Evaluasi Pola Ruang Berbasis Kerawanan Banjir Di Kabupaten Pidie 2

EVALUASI POLA RUANG BERBASIS KERAWANAN BANJIR
DI KABUPATEN PIDIE

ACHMAD YAMANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Pola Ruang
Berbasis Kerawanan Banjir di Kabupaten Pidie adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015

Achmad Yamani
NIM A156130214

RINGKASAN
ACHMAD YAMANI. Evaluasi Pola Ruang Berbasis Kerawanan Banjir di
Kabupaten Pidie. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan WIDIATMAKA.
Banjir merupakan salah satu dari bencana hidrometeorologi yang sering
terjadi di Indonesia. Bencana hidrometeorologi terjadi rata-rata hampir 80 % dari
total bencana yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Kabupaten Pidie
merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang sering dilanda banjir.
Banyaknya bencana alam yang terjadi khususnya banjir dengan berbagai faktor
penyebab mendorong semakin pentingnya peran pengurangan resiko bencana.
Perencanaan penggunaan lahan yang tepat dan sesuai dengan mempertimbangkan
aspek bencana khususnya banjir penting untuk dilakukan dan terintegrasi dalam
rencana tata ruang. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan bobot dan skor
faktor pembentuk rawan banjir, memetakan sebaran wilayah yang berpotensi
terjadinya rawan banjir, menganalisis keterkaitan penggunaan lahan (eksisting)
terhadap wilayah yang berpotensi terjadinya rawan banjir, menganalisis
keterkaitan rencana penggunaan ruang pada pola ruang RTRW Kabupaten Pidie
terhadap wilayah yang berpotensi terjadinya rawan banjir.

Penentuan bobot dan skor faktor pembentuk rawan banjir menggunakan
analisis multikriteria dengan metode pembobotan dan skoring terhadap 5 faktor,
yaitu: tutupan/penggunaan lahan, curah hujan, lereng, jenis tanah dan elevasi.
Pembobotan dilakukan dengan Analytical Hierarchy Process (AHP). Analisis
spasial digunakan untuk menganalisis tingkat kerawanan banjir, keterkaitan
penggunaan lahan eksisting pada wilayah rawan banjir dan keterkaitan rencana
pola ruang pada wilayah rawan banjir.
Hasil analisis AHP menunjukkan faktor utama pembentuk potensi rawan
banjir adalah curah hujan (0,444) diikuti oleh tutupan/penggunaan lahan (0,259)
dan lereng (0,173). Luas wilayah berdasarkan kelas potensi kerawanan banjir di
Kabupaten Pidie didominasi oleh kelas agak rawan seluas 200.015 ha atau 62,97
% dari luas wilayah dengan sebaran lokasi terdistribusi diseluruh kecamatan.
Hasil validasi peta rawan banjir dengan data kejadian banjir di Kabupaten Pidie
periode 2011-2014 menunjukkan akurasi yang cukup tinggi dimana 177 titik dari
241 sebaran titik kejadian banjir (73,44 %) berdasarkan potensi kerawanan banjir
berada pada wilayah sedang, rawan dan sangat rawan. Tutupan/penggunaan lahan
eksisting berdasarkan potensi kerawanan banjir sebagian besar berada pada
wilayah kelas tidak rawan dan agak rawan. Hasil integrasi peta rawan banjir
dengan rencana pola ruang menunjukkan 95,03 % kawasan lindung dan 54,78 %
kawasan budidaya berada pada wilayah kelas tidak rawan dan agak rawan.

Kata kunci: analisis multikriteria, banjir, pola ruang, tutupan/penggunaan lahan

SUMMARY
ACHMAD YAMANI. Spatial Pattern Evaluation-Based on Flood Vulnerability in
Pidie District. Supervised by ERNAN RUSTIADI and WIDIATMAKA.
Flooding is one of the hydro-meteorological disasters often occurring in
Indonesia. It has occurred approximately 80% of all disasters experienced in
Indonesia each year. Pidie is one of districts in Aceh’s province which has been
often flood-stricken. Frequent disaster especially in flooding associted with
various causative factors encourages the important role of mitigation. The
appropriate and reasonable land use planning by considering the risk aspects
especially in flood is important step to take and should be integrated with spatial
planning. Objectives of this study were to determine score and weight of the
factors influencing the flood hazard, to mapping the areal distribution potential to
the flood hazard, to analyze the relation of existing land use on the flood hazard
area, and to analyze the relation of RTRW spatial pattern on the flood hazard area.
The score and weight determination of factors influencing the flood hazard
used multicriteria analysis based on five factors, such as: land use/cover, rainfall,
slope, soil type and elevation. Weighting was undertaken with Analytical
Hierarchy Process (AHP). Spatial analysis was used in mapping the class of flood

hazard, the relation of land use in the flood hazard area, and the relation of spatial
pattern in the flood hazard area.
AHP Results showed that the main factors influencing the flood hazard
potential was rainfall (0.444), land use/cover (0.259) and slope (0.173). Areal
width based on the class of flood hazard potential in Pidie district was dominated
by more vulnerable which was 200,015 ha (62.97 %) distributed on all subdistricts. Validation of the flood hazard map with flood record in Pidie district
from 2011 to 2014 showed high accuracy where 177 out of 241 flood point
distribution (73.44 %) based on the class of flood hazard was on mild vulnerable,
vulnerable and very vulnerable. Existing land use/cover based on the class of
flood hazzard potential was mainly on less vulnerable and more vulnerable.
Integration of flood hazard map with spatial pattern plan showed that 95.03 %
conservation area and 54.78 % cultivation area was on less vulnerable and more
vulnerable.
Keywords: flood, land use/cover, multicriteria analysis, spatial pattern

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EVALUASI POLA RUANG BERBASIS KERAWANAN BANJIR
DI KABUPATEN PIDIE

ACHMAD YAMANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Baba Barus, M Sc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 adalah bencana banjir, dengan judul
evaluasi pola ruang berbasis kerawanan banjir di Kabupaten Pidie diajukan sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah (PWL).
Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada Bapak Dr Ir Ernan Rustiadi, M Agr dan Bapak Dr Ir Widiatmaka,
DAA selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi
sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik serta Bapak Dr Ir Baba
Barus M Sc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan koreksi
yang konstruktif. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada kepala
Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan beasiswa kepada penulis, Ketua
beserta seluruh staf pengajar dan staf administrasi Program Studi PWL dan
Departemen ITSL IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala
Bappeda Kabupaten Pidie beserta staf, Kepala BPBD Kabupaten Kabupaten Pidie
beserta staf, Kepala Distannak Kabupaten Pidie beserta staf, Kepala BPS

Kabupaten Pidie beserta staf, Kepala BBPPSDLP Bogor beserta staf atas segala
bantuan dan kemudahan dalam proses penyelesaian penulisan tesis ini.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Ayah (alm), Ibu (alm) serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
Ucapan terima kasih kepada teman-teman PWL angkatan 2013 atas diskusi dan
kebersamaan selama ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga tesis ini
terselesaikan dengan baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015
Achmad Yamani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x


DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
4
4
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bencana

Banjir
Penggunaan Lahan (land use)
Penataan Ruang
Mitigasi
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Analisis Multikriteria

6
6
7
8
10
11
13
14

3 METODE
Kerangka Pemikiran
Waktu dan Lokasi Penelitian
Jenis dan Sumber Data

Metode Analisis Data
Analisis Faktor Pembentuk Rawan Banjir
Analisis Tingkat Kerawanan Banjir
Analisis Keterkaitan Penggunaan Lahan dan Rencana Pola Ruang
pada Kawasan Rawan Banjir

16
16
17
17
18
20
22

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Letak Geografis dan Administrasi Wilayah
Kependudukan
Karakteristik Fisik Wilayah
Kelerengan (kemiringan Lereng)
Ketinggian (Elevasi)

Iklim dan Curah Hujan
Fisiografi wilayah dan Jenis Tanah
Daerah Aliran Sungai (DAS)

24
24
25
28
28
29
30
32
34

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor Pembentuk Rawan Banjir
Tingkat Kerawanan Banjir
Keterkaitan Penggunaan Lahan pada Kawasan Rawan Banjir
Keterkaitan Rencana Pola Ruang pada Kawasan Rawan Banjir
Evaluasi Penggunaan Lahan dan Rencana Pola Ruang Berdasarkan
Potensi Kerawanan Banjir

36
36
38
48
52

23

60

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

64
64
64

DAFTAR PUSTAKA

66

LAMPIRAN

69

RIWAYAT HIDUP

84

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, metode analisis,
dan keluaran
Nama kecamatan, luas wilayah, jumlah mukim dan jumlah desa di
Kabupaten Pidie
Jumlah penduduk Kabupaten Pidie Tahun 2010-2013
Jumlah, kepadatan dan distribusi penduduk Kabupaten Pidie Tahun 2013
Proporsi luas kemiringan lereng di wilayah Kabupaten Pidie
Proporsi luas ketinggian (elevasi) di wilayah Kabupaten Pidie
Rata-rata curah hujan di Kabupaten Pidie Tahun 2008-2012
Proporsi luas grup fisiografi wilayah Kabupaten Pidie
Klasifikasi ordo tanah di wilayah Kabupaten Pidie
Sebaran wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Kabupaten Pidie
Skoring subfaktor pembentuk rawan banjir untuk faktor curah hujan,
tutupan/penggunaan lahan, kelerengan, jenis tanah dan elevasi
Hasil perkalian bobot dan skor untuk faktor pembentuk rawan banjir
dalam persamaan WLC
Simbol dan klasifikasi kelas kerawanan banjir
Proporsi luas wilayah berdasarkan potensi kerawanan banjir di
Kabupaten Pidie
Sebaran luas wilayah masing-masing kecamatan berdasarkan potensi
kerawanan banjir di wilayah Kabupaten Pidie
Jumlah kejadian dan luas wilayah yang terkena dampak banjir periode
Tahun 2011-2014 di Kabupaten Pidie
Validasi peta rawan dengan data kejadian banjir Tahun 2011-2014
Proporsi luas tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Pidie Tahun 2015
Penggunaan lahan eksisting Kabupaten Pidie ditinjau dari potensi
kerawanan banjir
Rencana pola ruang Kabupaten Pidie 2012-2032
Proporsi keterkaitan rencana pola ruang kawasan lindung dan kawasan
budidaya ditinjau dari potensi kerawanan banjir
Rencana pola ruang kawasan lindung Kabupaten Pidie ditinjau dari
potensi kerawanan banjir
Rencana pola ruang kawasan budidaya Kabupaten Pidie ditinjau dari
potensi kerawanan banjir
Luas eksisting permukiman, kebun campuran, sawah dan tambak
berdasarkan potensi kerawanan banjir
Luas rencana pola ruang (RTRW) untuk permukiman, pertanian,
perkebunan dan tambak berdasarkan potensi kerawanan banjir

19
25
26
27
29
29
31
32
33
35
37
39
40
42
43
44
46
48
50
52
57
59
60
61
62

DAFTAR GAMBAR
1
2

Siklus manajemen bencana (Sagala dan Bisri 2011)
Mekanisme terjadinya banjir terkait aliran sunga (Sudaryoko 1987)

7
8

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Kerangka Pikir Penelitian
Lokasi penelitian
Diagram alir tahapan penelitian
Kerangka analisis multicriteria evaluation (MCE)
Batas administrasi wilayah Kabupaten Pidie
Sebaran kepadatan penduduk Kabupaten Pidie
Kemiringan Lereng wilayah Kabupaten Pidie
Ketinggian (elevasi) wilayah Kabupaten Pidie
Sebaran curah hujan Kabupaten Pidie Tahun 2008-2012
Sebaran curah hujan wilayah Kabupaten Pidie
Fisiografi wilayah Kabupaten Pidie
Ordo tanah wilayah Kabupaten Pidie
Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Kabupaten Pidie
Hasil analisis AHP untuk faktor pembentuk rawan banjir
Kelas kerawanan banjir di Kabupaten Pidie
Perbandingan luas wilayah masing-masing kecamatan berdasarkan
potensi kerawanan banjir di Kabupaten Pidie
Sebaran kejadian banjir periode Tahun 2011-2014 Kabupaten Pidie
Validasi peta kerawanan banjir dengan data kejadian banjir Tahun 20112014 di Kabupaten Pidie
Tutupan/penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Pidie Tahun 2015
Keterkaitan penggunaan lahan terhadap potensi kerawanan banjir di
Kabupaten Pidie
Rencana pola ruang Kabupaten Pidie 2012-2032
Keterkaitan rencana pola ruang RTRW terhadap potensi kerawanan
banjir di Kabupaten Pidie

16
17
20
21
24
27
28
30
31
32
33
34
35
36
41
43
45
47
49
51
56
58

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Kejadian banjir berdasarkan desa di Kabupaten Pidie Tahun 2011-2014
Karakteristik wilayah berdasarkan faktor pembentuk rawan banjir untuk
masing-masing kelas kerawanan banjir
Validasi peta rawan banjir dengan data kejadian Tahun 2011-2014 untuk
masing-masing kecamatan
Rincian tutupan/penggunaan lahan eksisting masing-masing kecamatan
di Kabupaten Pidie
Rincian rencana pola ruang kawasan lindung RTRW 2012-2032, masingmasing kecamatan di Kabupaten Pidie
Rincian rencana pola ruang kawasan budidaya RTRW 2012-2032,
masing-masing kecamatan di Kabupaten Pidie
Rincian luas eksisting permukiman, kebun campuran, sawah dan tambak
masing-masing kecamatan berdasarkan kelas potensi kerawanan banjir
Rincian luas rencana peruntukan lahan untuk permukiman, pertanian,
perkebunan dan tambak masing-masing kecamatan berdasarkan kelas
potensi kerawanan banjir

69
74
75
76
77
78
79

81

9

Dokumentasi kejadian banjir beberapa kecamatan di Kabupaten Pidie
periode Tahun 2011-2014

83

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana yang sangat
tinggi. Frekuensi kejadian bencana terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun terutama yang berkaitan dengan bencana hidrometeorologi seperti banjir,
kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan/lahan, puting beliung dan gelombang
pasang. Bencana hidrometeorologi terjadi rata-rata hampir 80 % dari total bencana
yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya (BNPB 2014). Banjir merupakan salah
satu bencana hidrometeorologi yang sering terjadi di Indonesia. Cuaca ekstrim
dalam bentuk datangnya hujan dengan intensitas tinggi secara mendadak dalam
waktu yang singkat sering ditemui di Indonesia dan sangat berpotensi
menimbulkan banjir bagi wilayah yang kurang mewaspadai efek buruk dari
musim penghujan tersebut.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB 2014)
total bencana banjir dan longsor selama 11 tahun terakhir dari Tahun 2003-2014
sebanyak 6.288 kejadian atau 572 per tahunnya. Dampak yang ditimbulkan akibat
banjir dan longsor juga cukup besar. Total korban tewas selama tahun 2003-2013
ada 5.650 jiwa atau rata-rata 514 jiwa tewas per tahunnya. Sebanyak 1,5 juta jiwa
rata-rata mengungsi dan menderita akibat banjir dan longsor.
Kabupaten Pidie merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang
sering dilanda banjir. Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana
Daerah Kabupaten Pidie (2014) dalam empat tahun terakhir (Tahun 2011-2014)
sebanyak 39 kali kejadian banjir menggenangi 241 desa di 22 kecamatan telah
mengakibatkan 12 orang meninggal, 1.835 rumah, 5.185 ha lahan pertanian dan
50 km jalan serta berbagai fasilitas sarana prasarana infrastruktur pemerintah,
publik maupaun masyarakat rusak. Kejadian terparah terjadi ketika banjir bandang
di kecamatan Tangse Tahun 2011. Kejadian tersebut disamping menimbulkan
kerugian juga membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk proses pemulihan
kembali dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana disamping
juga pemulihan kondisi fisik dan mental korban bencana yang terkadang
membutuhkan waktu.
Kemunculan berbagai bencana ternyata antara lain dipicu oleh kerusakan
ekosistem alam sebagai akibat pengabaian tata ruang (Deviana et al. 2007).
Banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia khususnya banjir dengan
berbagai faktor penyebab mendorong semakin pentingnya peran pengurangan
resiko bencana. Hyogo Framework for Action (HFA; Kerangka Aksi Hyogo),
yang diputuskan pada Konferensi Pengurangan Resiko Bencana Dunia di Kobe
pada Tahun 2005, juga mengamanatkan perencanaan guna lahan (land use
planning) atau perencanaan tata ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan
resiko bencana (UNISDR 2005).
Banyaknya kejadian bencana banjir menunjukkan bahwa persoalan banjir
merupakan persoalan serius dan memerlukan langkah-langkah produktif guna
mereduksi bahaya banjir. Kejadian banjir baik skala besar maupun skala kecil
seharusnya dijadikan bahan pembelajaran. Untuk mengatasi persoalan banjir
sebagaimana kasus-kasus di atas pemerintah baik pusat dan daerah harus berperan

2
lebih, tidak sekedar penyelesaian masalah dan korban pasca banjir, tetapi upayaupaya preventif agar intensitas banjir dapat dikurangi melalui berbagai kebijakan
yang berkaitan dengan sumberdaya lahan/wilayah.
Berbagai masalah yang berkaitan dengan banjir dan banyak aplikasi lainnya
membuktikan bahwa masalah ini dapat diselesaikan melalui studi perencanaan
dan proyek detil tentang daerah rawan banjir. Menentukan wilayah rawan banjir
sangat penting bagi pengambil keputusan untuk perencanaan atau pengelolaan
kegiatan (Yalcin dan Akyurek 2004). Langkah-langkah perencanaan penggunaan
lahan yang tepat adalah cara yang paling efektif untuk mengurangi risiko banjir
dan kerusakan. Untuk itu perencanaan penggunaan lahan yang tepat dan sesuai
dengan mempertimbangkan aspek bencana khususnya banjir penting untuk
dilakukan dan terintegrasi dalam rencana tata ruang. Potensi bencana alam
khususnya banjir merupakan salah satu pertimbangan yang penting dalam
perencanaan dan pengembangan wilayah, terutama diperlukan dalam proses
penyusunan tata ruang.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
pada pasal 3 dijelaskan bahwa: ”Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan...”. Aman adalah situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas
kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman. Penjelasan umum butir
2 menyebutkan: ”...Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana, yang
secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa. Dengan keberadaan
tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan
secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan
memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan,
dan kelestarian lingkungan hidup.”
Perencanaan pembangunan di Indonesia saat ini mengalami perubahan
paradigma yang didasari oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang yaitu perencanaan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development). Ada tiga aspek yang mendasari paradigma baru ini yaitu ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Ketiga aspek ini diharapkan mampu berjalan secara
bersama-sama agar terjadi keseimbangan dalam perencanaan pembangunan.
Keberadaan pembangunan yang berkelanjutan membuat pengurangan risiko
bencana menjadi salah satu aspek penting dalam penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Pada dasarnya tata ruang adalah salah satu bentuk
kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan wilayah/kota yang mencakup 3
proses utama; perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang (Pasal 1 (5) UU No 26/2007). Fungsinya menciptakan ruang
wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana Pasal 42 ayat (1) disebutkan bahwa: ”Pelaksanaan dan
penegakan rencana tata ruang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana yang
mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan
dan penerapan sanksi terhadap pelanggar”. Ini berarti bahwa pada dasarnya
pelaksanaan tataruang adalah untuk menghindari pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai yang pada akhirnya dapat menimbulkan bencana. Untuk itu perlu dilakukan
perencanaan tataruang yang berbasis becana sebagai implementasi dari UndangUndang Nomor 24 dan 26 Tahun 2007 tersebut. Sejalan dengan proses

3
pembangunan berkelanjutan perlu diupayakan pengaturan dan pengarahan
terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan prioritas utama pada
penciptaan keseimbangan lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah melalui pelaksanaan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana alam
agar dapat ditingkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan
penghidupan masyarakat terutama di kawasan rawan bencana.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB 2012) mitigasi
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Resiko (risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan
atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Bencana dapat terjadi
karena saling bertemunya dua faktor, yaitu bahaya atau kerawanan (hazard) dan
kerentanan (vulnerability). Bahaya/kerawanan (hazard) adalah suatu kejadian
atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan,
kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan Iingkungan. Kerentanan (vulnerability)
adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik,
sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan
masyarakat dalam menghadapi bahaya atau kerawanan (hazard).
Bahaya/kerawanan banjir berubah menjadi bencana jika didukung dengan
kerentanan dan mengakibatkan kerugian baik korban jiwa, kehilangan atau
kerusakan harta benda dan kerusakan lingkungan. Untuk itu identifikasi faktor
penyebab bahaya/kerawanan banjir dan sebaran lokasi wilayah banjir perlu
dilakukan sebagai langkah awal dalam pengurangan resiko bencana banjir dan
menjadi bagian dari mitigasi bencana itu sendiri.
Berangkat dari hal tersebut perlu dilakukan suatu penelitian terkait pola
ruang berbasis kerawanan banjir untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya banjir dan wilayah yang berpotensi terjadinya rawan
banjir di Kabupaten Pidie agar dapat menjadi bahan informasi baik bagi
masyarakat maupun bagi pemerintah sebagai bahan evaluasi dalam kebijakan
penyusunan rencana tata ruang (RTRW) dan sebagai upaya pencegahan atau
mitigasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana khususnya banjir.
Perumusan Masalah
Dalam penyusunan perencanaan ruang berbasis bencana khususnya banjir
sebagai langkah awal perlu memperhatikan faktor-faktor yang berpotensi
menimbulkan kerawanan banjir. Banjir terjadi tidak hanya karena faktor fisik
(alam) akan tetapi juga karena adanya aktivitas manusia (faktor manusia) dalam
hal penggunaan lahan. Kejadian banjir tidak hanya dipicu oleh tingginya curah
hujan dan kondisi morfologi wilayah. Beberapa catatan kejadian bencana banjir di
Kabupaten Pidie tidak hanya terjadi pada dataran rendah/pesisir akan tetapi juga
terjadi pada dataran tinggi/pegunungan. Identifikasi karakteristik baik fisik (alam)
dan penggunaan lahan (aktivitas manusia) yang dapat berpotensi menimbulkan
potensi banjir sangat diperlukan sebagai dasar untuk menentukan wilayah yang
berpotensi terjadinya rawan banjir di Kabupaten Pidie.

4
Mengingat penyelerenggaraan penanggulangan bencana tidak hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah melainkan juga masyarakat, maka
ketersediaan informasi terkait dengan penyebab atau faktor yang berpotensi
menimbulkan rawan bencana banjir sangat diperlukan. Penyediaan informasi
spasial terkait dengan wilayah yang berpotensi terjadinya rawan banjir dirasakan
masih sangat kurang sehingga dalam hal aktivitasnya masyarakat masih banyak
melakukan hal-hal yang berakibat kepada terganggunya ekosistem sehingga pada
akhirnya terjadi bencana khususnya banjir. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan
daerah berpotensi banjir dan indikator penyebab terjadi banjir sebagai acuan awal
bagi pemerintah dan masyarakat khususnya dalam memahami karakteristik
wilayah yang berpotensi terjadinya rawan banjir. Penyediaan informasi dan data
spasial terkait dengan wilayah yang berpotensi terjadinya rawan banjir juga
penting sebagai dasar dilakukan evaluasi atau kesesuaian pemanfaatan ruang
untuk kemudian disusun langkah-langkah dan upaya pencegahan (mitigasi) banjir
pada wilayah yang berpotensi terjadinya rawan banjir di Kabupaten Pidie.
Berdasarkan latar belakang dan perumusan permasalahan tersebut disusun
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1) Apa faktor pembentuk rawan banjir di Kabupaten Pidie?
2) Bagaimana sebaran wilayah yang berpotensi terjadinya rawan banjir di
Kabupaten Pidie?
3) Bagaimana keterkaitan penggunaan lahan (eksisting) terhadap wilayah yang
berpotensi terjadinya rawan banjir?
4) Bagaimana keterkaitan rencana penggunaan ruang pada pola ruang RTRW
kabupaten Pidie terhadap wilayah yang berpotensi terjadinya rawan banjir?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pola pemanfaatan
ruang berdasarkan potensi kerawanan banjir di Kabupaten Pidie. Sedangkan
tujuan khusus penelitian ini adalah:
1) Menentukan skor dan bobot faktor pembentuk rawan banjir di Kabupaten
Pidie.
2) Memetakan sebaran wilayah yang berpotensi terjadinya rawan banjir di
Kabupaten Pidie.
3) Menganalisis keterkaitan penggunaan lahan (eksisting) terhadap wilayah yang
berpotensi terjadinya rawan banjir.
4) Menganalisis keterkaitan rencana penggunaan ruang pada pola ruang RTRW
Kabupaten Pidie terhadap wilayah yang berpotensi terjadinya rawan banjir.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan tersebut penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat atau kegunaan sebagai berikut:
1) Peta kerawanan banjir di Kabupaten Pidie diharapkan dapat bermanfaat
sebagai acuan bagi pemerintah dan masyarakat terkait pemanfaatan ruang pada
wilayah yang berpotensi terjadinya rawan banjir.

5
2) Sebagai bahan masukan (revisi) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Pidie terkait pemanfaatan ruang pada wilayah berpotensi terjadinya
rawan banjir.
3) Sebagai informasi bagi pemerintah dan masyarakat dalam rangka
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayah yang berpotensi
terjadinya rawan banjir.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini didasari oleh perencanaan ruang berbasis kebencanaan
khususnya banjir. Bencana banjir yang dianalisis dalam penelitian ini adalah
hanya sampai pada tingkat rawan (hazard) dengan 5 faktor utama pembentuk
potensi rawan banjir, yaitu: tutupan/penggunaan lahan, curah hujan, lereng, jenis
tanah dan elevasi. Penentuan seberapa besar pengaruh masing-masing faktor
dianalisis dengan multicriteria evaluation (MCE). Selanjutnya dilakukan analisis
spasial untuk memetakan sebaran lokasi rawan banjir, kesesuaian penggunaan
lahan eksisting terhadap potensi kerawanan banjir dan kesesuaian rencana
penggunaan ruang pada pola ruang RTRW terhadap potensi kerawanan banjir.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bencana
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Selanjutnya dijelaskan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain
berupa: gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam, yang antara lain berupa: gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat, dan teror (Setneg RI 2007a).
Salah satu penyebab meningkatnya kejadian bencana lingkungan di
Indonesia antara lain adalah semakin meningkatnya alih fungsi lahan, khususnya
dari hutan menjadi non hutan (Utomo 2013). Meningkatnya jumlah penduduk
menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan, khususnya lahan di kawasan
budidaya. Namun kebutuhan yang tinggi ini menyebabkan tergesernya lahanlahan non budidaya atau kawasan lindung (hutan) yang merupakan kawasan yang
harus dilindungi dan dipertahankan. Ketidaksesuaian antara pemanfaatan lahan
baik pada kawasan budidaya dan kawasan lindung terhadap kondisi fisik di
lapangan menyebabkan terjadinya penyimpangan peruntukan lahan yang
berakibat menurunnya daya dukung lahan, sehingga sering berdampak negatif
seperti erosi, banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya. Degradasi lingkungan
atau menurunnya kualitas lingkungan sering dinyatakan sebagai kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam upaya memenuhi
kebutuhannya. Pengelolaan lahan yang kurang tepat, penataan penguasaan lahan
yang kurang bijaksana serta penebangan hutan yang tidak terkendali menjadi
bagian dari terjadinya banjir, erosi, tanah longsor, hilangnya kesuburan tanah
maupun banyaknya lahan tidur yang kontra produktif dan mengganggu
keseimbangan ekosistem (Riyadi 2011).
Terkait dengan semakin meningkatnya frekuensi kejadian bencana di
Indonesia pada Tahun 2008 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008
di bentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (disingkat BNPB). BNPB
adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang mempunyai tugas
membantu Presiden Republik Indonesia dalam mengkoordinasikan perencanaan
dan pelaksanaan kegiatan penanganan bencana dan kedaruratan secara terpadu;
serta melaksanakan penanganan bencana dan kedaruratan mulai dari sebelum,
pada saat, dan setelah terjadi bencana yang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan,
penanganan darurat, dan pemulihan.

7
Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam
tiga kegiatan utama, yaitu:
1. Pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
serta peringatan dini;
2. Saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk
meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR),
bantuan darurat dan pengungsian;
3. Pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi.
Dalam siklus bencana (Sagala dan Bisri 2011), kejadian bencana
ditempatkan sebagai kejadian yang memicu kerugian dan kehancuran, untuk
kemudian sesaat setelahnya kemudian berlaku masa tanggap darurat. Pada masa
tanggap darurat, fokus kegiatan dititikberatkan pada penyelamatan dan pencarian
korban, penanganan pengungsian, pemberian kebutuhan dasar, dan sebagainya.
Pasca tanggap darurat, tahap selanjutnya adalah tahap pasca bencana atau disebut
juga pemulihan. Pada umumnya tahap ini terdiri atas kegiatan rehabilitasi untuk
memulihkan infrastruktur dasar serta kegiatan rekonstruksi, yakni pembangunan
kembali secara menyeluruh sampai dengan suatu kondisi yang dapat dikatakan
sama seperti sebelum kejadian bencana. Sebagai suatu siklus, maka tahap
berikutnya dianggap sebagai suatu tahap pra terhadap kejadian bencana
berikutnya, dimana pembangunan pada umumnya berlangsung. Siklus manajemen
bencana ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Siklus manajemen bencana (Sagala dan Bisri 2011)
Banjir
Banjir menurut terminologi ilmiah merupakan suatu kondisi dimana di suatu
wilayah terjadi peningkatan jumlah air yang tidak tertampung dalam saluransaluran air atau tempat-tempat penampungan air sehingga meluap dan
menggenangi daerah di luar saluran, sungai, atau penampungan air tersebut
(Sudaryoko 1987). Mekanisme terjadinya banjir ditampilkan pada Gambar 2.

8
HUJAN
Perubahan
Koefisien Aliran

Pengendalian Banjir

Perlakuan Terhadap
Lingkungan

Aliran Permukaan
Perubahan Fisik
Alur sungai

TIDAK

Ya

Qa < Qc

Tidak

BANJIR

Keterangan:
Qa
= Debit pengaliran sungai;
Qc
= Kapasitas pengaliran alur sungai
= Fenomena alam
= Kondisi non alamiah yang berpengaruh pada fenomena alam
Gambar 2 Mekanisme terjadinya banjir terkait aliran sunga (Sudaryoko 1987)
Secara umum banjir dikatakan sebagai peristiwa tergenangnya daratan (yang
biasanya kering) karena volume air yang meningkat atau sebagai fenomena alam
yang terjadi karena adanya aliran air dalam jumlah besar dan menggenangi
wilayah atau sumber-sumber kehidupan manusia. Banjir dapat membahayakan
suatu wilayah yang karena dipengaruhi faktor-faktor alamiah seperti curah hujan,
topografi dan geomorfologi (proses fluvial) menyebabkan terjadinya genangan
yang berpotensi menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi manusia
(Kuswartojo 2002). Menurut Maryono (2005), banjir yang terus berlangsung di
Indonesia disebabkan oleh empat hal:
1. Faktor hujan yang lebat, tetapi faktor ini tidak selamanya menyebabkan banjir.
2. Menurunnya resistensi DAS terhadap banjir akibat perubahan tata guna lahan.
3. Faktor kesalahan pembangunan alur sungai, seperti: pelurusan sungai,
pembetonan dinding dan pengerasan tepian/sempadan sungai.
4. Faktor pendangkalan sungai dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas
tampung sungai terhadap air, sehingga tidak mampu lagi mengalirkan air yang
melewatinya dan meluap (banjir).
Penggunaan Lahan (land use)
Menurut Arsyad (1989) lahan didefinisikan sebagai lingkungan fisik yang
terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang
memiliki pengaruh terhadap penggunaannya, termasuk di dalamnya hasil kegiatan
manusia di masa lalu dan sekarang. Lahan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu

9
fungsi produksi dan wadah (misalnya tempat tinggal, produksi tanaman dan
penggembalaan), fungsi regulasi (misalnya siklus tanaman, keseimbangan air dan
tanah, proses asimilasi), dan fungsi informasi (ilmu pengetahuan dan sejarah).
Penggunaan lahan adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan
dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritual (Sitorus
2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik
dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor kelembagaan. Faktor fisik
dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah,
air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan
ekonomi dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi. Faktor
kelembagaan dicirikan oleh hukum pertanahan, situasi politik, sosial ekonomi,
dan secara administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai penggunaan lahan dan
penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan
dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan.
Penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) merupakan dua
istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai
pengertian yang berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penggunaan lahan
berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup
lahan lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa
mempersoalkan kegiatan manusia pada objek tersebut, dapat berupa konstruksi
vegetasi maupun buatan. Terkait dengan penggunaan lahan (land use)
berhubungan dengan kegiatan manusia, banyak sekali penggunaan lahan yang
bersifat pemanfaatan sumberdaya lahan tanpa memperhitungkan kemampuan dan
kesesuaiannya sehingga berakibat kepada penurunan kualitas dan daya dukung
lahan. Hal ini lama kelamaan bisa berakibat kepada dampak negatif bagi
lingkungan dan juga bisa menimbulkan resiko bagi kehidupan manusia (bencana).
Untuk itu diperlukan suatu perencanaan tata guna lahan dan evaluasi lahan agar
lahan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) perencanaan tataguna lahan
sangat diperlukan karena:
1. Jumlah lahan terbatas dan merupakan sumberdaya yang hampir tak terbarui
(non renewable), sedangkan manusia yang memerlukan tanah jumlahnya terus
bertambah.
2. Meningkatnya pembangunan dan taraf hidup masyarakat dapat meningkatkan
persaingan penggunaan ruang (lahan), sehingga sering terjadi konflik
(perebutan) penggunaan lahan.
3. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dapat
menyebabkan kerusakan lahan.
4. Konversi lahan pertanian dengan tanah subur termasuk sawah irigasi menjadi
lahan non pertanian.
5. Banyak lahan hutan yang seharusnya digunakan untuk melindungi kelestarian
sumberdaya air kemudian digarap menjadi lahan pertanian tanpa
memperhatikan azaz kesesuaian lahan sehingga dapat merusak tanahnya
sendiri maupun lingkungan pada umumnya.
6. Pandangan bahwa tanah semata-mata merupakan faktor produksi cenderung
mengabaikan pemeliharaan kelestarian tanah.

10
Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk
penggunaan-penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk
peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional sehingga tanah
dapat digunakan secara optimal dan lestari (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).
Dalam rencana tataruang, perencanaan tataguna lahan merupakan bagian
yang terintegrasi dalam perencanaan tataruang suatu wilayah. Hal ini karena
dalam rencana tataruang terdapat pola pemanfaatan ruang untuk kawasan
budidaya dan kawasan lindung sehingga dalam penyusunannya juga
memperhitungkan penilaian aspek fisik lahan baik dari segi kemampuan,
kesesuaian dan daya dukung sehingga menghasilkan perencanaan pemanfaatan
ruang yang baik dan optimal.
Namun dalam kenyataannya seringkali terjadi ketidaksesuaian penggunaan
lahan dengan perencanaan pola ruang dalam rencana tataruang. Menurut Rustiadi
et al. (2011) hal ini dikarenakan didalam pelaksanaannya perencanaan tataruang
juga seringkali dimonopoli oleh kepentingan pihak-pihak tertentu yang tidak
berorientasi pada kepentingan publik. Diatas kertas, penetapan tataruang
dipandang seringkali hanya mempertimbangkan aspek fisik wilayah (land
suitability dan land capability) dan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Oleh
karena itu dalam paradigma perencanaan tataruang modern, perencanaan ruang
diartikan sebagi bentuk kajian sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi
untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang dalam memilih cara
terbaik untuk meningkatkan produktivitas agar dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat (publik) secara berkelanjutan.
Penataan Ruang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang adalah suatu
sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang
meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang
(Setneg RI 2007b).
Dalam Pasal 3 dari Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa
penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: (a) terwujudnya
keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya
keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan
dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c) terwujudnya pelindungan
fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat
pemanfaatan ruang.
Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana pada pasal 6 a dinyatakan bahwa tanggung jawab
Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi
pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan

11
program pembangunan. Pasal 7 dinyatakan bahwa wewenang Pemerintah dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi, a. penetapan kebijakan
penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional; b.
pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan
penanggulangan bencana. Pasal 35 f dinyatakan bahwa Penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi penegakan
rencana tataruang (Setneg RI 2007a). Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaran Penanggulangan Bencana
Pasal 20 ayat 2 a dinyatakan bahwa kegiatan mitigasi bencana dilakukan melalui
perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yang berdasarkan pada analisis
risiko bencana.
Dari muatan Undang-Undang Nomor 24 dan 26 Tahun 2007 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tersebut dapat disimpulkan bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana terutama pada tahap pra bencana
seperti halnya kegiatan mitigasi bencana harus terintegrasi dalam rencana
tataruang. Begitu juga dalam rencana tataruang, penyelenggaraan penataan ruang
juga mengatur dan mencegah pemanfaatan ruang agar tidak digunakan untuk halhal yang berakibat negatif terhadap lingkungan yang pada akhirnya juga akan
terjadi bencana.
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur
ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata
ruang. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk
fungsi budidaya, sedangkan struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan
struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pemanfaatan ruang
yang diwujudkan melalui program pembangunan, dan pola pemanfaatan ruang
yang mengacu pada rencana tata ruang akan menciptakan terwujudnya kelestarian
lingkungan. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan
tertib tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan salah satu upaya
untuk mengawasi dan mencegah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai bahkan
dapat menimbulkan dampak terhadap kerusakan dan juga bencana. Untuk itu
dalam kawasan rawan bencana banjir perlu dilakukan upaya pengawasan dengan
mencermati konsistensi (kesesuaian dan keselarasan) antara rencana tata ruang
dengan pemanfaatan ruang (Setneg RI 2007 b).
Mitigasi
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, yang dimaksud dengan mitigasi adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran
dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Setneg RI 2007a).
Upaya mitigasi dapat dilakukan dengan pendekatan struktural dan non struktural.
Dalam kaitannya dengan bencana banjir, pendekatan struktural bertujuan untuk
mengurangi risiko banjir dengan mengendalikan aliran air dari luar maupun dari

12
dalam wilayah yang terkena banjir. Brody et al. (2009) menjelaskan pendekatan
struktural merujuk kepada pembangunan fisik untuk mengendalikan banjir atau
melindungi tempat tinggal manusia, seperti membangun dinding dan tanggul di
laut dan sepanjang aliran sungai, sumur resapan, saluran air dan revetment. Selain
itu, dalam mengurangi risiko banjir pendekatan struktural dapat dilakukan dengan
memodifikasi struktur lingkungan melalui pembangunan tanggul di bantaran
sungai; perbaikan saluran (bandul, saluran pematang, waduk dan metode untuk
mempercepat atau melambatkan arus air, memperdalam dan meluruskan atau
melebarkan saluran); perbaikan tanah (pengendalian selokan, memodifikasi
praktik tanam, konservasi tanah, revegetasi dan stabilisasi lereng).
Menurut Brody et al. (2009) beberapa pendekatan struktural yang dapat
diterapkan pada kawasan rawan banjir adalah:
1. Pembangunan tanggul dan dinding penahan banjir
Tanggul dan dinding penahan banjir adalah bangunan penahan yang dibangun
di sepanjang aliran sungai/saluran, untuk menahan dan menghindari luapan air
banjir ke dataran atau wilayah di sekitarnya. Tanggul dan dinding penahan
banjir dapat dibangun di sepanjang aliran sungai yang terdapat kawasan
permukiman, pertanian, perkebunan dan sawah.
2. Perbaikan dan normalisasi saluran/drainase
Perbaikan dan normalisasi saluran dapat dilakukan dengan membersihkan,
memperdalam atau melebarkan saluran dengan tujuan mempercepat atau
memperlambat arus air. Perbaikan dan normalisasi saluran dapat dilakukan
pada kawasan permukiman terutama di perkotaan dan juga kawasan budidaya
baik pertanian, perkebunan dan sawah
3. Pembuatan waduk dan sumur resapan
Pembuatan waduk dan sumur tidak hanya bertujuan sebagai tempat
penyimpanan air pada saat musim hujan, disamping itu juga berfungsi menjaga
ketersediaan air pada saat musim kering. Pembuatan waduk dan sumur resapan
sangat cocok dilakukan pada kawasan budidaya pertanian, perkebunan dan
sawah.
4. Perbaikan Tanah
Perbaikan tanah dapat dilakukan dengan meninggikan elevasi muka tanah
(pengurugan), konservasi tanah, stabilisasi lereng. Perbaikan tanah dapat
dilakukan pada kawasan pertanian dan perkebunan.
Menurut Sagala et al. (2014) tindakan-tindakan non-struktural mencakup
berbagai langkah-langkah pencegahan atau penyesuaian untuk mengurangi risiko
banjir melalui memodifikasi kerentanan dari aktivitas pembangunan yang
mengakibatkan kerusakan di dataran banjir. Hal ini dapat meliputi memprediksi
kejadian banjir, sistem peringatan dini, asuransi terhadap bencana banjir,
kesiapsiagaan bencana dan rencana tanggap darurat serta peraturan penggunaan
lahan untuk pengendalian pembangunan. Beberapa pendekatan non-struktural
yang dapat diterapkan pada adalah:
1. Membangun sistem peringatan dini dan prakiraan banjir
Sistem peringatan dini memberikan peringatan tentang waktu kejadian aliran
banjir dan atau aliran debit dengan waktu yang cukup untuk melakukan
tindakan penyelamatan jiwa dan harta benda. Sejumlah data dari beberapa
stasiun hujan dan elavasi muka air diperlukan untuk menentukan akurasi
prakiraan banjir antara lain curah hujan, karakeristik waduk dan sungai, elevasi

13
muka air disertai beberapa parameter yang harus dikalibrasi berdasarkan
rekaman banjir yang pernah terjadi.
2. Peraturan penggunaan lahan
Peraturan penggunaan lahan bisa mencakup peraturan zonasi, perizinan
termasuk izin mendirikan bangunan dan budidaya pada kawasan rawan banjir,
termasuk membangun struktur konstruksi bangunan yang ramah banjir dan
juga termasuk pengenaan sanksi bagi pelanggaran pemanfaatan ruang.
3. Kesiapsiagaan bencana dan rencana tanggap darurat
Kesiapsiagaan bencana dan rencana tanggap darurat merupakan bentuk
tindakan non-struktural yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk
menghadapi bahaya dan mengatasi risiko. Dalam hal ini pemerintah juga dapat
berperan dalam menyediakan informasi dan sosialisasi terkait potensi banjir
suatu wilayah sehingga membantu masyarakat dalam kesiapsiagaan
menghadapi bencana.
Dalam hal perencanaan berbasis kebencanaan banjir, solusi pencegahan
(mitgasi) khususnya pada daerah rawan banjir baik struktural maupun nonstruktural keduanya tentunya harus terintegrasi dalam penataan ruang baik dalam
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tataruang.
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Menurut Barus dan Wiradisastra (2009) Sistem Informasi Geografi (SIG)
atau Geographic Information System (GIS) adalah suatu sistem informasi yang
dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat
geografi atau dengan kata lain SIG adalah suatu sistem basis data dengan
kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi spasial bersamaan
dengan seperangkat operasi kerja. SIG tumbuh sebagai respon sebagai atas
kebutuhan akan pengelolaan data keruangan yang lebih efisien dan mampu
menyelesaikan masalah-masalah keruangan.
Aplikasi SIG dalam pengambilan keputusan berkriteria ganda sangat besar
peranannya dalam pengelolaan basis data, analisis berbasis spasial, penampilan
luaran hasil analisis, dan fungsi-fungsi SIG lainnya. Analisis spasial adalah suatu
teknik atau proses yang melibatkan sejumlah hitungan dan evaluasi logika
(matematis) yang dilakukan dalam rangka mencari atau menemukan potensi
hubungan atau pola-pola yang (mungkin) terdapat di antara unsur-unsur geografis
yang terkandung dalam data digital dengan batas-batas wilayah studi tertentu
(Prahasta 2009).
Menurut Aronoff dalam Afnarius (2006), fungsi analisis spasial adalah
fungsi yang membedakan GIS dengan sistem informasi lainnya. Dengan analisis
ini kita dapat melaksanakan operasi seperti berikut :
1. Berhubungan dengan data spatial: edge matching, transformasi format
geometri, antara sistem koordinat, kombinasi antara dua set data dll.
2. Berhubungan dengan data atribut: perbaiki atribut, melaksanakan pertanyaan.
3. Melakukan analisis secara integrasi dari data spatial dan atribut.
4. Visualisasi/penyajian hasil akhir.
SIG sangat bermanfaat dalam kajian bahaya dan resiko banjir, dengan
penggunaan teknologi tersebut dapat dilakukan analisis spasial dengan cepat dan
efisien, sehingga dapat dijadikan sebagai penyedia informasi