Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, Dan Mekanisme Koping Terhadap Kelentingan Keluarga Pada Keluarga Dengan Tb Paru Di Kecamatan Ciomas Bogor

ABSTRACT
ERIKA HERRY. The Anxiety Level, Social Support, and Coping Mechanism of
Family Resilience in Families with Pulmonary Tuberculosis at Kecamatan Ciomas
Bogor. Under guidance DIAH KRISNATUTI.
General purpose of this research is to know factors that can affect family
resilience in families with pulmonary tuberculosis disease at Kecamatan Ciomas,
Kabupaten Bogor. The purpose of research are 1) to identify socioeconomic
characteristics of families with pulmonary tuberculosis disease, 2) identify the
health behavior of pulmonary tuberculosis disease, 3) measuring the level of
anxiety patients with pulmonary tuberculosis disease, 4) measure of social
support patients with pulmonary tuberculosis disease; 5) measure coping
mechanism in families with pulmonary tuberculosis disease; 6) measuring family
resilience with pulmonary tuberculosis disease; 7) analyze the correlations
between variables of family resilience with pulmonary tuberculosis disease; 8)
analyze the influence of variables with family resilience with pulmonary
tuberculosis disease. The population of research were family members (parents)
as patient with pulmonary tuberculosis disease at Kecamatan Ciomas Bogor,
there are: Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, and Pagelaran. The subjects in this
research are 49 samples chosen purposively. Variables studied were:
socioeconomic characteristics, health behavior, anxiety level, social support,
coping mechanism, and family resilience. Data analysis using descriptive

analysis, correlations to examine relationships between variables, and multiple
linear regression to determine the factors that influence the family resilience. The
results showed that families with pulmonary tuberculosis disease have good and
very good sanitation (73%), good health behavior (57%), anxiety level patient is
relatively low to moderate (65%), high coping health mechanism (60%), high
coping mechanism (49%), moderate social support (84%), and high family
resilience (47%). Based on correlation analysis showed a negative relationship
between family income with family resilience. Are positively correlated between
family coping health mechanism (CHIP), family coping mechanism, anxiety level,
social support with family resilience. Based on multiple linear regression analysis
obtained the factors that influence family resilience: large families (β = -0.317, p =
0.003), anxiety level (β = 0.239, p = 0.027), and family coping mechanism (β =
0.511, p = 0.000 .)
Keywords : pulmonary tuberculosis, socioeconomic characteristics, health
behavior, anxiety level, social support, coping mechanism, family resilience.

ABSTRAK
ERIKA HERRY. Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping
Tehadap Kelentingan Keluarga pada Keluarga dengan TB Paru di Kecamatan
Ciomas Bogor. Dibawah bimbingan DIAH KRISNATUTI.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB
paru di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah
1) mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan penyakit TB
paru; 2) mengidentifikasi perilaku hidup sehat penderita penyakit TB paru; 3)
mengukur tingkat kecemasan penderita penyakit TB paru; 4) mengukur
dukungan sosial penderita penyakit TB paru; 5) mengukur mekanisme koping
keluarga dengan penyakit TB paru; 6) mengukur kelentingan keluarga dengan
penyakit TB paru; 7) menganalisis hubungan variabel terhadap kelentingan
keluarga dengan penyakit TB paru; 8) menganalisis pengaruh variabel dengan
kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru. Populasi dalam penelitian ini
adalah anggota keluarga (orang tua) sebagai penderita penyakit TB paru di Desa
Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran, Kecamatan Ciomas Bogor. Contoh
dalam penelitian ini sebanyak 49 contoh yang dilakukan secara purposive
sampling. Variabel yang diteliti yaitu: karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup
sehat, tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping, dan kelentingan
keluarga. Analisis data menggunakan analisis deskriptif, korelasi untuk menguji
hubungan antar variabel, serta regresi linier berganda untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi kelentingan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa keluarga dengan penderita penyakit TB paru memiliki sanitasi yang baik
dan sangat baik (73%), perilaku hidup sehat yang baik (57%), tingkat kecemasan

penderita relatif rendah-sedang (65%), mekanisme koping kesehatan yang tinggi
(60%), mekanisme koping yang tinggi (49%), dukungan sosial yang sedang
(84%), dan kelentingan keluarga yang tinggi (47%). Berdasarkan analisis korelasi
menunjukkan adanya hubungan yang bersifat negatif antara pendapatan
keluarga dengan kelentingan keluarga. Adanya hubungan yang bersifat positif
antara mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), mekanisme koping
keluarga, tingkat kecemasan, dukungan sosial dengan kelentingan keluarga.
Berdasarkan analisis regresi linier berganda diperoleh faktor yang mempengaruhi
kelentingan keluarga yaitu: besar keluarga (β= -0,317, p=0,003), tingkat
kecemasan (β=0,239, p=0,027), dan mekanisme koping keluarga (β= 0,511,
p=0,000).
Kata kunci : TB paru, karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup sehat, tingkat
kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping, kelentingan keluarga.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan modal dasar
pembangunan nasional untuk memperbaiki derajat kesejahteraan rakyat. Dalam
rangka menyongsong Millenium Development Goals (MDG’s) dan peningkatan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka pengembangan SDM yang tepat

guna dan berkelanjutan dapat ditempuh melalui pemberdayaan kapasitas dan
potensi yang ada. Pemberdayaan ini menekankan berbagai macam aspek
meliputi aspek kesehatan, pendidikan, dan kewirausahaan (Suyono & Haryanto
2008).
Kesehatan merupakan hak dasar/hak fundamental warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk
mempertinggi derajat kesehatan dengan meningkatkan keadaan kesehatan yang
lebih baik dari sebelumnya (UU Kesehatan No.23 Tahun 1992, Bab II Pasal 3).
Kemajuan suatu bangsa berbanding lurus dengan tingkat kesehatan
masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendapatan suatu keluarga, semakin mampu
pula keluarga tersebut menjaga kesehatannya. Setelah itu, dengan semakin
tingginya tingkat kesehatan, semakin tinggi pula produktifitas dan kemampuan
untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dalam berbagai aspek (Sugianto
2007).
Tuberkulosis

(TB)

adalah


suatu

infeksi

yang

disebabkan

oleh

Mycobacterium tuberculosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru tetapi dapat
juga mengenai organ-organ tertentu (Brewis 1983) diacu dalam Nawas A (1990).
TB paru merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia karena merupakan
penyebab kematian selain penyakit ISPA, diare dan penyakit jantung koroner
(Handoko T 1984) diacu dalam Nawas A (1990).
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri,
atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (UU
No.52 tahun 2009). Keluarga menyediakan kebutuhan antar individu sebagai
anggota keluarga dan tuntutan serta harapan dari masyarakat yang ada. Pada
keluarga dengan penyakit TB paru, terdapat berbagai tuntutan maupun masalah

yang dapat dihadapi dengan beradaptasi. Adaptasi merupakan aspek yang
penting dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosial. Berdasarkan ilmu
psikologi, adaptasi tersebut biasa disebut dengan strategi koping. Strategi koping

2

adalah suatu proses atau cara untuk mengelola tekanan baik secara eksternal
maupun internal (Lazarus, Launier, dan Folkman diacu dalam Taylor 1999).
Permasalahan dan tekanan yang berlangsung lama dapat mengganggu
keberfungsian keluarga dan akan berdampak pada seluruh anggotanya. Dengan
adanya strategi koping yang positif maka keluarga dapat kembali dalam keadaan
normal. Hal tersebut merupakan kondisi kelentingan keluarga yang baik.

Perumusan Masalah
Penyakit

tuberkulosis

(TB)


adalah

penyakit

infeksi menular

yang

merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.
Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan China dalam masalah TB
di dunia. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001, TB menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4% dari total
kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernafasan (Depkes RI
2007). Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2008 terdapat
30.067 penderita TB di Jabar (Depkes RI 2008).
TB paru adalah peradangan yang bersifat kronis, penderita mengalami
tidak enak badan, demam, nafsu makan berkurang yang menyebabkan
penurunan berat badan, sakit kepala, batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri
dada, badan pegal, dan gangguan siklus haid pada wanita (Rasmin R 1987)
diacu dalam Nawas A (1990).

Keluarga dengan penyakit TB paru memiliki hambatan yang berbeda
dengan yang dialami

keluarga normal lainnya sehingga menyebabkan

munculnya tuntutan menyesuaikan diri selama kurun waktu tertentu (Andersen
1988) diacu dalam Sarafino (1998). Dalam sebuah unit keluarga, penyakit yang
diderita salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi anggota keluarga lain
(Friedman 1998).
Bila salah satu individu dalam sebuah keluarga menderita penyakit TB
paru, maka hal ini tidak hanya menimbulkan stres pada dirinya sendiri tetapi juga
pada keluarganya. Kelentingan keluarga menunjukkan adaptasi keluarga selama
masa krisis penderita TB paru. Kelentingan keluarga memungkinkan keluarga
memiliki keharmonisan, keterikatan, dan dukungan di masa krisis dalam siklus
kehidupan keluarga. Keluarga yang lenting dapat melihat tantangan dengan
kepercayaan diri untuk menghadapinya. Penelitian telah menemukan bahwa
keluarga yang lenting memiliki 10 ciri-ciri umum, yaitu: pandangan positif,

3


spiritualitas, kesesuaian anggota keluarga, fleksibilitas, komunikasi, keuangan,
waktu bersama, rekreasi bersama, rutinitas, ritual, dan dukungan sosial (Walsh
2002). Menganalisis tingkat kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru,
selain bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai strategi keluarga untuk
dapat bertahan dari tantangan yang dihadapi (Poerwandari 2005).
Keluarga yang anggotanya berpenyakit pada umumnya memiliki banyak
masalah. Salah satu faktor penunjang dalam mengadaptasi masalah adalah
pengetahuan penderita mengenai bahaya penyakit TB paru dan motivasi
keluarga terhadap penderita. Kondisi keluarga dengan penyakit TB paru
menyebabkan

penurunan

pendapatan

riil

keluarga

karena


kurangnya

produktifitas dari penderita TB paru.
Selain masalah pendapatan, secara sosiologis kemampuan keluarga
penyakit TB paru meliputi kemampuan memulihkan keadaan melalui strategi
koping sebagai bentuk kelentingan keluarga. Koping melibatkan cakupan yang
lebih luas dari potensi strategi, keterampilan, dan kemampuan efektif dalam
mengelola stres. Maka yang menjadi pertanyaan penelitian pada penulisan tugas
akhir ini adalah :
1. Bagaimana karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup sehat, tingkat
kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping keluarga, dan kelentingan
keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru?
2. Bagaimana hubungan dan pengaruh karakteristik sosial ekonomi, perilaku
hidup sehat, tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping
keluarga terhadap kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB
paru?

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelentingan keluarga pada
keluarga dengan penyakit TB paru, di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor.
Tujuan Khusus :
1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan penyakit TB
paru
2. Mengidentifikasi perilaku hidup sehat keluarga dengan penyakit TB paru
3. Mengukur tingkat kecemasan penderita penyakit TB paru
4. Mengukur dukungan sosial penderita penyakit TB paru

4

5. Mengukur mekanisme koping keluarga dengan penyakit TB paru
6. Mengukur kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru
7. Menganalisis

hubungan

dan

pengaruh

berbagai

variabel

terhadap

kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru
Kegunaan
Kegunaan dari penelitian ini diantaranya untuk :
a. Pemerintah
Memberikan informasi kepada pemerintah daerah dalam menentukan
kebijakan terkait peningkatan kesejahteraan keluarga dengan penyakit TB
paru .
b. Masyarakat
Memperoleh

informasi

mengenai

mekanisme

koping

strategi

dalam

mengatasi masalah akibat penyakit TB paru.
c. Peneliti/mahasiswa
Menambah wawasan dan pemahaman akibat penyakit TB paru yang dialami
keluarga, serta dapat memberikan sumbangsih dalam ilmu pengetahuan
untuk masa yang akan datang (penelitian lanjutan).

TINJAUAN PUSTAKA
Kelentingan Keluarga
Kelentingan adalah proses dinamis untuk bertahan dari krisis serta
kemampuan beradaptasi secara positif (Walsh 2002). Kelentingan merupakan
karakteristik keluarga dalam beradaptasi terhadap situasi krisis, misalnya tingkat
kerentanan, tipe keluarga, sumber daya, tingkat stres, pemecahan masalah,
kemampuan koping, serta pandangan hidup (McCubbin & McCubbin 1988) diacu
dalam Lazarus A (2004). Situasi krisis dapat terjadi akibat akumulasi
permasalahan dalam keluarga yang salah satunya adalah keluarga dengan
penyakit TB paru. Situasi ini dinilai keluarga tidak mampu mengatasi stresor yang
timbul.
Dalam mewujudkan kelentingan keluarga yang baik yaitu dengan
meningkatkan keberfungsian dan kesejahteraan keluarga serta mencegah
anggota keluarga terinfeksi penyakit. Kelentingan keluarga tidak hanya
mencakup manajemen stres tetapi juga bertahan dari cobaan yang berat.
Adanya krisis dan tekanan yang berlangsung lama dapat mengganggu
keberfungsian keluarga dan akan berdampak pada seluruh anggotanya.
Kemampuan keluarga dalam menghadapi ancaman, menahan stres, dan
mengorganisir ulang masalah secara efektif akan mempengaruhi seluruh
anggota keluarga (Walsh 2002). Menurut Mackay (2003) kelentingan keluarga
terdiri dari tiga aspek, yaitu family cohesion, family belief system, dan
komunikasi.
Family Cohesion
Hubungan emosional antar anggota keluarga sangat penting bagi
keberfungsian keluarga. Keluarga yang memiliki ikatan emosional yang baik
mampu menghadapi tantangan dan mengatasi stres dengan baik. Mackay (2003)
mengemukakan kunci hubungan emosional antar anggota keluarga terdiri dari 3
aspek, yaitu: family cohesion, connectedness, affective involvement. Rendahnya
family cohesion merupakan salah satu indikasi disfungsi keluarga namun family
cohesion yang sangat tinggi juga dapat mengakibatkan disfungsi keluarga karena
hubungan emosional antar anggota keluarga harus seimbang untuk memenuhi
kebutuhan otonomi individu.

6

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara family
cohesion dan fungsi keluarga. Olson et al (1988) diacu dalam Mackay (2003)
menunjukkan bahwa keluarga dengan family cohesion yang tinggi tetapi
seimbang, sedikit mengalami tekanan dan tingkat kesejahteraan keluarga tinggi.
Family Belief System
Family belief system merupakan inti dari fungsi keluarga yang mencakup
nilai, sikap, keyakinan, bias, dan asumsi. Family belief system merupakan
asumsi dasar yang memicu respon emosional serta menginformasikan
keputusan dan tindakan. Family belief system yang dominan dapat membentuk
keluarga dalam upaya menghadapi krisis dan kesulitan (Walsh 1998) diacu
dalam Mackay (2003).
Terdapat tiga dimensi penting family belief system, yaitu: capacity to make
meaning out of adversity (kemampuan dalam memaknai kesulitan), a positive
outlook (pandangan positif) and spirituality or transcendence (spiritual atau
transedensi). Keluarga yang berfungsi dengan baik memiliki kemampuan untuk
memahami yang telah terjadi dan memperkirakan masa mendatang. Kelentingan
keluarga juga dicirikan oleh ketekunan, kegigihan, dan optimisme dalam
mengatasi rintangan. Family belief system sebagai kunci kelentingan keluarga
karena pentingnya agama dan budaya sebagai sumber utama spirituality or
transcendence (Walsh 1998) diacu dalam Mackay (2003).

Komunikasi
Komunikasi merupakan aspek kunci dari fungsi keluarga. Komunikasi
adalah proses pemaknaan diri, hubungan interpersonal, dan adaptasi masalah.
Komunikasi efektif sangat penting dalam pengambilan keputusan bersama yang
dicapai melalui negosiasi, kompromi, dan umpan balik (Mackay 2003).
Komunikasi

efektif

dalam

keluarga

merupakan

proses

saling

menginformasikan pesan kepada anggota keluarga. Walsh mengidentifikasi tiga
komponen penting komunikasi yang efektif, yaitu: clarity of expression (kejelasan
pesan), open emotional expression (keterbukaan penyampaian emosi) dan
collaborative problem solving (kolaboratif dalam pemecahan masalah). Clarity of
expression mengacu pada pengiriman pesan yang jelas dan konsisten, baik
dalam kata-kata atau tindakan. Open emotional expression mengacu pada
berbagi perasaan dan emosi dalam hubungan, ditandai dengan saling empati

7

dan toleransi terhadap perbedaan. Collaborative problem solving melibatkan
identifikasi masalah untuk mengatasi masalah keluarga (Walsh 1998) diacu
dalam Mackay (2003).
Kelentingan yang baik menunjukkan bahwa keluarga mampu mengelola
konflik dengan baik. Pengelolaan konflik sangat tergantung pada komunikasi dan
keterampilan penyelesaian masalah.

Mekanisme Koping
Kondisi krisis atau dalam tekanan yang berlangsung lama dapat
menyebabkan stres pada individu. Keith (2009) mengemukakan beberapa faktor
yang mempengaruhi tingkat stres seseorang, yaitu: (1) sifat menerima keadaan;
(2) pengalaman dalam mengatasi stres; (3) karakteristik individu; (4) persepsi
tentang stres; (5) strategi koping; dan (6) dukungan sosial.
Synder CR (2001) menjelaskan bahwa koping merupakan proses berfikir,
merasakan atau melakukan sesuatu sebagai pemenuhan kepuasan psikologi.
Koping merupakan beberapa respon yang berkesinambungan sebagai akibat
dari stres. Faktor dari keterampilan koping yaitu: (1) fokus masalah; (2)
pengaturan lingkungan; (3) fokus emosi; dan (4) pengaturan diri.
Koping didefinisikan sebagai usaha kognitif dan perilaku seseorang untuk
mengorganisasikan berbagai tuntutan permasalahan. Berdasarkan proses
koping, individu dapat: (1) memperkirakan ancaman atau peluang pada
lingkungannya; (2) mengevaluasi tuntutan dan sumberdaya atau daya dukung
lingkungan,

serta

kemampuan

untuk

mengorganisasikan

elemen-elemen

tersebut; dan (3) menggunakan strategi untuk mengurangi konsekuensi negatif
yang kemungkinan timbul dalam situasi penuh tekanan. Ketika menghadapi
faktor

penyebab stres,

seseorang menggunakan

strategi koping untuk

mengurangi tekanan yang timbul (Lazarus & Folkman 1984).
Untuk menghadapi stres, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif.
Strategi dan proses koping keluarga yang efektif berfungsi sebagai mekanime
agar fungsi-fungsi keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi,
sosialisasi, perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman
1998). Oleh sebab itu, koping keluarga merupakan proses penting yang
membuat keluarga mampu mencapai fungsi-fungsi keluarganya secara optimal.
Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan dua jenis koping, yaitu emotionfocused coping dan problem-focused coping.

8

Emotion-Focused Coping
Bentuk koping ini bertujuan untuk mengontrol respon emosional yang
muncul dalam menghadapi stresor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini
berdasarkan keyakinannya untuk mengubah keadaan. Beberapa strategi yang
berhubungan dengan bentuk koping ini antara lain kontrol diri, mengambil jarak
dengan stresor, berusaha untuk melihat dari sudut pandang lain, menerima atau
melarikan diri dari keadaan (Lazarus dan Folkman 1984).
Problem-Focused Coping
Bentuk koping ini bertujuan untuk mengurangi stresor atau meningkatkan
sumber daya dalam menghadapi stres. Individu cenderung menggunakan bentuk
ini berdasarkan keyakinannya bahwa tuntutan stresor atau sumber daya masih
dapat diubah. Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk koping ini
antara lain melakukan konfrontasi dengan menolak perubahan, berusaha
mengubah keyakinan orang lain, bergantung pada dukungan sosial, dan
melakukan strategi pemecahan masalah yang terencana (Lazarus dan Folkman
1984).
Stres
McKinnon

(1998)

memandang

stres

sebagai

kondisi

yang

tidak

menyenangkan baik secara emosional, fisik, mental, atau kombinasi dari
ketiganya. Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memenuhi
harapan

dalam

kehidupan.

Caplan

(1964)

diacu

dalam

Miller

(1988)

mendefinisikan stres sebagai gangguan secara kontinu sehingga sistem tidak
berada dalam keseimbangan. Stres menurut Poerwandari (2005) adalah suatu
keadaan dimana individu terganggu keseimbangannya karena situasi internal
maupun eksternal.
Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa stres adalah keadaan
yang menekan dan membahayakan individu serta telah melampaui sumberdaya
yang dimiliki, namun stres tidak hanya mempunyai nilai negatif tetapi juga positif.
Stres juga dapat diartikan sebagai: (1) stimulus, merupakan kondisi yang
menimbulkan stres atau disebut dengan stresor; (2) respon, merupakan suatu
perilaku individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan
stres. Respon yang muncul dapat secara fisiologis seperti: jantung berdebar,
gemetar, dan pusing. Sedangkan secara psikologis seperti: takut, cemas, sulit

9

berkonsentrasi, dan mudah tersinggung; (3) proses, merupakan kondisi dimana
individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah
laku, kognisi, maupun afeksi.
Faktor Stres (Stresor)
Ada dua faktor penyebab stres yaitu berhubungan dengan individu itu
sendiri dan situasi yang dialami individu. Situasi yang berhubungan dengan
individu dapat berupa kondisi tubuh, seperti hawa panas atau dingin yang
berlebihan dan luka atau penyakit. Keadaan sakit menyebabkan munculnya
tuntutan pada kebutuhan biologis dan psikologis individu. Derajat stres yang
timbul tergantung pada keseriusan penyakit dan usia individu tersebut.
Sedangkan situasi yang dialami individu dapat berupa pertambahan anggota
keluarga, perceraian, kematian, pekerjaan, serta keadaan lingkungan (Sarafino
1998).
Menurut Florence dan Setright (1994) diacu dalam Sunarti (2008), faktor
stres atau sumber stres dapat dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu: (1) faktor
fisik, contohnya : obat, keributan, suhu; (2) faktor sosial, contohnya : sakit kronis
atau akut, kematian pasangan, putus hubungan, kesepian, perkawinan,
kehilangan pekerjaan, perampokan; (3) faktor psikologi, merupakan bentuk stres
yang paling merusak dan melibatkan rasa takut, cemas, cemburu, benci, cinta,
rasa bersalah. Contohnya adalah kehilangan harapan, kegagalan, penolakan
dan kekecewaan.
Tipe Stres
Lazarus

(2000)

menyatakan

bahwa

The

American

Psychological

Association (APA) mengklasifikasikan stres menjadi empat tipe, yaitu:
1. Stres akut, diakibatkan karena terhambatnya rencana dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya: terlambat bekerja karena masalah transportasi dan
deadline tugas yang belum selesai. Gejala dari stres akut yaitu: (1) emosional
(khawatir, marah, mudah tersinggung, cemas, frustasi, tidak sabar); (2)
masalah fisik (letih, pusing, sakit punggung dan rahang, gemetar, kedinginan,
sakit otot, urat, dan sendi); (3) masalah pencernaan (liver, maag, diare,
konstipasi, kembung, sakit perut); (4) gangguan organ vital (hipertensi,
serangan jantung, detak jantung cepat, detak jantung cepat, berkeringat,
pusing, nafas pendek, sakit dada); (5) gangguan mental (bimbang,

10

ketidakmampuan konsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan, pikiran
melayang, lambat berpikir, berpikiran kosong)
2. Stres akut sebagian, yaitu reaksi terhadap kondisi yang seketika terjadi,
misalnya tergesa-gesa. Gejala yang timbul antara lain: sakit kepala keras,
sakit dada, asma, hipertensi, dan serangan jantung.
3. Stres kronis, yaitu stres jangka panjang yang dapat diasosiasikan dengan
masalah kemiskinan, sakit, ketidakberfungsian keluarga, dan ketidakpuasan
bekerja. Gejala yang ditimbulkan antara lain: tidak nafsu makan atau nafsu
makan berlebih, perasaan tidak aman, kekurangan sistem imun, serangan
jantung, sakit kronis di bagian tubuh, pesimis, pemarah, ketidakmampuan
konsentrasi, ketidakmampuan bertindak, letih luar biasa, sakit kepala migrain,
cemas tinggi, kesepian, selalu tersinggung, depresi, sinis, rendah diri, dan
gangguan pencernaan.
4. Stres trauma, yaitu stres ketika individu memiliki pengalaman yang berakibat
trauma, misalnya: kecelakaan, korban kriminal, kehilangan pekerjaan,
bencana alam, dan perampokan. Stres ini dapat berakibat penolakan
terhadap mekanisme koping. Gejala yang dapat ditimbulkan antara lain: (1)
perasaan tidak dapat diprediksikan, moody, cemas, gugup, depresi; (2)
mudah mengingat kejadian dan ketidakmampuan konsentrasi; (3) serangan
jantung, berkeringat, sakit kepala, sakit dada, gangguan pencernaan; (4)
tertekan, kurangnya frekuensi komunikasi dengan anggota keluarga, menarik
diri dari aktivitas kelompok.
Dampak Stres
Stres dapat mempengaruhi kesehatan individu dalam dua cara. Pertama,
perubahan yang diakibatkan stres secara langsung mempengaruhi kesehatan.
Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehingga
menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada
(Sarafino 1998). Andersen (1988) diacu dalam Sarafino (1998) juga menjelaskan
hubungan stres dengan penyakit sebagai berikut:
1. Stres sebagai penyebab penyakit, merupakan efek langsung psikologis
dimana stres akan mempengaruhi fungsi fisik tubuh. Akibatnya tubuh menjadi
lemah sampai beberapa sistem organ tidak berfungsi secara normal.
2. Penyakit sebagai penyebab stres, merupakan efek dari keadaan sakit
menyebabkan tuntutan untuk menyesuaikan diri. Dibandingkan dengan jenis

11

penyakit lainnya, penyakit kronis melibatkan penyesuaian diri selama kurun
waktu tertentu.
Bentuk Stres
Terdapat dua bentuk stress yaitu eustress dan distress. Eustress adalah
kondisi stres yang membawa efek positif dikarenakan pengelolaan stres yang
baik.

Sebaliknya,

distress

adalah

kondisi

negatif

stres

diakibatkan

ketidakmampuan pengelolaan stres karena tingginya tingkat stres yang diderita.
Distress merupakan suatu kondisi subjektif yang tidak menyenangkan. Dua
bentuk utama distress adalah depresi dan kecemasan. Kecemasan merupakan
keadaan diri yang ditandai dengan tegang, tidak dapat istirahat, khawatir, lekas
marah, dan takut. Sedangkan depresi merupakan keadaan diri yang ditandai
dengan perasaan sedih, kesepian, demoralisasi, putus asa, sulit tidur, dan
menginginkan kematian (Mirrowsky & Ross 1989) diacu dalam Sunarti (2008).
Kecemasan
Kecemasan adalah kondisi membingungkan yang muncul tanpa alasan dari
kejadian yang akan datang. Kecemasan akan muncul pada keluarga yang salah
satu anggota keluarganya sedang sakit. Bila salah satu anggota keluarga sakit
maka hal tersebut akan menyebabkan terjadinya krisis pada keluarga.
Post (1978) diacu dalam Trismiati (2004) mengemukakan bahwa
kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang ditandai
oleh perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, dan kekhawatiran.
Menurut Bucklew (1980) diacu dalam Trismiati (2004), para ahli membagi bentuk
kecemasan terbagi menjadi dua, yaitu: (1) psikologis yaitu kecemasan yang
terlihat sebagai gejala kejiwaan, seperti tegang, bingung, khawatir, sukar
berkonsentrasi, dan perasaan tidak menentu; (2) fisiologis yaitu kecemasan yang
terlihat sebagai gejala fisik, misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar,
gemetar, dan perut mual.
Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan
diperhatikan, dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi (Taylor
1999). Smet (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu
fungsi dari ikatan sosial yang menggambarkan kualitas hubungan interpersonal.

12

Hubungan interpersonal dianggap sebagai aspek kepuasan secara emosional
dalam kehidupan individu. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat
individu merasa percaya diri, tenang, diperhatikan, dicintai, dan kompeten.
Dukungan sosial terdiri dari informasi verbal, non verbal, dan tindakan yang
diberikan oleh orang lain sehingga mempunyai manfaat emosional bagi individu.

Jenis Dukungan Sosial
Smet (1994) dan Sarafino (1998) membedakan empat jenis dukungan
sosial yaitu :
a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan dan perilaku empati, afeksi,
kepedulian, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan
diperhatikan.
b. Dukungan penghargaan, mencakup ungkapan hormat positif, dorongan, dan
persetujuan atas gagasan atau perasaan individu. Pemberian dukungan ini
membantu individu melihat segi positif dalam dirinya yang berfungsi untuk
menambah penghargaan dan kepercayaan diri saat mengalami tekanan.
c. Dukungan instrumental, mencakup bantuan secara langsung sesuai dengan
yang dibutuhkan individu, seperti bantuan finansial atau pekerjaan pada saat
mengalami stres.
d. Dukungan informatif, mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran atau
umpan balik yang diperoleh dari orang lain, sehingga individu dapat mencari
jalan keluar untuk memecahkan masalahnya.
Sumber Dukungan Sosial
Menurut Rook dan Dooley (1985) diacu dalam Febriasari (2007) ada dua
sumber dukungan sosial, yaitu :
a. Sumber natural: dukungan sosial yang diterima seseorang melalui interaksi
sosial secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya,
misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami), teman dekat atau relasi.
Dukungan sosial ini bersifat non formal.
b. Sumber artificial: dukungan sosial untuk kebutuhan primer seseorang,
misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan.

13

Perilaku Hidup Sehat
Perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh
mahluk hidup. Sehat menurut WHO adalah keadaan sempurna baik fisik, mental,
maupun sosial. Sedangkan menurut UU Kesehatan No.23 Tahun 1992,
kesehatan

adalah

keadaan

sejahtera

badan,

jiwa,

dan

sosial,

yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi
(Notoatmodjo 2007).
Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku hidup sehat adalah segala respon
seseorang yang berkaitan dengan penyakit, pelayanan kesehatan, makanan dan
minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat
diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu:
1. Pemeliharaan kesehatan (health maintanance): perilaku seseorang untuk
memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk
penyembuhan ketika sakit.
2. Penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan (health seeking behavior):
Perilaku ini menyangkut upaya seseorang pada saat menderita penyakit atau
kecelakaan.
3. Kesehatan lingkungan: respon seseorang terhadap lingkungan agar tidak
mempengaruhi kesehatannya.
Adapun penyebab yang menentukan perilaku kesehatan dibedakan menjadi dua,
yaitu : (1) faktor internal (karakteristik seseorang), misalnya tingkat kecerdasan,
tingkat emosional, jenis kelamin; (2) faktor eksternal yaitu lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, politik. faktor yang paling dominan menetukan perilaku
kesehatan yaitu faktor lingkungan.
Tindakan pencegahan penyakit TB paru, merupakan upaya pencegahan
agar penyakit ini tidak menyebar dan menulari orang lain. Upaya tersebut antara
lain: pengobatan TB paru dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
(Notoatmodjo 2007).
Menurut Depkes (2007), terdapat sepuluh indikator yang meliputi tujuh
indikator perilaku hidup bersih sehat dan tiga indikator gaya hidup sehat, yaitu:
(1) membuka jendela pada pagi hari sampai sore hari agar rumah mendapat
sinar matahari dan udara yang cukup; (2) menjemur kasur, bantal, dan guling
secara teratur sekali seminggu; (3) kesesuaian luas lantai dengan jumlah hunian;
(4) menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan sekitar rumah; (5) lantai
diplester atau dipasang keramik; (6) bila batuk, mulut ditutup; (7) tidak meludah

14

disembarang tempat tapi menggunakan tempat khusus; (8) istirahat cukup dan
tidak tidur larut malam; (9) makan makanan bergizi seimbang; dan (10) hindari
polusi udara dalam rumah seperti asap dapur dan asap rokok.
Tuberkulosis (TB) Paru
Tuberkulosis

(TB)

adalah

suatu

infeksi

yang

disebabkan

oleh

Mycobacterium tuberculosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru tetapi dapat
juga mengenai organ-organ tertentu (Brewis 1983) diacu dalam Nawas A (1990).
TB paru merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Hal ini
tercermin pada prevalensi TB paru dengan BTA (+) yang cukup tinggi yaitu 0,3%
artinya diantara 1000 orang penduduk Indonesia dapat dijumpai 3 orang
penderita TB paru yang masih potensial menular. Di Indonesia, TB paru
merupakan penyebab kematian selain penyakit ISPA, diare dan penyakit jantung
koroner (Handoko T 1984) diacu dalam Nawas A (1990).
Gambaran Klinis TB Paru
Menurut Rasmin R (1987) diacu dalam Nawas A (1990), mengemukakan
gambaran klinis TB paru dapat dibagi atas dua gejala, yaitu:
1. Gejala sistemik (umum) meliputi demam, tidak enak badan, nafsu makan
berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit kepala dan
badan pegal. Pada wanita dapat dijumpai gangguan siklus haid.
2. Gejala respiratorik (paru) melipuit batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri
dada.
Faktor Resiko TB Paru
Terdapat tiga faktor resiko TB paru, yaitu kepadatan tempat tinggal,
kopndisi rumah, dan sosial ekonomi keluarga.
Kepadatan

Tempat

Tinggal.

Kepadatan

tempat

tinggal

dapat

mempengaruhi penyebab penularan penyakit. Semakin padat tempat tinggal,
penyakit semakin cepat menular melalui udara. Suhu didalam ruangan erat
kaitannya dengan kepadatan tempat hunian dan ventilasi rumah. Kuman TB paru
akan menjadi inaktif oleh cahaya matahari yang dapat mematikan fungsi vital
organisme (Starke JR & Munoz F 2003).
Kepadatan tempat tinggal yang ditetapkan oleh Depkes (2008), yaitu rasio
luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni. Adapun batas minimal

15

kepadatan tempat tinggal adalah 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2
dan tidak dianjurkan digunakan lebih dua orang tidur dalam satu ruang tidur,
kecuali anak dibawah umur lima tahun. Di daerah perkotaan yang lebih padat
penduduknya, peluang terjadinya kontak dengan penderita TB paru lebih besar
(Karyadi E et al. 2006).
Kondisi Rumah. Tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap
manusia. Tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan kesehatan
lingkungan dapat terlihat dari kondisi lingkungan tempat tinggal. Rumah dapat
dikatakan aman dan sehat jika memenuhi syarat tertentu.
Sesuai dengan Kepmenkes No.829/MenKes/SK/VII/1999 diacu dalam
Azwar (1999) terdapat indikator rumah yang sehat yaitu : (1) lantai tidak berdebu
pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan; (2) sebaiknya dinding
dari tembok namun bila di daerah tropis dan ventilasi kurang akan lebih baik
dinding dari papan; (3) atap genting cocok untuk daerah tropis, sedangkan atap
seng atau asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan karena menimbulkan suhu
panas di dalam rumah; (4) ventilasi cukup, yaitu minimal luas ventilasi adalah
15% dari luas lantai. Ventilasi mempunyai fungsi: menjaga aliran udara di dalam
rumah tetap segar sehingga keseimbangan oksigen (O2) yang diperlukan oleh
penghuni rumah tetap terjaga, menjaga udara di ruangan rumah selalu tetap
dalam kelembaban yang optimum, dan membebaskan udara ruangan dari bakteri
patogen (pembawa penyakit); (5) cahaya matahari cukup, yang diperoleh dari
ventilasi maupun genting kaca. Suhu udara yang ideal antara 18 - 30°C dan sinar
matahari selama lima menit dapat membunuh Mycobacterium tuberculosis; (6)
luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup
sesuai dengan jumlah penghuninya. Rumah yang tidak sehat disebabkan
kurangnya O2 dan mudahnya proses penularan penyakit.
Sosial Ekonomi Keluarga. WHO (2003) menyebutkan bahwa 90%
penderita TB di seluruh negara menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.
Menurut Enarson DA et al. (1993) TB merupakan penyakit terbanyak yang
menyerang negara dengan penduduk berpendapatan rendah. Sosial ekonomi
yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan tempat tinggal yang tinggi.
Selain itu, kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi masalah bagi golongan sosial
ekonomi rendah.

16

Karakteristik Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri,
atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (UU
No.52 tahun 2009). Keluarga menyediakan keseimbangan kebutuhan antar
individu sebagai anggota keluarga dan tuntutan serta harapan dari masyarakat
yang ada. Empat ciri keluarga yaitu : (1) susunan orang-orang yang disatukan
oleh perkawinan, darah atau adopsi; (2) hidup bersama di bawah satu atap
(rumah tangga); (3) kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi
(peran sosial); dan (4) pemeliharaan suatu kebudayaan (Puspitawati 2006).
Terdapat 8 fungsi keluarga menurut PP No.21 tahun 1994, diacu dalam
Puspitawati (2006) tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera
yang dijalankan untuk mencapai tujuan keluarga, yaitu : fungsi keagamaan,
sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosial dan pendidikan,
ekonomi, dan pembinaan lingkungan.
Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga adalah jumlah seluruh hasil perolehan yang didapat
oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Sajogjo
(1994) menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah
dengan hasil-hasil lain.
Menurut BPS (2002) diacu dalam Shinta (2008), pendapatan rumah tangga
atau keluarga adalah seluruh penghasilan atau penerimaan berupa uang dari
seluruh anggota yang diperoleh berupa upah atau gaji, pendapatan dari usaha
rumah tangga atau penerimaan lainnya.
Pendapatan keluarga merupakan aspek yang sangat penting dan sangat
berpengaruh pada keluarga dengan penyakit kronis, karena tidak jarang mereka
membatalkan pengobatan medis meskipun telah menderita penyakit kronis
sehingga memunculkan komplikasi penyakit (Sugianto 2007). Goldsmith (2005)
diacu dalam Mimbs & Lewis (2009) menyatakan bahwa setiap tindakan memiliki
konsekuensi sehingga manajemen input menentukan outcome yang dihasilkan.
Jika keluarga dengan penyakit kronis memiliki kemampuan manajemen sumber
daya dengan baik, maka kendala keuangan dapat diatasi.

17

Pendidikan
Pendidikan formal dan non-formal serta pengetahuan orang tua dan anakanak sangat penting dalam menetukan status kesehatan dan gizi keluarga.
Pendidikan dapat membantu memperlancar komunikasi serta mempengaruhi
proses pemberian dan penerimaan informasi tentang kesehatan sehingga dapat
dengan mudah diterima oleh keluarga. Tingkat pendidikan ibu dapat berpengaruh
terhadap status anak dan keluarga (Sukarni 1994).
Pekerjaan
Mata

pencaharian

kepala

keluarga

sangat

berpengaruh

terhadap

ketahanan keluarga terutama status kesehatan keluarga (Sukarni 1994).
Terdapat kaitan antara pekerjaan orang tua dengan karakteristik keluarga yaitu
gambaran mengenai tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga bisa dikategorikan
miskin atau tidak miskin berdasarkan beberapa indikator dan pendekatan.
Pendekatan kemiskinan menurut Hamudy (2008) diacu dalam Shinta (2008),
yaitu: (1) pendapatan: seseorang dikatakan miskin jika pendapatan dan
pengeluaran berada di bawah batas secara sosial; (2) kebutuhan dasar: miskin
jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, papan,
pendidikan dasar; (3) aksesibilitas: miskin karena kurang akses terhadap
infrastruktur sosial dan fisik, informasi, pasar, dan teknologi; (4) kemampuan
manusia: miskin jika tidak memiliki kemampuan minimal yang dapat berfungsi.
Tingkat kesejahteran dapat diukur dengan kriteria BPS dan kriteria
pengeluaran pangan. Untuk mengukur garis kemiskinan, BPS menggunakan
batas pendapatan perkapita yang diturunkan dari kebutuhan dasar kalori minimal
2100 kkal/kapita/bulan. Garis kemiskinan di Jawa Barat untuk wilayah perkotaan
Rp. 203.751,00/kapita/bulan dan untuk perdesaan Rp. 175.193,00/kapita/bulan
(BPS 2009). Garis kemiskinan Kota Bogor yaitu apabila pendapatan kurang dari
Rp. 223.218,00/kapita/bulan (BPS Bogor 2009). Adapun untuk mengukur garis
kemiskinan

yaitu

berdasarkan

jumlah

pengeluaran

pangan

>50%

dari

keseluruhan pengeluaran keluarga (BPS 2009).
Usia
Umur orang tua, terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam
mengatur keluarga. Ibu dengan usia muda cenderung lebih memperhatikan
kepentingannya sendiri daripada kepentingan keluarganya. Usia dewasa dibagi

18

menjadi 3 kategori (Hurlock 1993), yaitu: dewasa muda (19-29 tahun), dewasa
madya (30-49 tahun), dan dewasa akhir (50-69 tahun).
Besar Keluarga
Sanjur (1982) diacu dalam Devi (2004) menyatakan bahwa besar keluarga
akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Harper (1988) diacu dalam
Fitriyani (2008) menyatakan bahwa keluarga miskin dengan jumlah anggota
keluarga yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Keluarga dengan kondisi krisis bergantung pada besar keluarga, semakin besar
keluarga maka semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup. Besar keluarga akan
mempengaruhi status kesehatan keluarga.
Sanitasi
Sanitasi lingkungan biasanya sangat erat kaitannya dengan kondisi
permukiman. Kusnoputranto (1983) diacu dalam Fitriyani (2008) mendefinisikan
sanitasi lingkungan sebagai usaha pengendalian dari faktor-faktor lingkungan
fisik yang mungkin menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan
dan daya tahan hidup manusia. Dapat disimpulkan bahwa sanitasi lingkungan
merupakan pengelolaan berbagai faktor yang mempengaruhi kesehatan
manusia. Pengelolaan sanitasi lingkungan meliputi: (1) penyediaan air rumah
tangga yang baik; (2) pengaturan pembuangan kotoran manusia; (3) pengaturan
pembuangan sampah; (4) pengaturan pembuangan air limbah ; (5) pengaturan
rumah sehat; (6) pembasmian binatang-binatang penyebar penyakit seperti lalat
dan nyamuk; (7) pengawasan polusi udara; dan (8) pengawasan radiasi dari
sisa-sisa zat radio aktif. Untuk mengukur sanitasi keluarga terdiri dari tiga aspek,
yaitu kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air.
Kondisi Fisik Rumah. Rumah merupakan bagian dari kebutuhan dasar
dalam kehidupan manusia selain sandang dan pangan. Rumah tidak hanya
befungsi sebagai tempat berlindung, tetapi juga sebagai tempat tinggal. Aspek
kesehatan, kenyamanan, dan estetika berkaitan dengan tingkat kesejahteraan
penduduk (BPS 2000).
Sarana Rumah Tangga. Rumah yang sehat menurut Notoatmodjo (2007)
harus mempunyai berbagai fasilitas, seperti penyediaan air bersih, pembuangan
tinja, pembuangan air limbah pembuangan sampah, dapur, dan ruang berkumpul

19

keluarga. Untuk perumahan di pedesaan, biasanya disediakan gudang sebagai
tempat penyimpanan hasil panen dan kandang ternak.
Sumber Air. Air merupakan kebutuhan yang paling penting bagi manusia.
Fungsi air dalam kehidupan sehari-hari antara lain: untuk memasak, minum,
mandi, dan mencuci. Adapun syarat air minum yang baik dapat dilihat melalui
fisik, meliputi tidak berwarna (jernih), berasa, berbau, mengandung bahan kimia
dan bakteri.
Menurut Sukarni (1994), air dapat dibedakan berdasarkan sumbernya,
yaitu: (1) air hujan, yaitu air yang diperoleh dari proses prespitasi awan dan
atmosfer yang mengandung air; (2) air permukaan tanah, yaitu air tergenang
atau air mengalir, misalnya: sungai, danau, laut; (3) air tanah, yaitu air
permukaan tanah yang telah masuk ke dalam tanah dan mengalami penyaringan
oleh tanah, batu-batuan, atau pasir.

KERANGKA PEMIKIRAN
Keluarga harus menyediakan kebutuhan anggota dan harapan dari
kehidupan masyarakat. Penyakit yang diderita salah satu anggota keluarga akan
mempengaruhi keluarga tersebut. Bila salah satu individu dalam sebuah keluarga
menderita penyakit TB paru, maka hal ini tidak hanya menimbulkan stres pada
dirinya sendiri tetapi juga pada keluarganya.
Keluarga dengan penyakit TB paru memiliki karakteristik sosial ekonomi
yang merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku hidup
sehat. Pendapatan keluarga merupakan aspek yang sangat penting pada
keluarga dengan penyakit TB paru. Pendapatan yang rendah dapat menimbulkan
stres keluarga karena kurangnya kebutuhan sehari-hari. Pendidikan dapat
membantu memperlancar komunikasi serta mempengaruhi proses pemberian
dan penerimaan informasi tentang kesehatan sehingga dapat dengan mudah
diterima oleh masyarakat atau keluarga. Tingkat pendidikan yang rendah dapat
menyebabkan pengetahuan tentang lingkungan dan kesehatan juga rendah.
Pekerjaan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Usia
orang tua berkaitan dengan pengalaman dalam mengatur keluarga. Dalam
hubungannya

dengan

pengeluaran

keluarga,

besar

keluarga

akan

mempengaruhi pengeluaran rumah tangga sehingga dapat dilihat tingkat
kesejahteraannya (Sukarni 1994). Sanitasi merupakan usaha pengendalian dari
faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan kerugian bagi
perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Pengelolaan
sanitasi lingkungan meliputi kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan
sumber air keluarga dengan TB paru (Kusnoputranto 1983) diacu dalam Fitriyani
(2008). Perilaku hidup sehat keluarga dengan TB paru adalah segala respon
seseorang yang berkaitan dengan penyakit TB Paru, sistem pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Tindakan pencegahan
penyakit TB Paru merupakan upaya pencegahan agar tidak menulari orang lain.
Upaya tersebut antara lain: pengobatan dan menerapkan perilaku hidup sehat
(Notoatmodjo 2007).
Situasi yang berhubungan dengan individu seperti penyakit TB paru
menyebabkan munculnya tuntutan biologis dan psikologis individu. Derajat stres
akan timbul tergantung pada keseriusan penyakit dan usia individu tersebut.
Tetapi hal itu tidak hanya berdampak pada diri individu, melainkan pada seluruh

21

anggota keluarga. Penyakit sebagai penyebab stres merupakan efek dari
keadaan sakit menyebabkan tuntutan untuk menyesuaikan diri. Terdapat dua
bentuk stres yaitu eustress dan distress. Eustres adalah kondisi stress yang
membawa efek posiitif dikarenakan pengelolaan stres yang baik. Sebaliknya,
distress adalah kondisi negatif stres diakibatkan ketidakmampuan pengelolaan
stres karena tingginya tingkat stres yang diderita. Dua bentuk utama distress
adalah depresi dan kecemasan. Kecemasan merupakan keadaan diri yang
ditandai dengan tegang, tidak dapat istirahat, khawatir, lekas marah, dan takut
(Mirrowsky & Ross 1989) diacu dalam Sunarti (2008).
Untuk menghadapi stres, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif.
Strategi dan proses koping keluarga berfungsi sebagai mekanime agar fungsifungsi keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi, sosialisasi,
perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman 1998). Oleh
sebab itu, koping keluarga merupakan proses penting yang membuat keluarga
mampu mencapai fungsi-fungsi keluarganya secara optimal. Adapun jenis koping
terbagi menjadi 2 yaitu: emotion-focused coping dan problem-focused coping.
Emotion-focused coping bertujuan untuk mengontrol respon emosional yang
muncul dalam menghadapi stresor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini
karena keyakinan melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan. Problemfocused

coping

bertujuan

untuk

mengurangi

tuntutan

stresor

atau

mengembangkan sumber daya dalam menghadapi tuntutan. Individu cenderung
menggunakan bentuk ini karena keyakinan bahwa tuntutan stresor atau sumber
daya mereka masih dapat diubah (Lazarus dan Folkman 1984).
Kelentingan adalah proses dinamis untuk bertahan dari krisis serta
kemampuan

beradaptasi

secara

positif

(Walsh

2002).

Mackay

(2003)

mengemukakan aspek yang dapat menjadi faktor kelentingan keluarga, yaitu:
family cohesion, family belief system, dan komunikasi. Hubungan emosional
antara anggota keluarga sangat penting bagi keberfungsian keluarga. Keluarga
yang memiliki ikatan emosional yang baik mampu menghadapi tantangan dan
mengatasi stres dengan baik. Keluarga dengan tingkat kohesi yang tinggi tetapi
seimbang, sedikit mengalami tekanan dan tingkat kesejahteraan keluarga tinggi.
Family belief system merupakan inti dari fungsi keluarga yang mencakup nilai,
sikap, keyakinan, bias, dan asumsi. Family belief system yang dominan dapat
membentuk keluarga untuk menghadapi krisis dan kesulitan.

22

Komunikasi adalah aspek kunci dari fungsi keluarga. Komunikasi efektif
sangat penting dalam pengambilan keputusan bersama yang dicapai melalui
negosiasi, kompromi, dan umpan balik. Kelentingan yang baik menunjukkan
bahwa keluarga mampu mengelola konflik dengan baik. Pengelolaan konflik
sangat tergantung pada komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah
(Mackay 2003)
Kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1 berikut.
Karakteristik Sosial Ekonomi
Keluarga dengan TB Paru:
 Pekerjaan
 Pendapatan keluarga
 Pendidikan
 Usia
 Besar keluarga
 Sanitasi

Stres

Tingkat kecemasan

Perilaku Hidup Sehat

Mekanisme Koping :
 Problem-focus coping
 Emotion-focus coping

Dukungan Sosial

Kelentingan Keluarga :
 Family Cohesion
 Family Belief System
 Komunikasi

Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping
Terhadap Kelentingan Keluarga dengan Penyakit TB Paru di Kecamatan Ciomas, Bogor

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, yaitu data diambil
pada satu periode waktu secara bersamaan dengan sampel yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas Ciomas yang terdiri dari 3 Desa di
Kecamatan Ciomas yaitu Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran.
Pemilihan tempat dan contoh dilakukan secara sengaja (purposive sampling)
berdasarkan kemudahan akses dan penderita penyakit TB paru kedua terbanyak
di Kabupaten Bogor setelah Cileungsi (Gerduda TB 2000). Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan April sampai dengan November 2010 yang meliputi
pengumpulan, pengolahan, serta analisis data.
Jumlah dan Cara Penari

Dokumen yang terkait

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSUD dr. Pirngadi Medan

36 272 102

Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Mekanisme Koping Pasien Diabetes Melitus di RSUD Deli Serdang

14 98 96

Permasalahan, kelentingan, dan strategi koping keluarga korban longsor di Kabupaten Bogor

0 3 233

Pengaruh Tekanan Ekonomi, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping Terhadap Kesejahteraan Subjektif Keluarga Buruh Konveksi

0 3 32

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KOPING KELUARGA PADA PASIEN CEDERA KEPALA Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Koping Keluarga Pada Pasien Cedera Kepala Di Ruang Icu Rsi Surakarta.

1 7 18

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KOPING KELUARGA PADA PASIEN CEDERA KEPALA Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Koping Keluarga Pada Pasien Cedera Kepala Di Ruang Icu Rsi Surakarta.

0 4 16

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP MEKANISME KOPING PADA PASIEN KANKER SERVIK YANG MENJALANI Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Mekanisme Koping Pada Pasien Kanker Servik Yang Menjalani Kemoterapi Di Rsud Dr. Moewardi.

10 23 16

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN KECEMASAN Hubungan Antara Persepsi Terhadap Dukungan Sosial Keluarga Dengan Kecemasan Menghadapi Masa Menopause.

0 3 16

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN MEKANISME KOPING KELUARGA PADA KELUARGA YANG ANGGOTA KELUARGA DIRAWAT DENGAN PENYAKIT JANTUNG KORONER DI CVCU RSUP DR. M. DJAMIL PADANG.

0 0 12

MOTIVASI DAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA MEMPENGARUHI KEPATUHAN BEROBAT PADA PASIEN TB PARU

0 0 8