Studi pustaka hama sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)

(1)

NUR TRIANNA APRILIA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

Pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) tergolong jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species) sehingga dapat dipanen dalam waktu 5 – 8 tahun. Pengusahaan hutan sengon, baik berupa hutan milik atau hutan negara, tidak terlepas dari gangguan berbagai jenis hama. Karena itu diperlukan pengetahuan mengenai hama-hama tersebut. Pengentahuan tersebut dapat diperoleh melalui penelusuran pustaka (studi pustaka). Studi pustaka tentang hama sengon ini dilakukan di berbagai perpustakaan selama tiga bulan, mulai dari Mei - Juli 2010. Sumber-sumber pustaka yang dipelajari di tiap perpustakaan di Bogor, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo dan Malang, berupa majalah ilmiah, jurnal, laporan penelitian, skripsi, tesis dan desertasi tentang hama sengon.

Jenis-jenis hama yang menyerang tanaman sengon (selanjutnya disebut hama sengon) cukup banyak. Hama yang menyerang daun sengon adalah Eurema blanda, Eurema hecabe, Pteroma plagiophleps, dan Ferrisia virgata. Indarbella acutistriata merupakan hama yang menyerang kulit batang dan cabang pohon sengon. Hama yang menyerang batang sengon terdiri dari Xystrocera festiva dan

Xystrocera globosa. Endoclita sericeus dan hama uret menyerang akar sengon. Dari hama-hama yang telah disebutkan, Xystrocera festiva merupakan hama yang dianggap paling penting karena dapat menyebabkan penurunan nilai tegakan, secara kuantitas maupun ekonomis.

Pengendalian terhadap hama yang telah disebutkan diatas dapat dilakukan secara biologi, fisik dan kimiawi. Pengendalian hama yang menyerang daun dapat dilakukan dengan menggunakan parasitoid, pemberian kurungan kawat kasa di persemaian, injeksi pohon dengan insektisida sistemik, dan penggunaan Bacillus thuringiensis. Pengendalian hama kulit dapat dilakukan dengan menggunakan jamur Beuveria bassiana. Efektifitas dari cara-cara pengendalian dengan menggunakan B. bassiana dan B. thuringiensis tersebut tidak dikemukakan dalam sumber pustaka. Pengendalian hama yang menyerang batang adalah kombinasi antara penyesetan bagian kulit batang yang terserang dengan penjarangan, penggunaan parasitoid telur dapat dilakukan sebagai supelemen pengendalian. Pengendalian hama yang menyerang akar dapat dilakukan dengan cara memasukkan cairan atau butiran insektisida ke dalam liang gerek E. sericeus yang mengarah ke akar tunggang, serta penggunaan insektisida butiran untuk uret.


(3)

SUMMARY

Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) is classified as a fast-growing tree species, so the tree can be harvested within 5 – 8 years. Sengon forest exerting sengon plantation, either in the form of private or state enterprice forest, can not escipe from attack tree various types of pests. So that it is needed to know about these pests, and it can be obtained from literature study. The literature study has been conducted in various libraries in Bogor, Jakarta, bandung, Yogyakarta, Solo dan malang, for three months, from May to July 2010. The literatures study in each library are scientific magazines, journals, research reports, theses, and dissertations about sengon pests.

The pests that attack sengon (referred to as sengon pests) are quite a lot. These pests are exist attack the leaves, bark, stems and roots. Pests that attack sengon leaves are Eurema blanda, Eurema hecabe, Pteroma plagiophleps, and

Ferrisia virgata. Indarbella acutistriata is a pest that attacks the bark of the trunk and branches of sengon trees. Pests that attack the stem consists of Xystrocera festiva and Xystrocera globosa. Endoclita sericeus and white grabs pests that attack sengon roots. The most important sengon pest is Xystrocofera festiva, because it can kill the trees and reduce wood production.

The control of the pests mentioned can be done either in biological, physical or chemical means. Pests that attack the leaves can be control using parasitoids, provision of wire mesh cages in the nursery, injection of tree with systemic insecticides and using Bacillus thuringiensis. The bark feeding insect can be done by using Beauveria bassiana. But the effectiveness of control methods using B. bassiana and B. thuringiensis is not mentioned in the literature studied. The affective control of pests that attack the stem is combination removing of the attack bark (disecting) and thinning operation, release of egg parasitoids can be done as a supelemen control. Control of E. sericeus can be done by inserting a liquid of granular insecticide into the boring hole that leads to the tap root and using of granular insecticide to control white grabs.


(4)

NUR TRIANNA APRILIA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pustaka Hama

Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) adalah benar-benar hasil karya saya

sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai

karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis

lain telah disebutkan kedalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Nur Trianna Aprilia

NRP E44062841


(6)

Nama

: Nur Trianna Aprilia

NRP

: E44062841

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I

Ir. Endang Ahmad Husaeni

NIP. 19450608 196804 1 001

Dosen Pembimbing II

Dr. Corryanti

NIP. 19600103 198603 2 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Silvikultur

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr

NIP. 19641110 199002 1 001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 22 April 1988 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Ir. H. Taane La Ola, MP dan Hj. Halis Wiati, SE, MS. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMAN 1 Kendari dan pada tahun 2006 masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan mendapatkan kesempatan untuk menekuni mayor Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan. Pada tingkat tiga, penulis memilih untuk menekuni bidang Perlindungan Hutan.

Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) jalur Cilacap-Baturaden, melakukan kegiatan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di KPH Pasuruan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Pustaka Hama Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Perpustakaan yang berada di Manggala Wanabakti, Puslitbang Kehutanan Bogor, LIPI Cibinong, Perpustakaan ITB, Perpustakaan UNWIM, Perpustakaan UGM, Perpustakaan UNS dan Perpustakaan UNBRAW di bawah bimbingan Ir. Endang Ahmad Husaeni dan Dr. Corryanti.


(8)

KATA PENGANTAR

Pengusahaan hutan sengon, baik berupa hutan milik atau hutan negara, tidak terlepas dari gangguan berbagai jenis hama. Karena itu diperlukan pengetahuan mengenai hama-hama tersebut. Pengentahuan tersebut dapat diperoleh melalui penelusuran pustaka (studi pustaka). Dalam skripsi ini dikemukakan hasil-hasil studi pustaka tentang hama sengon tersebut.

Dengan selesainya skripsi ini, penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dinilai sebagai ibadah oleh Allah SWT dengan pahala yang selalu mengalir dari setiap orang yang membacanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran membangun penulis harapkan untuk kebaikan penulis di masa yang akan datang.

Bogor, Januari 2011


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah serta karunia-Nya, penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada : 1. Keluarga tercinta di Kendari, Mama, Bapak, Kak Yanti, Kak Sari, Kak

Muslim, Kak Hafis, Ulil serta keponakanku Nashwa dan Nayla atas perhatian, kasih sayang, dukungan, kesabaran, semangat, pengorbanan dan doanya selama ini.

2. Bapak Ir. Endang Ahmad Husaeni dan Ibu Dr. Corryanti sebagai Dosen Pebimbing atas bimbingan, arahan, ilmu dan wejangan-wejangannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Puslitbang Perhutani Cepu atas bantuan dana dan dukungannya selama penulis melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh staf Laboratorium Entomologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. 5. Seluruh karyawan yang berada di Perpustakaan Fakultas Kehutanan IPB,

Fakultas Kehutanan UNWIM, Fakultas Kehutanan UGM, Fakultas MIPA ITB, Fakultas Pertanian UNS, Fakultas Pertanian UNBRAW, Perpustakaan Manggala Wanabakti dan Perpustakaan dilingkup Badan Litbang Kehutanan. 6. Keluarga besar Silvikultur 43, Dini, Dita, Ghidut, Anin, Enyit dan Riri, atas

bantuan, perhatian, semangat, doa dan kebersamaannya selama ini.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mencurahkan segala tenaga, waktu maupun pemikirannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan, Amin. Besar harapan penulis, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

RIWAYAT HIDUP ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Sejarah Sengon di Indonesia ... 4

2.2 Hutan Tanaman Industri Sengon ... 5

2.3 Keterangan Botani Sengon ... 8

2.4 Peranan Sengon dalam Perbaikan Kualitas Lingkungan ... 10

2.5 Pengelolaan Sengon ... 12

2.6 Sifat dan Kualitas Kayu Sengon ... 14

2.6.1 Sifat fisik kayu sengon ... 14

2.6.2 Sifat mekanik kayu sengon ... 17

2.6.3 Sifat kimia kayu sengon ... 17

2.6.4 Kelas awet serta kelas kualitas kayu sengon ... 18

2.7 Penggunaan Kayu Sengon ... 20

2.7.1 Kayu olahan ... 22

2.7.2 Bahan baku peti ... 23

2.7.3 Pulp kertas ... 23

2.7.4 Kayu lapis (plywood) ... 24

2.7.5 Kayu pertukangan ... 25

2.7.6 Kayu bakar ... 25


(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

3.2 Alat dan Bahan ... 29

3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Hasil Penelitian ... 31

4.1.1 Hama Daun ... 31

4.1.1.1 Eurema blanda ... 31

4.1.1.2 Eurema hecabe ... 37

4.1.1.3 Pteroma plagiophleps ... 41

4.1.1.4 Ferrisia virgata ... 45

4.1.1.5 Hama daun lainnya ... 48

4.1.2 Hama Kulit ... 49

4.1.2.1 Indarbella acustriata ... 49

4.1.3 Hama Batang ... 59

4.1.3.1 Xystrocera festiva ... 59

4.1.3.2 Xystrocera globosa ... 74

4.1.4 Hama Akar ... 76

4.1.4.1 Endoclita sericea ... 76

4.1.4.2 Uret ... 80

4.2 Pembahasan ... 85

4.2.1 Hama Daun ... 85

4.2.1.1 Eurema blanda ... 85

4.2.1.2 Eurema hecabe ... 86

4.2.1.3 Pteroma plagiophleps ... 86

4.2.1.4 Ferrisia virgata ... 87

4.2.2 Hama Kulit ... 88

4.2.2.1 Indarbella acustriata ... 88

4.2.3 Hama Batang ... 88

4.2.3.1 Xystrocera festiva ... 88


(12)

4.2.4.1 Endoclita sericea ... 90

4.2.4.2 Uret ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

5.1 Kesimpulan ... 92

5.2 Saran ... 93


(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Berat jenis, kelas kuat, kelas awet dan kelas kualitas kayu sengon dibandingkan dengan jenis kayu lain ... 20 2. Sifat kayu lapis sengon... 24 3. Perkembangan serangan I. acustistriata pada tegakan sengon berukur

3 tahun di Kampus IPB Darmaga, Bogor ... 54 4. Perkembangan serangan I. acutistriata pada berbagai umur tegakan

sengon di KPH Kediri tahun 1997 ... 55 5. Sebaran letak serangan I. acutistriata pada berbagai umur tegakan

sengon di KPH Kediri 1997 ... 56 6. Volume kayu pertukangan yang rusak oleh serangan I. acutistriata di

KPH Kediri ... 57 7. Hasil tangkapan ngengat I. acutistriata dengan lampu perangkap ... 59 8. Kerugian finansial akibat serangan X. festiva pada berbagai umur

hutan tanaman sengon di daerah Gerbo ... 66 9. Kerugian finansial akibat serangan X. festiva pada berbagai umur

hutan tanaman sengon di daerah Ngancar ... 66 10. Persen serangan X. festiva pada tegakan sengon murni dan campuran ... 69 11. Efikasi Dimethoate 400 EC pada beberapa tingkat konsentrasi

terhadap larva X. festiva ... 72 12. Berbagai kombinasi cara pengendalian hama X. festiva ... 73


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Pohon sengon (Paraserianthes falcataria) yang sudah tumbuh besar ... 9

2. Anakan sengon, terlihat berdaunmajemuk ganda ... 10

3. Dolak kayu sengon yang sedang mengalami proses pengelolaan ... 23

4. Stadia telur dan larva Eurema blanda ... 31

5. Stadia pupa Eurema blanda pada daun sengon... 32

6. Stadia imago Eurema blanda ... 32

7. Ulat Eurema blanda yang menyerang daun sengon ... 34

8. Stadia telur Eurema hecabe ... 37

9. Ulat Eurema hecabe ... 38

10. Ulat E. hecabe yang menyerang daun jayanti ... 39

11. Dampak serangan larva E. hecabe ... 40

12. Pteromaplagiophleps. a, ulat yang terbungkus dalam kantong; b, pupa; c, daun yang dimakan ulat kantong, d, kumpulan pupa pada batang sengon ... 42

13. Stadia pupa Pteromaplagiophleps ... 43

14. Ferrisia virgata ... 46

15. Tanaman lamtoro terinfeksi oleh Ferrisia virgata ... 47

16. Ulat hama I. acutistriata ... 49

17. Ngengat I. acutistriata ... 50

18. Indarbela acutistriata. a, gejala serangan pada kulit; b, larva; c, pupa; dan d, ngengat ... 51

19. Gejala serangan oleh ulat I. acutistriata pada permukaan batang sengon ... 53

20. Gejala serangan dan bentuk kerusakan oleh larva I. acutistriata di dalam batang sengon ... 53

21. Kelompok telur Xystrocera festiva... 60

22. Larva Xystrocera festiva dilihat dari atas ... 60

23. Pupa X. festiva dilihat dari arah bawah (kiri) dan arah atas (kanan) ... 61

24. Kumbang betina Xystrocera festiva ... 61

25. Serangan larva Xystocera festiva ... 64

26. Endoclita sericeus yang menyerang pangkal batang pohon kina de-ngan membentuk gelang pada leher akar ... 78

27. Bentuk tubuh uret Leucopholis rorida ... 81


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) dalam literatur-literatur lama diberi nama ilmiah Albizzia falcata Backer, Albizzia moluccana

Miq., Moluccana albizzia, dan Adenanthera falcata Linn. dan yang terakhir adalah Albizia falcataria (L) Fosberg. Pohon sengon tergolong jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species) sehingga dapat dipanen dalam waktu yang relatif singkat, sekitar 5 – 8 tahun. Bila ditanam pada tanah yang subur dan iklim yang sesuai, pada umur 1 tahun pohon sengon dapat mencapai tinggi 7 m, umur 3 tahun mencapai tinggi 18 m dan umur 9 – 10 tahun mencapai tinggi 30 m. Tinggi maksimum mencapai 45 m. Pada kondisi optimum riap diameter mencapai 5 – 7 cm per tahun (Satjapraja dan Tim Perhimpi, 1989). Karena tumbuh cepat pohon sengon banyak ditanam oleh petani di pedesaan di P. Jawa, bahkan sekarang banyak pengusaha yang menanam jenis pohon ini baik sebagai hutan tanaman industri (HTI) maupun sebagai hutan rakyat. Menurut informasi dari Direktorat Pengembangan Hutan Tanaman, Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Departemen Kehutanan, sampai tahun 2010 di Pulau Kalimantan saja telah ada 15 perusahaan Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu di Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) yang mengusahankan sengon dengan luas areal sekitar 366.000 ha. Di KPH Kediri, dengan jarak tanam awal 3 x 1 m, hasil kayu pertukangan dari hutan tanaman sengon yang dipanen pada umur 8 tahun bisa mencapai lebih dari 200 m3 per ha. Bila ke dalam hasil itu ditambahkan kayu pertukangan dari hasil beberapa kali penjarangan sebelum dipanen, hasil kayu pertukangan per ha bisa lebih dari 300 m3 per ha.

Kayu sengon tergolong ringan (berat jenis 0,33), mempunyai kelas awet IV/V dan kelas kuat IV – V. Kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan rumah, peti kemas, kayu lapis, papan partikel, papan serat, papan semen wol kayu, korek api, bahan bubur kayu (pulp), bahan kelom, korek api (tangkai dan kotak) dan kayu bakar (Martawijaya et al., 1989). Akhir-akhir ini peranan pohon sengon


(16)

laminasi, papan sambung (joint board), dasar lantai kayu (floor base) dan komponen pembuatan piano. Prospek penggunaan kayu sengon dilukiskan oleh Kasmudjo (1992). Kayu sengon dari hasil tebangan pohon yang berumur 6 – 7 tahun dapat digunakan untuk papan sambung dan papan partikel, kayu sengon dari hasil tebangan pohon berumur 8 – 9 tahun digunakan untuk moulding sederhana, mebel sederhana dan kayu lapis, dan kayu sengon dari hasil tebangan pohon berumur 10 tahun dapat digunakan untuk bahan bangunan ringan. Kayu sengon yang berasal dari tebangan pohon yang berumur 6 sampai 10 tahun dapat digunakan untuk kerajinan kayu (ringan).

Pengusahaan hutan sengon, baik berupa hutan milik atau hutan negara, tidak terlepas dari gangguan berbagai jenis hama. Beberapa jenis hama sengon yang telah diketahui adalah ulat daun Eurema blanda dan E. hecabe (famili

Pieridae, ordo Lepidoptera), ulat kantong Pteroma plagiophleps (famili

Psychidae, ordo Lepidoptera), ulat Indarbella acutistriata (famili Indarbelidae, ordo Lepidoptera) yang merusak bagian kulit luar dari batang dan dahan pohon sengon, uret (larva famili Scarabaeidae, ordo Coleoptera), yang yang menyerang akar tanaman sengon yang masih muda (umur 1 tahun), Xystrocera festiva dan X. globosa dan Horia sp. (famili Cerambycidae, ordo Coleoptera) yang menyerang bagian batang pohon sengon.

Selain hama-hama tersebut mungkin saja masih ada jenis-jenis hama lain yang telah diketahui menyerang sengon, namun tersebar pada berbagai sumber pustaka, termasuk skripsi, tesis dan desertasi. Untuk keperluan pengendalian hama-hama sengon tersebut diperlukan pengetahuan mengenai biologi hama, daerah penyebaran, jenis-jenis pohon yang diserangnya, cara penyerangan, berbagai aspek serangan dan cara-cara pengendaliannya. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui penelusuran pustaka (studi pustaka). Dewasa ini diperkirakan berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi baik yang ada di Indonesia maupun luar negeri telah melakukan penelitian tentang hama-hama sengon tersebut. Informasi yang terpencar tersebut perlu dihimpun dalam suatu tulisan ilmiah sehingga dapat memberi kemudahan bagi yang memerlukannya, antara lain adalah Perum Perhutani dan para pemegang IUPHHK-HTI sengon.


(17)

1.2 Tujuan

Studi pustaka ini bertujuan untuk menghimpun data dan informasi tentang hama pada sengon dan cara pengendalian hama sengon, baik yang menyerang daun, pucuk, cabang, kulit, batang, dan akar serta bunga dan buah.

1.3 Manfaat

Hasil studi pustaka ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang ragam hama sengon dan cara pengendaliannya.


(18)

BAB

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Sengon di Indonesia

Menurut Atmosuseno (1994), berdasarkan catatan sejarah, sengon merupakan spesies asli dari kepulauan di sebelah timur Indonesia yakni Maluku dan Papua. Pada tahun 1870-an pohon ini disebarkan ke seluruh kawasan Asia Tenggara mulai dari Myanmar sampai Filipina. Habitat alami pohon sengon ditemukan di Kepulauan Maluku. Pada tahun 1871 pohon sengon mulai ditaman di Kebun Raya Bogor. Dari Kebun Raya Bogor pohon sengon disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Penyebaran pohon sengon secara luas disebabkan karena mudahnya pohon ini tumbuh dan menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Tidak mengherankan kalau pohon sengon saat ini sudah tersebar luas sampai ke Sri Lanka, India, Malaysia, Filipina dan Samoa.

Pada awalnya pohon sengon hanyalah pohon biasa yang tumbuh secara bebas di kebun-kebun rakyat, terutama di P. Jawa, yang penanamannya belum memperhatikan kaidah-kaidah pembudidayaan tanaman. Saat itu masyarakat mengenal pohon sengon tidak lebih dari sekedar pohon yang kayunya dapat dijadikan kayu bakar, daunnya untuk pakan ternak dan pohonnya dapat dijadikan peneduh di perkebunan-perkebunan teh, kopi atau vanili. Dengan adanya perkembangan dalam bidang perkayuan yang sangat pesat dan semakin menipisnya pasokan kayu dari hutan alam, saat ini pohon sengon merupakan jenis pohon yang cukup potensial untuk dikembangkan.

Karena kegunaannya yang banyak, saat ini pohon sengon sudah tidak asing lagi bagi kalangan pengusaha perkayuan di Indonesia. Demikian pula para petani pemilik kebun yang berminat menangguk keuntungan dalam waktu relatif singkat telah mengenal tanaman ini dengan baik. Selain itu, dengan kemampuan memperbaiki struktur tanah di sekitarnya maka dalam upaya merehabilitasi lahan kritis pemerintah telah mencanangkan program sengonisasi secara massal di beberapa daerah yang potensial terkena bahaya erosi.


(19)

2.2 Hutan Tanaman Industri Sengon

Dalam skala industri pemilihan sengon sebagai salah satu jenis pohon yang diprioritaskan untuk pengusahaan hutan tanaman industri (HTI) merupakan suatu pilihan yang tepat. Pada tahun 1989 Balai Besar Selulosa (BBS) di Bandung telah meneliti pulp yang terbuat dari kayu sengon untuk bahan baku kertas koran dan kertas cetak lainnya seperti kertas fotokopi. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa pulp yang berasal dari kayu sengon dapat menghasilkan kertas cetakan yang lebih bagus. Hal ini berbeda dengan pulp dari bagase yang umumnya menghasilkan kertas cetakan yang kaku, kasar dan berdebu sehingga menyulitkan dalam proses pencetakannya (Atmasuseno, 1994).

Sengon dapat dipanen pada umur yang relatif singkat yaitu 5 – 7 tahun setelah tanam sehingga sangat menguntungkan untuk diusahakan dalam skala besar, seperti pengusahaan HTI. Dengan masa pengusahaan 35 tahun ditambah satu kali masa rotasi, pengusahaan HTI sengon akan bisa menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pulp dan kertas. Sengon sendiri akan menjadi bahan baku pulp yang sangat kompetitif dibandingkan dengan kayu dari jenis pohon lainnya (Atmasuseno, 1994).

HTI yang pembangunannya dimaksudkan untuk menyediakan bahan baku bagi industri perkayuan di Indonesia, tampaknya akan memperoleh banyak keuntungan dengan menanam sengon dibandingkan dengan menanam jenis lainnya. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menanam sengon antara lain sebagai berikut:

1. Masa masak tebang relatif pendek. 2. Pengelolaan relatif murah.

3. Persyaratan tempat tumbuh tidak rumit. 4. Kayunya serbaguna.

5. Permintaan pasar terus meningkat.

6. Membantu menyuburkan tanah dan memperbaiki kualitas lahan.

Dengan masa masak tebang yang relatif pendek pada tahun ke enam pengusaha HTI sengon sudah dapat menangguk bahan baku berupa kayu sengon untuk keperluan industri terkait. Dengan demikian, selain dapat menghemat


(20)

Biaya pembangunan akan lebih ringan pada jenis pohon yang tumbuh cepat atau berotasi pendek seperti sengon ini. Hal ini disebabkan adanya cash flow

masuk dari awal penebangan yang segera dapat mengurangi biaya yang telah dikeluarkan.

Pada anggaran biaya pembangunan hutan tanaman, pos biaya terbesar terletak pada biaya penanaman, pemeliharaan, pemangunan prasarana dan sarana yang mendukungnya. Dengan melihat beberapa kelebihan sengon dibandingkan jenis pohon lainnya maka pengusahaan HTI sengon merupakan suatu pilihan yang sangat rasional. Apabila dikaitkan dengan struktur permodalan pengusahaan HTI, pengusaha hanya menyediakan 21 % dari modal keseluruhan.

Dalam skala kecil sengon sangat cocok dikembangkan dengan sistem hutan rakyat atau hutan tanaman rakyat (HTR), yang mengusahakan sengon sebagai tanaman pokok. Hal ini banyak dirintis di P. Jawa. Di Jawa Barat terdapat banyak hutan sengon rakyat, misalnya di Kabupaten Ciamis. Di kabupaten ini hampir seluruh petaninya menanam sengon baik untuk diambil hasilnya atau sekedar sebagai pohon peneduh di kebun yang dimilikinya. Di Jawa Tengah pohon sengon banyak ditanam oleh masyarakat Kecamatan Kokap yang rata-rata pemilikan lahannya 0,78 ha per kepala keluarga. Penanaman sengon di kecamatan ini banyak dibantu oleh beberapa kelompok tani dan Petugas Lapangan Penghiajauan (PLP) yang bekerja sama dengan Departemen Kehutanan dalam rangka menggalakkan program sengonisasi. Di Jawa Timur penanaman sengon telah dirintis oleh Perum Perhutani di BKPH Pare, KPH Kediri, yang menanam sengon sebagai tanaman pokok dalam sistem penanaman tumpang sari dengan tanaman nanas, jagung dan cabai.

Banyaknya masyarakat yang menanam sengon tidak terlepas dari banyaknya keuntungan yang diperoleh sehingga para petani atau pemilik lahan berpikir dua kali untuk menanam jenis pohon lainnya. Selain itu peran pemerintah melalui program sengonisasi juga sangat mendukung dalam upaya memsyarakatkan pohon sengon ini (Atmasuseno, 1994).

Taksiran konsumsi kayu di P. Jawa pada tahun 1995 sebesar 0,15 m3/ kapita/tahun. Kira-kira 30 % diantaranya berupa kayu sengon sehingga menjelang tahun 1995 di P. Jawa diperlukan kurang lebih 5 juta m3 per tahun kayu sengon


(21)

siap pakai atau setara dengan 10 juta m3 log/tahun. Kebutuhan kayu sebanyak ini tidak dapat dipenuhi oleh Perum Perhutani saja karena sampai saat ini hanya mampu melayani 5 % dari seluruh kebutuhan kayu di P. Jawa. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut hutan rakyat merupakan salah satu alternatif pemecahannya.

Konsumsi kayu sengon rata-rata sebanyak 10 juta m3 log/tahun adalah setara dengan 24.417.000 pohon sengon yang harus ditebang per tahun. Dengan umur tebang rata-rata 5 tahun pengusahaan tanaman sengon secara lestari akan membutuhkan pohon sebanyak 5 x 24.417.000 pohon = 122.085.000 pohon. Dengan demikian jumlah pohon yang diharapkan dapat ditanam oleh para petani adalah sebanyak 122.085.000 pohon dibagi jumlah keluarga petani di Pulau Jawa yang ditaksir sebanyak 60 % dari total jumlah penduduk P. Jawa. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1985, proyeksi jumlah penduduk P. Jawa hingga tahun 1990 adalah 109.235.000 jiwa. Apabila rata-rata pertambahan jumlah penduduk di P. Jawa 1,2 % per tahun, pada tahun 1995 penduduk P. Jawa akan mencapai 114.920.979 jiwa. Dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga petani yang telah masuk daftar sensus sebanyak 5 orang/KK maka pada tahun 1995 di P. Jawa terdapat keluarga tani sebanyak 114.920.979 x 60 % : 5 = 13.790.495 KK.

Dari kebutuhan pohon sengon sebanyak 24.417.000 pohon/tahun, pengadaannya dapat dipenuhi apabila tiap keluarga petani menanam sengon sebanyak.

. 7.

.79 . 9 = 1,77 pohon atau dibulatkan menjadi 2 pohon/KK/tahun.

Dengan penanaman sebanyak 2 pohon/KK/tahun oleh para petani tersebut, maka diharapkan konsumsi kayu sebanyak 10 juta m3 kayu bulat sengon siap pakai dapat terpenuhi.

Pengusahaan hutan rakyat sengon tampaknya mempunai prospek yang cerah sebab penanaman 2 pohon/KK/tahun dapat dilakukan tanpa menyita lahan petani yang produktif. Dengan sistem hutan rakyat ini konsep jarak tanam dan penjarangan tidak diperlukan lagi sebab penanaman dapat dilakukan dengan jarak tanam yang lebar. Sementara itu di bawah tegakan sengon masih dapat ditanami jenis tanaman lainnya yang menguntungkan (Atmasuseno, 1994).


(22)

2.3 Keterangan Botanis Sengon

Paraserianthes falcataria yang sering disebut pohon sengon mempunyai nama daerah yang bermacam-macam. Di P. Jawa saja sengon mempunyai ± 7 nama panggilan, yaitu albisia, albiso, jeunjing (Jawa Barat), sengon laut, mbesiah (Jawa Tengah), sengon sebrang (Jawa Timur dan Jawa Tengah) dan jing laut (Madura). Di luar P. Jawa sengon dikenal dengan nama tedehu pute (Sulawesi), di Maluku dikenal dengan nama rawe, selowaku merah, seka, sika, sika bot, sikahm atau tawasela. Di Papua sengon dikenal dengan nama bae, bai wagohon, wai atau wikie (Atmasuseno, 1994).

Di Malaysia dan Brunei pohon ini dikenal dengan nama puak, batai atau kayu macis. Orang Melayu banyak menyebut sengon ini dengan nama salawaku putih. Nama salawaku putih ini tampaknya berkaitan dengan adanya serat kayu yang membujur dan berwarna putih atau kulit luar batangnya yang licin dan berwarna kelabu keputih-putihan (Atmasuseno, 1994).

Meskipun memiliki nama yang banyak, tetapi yang terasa paling akrab untuk pohon ini adalah nama sengon itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan adanya program pemerintah berupa proyek “sengonisasi” di daerah-daerah kritis yang rawan bencana erosi.

Sengon merupakan pohon yang termasuk anggota famili Fabaceae (dulu Mimosaceae) dan merupakan salah satu jenis pohon yang pertumbuhannya sangat cepat. Pertumbuhannya selama 25 tahun dapat mencapai tinggi 45 m dengan diameter batang mencapai 100 cm. Mengingat pertumbuhannya yang cepat sengon dijuluki sebagai pohon ajaib (the miracle tree). Pada umur 6 tahun pohon sengon sudah dapat menghasilkan kayu bulat sebanyak 372 m3/ha (Atmasuseno, 1994).

Pohon sengon berbatang lurus, tidak berbanir, kulit berwarna kelabu keputih-putihan, licin, tidak mengelupas dan memiliki batang bebas cabang mencapi 20 m. Tajuk berbentuk perisai, agak jarang dan selalu hijau. Tajuk yang agak jarang ini memungkinkan beberapa jenis tanaman lain tumbuh baik di bawahnya.

   


(23)

Gambar 1 Pohon sengon (Paraserianthes falcataria) yang sudah tumbuh besar (Anonim, 2010e).

Sengon berdaun majemuk ganda. Jenis daun seperti ini merupakan ciri famili Fabaceae seperti halnya pohon turi (Sesbania grandiflora), putri malu (Mimosa pudica) dan petai cina (Leucaena glauca). Pada intensitas cahaya rendah, khususnya pada sore hari menjelang malam, anak daun mudah terkulai.

Pohon ini berbunga sepanjang tahun dan berbuah pada bulan Juni – November (umumnya pada akhir musim kemarau). Jumlah benih/kg dapat mencapai 40.000 - 55.000 biji atau 36.000 biji per 1iter dengan daya kecambah rata-rata 80 %. Bunga pohon sengon tersusun dalam bentuk malai dengan ukuran daun mahkota yang kecil, sekitar 0,5 – 1 cm. Benang sari menonjol lebih panjang dari daun mahkota. Warna bunga putih kekuningan. Kuntum bunga yang mekar berisi bunga jantan dan bunga betina. Cara penyerbukan bunga yang sedikit berbulu ini dibantu oleh serangga dan angin (Atmasuseno, 1994).


(24)

Gambar 2 Anakan sengon, terlihat berdaun majemuk ganda (Anonim, 2010e).

Diantara keseluruhan bagian pohon, bagian terpenting dan bernilai ekonomis paling tinggi adalah batang atau kayunya. Pohon sengon berbatang lurus, panjang dan diameter batangnya dapat mencapai 100 cm. Perakaran sengon terbentang melebar. Selain susunan akar yang agak dangkal, terdapat pula susunan akar yang berkembang menghunjam ke dalam tanah. Semakin besar pohon, semakin kuat perakaran serabutnya sehingga mengurangi resiko terputusnya perakaran anakan saat akan dipindahkan dari polibag ke lapangan. Selain itu perakaran sengon, sebagaimana legum lainnya, mengandung bintil akar atau nodul akar. Bintil akar ini dapat mengikat nitrogen bebas dari udara dan mengubahnya menjadi amonia yang dapat dimanfaatkan oleh pohon inang untuk pertumbuhan. Dengan sistem perakaran seperti ini sengon menjadi pohon yang cocok untuk dijadikan pohon utama dalam program penghijauan dan rehabilitasi lahan kritis (Atmasuseno, 1994).

Buah sengon berbentuk polong dan tipis, berwarna hijau sampai cokelat jika sudah masak. Panjang buah sekitar 6-12 cm. Setiap polong buah berisi 15-30 biji. Bila sudah masak biasanya biji tersebut terlepas dari polongnya. Biji berbentuk ellips seperti perisai kecil. Ketika masih muda berwarna hijau muda. Apabila sudah masak berwarna cokelat kehitam-hitaman, agak keras dan licin.

2.4 Peranan Sengon dalam Perbaikan Kualitas Lingkungan

Setiap menanam satu pohon sengon sebenarnya kita telah ikut andil dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan. Upaya perbaikan di sini terutama dalam hal kesuburan tanah, tata air dan iklim mikro setempat. Tajuk sengon yang berbentuk


(25)

perisai merupakan bentuk yang ideal sebagai pohon peneduh. Daunnya yang kecil menyebabkan sebagian sinar matahari tetap mengenai permukaan tanah sehingga memberikan kesempatan tumbuh bagi rumput-rumputan serta tanaman bawah lainnya. Dengan demikian tanah-tanah di bawah tegakan sengon senantiasa hijau dan berpeluang untuk ditumbuhi tanaman bawah lainnya. Seandainya diambil jari-jari tajuk sengon rata-rata 3 m, dapat dihitung luasan tanah yang ternaungi (dianggap berupa lingkaran) seluas 3,14 x r² = 3,14 x 9 m² = 28,26 m².

Kerusakan lahan karena erosi di Indonesia (khususnya di P. Jawa) sudah cukup kritis. Tidak kurang dari 42 juta ha lahan gundul, kosong atau mempunyai tumbuhan kurang, 20 juta ha diantaranya dalam keadaan kritis. Di Pantai Utara P. Jawa erosi melebar sekitar 10 – 50 m per tahun dan di muara Kali Bodri rata-rata volume tanah tererosi mencapai 250 m3 per tahunnya sehingga menimbulkan pendangkalan ke arah hilir sungainya. Oleh karena usaha pencegahan belum dapat mengimbangi laju perluasan lahan kritis maka diperkirakan luas lahan kritis ini akan meningkat terus sekitar 1 – 2 % tiap tahunnya (Atmasuseno, 1994).

Peranan sengon dalam melindungi tanah sekitar tempat tumbuhnya sangat potensial mengingat daun-daun sengon yang jatuh akan dapat berperan sebagai pupuk hijau. Dengan demikian tanah-tanah yang ditanami akan lebih tahan terhadap erosi dan mempunyai kemampuan menyerap air aliran permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan di tanah gundul. Hal ini dapat dipahami karena tanah-tanah yang tertutup oleh tanaman mempunyai rongga-rongga atau jalur-jalur yang lebar sehingga air mudah masuk dan udara mudah keluar. Rongga-rongga itu terbentuk karena adanya jasad-jasad hidup, pembusukan akar tanaman dan sebagainya. Lubang cacing dengan lingkaran selebar 2,5 mm dapat mengalirkan air atau udara yang setara besarnya dengan air yang diserap oleh jutaan pori tanah. Dengan demikian penanaman sengon selain dapat mengurangi bahaya erosi juga dapat berfungsi untuk memperbaiki tata air dalam tanah.

Upaya pemerintah dalam merehabilitasi lahan kritis akan sangat tertolong dengan penanaman sengon ini. Rehabilitasi lahan kritis yang meliputi rehabilitasi lahan pertanian dan rehabilitasi lahan hutan, akan dapat diatasi dengan penanaman sengon di lahan milik atau dalam skala besar sebagai HTI.


(26)

Dalam skala kecil di lahan milik rakyat, penanaman pohon sengon telah dirintis oleh masyarakat Kabupaten Ciamis. Dalam beberapa tahun mendatang setiap daerah perbukitan yang selama ini dianggap kritis serta kurang produktif kelak akan hijau dan rimbun oleh pohon sengon.

Karena akar pohon sengon mampu menfiksasi N₂ bebas dari udara, penanaman sengon akan dapat menyuburkan tanah-tanah yang ada di sekitarnya. Penyuburan tanah ini ditunjukkan oleh adanya perubahan kandungan nitrogen akibat adanya penanaman legum termasuk di dalamnya sengon.

Kelebihan lain dari sengon yang berkaitan dengan lingkungan adalah kemampuannya untuk tumbuh pada tanah yang berkadar garam tinggi. Kelebihan ini akan semakin prospektif di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan jumlah tanah yang berkadar garam tinggi kian hari semakin bertambah. Hal ini disebabkan penghisapan air yang semakin meningkat terutama oleh dunia usaha dan industri di daerah pesisir. Kemampuan sengon untuk tumbuh di tanah yang berkadar garam tinggi memungkinkan tetap tersedianya kawasan hijau sebagai daerah tangkapan air di tanah yang sudah terpengaruh oleh intrusi air laut. Dengan demikian diharapkan suplai air tanah tetap tersedia sehingga laju penurunan permukaan air tanah dapat dikurangi (Atmasuseno, 1994).

Keuntungan lain dari kemampuan sengon tersebut adalah tersedianya peluang membangun hutan kota di wilayah yang telah terintrusi dengan menggunakan pohon sengon. Hutan kota ini akan sangat memberi banyak manfaat bagi kawasan tersebut karena dapat memperbaiki iklim mikro setempat, memberi rasa sejuk bagi kawasan industri yang biasanya terletak di tepi pantai dan tentu saja akan lebih sedap dipandang mata dari segi keindahan.

2.5 Pengelolaan Sengon

Sengon sangat mudah dikelola dan tidak memerlukan perawatan yang intensif. Beberapa petani di Ciamis bahkan menyatakan bahwa tanaman sengon miliknya hanya ditanam seadanya tanpa menerapkan teknik budi daya yang rumit. Saat ini hasilnya sudah tampak berupa kebun sengon yang cukup luas. Jika ketersediaan airnya mencukupi setelah berumur 3 tahun pohon sengon akan


(27)

mencapai tinggi 14,5 m dengan diameter batang 13 cm. Selama persyaratan tumbuh yang uatam telah terpenuhi maka sengon akan dapat tumbuh dengan baik.

Untuk mendapatkan pohon yang lebih baik dan cepat pertumbuhannya maka sengon akan lebih baik lagi jika dikelola intensif. Selain itu, pengetahuan dasar mengenai “kemauan” pohon sengon sangat menentukan keberhasilan penanamannya. Sebagai contoh, sengon termasuk jenis yang menyukai sinar matahari secara langsung sehingga penanaman sebaiknya dilakukan di tempat yang tidak ternaungi.

Kemudahan pengelolaan sengon terlihat pada saat masih berupa bibit di dalam polybag. Dengan hanya diadakan penyiraman pada pagi hari saja, bibit sengon dapat tumbuh dengan baik. Bahkan jika karena suatu hal petugas lupa untuk menyiramnya, bibit sengon masih mampu bertahan sampai dua hari.

Dalam pengelolaan sengon perlu diperhatikan adanya gangguan dari binatang ternak dan hama lain yang mudah menyerang tanaman sengon selagi masih muda. Daun sengon yang masih muda sangat disukai oleh kerbau, sapi dan kambing. Demikian juga dengan serangga Eurema (Eurema blanda dan E. hecabe) yang merupakan hama pemakan daun baik di tingkat semai maupun tanaman tua di lapangan. Sebagai upaya penjagaan/pencegahan dari gangguan ternak, petani cukup membuat pagar semipermanen di sekeliling kebun sengon yang masih muda tersebut. Hama Eurema dapat diatasi dengan menanam pohon sengon secara tumpang sari dengan tanaman cabai tidak disukai oleh jenis serangga ini.

Pada skala yang lebih besar lagi yakni pada pengusahaan HTI, pengelolaan hutan sengon dapat disesuaikan dengan tujuan pengusahaannya. Untuk HTI kayu pertukangan diperlukan pengelolaan yang lebih intensif dibandingkan dengan HTI

pulp. Hal ini disebabkan pada HTI kayu pertukangan bentuk, kualitas, keindahan dan kekuatan kayu menjadi bahan pertimbangan yang utama. Pada HTI pulp, sejauh kayu yang ditanam mempunyai kualitas serat yang sesuai dengan yang disyaratkan dan tidak terlalu banyak mengandung lignin maka batang/kayu pohon tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pulp maupun papan serat (fiber board).


(28)

Secara umum pengelolaan hutan sengon tidak memerlukan persyaratan khusus yang rumit. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Webb (1984) bahwa sengon memerlukan tanah yang berkelas tekstur sedang berupa lempung berpasir hingga lempung berdebu. Tanah berwarna cerah dan bertekstur padat. Tanah seperti ini banyak terdapat di Indonesia khususnya di P. Jawa dan daerah-daerah tertentu di luar P. Jawa. Drainase tanah yang diperlukan cepat sampai sedang. Tanaman ini memerlukan cahaya penuh. Sebelum dikecambahkan benih sengon direndam dalam air mendidih dan didiamkan hingga airnya dingin kembali. Sementara itu bahan tanamannya dapat diperoleh dengan beberapa cara, antara lain dengan stump dan penaburan benih dalam bak kecambah atau pot.

2.6 Sifat dan Kualitas Kayu Sengon

Beberapa sifat dan kualitas kayu yang perlu diketahui oleh para konsumen antara lain:

1) Sifat fisik, 2) Sifat mekanik, 3) Sifat kimia, dan

4) Kelas awet serta kelas kuat. 2.6.1 Sifat fisik kayu sengon

Sifat fisik penting yang perlu diketahui dari setiap kayu meliputi berat jenis (BJ), kadar air (KA), kerapatan dan persen penyusutan.

a. Berat jenis (BJ)

Kayu sengon mempunyai BJ rata-rata 0,33. Untuk bahan baku pulp, makin tinggi BJ kayu maka rendemen pulp akan semakin besar. Selain itu, BJ yang besar akan memperbesar pula kekuatan kayu tersebut.

Kalau dikaitkan dengan BJ-nya sebesar 0,33, kayu sengon memang kurang menguntungkan sebagai bahan baku pulp karena risiko rendemen yang dikhawatirkan rendah. Namun, jika dikaitkan dengan kualitas serat sengon yang tergolong berserat panjang, maka kayu sengon akan menghasilkan kertas dengan kekuatan tarik dan sobek yang memadai. Dengan perlakuan silvikultur yang bagus BJ kayu sengon akan dapat dipertahankan senantiasa dalam keadaan maksimal.


(29)

Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan tinggi rata-rata 100 pohon tertinggi (peninggi) per ha jika ditanam pada kelas kualitas lahan (bonita) yang baik.

Dengan BJ rata-rata kayu sengon yang 0,33 tersebut, kayu sengon mempunyai kekuatan yang relatif kurang. Oleh karena itu pemanfaatannya dalam bidang konstruksi pun hanya terbatas pada konstruksi ringan di bawah atap. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tua pohon (sampai tahun ke-9), BJ kayu sengon akan semakin besar. Untuk pemanfaatan yang memerlukan sedikit kekuatan dapat dipilih kayu sengon yang berumur lebih tua. Namun demikian, untuk keperluan kerajinan tangan kayu sengon sangat ideal karena mudah diproses, ringan dan tidak kaku. Dengan BJ-nya yang tergolong rendah kayu sengon dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan tangan berupa topeng kayu, wayang klitik, patung, dekorasi ruang tamu seperti pohon pisang tiruan, buah-buahan tiruan dan lain-lain.

b. Kadar air (KA)

Setelah ditebang kayu sengon tidak dapat langsung dipergunakan untuk kayu olahan. Hal ini disebabkan karena kayu kayu masih dalam keadaan basah sehingga sangat mudah terkena jamur ataupun serangga perusak kayu. Kayu yang masih basah juga akan menyulitkan dalam pengerjaan khususnya dalam hal penyerutan dan pengergajian.

Kayu dari pohon sengon yang berumur 7 – 9 tahun mempunyai KA sekitar 12 – 15 %. Seperti halnya KA pada kayu lainnya, kayu sengon pun mempunyai variasi KA antar bagian-bagian dalam kayunya. Dalam satu pohon sengon kadar air yang dikandung oleh kayu gubal atau kayu teras akan berbeda. Kayu gubal adalah kayu yang terletak pada bagian batang sebelah luar yang merupakan bagian batang yang masih hidup. Kayu teras adalah kayu yang terletak pada bagian sebelah dalam dari batang dan merupakan bagian yang sudah mati. Kayu gubal berwarna lebih terang dari pada kayu teras. Perbedaan-perbedaan antara kayu gubal dan kayu teras merupakan salah satu sumber variasi KA dalam suatu kayu. Dari suatu penelitian diperoleh rata-rata KA kayu sengon umur 7 – 9 tahun adalah 13,075 %. Dengan rata-rata KA tersebut kayu sengon memerlukan perlakuan khusus untuk berbagai keperluan penggunaannya.


(30)

Mengingat kayu sengon bersifat multiguna maka penggunaannya memerlukan KA yang sesuai dengan lingkungannya. Untuk barang-barang kayu dalam ruangan yang mempunyai pemanas, KA kayu yang dianjurkan adalah 12 %. Untuk ruangan yang selalu berpemanas, KA kayunya 11 %. Untuk ruangan yang berpemanas tinggi, KA kayunya 10 %, sedangkan barang kayu yang diletakkan dekat dengan sumber panas KA kayunya sekitar 9 %.

c. Kerapatan

Kayu sengon mempunyai kerapatan sedang. Seperti halnya BJ, kerapatan kayu akan sangat berpengaruh terhadap sifat mekanis kayu. Kayu yang berkerapatan tinggi cenderung lebih kuat dan lebih kaku dibandingkan kayu yang mempunyai kerapatan rendah.

Dalam penggunaannya sebagai bahan baku papan partikel dan papan semen, kayu sengon menghasilkan produk berkualitas baik. Persentase kerapatan yang diperlukan adalah 0,37 - 0,55 untuk papan partikel dan 0,45 - 0,78 g/cm3 untuk papan serat (fiber board). Kerapatan papan serat yang dihasilkan dari pohon sengon berumur 4 – 7 tahun termasuk kelas kerapatan sedang (medium density fiber board). Mengacu kepada standar dari FAO kekuatan fisik-mekanik serta daya absorpsi dari papan partikel kayu sengon termasuk kelas sedang-tinggi. d. Persen penyusutan

Nilai penyusutan kayu sengon dari pohon berumur 7 – 9 tahun dapat digolongkan sedang, yaitu sebesar 4,57 % pada arah tangensial dan 2,715 % pada arah radial. Penyusutan arah tangensial adalah penyusutan kayu yang searah dengan panjang batang, sedangkan penyusutan arah radial adalah penyusutan ke arah pusat batang dan memotong jari-jari batang. Perbandingan persen penyusutan arah tangensial dengan persen penyusutan arah radial akan menghasilkan sebuah nilai yang disebut nilai T/R. Nilai T/R yang mendekati angka 1 menunjukkan bahwa kayu tersebut akan semakin stabil.

Kalau dikaitkan dengan nilai T/R-nya, sengon termasuk kayu dalam kategori agak stabil karena mempunyai nilai T/R sebesar 1,68. Keuntungan dari kategori agak stabil ini adalah kayu sengon tidak terlalu retak, pecah-pecah atau melengkung akibat pengeringan. Dengan demikian proses pengeringan pada kayu sengon dapat dilakukan dengan lebih mudah dan sederhana, tidak memerlukan


(31)

perlakuan yang terlalu rumit dan teliti. Keuntungan lainnya adalah kayu sengon menghasilkan produk yang lebih baik dan stabil untuk kerajinan kayu, papan tiruan dan mainan anak-anak.

2.6.2 Sifat mekanik kayu sengon

Sifat mekanik yang penting diketahui dari kayu sengon adalah keteguhan lengkung statik dan keteguhan tekan sejajar serat. Keteguhan lengkung statik adalah keteguhan lengkung kayu yang dapat diketahui dengan cara pemberian beban tertentu di tengah-tengah (centre point loading) dari contoh kayu uji yang beru-kuran 5 cm x 5 cm x 76 cm, atau 5 cm x 5 cm x 90 cm dengan jarak sangga 70 cm. Keteguhan tekan sejajar serat adalah keteguhan tahan dari kayu yang dapat diketahui dari pemberian tegangan maksimum (kg/cm²) sejajar dengan arah serat kayu dari contoh kayu uji berukuran 5 cm x 5 cm x 20 cm. Kayu sengon dengan BJ rata-rata 0.33 termasuk ke dalam kayu dengan kelas kuat IV.

Dengan sifat mekanik yang cukup baik, para konsumen akan semakin leluasa memanfaatkan kayu sengon untuk keperluan yang memerlukan sedikit kekuatan. Dengan keteguhan lengkung statik yang diatas nilai 500 kg/cm² kayu sengon dapat digolongkan ke dalam kelas kuat III.

Masih ada beberapa sifat mekanis kayu lapis, misalnya kekenyalan, kekerasan sisi, keuletan, modulus elastisitas dan lain-lain. Namun demikian, keteguhan lengkung statis dan keteguhan tekan sejajar serat sudah dapat memberikan gambaran yang dapat digunakan untuk menilai sifat mekanis dari kayu sengon.

2.6.3 Sifat kimia kayu sengon

Sifat kimia bagi kayu sengon penting artinya. Dengan mengetahui sifat kimia kayu dapat diketahui penggunaan yang sesuai dari suatu jenis kayu. Selain itu dapat digunakan untuk membedakan sesuatu jenis kayu yang secara anatomis sukar untuk dibedakan. Persentase komponen kimia kayu sengon adalah sebagai berikut :

1) Selulosa : tinggi 2) Lignin : rendah 3) Pentosan : rendah


(32)

Persentase selulosa yang tinggi dari kayu sengon menyebabkan kayu ini cukup potensial untuk dijadikan bahan baku pulp dan kertas, dan produk selulosa lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena selulosa yang merupakan konstiten pokok dari dinding sel merupakan bahan dasar pembuatan pulp, kertas dan derivat selulosa lainnya, misalnya nitro selulosa, selulosa asetat, selulosa alkali dan etil selulosa.

Persentase lignin kayu sengon yang rendah menunjukkan bahwa kayu sengon merupakan kayu yang tidak terlalu kuat dan tidak terlalu kaku. Lignin berfungsi sebagai zat perekat dari serat-serat kayu sehingga bertindak sebagai penguat ikatan antar serat tersebut. Perpaduannya dengan selulosa akan menghasilkan sebuah senyawa bernama lignoselulosa. Senyawa ini yang membuat kayu menjadi kuat dan kaku.

Dalam industri pulp-kertas, peranan lignin yang rendah akan menguntungkan dalam proses pengelantangan. Dalam industri kayu lapis adanya persentase selulosa yang tinggi dan persentase lignin yang rendah membuat kayu sengon cocok dijadikan core (lapisan inti) dalam lapisan kayu lapis.

Persentase pentosan kayu sengon dikategorikan rendah. Persentase pentosan yang rendah akan mengurangi kekuatan kayu karena selain sebagai cadangan makanan bagi sel, pentosan juga berfungsi sebagai penguat dinding sel kayu.

2.6.4 Kelas awet serta kelas kualitas kayu sengon a. Kelas awet

Kelas awet adalah pengkelasan panjang pendeknya masa pakai kayu dikaitkan dengan kondisi penggunaan tertentu (seperti dipendam dalam tanah, kondisi cuaca, terendam air dan pengecatan) dan mudah tidaknya terkena serangan rayap tanah serta serangan perusak kayu lainnya. Kayu dengan kelas awet I lebih awet dibandingkan dengan akyu dengan kelas awet IV.

Persentase zat ekstraktif sengon dikategorikan tinggi. Zat ekstraktif yang tinggi memberikan keuntungan khususnya pada keawetan alami kayu. Faktor utama yang menentukan keawetan alami kayu adalah zat ekstraktif, khususnya zat ekstraktif yang bersifat fungisida atau insektisida.


(33)

Sengon mengandung zat ekstraktif saponin yang membuat ketahanan alami kayu sengon terhadap rayap kayu kering Cryptotermes sp. terletak antara kayu jati dan kayu karet. Tampaknya ketahanan terhadap hama tersebut lebih mendekati ketahanan kayu jati. Atas dasar itu kayu sengon banyak digunakan untuk papan penyekat, meja, kursi dan rak dapur. Dengan adanya zat ekstraktif saponin daya tahan kayu sengon terhadap rayap kayu kering termasuk kelas III, sedangkan ketahanan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-IV. Keawetan kayu sengon termasuk kelas sedang (kelas awet IV).

b. Kelas kualitas

Kelas kualitas ini menyatakan kualitas kayu sebagai bahan baku produk tertentu. Untuk industri pulp, kertas dan papan serat (fiber board), serat kayu sengon termasuk ke dalam kelas kualitas II. Kelas kualitas II dicirikan dengan adanya ukuran serat kayu yang sedang hingga panjang, mempunyai dinding sel tipis dan lumen agak lebar. Serat akan mudah menggepeng waktu dinding dan ikatan seratnya baik. Serat jenis ini diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek, retak dan tarik cukup tinggi.

Untuk industri venir dan kayu lapis, kayu sengon menghasilkan kayu lapis dengan keteguhan lentur sejajar serat yang memenuhi persyaratan standar industri Jerman. Untuk industri papan semen, sengon menghasilkan papan dengan kualitas yang baik. Hal ini dicirikan dengan kerapatan 0,45-0,78 g/cm3, kadar air 9,3-13,3 %, keteguhan lentur 18,3-80,4 kg/cm² dan pengurangan tebal 3,2-5,1 %.

Untuk industri papan partikel (particle board), kayu sengon menghasilkan papan partikel berkualitas baik yang ditunujkkan dengan kadar air 10-11 %, persentase kerapatan 0,37 - 0,55, pengembangan tebal 20,6-31 % dan keteguhan lentur 33,8 - 67,6 kg/cm².

Kayu sengon juga dapat menghasilkan arang aktif dengan kualitas baik karena selain mempunyai kemampuan menyerap Iodium yang tinggi (1000 - 1100 mg/g) juga mempunyai kadar abu yang rendah yakni kurang dari 1 %. Kelas kuat adalah pengkelasan kekuatan kayu yang didasarkan atas hubungan antara berat jenis, keteguhan tekan dan keteguhan lentur dari kayu. Kayu dengan kelas kuat I lebih kuat dibandingkan dengan kayu dengan kelas kuat IV.


(34)

Dalam Tabel 1 disajikan perbandingan antara berat jenis, kelas kuat, kelas awet dan kelas kualitas kayu sengon pada umur tertentu dibandingkan dengan tujuh jenis kayu lainnya.

Tabel 1 Berat jenis, kelas kuat, kelas awet dan kelas kualitas kayu sengon dibandingkan dengan jenia kayu lain

No .

Jenis pohon Umur Riap (m3/ha/th)

Berat jenis Kelas kuat Kelas awet Kegunaan

1. Albizia

falcataria

10 38,0 0,33 IV IV 1,2,5,8,12,14, 15

2. Acacia

mangium

10 43,9 0,63 II-III IV 1,2,3,15,20

3. Agathis

lorantifolia

30 26,0 0,49 III IV 1,2,3,7,8,9,14 ,15,17

4. Anthocephalus

cabanda

10 24,0 0,42 III-IV V 2,8,14,15

5. Eucalyptus

deglupta

10 34,0 0,89 I-II II-III 1,4,5,6,10,11

6. Gmelina

arborea

7 21,0 0,44 III II 1,2,3,11,13,1 5,18,19,20

7. Peronema

canescens

15 11,5 0,83 II-III III 1,3,4,5,12,13

8. Sosbania

grandifolia

8 25.0 0,42 III-IV V 1,3,8,12,14,1 8,20

Sumber : dari berbagai sumber, dikumpulkan oleh Atmasuseno (1994). Keterangan :

1 = bangunan 2 = kayu lapis 3 = meubel 4 = lantai

5 = papan dinding 6 = bantalan

7 = rangka pintu/jendela 8 = bahan pembungkus 9 = alat olah raga dan musik 10 = tiang listrik dan telepon 11 = perkapalan

12 = patung, ukiran dan kerajianan tangan

13 = venir mewah 14 = korek api 15 = pulp 16 = alat gambar 17 = potlot 18 = arang 19 = obat-obatan 20 = moulding

2.7 Penggunaan Kayu Sengon

Pohon sengon merupakan pohon yang serba guna. Dari mulai daun hingga akarnya dapat dimanfaatkan untuk beragam keperluan. Daun sengon,


(35)

sebagaimana daun-daun dari famili Fabaceae lainnya merupakan pakan ternak yang sangat baik dan mengandung protein yang tinggi. Jenis ternak seperti sapi, kerbau dan kambing menyukai daun pohon sengon ini. Tidak mengherankan kalau beberapa padang pengembalaan (grazing area) selain rumput-rumputan, disediakan pula dedaunan dari pohon anggota famili Fabaceae, misalnya pohon sengon. Selain sebagai pakan ternak, daun sengon yang berguguran akan dapat bertindak sebagai pupuk hijau yang baik bagi tanah dan tanaman di sekitarnya. Sementara itu tajuk pohonnya berbentuk perisai serta pohonnya yang besar berperan sebagai pohon peneduh di beberapa areal perkebunan.

Sistem perakaran sengon banyak mengandung nodul akar sebagai hasil sim-biosis dengan bakteri Rhizobium. Hal ini sangat mengutungkan bagi tanah dan sekitarnya. Adanya nodul akar dapat membantu porositas tanah dan penyediaan unsur nitrogen dalam tanah. Dengan demikian pohon sengon dapat menyebabkan tanah-tanah di sekitarnya menjadi lebih subur. Selanjutnya tanah ini dapat ditanami dengan tanaman palawija sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani penggarapnya. Hal seperti ini telah dilakukan oleh Perum Perhutani, antara lain di BKPH Pare, KPH Kediri yang menumpangsarikan tanaman nanas diantara larikan tanaman sengon. Dalam tumpang sari disarankan tidak menanam pohon pisang dan ketela rambat karena dikhawatirkan akan bersaing dengan tanaman pokok dalam pemanfaatan hara.

Bagian yang memberikan manfaat ekonomi paling besar pada pohon sengon adalah kayunya. Tidak mengherankan jika saat ini banyak kalangan pengusaha atau pengrajin yang bergerak dalam bidang perkayuan beramai-ramai mengusahakan sengon sebagai bahan baku industrinya.

Dengan harga yang cukup menggiurkan saat ini sengon banyak diusahakan untuk berbagai keperluan dalam bentuk kayu olahan berupa papan dengan ukuran tertentu. Selain itu kayu sengon banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan peti, papan penyekat, pengecoran beton dalam konstruksi, industri korek api, pensil, papan partikel dan bahan baku industri pulp-kertas.

2.7.1 Kayu olahan


(36)

Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Kayu sengon olahan diekspor dalam bentuk potongan-potongan kayu dengan ketebalan yang bervariasi antara 6 – 13 mm dan ukuran standar 3 m x 56 mm (panjang x lebar). Kayu sengon yang sangat tipis banyak digunakan di Jepang sebagai bahan pembungkus tanaman, souvenir dan lain-lain. Pada tahun 1992 harga kayu sengon dengan ketebalan 13 mm mencapai US$ 480/m3, sedangkan untuk ketebalan 6 mm harganya mencapai US$ 650/m3.

Gambar 3 Dolok kayu sengon yang sedang mengalami proses pengolahan (Anonim, 2010f).

2.7.2 Bahan baku peti

Penggunaan kayu sengon sebagai bahan baku pembuatan peti sudah tidak asing lagi. Sejak dahulu para pengusaha perkebunan teh telah memanfaatkan peti yang terbuat dari kayu sengon untuk mengemas teh hasil perkebunannya. Saat ini perusahaan minuman, misalnya PT Multi Bintang, tiap tahun memerlukan tidak kurang dari 200.000 peti kosong untuk mengepak produksinya. Demikian pula beberapa industri lain seperti pabrik sabun, garam, mesin, oli pelumas, semen, kaca, sayuran, buah-buahan dan lain-lain. Bahkan Perum Peruri (Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia) pun tidak ketinggalan menggunakan peti dari kayu sengon untuk mengemas uang recehnya. Tahun 1988 Perum Peruri memesan peti kosong sebanyak 120.000 buah kepada beberapa perusahaan pembuat peti kosong kayu sengon.

2.7.3 Pulp-kertas

Pemanfaatan kayu sengon untuk bahan baku pulp-kertas dengan cara pengolahan kimia (kraft process) ternyata menguntungkan. Hal ini disebabkan kayu sengon memiliki warna yang terang sehingga dalam proses pemutihannya tidak memerlukan bahan pemutih yang banyak. Berdasarkan sifat anatomi, fisik


(37)

dan kimia kayu sengon, pembuatan pulp dengan proses mekanis, baik sejenis maupun campuran dengan serat panjang dapat menghasilkan kertas koran bermutu tinggi.

Kenyataan ini didukung oleh pengamatan sifat kayu sengon berumur 5 – 7 tahun yang mempunyi sifat serat yang baik untuk bahan baku kertas. Namun demikian, kayu sengon dari pohon berumur tahun 6 – 7 tahun mempunyai sifat lebih baik lagi. Keterangan mengenal sifat ini sangat penting karena panjang pendeknya serat akan mempengaruhi kualitas kertas yang dihasilkan. Serat yang panjang mempunyai titik tangkap yang lebih luas terhadap gaya-gaya yang mengenainya. Dengan demikian serat yang panjang akan menghasilkan kertas dengan ikatan serat yang kuat sehingga nilai kekuatan sobek kertas menjadi sangat tinggi serta kekuatan tarik, lipat dan jebol yang masih memadai.

Kayu sengon mempunyai panjang serat rata-rata 1,12 mm. Hal ini sudah tergolong cukup panjang untuk jenis kayu daun lebar sehingga menguntungkan sebagai bahan pulp.

2.7.4 Kayu lapis(plywood)

Struktur kayu sengon tidak memiliki batasan yang jelas antara kayu awal dan kayu akhir pada lingkaran tumbuhnya. Bahkan garis-garis lingkaran tumbuh pada kayu sengon umumnya tidak kelihatan dengan mata telanjang. Dengan sifat tersebut ditambah bentuk batangnya yang bulat memanjang menyebabkan kayu sengon mudah dikupas untuk dibuat venir tanpa perlakuan pendahuluan. Venir adalah lembaran kayu tipis yang dihasilkan dengan cara mengupas atau menyayat kayu.

Pembuatan kayu lapis dengan cara menggabungkan beberapa venir yang berasal dari kayu sengon menghasilkan kayu lapis dengan keteguhan lentur dan keteguhan tarik di atas persyaratan standar Jerman, seperti terlihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Sifat kayu lapis sengon (Paribotro, 1991 dalam Atmosuseno,1994)

No macam kayu lapis Kerapatan (g/cm) Keteguhan lentur (kg/cm³) Keteguhan tarik (kg/cm³) Sejajar serat Tegak lurus serat Sejajar serat Tegak lurus serat 1. Tripleks (3 lapis) 0,43 650,3 401,5 433,5 266,4


(38)

Keteguhan lentur kayu lapis sejajar serat permukaan yang disyaratkan oleh standar Jerman adalah 400 kg/cm², sedangkan yang tegak lurus serat permukaan adalah 150 kg/cm². Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa keteguhan lentur kayu lapis sengon telah memenuhi persyaratan standar tersebut. Angka dalam tabel menunjukkan bahwa kualitas kayu lapis sengon cukup baik dan bermutu.

2.7.5 Kayu pertukangan

Kelebihan lain dari sifat kayu sengon adalah kemudahan dalam pengawetan, pengeringan dan penggergajian. Kemudahan dalam ketiga hal tersebut sangat menguntungkan dalam pemanfaatannya untuk kayu pertukangan. Selain itu, warna kayu yang putih dan bobotnya yang ringan memberi nilai tambah pada keindahan dan kemudahan pengerjaan.

Untuk kayu pertukangan, kayu sengon dimanfaatkan untuk membuat perabotan rumah tangga dan aksesoris dinding berupa rak buku, kotak obat, kotak perkakas, gantungan baju dan lain-lain. Dengan teknik pengawetan yang memadai dapat dibuat lemari, bufet, maupun mapping cabinet yang cukup menawan. Untuk para pelajar dan mahasiswa yang tinggal di rumah kost, kayu sengon tidak asing lagi untuk meja dan kursi belajar. Demikian pula untuk membuat rumah, kayu sengon cukup memadai sebagai bahan konstruksi ringan di bawah atap.

Kegunaan kayu sengon juga sebagai papan penyekat dalam pengecoran beton. Untuk keperluan papan penyekat ini kelebihan kayu sengon terletak pada bobotnya yang ringan, mudah dipaku dan harganya relatif murah.

2.7.6 Kayu bakar

Pada awalnya selain sebagai pohon peneduh di perkebunan-perkebunan teh, kayu sengon dikenal sebagai kayu energi/kayu bakar yang cukup potensial. Karena masih sering dimanfaatkan sebagai kayu bakar, beberapa anggota masyarakat masih menyebut sengon dengan nama kayu api.

Sebagai kayu energi sengon mempunyai nilai kalori yang cukup tinggi yaitu 19.525-20.585 KJ/kg. Tingginya nilai kalori sengon menyebabkan sisa-sisa potongan kayu sengon dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit uap dan pembangkit listrik di industri-industri kayu lapis.

Di Jawa Barat, dalam skala rumah tangga penggunaan kayu sengon untuk kayu energi tidak asing lagi. Pohon sengon ditebang, batangnya dipotong-potong


(39)

sesuai ukuran yang diinginkan kemudian dibelah-balah dan diangin-anginkan sampai kering. Setelah kering kayu sengon siap dijadikan kayu bakar.

2.8 Daerah yang Sesuai untuk Penanaman Sengon

Populasi alami kayu sengon terdapat di daerah Kepulauan Maluku Utara, Kepulauan Timur dan daerah yang terletak pada garis lintang 10 ºLS – 3 ºLU. Selain itu sengon hidup pada berketinggian tempat 0 – 2000 m dpl dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.000 - 4.000 mm, jadwal curah hujan merata, musim kemarau 0 - 2 bulan, suhu bulan terpanas rata-rata 30-34ºC dan suhu bulan terdingin rata-rata 20 – 29 ºC. Tanah yang dikehendaki adalah tanah bertekstur ringan, menengah atau padat yang bereaksi netral. Pada toleransi tertentu masih dapat tumbuh pada tanah dengan reaksi asam dan basa. Drainase tanah sedang sampai lembab.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sengon mempunyai daerah penyebaran dengan selang yang lebar, mulai dari ketinggian tempat tumbuh sampai jenis tanah, bahkan iklim yang dikehendaki pun merupakan iklim yang banyak terdapat di beberapa wilayah di Indonesia. Dengan demikian boleh dikatakan hampir semua daerah di Indonesia dapat ditanami sengon.

Daerah Jawa Barat merupakan daerah penanaman sengon yang sangat potensial mengingat solum tanahnya yang relatif tebal, udaranya sejuk dan relatif lembab sementara kebutuhan sinar matahari cukup terpenuhi. Di Jawa Timur daerah penanaman sengon terdapat di Kediri, Lamongan, Bondowoso dan daerah sekitarnya. Pertumbuhan sengon di Kabupaten Bondowoso cukup bagus dan pohon intinya cukup potensial dijadikan sumber benih yang baik. Benih sengon dari Kabupaten Bondowoso (daerah sekitar DAS Sampeyan) sudah mampu berkecambah dalam waktu 3 – 4 hari dengan persentase perkecambahan mencapai 80 %. Di Jawa Tengah, percobaan penanaman di Kabupaten Gunung Kidul menemui kendala khususnya dari segi ketebalan solum tanah dan ketersediaan air namun di daerah ini banyak dijumpai juga tanaman sengon yang cukup bagus, seperti di Kecamatan Kokap, khususnya di Dusun Plampang I, Plampang II dan Plampang III. Di daerah ini hampir setiap pekarangan telah memiliki 5 – 10 pohon


(40)

Mencari daerah yang sesuai untuk penanaman sengon tidak sulit. Selagi petani memiliki tanah kosong yang cukup luas dengan kesuburan tanah yang memadai maka sengon mudah tumbuh di tempat tersebut. Apalagi kalau usaha budi dayanya dilakukan di Pulau Jawa.

Lokasi penanaman dapat disesuaikan dengan tujuan penanamannya. Lokasi tersebut sebaiknya mempunyai karateristik sebagai berikut :

1. Lokasi relatif datar dengan kemiringan maksimum 25 % dan ketinggian tempat antara 10 – 800 m dpl.

2. Lapisan solum tanah cukup tebal.

3. Ketersediaan air tercukupi dengan maksimal 15 hari hujan dalam 4 bulan kering.

4. Lokasi mudah dijangkau dan akan lebih baik kalau terletak di tepi jalan utama.

5. Kalau areal penanaman berupa tanah miring harus diusahakan agar daerah sekitarnya ditanami dengan pohon lain yang mempunyai kemampuan menahan tiupan angin kencang (wind break).

Untuk tujuan rehabilitasi lahan kritis dan konservasi tanah, sengon dapat ditanam di daerah-daerah yang rawan erosi. Untuk itu sengon ditanam di dalam DAS seperti yang telah dilakukan di DAS Sampeyan, Bondowoso dan daerah-daerah yang dianggap sebagai daerah-daerah tangkapan air bagi kepentingan pengairan. Penanaman sengon di areal yang mempunyai kemiringan curam (30 – 50 %) dapat dilakukan setelah di areal itu dibuat teras gulud (contour terrace). Teras dapat dibuat beberapa jenis antara lain teras datar untuk kemiringan 3%, teras kredit untuk kemiringan 3 – 10 %, teras bangku untuk kemiringan 10 – 30 % dan teras gulud untuk kemiringan antara 30 – 50 %.

Tanah kritis merupakan tanah-tanah yang tidak sesuai antara penggunaan dengan kemampuannya, telah mengalami, atau dalam proses kerusakan fisik/ kimia/biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya. Penanaman sengon di tanah-tanah kritis dapat membantu upaya rehabilitasi karena sengon cocok sekali dengan kriteria pohon-pohon prioritas dalam rehabilitasi lahan kritis antara lain sebagai berikut :


(41)

1. Mampu tumbuh di tempat-tempat terbuka, di bawah sinar matahari penuh. Jadi termasuk pohon-pohon dari jenis intoleran dan pionir.

2. Mampu bersaing dengan alang-alang dan gulma lainnya. Jadi, dipilih yang cepat tumbuh, pertumbuhan tingginya dan agresif (sengon merupakan salah satu pohon yang memiliki pertumbuhan tercepat di dunia).

3. Mudah bertunas lagi bila terbakar atau dipangkas.

4. Sesuai dengan keadaan tanah yang kurus dan miskin hara serta tahan kekeringan.

5. Biji atau bagian untuk pembiakannya mudah diperoleh dan mudah disimpan. 6. Disenangi oleh masyarakat dan bernilai ekonomis sehingga merangsang

mereka untuk menanam dan memeliharanya.

Dengan makin meluasnya lahan kritis khususnya di P. Jawa maka daerah penanaman sengon pun tampaknya tersedia lebih luas lagi. Selain itu dengan lebarnya kisaran persyaratan tumbuh bagi pohon sengon maka untuk mencari daerah penanaman bagi keperluan budi daya sengon tidak akan sesulit seperti yang dibayangkan.


(42)

29

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Studi pustaka tentang hama sengon ini dilakukan di berbagai perpustakaan yang ada di Bogor, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo dan Malang. Di Bogor dikumpulkan sumber pustaka dari perpustakaan di lingkup IPB, perpustakaan Badan Litbang Kehutanan, dan perpustakaan Pusat Litbang Biologi LIPI. Di Jakarta dikunpulkan sumber pustaka dari perpustakaan Manggala Wanabakti. Di Bandung dikumpulkan sumber pustaka dari perpustakaan Fahutan UNWIM dan perpustakaan FMIPA ITB. Di Yogyakarta dan Solo dikumpulkan sumber pustaka dari perpustakaan Fahutan dan perpustakaan Faperta UGM, perpustakaan Faperta UNS. Terakhir di Malang dikumpulkan sumber pustaka dari perpustakaan Faperta UNIBRAW. Studi pustaka ini dilakukan selama tiga bulan, termasuk penyusunan skripsi, mulai dari bulan Mei - Juli 2010.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber-sumber pustaka yang ada di tiap perpustakaan tersebut di atas berupa majalah ilmiah, jurnal, laporan penelitian, skripsi, tesis dan desertasi tentang sengon dan hama sengon. Di tiap perpustakaan sumber pustka tersebut dicari pada katalog dalam kartu dan atau dalam komputer yang ada di tiap-tiap perpustakaan tersebut. Selain sumber pustaka yang ada di perpustakaan, dikumpulkan pula informasi tentang hama sengon ini melalui internet, terutama dari negara tetangga yang juga menanam atau mengusahakan sengon, misalnya Thailand, Malaysia dan Filipina.

3.3 Metode Penelitian

Di tiap perpustakaan sumber pustka tersebut ditelusuri pada katalog dalam kartu dan atau dalam komputer yang ada di tiap-tiap perpustakaan tersebut. Bila sudah ditemukan bahan-bahan tersebut dipelajari secara singkat di ruang perpustakaan dan selanjutnya bagian-bagian atau seluruh naskahnya difotocopy, bila diijinkan oleh petugas perpustakaan yang bersangkutan. Bila tidak diijinkan,


(43)

30

bagian-bagian yang diperlukan disalin melalui tulisan tangan. Selain itu ditanyakan pula ke petugas perpustakaan setempat tentang sumber pustaka yang belum/tidak tercantum dalam katalog, misalnya skripsi mahasiswa dan laporan penelitian dosen.

Setelah terkumpul bahan-bahan pustaka tentang hama sengon, selanjutnya bahan-bahan pustaka itu dipilah-pilah menjadi hama yang meyerang daun, pucuk/ cabang, kulit, batang, akar, dan bunga serta buah. Dan juga informasi tentang hama pada sengon yang mencakup morfologi, siklus hidup, pohon inang, daerah penyebaran, cara penyerangan, dampak serangan dan cara-cara pengendalian hama sengon. Setiap sumber pustaka tentang suatu jenis hama yang menyerang bagian pohon tertentu, dipilah-pilah lagi berdasarkan morfologi, daerah penyebaran, jenis-jenis pohon inang, cara penyerangan, dampak serangan dan cara-cara atau metode pengendaliannya. Pemilahan ini dilakukan untuk memudahkan dalam penyusunan skripsi.


(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Jenis-jenis hama yang menyerang tanaman sengon (selanjutnya disebut ha-ma sengon) cukup banyak. Haha-ma-haha-ma tersebut ada yang menyerang daun, kulit, batang dan akar. Sementara dari penelusuran pustaka di beberapa perpustakaan yang dikunjungi peneliti tidak ditemukan informasi tentang hama bunga dan buah sengon tersebut. Jenis-jenis hama sengon yang sudah diketahui diuraikan di bawah ini.

4.1.1 Hama Daun 4.1.1.1 Euremablanda

a. Morfologi serangga

Eurema blanda termasuk famili Pieridae, ordo Lepidoptera. Telur E. blanda berwarna putih, berbentuk lonjong, berukuran 1 - 1,5 mm. Telurnya diletakkan berkelompok pada permukaan daun tumbuhan inangnya (Gambar 4). Satu kelompok telur mengandung sekitar 50 telur (Saketi, 1989).

Gambar 4 Stadia telur dan larva E. blanda (Saketi, 1989 dan Anonim, 2010b). Larvanya (ulat) berwarna hijau muda, kepalanya berwarna hitam (Gambar 4). Pada sisi lateral tubuhnya terdapat garis berwarna putih, memanjang dari bagian dada sampai dengan abdomen. Menjelang stadium pupa, panjang tubuh larva adalah 2,5 cm dan tebalnya sekitar 4 mm.

Pupa (kepompong) yang baru terbentuk, berwarna hijau kehitaman, yang lama-kelamaan berubah menjadi kuning; panjang tubuhnya 1,5 cm. Kepompongnya terlihat menggantung membentuk sudut sekitar 45º (Gambar 5).


(45)

Gambar 5 Stadia pupa E. blanda pada daun sengon ( koleksi pribadi Husaeni). Seluruh tubuh kupu-kupu warnanya kuning dan pada pinggir-pinggir sayapnya terdapat warna hitam (Gambar 6). Rentang sayapnya adalah 4,5 cm (Suratmo, 1962). Kupu-kupu betina mempunyai ciri-ciri yaitu pita hitam pada sayap-sayapnya lebih lebar dari pada yang jantan, dan terdapat bintik-bintik yang terang pada pita ini terutama pada sayap depan (Borror et al., 1992).

Gambar 6 Stadia imago Euremablanda (Anonim, 2010a).

b. Siklus hidup

Euremablanda berkembang melalui beberapa stadia mulai dari telur (3 - 4 hari), larva (ulat) 17 hari, kepompong 5 - 6 hari dan stadia dewasa atau kupu-kupu 10 hari. Siklus hidup serangga ini sekitar 36 hari (Suratmo, 1974, Natawiria, 1988).

c. Daerah penyebaran

Eurema blanda tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Asia Tenggara (Intari et al., 1990; Kalshoven, 1981). Penyebaran E. blanda sangat luas mulai dari Afrika, Tiongkok, Jepang, Korea, Asia Tenggara, Australia, Asia Selatan sampai Kepulauan Pasifik, dan di Indonesia banyak tersebar di Pulau Jawa,


(46)

d. Pohon inang

Selain menyerang Paraserianthes falcataria, E. blanda juga menyerang Dadap (Erythrina sp), Johar (Cassia siamea), Turi (Sesbania grandifora), Jengkol (Pithecelobium lobatum) dan Petai (Parkia speciosa) (Suratmo, 1974). Larva E. blanda pada umumnya menyerang tanaman Leguminosae (sekarang famili

Fabacecae) (Kalsoven, 1981). Saketi (1989) mengadaan percobaan tentang jenis pohon inang yang paling disukai oleh E. blanda. Pada percobaan tersebut diberikan daun dari 10 jenis ;pohon yang tergolong famili Fabaceae pada ulat E. blanda, yaitu Paraserianthes falcataria, Cassia siamea, Pithecelobium lobatum,

Calliandra callothyrsus, C. tetragona, Acacia mangium, Bauhinia purpurea, Gliricidia maculata, Caesalpinia pulcherima dan Pterocarpus indicus. Hasil percobaan menunjukkan bahwa daun P. falcataria adalah yang paling disukai oleh ulat E. blanda. Daun jenis pohon lain yang diuskai berikutnya berturut-turut adalah Cassia siamea, P. lobatum, C. callothysrsus dan C. tetragona. Jenis pohon lainnya tidak disukai E. blanda.

Ada dua pendapat mengenai pemilihan tanaman inang oleh serangga yaitu : 1) Nutrisi bukan merupakan faktor yang menyebabkan serangga menyukai suatu jenis tanaman karena secara umum daun-daun tanaman cukup mengandung nutrisi (Detheir, 1974; Lipke dan Frankel, 1956 dalam Wulandari, 2003), namun faktor yang menyebabkan suatu serangga menyukai jenis tanaman adalah faktor fisik (bentuk daun, halus, lunak dan tidak berbulu) dan faktor kimia (glukosa, alkaloid dan minyak-minyak esensial); 2) Nutrisi merupakan faktor yang menyebabkan suatu serangga menyukai jenis tanaman tertentu (Kennedy dan Both, 1981 dalam Wulandari, 2003). Komposisi zat-zat nutrisi pada daun sengon adalah protein 19,84 %, lemak 6,02 %, serat kasar 28,28 %, kalsium (Ca) 1,68 % dan posfor (P) 0,29 % (Yulifah, 1991 dalam Nasution, 1994), sehingga pohon sengon sangat disukai oleh E. blanda.

e. Cara penyerangan

Eurema blanda aktif terbang pada siang hari, menyenangi tempat-tempat yang terang dan lembab. Eurema blanda meletakkan telurnya pada permukaan atas daun sengon atau pohon inang lainnya. Telur E. blanda diletakkan secara berkelompok pada permukaan atas daun. Ulat-ulat yang keluar dari kelompok


(47)

telur akan segera memakan daun-daun muda dari tumbuhan inangnya. Ulat yang lebih tua mampu memakan daun yang lebih tua pula. Ulat memakan daun sengon secara berkelompok pada daun dan seluruh helaian daun kecuali tulang daun primer (Gambar 7). Sewaktu akan menjadi pupa, ulat turun untuk berkepompong pada tumbuhan lain atau pada ranting-ranting pohon inangnya (Suratmo, 1974).

Gambar 7 Ulat E. blanda yang menyerang daun sengon (koleksi pribadi Husaeni).

f. Dampak serangan

Populasi E. blanda berfluktuasi secara tajam. Populasi E. blanda menurun pada musim kemarau dan meningkat pada musim hujan, kadang-kadang sampai terjadi ledakan populasi. (Irianto et al., 1997). Oleh karena itu serangan hama ini akan meningkat pada musim hujan.

Serangan yang hebat oleh E. blanda pada tegakan sengon akan menyebabkan terjadinya penggundulan tanaman dan penggundulan ini akan menyebabkan pertumbuhan pohon terganggu sehingga riap tegakan akan berkurang. Namun sampai sekarang belum ada penelitian tentang pengaruh serangan E. blanda pada penurunan riap tersebut.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi K. 2008. Intensitas serangan boktor (Xystrocera festiva) Pascoe dan pengen-dalian dengan menggunakan perangkap lampu pada areal tegakan sengon ( Pa-raserianthes falcataria (L) Nielsen). Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti. Jatinangor. Tidak diterbitkan.

[Anonim]. 2010a. Eurema hecabe. www.butterflyutopia.com/ eu-rema_hecabe_

brenda.html. [14 Jul 2010].

. 2010b. Eurema spp. http: // blog. xuite.net/timlouis/blog/25872803. [14 Juli 2010].

. 2010c. Eurema hecabe egg sec. www.wikipedia.org/wiki/ file: eurema

hecabe_egg_sec.jpg. [14 Jul 2010].

. 2010d. Butterfly. http://butterfly.nss.org.sg/ Gallery/ Caterpillar. html. [14 Jul 2010].

. 2010e. Sengon (Paraserianthes falcataria). http://rajabenih.com/?p=22. [3 Agu 2010].

. 2010f. Kayu Sengon Lumajang dikirim ke Magelang.

http://www.kabarbisnis.com/peristiwa/28337-Kayu_Sengon_Lumajang_diki-rim_ke_Magelang.html. [3 Agu 2010].

Atmosuseno BS. 1994. Budidaya, kegunaan, dan prospek pengon. Jakarta: Penebar Swadaya, Jakarta.

Borror Dj, Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan pelajaran serangga, Edisi. Ke-6. (Peneterjemah: S. Partosoedjono). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

BP2TP. 2007. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao Dengan Jamur Beauveria Bassiana. www.Pustaka-Deptan. go. id/agritek. [27 Feb 2007].

Chaiglom D. 1990. Outbreaks of forest insect and control operations in Thailand. Proceedings of the IUFRO Workshop. Bangkok: RAPA Publication 1990/9 FAO.

Dadang, 2010. Pestisida dalam pengendalian hama terpadu. Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Dammerman KW. 1929. The Agricultural Zoology of the Malay Archipolago: The animal injurious and beneficial to agriculture, horticulture and forestry in Malay Peninsula, The Dutch East Indie and the Philippinies. Amsterdam: JH de Bussy Ltd.

de Yong JK. 1931. Is een radicale boorderbestrijding in de Albizzia mogelijk?. De Bergcultures. No. 12: 323 – 326.


(2)

Digut SN. 1977. Berat serangan Phassus damor Moore pada tegakan rasamala di KPH Bandung Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Franssen CJH. 1931. Over de levenwijze van den Albizzia boktor (Xystrocera festiva Pascoe). Arch. Theecult., 1: 1 - 5.

Hardi TTW, Darmawati W. 1996. Pengendalian hama kupu-kupu kuning secara biologis. Info Hutan 66: 1 – 7, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. Hardi TTW, Anggraeni I. 2003. Efikasi ekstrak daun tembakau terhadap hama

se-ngon, Eurema blanda (Boisd). Pprosiding Ekspose Hasil Litbang Biotegnologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Harsono DPB. 1981. Serangan hama uret pada tanaman muda rasamala di KPH Ciguha, BKPH Cikawung, KPH Sukabumi [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Hawiati PW. 1994. Peranan ekstrak biji dan daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) dalam pengendalian penggerek batang sengon (Xystrocera festiva Pas-coe). Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Tidak diterbitkan. Husaeni EA. 1992. Kerugian serangan boktor (Xystrocera festiva Pascoe) pada

tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Da-lam Mas’ud F, Soedaryanto, Abdulllah RH, Riyanto HD, Kuwadi (Eds.) Proceedings seminar dan temu lapang pembangunan HTI wilayah Sumatera, Palembang 29 – 31 Okotber 1992. Pp 393 – 398.

. 2001. Diktat hama hutan tanaman. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan.

Husaeni EA, Kasno, Rachmatsjah O, Haneda NF, 1995. Studi pemberantasan hama boktor (Xystrocera festiva) pada tegakan sengon: Bio-ekologi boktor dan eks-plorasi musuh alami boktor. Laporan penelitian, Fakutas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan.

Husaeni EA, Kasno, 1997. Studi pemberantasan hama boktor (Xystrocera festiva) pada tegakan sengon: Pembiakan masal dan pelepasan parasitoid telur boktor. Laporan penelitian, Fakutas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan.

Husaeni EA, Kasno, Haneda NF, Sutarahardja S. 1998. Studi pemberantasan hama boktor (Xystrocera festiva) dan hama baru pada tegakan sengon. Laporan pe-nelitian, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Tidak diterbitkan.

Husaeni E.A, Kasno, Haneda N.F, Rachmatsjah O. 2006. Pengantar hama hutan di Indo-nesia: Bio-Ekologi dan teknik pengendalian. Bogor: Fakltas Kehutanan IPB. Diktat, tidak diterbitkan.


(3)

Hutacharern C, 1993. Insect pests. dalam Awang K dan Taylor D (eds). Acacia ma-ngium, growing and utilization. Winrock International and FAO, Bangkok, Thailand.

Intari SE, Natawiria D. 1973. Hama uret pada persemaian dan tegakan muda. Laporan Lembaga Penelitian Hutan Bogor No. 167.

Intari SE, Santoso E. 1990. Pola tanam HTI sebagai usaha penanggulangan hama dan penyakit (Planting pattern and diseases). Buharman, Purba K, Hediana C, editor. Proceedings Diskusi Hutan Tanaman Industri, 13 – 14 Maret 1990. Jakarta: Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan. 85 – 94.

Irianto RSB. Matsumoto K, Mulyadi K. 1997. The yellow butterfly species of the genus Eurema Hubner causing severe defoliation in the forestry plantations of Albizzia and Paraserianthes falcataria (L) Nielsen, in the western part of In-donesia. JIRCAS Journal 4: 41 – 49.

Kalshoven LGE, 1919. Schade door den ringboorder Phassus damor Moore. aan wildhoutculturen. Meded. Proefst. Boschwn. 4: 75 – 81.

, 1937. De ziekten en plagen van den rasamala. Tectona 30(3): 162 – 173.

, 1981. The pests of crops in Indonesia. van der Laan, PA (trans. and rev.), PT Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta.

Kasmudjo. 1992. Sengon wood properties on several ages. Poster and voluntary paper on International Symposium on Sustainable Forest Management. Yogyakarta September 21 – 24, 1992.

Kuswiyono D. 2003. Pola serangan hama Xystrocera festifa Pascoe pada hutan rakyat sengon laut di Desa Girikerto. Sskripsi Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas kayu Indonesia Volume II. Badan Litbang Kehutanan, Bogor.

Matsumoto K. 1994. Studies on the ecological charateristics and method of control of insect pest of trees in reforested areas in Indonesia. Final report, AFRD, Bogor. Unpublished.

Matsumoto K. Irianto RSB. 1998. Adult biology of the albizia borer Xystrocera festiva Thomson (Coleoptera; Cerambycidae) based on laboratory breeding, with particular reference to its oviposition schedule. Jour. Trop. For. Sci. 10 (3) : 367 - 378.

Nair KSS, Mathew G. 1988. Biology and control of insect pests of fast-growing hardwood species. KFRI Research Report 51. Kerala Forest Research Institute, Peechi, India. 45 pp.


(4)

. 1992. Biology, infestation charatetristics and impact of the bagworm, Pteroma plagiophleps Hamps. in forest plantations of Paraserianthes falcataria. Entomon 17: 1 - 3.

Nair KSS, 2001. Pest outbreak in tropical forest plantations: Is there a greater risk for exotic tree species?. Bogor : CIFOR.

Nair KSS, Sumardi, 2000. Insect pests and diseases of major plantation spesies. Dalam Nair KSS (eds). Insect pests and diseases in Indonesia forest: an assessment of the major threats, research efforts and literature. Bogor : CIFOR Narulita D. 2003. Pengendalian hama kupu-kupu kuning (Eurema blanda) dengan

menggunakan ekstrak biji pucung (Pangium edule Reinw.). Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti Jatinangor. Tidak diterbitkan.

Nasution F. 1994. Evaluasi nutrisi daun sengon (Albizia falcataria (L) Fosberg); in vivo. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi Makanan Ternak IPB. Tidak diterbitkan. Natawiria D. 1972/1973. Hama dan penyakit Albizia falcataria (L) Forsbeg. Rimba

Indonesia 17 (1 – 2).

. 1988. Teknis pengenalan hama HTI. Informasi Teknis No. 4, 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bogor.

Notoatmodjo SS, 1963. Cara-cara mencegah serangan masal dari boktor Xystrocera festiva Pascoe pada tegakan Albizia falcataria. Laporan Lembaga Pusat Penyelidikan Kehutanan Bogor, No. 92.

Nurhayati ND. 2001. Pengujian efikasi insektisida sistemik Perfecthion 400 EC terhadap hama boktor (Xystrocera festiva Pascoe) pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB Bogor. Tidak diterbitkan.

Nurtjahyawilasa, 1996. Sudi morfologi dan morfomrtrik Xystrocera festiva Pascoe. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB Bogor. Tidak diterbitkan.

Putra AD. 2006. Perkembangan serangan serangga perusak kulit pohon Indarbela acutistriata Mell (Lepidoptera: Indarbelidae) pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen): Studi kasus di Kampus IPB Darmaga Bogor). Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti. Jatinangor. Tidak diterbitkan.

Saketi B. 1989. Pemilihan tanaman inang oleh larva Eurema hecabe. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Tidak diterbitkan.

Satjapraja O, Tim Perhimpi., 1989. Penilaian wilayah kesesuaian agroklimat hutan tanaman industri sengon (Albizia falcataria). Seminar sehari Peningkatan Pemanfaatan Agrometeorologi dalam Pengembangan Hutan Tanaman Industri dan Pengembangan Perkebunan. Jakarta 31 Agustus 1989.


(5)

Sidabutar H. Natawiria D. 1973. Percobaan penggunaan Dimecron 100 untuk memberantas hama Xystrocera festiva Pascoe pada Albizia falcataria Baker. Laporan. LPH Bogor. No. 174.

Soeratmo FG. 1988. Pengendalian hama tanaman HTI, Diskusi Hasil Penelitian Silvikultur Jenis Kayu HTI, Jakarta.

Speight WR, Wylie FR. 2000. Insect pests in tropical forestry. CABI Publishing. New York.

. 2001. Insect pests in tropical forestry. CABI Publishing, New York.

Suharti M, Irianto RSB, Sugeng. 1994. Perilaku hama penggerek batang sengon (Xystrocera festiva) dan teknik pengendaliannya secara terpadu. Bul. P3H & KA No. 558.

Suharti M, Sitepu IR, Anggraeni I. 2000. Perilaku, intensitas dan akibat serangan hama penggerek batang Indarbela acutistriata Mell. pada tegakan sengon di KPH Kediri. Bul. Pen. Hutan 623: 37 – 50.

Suharti M, Sitepu I, Damayanti T. Anggraeni I. 2000a. Uji efikasi beberapa jenis agens pengendali hama ulat kantong secara biologi dan kimia. Bul. P3H & KA. Suharti M. 2002. Beberapa hama dan penyakit penting pada sengon (Paraserianthes

falcataria) dan teknik pengendaliannya. Bul. Pen. Hutan. 632: 27 – 46.

Suhendi D, Sembiring S. 1998. Permasalahan dan strategi pengelolaan hama Eurema sp. (kupu kuning) di HTI PT. Kiana Hutani Lestari. Proceedings Workshop Permasalahan dan Strategi Pengendalian Hama di Areal Hutan Tanaman Industri. Bogor: Fahutan IPB. Hal: 37 – 48.

Suratmo FG. 1974. Diktat ilmu hama hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Tidak diterbitkan.

Tarlinawati D. 1997. Perkembanagan serangan serangga perusak kulit pohon Indarbela sp (Lepidopteera; Indarbelidae) pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB Bogor. Tidak diterbitkan.

Tikupadang H, Sumardjito Z, Sila M. 1995. Biologi hama sengon (Praseranthes falcaaria) dan identifikasi musuh-musuh alaminya di lokasi HTI Inhutani Borisallo Kabupaten Gowa. Jurnal Penelitian Kehutanan, 9 (1) : 29 – 35.

Webb DB. 1984. A guide to species selection for tropical and subtropical plantations. Tropical Forest Paper No:15, Commonwealth Forestry Institute, Oxford, 256 p. Winata SS, 2001. Pengaruh ekstrak daun pakem (Pangium edule Reinw.) terhadap

ulat kupu kuning (Eurema hecabe) yang menjadi hama sengon ( Paraseri-anthes falcataria (L) Nielsen) di persemaian. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB Bogor. Tidak diterbitkan.


(6)

Wongtong S. 1974. Pattern of attack and darmage of Xystrocera festiva, (Coleoptera: Cerambycidae) an Albizia tree, Albizia falcataria Pascoe. Bogor: Biotrop. 74: 121.

Wulandari R. 2003. Pemilihan tanaman inang (Host preference) Oleh Eurema spp [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.