangan
industri peternakan di masa yang akan datang dengan atau tanpa
pengendalian?
4. Apa manfaat hasil prediksi perkembangan industri peternakan di masa
yang akan datang?
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun arahan pengembangan
industri peternakan yang sesuai dengan asas pembangunan berkelanjutan di Kota
Tangerang Selatan. Untuk mencapai tujuan utama tersebut maka beberapa tujuan
khusus ditetapkan sebagai berikut :
1. Menganalisis pola sebaran industri peternakan
2. Menganalisis lokasi wilayah ideal pengembangan industri peternakan
3. Membuat prediksi sebaran industri peternakan
4. Menyusun arahan pengembangan industri peternakan di Kota Tangerang
Selatan
Manfaat Penelitian
Hasil kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan
DPRD Kota Tangerang Selatan dalam penyempurnaan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) terkait zona wilayah industri
2. Menjadi salah satu referensi dalam pengambilan keputusan kebijakan terkait
sektor industri dan peternakan
Kerangka Pemikiran
Subsektor peternakan memiliki peranan yang sangat penting dalam
ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan pangan, pemenuhan gizi terutama
protein hewani dan penyerapan tenaga kerja. Konsumsi daging per kapita bangsa
Indonesia saat ini mencapai 1,87 kg/tahun. Angka ini termasuk rendah bila
dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Baru sekitar 55% yang
dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri dan sisanya masih berasal dari impor
negara lain. Hal ini menyebabkan kemandiriandan kedaulatan pangan hewani,
khususnyadaging sapi, semakin jauh dari harapan dan Indonesiamasuk dalam
perangkap pangan (food trap) negara eksportir.
Peningkatan jumlah penduduk terutama di wilayah perkotaan tentunya
meningkatkan permintaan akan produk peternakan baik berupa daging, susu, bulu
maupun produk olahan lain seperti sosis, nugget. Peningkatan permintaan akan
produk peternakan pada akhirnya memancing pelaku usaha untuk membuat atau
mendirikan industri di wilayah perkotaan untuk memenuhi permintaan tersebut.
Hal ini tentu menjadikan jumlah industri khususnya industri peternakan terus
bertambah. Pertumbuhan Industri tentunya harus dikendalikan, baik dari segi

5
lokasi, pengelolaan dan faktor lainnya. Industri bila terus dibiarkan tanpa adanya
pengaturan dan pengendalian maka akan terus bertumbuh secara acak dan tidak
terkendali. Hal ini tentunya berakibat buruk terhadap pola ruang, kondisi
lingkungan, bahkan kondisi sosial masyarakat.
Dalam proses pengendalian industri diperlukan identifikasi pola sebaran
industri untuk selanjutnya dibuat model pengembangan industri tersebut dan pada
akhirnya segera dibuat arahan pengendalian industri peternakan. Kerangka pikir
penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Jumlah penduduk
tinggi

Sarana prasarana
baik

Banyaknya
permintaan

Ketersediaan
lahan

Kemudahan
aksebilitas

Pertumbuhan
Industri
Diatur

Dibiarkan

Arahan
pengembangan

Menimbulkan masalah

Tidak terkendali

mengurangi masalah

TERKENDALI
Gambar 1.Kerangka Pikir Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian
Industri peternakan mencakup seluruh aspek mulai dari hulu hingga hilir.
Meliputi bahan mentah, pemeliharaan di kandang sampai akhirnya bisa langsug
dikonsumsi (from farm to table). Bila dilihat dari sisi permintaan (by demand)
maka industri peternakan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu industri berdasarkan
permintaan terhadap hewan dan permintaan terhadap manusia. Berdasarkan
permintaan terhadap hewan meliputi industri obat hewan, sarana prasarana
kandang, hingga jasa pengobatan dan inseminasi. Untuk industri berasarkan
permintaan terhadap manusia meliputi peternakan di kandang yang menghasilkan
produk primer seperti daging dan susu, pengolahan produk seperti bakso, nugget,
sosis, keju serta produk sampingan seperti bulu dan kulit. Dengan kondisi wilayah

6
perkotaan seperti Tangerang Selatan yang memiliki penduduk dengan kepadatan
tinggi maka ruang lingkup penelitian ini berfokus pada industri yang berperan
dalam pemenuhan kebutuhan terhadap manusia.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Eksistensi Industri Peternakan di Perkotaan
Menurut Hasibuan (1993) pengertian industri sangat luas, dapat dalam
lingkup makro dan mikro. Secara mikro, sebagaimana dijelaskan dalam teori
ekonomi mikro. Industri adalah kumpulan dari perusahaan yang menghasilkan
barang yang homogen, atau barang yang mempunyai sifat saling menggantikan
secara erat. Namun, dari segi pembentukan pendapatan, yang bersifat makro,
industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah.
Menurut Kartasapoetra (2000) industri dapat diklasifikasikan dalam tipe
tertentu berdasarkan lokasi, fungsi atau aktivitas di dalamnya, motivasi pendirinya,
dan lembaga sponsor yang mempunyai inisiatif mendirikan industri.
Ada beberapa alasan mengapa Ekonomi Industri umumnya, dan
Organisasi Industri khususnya menjadi semakin penting untuk dipelajari, baik di
negara-negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Pertama,
praktek-praktek struktur pasar yang semakin terkonsentrasi dalam kegiatan
bisnistelah dikenal sejak lama. Praktek-praktek perilakunya mempunyai daftar
kerugianbagi masyarakat konsumen. Kedua, semakin tinggi konsentrasi industri
cenderung mengurangi persaingan antar perusahaan yang kemudian membawa
perilaku yang kurang efisien. Dalam kenyataannya, sering terjadi bahwa
perusahaan-perusahaan besar menggunakan rintangan-rintangan masuk, sehingga
persaingan menjadi tidak wajar. Ketiga, konsentrasi industri yang tinggi
membawa konsentrasi kekayaan, yang melemahkan usaha-usaha pemerataan, baik
dilihat dari pemerataan pendapatan, kesempatan kerja, maupun kesempatan
berusaha. Keempat, kaitan struktur industri dengan penyelesaian masalah-masalah
ekonomi membawa lebih jauh intervensi pemerintah. Kelima, kajian-kajian
tentang struktur-perilaku dan kinerja industri tidak terlepas dari masalah-masalah
apa yang diproduksi, bagaimana, dan untuk siapa suatu barang dan jasa diproduksi
(Hasibuan, 1993).
Menurut Undang-undang No.18 Tahun 2009 mengenai Peternakan dan
Kesehatan Hewan, industri atau perusahaan peternakan adalah orang perorangan
atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan
hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang mengelola usaha peternakan dengan kriteria dan skala
tertentu. Industri peternakan umumnya dibagi menjadi on-farm dan off-farm. Onfarm secara umum berkaitan dengan segala macam usaha peternakan dalam
kandang (peternakan) sedangkan off-farm di luar peternakan seperti sarana
pendukung, obat, pembuatan pakan, hingga industri pengolahan.
Yang dimaksud dengan “Industri pengolahan produk hewan” adalah
kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil peternakan
yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi, dengan
memperhatikan aspek produk yang aman, sehat, utuh, dan halal (asuh). Industri ini

7
banyak berkembang di perkotaan yang dengan tipikal masyarakat urban yang
memilih produk jadi dan hasil olahan untuk konsumsi.
Kawasan Pengembangan Peternakan
Pelaksanaan penyebaran dan pengembangan ternak di suatu wilayah harus
melalui analisis terhadap potensi yang dimiliki wilayah tersebut berkenaan dengan
komoditi yang akan disebarkan dan dikembangkan. Pengembangan tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain ketersediaan pakan, ketersediaan lahan,
PDRB, sarana dan prasarana pendukung/kelembagaan, dan lain-lain (Mukson et al.
2005). Penyebaran dan pengembangan ternak di daerah bertujuan untuk
membentuk kawasan peternakan, keseimbangan pembangunan antar wilayah,
optimalisasi sumberdaya untuk meningkatkan pendapatan peternak, populasi dan
produksi, dalam rangka pemberdayaan masyarakat peternak. Menurut Makka
(2004), visi pembangunan peternakan telah ditetapkan yaitu terwujudnya
masyarakat yang sehat dan produktif serta kreatif melalui pembangunan
peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal. Sedangkan misinya adalah
sebagai berikut:
1. Menyediakan pangan asal ternak yang cukup baik kuantitas maupun
kualitas
2. Memberdayakan sumberdaya manusia peternakan agar dapat
menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi
3. Menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan peternak
4. Menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis peternakan
5. Melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya alam pendukung peternakan
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut grand strategy yang ditempuh
adalah melalui pembangunan totalitas seluruh sistem dan usaha agribisinis
peternakan mulai dari subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir dan
subsistem jasa-jasa pendukung. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999
dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Otonomi Daerah maka peran pemerintah
provinsi, kabupaten dan kota semakin penting dalam mewujudkan cita-cita
pembangunan agribisnis peternakan di Indonesia.
Penataan ruang membagi wilayah menjadi kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan
potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 417/Kpts/OT.210/7/2001 menyebutkan
bahwa lokasi penyebaran dan pengembangan ternak adalah suatu tempat di
wilayah penyebaran dan pengembangan ternak, terdiri dari satu desa atau lebih
dalam satu kecamatan yang diprioritaskan untuk penyebaran dan pengembangan
ternak. Kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan adalah konsentrasi
penyebaran dan pengembangan peternakan yang terdiri dari beberapa lokasi
dalam satu kabupaten. Wilayah penyebaran dan pengembangan ternak adalah
suatu kawasan yang potensial untuk penyebaran dan pengembangan ternak yang
terdiri dari satu kabupaten atau lebih dalam satu propinsi.

8
Daging, susu dan telur adalah produk pangan asal ternak yang sangat
penting dalam memenuhi gizi dan mencerdaskan masyarakat, di samping itu juga
adalah komoditas ekonomi yang strategis. Daging asal ternak diperoleh dari
berbagai sumber yaitu (i) unggas, (ii) ruminansia besar, (iii) ruminansia kecil dan
(iv) ternak lain. Sementara itu susu diperoleh dari ruminansia besar dan
ruminansia kecil, dan telur diperoleh dari unggas. Daging asal ruminansia besar
paling banyak disumbangkan oleh sapi potong, diikuti oleh kerbau dan sapi perah
(sapi jantan dan betina afkir). Total sumbangannya mencapai 24 % dari total
konsumsi daging nasional (Ditjenak, 2006 dalam Thalib et al. 2007). Secara
umum daging tersebut, walaupun berasal dari ketiga jenis ternak yang berbeda, di
pasar hanya dikenal sebagai daging sapi. Hanya sebagian kecil masyarakat
Indonesia yang mengakui adanya daging kerbau, walaupun kerbau dipotong
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sayangnya untuk daging sapi Indonesia
belum berswasembada, bahkan harus mengeluarkan devisa yang cukup besar
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan jumlahnya terus meningkat dari
tahun ke tahun akibat kesadaran gizi dan peningkatan pendapatan (Talib 2006).
Di kawasan pengembangan peternakan yang berintegrasi dengan subsektor
lainnya pengembangan ternak ruminansia baik ruminansia besar seperti sapi dan
kerbau maupun ruminansia kecil seperti kambing dan domba dapat memanfaatkan
limbah yang tersedia dari kegiatan di subsektor lainnya seperti tanaman pangan,
hortikultura dan perkebunan, maupun kehutanan dan perikanan sebagai pakan
ternak. Seperti diketahui biaya operasional terbesar dalam peternakan adalah
biaya pakan dan tenaga kerja. Dengan jalan mengintegrasikan kegiatan
pemeliharaan ternak dengan kegiatan usaha tani lainnya akan dihasilkan efisiensi
biaya produksi yang tinggi. Selain itu ternak ruminansia dapat menghasilkan
kotoran ternak dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan pengolahan secara
sederhana kotoran tersebut dapat diubah menjadi pupuk organik yang sangat
bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah. Selain digunakan untuk kebutuhan
sendiri pupuk kandang dapat dijual dengan harga yang lumayan. Sehingga secara
keseluruhan kombinasi kegiatan pemeliharan ternak ruminansia dan bercocok
tanam akan sangat menguntungkan petani dengan jalan pengurangan biaya
produksi dan peningkatan penghasilan.
Secara terperinci manfaat sistem tanaman dan ternak antara lain: (i)
meningkatkan akses terhadap kotoran ternak; (ii) peningkatan nilai tambah dari
tanaman atau hasil ikutannya; (iii) mempunyai potensi mempertahankan
kesehatan dan fungsi ekosistem; dan (iv) mempunyai kemandirian yang tinggi
dalam penggunaan sumberdaya mengingat nutrisi dan energi saling mengalir
antara tanaman dan ternak.Berbagai pilihan model pengembangan dapat
diterapkan (Thalib et al. 2007), diantaranya,
1. Integrasi jagung-kedelai dengan ayam ras dan sapi potong di perkebunan
jagung-kedelai. Perkebunan menghasilkan biji jagung dan kedelai untuk
konsumsi ayam dan penggemukan sapi, jerami jagung dan jerami kedelai
dapat digunakan untuk pakan sapi. Kotoran ternak dapat digunakan sebagai
biogas untuk pengeringan jagung dan kedelai agar berkualitas bagus ataupun
untuk keperluan lainnya, sisa biogas dapat digunakan untuk kompos pada
perkebunan.
2. Integrasi padi dengan ayam ras dan sapi potong di lahan sawah/pasang surut.
Lahan akan menghasilkan beras, dedak dan sekam, serta jerami padi. Dedak

9
dan jerami untuk konsumsi ternak, sekam untuk alas kandang. Kotoran ternak
dapat digunakan sebagai biogas untuk pengeringan padi agar berkualitas bagus
ataupun untuk keperluan lainnya, sisa biogas dapat digunakan untuk kompos
pada lahan tanam.
3. Integrasi sapi pada perkebunan sawit. Perkebunan dan industri perkebunan
menghasilkan daun, pelepah dan tandan sawit serta limbah sawit yang
merupakan pakan sapi. Kotoran sapi dapat digunakan sebagai pupuk pada
lahan perkebunan.
4. Integrasi sapi dengan perkebunan tebu. Perkebunan tebu dan industri gula
akan menghasilkan pucuk tebu, ampas tebu dan tetes yang semuanya dapat
dimakan sapi, sedangkan kotoran sapi dapat digunakan untuk biogas dan
pupuk.
5. Peternakan sapi di padang rumput dengan sistem penggembalaan maupun cut
and carry yang hanya dapat dilakukan pada lahan-lahan terbuka yang memang
sudah ditetapkan statusnya sebagai lahan peternakan. Tanpa adanya penetapan
status lahan maka pasti akan hilang.
6. Peternakan sapi di kandang komunal atau pada kawasan peternakan yang
sesuai dengan kondisi setempat.
Model-model integrasi butir 1-4 dapat dibangun oleh swasta secara mandiri
maupun dalam sistem inti-plasma dengan penerapan fairness policy dalam berbagi
keuntungan dan risiko secara proporsional. Sedangkan untuk wilayah dengan
lahan sempit lebih tepat menggunakan model butir 6 (Thalib et al. 2007).
Sistem Informasi Geografis
Konsep sistem informasi geografis (SIG) telah diperkenalkan di Indonesia
sejak pertengahan tahun 1980-an, dan kini telah dimanfaatkan di berbagai bidang
baik pemerintahan maupun swasta. Kemampuan dasar dari SIG adalah
mengintegrasikan berbagai operasi basis data seperti query, menganalisisnya, dan
menyimpan serta menampilkannya dalam bentuk pemetaan berdasarkan letak
geografisnya. Inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lain.
Komponen SIG terdiri atas hardware, software, data, dan user. Dengan adanya
SIG diharapkan tersedia informasi yang cepat, benar dan akurat tantang keadaan
di lingkungannya (Qoriani 2012).
SIG adalah alat untuk mengumpulkan, menyimpan, menerima, mengubah,
dan menampilkan data spasial untuk seperangkat tujuan tertentu. SIG juga
memungkinkan untuk penggunaan seperangkat operasi sederhana (seperti tumpah
susun/ overlay, klasifikasi, interpolasi, agregasi informasi spasial) yang dapat
menghasilkan informasi tambahan dalam memprediksi dampak. Misalnya,
dampak okupasi tanah pertanian, gangguan ekologis pada daerah sensitif,
gangguan air, serta perubahan aksesibilitas yang dapat langsung diprediksi dari
informasi yang tersimpan dalam SIG dengan cara operasi overlay data tematik
(Antunes et al. 2001).
Rivas et al. (1994) dalam Antunes et al. (2001) menyatakan bahwa SIG
menyajikan suatu metodologi untuk evaluasi dampak rencana tata guna lahan,
berdasarkan perhitungan indeks dampak yang diperoleh dengan cara overlay
rencana tata guna lahan dengan peta tematik. Selanjutnya Smit dan Spaling (1995)
dalam Antunes et al. (2001) merujuk beberapa penelitian dimana SIG telah

10
diterapkan untuk mengevaluasi efek kumulatif melalui analisis deret waktu (time
series).
Perkembangan penggunaan SIG muncul sebagai akibat dari beberapa faktor
yang saling terkait. Pertama, terdapat banyak produk perangkat lunak SIG yang
tersedia dari vendor komersial dan universitas. Kedua, teknologi komputer terkini
mampu menangani banyak komputasi, pengambilan, dan masalah penyimpanan
data dalam jangka waktu dan biaya yang wajar. Ketiga, tampilan grafis komputer
dan plotter yang canggih, cepat, serta menghasilkan keluaran hasil yang
beresolusi tinggi. Keempat, vendor data geografis serta instansi pemerintah seperti
Lembaga Sensus Pemerintah telah menyediakan sejumlah besar data geografis
dengan biaya yang wajar. Kelima, penggunaan penginderaan jauh telah diperluas,
terutama dalam pemantauan lingkungan. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan
sistem yang mampu menangani data dalam jumlah besar serta berfungsi sebagai
sumber utama informasi penutupan lahan. Keenam, munculnya Global
Positioning System (GPS) telah mempermudah pengumpulan informasi lokasi
data atribut dengan biaya yang relatif rendah dan akurasi yang relatif tinggi.
Faktor-faktor tersebut menyumbang kontribusi pada pertumbuhan industri SIG
(Church 2002).
SIG mempunyai peran yang penting dalam berbagai aspek kehidupan
dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis,berbagai macam informasi dapat
diolah dan dianalisis yang kemudian dikaitkan dengan letaknya di permukaan
bumi. Menurut Barus dan Wiradisastra (2009), SIG adalah suatu sistem informasi
yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau
berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data
dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan
seperangkat operasi kerja. Berdasarkan operasinya SIG dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu : (1) SIG secara manual yang beroperasinya memanfaatkan
peta cetak (kertas/transparan), bersifat data analog; (2) SIG secara terkomputer
atau sering disebut SIG otomatis, dimana prinsip kerjanya sudah sama dengan
komputer, sehingga datanya merupakan data digital. Bila dibandingkan cara
manual dengan sistem komputer, maka jika diperlukan data dalam jumlah besar
dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per satuan
yang lebih rendah. Demikian pula dalam hal memanipulasi data spasial dan
mengaitkannya dengan informasi atribut serta mengintegrasikannya dengan
berbagai tipe data dalam suatu analisis. Kemampuan untuk melaksanakan analisis
spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan
kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model-model keputusan,
deteksi perubahan, analisis dan tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan
membuat perbaikan-perbaikan secara terus-menerus. Operasi yang interaktif
menjadi praktis karena dapat dilakukan dengan cepat dengan biaya yang relatif
murah.
Dari berbagai definisi yang disimpulkan oleh Prahasta (2005), SIG dapat
diuraikan menjadi beberapa subsistem yaitu data input, data output, data
manajemen dan data analisis dan manipulasi. SIG merupakan sistem kompleks
yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain
di tingkat fungsional dan jaringan, yang terdiri dari beberapa komponen seperti
perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi geografis serta manajemen.

11
Penginderaan Jauh
SIG dan penginderaan jauh adalah seperangkat alat yang kuat dan hemat
biaya untuk menilai dinamika spasial-temporal dari perubahan penutupan dan
penggunaan lahan. Penginderaan jauh menyediakan data proses dan pola
perubahan penggunaan lahan secara multi-temporal, sedangkan SIG berguna
untuk analisis dan pemetaan pola perubahan yang ada. Selain itu, retrospektif dan
konsistensi cakupan sinoptik dari satelit sangat berguna pada daerah-daerah
dimana perubahan terjadi secara cepat Selanjutnya, karena arsip digital data
penginderaan jauh memberikan kesempatan untuk mempelajari sejarah perubahan
penggunaan lahan, pola perubahan tersebut dapat dievaluasi dalam kaitannya
dengan faktor lingkungan dan manusia (Dewan dan Yamaguchi 2009).
Interpretasi visual dapat diartikan sebagai usaha mengenali suatu
kenampakan obyek pada citra satelit melalui suatu proses dalam otak manusia
kemudian menjadikannya sebagai informasi yang berguna (Lillesand dan Kiefer
1997). Interpretasi citra pada dasarnya terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu 1)
penyadapan data dari citra dan 2) penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu.
Penyadapan data dari citra berupa pengenalan obyek yang tergambar pada citra
serta penyajiannya ke tabel, grafik dan peta tematik. Obyek yang telah dikenali
jenisnya kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tujuan interpretasi dan
digambarkan pada peta.
Satelit Ikonos adalah satelit resolusi tinggi yang dioperasikan oleh GeoEye.
Kemampuannya yang terliput adalah mencitrakan dengan resolusi multispektral
3,2 meter dan inframerah dekat (0,82mm) pankromatik. Aplikasinya untuk
pemetaan sumberdaya alam daerah pedalaman dan perkotaan, analisis bencana
alam, kehutanan, pertanian, pertambangan, teknik konstruksi, pemetaan
perpajakan, dan deteksi perubahan. Ikonos menyediakan pandangan udara dan
foto satelit untuk banyak tempat di seluruh dunia.
Model Cellular Automata
Purnomo (2012) menyatakan bahwa model bermanfaat untuk
meningkatkan kecepatan pembelajaran, sehingga dapat merumuskan skenario ke
depan atau alternatif kebijakan yang lebih baik. Model juga bisa digunakan
untukmenguji sebuah hipotesis, yang karena sifatnya sulit diuji dalam dunia nyata.
Model dapat digunakan untuk mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan dan
pengembangan perencanaan dan agenda bersama antar pihak dalam kasus
pemodelan partisipatif.
Selanjutnya menurut Purnomo (2012), otomata adalah bidang ilmu
komputer yang mempelajari representasi matematika dari finite state machines
(FSM). FSM adalah sebuah mesin yang jika diberi input, akan mendapatkan
kondisi-kondisi (states) sesuai dengan fungsi transisi yang diberikan. Fungsi
transisi ini memberikan arahan pada otomaton (obyek dari otomata) tentang state
apa yang harus dipunyai berikutnya. Fungsi transisi ini mengubah dari state
sekarang menuju state berikutnya.
Menurut Huan et al. (2010) konsep Cellular Automata (CA) awalnya
diperkenalkan oleh Ullam dan Neumann (1940-an) untuk menyediakan kerangka
untuk menginvestigasi perilaku sistem yang kompleks. CA mensimulasikan
kondisi lingkungan yang diwakili oleh struktur grid atau raster (piksel), dimana

12
terdapat seperangkat fungsi transisi. Model yang berbasis pada CA umumnya
berorientasi pada prediksi atau simulasi, dimana model statistika multivariat
difokuskan pada hubungan antara transisi penggunaan lahan dengan faktor-faktor
yang mempengaruhinya (Luo dan Wei 2009).
Salah satu kunci metode CA adalah bahwa pola spasial global yang
kompleks bisa disederhanakan dengan menggunakan seperangkat aturan lokal
yang sederhana. CA banyak digunakan untuk mensimulasikan dan memprediksi
fenomena perubahan yang kompleks dari bentuk-bentuk spasial temporal,
misalnya dinamika perubahan landskap dan penggunaan lahan (Huan et al. 2010).
Vliet et al. (2009) menyatakan bahwa model CA digunakan dalam beberapa
model perubahan penggunaan lahan, dimana digunakan terutama untuk
mensimulasikan dinamika perkotaan. Sekarang ini, model penggunaan lahan
dengan menggunakan CA telah diterapkan sebagai alat untuk mendukung
perencanaan penggunaan lahan dan analisis kebijakan serta mengeksplorasi
skenario untuk pembangunan di masa depan. CA pada dasarnya terdiri dari unsurunsur berikut : 1) sel ruang, 2) seperangkat sel state yang terbatas, 3) definisi dari
sel tetangga, 4) seperangkat aturan transisi untuk menghitung perubahan sel state,
dan 5) waktu di mana semua sel state secara simultan diperbarui. Sistem CA
biasanya terdiri dari empat elemen yaitu, piksel (cell), kondisi (states),
ketetanggaan (neighborhood) dan aturan (rules). Sistem CA yang lebih modern,
telah mengembangkan simulasi dengan konsep kesesuaian pengembangan
(development suitability) dan probabilitas pengembangan (development
probability). Kriteria perubahan pada cell dengan derajat kesesuaian tinggi akan
dipilih paling pertama untuk berubah (Jacob et al. 2008).
Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP)
Di dalam pengambilan suatu keputusan, banyak sekali kriteria yang harus
diperhitungkan baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Banyak diantara
kriteria-kriteria tersebut dapat bersifat conflicting (saling bertentangan) pada suatu
alternatif sehingga dalam pengambilan keputusan dengan melibatkan kriteria
ganda (multi-criteria decision making) yang dihasilkan adalah solusi kompromi
(compromised solution) terhadap semua kriteria yang diperhitungkan.
Salah satu teknik analisis kriteria ganda adalah Proses Hirarki Analitik
(PHA/Analytical Hierarchy Process) yang dikembangkan oleh Thomas L.Saaty
pada awal 1970-an. Analisis kriteria ganda dengan PHA didasarkan atas
konsepdekomposisi dan sintetis dengan penyajian struktur kriteria secara
hierarkis. Model Struktur PHA 2 Level dengan N kriteria dan M alternatif
disajikan pada Gambar 2.

13

Gambar2 Model struktur PHA 2 level dengan n kriteria dan m alternatif menurut
Saaty (1980)

Untuk memperoleh bobot dari tiap-tiap kriteria, PHA menggunakan
perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dengan skala 1 sampai 9
dimana:1 = sama penting (equal importance); 3 = sedikit lebih penting (moderate
more importance); 5=cukup lebih penting (essential, strong more importance);7=
jauhlebihpenting(demonstrated importance);9=mutlaklebih penting (absolutely
more importance); 2, 4, 6, 8
= nilai-nilai antara yang
memberikankompromi(greyarea).
Di dalam analisa multi kriteria ganda diperhitungkan juga kriteria kualitatif
yang memungkinkan terjadinya ketidakkonsistenan (inconsistency) dalam
penilaian perbandingan kriteria-kriteria atau alternatif-alternatif. Salah satu
cara pengukuran konsistensi diusulkan oleh Saaty melalui indeks
konsistensi (Consistency Index/CI) yang didefinisikan sebagai:

dengan n menyatakan jumlah kriteria/alternatif yang dibandingkan dan
λmax adalah nilai eigen (eigen value) yang terbesar dari matriks
perbandingan berpasangan orde n. Jika CI bernilai 0 maka berarti keputusan
penilaian tersebut bersifat perfectly consistent dimana λ max sama dengan
jumlah kriteria yang diperbandingkan yaitu
n. Semakin tinggi nilai CI
semakin tinggi pula tingkat ketidakkonsistenan dari keputusan perbandingan
yang telah dilakukan.
Rasio konsistensi (CR/Consistency Ratio) dirumuskan sebagai
perbandinganantara Consistency Index (CI) dan Random Index (RI)
denganrumussebagaiberikut:

Tabel nilai-nilai RI untuk beberapa nilai n disajikan pada tabel di bawah
ini:

14
Tabel 1. Nilai RI pada beberapa nilai n
N
RI

1
0

2
0

3
0,58

4
0,90

5
1,12

6
1,24

7
1,32

8
1,41

9
1,45

10
1,49

11
1,51

12
1,48

13
1,56

14
1,57

15
1,59

Nilai CR yang lebih besar dari 0,1 perlu dilakukan peninjauan kembali
terhadap penilaian responden (Saaty, 1980).
Proses hirarki analitik merupakan salah satu metode analisis yang banyak
digunakan dalam pengambilan keputusan. Baja (2002) dalam makalahnya
yang berjudul Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Analytic Hierarchy
Process dalam Studi Alokasi dan Optimasi Penggunaan Lahan Pertanian
memberikan dua macam pendekatan analisis dengan PHA.
Menurut Saaty (1980) langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis
menggunakan metode PHA adalah:
1. mengidentifikasi/menetapkan masalah-masalah yang muncul;
2. menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai;
3. mengidentikasi kriteria-kriteria yang mempunyai pengaruh terhadap
masalah yang ditetapkan;
4. menetapkan struktur hierarchy;
5. men