Studi Pengendalian Gulma Dengan Menggunakan Herbisida Pada Budidaya Kedelai Jenuh Air Di Lahan Pasang Surut

STUDI PENGENDALIAN GULMA DENGAN MENGGUNAKAN
HERBISIDA PADA BUDIDAYA KEDELAI JENUH AIR
DI LAHAN PASANG SURUT

ACHMAD YOZAR PERKASA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Pengendalian
Gulma dengan Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai Jenuh Air di
Lahan Pasang Surut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015

Achmad Yozar Perkasa
NIM A252120261

RINGKASAN
ACHMAD YOZAR PERKASA. Studi Pengendalian Gulma dengan
Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai Jenuh Air di Lahan Pasang
Surut. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan DWI GUNTORO.
Salah satu masalah dalam budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut
adalah gangguan gulma. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan herbisida
yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air
di lahan pasang surut. Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut pada tanah
mineral di Desa Banyu Urip dan tanah mineral bergambut di Desa Muliasari,
Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan
pada bulan Juli sampai Desember 2013.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok satu
faktor yaitu jenis herbisida. Percobaan terdiri atas delapan perlakuan dengan tiga
ulangan. Perlakuan yang diuji yaitu kontrol (P0), penyiangan manual 4 minggu

setelah tanam (MST) (P1), paraquat 2 l/ha 4 MST (P2), glifosat 3 l/ha 4 MST
(P3), oksifluorfen 2 l/ha 3 hari sebelum tanam (HSbT) (P4), oksifluorfen 2 l/ha
3 HSbT di ikuti aplikasi paraquat 2 l/ha 4 MST (P5), oksifluorfen 2 l/ha 3 HSbT di
ikuti aplikasi glifosat 3 l/ha 4 MST (P6), aplikasi herbisida penoksulam 1 l/ha
2 MST (P7).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gulma golongan teki Cyperus iria
adalah gulma paling dominan pada lahan percobaan dengan NJD 37.77% di tanah
mineral sedangkan di tanah mineral bergambut sebesar 26.43%. Herbisida yang
paling efektif menekan gulma di tanah mineral adalah paraquat yang ditunjukkan
dengan hasil bobot kering gulma total paling rendah pada 4, 6, dan 8 MST.
Herbisida yang paling efektif menekan gulma di tanah mineral bergambut adalah
oksifluorfen yang ditunjukkan dengan hasil bobot kering gulma total paling
rendah pada 4 dan 8 MST. Herbisida yang paling baik untuk produksi kedelai di
tanah mineral adalah glifosat ditunjukkan dengan produktivitas sebesar
3.76 ton/ha. Herbisida yang paling baik untuk produksi kedelai di tanah mineral
bergambut yaitu paraquat yang ditunjukkan dengan produktivitas sebesar
1.5 ton/ha. Aplikasi herbisida pre emergence sebaiknya dilakukan sebelum tanam
kedelai. Aplikasi herbisida post emergence harus dilakukan secara hati-hati
dengan menggunakan sungkup nozzle untuk mencegah keracunan pada tanaman.
Kata kunci: budidaya jenuh air, kedelai, lahan pasang surut, pengendalian gulma.


SUMMARY
ACHMAD YOZAR PERKASA. Study of Weed Control by Herbicides under
Soybean Saturated Culture in Tidal Swamp. Supervised by MUNIF
GHULAMAHDI and DWI GUNTORO
One of the problem on soybean saturated culture in tidal swamp is weed.
The objective of this study was to obtain the most effective herbicide for weeds
control on soybean saturated culture in tidal swamp. The research was conducted
between July - December 2013, in tidal swamp of mineral soil at Banyu Urip and
peaty mineral soil at Muliasari village, Tanjung Lago Districs, Banyuasin,
Palembang, South Sumatera.
The study was conducted using a randomized block design which one factor
were the type of herbicides. The experiment consisted of eight treatments with
three replications. The treatments were: control (P0), manual weeding at 4 weeks
after planting (P1), paraquat 2 l/ha at 4 weeks after planting (P2), glyphosate
3 l/ha at 4 weeks after planting (P3), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before planting
(P4), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before planting followed application of
paraquat 2 l/ha at 4 weeks after planting (P5), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before
planting followed application of glyphosate 3 l/ha at 4 weeks after planting
(P6), application penoxulam 1 l/ha at 2 weeks after planting (P7).

The results showed that Cyperus iria were the most dominant weeds in the
field with SDR 37.77% on mineral soil whereas 26.43% on peaty mineral soil.
Paraquat herbicide effectively suppressed total dry weight of weeds on mineral
soils at 4, 6, and 8 weeks after planting. Glyphosate herbicide effectively
suppressed total dry weight of weeds on peaty mineral soil at 4 and 8 weeks after
planting. The best herbicide for soybean production on mineral soils was
glyphosate 3.76 tons/ha productivity. Whereas paraquat was the best herbicide for
peaty mineral soil which was indicated by the productivity of 1.5 tons/ha. Preemergence herbicide should be applicated before soybeans planting. Postemergence herbicide application must be done carefully by using a nozzle lid to
prevent toxicity in plants.
Keywords: saturated soil culture, soybean, tidal swamp, weed control.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


STUDI PENGENDALIAN GULMA DENGAN MENGGUNAKAN
HERBISIDA PADA BUDIDAYA KEDELAI JENUH AIR
DI LAHAN PASANG SURUT

ACHMAD YOZAR PERKASA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli - Desember 2013 ini adalah Studi
Pengendalian Gulma dengan Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai
Jenuh Air di Lahan Pasang Surut.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS dan Dr Dwi Guntoro, SP, MSi selaku
komisi pembimbing penelitian yang telah banyak memberikan saran dan
dukungan materi dan nonmateri bagi kesempurnaan penelitian dan karya
ilmiah ini.
2. Dr Ir Iskandar Lubis dan Dr Dewi Sukma, SP, MSi selaku dosen penguji
yang banyak memberikan masukan dan saran untuk perbaikan karya ilmiah
ini.
3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dana penelitian yang telah
diberikan.
4. Keluarga tercinta Ayah, Ibu, Kakak dan saudara-saudara atas doa, bantuan,
dukungan, perhatian dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
5. Keluarga Bapak Suaji dan Wakidi serta petani Desa Banyu Urip dan
Muliasari atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian.

6. Teman-teman Pascasarjana AGH atas segala doa dan bantuan yang telah
diberikan.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dan
manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Juni 2015
Achmad Yozar Perkasa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut
Budidaya Jenuh Air pada Tanaman Kedelai
Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai
Herbisida

3

3
3
4
4

METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Metode
Pelaksanaan
Persiapan Lahan
Penanaman dan Pemupukan
Aplikasi Herbisida
Pemeliharaan dan Panen
Pengamatan

8
8
8
8

9
9
9
9
9
10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

13
13
23

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

28

28
28

DAFTAR PUSTAKA

28

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

51

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Perbandingan hasil analisis tanah awal
Data analisis air
Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral
Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral
Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah
mineral
Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di
tanah mineral
Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di
tanah mineral
Pengaruh perlakuan terhadap tingkat keracunan tanaman di tanah
mineral
Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral bergambut
Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral
bergambut
Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah
mineral bergambut
Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di
tanah mineral bergambut
Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di
tanah mineral bergambut
Pengaruh perlakuan terhadap tingkat keracunan tanaman di tanah
mineral bergambut

13
14
15
15
16
17
17
18
19
19
20
21
21
22

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur kimia glifosat
2 Struktur kimia paraquat
3 Struktur kimia oksifluorfen

5
6
7

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Deskripsi varietas Tanggamus
Gambar petakan
Data curah hujan (mm/bulan) daerah penelitian tahun 2013
Data suhu 0C daerah penelitian tahun 2013
Kelembaban nisbi (%) daerah penelitian tahun 2013
Pengaruh perlakuan terhadap jenis gulma dan dominasinya di tanah
mineral
Pengaruh perlakuan terhadap jenis gulma dan dominasinya di tanah
mineral bergambut
Koefisien komunitas antar petak perlakuan sebelum percobaan pada
tanah mineral
Koefisien komunitas antar petak perlakuan sebelum percobaan pada
tanah mineral bergambut
Jenis - jenis gulma di lahan pasang surut pada tanah mineral
Jenis - jenis gulma di lahan pasang surut pada tanah mineral
bergambut
Analisis usahatani untuk perlakuan kontrol
(tanpa pengendalian gulma) di tanah mineral
Analisis usahatani untuk perlakuan penyiangan manual
di tanah mineral
Analisis usahatani untuk perlakuan herbisida glifosat
di tanah mineral
Analisis usahatani untuk perlakuan kontrol
(tanpa pengendalian gulma) di tanah mineral bergambut
Analisis usahatani untuk perlakuan penyiangan manual
di tanah mineral bergambut
Analisis usahatani untuk perlakuan herbisida paraquat
di tanah mineral bergambut
Perbandingan analisis usahatani/ha untuk masing-masing perlakuan
tanah mineral dan tanah mineral bergambut

33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49

50

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai telah lama dibudidayakan di Indonesia, namun perkembangan luas
areal tanam sangat lambat dan petani lebih mengutamakan menanam padi dan
jagung sehingga kedelai tidak pernah menjadi tanaman utama. Produksi kedelai
Indonesia pada tahun 2013 hanya 851 647 ton biji kering dan produktivitas
1.3 ton/ha, sementara kebutuhan kedelai nasional sebanyak 2.3 juta ton.
Kekurangan kebutuhan kedelai nasional dipasok melalui impor dari Amerika
Serikat dan Brazil sebanyak 1.4 juta ton (BPS 2014).
Peningkatan produksi kedelai harus terus diusahakan melalui upaya
pengembangan lahan pertanian potensial, salah satunya lahan rawa pasang surut.
Kelebihan air di lahan rawa pasang surut merupakan kendala dalam penanaman
kedelai (Sabran et al. 2000). Namun kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air
sesaat apabila dibandingkan dengan tanaman kacang-kacangan lainnya, dan cepat
memperbaiki pertumbuhannya setelah air berkurang (Stanley et al. 1980).
Budidaya jenuh air (BJA) merupakan penanaman dengan memberikan air
secara terus-menerus dan membuat tinggi muka air di bawah permukaan tanah
tetap sehingga lapisan di bawah perakaran jenuh air (Hunter et al. 1980).
Penelitian Ghulamahdi et al. (2009) membuktikan bahwa produktivitas kedelai
kuning varietas Tanggamus dapat mencapai 4.63 ton/ha dengan teknik budidaya
jenuh air (BJA). Sagala et al. (2013) juga berpendapat teknologi budidaya jenuh
air dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang
surut salin.
Karakteristik lahan rawa apabila dikeringkan akan mengoksidasi pirit yang
dapat menyebabkan rendahnya pH tanah. Kadar pirit yang tinggi menyebabkan
produktivitas kedelai di lahan pasang surut masih rendah yaitu sekitar 800 kg/ha.
Rendahnya produktivitas tanaman di lahan pasang surut disebabkan oleh
kemasaman tanah yang tinggi sehingga kelarutan Fe, Al, dan Mn menjadi tinggi,
serta rendahnya ketersediaan P dan K (Suastika dan Sutriadi 2001).
Kendala peningkatan produksi kedelai di lahan pasang surut selain
masalah biofisik tanah yang menyebabkan produksi kedelai rendah juga
disebabkan adanya gulma. Gulma di lahan pasang surut masih menjadi faktor
pembatas produksi dan menjadi penting karena investasinya cukup besar,
pertumbuhannya sangat cepat dan subur. Gulma perlu dikelola dengan baik agar
tidak menimbulkan kerugian. Penelitian Nurjanah (2003) menyatakan terjadi
penurunan jumlah polong dan jumlah polong isi pada kedelai tanpa olah tanah
pada perlakuan tanpa pengendalian gulma.
Pengendalian gulma pada tanaman palawija di Indonesia umumnya
dilakukan secara manual. Faktor yang menjadi kendala dalam pengendalian gulma
yaitu ketersediaan tenaga kerja, biaya dan luasnya pertanaman. Pada areal yang
luas dan tenaga kerja relatif mahal, penggunaan herbisida merupakan cara yang
efektif dan efisien serta mengurangi gangguan terhadap struktur tanah. Herbisida
juga dapat mengurangi biaya produksi dalam sistem usahatani akibat upah tenaga
kerja dalam menyiang gulma yang relatif mahal, selanjutnya herbisida akan
menguntungkan petani kedelai di lahan pasang surut karena dapat menghemat
waktu dan tenaga dalam upaya pengendalian gulma. Penelitian ini penting untuk

2
dilakukan mengingat terdapat beberapa jenis herbisida di lapangan yang
digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman kedelai, tetapi belum
ditemukan jenis herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada
budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan herbisida yang paling
efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air di lahan
pasang surut.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat jenis herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada
budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut.
2. Terdapat jenis herbisida yang berpengaruh baik pada pertumbuhan dan
produksi kedelai budidaya jenuh air di lahan pasang surut.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah diperolehnya cara pengendalian gulma yang
efektif dan efisien sehingga dapat mengurangi kebutuhan tenaga kerja.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut
Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara
sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut) yaitu antara daratan
dan laut atau di daratan sendiri yaitu antara wilayah lahan kering (uplands) dan
sungai atau danau. Karakteristik lahan ini adalah tergenang dangkal, selalu jenuh
air atau mempunyai air tanah yang dangkal sepanjang tahun atau dalam waktu
yang panjang dalam setahun (Subagyo 2006).
Menurut Noor (2004), lahan rawa pasang surut dibagi menjadi empat tipe
luapan yaitu tipe A, B, C dan D. Tipe A merupakan daerah yang diluapi baik oleh
air pasang besar maupun kecil. Tipe B merupakan daerah yang hanya diluapi oleh
air pasang besar. Sementara tipe C dan D tidak mengalami luapan air pasang
namun muka air tanah berada pada kedalaman kurang dari 50 cm untuk tipe C dan
lebih dari 50 cm untuk tipe D.
Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut yang
dapat diklasifikasikan menurut posisi bahan sulfidik di dalam tanah. Tanah
dengan reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut
tanah sulfat masam (acid sulphate soils). Tanah sulfat masam potensial
mengandung pirit pada jeluk > 50 cm yang bila terbuka ke udara akan terjadi
reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah tidak dapat
digunakan untuk pertanian (Suriadikarta 2005).
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut juga
merupakan bagian dari lahan pasang surut. Tanah gambut merupakan lapisan
bahan organik dengan kadar C-organik > 18% serta ketebalan 50 cm atau lebih.
Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang
belum lapuk secara sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin
hara (Agus dan Subiksa 2008).
Lahan pasang surut juga diketahui memiliki permasalahan pada tanah
gambut yang tergolong tanah suboptimal dengan tingkat kesuburan tanah yang
rendah. Gambut jika dikelola dengan sistem sawah juga akan menghasilkan asamasam organik meracun terutama derivate asam fenolat seperti p-kumarat,
p-hidroksibenzoat, vanilat, dan asam ferulat (Sabiham 1997). Asam-asam fenolat
tersebut merupakan hasil biodegradasi anaerob dari senyawa lignin dalam bahan
asal kayu-kayuan. Asam-asam organik yang bersifat fitotoksik diduga merupakan
permasalahan utama yang harus ditanggulangi sebelum mengatasi masalah
lainnya seperti pH dan unsur hara essensial bagi tanaman (Tsutsuki dan Kondo
1995).
Budidaya Jenuh Air pada Tanaman Kedelai
Pengelolaan air di lahan pasang surut bertujuan untuk menyediakan air
untuk kebutuhan evapotranspirasi tanaman, membuang kelebihan air, mencegah
terjadinya elemen toksik dan leaching elemen toksik serta mencegah penurunan
muka tanah. Pengelolaan air di lahan pasang surut dapat berupa irigasi, drainase,
konservasi, atau intersepsi. Sifatnya dapat berupa pengelolaan air bawah tanah
atau pengelolaan air permukaan (Sarwani 2001). Menurut Ghulamahdi (2011),

4
pengelolaan air di lahan pasang surut lebih tepat menggunakan budidaya jenuh air
untuk meningkatkan produksi kedelai di lahan pasang surut. Teknik budidaya ini
juga berguna untuk mengatasi kendala di lahan pasang surut seperti adanya pirit.
Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi
terus-menerus dan membuat kedalaman muka air tetap, sehingga lapisan di bawah
permukaan tanah jenuh air. Kedalaman muka air tetap akan menghilangkan
pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, karena kedelai
akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya
(Troedson et al. 1983). Budidaya jenuh air dilakukan dengan membuat kondisi
bedengan jenuh air secara terus menerus sejak 2 minggu setelah tanam (MST)
sampai masak fisiologis. Cara pemberian air pada budidaya jenuh air adalah
dengan mengalirkan air melalui saluran di antara petak-petak percobaan dengan
tinggi genangan dipertahankan maksimum 20 cm dibawah permukaan tanah
(Sagala, 2010). Pembuatan saluran dengan kedalaman muka air 20 cm akan lebih
mudah dan lebih murah dibandingkankan dengan saluran dengan kedalaman
30 cm dan 40 cm dibawah permukaan tanah. Oleh karena itu kedalaman 20 cm
merupakan kedalaman muka air yang paling cocok untuk penanaman kedelai
dengan teknologi BJA di lahan pasang surut yang mempunyai kandungan liat
tinggi (Sagala, 2010).
Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai
Gulma adalah tumbuhan yang merugikan tanaman budidaya melalui
kompetisi ruang, waktu, dan sumber nutrisi. Pengendalian gulma dilakukan
dengan tujuan untuk membatasi investasi gulma sedemikian rupa sehingga
tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan efisien serta tidak merugikan
secara ekonomi. Gulma pada tanaman kedelai menimbulkan persaingan dalam
pemanfaatan faktor-faktor tumbuh seperti cahaya, air, unsur hara, dan ruang untuk
tumbuh serta menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman tertentu (Krauz,
Kapusta, dan Mathews 1994). Pengendalian gulma sudah merupakan suatu
keharusan pada budidaya kedelai di rawa pasang surut. Umumnya petani
mengendalikan gulma secara manual dengan menggunakan tangan sehingga
sangat mahal dan tidak efisien (Sasmita et al., 2005). Kendala yang dihadapi
petani kedelai di lahan pasang surut adalah masih tingginya biaya yang
dikeluarkan petani untuk mengendalikan gulma. Saat ini, metode pengendalian
yang paling banyak dilakukan adalah secara kimiawi dengan menggunakan
herbisida (Barus, 2003). Pengendalian kimia dinilai lebih efektif untuk
mengurangi populasi gulma dibandingkan dengan pengendalian lainnya.
Penggunaan herbisida sebagai salah satu cara dalam usaha pengendalian gulma
mempunyai dampak positif yakni gulma dapat dikendalikan dalam waktu yang
relatif singkat dan mencakup areal yang luas.
Herbisida
Herbisida
pertanian untuk
penurunan hasil
senyawa organik

adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan
menekan atau memberantas tumbuhan yang menyebabkan
(Djojosumarto 2008). Bahan kimia herbisida dapat berupa
maupun anorganik, kandungan senyawa dalam herbisida akan

5
menentukan efektifitas dan daya kerja herbisida tersebut. Herbisida yang
diabsorbsi oleh akar atau masuk melalui organ lain akan ditranslokasikan ke
dalam tumbuhan menuju titik peka dari tumbuhan atau diakumulasikan pada
bagian tertentu dari tubuh tumbuhan.
Penggunaan herbisida pada budidaya tanaman ditunjukkan untuk menekan
pertumbuhan dan perkembangan gulma dan mencegah timbulnya gulma yang
berasal dari biji. Saat ini banyak herbisida yang digunakan memiliki selektivitas
tinggi, tetapi karena tanaman budidaya (padi, jagung, dan kedelai) sangat rentan
terhadap herbisida, maka timbul masalah dalam penggunaanya (De Datta 1995).
Perubahan komposisi jenis gulma terjadi dihampir semua cara pengendalian
gulma. Perubahan yang jelas terjadi karena penggunaan herbisida. Perubahan
spektrum gulma kemungkinan karena kemampuan herbisida yang tinggi terhadap
komunitas gulma jika dibandingkan dengan cara non herbisida (Utomo et al.
1955).
Penggunaan herbisida harus dilakukan secara bijaksana dengan pengertian
tepat, aman, dan benar. Hal ini mengingat bahwa selain dapat memberikan
manfaat, herbisida juga dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang
ditimbulkan diantaranya timbulnya keracunan pada manusia dan organisme bukan
sasaran, serta resistensi hama, pencemaran lingkungan, dan adanya residu
herbisida terutama di pertanaman (Daryanto 1996).
Glifosat
Glifosat (Etilen diamine), nama kimiawi N-(phosphonomethyl) glycine
merupakan herbisida sistemik non selektif yang diaplikasikan melalui daun,
mempunyai spektrum luas, bersifat translokatif kuat, tidak aktif dalam tanah,
cepat terdegradasi dan mempunyai kemampuan mengendalikan gulma annual,
biennial, dan perennial dari jenis rumput, teki, dan berdaun lebar. Gejala kematian
gulma terlihat pada 2 - 4 minggu setelah aplikasi (Lamid et al. 1998).
Herbisida glifosat bekerja dengan menghambat sintesis protein, yaitu
menghentikan penggabungan asam amino aromatik, fenil alanin, triptofan, dan
tirosin (Ashton and Craft 1981). Moenandir (1990) berpendapat bahwa gejala
umum yang terlihat pada gulma setelah aplikasi glifosat adalah klorosis yang
diikuti dengan nekrosis. Pertumbuhan kembali gulma berdaun lebar dan berkayu
menunjukkan gejala tidak normal pada daun dengan adanya bintik-bintik putih
bergaris.

Gambar 1 Struktur kimia glifosat (Franz 1985)
Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan glifosat
berpengaruh baik terhadap pengendalian gulma dan pertumbuhan serta produksi
tanaman. Mawardi (2005) melaporkan aplikasi herbisida glifosat dengan dosis
1 440 g/ha dan 1 920 g/ha mampu menekan pertumbuhan gulma. Penelitian

6
Suwarni et al. (2000) menyatakan herbisida glifosat sampai dosis 4.5 l/ha
menunjukkan hasil tertinggi pada kacang tanah.
Paraquat
Paraquat atau 1.1-dimethyl-4, 4-bipyridynium (kation) dichloride, termasuk
herbisida pasca tumbuh yang bersifat kontak. Herbisida ini tidak dapat diserap
oleh bagian tumbuhan yang tidak berwarna hijau seperti batang dan akar, serta
hanya mematikan bagian tumbuhan yang terkena butir semprot secara langsung,
sedangkan bagian lain yang tidak terkena semprot akan tetap normal (Moenandir
1990). Menurut Vencill et al. (2002) lipid hidroperoksida yang merupakan cara
kerja herbisida paraquat akan menghancurkan membran sel yang menyebabkan
pecahnya sitoplasma menjadi bagian-bagian interseluler sehingga daun akan
menjadi layu dan menguning dengan cepat. Rao (2000) menjelaskan paraquat
merupakan herbisida kontak dan bila molekul herbisida ini terkena sinar matahari
setelah berpenetrasi ke dalam daun atau bagian lain yang berwarna hijau, maka
molekul ini akan bereaksi menghasilkan hydrogen peroksida yang dapat merusak
membran sel dan seluruh organ tumbuhan.
Penelitian Adnan et al. (2012) menyatakan herbisida paraquat pada
pengamatan 14 hari setelah aplikasi (HSA) pada dosis 0.75, 1.50, dan 2.25 kg
bahan aktif/ha telah mampu mengendalikan gulma pada tanaman kedelai sebesar
100%. Juleha (2002) melaporkan bahwa herbisida pra tumbuh paraquat mampu
meningkatkan jumlah polong isi dan berat kering berangkasan tanaman kedelai
pada penerapan budidaya kedelai dengan teknologi konvensional dan olah tanah
konservasi pada beberapa cara pengendalian gulma.

Gambar 2 Struktur kimia paruquat Vencill et al. (2002)
Penoksulam
Penoksulam merupakan herbisida golongan sulfonilurea yang dapat
digunakan sebagai herbisida pasca tumbuh, setelah mempunyai 3 - 4 daun (Brown
1989; Hay 1990). Herbisida ini mempunyai spektrum yang luas dan mempunyai
sifat yang selektif (Mobreg dan Cross 1990). Penoksulam bekerja menghambat
enzim acetolactate synthase (ALS) merupakan enzim yang terbentuk saat awal
pembentukan rantai cabang asam amino (valin, isolisin dan lisin). ALS
Menghambat sintesis DNA tanaman akibat produksi asam amino terganggu.
Penoksulam memiliki spektrum luas, diabsorbsi oleh gulma terutama melalui
daun dan sebagian kecil melalui akar, kemudian ditranslokasikan. Rumus kimia
dari herbisida penoksulam adalah C16H14F5N5O5S. Penoksulam merupakan
herbisida post emergence yang digunakan pada tanaman gandum, barley, padi,
jagung, dan kedelai untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan gulma air
tertentu (Weed Science 2011). Penelitian Guntoro et al. (2013) menyatakan
bahwa aplikasi herbisida penoksulam mulai dosis 0.60 l/ha hingga 1.125 l/ha pada

7
saat 14 hari setelah transplanting dapat mengendalikan gulma umum pada
budidaya tanaman padi sawah pasang surut pada pengamatan 1 minggu setelah
aplikasi (MSA) hingga 4 MSA. Gulma dominan yang dapat dikendalikan oleh
aplikasi herbisida penoksulam antara lain Fimbristylis littoralis (golongan teki),
Ludwigia octovalvis (gulma golongan berdaun lebar), dan Cyperus iria (gulma
golongan teki).
Oksifluorfen
Oksifluorfen merupakan herbisida pra tumbuh yang bersifat selektif dan
efektif untuk mengendalikan gulma golongan berdaun lebar dan golongan rumput
pada kedelai (Moenandir 1990). Herbisida oksifluorfen ini dapat membunuh bijibiji gulma yang akan berkecambah, sehingga biji-biji gulma tersebut tidak bisa
tumbuh dan berkembang. Herbisida ini menyebabkan perobekan sel dan
berpengaruh terhadap fotosintesa setelah jaringan layu. Oksifluorfen juga
menghambat perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristem,
kerusakan jaringan lebih banyak terjadi pada bagian tajuk daripada akar
(Moenandir 1990).

Gambar 3 Struktur kimia oksifluorfen (Moenandir 1990)
Ashton dan Craft (1981) menambahkan bahwa persistensi oksifluorfen
dalam tanah yaitu sekitar 2 - 3 bulan. Herbisida ini sangat kuat diabsorbsi oleh
koloid tanah sehingga pencucian oleh air hujan sangat kecil. Oksifluorfen di
dalam tanah tahan terhadap dekomposisi oleh cahaya matahari, tetapi jika di
dalam air akan lebih cepat terdekomposisi. Oksifluorfen juga tahan terhadap
dekomposisi yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Herbisida oksifluorfen tidak menimbulkan keracunan (0%) pada takaran
satu kg produk/ha pada tanaman kedelai (Yih 1975). Tanggap tanaman kedelai
terhadap herbisida oksifluorfen terlihat pada perbaikan pertumbuhan tanaman
kedelai (tinggi tanaman, jumlah daun trifoliate, indeks luas daun, nisbah tajuk
akar, laju asimilasi bersih, laju pertumbuhan relatif dan laju pertumbuhan
tanaman) dibandingkan dengan kontrol (Soertojo 1992).

8

METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut pada tanah mineral di Desa
Banyu Urip dan tanah mineral bergambut di Desa Muliasari, Kecamatan Tanjung
Lago, Kabupaten Banyu Asin Sumatera Selatan pada bulan Juli sampai Desember
2013.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan adalah benih kedelai varietas Tanggamus
(Lampiran 1), herbisida dengan bahan aktif paraquat, glifosat, oksifluorfen, dan
penoksulam. Pupuk Urea, SP-36, KCl, Marshall, insektisida dengan bahan aktif
klorantraniliprol 50 g/l air dan fipronil 50 g/l air, semi automatic knapsack sprayer
bertekanan 1 kg/cm2 (15 - 20 psi) volume semprot 400 l/ha, nozzel T-jet warna
kuning lebar semprot 0.5 m, sungkup plastik botol air mineral, kuadran berukuran
0.5 m x 0.5 m dan alat penunjang lainnya.
Metode
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok satu faktor, yaitu jenis
herbisida. Percobaan terdiri dari 8 perlakuan masing-masing diulang sebanyak 3
kali sehingga terdapat 24 petak percobaan (Lampiran 2). Jenis perlakuan yang
diberikan yaitu:
Kontrol atau tanpa pengendalian gulma (P0), penyiangan manual
4 minggu setelah tanam (MST) (P1), aplikasi paraquat 4 MST 2 l/ha (P2), aplikasi
glifosat 4 MST 3 l/ha (P3), aplikasi oksifluorfen 3 hari sebelum tanam (HSbT)
2 l/ha (P4), aplikasi oksifluorfen 3 HSbT 2 l/ha diikuti aplikasi paraquat 4 MST
2 l/ha (P5), aplikasi oksifluorfen 3 HSbT 2 l/ha diikuti aplikasi glifosat 4 MST
3 l/ha (P6), serta aplikasi penoksulam 2 MST 1 l/ha (P7).
Model rancangan yang digunakan adalah :
Yijk = µ + τi + βj + εij
Keterangan :
Yijk = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
µ
= Rataan umum
τi
= Pengaruh perlakuan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke-j
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
Data dianalisis menggunakan analisis ragam (Analysis of variance), dengan
uji lanjut jarak berganda Duncan (Duncan multiple range test) pada taraf nyata
5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan yang dicobakan (Gomez dan
Gomez 1995).

9
Pelaksanaan
Persiapan Lahan
Lahan percobaan yaitu lahan pasang surut. Satuan petak berukuran 2 m x
3 m. Setiap ulangan dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan
kedalaman 25 cm, dengan demikian kondisi petakan akan selalu basah pada saat
air irigasi diberikan. Air irigasi diberikan sejak tanam dengan ketinggian muka air
15 cm di bawah permukaan tanah. Sebelum persiapan lahan, terlebih dahulu
dilakukan analisis vegetasi gulma menggunakan kuadran berukuran 0.5 m x 0.5 m
untuk mengetahui komposisi dan dominansi gulma yang terdapat di areal
percobaan.
Penanaman dan Pemupukan
Benih kedelai yang telah diberi insektisida berbahan aktif karbosulfan
25.53% 15 g/kg (untuk menghindari serangan lalat bibit) dan inokulan
Rhizobium sp. sebanyak 5 g/kg benih ditanam dengan cara ditugal dengan jarak
tanam 40 cm x 12.5 cm dan ditanam sebanyak 2 benih per lubang tanam (populasi
400.000 tanaman/ha) kedalaman tugal dangkal 1 - 2 cm lalu ditutup dengan tanah.
Pada saat tanam diberikan pupuk 200 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha. Pupuk
diberikan pada larikan 5 - 7 cm dari lubang tanam. Urea dengan konsentrasi
10 g/l air dalam volume semprot 400 l/ha diberikan pada 3, 4, dan 6 minggu
setelah tanam (MST).
Aplikasi Herbisida
Herbisida diaplikasikan sesuai dengan perlakuan yang dicobakan. Aplikasi
herbisida dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00 - 08.00 WIB dan
disesuaikan dengan kondisi angin dan curah hujan. Pada saat aplikasi herbisida
pasca tumbuh, sprayer yang digunakan disungkup dengan botol air mineral
plastik yang sudah di modifikasi untuk menghindarkan tanaman kedelai dari
resiko terkena semprotan paraquat dan glifosat. Penyemprotan dilakukan secara
hati-hati dengan jarak rendah dari permukaan tanah pada jalur antar baris tanaman
kedelai. Aplikasi perlakuan herbisida dilakukan dengan mempertimbangkan
keadaan tanah yang cukup kering dan angin yang tenang.
Pemeliharaan dan Panen
Penyulaman dilakukan pada minggu pertama dan kedua setelah tanam.
Pengendalian gulma dilakukan sesuai dengan perlakuan yang dicobakan.
Penyiangan secara manual menggunakan alat bantu berupa sabit atau parang.
Pengendalian hama dilakukan pada saat tanaman terlihat gejala serangan hama
dan adanya kerusakan dengan menggunakan insektisida berbahan aktif
klorantraniliprol 50 g/l air dan fipronil 50 g/l air. Tanaman kedelai dipanen saat
berumur 12 minggu setelah tanam ketika daun dan polong sudah berwarna coklat
dan kering.

10
Pengamatan
Pengamatan penelitian terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu :
1. Pengamatan Gulma
Pengamatan terhadap gulma meliputi: analisis vegetasi (jenis gulma, kerapatan,
frekuensi, bobot kering, nilai jumlah dominansi), serta koefisien komunitas.
Pengamatan dilakukan menggunakan metode kuadran dengan petak contoh
berukuran 0.5 m x 0.5 m. Pengambilan sampel gulma dengan cara gulma yang
masih segar dipotong tepat setinggi permukaan tanah, kemudian dipisahkan
setiap spesies. Bobot kering gulma diperoleh setelah dioven pada suhu 105 0C
selama 24 jam. Pengamatan gulma dilakukan 4 kali yaitu 2, 4, 6, dan 8 MST.
Pengamatan ini bertujuan untuk melihat gulma-gulma yang dominan pada tiaptiap pengamatan dan pada setiap perlakuan, dengan rumus sebagai berikut
(Moenandir 1990):
Kerapatan mutlak (KM)

= Jumlah individu jenis tertentu dalam petak contoh

Kerapatan relatif (KR)

=

Bobot kering mutlak
(BKM)
Bobot kering relatif

= Bobot kering (biomass) setiap spesies gulma
=

KM jenis tertentu
Jumlah KM semua jenis

bobot kering (biomass ) setiap spesies gulma
Jumlah nilai bobot kering mutlak semua jenis

(BKR)
Frekuensi mutlak (FM)

=

Frekuensi relatif (FR)

=

Nilai penting (NP)

= KR+BKR+FR

Nilai jumlah dominansi
(NJD)

=

Koefisien komunitas (C) =

x 100%

x 100%

Jumlah petak contoh yang berisi spesies tertentu
Jumlah semua petak contoh yang diambil
Nilai FM jenis tertentu
Jumlah nilai FM semua jenis

x 100%

Nilai penting
3
2w
a+b

x 100%

dimana :
w = jumlah terkecil dari dua komunitas
a = jumlah total kuantitas dari komunitas 1
b = jumlah total kuantitas dari komunitas 2
Nilai C diambil dari data nilai kerapatan mutlak petak (Moenandir 1990).

11
2. Pengamatan Tanaman Kedelai
Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dan dimulai sejak tanaman berumur 2
MST. Variabel pengamatan yang diamati adalah:
1. Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah sampai titik
tumbuh. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu mulai 2
MST.
2. Jumlah daun trifolia yang telah membuka sempurna pada seluruh
tanaman, trifolia daun dihitung sebagai satu unit daun dilakukan setiap
minggu mulai 2 MST.
3. Jumlah cabang yang muncul dari batang utama diamati saat panen.
4. Indeks luas daun (ILD), pengukuran dilakukan pada 2, 4, 6, dan 8
MST luas daun dihitung dengan metode gravimetri.
5. Laju asimilasi bersih (LAB), merupakan hasil asimilasi bersih dari
hasil asimilasi per satuan luas daun dan waktu yang diukur dengan
pengamatan destruktif yaitu pada 2, 4, 6, dan 8 MST. Rata-rata laju
asimilasi bersih dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Gardner
et al. 1991):


6.

7.
8.
9.

=

�2 − �1 ln 2 − ln

�2 − �1
2 − 1

1

Keterangan:
LAB = Laju asimilasi bersih (g/cm2/hari)
W1 = bobot kering tanaman pada waktu t1 (g)
W2 = bobot kering tanaman pada waktu t2 (g)
A1 = luas daun total pada waktu t1 (cm2)
A2 = luas daun total pada waktu t2 (cm2)
t1
= waktu pengamatan awal (hari)
t2
= waktu pengamatan akhir (hari)
Laju tumbuh relatif (LTR). Rata-rata laju tumbuh relatif (Relative
growth rate/LTR) yang diukur pada pengamatan destruktif yaitu pada
2, 4, 6, dan 8 MST. Perhitungan LTR menggunakan rumus berikut
(Gardner et al. 1991):
ln �2 − ln �1
��� =
�2 − �1
Keterangan:
LTR = Laju tumbuh relatif (g/hari)
W1 = bobot kering tanaman pada waktu t1 (g)
W2 = bobot kering tanaman pada waktu t2 (g)
t1
= waktu pengamatan awal (hari)
t2
= waktu pengamatan akhir (hari)
Jumlah polong isi, merupakan polong bernas yang dihitung per
tanaman.
Jumlah polong hampa, merupakan polong yang tidak ber isi dihitung
per tanaman.
Umur 50% berbunga, diamati ketika 50% populasi tanaman mulai
berbunga.

12
10. Umur panen, diamati ketika 85% daun telah menguning dan rontok
serta polong berwarna kecoklatan.
11. Bobot biji per ubinan, dihitung dari hasil ubinan yang berukuran 1 m x
1 m di setiap petak perlakuan.
12. Fitotoksisitas tanaman kedelai
Pengamatan fitotoksisitas terhadap tanaman kedelai pada saat 1 sampai
5 minggu setelah aplikasi dengan cara skoring :
0 = tidak ada keracunan, 0-5% bentuk daun atau warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman tidak normal;
1 = keracunan ringan, > 5-10% bentuk daun atau warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman tidak normal;
2 = keracunan sedang, > 10-20% bentuk daun atau warna daun dan
atau pertumbuhan tanaman tidak normal;
3 = keracunan berat, > 20-50% bentuk daun atau warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman tidak normal;
4 = keracunan sangat berat, > 50% bentuk daun atau warna daun dan
atau pertumbuhan tanaman tidak normal sampai tanaman mati.
13. Analisis tanah sebelum tanam
Analisis tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu,
dan liat), pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K,
Na, dan KTK, kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, dan
Mn, serta pirit. Tekstur tanah ditentukan dengan metode pipet.
Keasaman tanah (pH) ditentukan dengan ekstrak 1:5 menggunakan
H2O dan KCl. C organik ditentukan dengan metode kurmis. N
ditentukan dengan metode Kjeldahl. P2O5 ditentukan dengan metode
Bray I, K2O ditentukan dengan metode Morgan. Kation dan unsur hara
mikro dengan metode AAS, KTK dengan metode titrasi
(Hardjowigeno 1989).

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Umum Penelitian
Kondisi umum tanaman kedelai selama penelitian menunjukkan
pertumbuhan yang cukup baik. Kondisi cuaca dari awal penanaman sampai panen
sangat bervariasi. Pengukuran suhu, kelembaban dan curah hujan dilakukan
selama penelitian. Data pengukuran didapat dari Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) Palembang (Lampiran 3, 4, dan 5).
Rata-rata curah hujan selama penelitian yaitu 17 hari hujan/bulan dan
suhu harian rata-rata saat penelitian sekitar 27.42 oC dengan suhu harian rata-rata
maksimum dan minimum masing-masing 32.78 oC dan 24.15 oC. Menurut
Prihatman (2000) selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai
membutuhkan curah hujan antara 100 - 200 mm/bulan atau 3.33 - 6.66 mm/hari.
FAO (2011) melaporkan bahwa suhu rata-rata bulanan pada kedelai berkisar
antara 27.3 oC - 29.35 oC. Suhu minimum pertumbuhan dan produksi tanaman
kedelai sekitar 10 oC - 15 oC, namun pada suhu di bawah 18 oC dapat menurunkan
pertumbuhan kedelai dan apabila suhu lebih dari 37 oC menyebabkan tanaman
kedelai berbunga lebih awal, jumlah polong meningkat namun ukuran biji menjadi
lebih kecil. Penyinaran matahari rata-rata 55.25% dan tekanan udara 1009.27 mb.
Kelembaban di daerah penelitian rata-rata berkisar 83.5%. Arah angin terbanyak
menuju tenggara (SE) dengan kecepatan angin rata-rata 3.75 km/jam yang
termasuk kecepatan angin tinggi (Lampiran 3, 4, dan 5). Berdasarkan data
lingkungan dan syarat tumbuh kedelai, maka lokasi tersebut sesuai untuk
budidaya kedelai.
Tabel 1 Perbandingan hasil analisis tanah awal
Parameter
pH H2O
pH KCl
C-Organik
N total
P tersedia
Ca
Mg
K
Na
KTK
Al
Zn
Fe

Nilai
Tanah mineral
5.00 (masam)
4.10 (masam)
3.44 % (mineral)
0.22 % (sedang)
7.6 ppm (sedang)
4.55 me/100 g (rendah)
1.83 me/100 g (sedang)
0.28 me/100 g (rendah)
0.60 me/100 g (sedang)
24.60 me/100 g (tinggi)
1.06 me/100 g (cukup)
1.82 me/100 g (cukup)
24.25 me/100 g (tinggi)

Tanah mineral bergambut
4.30 (masam)
3.40 (masam)
33.18 % (mineral bergambut)
0.48 % (sedang)
23.2 ppm (sangat tinggi)
3.91 me/100 g (rendah)
5.40 me/100 g (tinggi)
0.10 me/100 g (rendah)
0.70 me/100 g (sedang)
30.01 me/100 g (tinggi)
4.12 me/100 g (tinggi)
5.26 me/100 g (tinggi)
17.02 me/100 g (tinggi)

Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB 2013.

Hasil analisis tanah pada Tabel 1, menunjukkan bahwa tanah mineral
bergambut mempunyai pH tergolong masam (4.30) dan pH pada tanah mineral
juga tergolong masam (5.00). Menurut Prihatman (2000), toleransi kemasaman
tanah sebagai syarat tumbuh bagi kedelai adalah 5.8 - 7.0 tetapi pada pH 4.5
kedelai masih dapat tumbuh. Kandungan C-organik pada tanah mineral sebesar

14
3.44% sedangkan pada tanah mineral bergambut lebih besar yaitu sebesar 33.18%.
Hasil analisa tanah pada Tabel 1, menunjukkan bahwa kapasitas tukar kation
(KTK) pada tanah mineral bergambut dan tanah mineral tergolong tinggi masingmasing sebesar 30.01 me/100 g dan 24.60 me/100 g.
Analisis tanah menunjukkan bahwa Al pada tanah mineral bergambut
tergolong tinggi sebesar 4.12 me/100 g sedangkan pada tanah mineral tergolong
cukup sebesar 1.06 me/100 g. Analisis tanah memperlihatkan bahwa kandungan
Fe pada tanah mineral bergambut dan tanah mineral tergolong tinggi masingmasing sebesar 17.02 me/100 g dan 24.25 me/100 g (Tabel 1). Tanaman kedelai
pada konsentrasi Al sebesar 8 ppm telah menghambat pertumbuhan akar
(Koecihan 1995). Berdasarkan data analisis tanah, maka dapat disimpulkan
tanaman kedelai cukup sesuai ditanam di areal tersebut.
Tabel 2 Data analisis air
Jenis air
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Parameter
C
N
P
K
Ca
Mg
Fe
Cu
Zn
Mn
pH
Na
NH4
NO3
C/N

Air mineral

Air mineral bergambut

172.8 ppm
27.86 ppm
1.72 ppm
12.13 ppm
2.59 ppm
12.69 ppm
0.90 ppm
0.09 ppm
0.10 ppm
Tr
6.40 ppm
14.0 ppm
1.80 ppm
31.0 ppm
6.20%

175.6 ppm
27.86 ppm
0.38 ppm
1.63 ppm
1.43 ppm
0.44 ppm
0.76 ppm
Tr
0.04 ppm
Tr
4.30 ppm
4.0 ppm
1.80 ppm
31.0 ppm
6.30%

Keterangan : Tr = tidak terbaca oleh alat.
Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB 2013.

Kandungan mineral K dan Mg pada air mineral mempunyai kandungan
yang cukup tinggi yaitu 12.13 ppm dan 12.69 ppm apabila dibandingkan dengan
kandungan K dan Mg pada air mineral bergambut yang hanya mengandung
masing-masing sebesar 1.63 ppm dan 0.44 ppm. Air mineral memiliki kemasaman
yang tinggi dengan pH 4.30 sedangkan untuk air mineral bergambut memiliki
nilai pH 6.40 yang tergolong pH netral (Tabel 2). Menurut Prihatman (2000),
toleransi kemasaman air sebagai syarat tumbuh bagi kedelai adalah 5.8 - 7.0 tetapi
pada pH 4.5 kedelai masih dapat tumbuh.
Kecambah kedelai mulai muncul di permukaan tanah pada umur 5 hari
setelah tanam (HST), tetapi pertumbuhan kurang serempak. Daun trifolia pertama
terbentuk sempurna pada umur 14 HST, pada pertanaman di tanah mineral
terdapat tanaman yang terkena pengaruh herbisida namun efek keracunan dalam
skala ringan, begitu juga pada tanah mineral bergambut tanaman kedelai
mengalami sedikit keracunan sehingga terdapat beberapa tanaman yang rusak.
Pada 21 HST mulai terlihat gejala daun menguning, terutama terjadi pada
daun yang muda tetapi pada daun tua tetap berwarna hijau. Gejala daun

15
menguning tersebut berangsur-angsur berkurang setelah pemberian N 100%
melalui daun pada umur 30 HST. Tanaman mulai muncul bunga pada kisaran
umur 40 HST.
Hama yang menyerang tanaman kedelai yaitu ulat grayak (Spodoptera
litura), serta belalang (Valanga nigricornis). Saat dilaksanakan penelitian,
penyakit yang menyerang adalah karat daun (Phakopspora pachyrhizi Syd.). Pada
stadia generatif mulai muncul serangan kepik hijau Nezara viridula. Gulma yang
banyak tumbuh di pertanaman secara keseluruhan adalah gulma golongan teki
yaitu jekeng (Cyperus iria), kemudian golongan rumput yaitu Axonopus
compresus (papahitan), Cynodon dactylon (rumput grinting) dan gulma golongan
berdaun lebar yaitu Eclipta prostata (urang-aring). Keberadaan penyakit di lahan
pertanaman kedelai yaitu penyakit karat daun pada beberapa tanaman dan bisa
diatasi dengan mencabut beberapa tanaman yang terinfeksi kemudian
membuangnya ke luar areal percobaan.
Pertumbuhan Gulma di Tanah Mineral
Hasil analisis vegetasi sebelum perlakuan pada lahan percobaan
menunjukkan gulma golongan teki yaitu Cyperus iria nilai jumlah dominansi
(NJD) sebesar 37.77% diikuti oleh golongan rumput yaitu Axonopus compressus
15.44% dan Cynodon dactylon 9.56%, jenis gulma yang mendominasi selanjutnya
adalah golongan berdaun lebar diantaranya Borreria alata 13.85%, Phylanthus
urinaria 12.87%, dan Melastoma affine 10.51% (Tabel 3).
Tabel 3 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral
No
1
2
3
4
5
6

Spesies
Cyperus iria
Axonopus compressus
Borreria alata
Phylanthus urinaria
Melastoma affine
Cynodon dactylon

Golongan
Teki
Rumput
Daun Lebar
Daun Lebar
Daun Lebar
Rumput

NJD (%)
37.77
15.44
13.85
12.87
10.51
9.56

Perlakuan berpengaruh terhadap bobot kering gulma pada 4, 6, dan 8
MST. Herbisida paraquat paling efektif menekan gulma ditunjukkan dengan bobot
kering gulma paling rendah pada 4, 6, dan 8 MST (Tabel 4).
Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral
Perlakuan
Kontrol
Penyiangan manual
Paraquat
Glifosat
Oksifluorfen
Oksifluorfen-paraquat
Oksifluorfen-glifosat
Penoksulam

2 MST
46.49a
44.75a
38.23a
47.43a
29.50a
38.42a
28.77a
46.95a

Bobot kering gulma total (g/0.25 m2)
4 MST
6 MST
57.27a
69.34a
18.92bc
31.25bc
13.72c
9.34c
27.23bc
24.22bc
25.07bc
37.40b
11.98c
13.73bc
21.55bc
27.72bc
39.59ab
34.56bc

8 MST
50.06a
16.05bc
6.67c
16.55bc
23.20b
12.72bc
18.99bc
19.54bc

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.

Perlakuan berpengaruh terhadap bobot kering gulma masing-masing
spesies. Bobot kering gulma spesies Cyperus iria terlihat paling tinggi apabila

16
dibandingkan dengan bobot kering gulma spesies lainnya, penyiangan
menggunakan herbisida paraquat mampu menurunkan bobot kering spesies
Cyperus iria pada akhir pengamatan (Tabel 5).

Paraquat

Glifosat

Oksifluorfen

Oksifluorfen-paraquat

Oksifluorfen-glifosat

Penoksulam

38.07a
32.00a
39.62a
48.28a
35.19a
35.00a
32.47a
14.56ab
25.22ab
17.17b
32.67a
28.56a
10.29b
5.94b
3.59b
41.33a
37.31a
20.28ab
19.80ab
14.86b
25.33a
26.74a
22.68ab
34.51ab
8.40b
30.33a
29.81a
10.08b
9.98b
10.52b
51.00a
22.21a
18.51ab
24.87ab
10.71b
34.67a
35.14a
31.13ab
29.48ab
16.66b

Phylanthus
urinaria

Borreria
alata

Cynodon
dactylon

Manual

0
2
4
6
8
0
2
4
6
8
0
2
4
6
8
0
2
4
6
8
0
2
4
6
8
0
2
4
6
8
0
2
4
6
8
0
2
4
6
8

Bobot kering (g/0.25 m2)
1.33bc
4.34a
3.12a
1.43a
3.69a
3.63ab
3.66a
2.16a
3.02a
3.65a
1.65a
4.28a
2.23a
1.53a
3.43a
3.33a
2.47a
2.41ab
3.14a
1.75ab 2.76ab
0.98bc
0.63b
0.78b
1.95b
0.62b
1.70b
1.22bc
0.53c
1.11b
2.66abc
2.29a
2.07ab
2.68a
1.44ab 1.36ab
0.52c
0.00b
1.89ab
1.58b
0.07b
1.21bc
1.38ab
0.06c
1.20b
3.00ab
3.00a
1.23ab
1.67a
2.61ab 1.41ab
1.05bc
0.78b
1.26ab
1.03b
0.85ab 0.66cd
1.00bcd
0.81b
0.36b
1.67abc
1.67a
1.00b
1.47a
0.64b
0.41b
0.55bc
0.12b
0.58b
0.76b
0.00b
0.05d
0.40cd
0.00c
0.33b
0.83c
3.00a
1.33ab
0.82a
1.43ab 2.25ab
0.27c
0.00b
0.43b
0.30b
0.22b
0.70cd
0.26d
0.19bc 0.70b
1.40bc
1.33a
0.87b
1.52a
0.44b
1.45ab
0.86bc
0.45b
1.05ab
0.28b
0.40b
1.07bc
0.23d
0.28bc 0.83b
1.23bc
1.85a
1.97ab
0.87a
1.49ab 5.85a
1.88b
1.24ab 2.44ab
0.39b
0.63b
1.68b
0.39cd
0.53bc 1.18b

Melastoma
affine

Kontrol

Waktu
(MST)

Axonopus
compressus

Perlakuan

Cyperus
iria

Tabel 5 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah
mineral

3.97ab
3.04a
4.00a
6.72a
4.60a
2.67ab
2.63a
0.71b
1.01b
0.56b
2.00ab
2.43a
0.20b
0.32b
0.26b
1.97ab
1.08ab
1.86b
0.50b
0.40b
0.74b
0.23b
0.53b
0.69b
0.43b
1.41ab
1.53ab
0.18b
0.80b
0.97b
1.78ab
1.10ab
0.38b
0.73b
0.51b
6.00a
1.89ab
1.90b
1.32
1.15b

2.91a
2.68a
3.12a
4.75a
4.64a
1.97a
1.98a
1.24ab
0.74b
0.47b
2.00a
1.75a
0.81ab
0.21b
0.20b
3.96a
3.33a
2.65ab
1.36b
1.23b
3.00a
0.39a
0.60ab
1.38b
1.20b
3.80a
2.58a
1.01ab
1.71b
0.68b
2.73a
1.67a
0.39b
0.37b
0.27b
2.15a
1.47a
1.06ab
2.10b
0.78b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.

Analisis vegetasi pada 2, 4, 6, dan 8 MST menunjukkan jenis herbisida
mempengaruhi nilai jumlah dominansinya pada setiap perlakuan tetapi tidak

17
terjadi pergeseran jenis gulma dominan. Dominasi gulma golongan teki Cyperus
iria lebih tinggi di setiap petak percobaan (Lampiran 6).
Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Kedelai di Tanah Mineral
Perlakuan berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai
diantaranya tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah daun trifolia dan umur
berbunga, tetapi tidak berpengaruh terhadap fisiologi tanaman kedelai yaitu ILD,
LAB, dan LTR. Aplikasi herbisida oksifluorfen yang diikuti dengan aplikasi
herbisida paraquat menghasilkan tinggi tanaman paling rendah. Pengendalian
gulma menggunakan herbisida glifosat berpengaruh meningkatkan jumlah daun
trifolia (jumlah daun trifolia paling banyak). Herbisida oksifluorfen menyebabkan
umur berbunga tanaman kedelai menjadi lebih lama (Tabel 6).
Tabel 6 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di
tanah mineral
Perlakuan
Kontrol
Manual
Paraquat
Glifosat
Oksifluorfen
Oksifluorfen-paraquat
Oksifluorfen-glifosat
Penoksulam

TT
cm
72.80ab
79.00a
69.20ab
74.20ab
61.66ab
58.33b
67.53ab
72.93ab

JC
buah
5.20abc
5.60ab
5.73a
4.33c
4.86abc
4.86abc
4.40bc
4.26c

JDT
helai
27.80ab
27.40ab
29.66a
30.06a
16.93c
20.00bc
21.40bc
26.33ab

UB
hst
39.00bc
37.66c
38.66bc
38.66bc
43.33a
40.00b
39.66bc
39.00bc

ILD
0.623a
0.543a
0.436a
0.540a
0.516a
0.596a
0.646a
0.570a

LAB
LTR
g/cm2/hari g/m2/hari
0.25x10-3a 0.041a
0.17x10-3a 0.032a
0.14x10-3a 0.026a
0.13x10-3a 0.026a
0.21x10-3a 0.038a
0.23x10-3a 0.037a
0.14x10-3a 0.025a
0.21x10-3a 0.037a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf
5%. TT (tinggi tanaman), JC (jumlah cabang), JDT (jumlah daun trifolia), UB (umur
berbunga), ILD (indeks luas daun), LAB (laju asimilasi bersih), LTR (laju tumbuh
relatif), hst (hari setelah tanam).

Analisis data pada Tabel 7 menunjukk