Kajian Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier dan Mikroskop Elektron Payaran Membran Selulosa Asetat Dari Limbah Cair Tapioka

ABSTRAK
ISMIAINI NURPATRIA PUTRI. Kajian Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier
dan Mikroskop Elektron Payaran Membran Selulosa Asetat dari Limbah Cair Tapioka.
Dibimbing oleh BETTY MARITA SOEBRATA dan SRI MULIJANI.
Limbah cair tapioka merupakan limbah yang dihasilkan dari proses pengendapan pati
atau pemisahan pati dari airnya pada industri tapioka. Limbah ini masih mengandung
karbohidrat seperti glukosa sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk
membuat selulosa dan membran selulosa asetat (CA). Nata de cassava dibuat melalui
proses fermentasi dengan Acetobacter xylinum di dalam media limbah cair tapioka. Nata
kemudian dikeringkan dan dihancurkan sehingga diperoleh serbuk selulosa bakteri (BC).
Serbuk BC diasetilasi dengan pereaksi anhidrida asetat untuk membentuk serbuk CA.
Serbuk CA dilarutkan ke dalam pelarut aseton (sesuai kadar asetil CA yang diperoleh)
dengan nisbah 16% b/v kemudian dicetak menjadi membran. Membran CA ini dicirikan
menggunakan spektroskopi Inframerah Tranformasi Fourier (FTIR) dan Mikroskop
Elektron Payaran (SEM). Hasil analisis spektrum FTIR pada membran CA membuktikan
bahwa CA telah terbentuk sesuai dengan adanya pita serapan C karbonil pada daerah
1754.81 cm-1 serta C-O asetil pada 1042.34 cm-1. Hasil analisis SEM pada membran CA
menunjukkan bahwa membran yang dihasilkan merupakan jenis membran mikrofiltrasi
dan asimetrik dengan diameter pori membran sekitar 0.37-0.95 μm. Serbuk CA yang
dihasilkan mempunyai kadar air 21.49% dan kadar asetil 40.38% (setara dengan derajat
substitusi 2.51).


ABSTRACT
ISMIAINI NURPATRIA PUTRI. Study of Fourier Transform Infrared Spectroscopy and
Scanning Electron Microscope of Cellulose Acetate Membrane From Wastewater of
Tapioca. Supervised by BETTY MARITA SOEBRATA and SRI MULIJANI.
Wastewater of tapioca is waste product from starch precipitation or separation process
from its water in making tapioca. This wastewater still contains carbohydrates such as
glucose, so it can be used as raw material for making cellulose and cellulose acetate (CA)
membrane. Nata de cassava was made by fermentation process using Acetobacter
xylinum in wastewater of tapioca as the fermentation media. Then, the nata was dried and
grinded to produce bacterial cellulose (BC) powder. BC powder was reacted with acetic
anhydride to produce CA powder. CA powder was dissolved to acetone solvent
(appropriate with an acetyl degree of CA) with 16% w/v composition and then formed to
be a membrane. These CA membrane was characterized with Fourier Transform Infrared
(FTIR) and Scanning Electron Microscope (SEM). Analysis from FTIR spectrum showed
that CA was formed, by the existence of absorption band of C carbonyl at 1754.81 cm-1
wavenumber and C-O acetyl at 1042.34 cm-1. The result of SEM analysis showed that the
membrane which has been produced was the microfiltration and asymmetric membrane
with the diameter pore approximately of 0.37-0.95 μm. CA powder that has been
produced had a water content of 21.39% and an acetyl degree of 40.38% (equal with

substitution degree of 2.51)

PENDAHULUAN
Ketela pohon (Manihot esculenta)
merupakan tanaman pangan berupa perdu
yang berasal dari Benua Amerika serta
memiliki nama lain ubi kayu atau singkong.
Di Indonesia, singkong merupakan sumber
karbohidrat yang penting setelah beras dengan
kandungan karbohidrat sebesar 34.7%
(Soetanto 2001). Singkong dapat tumbuh
sekalipun di tanah yang kurang subur, asalkan
beriklim tropis. Indonesia saat ini merupakan
negara penghasil singkong terbesar ketiga di
dunia setelah Brazil dan Thailand sehingga
banyak masyarakat Indonesia beralih dari
bertanam padi menjadi bertanam singkong
(Sumiyati 2009). Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS 2011), jumlah produksi
singkong di Indonesia pada tahun 2009 adalah

22,039,145
ton dan pada tahun 2010
meningkat menjadi sebesar 23,908,459 ton
(angka sementara).
Singkong dapat dikonsumsi langsung
sebagai bahan makanan atau digunakan
sebagai bahan baku industri pangan, salah
satunya adalah industri tapioka. Proses
pembuatan tapioka pada industri akan
menghasilkan limbah padat (onggok) dan
limbah cair. Limbah cair tapioka dapat
dihasilkan dari tahap pencucian bahan baku
(singkong) serta proses pengendapan untuk
memisahkan pati dari airnya. Teknologi yang
ada saat ini belum mampu memisahkan
seluruh pati yang terlarut dalam air sehingga
limbah cair yang dilepaskan ke lingkungan
masih mengandung pati. Limbah cair akan
mengalami dekomposisi secara alami di
badan-badan perairan dan menimbulkan bau

yang tidak sedap. Bau tersebut dihasilkan
pada proses penguraian senyawa yang
mengandung nitrogen, sulfur, dan fosforus
dari bahan berprotein (Zaitun 1999 dan
Hanifah et al. 1999). Alternatif lain yang
dapat dilakukan untuk mengolah limbah cair
ini menjadi produk yang dapat dimanfaatkan
lebih lanjut adalah mengolahnya menjadi nata
yang disebut nata de cassava.
Pembentukan nata membutuhkan unsur C
yang berasal dari glukosa serta unsur N dan O
yang berasal dari penambahan amonium
sulfat. Unsur-unsur ini digunakan sebagai
nutrisi dan sumber karbon bagi bakteri
Acetobacter xylinum agar dapat membentuk
nata. Limbah cair tapioka mengandung
glukosa sebagai unsur karbon sehingga dapat
digunakan sebagai medium yang baik untuk
merangsang pertumbuhan bakteri tersebut saat
membentuk nata. Oleh karena itu, limbah cair


tapioka berpotensi menghasilkan nata. Nata
tersebut berupa selulosa yang dihasilkan oleh
bakteri sehingga dapat disebut sebagai
selulosa bakteri (BC). Selain itu, nata dapat
dicirikan sebagai gabungan dari serat-serat
karbon yang menjadi suatu bentuk yang
kokoh dan berpori sehingga nata berpotensi
untuk dimanfaatkan sebagai membran
selulosa. Akan tetapi, membran selulosa
tersebut tidak memiliki nilai komersial yang
tinggi. Oleh karena itu, pengolahan lebih
lanjut diperlukan untuk mengubahnya menjadi
membran selulosa asetat (CA) yang memiliki
nilai jual lebih tinggi.
Membran
merupakan
lapisan
semipermeabel yang tipis dan dapat
digunakan untuk memisahkan 2 komponen

dengan cara menahan dan melewatkan
komponen tertentu melalui pori-pori (Osada
dan Nakagawa 1992). Beberapa keuntungan
dalam penggunaan teknologi membran pada
proses pemisahan antara lain prosesnya sangat
sederhana, konsumsi energi rendah, tidak
merusak material, tidak menggunakan zat
kimia tambahan, dan tidak menghasilkan
limbah baru sehingga tergolong sebagai
teknologi bersih (Lindu et al. 2008).
Penelitian
ini
bertujuan
membuat
membran CA berbahan dasar limbah cair
tapioka, serta mengidentifikasinya dengan
spektroskopi inframerah transformasi fourier
(FTIR) dan Mikroskop Elektron Payaran
(SEM). Analisis ini dilakukan untuk
mencirikan gugus fungsi dan jenis membran

CA yang dihasilkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Cair Tapioka
Salah satu pemanfaatan singkong selain
sebagai bahan pangan kaya karbohidrat adalah
sebagai bahan baku industri tapioka. Proses
pembuatan tapioka di industri besar maupun
industri kecil secara umum meliputi tahap
pengupasan kulit, pencucian, pemarutan,
pengekstrakan, pengendapan pati, dan
pengeringan.
Limbah cair industri tapioka yang masih
baru berwarna putih kekuningan, sedangkan
limbah yang sudah busuk berwarna abu-abu
gelap. Kekeruhan yang terjadi pada limbah
disebabkan oleh adanya bahan organik, seperti
pati yang terlarut, mikroorganisme, dan koloid
lainnya yang tidak dapat mengendap dengan
cepat. Limbah cair tapioka dari hasil

pengendapan memiliki nilai BOD sebesar
1450.8–3030.3 mg L-1 dengan rata-rata

PENDAHULUAN
Ketela pohon (Manihot esculenta)
merupakan tanaman pangan berupa perdu
yang berasal dari Benua Amerika serta
memiliki nama lain ubi kayu atau singkong.
Di Indonesia, singkong merupakan sumber
karbohidrat yang penting setelah beras dengan
kandungan karbohidrat sebesar 34.7%
(Soetanto 2001). Singkong dapat tumbuh
sekalipun di tanah yang kurang subur, asalkan
beriklim tropis. Indonesia saat ini merupakan
negara penghasil singkong terbesar ketiga di
dunia setelah Brazil dan Thailand sehingga
banyak masyarakat Indonesia beralih dari
bertanam padi menjadi bertanam singkong
(Sumiyati 2009). Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS 2011), jumlah produksi

singkong di Indonesia pada tahun 2009 adalah
22,039,145
ton dan pada tahun 2010
meningkat menjadi sebesar 23,908,459 ton
(angka sementara).
Singkong dapat dikonsumsi langsung
sebagai bahan makanan atau digunakan
sebagai bahan baku industri pangan, salah
satunya adalah industri tapioka. Proses
pembuatan tapioka pada industri akan
menghasilkan limbah padat (onggok) dan
limbah cair. Limbah cair tapioka dapat
dihasilkan dari tahap pencucian bahan baku
(singkong) serta proses pengendapan untuk
memisahkan pati dari airnya. Teknologi yang
ada saat ini belum mampu memisahkan
seluruh pati yang terlarut dalam air sehingga
limbah cair yang dilepaskan ke lingkungan
masih mengandung pati. Limbah cair akan
mengalami dekomposisi secara alami di

badan-badan perairan dan menimbulkan bau
yang tidak sedap. Bau tersebut dihasilkan
pada proses penguraian senyawa yang
mengandung nitrogen, sulfur, dan fosforus
dari bahan berprotein (Zaitun 1999 dan
Hanifah et al. 1999). Alternatif lain yang
dapat dilakukan untuk mengolah limbah cair
ini menjadi produk yang dapat dimanfaatkan
lebih lanjut adalah mengolahnya menjadi nata
yang disebut nata de cassava.
Pembentukan nata membutuhkan unsur C
yang berasal dari glukosa serta unsur N dan O
yang berasal dari penambahan amonium
sulfat. Unsur-unsur ini digunakan sebagai
nutrisi dan sumber karbon bagi bakteri
Acetobacter xylinum agar dapat membentuk
nata. Limbah cair tapioka mengandung
glukosa sebagai unsur karbon sehingga dapat
digunakan sebagai medium yang baik untuk
merangsang pertumbuhan bakteri tersebut saat

membentuk nata. Oleh karena itu, limbah cair

tapioka berpotensi menghasilkan nata. Nata
tersebut berupa selulosa yang dihasilkan oleh
bakteri sehingga dapat disebut sebagai
selulosa bakteri (BC). Selain itu, nata dapat
dicirikan sebagai gabungan dari serat-serat
karbon yang menjadi suatu bentuk yang
kokoh dan berpori sehingga nata berpotensi
untuk dimanfaatkan sebagai membran
selulosa. Akan tetapi, membran selulosa
tersebut tidak memiliki nilai komersial yang
tinggi. Oleh karena itu, pengolahan lebih
lanjut diperlukan untuk mengubahnya menjadi
membran selulosa asetat (CA) yang memiliki
nilai jual lebih tinggi.
Membran
merupakan
lapisan
semipermeabel yang tipis dan dapat
digunakan untuk memisahkan 2 komponen
dengan cara menahan dan melewatkan
komponen tertentu melalui pori-pori (Osada
dan Nakagawa 1992). Beberapa keuntungan
dalam penggunaan teknologi membran pada
proses pemisahan antara lain prosesnya sangat
sederhana, konsumsi energi rendah, tidak
merusak material, tidak menggunakan zat
kimia tambahan, dan tidak menghasilkan
limbah baru sehingga tergolong sebagai
teknologi bersih (Lindu et al. 2008).
Penelitian
ini
bertujuan
membuat
membran CA berbahan dasar limbah cair
tapioka, serta mengidentifikasinya dengan
spektroskopi inframerah transformasi fourier
(FTIR) dan Mikroskop Elektron Payaran
(SEM). Analisis ini dilakukan untuk
mencirikan gugus fungsi dan jenis membran
CA yang dihasilkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Cair Tapioka
Salah satu pemanfaatan singkong selain
sebagai bahan pangan kaya karbohidrat adalah
sebagai bahan baku industri tapioka. Proses
pembuatan tapioka di industri besar maupun
industri kecil secara umum meliputi tahap
pengupasan kulit, pencucian, pemarutan,
pengekstrakan, pengendapan pati, dan
pengeringan.
Limbah cair industri tapioka yang masih
baru berwarna putih kekuningan, sedangkan
limbah yang sudah busuk berwarna abu-abu
gelap. Kekeruhan yang terjadi pada limbah
disebabkan oleh adanya bahan organik, seperti
pati yang terlarut, mikroorganisme, dan koloid
lainnya yang tidak dapat mengendap dengan
cepat. Limbah cair tapioka dari hasil
pengendapan memiliki nilai BOD sebesar
1450.8–3030.3 mg L-1 dengan rata-rata

2

2313.54 mg L-1, COD sebesar 3200 mg L-1,
padatan terlarut 638–2836 mg L-1, serta
kandungan sianida (CN) sebesar 19.58–33.75
mg L-1 (Vegantara 2009). Oleh karena itu,
apabila limbah ini dibuang ke lingkungan
akan menyebabkan pencemaran lingkungan,
seperti bau yang tidak sedap dan beberapa
sumur warga yang tidak layak untuk
dikonsumsi.
Selulosa Bakteri (BC)
Selulosa (Gambar 1) ialah polimer tak
bercabang dari sejumlah glukosa yang
tergabung melalui ikatan 1,4-β-glikosida.
Pemeriksaan selulosa dengan sinar-X
menunjukkan bahwa selulosa merupakan
rantai linear dari selobiosa, yang oksigen
cincinnya berselang-seling dengan posisi “ke
depan” dan “ke belakang” (Hart et al. 2003).

Pembentukan BC terjadi karena proses
pengambilan glukosa dari media yang
mengandung gula oleh sel-sel A. xylinum.
Glukosa tersebut kemudian digabungkan
dengan asam lemak membentuk bahan
pendahulu nata (prekursor) pada membran sel.
Prekursor ini selanjutnya disekresi dan
bersama enzim mempolimerisasikan glukosa
menjadi selulosa di luar sel (Susanto et al.
2000). Menurut Nurfiningsih (2009), selulosa
ini akan membentuk jaringan mikrofibril yang
panjang dalam cairan fermentasi. Gelembung
CO2 yang dihasilkan selama fermentasi
cenderung melekat pada jaringan ini sehingga
menyebabkan jaringan ini terangkat ke
permukaan cairan.
Pertumbuhan A. xylinum dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain pH, suhu, sumber
nitrogen, dan sumber karbon (Lapuz et al.
1967). Faktor lain yang berpengaruh terhadap
hasil nata adalah wadah fermentasi atau
jumlah larutan induk. Jumlah larutan induk
yang relatif besar dapat meningkatkan
rendemen nata karena akan semakin banyak
pula jumlah bakteri A. xylinum yang ada
(Nurfiningsih 2009).

Gambar 1 Struktur selulosa.
Selulosa Asetat (CA)
A. xylinum (Gambar 2) merupakan bakteri
Gram negatif, aerob, berbentuk batang dengan
panjang 2 mikron, tidak membentuk spora dan
nonmotil, serta umumnya berupa sel tunggal
atau membentuk rantai dengan sel yang lain.
Bakteri A. xylinum tergolong famili
Pseudomonadaceae dan termasuk genus
Acetobacter. Sifat khas bakteri ini adalah
kemampuannya untuk membentuk selaput
tebal nata pada permukaan cairan fermentasi
yang mengandung selulosa (Nurfiningsih
2009). Selain media yang mengandung gula,
bakteri ini juga menyukai lingkungan yang
asam dan membutuhkan sumber nitrogen
untuk aktivitasnya. A. xylinum bersifat peka
terhadap perubahan fisik dan kimia
lingkungannya yang akan berpengaruh
terhadap nata yang dihasilkan.

Selulosa asetat (CA) secara umum terdiri
atas 2 jenis, yaitu selulosa triasetat (CA
primer) dan selulosa diasetat (CA sekunder).
CA primer dibuat melalui reaksi esterifikasi
(asetilasi) selulosa sedangkan CA sekunder
dibuat dengan cara menghidrolisis CA primer
(Desiyarni 2006).
Selulosa triasetat diperoleh dari reaksi
selulosa dengan anhidrida asetat dan katalis
H2SO4. Gugus hidroksil (-OH) pada selulosa
digantikan dengan gugus asetil pada anhidrida
asetat (Gambar 3).

+

H2SO4

Gambar 2 Acetobacter xylinum.

Gambar 3

Reaksi antara gugus hidroksil
selulosa dan anhidrida asetat.

3

Asetilasi merupakan tahap terpenting
dalam pembuatan CA karena berhubungan
dengan kemampuannya larut dalam pelarut
organik tertentu pada proses pembuatan
membran. Kelarutan CA dalam pelarut
organik dipengaruhi oleh kadar asetil yang
dihasilkan (Desiyarni 2006). Pengaturan kadar
asetil tersebut dilakukan melalui reaksi
hidrolisis menggunakan asam asetat encer
hingga diperoleh derajat substitusi yang
sesuai. Hubungan antara kadar asetil dan
derajat substitusi ditunjukkan pada Tabel 1,
sedangkan hubungan antara kadar asetil dan
pelarut yang sesuai ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 1 Hubungan derajat substitusi dengan
kadar asetil
Derajat substitusi

Kadar asetil (%bobot)

0.6–0.9
1.2–1.8
2.2–2.7
2.8–3.0

13.0–18.6
22.2–32.2
36.5–42.2
43.0–44.8

Sumber: Fengel dan Wegener (1985).

Tabel 2 Kelarutan selulosa asetat
Kadar asetil
Pelarut
(%)
43.0–44.8
Diklorometana
37.0–42.0
Aseton
24.0–32.0
2-Metoksietanol
15.0–20.0
Air
500000 g/mol atau partikel
berukuran 0.1–10 µm, menggunakan tekanan
0.5–2 atm, serta memiliki struktur simetrik
dan
asimetrik.
Membran
ultrafiltrasi
digunakan
pada
proses
pemisahan
antarmolekul,
berfungsi
menyaring
makromolekul dengan bobot molekul >5000
g/mol atau partikel berukuran 0.001–0.1 µm,
menggunakan tekanan 1.0–3.0 atm, dan
memiliki struktur asimetrik. Membran
osmosis balik berfungsi menyaring molekul
berbobot molekul rendah, yaitu >50 g/mol
seperti garam, atau partikel berukuran 0.0001–
0.001 µm, serta menggunakan tekanan 8.0–
12.0 atm. Membran dialisis berfungsi
memisahkan larutan koloid yang mengandung
elektrolit dengan bobot molekul rendah.
Membran elektrodialisis berperan pada proses
elektrodialisis, yaitu proses separasi membran
yang didorong oleh medan listrik (McGregor
1986).

wadah fermentasi, blender, neraca analitik,
sentrifus, botol bertutup ganda, mortar, corong
Büchner dan pompa vakum, pelat kaca,
pengaduk magnet, hot plate, pH meter, FTIR
Perkin Elmer Spectrumone, SEM JEOL JSM8360LA, serta alat-alat kaca.
Pembuatan BC (Nata de Cassava)
Limbah cair tapioka yang telah disaring
diambil sebanyak 1 L kemudian ditambahkan
gula pasir sebanyak 10% (b/v) dan amonium
sulfat sebanyak 0.5% (b/v), campuran
dipanaskan hingga mendidih sambil diaduk,
lalu yang telah mendidih dituang ke wadah
fermentasi yang telah disiapkan dan diatur
pHnya menjadi 4–4.5 dengan penambahan
asam asetat glasial. Wadah lalu ditutup
dengan kertas steril dan diikat dengan karet.
Keesokan harinya, sebanyak 20% (v/v)
inokulum dimasukkan ke dalam media dan
diinkubasi selama 6 hari pada suhu kamar
hingga terbentuk nata (Arviyanti dan
Yulimartani 2009).
Penyiapan Serbuk Kering BC

Pencirian Membran
Membran yang telah dibentuk perlu
dicirikan antara lain sifat morfologinya
dengan menggunakan SEM dan gugus
fungsinya dengan menggunakan FTIR. SEM
merupakan
sejenis
mikroskop
yang
menggunakan sinar elektron berenergi tinggi
dengan faktor pembesaran hingga 10000 kali
sehingga dapat melihat objek pada skala yang
sangat kecil. Batas resolusi mikroskop
elektron adalah 0.01 µm (10 nm) dan 0.005
µm (5nm) (Andriansyah 2006). Sementara itu,
pencirian membran dengan FTIR, gugus
fungsi yang ada diidentifikasi berdasarkan
puncak serapan inframerahnya. Masingmasing gugus fungsi memiliki puncak serapan
yang khas.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan–bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah starter (bakteri A.
xylinum) dari Balai Besar Industri Agro,
limbah cair tapioka dari industri tapioka di
Kedung Halang Bogor, asam asetat glasial,
amonium sulfat, anhidrida asetat, gula pasir,
aseton, H2SO4, NaHCO3, dan air suling.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain panci, loyang plastik sebagai

Lembaran nata de cassava dicuci dengan
air kemudian direbus hingga mendidih untuk
menghilangkan
bakteri
yang
tersisa.
Selanjutnya, lembaran nata direndam dalam
larutan NaOH 1% (b/v) pada suhu kamar
selama 24 jam, dilanjutkan dalam asam asetat
1% selama 24 jam untuk menetralkan pH-nya.
Lembaran nata yang telah dinetralkan
kemudian dicuci dengan air dan diperas
menggunakan corong Büchner dan pompa
vakum hingga terbentuk lembaran tipis yang
masih basah. Lembaran tipis tersebut
dikeringkan di bawah sinar matahari lalu
dihancurkan dengan blender hingga berupa
serbuk.
Sintesis Selulosa Asetat
Asetilasi serbuk BC dilakukan dengan
modifikasi prosedur Arifin (2004) dan Pasla
(2006). Sebanyak 1.8 g serbuk BC ditimbang
di dalam botol plastik bertutup ganda
kemudian ditambahkan 100 mL asam asetat.
Botol dikocok kuat dengan tangan selama 1
menit, kemudian dikocok kembali dengan
shaker selama 20 menit. Setelah itu, serbuk
disaring-vakum dengan corong Buchner dan
diperas sekuat-kuatnya. Penyaringan yang
sama diulangi sekali lagi. Selanjutnya, serbuk
direndam dalam 50 mL asam asetat pada botol
bertutup ganda. Setelah 3 jam, serbuk kembali

4

dialisis, dan elektrodialisis. Membran
mikrofiltrasi digunakan untuk pemisahan
antarpartikel (bakteri, ragi, dan sejenisnya),
berfungsi menyaring makromolekul dengan
bobot molekul >500000 g/mol atau partikel
berukuran 0.1–10 µm, menggunakan tekanan
0.5–2 atm, serta memiliki struktur simetrik
dan
asimetrik.
Membran
ultrafiltrasi
digunakan
pada
proses
pemisahan
antarmolekul,
berfungsi
menyaring
makromolekul dengan bobot molekul >5000
g/mol atau partikel berukuran 0.001–0.1 µm,
menggunakan tekanan 1.0–3.0 atm, dan
memiliki struktur asimetrik. Membran
osmosis balik berfungsi menyaring molekul
berbobot molekul rendah, yaitu >50 g/mol
seperti garam, atau partikel berukuran 0.0001–
0.001 µm, serta menggunakan tekanan 8.0–
12.0 atm. Membran dialisis berfungsi
memisahkan larutan koloid yang mengandung
elektrolit dengan bobot molekul rendah.
Membran elektrodialisis berperan pada proses
elektrodialisis, yaitu proses separasi membran
yang didorong oleh medan listrik (McGregor
1986).

wadah fermentasi, blender, neraca analitik,
sentrifus, botol bertutup ganda, mortar, corong
Büchner dan pompa vakum, pelat kaca,
pengaduk magnet, hot plate, pH meter, FTIR
Perkin Elmer Spectrumone, SEM JEOL JSM8360LA, serta alat-alat kaca.
Pembuatan BC (Nata de Cassava)
Limbah cair tapioka yang telah disaring
diambil sebanyak 1 L kemudian ditambahkan
gula pasir sebanyak 10% (b/v) dan amonium
sulfat sebanyak 0.5% (b/v), campuran
dipanaskan hingga mendidih sambil diaduk,
lalu yang telah mendidih dituang ke wadah
fermentasi yang telah disiapkan dan diatur
pHnya menjadi 4–4.5 dengan penambahan
asam asetat glasial. Wadah lalu ditutup
dengan kertas steril dan diikat dengan karet.
Keesokan harinya, sebanyak 20% (v/v)
inokulum dimasukkan ke dalam media dan
diinkubasi selama 6 hari pada suhu kamar
hingga terbentuk nata (Arviyanti dan
Yulimartani 2009).
Penyiapan Serbuk Kering BC

Pencirian Membran
Membran yang telah dibentuk perlu
dicirikan antara lain sifat morfologinya
dengan menggunakan SEM dan gugus
fungsinya dengan menggunakan FTIR. SEM
merupakan
sejenis
mikroskop
yang
menggunakan sinar elektron berenergi tinggi
dengan faktor pembesaran hingga 10000 kali
sehingga dapat melihat objek pada skala yang
sangat kecil. Batas resolusi mikroskop
elektron adalah 0.01 µm (10 nm) dan 0.005
µm (5nm) (Andriansyah 2006). Sementara itu,
pencirian membran dengan FTIR, gugus
fungsi yang ada diidentifikasi berdasarkan
puncak serapan inframerahnya. Masingmasing gugus fungsi memiliki puncak serapan
yang khas.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan–bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah starter (bakteri A.
xylinum) dari Balai Besar Industri Agro,
limbah cair tapioka dari industri tapioka di
Kedung Halang Bogor, asam asetat glasial,
amonium sulfat, anhidrida asetat, gula pasir,
aseton, H2SO4, NaHCO3, dan air suling.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain panci, loyang plastik sebagai

Lembaran nata de cassava dicuci dengan
air kemudian direbus hingga mendidih untuk
menghilangkan
bakteri
yang
tersisa.
Selanjutnya, lembaran nata direndam dalam
larutan NaOH 1% (b/v) pada suhu kamar
selama 24 jam, dilanjutkan dalam asam asetat
1% selama 24 jam untuk menetralkan pH-nya.
Lembaran nata yang telah dinetralkan
kemudian dicuci dengan air dan diperas
menggunakan corong Büchner dan pompa
vakum hingga terbentuk lembaran tipis yang
masih basah. Lembaran tipis tersebut
dikeringkan di bawah sinar matahari lalu
dihancurkan dengan blender hingga berupa
serbuk.
Sintesis Selulosa Asetat
Asetilasi serbuk BC dilakukan dengan
modifikasi prosedur Arifin (2004) dan Pasla
(2006). Sebanyak 1.8 g serbuk BC ditimbang
di dalam botol plastik bertutup ganda
kemudian ditambahkan 100 mL asam asetat.
Botol dikocok kuat dengan tangan selama 1
menit, kemudian dikocok kembali dengan
shaker selama 20 menit. Setelah itu, serbuk
disaring-vakum dengan corong Buchner dan
diperas sekuat-kuatnya. Penyaringan yang
sama diulangi sekali lagi. Selanjutnya, serbuk
direndam dalam 50 mL asam asetat pada botol
bertutup ganda. Setelah 3 jam, serbuk kembali

5

disaring-vakum dan diperas sekuat-kuatnya
kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang
baru.
Serbuk BC kemudian ditambahkan dengan
larutan asam asetat glasial-H2SO4 dengan
nisbah 100:1 (10:0.1 mL) dan diaduk kuat.
Setelah itu, anhidrida asetat dengan nisbah 1:5
ditambahkan dengan pipet tetes sedikit demi
sedikit sambil diaduk dengan batang
pengaduk hingga mengental dan didiamkan
selama 2 jam terhitung sejak penambahan
anhidrida asetat tetesan pertama. Setelah
proses asetilasi selesai, suspensi dihidrolisis
dengan 2.4 mL larutan asam asetat glasial-air
suling (2:1) dan diaduk pada beberapa menit
pertama. Larutan kemudian didiamkan selama
30 menit terhitung sejak penambahan asam
asetat encer. Selanjutnya, larutan hasil
hidrolisis disentrifugasi selama 15 menit pada
kecepatan 4000 rpm. Supernatan yang
dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam
gelas piala yang berisi 500 mL air suling dan
diaduk sekuat mungkin dengan pengaduk
magnet hingga terbentuk serpihan (CA)
berwarna putih.
Serpihan CA yang diperoleh disaringvakum dengan corong Büchner dan dicuci
dengan NaHCO3 1N hingga gelembung gas
CO2 menghilang, lalu dicuci kembali dengan
air suling. Serpihan netral ini diperas lalu
dikeringkan dalam oven dengan suhu 50 ºC
selama 24 jam hingga CA yang diperoleh
benar-benar kering. Produk CA yang
dihasilkan selanjutnya dianalisis kadar air dan
kadar asetilnya (Lampiran 2).
Diagram alir penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Pembuatan Membran
Pembuatan membran dilakukan dengan
modifikasi prosedur Pasla (2006). Tahap
pertama, CA kering dilarutkan ke dalam
pelarut aseton (sesuai dengan derajat asetilasi
yang dihasilkan) menggunakan pengaduk
magnet. Nisbah polimer dan pelarut yang
digunakan sebanyak 16% (b/v). Larutan
tersebut kemudian dituang ke atas pelat kaca.
Selanjutnya, larutan dicetak dengan cara
menekan lalu menarik larutan menggunakan
batang pengaduk hingga diperoleh lapisan
tipis yang menempel pada kaca dan dibiarkan
selama 15 menit untuk menguapkan pelarut.
Penampang kaca tersebut kemudian direndam
di dalam air hingga lapisan tipis membran
yang menempel pada kaca terlepas.

Pencirian Membran
Analisis FTIR
Analisis FTIR dilakukan terhadap serbuk
selulosa dan membran selulosa asetat.
Masing-masing sampel dipreparasi hingga
berbentuk pelet lalu ditempatkan di dalam
tempat sampel. Sampel kemudian dianalisis
gugus fungsinya dengan alat FTIR di
Laboratorium Terpadu, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Analisis SEM
Analisis dilakukan di laboratorium
Penelitian dan Pengembangan Geologi dan
Kelautan. Membran CA dipotong kecil lalu
ditempelkan pada tempat sampel. Kemudian,
sampel ditempatkan dalam sebuah tabung
untuk dilapisi permukaannya oleh emas
selama 20 menit. Selanjutnya, sampel yang
telah dilapisi ditempatkan dalam alat SEM
dan dicari perbesaran terbaik agar morfologi
permukaannya dapat diamati. Gambar yang
diperoleh kemudian difoto dan disimpan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Nata de cassava
Penambahan gula pasir sebagai sumber
karbon sebanyak 10%, amonium sulfat
sebagai sumber nitrogen 0.5%, A. xylinum
sebagai starter sebanyak 20%, serta
pengaturan pH menjadi 4 dengan penambahan
asam asetat glasial merupakan kondisi
optimum yang dibutuhkan untuk membuat
nata de cassava dari 1 L limbah cair tapioka
(Avriyani
dan
Yulimartani
2009).
Penambahan gula kurang dari 10% tidak
menyediakan sumber karbon yang cukup
sehingga mengganggu metabolisme bakteri
dan pertumbuhan bakteri pun akan terhambat,
sedangkan penambahan gula lebih dari 10%
akan menyebabkan media terlalu pekat
sehingga kerja bakteri menjadi tidak optimum.
Pengaturan pH menjadi 4 bertujuan membuat
A. xylinum lebih unggul dibandingkan dengan
bakteri lain dalam hal mendapatkan nutrien
dari media untuk pertumbuhannya sehingga
mencegah tumbuhnya bakteri lain yang dapat
menganggu pertumbuhan nata.
Nata de cassava (BC) yang diperoleh pada
penelitian ini berwarna putih dengan
ketebalan sekitar 1 cm (Gambar 4). Sebelum
diasetilasi, BC direndam dalam NaOH 1%
agar struktur selulosa membengkak sehingga
serat-seratnya dapat terbuka dan mengurangi
ikatan intramolekul hidrogen. Perendaman

5

disaring-vakum dan diperas sekuat-kuatnya
kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang
baru.
Serbuk BC kemudian ditambahkan dengan
larutan asam asetat glasial-H2SO4 dengan
nisbah 100:1 (10:0.1 mL) dan diaduk kuat.
Setelah itu, anhidrida asetat dengan nisbah 1:5
ditambahkan dengan pipet tetes sedikit demi
sedikit sambil diaduk dengan batang
pengaduk hingga mengental dan didiamkan
selama 2 jam terhitung sejak penambahan
anhidrida asetat tetesan pertama. Setelah
proses asetilasi selesai, suspensi dihidrolisis
dengan 2.4 mL larutan asam asetat glasial-air
suling (2:1) dan diaduk pada beberapa menit
pertama. Larutan kemudian didiamkan selama
30 menit terhitung sejak penambahan asam
asetat encer. Selanjutnya, larutan hasil
hidrolisis disentrifugasi selama 15 menit pada
kecepatan 4000 rpm. Supernatan yang
dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam
gelas piala yang berisi 500 mL air suling dan
diaduk sekuat mungkin dengan pengaduk
magnet hingga terbentuk serpihan (CA)
berwarna putih.
Serpihan CA yang diperoleh disaringvakum dengan corong Büchner dan dicuci
dengan NaHCO3 1N hingga gelembung gas
CO2 menghilang, lalu dicuci kembali dengan
air suling. Serpihan netral ini diperas lalu
dikeringkan dalam oven dengan suhu 50 ºC
selama 24 jam hingga CA yang diperoleh
benar-benar kering. Produk CA yang
dihasilkan selanjutnya dianalisis kadar air dan
kadar asetilnya (Lampiran 2).
Diagram alir penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Pembuatan Membran
Pembuatan membran dilakukan dengan
modifikasi prosedur Pasla (2006). Tahap
pertama, CA kering dilarutkan ke dalam
pelarut aseton (sesuai dengan derajat asetilasi
yang dihasilkan) menggunakan pengaduk
magnet. Nisbah polimer dan pelarut yang
digunakan sebanyak 16% (b/v). Larutan
tersebut kemudian dituang ke atas pelat kaca.
Selanjutnya, larutan dicetak dengan cara
menekan lalu menarik larutan menggunakan
batang pengaduk hingga diperoleh lapisan
tipis yang menempel pada kaca dan dibiarkan
selama 15 menit untuk menguapkan pelarut.
Penampang kaca tersebut kemudian direndam
di dalam air hingga lapisan tipis membran
yang menempel pada kaca terlepas.

Pencirian Membran
Analisis FTIR
Analisis FTIR dilakukan terhadap serbuk
selulosa dan membran selulosa asetat.
Masing-masing sampel dipreparasi hingga
berbentuk pelet lalu ditempatkan di dalam
tempat sampel. Sampel kemudian dianalisis
gugus fungsinya dengan alat FTIR di
Laboratorium Terpadu, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Analisis SEM
Analisis dilakukan di laboratorium
Penelitian dan Pengembangan Geologi dan
Kelautan. Membran CA dipotong kecil lalu
ditempelkan pada tempat sampel. Kemudian,
sampel ditempatkan dalam sebuah tabung
untuk dilapisi permukaannya oleh emas
selama 20 menit. Selanjutnya, sampel yang
telah dilapisi ditempatkan dalam alat SEM
dan dicari perbesaran terbaik agar morfologi
permukaannya dapat diamati. Gambar yang
diperoleh kemudian difoto dan disimpan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Nata de cassava
Penambahan gula pasir sebagai sumber
karbon sebanyak 10%, amonium sulfat
sebagai sumber nitrogen 0.5%, A. xylinum
sebagai starter sebanyak 20%, serta
pengaturan pH menjadi 4 dengan penambahan
asam asetat glasial merupakan kondisi
optimum yang dibutuhkan untuk membuat
nata de cassava dari 1 L limbah cair tapioka
(Avriyani
dan
Yulimartani
2009).
Penambahan gula kurang dari 10% tidak
menyediakan sumber karbon yang cukup
sehingga mengganggu metabolisme bakteri
dan pertumbuhan bakteri pun akan terhambat,
sedangkan penambahan gula lebih dari 10%
akan menyebabkan media terlalu pekat
sehingga kerja bakteri menjadi tidak optimum.
Pengaturan pH menjadi 4 bertujuan membuat
A. xylinum lebih unggul dibandingkan dengan
bakteri lain dalam hal mendapatkan nutrien
dari media untuk pertumbuhannya sehingga
mencegah tumbuhnya bakteri lain yang dapat
menganggu pertumbuhan nata.
Nata de cassava (BC) yang diperoleh pada
penelitian ini berwarna putih dengan
ketebalan sekitar 1 cm (Gambar 4). Sebelum
diasetilasi, BC direndam dalam NaOH 1%
agar struktur selulosa membengkak sehingga
serat-seratnya dapat terbuka dan mengurangi
ikatan intramolekul hidrogen. Perendaman

6

dalam CH3COOH 1% dimaksudkan untuk
menetralkan sifat basa dari struktur BC yang
telah dimurnikan. Struktur selulosa yang
membengkak
dapat
meningkatkan
aksesibilitas gugus –OH pada selulosa
terhadap pereaksi asetilasi.
BC kemudian dikeringkan, lalu dihaluskan
sehingga
diperoleh
serbuk
berwarna
kecokelatan. Serbuk BC yang dihasilkan
memiliki struktur yang rapat karena adanya
ikatan hidrogen antarmolekul selulosa (Arifin
2004).

Tahap yang ketiga adalah hidrolisis, yaitu
proses
penghentian
asetilasi
dengan
penambahan asam asetat encer. Hidrolisis
dengan asam asetat encer ini dapat
mengurangi kadar asetil serta mengurangi
derajat substitusi CA ke nilai yang diinginkan.
Hasil reaksi kemudian dimurnikan dengan
cara sentrifugasi untuk memisahkan BC yang
terasetilasi dan yang tidak. Bagian yang
terasetilasi
berupa
supernatan
yang
selanjutnya didispersikan ke dalam air suling
sehingga diperoleh serpihan berwarna putih
kecokelatan yang merupakan selulosa asetat
(Gambar 5).

Gambar 4 Nata de cassava.

Gambar 5 Serbuk selulosa asetat.

Selulosa Asetat (CA)

Membran Selulosa Asetat (CA)

Pembuatan selulosa asetat meliputi 4
tahap, yaitu aktivasi, asetilasi, hidrolisis, dan
purifikasi. Tahap aktivasi menggunakan asam
asetat pekat untuk menarik air yang masih
tersisa di dalam serbuk BC karena serbuk BC
bersifat higroskopis. Proses perendaman
dalam asam asetat juga meningkatkan
reaktivitas gugus selulosa karena matriks BC
yang sulit dimasuki pereaksi kimia akan
dibengkakkan sehingga dapat mempercepat
penetrasi anhidrida asetat ke dalam matriks
pada saat asetilasi.
Proses asetilasi dimaksudkan untuk
menyubstitusi gugus hidroksil BC dengan
gugus asetil sehingga terbentuk CA. Asetilasi
adalah reaksi yang eksoterm, maka suhu harus
dijaga tetap rendah agar tidak terjadi
degradasi rantai selulosa dan untuk
menghindari penguapan (Winding dan Hasche
1947). Hal ini dapat menurunkan rendemen
yang dihasilkan, atau produk CA dapat tidak
terbentuk sama sekali. Penambahan anhidrida
asetat tetes demi tetes yang diikuti
pengadukan selama proses asetilasi dapat
menjaga suhu larutan tetap rendah dan
menghindari hal tersebut karena penambahan
anhidrida asetat dalam jumlah yang signifikan
dapat menyebabkan suhu sistem meningkat
dengan cepat.

Serbuk CA yang dihasilkan mempunyai
kadar asetil sebesar 40.38%. CA dengan kadar
asetil 37 hingga 42% dapat larut di dalam
pelarut aseton (Tabel 2). Oleh karena itu,
serbuk CA yang dihasilkan pada penelitian ini
dilarutkan dalam aseton untuk membuat
membran CA. Pembuatan membran CA
dilakukan dengan metode inversi fase.
Larutan polimer dicetak di atas pelat kaca
yang sisi-sisinya sudah dilapisi dengan
selotip. Larutan CA yang telah dicetak
dibiarkan 15 menit untuk menguapkan aseton
hingga larutan menjadi kering dan membentuk
lembaran membran. Lembaran membran ini
kemudian direndam dalam air hingga terlepas
dari kaca. Membran yang dihasilkan berwarna
putih kecokelatan (Gambar 6).

Gambar 6 Membran selulosa asetat.

7

Kadar Air dan Kadar Asetil CA
Kadar asetil menunjukkan banyaknya
gugus –OH pada BC yang sudah terasetilasi
atau banyaknya gugus asetil yang terdapat
pada CA. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi besarnya kadar asetil adalah
metode pengeringan selulosa, konsentrasi
NaOH pada tahap merserisasi atau pemurnian
selulosa, dan nisbah antara bobot selulosa dan
volume anhidrida asetat (Pasla 2006). Faktorfaktor di atas telah dioptimisasi oleh Arifin
(2004) dan Yulianawati (2002).
Selulosa
bakteri
yang
diperoleh
diusahakan mengandung kadar air yang
rendah karena kadar air dapat memengaruhi
jalannya reaksi asetilasi. Gugus –OH pada air
lebih mudah bereaksi dengan anhidrida asam
asetat dibandingkan dengan gugus –OH pada
selulosa. Oleh karena itu, aksesibilitas yang
tinggi pada gugus –OH selulosa diperlukan
untuk mempermudah terjadinya reaksi
asetilasi oleh pereaksi anhidrida asam asetat.
Semakin tinggi aksesibilitas –OH pada
selulosa, kadar asetil pun akan semakin tinggi.
Kadar asetil CA yang diperoleh pada
penelitian ini sebesar 40.38%. Nilai kadar
asetil ini setara dengan derajat substitusi 2.51.
Derajat substitusi (DS) adalah jumlah
rerata atom H pada gugus hidroksil (-OH)
yang diubah menjadi gugus asetil dalam setiap
residu anhidroglukosa. DS ini berhubungan
dengan aplikasi CA dalam industri. Menurut
Fengel dan Wegener (1984), CA dengan DS
2.2 sampai 2.7 dapat diaplikasikan sebagai
benang dan film. Perhitungan penentuan kadar
asetil dapat dilihat di Lampiran 3.
CA dengan kadar asetil sebesar 40.38%
dapat larut dalam aseton (Kirk dan Othmer
1993). Oleh karena itu, pelarut yang
digunakan untuk membuat membran CA pada
penelitian ini adalah aseton. Menurut Wenten
(1999), semakin tinggi kadar asetil, ukuran
pori-pori membran akan semakin kecil dan
permeabilitas air akan semakin berkurang.
Berdasarkan pernyataan tersebut, CA yang
diperoleh pada penelitian ini memiliki poripori yang cukup kecil dan permeabilitas air
yang cukup rendah dilihat dari nilai kadar
asetilnya yang cukup tinggi. Hal ini dapat
dibuktikan dengan hasil analisis SEM pada
permukaan membran CA yang menunjukan
kisaran ukuran pori membran (Gambar 8).
Kadar air CA yang diperoleh adalah
21.49% (Lampiran 3). Besarnya kadar air
tersebut dapat disebabkan oleh waktu proses
pengeringan CA yang kurang lama saat di
oven sehingga belum diperoleh bobot yang

benar-benar konstan. Selain itu, kebersihan
wadah dan tempat pengukuran pun dapat
berpengaruh karena dapat menambah bobot
yang ditimbang. Nilai kadar air ini diperlukan
untuk menghitung kadar asetil CA.
Analisis Spektrum FTIR
Analisis spektrum FTIR dilakukan pada
selulosa nata de coco, serbuk nata de cassava,
dan CA. Selulosa nata de coco ini merupakan
hasil pembiakan bakteri A. xylinum pada
media air kelapa tanpa penambahan apapun.
Pada spektrum FTIR serbuk nata de
cassava (Gambar 8) terdapat pita serapan
pada daerah bilangan gelombang 3394.46 cm1
yang merupakan pita serapan ulur dari gugus
–OH serta pada daerah bilangan gelombang
1059.15 cm-1 yang merupakan pita serapan
ulur dari gugus C-O. Selain itu, terdapat pula
pita serapan untuk gugus C-H ulur pada
daerah bilangan gelombang sekitar 2900–
3000 cm-1. Nilai serapan yang tidak jauh
berbeda juga terdapat pada spektrum FTIR
selulosa nata de coco (Gambar 7), yaitu
3367.85 cm-1 untuk gugus –OH, 1059.21 cm-1
untuk gugus C-O, serta sekitar 2900–3000 cm1
untuk gugus C-H ulur. Hal ini menunjukkan
bahwa struktur penyusun yang terdapat pada
serbuk nata de cassava sama dengan struktur
penyusun pada selulosa nata de coco. Oleh
karena itu, berdasarkan spektrumnya, serbuk
nata de cassava dapat dikatakan sebagai
selulosa walaupun masih terdapat adanya zat
lain yang kemungkinan adalah pengotor.
25.5

Laboratory Test Result

24

22

20

18
%T 16
3840.12

12

3736.53
3673.01
3650.07

10

670.11

C-H

14 3752.08

1650.78
1059.21

3367.85

O-H

C–O

8.0
4000.0

3000

2000

1500

1000

450.0

cm-1

Gambar 7 Spektrum FTIR selulosa nata de
coco.

8

16.0

Laboratory Test Result

15
14
13
12
11
%T

10

670.02

9
8
1650.74

1059.15

7
6

3394.46

5.0
4000.0

Analisis Membran CA dengan SEM

selulosa

3000

2000

1500

1000

450.0

cm-1

Gambar 8 Spektrum FTIR serbuk nata de
cassava.
Serbuk nata de cassava dibandingkan
spektrum FTIRnya dengan membran CA
untuk melihat keberhasilan proses asetilasi
yang telah dilakukan. Pada spektrum FTIR
membran CA (Gambar 9) terdapat pita
serapan yang khas untuk gugus karbonil atau
C=O, yaitu pada daerah bilangan gelombang
1754.81 cm-1. Selain itu, terdapat pita serapan
untuk gugus C-O asetil pada daerah bilangan
gelombang 1042.34 cm-1. Hal ini menandakan
sudah terbentuknya gugus asetil pada selulosa
nata de cassava setelah diasetilasi sehingga
menjadi CA. Adanya pita serapan untuk gugus
–OH pada daerah 3445.12 cm-1 menunjukkan
bahwa ada sebagian gugus hidroksil pada
setiap residu anhidroglukosa yang belum
terasetilasi. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai
DS pada CA yang tidak mencapai nilai
maksimumnya, yaitu 3.

Pencirian
dengan
SEM
bertujuan
mengamati morfologi permukaan membran,
yaitu dengan melihat keberadaan dan ukuran
pori-pori
membran
serta
penampang
lintangnya. Dari hasil pengamatan tersebut,
jenis membran yang sedang dianalisis dapat
diketahui.
Pengamatan dilakukan pada 2 bagian
membran, yaitu bagian permukaan dan
penampang lintangnya. Hasil SEM dengan
perbesaran 5000x pada permukaan membran
memperlihatkan adanya pori-pori yang
menyebar pada membran (Gambar 10).
Diameter pori-pori tersebut sekitar 0.37-0.95
µm. Hal ini menunjukkan bahwa membran
tersebut dapat menahan partikel yang
berukuran lebih besar dari 0.95 µm. Dengan
kata lain, permeat yang terbentuk terdiri atas
partikel yang berukuran ≤0.95 µm sedangkan
rentetatnya berupa partikel berukuran ≥0.95
µm. Menurut Mulder (1996), membran yang
memiliki ukuran pori 0.1-10.0 µm tergolong
sebagai membran mikrofiltrasi. Oleh karena
itu, membran CA yang dihasilkan merupakan
membran mikrofiltrasi.

Gambar 10 Permukaan membran CA dengan
perbesaran 5000 kali.

Gambar 9 Spektrum FTIR membran CA.

Berdasarkan morfologinya, pengamatan
penampang
lintang
membran
dengan
perbesaran 2500 kali (Gambar 11)
menunjukkan
bahwa
membran
yang
dihasilkan termasuk membran asimetrik
karena tersusun oleh beberapa lapisan.
Struktur membran asimetrik terdiri atas
lapisan yang sangat padat dan lapisan berpori
sebagai penyangga. Pada membran asimetrik,

9

permeasi terjadi pada lapisan padat yang
mempunyai tahanan perpindahan massa yang
besar (Lindu et a.l 2008).

yang tidak seragam pada membran CA,
penambahan suatu zat aditif dalam pembuatan
membran perlu dilakukan untuk mengatur
ukuran pori agar lebih seragam.

DAFTAR PUSTAKA
Andriansyah M. 2006. Sifat-sifat membran
yang terbuat dari sari kulit buah nanas
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
Arifin B. 2004. Optimasi kondisi asetilasi
selulosa bakteri dari nata de coco
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.

Gambar 11 Penampang lintang membran CA
dengan perbesaran 2500 kali.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Limbah cair tapioka dapat dibuat menjadi
nata de cassava. Hal ini dibuktikan dari
kesamaan spektrum selulosa dari nata de
cassava dengan nata de coco. Selulosa nata
de cassava dapat diasetilasi, kemudian CA
yang dihasilkan dibuat menjadi membran
dengan teknik inversi fase menggunakan
pelarut aseton. Terbentuknya CA ditunjukkan
dengan hasil analisis FTIR pada membran CA
yang menunjukkan adanya pita serapan C=O
pada daerah bilangan gelombang 1754.81 cm1
serta C-O asetil pada daerah 1042.34 cm-1.
CA yang diperoleh mempunyai kadar air
sebesar 21.49% dan kadar asetil sebesar
40.38% (setara dengan kisaran derajat
substitusi 2.51). Pengamatan SEM pada
membran CA memperlihatkan bahwa
membran yang dihasilkan merupakan jenis
membran mikrofiltrasi (berdasarkan fungsi)
dan asimetrik (berdasarkan morfologi).
Saran
Kadar air dan α-selulosa BC harus
ditentukan
untuk
mengetahui
tingkat
kemurnian selulosa yang terbentuk. Pengujian
lain juga perlu dilakukan untuk mengetahui
kinerja membran lebih lanjut, seperti nilai
fluks air dan indeks rejeksi. Berkaitan dengan
hasil SEM yang menunjukkan ukuran pori

Arviyanti E, Yulimartani N. 2009. Pengaruh
penambahan air limbah tapioka pada
proses
pembuatan
nata
[skripsi].
Semarang: Fakultas Teknik, Universitas
Dipenogoro.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tabel Luas
Panen-Produktivitas-Produksi Tanaman
Ubi Kayu Seluruh Propinsi [terhubung
berkala]. http://www.bps.go.id [24 Juli
2011].
Desiyarni.
2006.
Perancangan
proses
pembuatan selulosa asetat dari selulosa
mikrobial untuk membran ultrafiltrasi.
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Fengel D, Wegener G. 1984. Wood:
Chemistry, Ultrastructure, Reaction.
Berlin: Walter de Gruyter.
Gosh R. 2003. Protein Bioseparation Using
Ultrafiltration Theory, Application, and
New Development. Oxford: Imperial
College Press.
Hanifah TA, Saeni MS, Adijuwana H, Bintoro
HMH. 1999. Evaluasi kandungan logam
berat timbal dan kadmium dalam ubi
kayu (Manihot esculenta Crantz) yang
dipupuk sampah kota. Buletin Ilmiah
Gaku-ryoku 1:38-45.
Hart H, Craine LE, Hart DJ. 2003. Kimia
Organik. Achmadi SS, penerjemah;
Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga.
Terjemahan dari: Organic Chemistry.

9

permeasi terjadi pada lapisan padat yang
mempunyai tahanan perpindahan massa yang
besar (Lindu et a.l 2008).

yang tidak seragam pada membran CA,
penambahan suatu zat aditif dalam pembuatan
membran perlu dilakukan untuk mengatur
ukuran pori agar lebih seragam.

DAFTAR PUSTAKA
Andriansyah M. 2006. Sifat-sifat membran
yang terbuat dari sari kulit buah nanas
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
Arifin B. 2004. Optimasi kondisi asetilasi
selulosa bakteri dari nata de coco
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.

Gambar 11 Penampang lintang membran CA
dengan perbesaran 2500 kali.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Limbah cair tapioka dapat dibuat menjadi
nata de cassava. Hal ini dibuktikan dari
kesamaan spektrum selulosa dari nata de
cassava dengan nata de coco. Selulosa nata
de cassava dapat diasetilasi, kemudian CA
yang dihasilkan dibuat menjadi membran
dengan teknik inversi fase menggunakan
pelarut aseton. Terbentuknya CA ditunjukkan
dengan hasil analisis FTIR pada membran CA
yang menunjukkan adanya pita serapan C=O
pada daerah bilangan gelombang 1754.81 cm1
serta C-O asetil pada daerah 1042.34 cm-1.
CA yang diperoleh mempunyai kadar air
sebesar 21.49% dan kadar asetil sebesar
40.38% (setara dengan kisaran derajat
substitusi 2.51). Pengamatan SEM pada
membran CA memperlihatkan bahwa
membran yang dihasilkan merupakan jenis
membran mikrofiltrasi (berdasarkan fungsi)
dan asimetrik (berdasarkan morfologi).
Saran
Kadar air dan α-selulosa BC harus
ditentukan
untuk
mengetahui
tingkat
kemurnian selulosa yang terbentuk. Pengujian
lain juga perlu dilakukan untuk mengetahui
kinerja membran lebih lanjut, seperti nilai
fluks air dan indeks rejeksi. Berkaitan dengan
hasil SEM yang menunjukkan ukuran pori

Arviyanti E, Yulimartani N. 2009. Pengaruh
penambahan air limbah tapioka pada
proses
pembuatan
nata
[skripsi].
Semarang: Fakultas Teknik, Universitas
Dipenogoro.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tabel Luas
Panen-Produktivitas-Produksi Tanaman
Ubi Kayu Seluruh Propinsi [terhubung
berkala]. http://www.bps.go.id [24 Juli
2011].
Desiyarni.
2006.
Perancangan
proses
pembuatan selulosa asetat dari selulosa
mikrobial untuk membran ultrafiltrasi.
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Fengel D, Wegener G. 1984. Wood:
Chemistry, Ultrastructure, Reaction.
Berlin: Walter de Gruyter.
Gosh R. 2003. Protein Bioseparation Using
Ultrafiltra