Cloning Method of Pest Resistance Gene from Sengon (Paraserianthes falcataria).

PENGEMBANGAN METODE KLONING GEN KETAHANAN
TERHADAP HAMA PADA SENGON (Paraserianthes falcataria)

ANA TAMPANG

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Metode Kloning
Gen Ketahanan terhadap Hama pada Sengon (Paraserianthes falcataria) adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.


Bogor, Januari 2012

Ana Tampang
NRP E451080021

ABSTRACT
ANA TAMPANG. Cloning Method of Pest Resistance Gene from Sengon
(Paraserianthes falcataria). Under Direction of ULFAH J SIREGAR and ARUM
SEKAR WULANDARI.
Sengon is one of fast growing trees species, which is widely cultivated in
plantations forest in Indonesia due to its multipurpose nature, and easy to grow.
The plantation, however, faces serious problem of stem borer (Xystrocera festiva)
attack, which was reported could destroyed sengon plantation. Meanwhile,
several studies have reported the role of trypsin inhibitors (TI) and alpha-amylase
inhibitor (AAI) in resistance in trees to insects. This research aimed at cloning a
possible pest resistance gene from sengon. Sengon genomic DNA was isolated
using CTAB buffer combined with binding columnn of GenElute plant Genomic
DNA Miniprep Kit. Designed primer pairs did not generate amplicon. PCR
products were obtained from published degenerate primers as two amplicons, with
predicted size of 350 bp and 550 bp for AAI gene, and 600 bp and 800 bp for TI

gene. Cloning with pGEM-T Easy vector resulted in several white colonies.
Sequencing from selective colonies with long and short amplicon of AAI and TI
sequences with 693 nucleotide, 278 nucleotide and 832 nucleotide, 278
nucleotide, respectively. BLASTN and BLASTX the sequences did not confirm
that the inserts were AAI and TI genes. Further research is still needed to identify
pest resistance gene in sengon tree.
Keywords: Sengon (Paraserianthes falcataria), alpha-amylase inhibitor gene,
trypsin inhibitor gene, cloning

RINGKASAN
ANA TAMPANG. Pengembangan Metode Kloning Gen Ketahanan terhadap
Hama pada Sengon (Paraserianthes falcataria). Dibimbing oleh ULFAH J
SIREGAR dan ARUM SEKAR WULANDARI.
Pengembangan tanaman sengon (Paraseritanthes falcataria) memiliki
beberapa kendala, salah satunya adalah serangan hama boktor (Xystrocera
festiva). Serangan hama ini ditandai dengan banyaknya lubang gerek pada batang
sehingga menyebabkan penurunan kualitas kayu bahkan dapat menyebabkan
kematian pohon. Pengembangan tanaman sengon yang tahan terhadap serangan
hama dengan bantuan penanda molekuler merupakan salah satu upaya dalam
pengendalian hama. Salah satu penanda molekuler yang dapat digunakan adalah

penanda molekuler atas dasar sekuen gen yang mempengaruhi ketahanan terhadap
hama, seperti gen tripsin inhibitor (TI) dan alfa amilase inhibitor (AAI). Deteksi
gen-gen yang berperan dalam ketahanan hama ini dapat terbantu dengan
penggunaan PCR (Polymerase Chain Reaction). Beberapa primer spesifik telah
didesain dan digunakan dengan tujuan mendapatkan hasil amplifikasi yang lebih
jelas untuk mendeteksi suatu gen target. Pengembangan metode molekuler
melalui kloning hasil PCR dengan menggunakan primer spesifik gen AAI dan TI
penting dilakukan untuk menghasilkan informasi genetik yang dapat digunakan
sebagai acuan untuk mengontrol dan melindungi tanaman dari serangan hama,
khususnya terhadap pohon sengon yang rentan terhadap serangan hama boktor
melalui program pemuliaan pohon.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode kloning gen pada
sengon untuk mendeteksi gen TI dan AAI sebagai gen yang berperan terhadap
ketahanan serangan hama pada sengon. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Bioteknologi SEAMEO-BIOTROP Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan bulan
September 2010 sampai Oktober 2011.
Pelaksanaan penelitian yang dilakukan meliputi isolasi DNA genomik
sengon dengan 3 (tiga) macam metode isolasi, perancangan primer menggunakan
program primer3, amplifikasi DNA genomik dengan PCR menggunakan primer
spesifik terhadap gen AAI dan TI hasil desain program maupun primer yang sudah

dipublikasikan, ekstraksi DNA hasil PCR dari gel agarose menggunakan Kit
QiaquickR Spin (Qiagen) dengan metode mikrosentrifuse, ligasi fragmen DNA
pada vektor kloning pGEM-T Easy, pembuatan sel kompeten Escherichia coli
dengan metode CaCl2, transformasi dengan menggunakan metode kejut panas
(heat shock) dan seleksi plasmid rekombinan berdasarkan hasil PCR
menggunakan pasangan primer M13, isolasi DNA plasmid rekombinan
PurelinkTM Quick Plasmid Miniprep Kit (Invitrogen), sekuensing dan analisis
homologi sekuen menggunakan program blastx dan blastn.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode isolasi DNA genomik
sengon menggunakan buffer CTAB yang dikombinasikan dengan penggunaan
binding column dari GenElute plant Genomic DNA Miniprep Kit menghasilkan
kualitas DNA terbaik, namun dalam kuantitas yang lebih kecil. Primer hasil
desain menggunakan program primer3 terhadap sekuen dengan nomor aksesi
U10353.1 dan EU088405.1 pada data base NCBI tidak menghasilkan amplikon

pada DNA sengon dalam proses PCR dengan suhu annealing 45 oC - 62 oC. Hasil
PCR menggunakan primer spesifik gen alfa amilase inhibitor (α-AI1) yang telah
dipublikasikan menghasilkan dua ukuran amplikon yang diperkirakan berukuran
350 pb dan 550 pb. Hasil PCR menggunakan primer spesifik gen tripsin inhibitor
(Astart/Astop) yang telah dipublikasikan menghasilkan dua ukuran amplikon yang

diperkirakan berukuran 600 pb dan 800 pb. Fragmen-fragmen DNA berhasil
diklon menggunakan vektor pGEM-T Easy yang ditandai dengan tumbuhnya
koloni transforman berwarna putih pada media seleksi. Seleksi plasmid
rekombinan dilakukan dengan PCR terhadap koloni transforman menggunakan
primer M13. Isolasi DNA plasmid rekombinan dilakukan terhadap koloni
transforman terpilih yaitu koloni yang diperkirakan mempunyai amplikon sesuai
dengan ukuran insert hasil amplifikasi PCR. Hasil sekuensing memperlihatkan
bahwa DNA plasmid rekombinan terpilih mempunyai ukuran gen insert yang
berhasil diamplifikasi menggunakan primer α-AI1 adalah 278 pb dan 693 pb
sedangkan yang diamplifikasi dengan menggunakan primer Astart/Astop masingmasing berukuran 278 pb dan 832 pb. Analisis homologi menggunakan program
BLASTN dan BLASTX terhadap sekuen-sekuen tersebut tidak homolog dengan
gen AAI dan TI yang ada pada bank gen.
Kata kunci: Sengon (Paraserianthes falcataria), gen alfa amilase inhibitor, gen
tripsin inhibitor, kloning.

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kririk, atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Penguji Luar Komisi Pembimbing : Dr.Ir. Tetty Chaidamsari, M.Si

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis
Nama
NRP

: Pengembangan Metode Kloning Gen Ketahanan terhadap
Hama pada Sengon (Paraserianthes falcataria)
: Ana Tampang
: E451080021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Ulfah J. Siregar, M.Agr
Ketua

Dr.Ir. Arum Sekar Wulandari, MS
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Silvikultur Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Basuki Wasis, MS

Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 23 Desember 2011


Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan, karena atas berkat-Nya
penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengembangan Metode Kloning
Gen Ketahanan terhadap Hama pada Sengon (Paraserianthes falcataria)”.
Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan kepada :
1. Dr.Ir. Ulfah J.Siregar,M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.Ir.
Arum Sekar Wulandari,MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberi bimbingan dan saran dalam berbagai kesempatan diskusi yang
berkaitan dengan penelitian ini.
2. Dr.Ir. Basuki Wasis, MS selaku Ketua Program Studi Silvikultur Tropika dan
Dr.Ir. Tetty Chaidamsari,M.Si selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
yang telah memberi banyak masukan dan saran.
3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas beasiswa BPPS sehingga penulis
dapat mengikuti pendidikan di Program Studi Silvikultur Tropika, Sekolah
Pascasarjana IPB.
4. Bapak, Mama, Kak Ida, Kak Yani, Kak Eta dan semua keponakan atas segala
doa dan kasih sayangnya.

5. Anidah dan Nina yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan di
laboratorium.
6. Rekan-rekan Pascasarjana Program Studi Silvikultur Tropika secara khusus
angkatan 2008 atas bantuan dan kebersamaan selama ini.
7. Rekan-rekan Ikatan Mahasiswa Papua di Bogor dan berbagai pihak yang tidak
bisa disebutkan satu persatu, untuk semua dorongan dan bantuan yang
diberikan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Januari 2012

Ana Tampang

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 12 Februari 1982 dari ayah
Junus Sulle dan ibu Helce Kombong. Penulis merupakan anak keempat dari
empat bersaudara.
Pada tahun 1999 penulis diterima pada Program Studi Budidaya Hutan,
Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih (sekarang Universitas Negeri
Papua). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2004. Tahun 2005

penulis lulus seleksi CPNS di lingkungan Universitas Negeri Papua dan bekerja
sebagai staf pengajar di Jurusan Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Penulis
mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pascasarjana pada tahun 2008
melalui beasiswa BPPS. Pendidikan pascasarjana ditempuh pada Program Studi
Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ....... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ...... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. .... xiii
PENDAHULUAN ........................................................................................ ........ 1
Latar Belakang ........................................................................................ ........ 1
Tujuan dan Manfaat ............................................................................... ........ 4
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. ........ 5
Risalah Sengon (Paraserianthes falcataria) ........................................... ........ 5
Hama Boktor (Xystrocera festiva) ......................................................... ........ 6
Gen Tripsin Inhibitor dan Alfa Amilase Inhibitor ................................... ........ 9
Perancangan Primer . .............................................................................. …... 10
Polymerase Chain Reaction (PCR)......................................................... …... 12

Kloning Gen .. ......................................................................................... …... 12
Sekuensing dan Analisis Homologi .. ..................................................... …... 14
METODE PENELITIAN .......................................................... ................... ....... 16
Tempat dan Waktu ................................................................................... ....... 16
Bahan dan Alat ......................................................................................... ....... 16
Prosedur Pelaksanaan Penelitian .............................................................. ....... 16
Sekuensing dan Analisis Homologi ......................................................... ....... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... .......... ....... 23
Isolasi DNA Genomik Sengon ................................................................. ....... 23
Perancangan Primer .................................................................................. ....... 25
PCR DNA Sengon dengan Primer Spesifik ............................................. ....... 26
Kloning Fragmen DNA Hasil PCR.......... ................................................ ....... 29
Sekuensing DNA dan Analisis Homologi ................................. .............. ....... 31
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... .......... ....... 36
Kesimpulan ............................................................................................... ....... 36
Saran ......................................................................................................... ....... 36
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... ....... 37
LAMPIRAN .................................................................................................. ....... 41

DAFTAR TABEL
Halaman
Sekuen primer gen AAI dan TI hasil desain menggunakan program
primer3 ....................................................................................................

19

2

Sekuen primer gen AAI dan TI yang sudah dipublikasikan ...................

19

3

Hasil perhitungan kemurnian dan konsentrasi DNA template ................

24

4

Primer gen AAI dan TI hasil desain menggunakan program primer3 ....

25

1

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kumbang Xystrocera festiva .................................................................

7

2 Pohon sengon yang terserang hama boktor .............................................

8

3 Peta retriksi vektor pGEM-T Easy ..........................................................

13

4 Hasil elektroforesis DNA genomik daun sengon yang diperoleh
dengan metoda 1 (A), metoda 2 (B) dan metoda 3 (C) ...........................

23

5 Profil elektroforesis produk PCR dengan menggunakan primer
hasil desain pada beberapa suhu annealing .. .........................................

26

6 Profil elektroforesis amplifikasi DNA genomik sengon
menggunakan pasangan primer α-AI1 . ..................................................

27

7 Profil elektroforesis amplifikasi DNA genomik sengon
menggunakan pasangan primer Astart/Astop . ............................................

28

8 Profil elektroforesis pita DNA hasil ektraksi dari gel agarose................

28

9 Koloni bakteri transforman yang berhasil tumbuh pada media
seleksi .....................................................................................................

29

10 Profil elektroforesis PCR koloni hasil transformasi menggunakan
pasangan primer M13 . ...........................................................................

30

11 DNA plasmid rekombinan hasil transformasi . .......................................

31

12 Hasil BLASTN dengan entri sekuen fragmen 693 pb yang
diamplifikasi dengan primer α-AI1 . .......................................................

33

13 Hasil BLASTN dengan entri sekuen fragmen 832 pb yang
diamplifikasi dengan primer Astart/Astop . .................................................

33

14 Hasil BLASTX dengan entri sekuen fragmen 832 pb yang
diamplifikasi dengan primer Astart/Astop . .................................................

34

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Sekuen nukleotida gen alfa amilase inhibitor untuk desain primer ........

41

2

Hasil perancangan primer gen alfa amilase inhibitor menggunakan
program primer3 terhadap sekuen dengan nomor aksesi U10353.1 ......

42

3

Sekuen nukleotida gen tripsin inhibitor untuk desain primer .................

44

4

Hasil perancangan primer gen tripsin inhibitor menggunakan
program primer3 terhadap sekuen dengan nomor aksesi EU088405.1 . .

45

Hasil sekuensing fragmen DNA yang diamplifikasi menggunakan
primer α-AI1 ukuran 693 (A) dan 278 (B) . ............................................

46

Hasil sekuensing fragmen DNA yang diamplifikasi menggunakan
primer Astart/Astop ukuran 832 (A) dan 278 (B) . ......................................

47

Sekuen vektor pGEM-T Easy . ...............................................................

48

5
6
7

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kebutuhan kayu terus meningkat sedangkan pasokan bahan baku kayu
terutama yang berasal dari hutan alam yang tersedia semakin berkurang.
Pengembangan hutan tanaman dilakukan dalam upaya pemenuhan akan
kebutuhan kayu tersebut. Umumnya jenis-jenis yang dikembangkan adalah jenisjenis yang tergolong cepat tumbuh (fast growing species). Beberapa jenis pohon
hutan telah dikembangkan pada hutan tanaman, salah satunya adalah sengon
(Paraserianthes falcataria).
Sengon merupakan jenis pohon yang temasuk dalam famili Leguminosae
(Atmosuseno 1998). Sengon banyak diminati dalam pengembangan hutan
tanaman. Jenis ini memiliki keunggulan yaitu cepat tumbuh dan mudah tumbuh
karena tidak terlalu membutuhkan kondisi tempat tumbuh yang rumit sehingga
jenis ini sesuai digunakan untuk penghijauan lahan-lahan kritis.

Riap

3

pertumbuhan sengon rakyat rata-rata mencapai 20 m /ha/tahun, bahkan pada
kebun benih sengon di Candiroto Temanggung
m3/ha/tahun (Rimbawanto 2008).

riap volume sebesar 27,26

Kegunaan pohon sengon cukup banyak.

Kayunya dapat digunakan sebagai bahan baku pulp maupun untuk kayu
pertukangan, akar pohon dapat bersimbiosis dengan rhizobium yang membantu
menyuburkan tanah bahkan daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak.
Pemanfaatan kayu sengon juga semakin meningkat seiring teknologi pengawetan
kayu yang makin berkembang.
Kebutuhan kayu sengon tiap tahunnya mencapai 500 ribu m3 dengan harga
jualnya mencapai Rp 650.000,-/m3 (Siregar et al. 2010). Kebutuhan kayu yang
masih tinggi dengan harga jual yang cukup baik dapat dijadikan peluang untuk
mengembangkan jenis ini. Pengembangan sengon mempunyai beberapa kendala.
Salah satu kendala utama pengembangan tanaman sengon adalah serangan hama
boktor (Xystrocera festiva). X. festiva merupakan hama yang serangannya cukup
serius pada hutan tanaman (Nair 2007).

Serangan hama ini ditandai dengan

banyaknya lubang gerek pada batang sehingga menyebabkan penurunan kualitas
kayu bahkan dapat menyebabkan kematian pohon.

2

Salah satu upaya pengendalian hama secara hayati, yaitu dengan
mengembangkan tanaman sengon yang tahan terhadap serangan hama. Tanaman
yang di lapangan terlihat tahan terhadap serangan hama masih perlu diuji untuk
memastikan bahwa sifat ketahanan tersebut disebabkan oleh faktor genetik
sehingga diharapkan sifat ketahanan tersebut dapat diwariskan kepada generasi
selanjutnya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menguji kembali
ketahanan klon-klon harapan tersebut. Jaya et al. (2004) menyatakan bahwa
penanaman kembali di daerah serangan dapat memberikan indikasi langsung
mengenai ketahanan tanaman terhadap hama tersebut.

Namun cara tersebut

memerlukan waktu yang relatif lama karena memerlukan proses perbanyakan
tanaman dan waktu hingga tanaman dapat berbuah. Selain itu juga memerlukan
lahan yang luas. Cara yang lebih efisien dapat ditempuh dengan menggunakan
metoda molekuler di antaranya adalah penggunaan penanda molekuler. Salah satu
penanda molekuler yang dapat digunakan adalah penanda molekuler atas dasar
sekuen gen tanaman yang berperan dalam ketahanan hama, seperti gen tripsin
inhibitor (TI) dan alfa amilase inhibitor (AAI).
Beberapa peneliti telah melaporkan peranan TI dan AAI dalam ketahanan
tanaman terhadap hama. Tanaman padi transgenik yang mengekspresikan gen
CpTI (Cowpea Trypsin Inhibitor) secara signifikan meningkat daya resistennya
terhadap dua spesies penggerek batang padi (Xu et al. 1996). Penelitian lain yang
dilakukan oleh Shukla et al. (2005) juga menunjukkan bahwa Soybean Trypsin
Inhibitor mampu meningkatkan jumlah kematian dan menekan jumlah pupa
Helicoverpa armigora dibandingkan kontrol (tanpa tripsin inhibitor). Selain TI,
gen AAI juga diketahui berperan dalam ketahanan terhadap serangan hama.
Pisum sativum transgenik yang mengekspresikan gen AAI kacang (Bean αamylase inhibitor) dapat memberikan perlindungan terhadap Bruchus pisorum
(Morton et al. 2000). Lebih lanjut Barbosa et al. (2010) menyatakan bahwa αamylase inhibitor-1 dari benih kopi arabika (Coffea arabica) transgenik mampu
menghambat aktivitas enzim alfa amilase hama Hypotheneumus hampei (coffe
berry borer) sehingga berpotensi dalam pengendalian hama tersebut.
Deteksi gen-gen ketahanan hama ini dapat terbantu dengan penggunaan
PCR (Polymerase Chain Reaction). PCR sangat berguna dalam perbanyakan

3

DNA secara in vitro sehingga memudahkan dalam mempelajari aspek-aspek
genetik.

Spesifisitas dan efisiensi PCR sangat ditentukan oleh primer yang

digunakan.

Primer merupakan komponen PCR yang sangat menentukan

ketepatan sekuen DNA yang ingin diamplifikasi. Urutan nukleotida primer akan
menjadi penentu pada bagian mana primer akan menempel pada DNA. Desain
primer yang tepat merupakan salah satu langkah penting untuk keberhasilan
mengsekuen DNA (Abd-Elsalam 2003). Beberapa primer spesifik telah didesain
dan digunakan dengan tujuan mendapatkan hasil amplifikasi yang lebih jelas
untuk mendeteksi suatu gen target, seperti dalam mendeteksi Phytopthora
palmivora penyebab penyakit busuk buah pada tanaman kakao (Darmono et al.
2006) dan untuk mendeteksi bakteri Xanthomonas axonopodis pv. glycines
penyebab penyakit bisul bakteri pada kedelai (Pratiwi 2004). Desain primer dapat
dilakukan dengan memanfaatkan teknologi bioinformatika yaitu dengan
mengakses internet untuk mendapat sekuen nukleotida yang tersimpan dalam
database bank gen dan menyusunnya sehingga menjadi susunan nukleotida suatu
primer. Bioinformatika selain untuk mendesain primer dapat juga digunakan
untuk membandingkan suatu sekuen dengan sekuen yang tersimpan dalam bank
data menggunakan program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST)
(Altschul et al. 1997) untuk mendeteksi suatu gen.
Jaya et al. (2004) melakukan pendeteksian gen inhibitor proteinase (PIN)
dengan menggunakan primer spesifik terhadap PIN pada tanaman kakao yang
diduga berperan dalam sistem ketahanan tanaman kakao terhadap hama
Penggerek Buah Kakao (BPK).

Pengembangan metoda molekuler melalui

kloning hasil PCR dengan menggunakan primer spesifik gen AAI dan TI penting
dilakukan untuk menghasilkan informasi genetik yang dapat digunakan sebagai
acuan untuk mengontrol dan melindungi tanaman dari serangan hama, khususnya
terhadap pohon sengon yang rentan terhadap serangan hama boktor melalui
program pemuliaan pohon.

4

Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan metoda kloning gen
pada sengon untuk mendeteksi gen tripsin inhibitor (TI) dan alfa amilase inhibitor
(AAI) sebagai gen yang berperan terhadap ketahanan serangan hama pada sengon,
dari hasil PCR dengan menggunakan primer spesifik. Pengembangan metoda
kloning ini bermanfaat untuk mempelajari lebih lanjut gen-gen ketahanan
terhadap hama pada sengon dalam rangka menunjang program pemuliaan pohon
hutan.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Risalah Sengon (Paraserianthes falcataria)
Sengon tergolong famili Leguminosae (Mimosaceae) dan dikenal dengan
berbagai nama lokal seperti Jeungjing (Sunda), Sengon laut (Jawa), Tedehu pute
(Sulawesi), Sika (Maluku), Bae (Papua) sedangkan di Malaysia dikenal dengan
nama Batai (Hidayat 2002). Jenis ini merupakan jenis asli dari kepulauan sebelah
timur Indonesia yakni di sekitar Maluku dan Papua. Penyebarannya secara alami
selain di Indonesia yaitu Haiti, Papua New Guinea, dan Kepulauan Solomon
(Orwa et al. 2009). Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering, pada
dataran rendah hingga ke pegunungan sampai ketinggian 1500 m dari permukaan
laut (Martawijaya et al. 1989), dengan ketinggian optimum 0–800 m dari
permukaan laut (Siregar et al. 2010). Sengon termasuk spesies yang memerlukan
cahaya (Hidayat 2002). Sengon tumbuh pada suhu sekitar 20 oC–33 oC dan
kelembaban sekitar 50–75% (Atmosuseno 1998).
Sengon termasuk dalam jenis yang cepat tumbuh. Hidayat (2002)
mengemukakan bahwa pohon sengon mulai berbunga sejak umur 3 tahun dengan
musim berbunga pada bulan Maret – Juni dan Oktober – Desember. Sengon dapat
dipanen pada umur yang relatif singkat, yaitu 5–7 tahun setelah tanam. Tinggi
pohon dapat mencapai 40 m dan diameter bisa mencapai 100 cm. Peningkatan
pertumbuhan tinggi tanaman sengon dapat dilakukan dengan aplikasi mikoriza
dan cuka kayu (Siarudin dan Suhaendah 2007). Beberapa jenis hama dan penyakit
sengon yang menyerang tanaman sengon adalah hama penggerek batang, hama
ulat kantong dan penyakit karat puru.

Anakan sengon di persemaian sering

terkena lodoh yang disebabkan oleh Rhizoctonia, Sclerotium, Fusarium, Pythium
dan Phytopthora (Hidayat 2002).
Pohon sengon tidak berbanir dan kulit berwarna kelabu muda.

Daun

majemuk menyirip ganda, berwarna hijau dan berbentuk elips sampai memanjang.
Jumlah sirip dalam tiap daun 6–20 pasang dengan anak daun 6–26 pasang persirip
(Hidayat 2002). Bunga tersusun dalam bentuk malai. Benang sari menonjol lebih
panjang dari daun mahkota. Warna bunga putih kekuningan. Kuntum bunga
yang mekar berisi bunga jantan dan bunga betina. Cara penyerbukan bunga

6

dibantu oleh serangga dan angin. Buah berbentuk polong, pipih dan tipis serta
berwarna hijau sampai coklat jika sudah masak, setiap polong buah berisi 15–30
biji. Biji berbentuk elips, berwarna hijau ketika masih muda dan berwarna coklat
kehitaman dan agak keras serta licin jika sudah masak (Atmosuseno 1998).
Kayu gubal dan kayu teras sengon berwarna coklat muda yang disertai
warna merah muda dan tidak dapat dibedakan dengan jelas. Kayunya lunak,
sangat ringan dan mudah menyerap bahan pengawet. Berat jenis 0.32–0.37 dan
tergolong dalam kelas kuat III–IV dan kelas awet IV (sedang). Kayu sengon
mengandung selulosa tinggi, lignin rendah, pentosan rendah dan ekstraktif tinggi.
Persentase lignin rendah menunjukkan kayu tidak terlalu kuat dan tidak terlalu
kaku. Persentase pentosan yang rendah akan mengurangi kekuatan kayu karena
selain sebagai cadangan makanan bagi sel, pentosan juga berfungsi sebagai
penguat dinding sel kayu (Atmosuseno 1998).
Beberapa kegunaan kayu sengon antara lain adalah untuk konstruksi
ringan, bahan pulp, kerajinan tangan, veneer.

Daun sengon dapat digunakan

sebagai pakan ternak (ayam dan kambing) sedangkan kulit batang oleh
masyarakat Ambon digunakan untuk penyamak jaring, kadang-kadang sebagai
pengganti sabun (Hidayat 2002). Ekstrak daun sengon yang ditambahkan garam
tawas dapat digunakan sebagai pewarna kain sutera sebagai pengganti bahan
pewarna

sintetik

(Kusriniati

2007).

Tegakan

sengon

dapat

membantu

menyuburkan tanah di sekitarnya. Daun sengon yang luruh cepat membusuk.
Perakarannya dapat bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium membentuk bintil
akar yang dapat mengikat nitrogen bebas dari udara dan mengubahnya menjadi
amonia (NH3).

Hama Boktor (Xystrocera festiva)
Permasalahan yang paling umum dihadapi dalam pengembangan sengon
adalah serangan hama penggerek batang atau yang disebut juga hama boktor
(Xystrocera festiva). X. festiva tergolong dalam kelas Coleoptera: Famili
Cerambycidae dan subfamili Cerambycinae. Jarak terbang X. festiva tidak jauh
sehingga untuk mencapai tempat yang jauh, kumbang ini harus terbang beberapa
kali dan dapat dibantu oleh angin (Husaeni 2010).

7

Serangga ini merupakan serangga nokturnal. Husaeni (2010) menjelaskan
bahwa kumbang X. festiva memiliki panjang tubuh sekitar 2.5–3.8 cm, berwarna
coklat kemerahan dengan sisi-sisi sebelah luar elitranya berwarna hijau kebirubiruan (Gambar 1). Telur berwarna hijau kekuningan dan membentuk kelompok
telur karena ada semacam zat perekat yang dihasilkan oleh kumbang betina.
Larva yang baru ditetaskan berukuran 2x1 mm dan berwarna kuning gading
sedangkan larva dewasa panjangnya dapat mencapai 5 cm. Pupa (kepompong)
berukuran 4 cm dan berwarna kuning gading namun dengan bertambahnya umur
warna ini berangsur-angsur berubah menjadi coklat.

Gambar 1 Kumbang Xystrocera festiva (Sumber : www.beetle.diversity.com).
Nair (2007) mengemukakan bahwa kumbang meletakkan telur pada celah
luka kulit kayu pohon dan larva mengebor batang. Larva berada di bawah kulit
dan akhirnya melubangi hingga ke bagian dalam kayu (Matsumoto dan Irianto
1995). Pertumbuhan sejumlah besar larva pada suatu pohon menyebabkan
terbentuknya terowongan dan kulit kayu mengering serta pecah.
Pada umumnya serangan hama ini terjadi pada pohon yang telah berumur
3 tahun (Husaeni 2010). Persentase serangan hama cenderung meningkat dengan
semakin bertambahnya umur dan diameter pohon (Husaeni dan Haneda 2010).
Sengon yang sehat memiliki kambium dengan kandungan air yang tinggi dan
berwarna putih sedangkan yang terserang hama boktor memiliki kambium dengan
kandungan air yang sedikit atau mengering dan berwarna coklat serta seratnya ada
yang kehitaman (Hartati 2002).
Serangan awal hama boktor terlihat dengan berubahnya warna kulit batang
sengon yang terserang. Batang sengon berubah warna menjadi merah kecoklatan
berbeda dengan batang sengon sehat yang berwarna putih. Kerusakan awal
ditandai dari kulit pohon yang mengalami nekrosis dan menunjukkan adanya
lubang yang berbentuk oval sebagai aktivitas pengeboran dari larva hama ini.

8

Jalan masuk hama pada batang akan tampak berwarna hitam dan kering (Gambar
2). Larva biasanya hidup secara berkelompok dan memakan kulit kayu, lapisan
kambium, xylem dan berdiam di bawah kulit kayu (Matsumoto dan Irianto 1995).
Serangan pada kayu gubal dapat berlanjut ke sekeliling batang yang menyebabkan
tajuk di bagian atas menguning dan daun berguguran hingga akhirnya
menyebabkan kematian pohon tersebut. Lubang gerek berbentuk lonjong dengan
panjang berkisar antara 6–18 cm dan garis tengah antara 15–20 mm.

Gambar 2 Pohon sengon yang terserang hama boktor (Sumber : dokumentasi
pribadi 2010).
Pengendalian hama boktor dapat dilakukan secara mekanik (penangkapan
kumbang dengan lampu perangkap, pemusnahan kelompok telur boktor,
penyesetan kulit batang sengon yang terserang), secara silvikultur (penanaman
pohon sengon resisten, pengaturan jarak tanam, pembuatan tanaman campuran,
penjarangan tegakan), secara hayati (pelepasan parasit telur, penyemprotan
dengan cendawan patogen) dan secara kimiawi. Ketahanan tanaman terhadap
serangan hama dan penyakit dipengaruhi oleh faktor genetik ataupun lingkungan.
Iklim secara tidak langsung dapat mempengaruhi vigor dan fisiologi tanaman
inang akan ketahanan tanaman inang terhadap hama (Wiyono 2007).
Pengendalian X. festiva secara hayati dapat menggunakan cendawan
Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae dengan mengaplikasikannya

9

langsung ke serangga (Wahyono dan Tarigan 2007). Penjarangan terhadap pohon
yang terkena serangan merupakan tindakan yang cukup baik untuk mengurangi
serangan hama. Tanaman mempunyai mekanisme pertahanan diri berupa reaksireaksi kimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman (Rimbawanto 2008).
Serangga hama biasanya mempunyai enzim-enzim khusus dalam sistem
pencernaannya untuk mencerna makanan.

Aktivitas tripsin inhibitor pada

tanaman diketahui dapat mengontrol perkembangan hama.

Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pada tanaman famili Leguminosae atau Fabaceae terdapat
zat kimia berupa inhibitor tripsin dan kimotripsin yang dapat menghambat
aktivitas kerja enzim pencernaan tersebut. Zat inhibitor ini merupakan daya tahan
alami suatu tanaman untuk melawan serangan hama.

Gen Tripsin Inhibitor (TI) dan Alfa Amilase Inhibitor (AAI)
Tanaman secara alami memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya
dari serangan hama dengan mensintesis makromolekul tertentu seperti protease
inhibitor dan alfa amilase inhibitor (Ismail et al. 2010). Tripsin inhibitor adalah
senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas proteolitik
enzim tripsin sehingga menyebabkan terganggunya pencernaan protein. Tripsin
inhibitor menghalangi pelepasan asam-asam amino dari ikatan proteinnya
sehingga tidak dapat diserap.

Mekanisme penghambatan aktivitas enzim

proteolitik (tripsin dan kimotripsin) oleh inhibitor protease terjadi karena
terbentuknya ikatan kompleks antara kedua senyawa tersebut (interaksi proteinprotein). Alfa amilase inhibitor adalah senyawa yang menghambat kerja enzim
alfa amilase. Enzim alfa amilase (α-1,4-glucanohydrolase) termasuk dalam famili
13 glycosyl hydrolases (Henrissat dan Bairoch 1996 dalam Polaina dan MacCabe
2007). Alfa amilase mengkatalisis pemutusan ikatan α-1,4-glikosidik pada
molekul karbohidrat. Amilase menghidrolisis karbohidrat menjadi maltosa,
maltotriosa dan oligosakarida ataupun hingga menjadi glukosa (Polaina dan
MacCabe 2007).
Gen-gen yang berperan menghasilkan senyawa-senyawa inhibitor ini
masing-masing adalah gen AAI dan gen TI. Kedua gen ini banyak dipelajari
dalam upaya peningkatan resistensi tanaman terhadap hama. Gen-gen ini seperti

10

sarana untuk memindahkan sifat resisten suatu hama dari suatu tanaman ke
tanaman lainnya melalui rekayasa genetik. Winarni (2003) melaporkan bahwa
berdasarkan marka isozim pada sengon terlihat pola-pola pita yang khas yang
menunjukkan nilai aktivitas tripisin yang rendah atau tinggi pada lokus-lokus
tertentu walaupun korelasi aktivitas tripsin inhibitor dengan marka isozim
memperlihatkan nilai korelasi yang rendah.

Tanaman padi transgenik yang

mengekspresikan gen CpTI secara signifikan meningkat daya resistennya terhadap
dua spesies penggerek batang padi (Xu et al. 1996). Begitu pula pada benih kopi
arabika (Coffea arabica) transgenik yang mengekspresikan gen AAI dari
Phaseolus vulgaris menghasilkan alfa amilase inhibitor dan mampu menghambat
aktivitas enzim alfa amilase hama Hypotheneumus hampei (coffe berry borer)
sehingga berpotensi dalam pengendalian hama tersebut (Barbosa et al. 2010).
Suatu alfa amilase inhibitor dapat menghambat alfa amilase suatu hama namun
tidak menghambat hama lainnya (Ishimoto dan Kitamura 1989). Hasil penemuan
Mirkov et al. 1994 mengindikasikan bahwa genom buncis mengandung lebih dari
satu gen AAI.

Perancangan Primer
Primer adalah seutas tunggal DNA pendek atau oligonukleotida, yang
panjangnya antara 16–24 basa (Chawla 2002). Primer berfungsi sebagai
penginisiasi reaksi polimerisasi DNA secara in vitro. Primer merupakan
komponen PCR yang sangat menentukan ketepatan sekuen DNA yang ingin
diamplifikasi. Urutan nukleotida primer akan menjadi penentu pada bagian mana
primer akan menempel (anneal) pada genom.

Dieffenbach et al.

(1993)

mengemukakan bahwa desain primer ditujukan untuk memperoleh keseimbangan
antara spesifisitas (ketegasan) dan efisiensi amplifikasi.

Spesifisitas diartikan

sebagai frekuensi terjadi mispriming. Efisiensi didefinisikan sebagai kemampuan
pasangan primer untuk mengamplifikasi produk pada tiap siklus PCR. Sekuensekuen primer perlu dipilih untuk memilih daerah DNA, menghindari
kemungkinan mishibridisasi untuk sekuen yang sama yang berdekatan.
Pengulangan mononukleotida harus dihindari. Primer harus tidak mudah
menempel dengan primer lainnya ketika dicampur.

11

Beberapa parameter yang diperhatikan dalam mendesain primer yaitu :
a. Panjang Primer
Panjang primer berperan dalam mengontrol spesifisitas. Primer yang baik
biasanya terdiri dari 18–30 nukleotida (Abd-Elsalam 2003).

Panjang ini

cukup bagi primer untuk terikat dengan mudah pada DNA template pada suhu
annealingnya. Ukuran primer yang paling banyak dipilih sekitar 20 basa
karena nilai temperature melting (Tm)nya dapat mencapai lebih dari 55 oC
(Jamil 2005).
b. Temperatur Melting (Tm)
Temperatur melting atau suhu leleh adalah temperature dimana setengah dari
duplex DNA akan terpisah menjadi strand tunggal. Kedua primer dalam
reaksi PCR harus mempunyai Tm yang sama untuk menyakinkan bahwa
keduanya akan mempunyai kinetik hibridisasi yang sama selama fase
temperatur annealing (Chawla 2002). Tm primer yang optimal adalah 52 oC–
58 oC. Umumnya Tm primer ini menghasilkan hasil yang lebih baik
dibandingkan Tm yang lebih rendah. Primer dengan Tm di atas 65 oC harus
dihindari karena berpotensi untuk secondary annealing (Abd-Elsalam 2003).
Nilai Tm biasa diindikasikan dari kandungan basa GC. Dieffenbach et al.
(1993) menyatakan bahwa untuk primer yang lebih pendek dari 20 basa,
pendugaan Tm dapat dihitung dengan formula Tm= 4(G+C) + 2(A+T).
c. Komposisi Primer
Kandungan GC adalah persentase jumlah G dan C terhadap jumlah basa total
pada primer. Guevara-Garcia (1997) dalam Jamil (2005) menyatakan bahwa
kandungan G dan C ditentukan untuk menjamin stabilitas primer yang tinggi.
Persentase atau kandungan GC merupakan ciri penting DNA dan memberikan
informasi tentang kekuatan annealing (Abd-Elsalam 2003). Primer harus
memiliki kandungan GC antara 45 % hingga 60 % (Dieffenbach et al. 1995
dalam Abd-Elsalam 2003 ). Kandungan GC, suhu leleh dan suhu annealing
saling berpengaruh satu dengan yang lainnya.

12

Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi polimerase berantai atau PCR adalah suatu proses perbanyakan
DNA secara in vitro enzimatik dengan pengontrolan suhu (Weising et al. 2005).
Campuran reaksi PCR mengandung bufer, DNA-polimerase termostabil, empat
dioksiribonukleotida (dNTPs), primer oligonukleotida, DNA template. PCR dapat
menghasilkan perbanyakan DNA dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif
singkat. Reaksi PCR merupakan proses berulang antara 25–50 kali siklus. Setiap
siklus terdiri atas tiga tahap yaitu denaturasi, annealing dan elongasi. Pada tahap
denaturasi, DNA template yang merupakan utas ganda dibuat menjadi utas
tunggal melalui peningkatan suhu (94 oC–96 °C). Tahap berikutnya adalah tahap
penempelan atau annealing primer, yaitu dengan suhu yang lebih rendah
tergantung pada primer yang digunakan. Primer menempel pada bagian DNA
templat yang komplementer urutan basanya. Penempelan ini bersifat spesifik pada
sekuen target. Urutan nukleotida primer akan menjadi penentu pada bagian mana
primer akan menempel (anneal) pada genom. Suhu yang tidak tepat menyebabkan
tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Tahap
berikutnya adalah tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu yang digunakan adalah
sesuai dengan suhu optimal aktivitas DNA polimerase. Umumnya suhu yang
digunakan antara 65 oC–72 oC.

Kloning Gen
Kloning gen adalah upaya perbanyakan suatu gen melalui proses
perkembangbiakan sel inang.

Fragmen DNA diletakkan di vektor untuk

memastikan fragmen yang diklon tersebut terduplikasi (Lodge et al. 2007).
Fragmen DNA yang mengandung gen yang hendak diklon dimasukkan ke
molekul vektor berupa DNA sirkular untuk menghasilkan molekul DNA
rekombinan (Brown 2006). Fragmen DNA dan vektor dipotong dengan enzim
retriksi yang sama agar ujung untaian DNA mempunyai segmen yang sama
sehingga memudahkan proses ligasi. Penggabungan fragmen DNA dengan DNA
vektor dikatalis oleh enzim ligase sehingga terbentuk DNA rekombinan (Brown
1991). Umumnya vektor yang digunakan adalah plasmid.

Plasmid adalah

molekul kecil DNA sirkular yang ditemukan pada banyak tipe bakteri. Plasmid

13

mempunyai ORI (Origin of Replication) yang berfungsi untuk replikasi. Gen
yang terinsert akan tercopy sejalan dengan perbanyakan plasmid. Plasmid yang
digunakan dalam kloning mengandung selectable marker, biasanya gen resisten
antibiotik.

Selectable marker berperan dalam membedakan bakteri yang

mengandung plasmid dengan menebarkannya pada media agar yang mengandung
antibiotik (Lodge et al. 2007). Salah satu plasmid yang digunakan dalam kloning
adalah pGEM-T Easy yang petanya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Peta retriksi vektor pGEM-T Easy (Promega 2010).

Vektor mentransport gen ke sel inang. Sel inang yang umumnya
digunakan adalah bakteri (Brown 2006). Vektor dimasukkan ke sel inang melalui
proses yang disebut transformasi sehingga menghasilkan plasmid rekombinan ke
bakteri.

Pembelahan sel bakteri menyebabkan terduplikatnya fragmen DNA

(Lodge et al. 2007).

Dalam sel inang, vektor bermultiplikasi menghasilkan

jumlah kopian yang identik bukan hanya vektor tetapi juga gen yang terinsert.
(Brown 2006).

14

Sekuensing dan Analisis Homologi
Sekuensing DNA adalah penentuan seluruh atau sebagian sekuen
nukleotida dari molekul DNA.

Alasan mendasar untuk mengetahui sekuen

molekul DNA adalah untuk membuat prediksi tentang fungsinya dan
memfasilitasi untuk manipulasi molekul (Alphey 1997). Sekuensing DNA juga
dipergunakan dalam studi populasi genetik (Weising et al. 2005).

Informasi

sekuen nukleotida sangat penting dalam bidang kloning molekuler sebab dengan
mengetahui sekuen DNA maka dapat ditentukan situs enzim retriksi spesifik atau
dapat memprediksi ORF sekuen DNA yang bersangkutan (Glick dan Paternak
1994).
Sekuensing dapat dilakukan langsung terhadap daerah target amplifiksi
PCR ataupun disekuensing setelah diklon (Weising et al. 2005). Sekuensing
DNA Metode Sanger disebut juga metode chain terminator yaitu prosesnya
berdasar pada sintesis enzimatik dari template DNA untai tunggal menggunakan
ddNTPs (dideoksinukleotida).

Metode Maxam Gilbert disebut juga metode

chemical degradation yaitu prosesnya didasarkan meliputi degradasi secara kimia
fragmen DNA yang diberi radiolabel

pada ujungnya. Pelabelan biasanya

menggunakan fosfat radioaktif (Alphey 1997; Graham 2001).
Fungsi-fungsi gen sering dapat diturunkan dari sekuen nukleotidanya,
sebagai contoh dalam membandingkan sekuen sampel dengan sekuen gen yang
telah diketahui fungsinya (Glick dan Paternak 1994).

Perbandingan sekuen

didasarkan pada asumsi bahwa protein disusun dari suatu tetua akan mempunyai
sekuen yang sama yang disebut homologi.

Jika suatu sekuen dikategorikan

homolog dengan suatu kelompok sekuen maka dapat disimpulkan bahwa sekuen
tersebut tersusun dari sekuen tetua yang sama sehingga mempunyai fungsi yang
sama pula degan kelompok sekuen tersebut (Lodge et al. 2007).
Analisis homologi dapat dilakukan melalui pendekatan bioinformatika.
Bioinformatika adalah ilmu yang menggunakan teknologi informasi untuk
mengatur, menganalisis, dan mendistribusikan informasi biologis untuk menjawab
pertanyaan biologi kompleks (Abd-Elsalam 2003).
meliputi penemuan gen pada

Komputasional biologi

sekuen DNA dari berbagai organisme,

mengembangkan metode untuk menduga struktur dan/atau fungsi protein yang

15

baru ditemukan dan sekuen RNA struktural, mengelompokkan sekuen protein ke
famili-famili bersesuaian dan pengembangan model protein

(Chawla 2002).

Pengembangan teknologi menjadikan bioinformatika semakin mudah dilakukan
karena dapat diakses secara gratis dari internet. European Bioinformatics Institute
(EBI), National Center for Biotechnology Information (NCBI) dan DNA Data
Bank of Japan (DDBJ) mempunyai situs dimana ketiga situs saling berintegrasi
untuk memberikan informasi sekuen DNA atau protein suatu organisme. Program
yang umum digunakan yaitu BLAST (Basic Local Alignment Search Tool).
Program ini digunakan untuk mencari kesamaan sekuen DNA atau protein query
dengan sekuen pada database. BLAST membandingkan sekuen yang tidak
diketahui fungsinya dengan sekuen pada database.

Fungsi dari sekuen baru

kemudian disimpulkan dari fungsi sekuen yang diketahui. Program BLASTN
membandingkan sekuen nukleotida query dengan sekuen nukleotida pada
database. BLASTX membandingkan sekuen nukleotida query yang ditranslate
dalam keenam frames reading dengan sekuen protein database (Hindley 1983). Evalue (expect value) adalah ukuran seberapa mirip kecocokan suatu sekuen
dengan yang ada di database (Lodge et al. 2007).

16

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi SEAMEO-BIOTROP,
Bogor. Waktu pelaksanaan mulai bulan September 2010 hingga Oktober 2011.
Bahan dan Alat
Bahan

tanaman

yang

digunakan

adalah

daun

pohon

sengon

(Paraserianthes falcataria). Selain itu digunakan juga bahan-bahan untuk isolasi
DNA, pereaksi PCR, elektroforesis, ekstraksi gel, ligasi dan transformasi. Alat
yang digunakan adalah pipet mikro, gelas ukur, mortar dan pestel, timbangan
analitik, waterbath, Maxi Mix Vortex Thermolyne, mikrosentrifuse (microfuge
200R Hettich), vacum dryer, Gene Amp PCR System 9700, alat elektroforesis
(Owl Separation System 800-5560), hotplate, DU 530 UV-VIS spektrofotometer,
laminar air flow, shaker inkubator, kodak geldoc.
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan Sampel
Sampel berasal dari hutan tanaman Perum Perhutani BKPH Pare, KPH
Kediri. Sampel berupa daun pohon sengon provenan Kediri. Sampel dimasukkan
ke dalam plastik klips yang berisi silika gel.
Isolasi DNA Genomik Sengon
Metode 1
Isolasi DNA genomik sengon dilakukan dengan metode Orozco-Castillo et al.
(1994). Sampel daun sengon sebanyak 0.27–0.3 g digerus dalam nitrogen cair
hingga sampel berbentuk bubuk. Bubuk sampel langsung dimasukkan dalam tube
yang berisi 1 mL bufer ekstrak CTAB dan 10 µL merkaptoetanol. Larutan berisi
bubuk sampel divortex dan diinkubasi pada suhu 65 oC dalam waterbath selama
45 menit.

Campuran ditambahkan 750 µL fenol:kloroform:isoamilalkohol

(25:24:1) dan kemudian disentrifugasi pada 12000 rpm selama 10 menit.
Supernatan diambil dan ditambahkan 1x volume kloroform isoamilalkohol lalu
disentrifugasi pada 12000 rpm selama 10 menit. Tahapan ini dilakukan sebanyak

17

2 kali.

Supernatan diambil dan ditambahkan 1x volume isopropanol dingin.

Larutan dihomogenkan perlahan hingga berbentuk benang putih kemudian
diinkubasi pada suhu -20 oC selama semalam. Larutan kemudian disentrifugasi
pada 12000 rpm selama 10 menit. Hasil sentrifugasi berupa pelet DNA, pelet
DNA kemudian dibilas dengan alkohol 70%. Pelet divakum hingga tidak tercium
aroma alkohol dan kemudian dilarutkan dengan 200 µL bufer TE.
Metode 2
Isolasi DNA genomik dilakukan menggunakan GenElute plant Genomic DNA
Miniprep Kit. Berat sampel yang digunakan adalah 100 mg bubuk daun sengon
yang telah digerus dengan penambahan nitrogen cair. Prosedur isolasi DNA
mengikuti prosedur kit. DNA dilarutkan dengan larutan elusi sebanyak 100 µL.
Metode 3
Isolasi DNA genomik dilakukan dengan menggunakan bufer CTAB
(metoda 1) yang dimodifikasi dengan penggunaan GenElute plant Genomic DNA
Miniprep Kit. Isolasi DNA sengon dilakukan dengan menggerus daun pohon
sengon sebanyak 0.27 – 0.3 g. Daun digerus dengan menambahkan nitrogen cair
hingga berbentuk bubuk halus. Bubuk hasil gerusan dimasukan ke dalam tube 2
mL yang berisi buffer ekstrak (1 mL bufer CTAB dan 10 µL mercaptaetanol).
Campuran dalam tube tersebut divortex dan kemudian diinkubasi dalam
waterbath selama 45 menit pada suhu 65 oC. Setiap 15 menit sekali tabungtabung tersebut diangkat dari waterbath dan dikocok. Setelah inkubasi, tube
diangkat dan didinginkan pada suhu ruang selama 15 menit untuk selanjutnya
dilakukan pemurnian DNA. Pemurnian DNA dilakukan dengan menambahkan
fenol kloroform isoamilalkohol (25:24:1) sebanyak 750 µL, kemudian
disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Tahapan ini dilakukan
sebanyak dua kali. Supernatan hasil sentrifugasi dipindahkan ke tube baru dan
ditambahkan kloroform isoamilalkohol (24:1) dan disentrifugasi.

Tahapan

selanjutnya adalah binding dengan menggunakan GenElute plant Genomic DNA
Miniprep Kit. Sebanyak 500 µL supernatan ditambahkan 700 µL larutan binding
kemudian dihomogenkan dengan membolak-balik tube. Campuran dipipet ke
tube berisi gen elute miniprep binding coloum yang sebelumnya telah diaktifkan
membrannya dengan larutan preparation coloum. Campuran didiamkan dalam

18

colom selama 5 menit kemudian disentrifugasi pada 12000 rpm selama 1 menit.
Binding coloum ditempatkan pada tube baru kemudian dicuci dengan
menambahkan 500 µL larutan pencuci (wash solution) yang telah diencerkan lalu
disentrifugasi pada 12000 rpm selama 5 menit untuk mengeringkan etanol.
Setelah pencucian, binding coloum ditempatkan pada tube baru, kemudian
dilakukan pelarutan DNA yang terbinding dengan menambahkan dalam keadaan
hangat 100 µL larutan elution ke dalam coloum. Larutan elusi dalam coloum
didiamkan selama 5 menit dan disentrifugasi pada 12000 rpm selama 1 menit.
Pelarutan dilakukan dua kali dengan cara yang sama sehingga diperoleh 200 µL
larutan stok DNA.
Hasil isolasi DNA dilakukan uji kualitas dan kuantitasnya. Kualitas DNA
diketahui dari hasil elektroforesis menggunakan agarose 1%. DNA sebanyak 5
µL dicampur dengan 1 µL loading buffer, kemudian dimasukkan dalam sumur
elektroforesis. Kemurnian DNA diukur dengan nilai perbandingan serapan pada
panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Nilai panjang gelombang 260 nm
digunakan untuk pengukuran kuantitas DNA dengan rumus (Muladno 2010),
yaitu Konsentrasi DNA = A260nm x faktor pengenceran x 50µg/µL.
Perancangan Primer
Primer untuk gen TI dan AAI dirancang dengan menggunakan program
komputer. Tahap awal dilakukan dengan mencari sekuen gen TI dan AAI rujukan
dari situs NCBI: http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Sekuen yang dipilih adalah sekuen
gen dari tanaman leguminoceae. Sekuen tersebut kemudian dimasukkan dalam
program primer3 (http://frodo.wi.mit.edu/primer3) untuk menghasilkan sekuen
primer yang hendak digunakan dalam pengujian. Primer yang dipilih adalah
primer yang memiliki kandungan GC 50% (Dieffenbach et al.1993).

Amplifikasi DNA Genomik dengan PCR
Reaksi PCR dilakukan dengan menggunakan 2 macam primer, yaitu
primer hasil desain menggunakan program primer3 (Tabel 1) maupun primer
spesifik terhadap gen AAI dan TI yang sudah dipublikasikan (Tabel 2).

19

Tabel 1 Sekuen primer gen AAI dan TI hasil desain menggunakan program
primer3
Primer
Sekuen Nukleotida
AAI (forward)
AAI (reverse)

CTTCTCTCCCACGCAAACTC
TGAAGTTGGTGTCGAAGCTG

TI (forward)
TI (reverse)

CCATGGATCTGAACCACCTC
CCTGGACTTGCAAGGTTTGT

Tabel 2 Sekuen primer gen AAI dan TI yang sudah dipublikasikan
Primer
Sekuen Primer