Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor

(1)

KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT

DALAM MENDETEKSI

SALMONELLA

SPP

PADA HATI SAPI IMPOR

NURYANI ZAINUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Nuryani Zainuddin NIM B251064074


(3)

ABSTRACT

NURYANI ZAINUDDIN. Study on the Application of ELISA as a Rapid Test for Detection of Salmonella spp in Imported Beef Liver. Under direction of DENNY W. LUKMAN and SURACHMI SETYANINGSIH.

Animals and their products are important as a major source of protein for human. However, food of animal origin can be contaminated by biological, chemical and physical agents, causing a food borne disease, therefore, their safety should be an absolute requirement as this become develops into an issue and obtain concerns from producers, consumers, decision makers and security bodies. These concerns are correlated to the human health and economical impacts in line of local, regional and global trade. To fulfill the demand of beef, offal is still imported to Indonesia including liver which has potential risks to be contaminated by Salmonella spp.

The aims of this research were to detect Salmonella spp in imported beef liver transported from and into Agricultural Quarantine Agency of Tanjung Priok Port using a commercial ELISA kit. The kit was evaluated for sensitivity and specificity to Salmonella contamination particularly in imported liver beef.

Samples size was calculated using detect disease formula and selected by random sampling. Data regarding the proportion of Salmonella positive samples were analyzed descriptively, while the kit evaluated using sensitivity and spesifisity. The agreement of the two test evaluated with kappa statistic.

Sixty samples of beef livers imported from Australia, New Zealand and Canada. The true prevalence of Salmonella spp in beef livers imported through Tanjung Priok port was 5% (n=60). Compared to the bacteriological method, the sensitivity and specificity of the RIDASCREEN® ELISA kit was estimated to be 100% and 98%, respectively. With the Kappa value of 0.848, the kit showed an excellent agreement with the bacteriological method for Salmonella spp detection. In addition, cross reaction of the anti-Salmonella antibodies against other gram negative bacteria was nil. Based on the results, it is recommended that the ELISA kit could be applied in screening test of Salmonella spp in order to support the quarantine measures.


(4)

RINGKASAN

NURYANI ZAINUDDIN. Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor. Dibimbing oleh DENNY W. LUKMAN dan SURACHMI SETIYANINGSIH.

Pangan asal hewan dan produknya sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein utama tetapi pangan asal hewan dapat terkontaminasi oleh bahaya biologis, kimiawi atau fisik yang dapat mengakibatkan foodborne diseases. Oleh karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya merupakan persyaratan mutlak dan selalu merupakan isu aktual yang perlu mendapat perhatian dari produsen, aparat, konsumen, dan para penentu kebijakan, karena selain berkaitan dengan kesehatan masyarakat, juga mempunyai dampak ekonomi pada perdagangan lokal, regional, maupun global. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi Indonesia masih mengimpor daging maupun jeroan sapi, diantaranya hati yang diketahui sangat beresiko terkontaminasi Salmonella.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi Salmonella spp pada hati sapi impor yang dilalulintaskan di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok dengan menggunakan kit ELISA komersial dan menilai sensitivitas serta spesifisitas kit ELISA komersial sebagai uji tapis dalam mendeteksi bahan makanan yang terkontaminasi Salmonella spp terutama pada hati sapi impor. Sampel yang diambil dihitung berdasarkan rumus deteksi penyakit (Thrusfield 2005). Pengujian dilakukan secara paralel dengan menggunakan kit ELISA dan metode standar (BAM 2006). Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik terhadap proporsi sampel positif Salmonella, deskriptif statistik (Kleinbaum 1994). Untuk membandingkan efektivitas antara metode pengujian ELISA dan metode konvensional, dilakukan pendugaan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, nilai prediktif negatif, dan uji kesesuaian Kappa (Thrusfield 2005).

Dari 60 sampel yang diperoleh terdapat 3 sampel positif Salmonella. Dengan tingkat kepercayaan 95% maka diperoleh true prevalence 5%, sensitivitas kit ELISA 100%, spesifisitas kit 98%, nilai prediktif positif 75%, dan nilai prediktif negatif 100%. Dari hasil analisis diperoleh nilai kappa sebesar 0.848, yang menyatakan tingkat kesesuaian yang sangat baik diantara uji menggunakan kit ELISA dan metode kultur. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa hati sapi yang diimpor sangat berisiko terkontaminasi oleh Salmonella spp bahkan bakteri patogen lainnya. Untuk mengawasi kegiatan importasi tersebut dibutuhkan pengujian yang cepat, tepat dan akurat. Sebagai pintu terdepan, Karantina Hewan selayaknya meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan impor hewan dan produk hewan terutama dari aspek kesehatan masyarakat veteriner. Oleh sebab itu, kit ELISA tersebut dapat digunakan sebagai uji tapis di karantina dalam rangka menunjang kegiatan perkarantinaan di Indonesia.


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, menuliskan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT

DALAM MENDETEKSI

SALMONELLA

SPP

PADA HATI SAPI IMPOR

NURYANI ZAINUDDIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

Judul Tesis : Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor

Nama : Nuryani Zainuddin

Nomor Pokok : B251064074

Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi Ketua

drh. Surachmi Setiyaningsih, PhD Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(8)

(9)

LEMBAR PERSEMBAHAN

Kupersembahkan thesis ini kepada:

Suamiku yang tercinta….. Anak-anakku Anita dan Rayhan….. Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya atas kekuatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema penelitian ini adalah Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor.

Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan drh. Surachmi Setiyaningsih, PhD sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas segala dukungan, bimbingan, dan arahan terhadap penulis selama penelitian dan penulisan tesis. Penulis sampaikan pula ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada, Kepala Badan Karantina Pertanian dan jajarannya yang telah memberikan beasiswa S-2 sehingga penulis dapat menempuh program pascasarjana ini.

Tak lupa juga penulis menghaturkan terima kasih kepada Manajer Program Kelas Khusus Karantina Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (PS Kesmavet) drh. Chaerul Basri, MSi serta pak Agus yang sudah membantu kelancaran studi ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan sejawat Kelas Khusus Karantina PS Kesmavet (Iswan, Muji, Risma, Rita, Era, Tatit, Endah, Yoyok, Arief, Edi, Arum, Melani, Maya, dan Duma) atas hari-hari yang indah, penuh semangat, dan penuh kenangan yang pernah kita lewati bersama.

Akhirnya ucapan terima kasih yang dalam kepada ayahanda Drs. H. Zainuddin Sialla’ dan Ibunda Dra. Hj. Mariani S, Papi dan Mami Mertua, kakak-kakak, adik dan suami tercinta Hamsuri Halim, S.Tp dan anak-anaku tersayang Anita dan Rayhan yang telah memberikan dukungan moral dan material dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT berkenan melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada kita semua. Harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk mendukung kegiatan perkarantinaan hewan di Indonesia, amien.

Bogor, Januari 2009 Nuryani Zainuddin


(11)

KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT

DALAM MENDETEKSI

SALMONELLA

SPP

PADA HATI SAPI IMPOR

NURYANI ZAINUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Nuryani Zainuddin NIM B251064074


(13)

ABSTRACT

NURYANI ZAINUDDIN. Study on the Application of ELISA as a Rapid Test for Detection of Salmonella spp in Imported Beef Liver. Under direction of DENNY W. LUKMAN and SURACHMI SETYANINGSIH.

Animals and their products are important as a major source of protein for human. However, food of animal origin can be contaminated by biological, chemical and physical agents, causing a food borne disease, therefore, their safety should be an absolute requirement as this become develops into an issue and obtain concerns from producers, consumers, decision makers and security bodies. These concerns are correlated to the human health and economical impacts in line of local, regional and global trade. To fulfill the demand of beef, offal is still imported to Indonesia including liver which has potential risks to be contaminated by Salmonella spp.

The aims of this research were to detect Salmonella spp in imported beef liver transported from and into Agricultural Quarantine Agency of Tanjung Priok Port using a commercial ELISA kit. The kit was evaluated for sensitivity and specificity to Salmonella contamination particularly in imported liver beef.

Samples size was calculated using detect disease formula and selected by random sampling. Data regarding the proportion of Salmonella positive samples were analyzed descriptively, while the kit evaluated using sensitivity and spesifisity. The agreement of the two test evaluated with kappa statistic.

Sixty samples of beef livers imported from Australia, New Zealand and Canada. The true prevalence of Salmonella spp in beef livers imported through Tanjung Priok port was 5% (n=60). Compared to the bacteriological method, the sensitivity and specificity of the RIDASCREEN® ELISA kit was estimated to be 100% and 98%, respectively. With the Kappa value of 0.848, the kit showed an excellent agreement with the bacteriological method for Salmonella spp detection. In addition, cross reaction of the anti-Salmonella antibodies against other gram negative bacteria was nil. Based on the results, it is recommended that the ELISA kit could be applied in screening test of Salmonella spp in order to support the quarantine measures.


(14)

RINGKASAN

NURYANI ZAINUDDIN. Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor. Dibimbing oleh DENNY W. LUKMAN dan SURACHMI SETIYANINGSIH.

Pangan asal hewan dan produknya sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein utama tetapi pangan asal hewan dapat terkontaminasi oleh bahaya biologis, kimiawi atau fisik yang dapat mengakibatkan foodborne diseases. Oleh karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya merupakan persyaratan mutlak dan selalu merupakan isu aktual yang perlu mendapat perhatian dari produsen, aparat, konsumen, dan para penentu kebijakan, karena selain berkaitan dengan kesehatan masyarakat, juga mempunyai dampak ekonomi pada perdagangan lokal, regional, maupun global. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi Indonesia masih mengimpor daging maupun jeroan sapi, diantaranya hati yang diketahui sangat beresiko terkontaminasi Salmonella.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi Salmonella spp pada hati sapi impor yang dilalulintaskan di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok dengan menggunakan kit ELISA komersial dan menilai sensitivitas serta spesifisitas kit ELISA komersial sebagai uji tapis dalam mendeteksi bahan makanan yang terkontaminasi Salmonella spp terutama pada hati sapi impor. Sampel yang diambil dihitung berdasarkan rumus deteksi penyakit (Thrusfield 2005). Pengujian dilakukan secara paralel dengan menggunakan kit ELISA dan metode standar (BAM 2006). Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik terhadap proporsi sampel positif Salmonella, deskriptif statistik (Kleinbaum 1994). Untuk membandingkan efektivitas antara metode pengujian ELISA dan metode konvensional, dilakukan pendugaan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, nilai prediktif negatif, dan uji kesesuaian Kappa (Thrusfield 2005).

Dari 60 sampel yang diperoleh terdapat 3 sampel positif Salmonella. Dengan tingkat kepercayaan 95% maka diperoleh true prevalence 5%, sensitivitas kit ELISA 100%, spesifisitas kit 98%, nilai prediktif positif 75%, dan nilai prediktif negatif 100%. Dari hasil analisis diperoleh nilai kappa sebesar 0.848, yang menyatakan tingkat kesesuaian yang sangat baik diantara uji menggunakan kit ELISA dan metode kultur. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa hati sapi yang diimpor sangat berisiko terkontaminasi oleh Salmonella spp bahkan bakteri patogen lainnya. Untuk mengawasi kegiatan importasi tersebut dibutuhkan pengujian yang cepat, tepat dan akurat. Sebagai pintu terdepan, Karantina Hewan selayaknya meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan impor hewan dan produk hewan terutama dari aspek kesehatan masyarakat veteriner. Oleh sebab itu, kit ELISA tersebut dapat digunakan sebagai uji tapis di karantina dalam rangka menunjang kegiatan perkarantinaan di Indonesia.


(15)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, menuliskan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(16)

KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT

DALAM MENDETEKSI

SALMONELLA

SPP

PADA HATI SAPI IMPOR

NURYANI ZAINUDDIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(17)

Judul Tesis : Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor

Nama : Nuryani Zainuddin

Nomor Pokok : B251064074

Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi Ketua

drh. Surachmi Setiyaningsih, PhD Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(18)

(19)

LEMBAR PERSEMBAHAN

Kupersembahkan thesis ini kepada:

Suamiku yang tercinta….. Anak-anakku Anita dan Rayhan….. Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian


(20)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya atas kekuatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema penelitian ini adalah Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor.

Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan drh. Surachmi Setiyaningsih, PhD sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas segala dukungan, bimbingan, dan arahan terhadap penulis selama penelitian dan penulisan tesis. Penulis sampaikan pula ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada, Kepala Badan Karantina Pertanian dan jajarannya yang telah memberikan beasiswa S-2 sehingga penulis dapat menempuh program pascasarjana ini.

Tak lupa juga penulis menghaturkan terima kasih kepada Manajer Program Kelas Khusus Karantina Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (PS Kesmavet) drh. Chaerul Basri, MSi serta pak Agus yang sudah membantu kelancaran studi ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan sejawat Kelas Khusus Karantina PS Kesmavet (Iswan, Muji, Risma, Rita, Era, Tatit, Endah, Yoyok, Arief, Edi, Arum, Melani, Maya, dan Duma) atas hari-hari yang indah, penuh semangat, dan penuh kenangan yang pernah kita lewati bersama.

Akhirnya ucapan terima kasih yang dalam kepada ayahanda Drs. H. Zainuddin Sialla’ dan Ibunda Dra. Hj. Mariani S, Papi dan Mami Mertua, kakak-kakak, adik dan suami tercinta Hamsuri Halim, S.Tp dan anak-anaku tersayang Anita dan Rayhan yang telah memberikan dukungan moral dan material dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT berkenan melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada kita semua. Harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk mendukung kegiatan perkarantinaan hewan di Indonesia, amien.

Bogor, Januari 2009 Nuryani Zainuddin


(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tanggal 26 Agustus 1976, merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Drs. H. Zainuddin Sialla’ dan Ibu Dra. Hj. Mariani.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1989 di SDN Mangkura I Ujung Pandang dan pada tahun 1992 menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 5 Ujung Pandang. Selanjutnya penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta dan lulus pada tahun 1995. Tahun 1995 penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor, pada tahun 1995 masuk Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Dokter Hewan pada tahun 2001. Selama berstatus sebagai mahasiswa, penulis pernah bertugas sebagai asisten luar biasa pada Laboratorium Histologi dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 2002 sampai akhir 2003 penulis bekerja menjadi tenaga honorer di Dinas Pehewanan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dan pada akhir tahun 2003 penulis diangkat menjadi pegawai negeri sipil di Balai Karatina Hewan Kelas I Makassar, kemudian pada bulan Mei 2006 penulis dipindahkan ke Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta, dan sejak bulan Februari 2007 penulis menjadi Kepala Seksi Pelayanan Pengujian Karantina Hewan pada Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian, Badan Karantina Pertanian. Pada Tahun 2007 penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Karantina Pertanian untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(22)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI………. x

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR GAMBAR………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN………. xiv

PENDAHULUAN Latar belakang……….. Tujuan……….. Manfaat……….... Hipotesis……….……….. 1 3 3 4 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Jerohan…….……….. Karakteristik Hati Sapi………. Mikroorganisme pada Hati………... Salmonella……… Nomenklatur Salmonella……….. Sifat dan Karakteristik Salmonella……….. Resistensi Terhadap Antibiotik……… Penyebaran Geografis……….. Sumber Infeksi dan Cara Penularan………... Salmonelosis pada Manusia………. Salmonelosis pada Hewan………... Kontaminasi Salmonella pada Hati ………. Standar Salmonella pada Pangan………. Pengujian Salmonella pada Pangan……….

5 5 8 10 10 13 14 15 16 18 19 20 22 23 BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian……….. Alat dan Bahan………... Metode Pengambilan Sampel………... Pengujian Sampel………. Pengujian Salmonella………... Analisis Data………...………. 27 27 28 29 29 32 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Jeroan……...…………. Pemeriksaan Organoleptik………... Akurasi Kit ELISA untuk Mendeteksi Salmonella... Prevalensi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor ...……... Pencemaran Salmonella pada Pangan dan Pengendaliannya…...

35 36 37 44 46


(23)

xi

SIMPULAN DAN SARAN……….. 53

DAFTAR PUSTAKA……… 54


(24)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi dan kandungan gizi hati sapi (per 100 g) ...………... 7 2 Batasan suhu, pH, dan aktivitas air (aw) optimal untuk pertumbuhan

Salmonella spp ...………. 13 3 Frekuensi rata-rata impor jeroan melalui pelabuhan Tanjung Priok ... 28 4 Hasil uji Samonella sp pada TSIA dan LIA ... 31 5 Interpretasi hasil uji biokimia dan uji serologi Salmonella ... 32 6 Tabel 2X2 untuk pengujian diagnosis ... 33 7 Hasil pengujian Salmonella spp pada hati sapi impor menggunakan

metode ELISA dan kultur ...……….. 38 8 Proporsi populasi yang diklasifikasi-silangkan berdasarkan hasil uji

dengan metode berbeda ... …………..………... 39 9 Spesifisitas kit ELISA yang di uji terhadap bakteri gram negatif dan

bakteri gram positif ...………. 41 10 Prevalensi Salmonella sp pada hati sapi yang diimpor melalui


(25)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Hati sapi ..………... 6

2 Bakteri Salmonella typhi dengan pewarnaan gram ...……... 11 3 Kegiatan impor hati, kemasan yang digunakan, dan cara pengambilan


(26)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data pengambilan sampel hati sapi impor ...………... 60 2 Skema pengujian Salmonella dengan menggunakan Kit ELISA

RIDASCREEN® Salmonella ...……….. 61 3 Skema pengujian Salmonella dengan metode kultur………... 62 4 Penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif dan true

prevalecei hati sapiimpor ...……….. 63 5 Penghitungan Kappa Statistic untuk ukuran kesepakatan ... 64 6 Data hasil pengujian sampel dengan metode ELISA dan metode


(27)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan asal hewan dan produknya sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein hewani utama karena mengandung asam-asam amino yang mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia, sehingga akan lebih mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya (IPB 1982). Namun demikian, pangan asal hewan dan produknya akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan manusia apabila tidak aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya merupakan persyaratan mutlak (Winarno 1996).

Pentingnya keamanan pangan ini sejalan dengan semakin baiknya kesadaran masyarakat akan pangan asal hewan dan produknya yang berkualitas, artinya selain nilai gizinya tinggi, produk tersebut aman dan bebas dari cemaran biologis, cemaran kimiawi atau cemaran fisik lainnya yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Oleh karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya selalu merupakan isu aktual yang perlu mendapat perhatian dari produsen, konsumen, dan para pembuat kebijakan, karena selain berkaitan dengan kesehatan masyarakat juga mempunyai dampak ekonomi pada perdagangan lokal, regional maupun internasional.

Di Indonesia kebutuhan daging sapi dan produknya masih sangat kurang. Berdasarkan data Ditkesmavet (2007), produksi daging sapi nasional sejumlah 317 411 ton, sedangkan konsumsi daging sapi nasional sebesar 371 998 ton, sehingga terdapat kekurangan ketersediaan daging sebesar 54 588 ton. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut, pemerintah memutuskan untuk mengimpor daging dan jeroan dengan komposisi 20 ribu ton daging sapi dan 34.6 ribu ton jeroan sapi.

Hati sapi yang diperoleh dari hasil penyembelihan memberikan jenis makanan alternatif yang menarik dari segi kandungan nutrisinya dan memiliki citarasa dan tekstur yang lengkap. Meskipun demikian, kualitas organoleptik hati yang bisa dimakan tersebut belum bisa diterima secara universal. Di Asia Tenggara, hati dikonsumsi dan memiliki nilai ekonomis yang kurang lebih sama


(28)

2

dengan karkas. Di Amerika Serikat, hati sapi digunakan sebagai campuran bahan baku pakan hewan, terutama hewan kesayangan seperti anjing dan kucing (pet food). Di beberapa negara di dunia hati tidak dikonsumsi manusia karena mengandung cemaran mikroba, cemaran kimiawi atau cemaran lainnya yang dapat menjadi sumber penularan penyakit dan dikenal dengan nama foodborne diseases.

Foodborne diseases adalah penyakit yang disebabkan akibat mengonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Lebih dari 250 foodborne diseases tersebar diseluruh dunia, salah satunya adalah salmonelosis (Lukman 2007). Salmonelosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Salmonella spp dan merupakan bakteri kedua penyebab gastroenteritis pada manusia di Australia dan beberapa negara lainnya di dunia, serta bertanggung jawab terhadap hampir semua wabah foodborne diseases yang terjadi (Mead et al. 1999; OzFoodNet Working Group 2003). Salmonella spp merupakan bakteri intrinsik yang dapat menginfeksi hati, karena hati sebagai salah satu media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri (Gill 1981, diacu dalam Pearson dan Dutson 1988). Prevalensi Salmonella spp untuk hati sapi pada RPH di Australia mencapai 32% (Smeltzer dan Thomas 1981b), untuk hati ayam mencapai 31.43% (Arroyo dan Arroyo 1995), dan pada hati babi mencapai 15% (Sofos et al.2002).

Impor hati sapi ke Indonesia sangat berisiko terkontaminasi dan terinfeksi Salmonella spp. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia nomor 01-6366-2000, kontaminasi Salmonella spp pada pangan asal hewan (daging, telur dan susu) adalah negatif. Walaupun penerapan SNI tersebut masih bersifat sukarela (voluntary) tetapi akan berdampak terhadap aspek kesehatan manusia. Oleh sebab itu, diperlukan tindakan pengawasan karantina terhadap kegiatan impor tersebut. Salah satu tindakan karantina yang dapat dilakukan adalah melalui pengujian laboratorium.

Standar pengujian laboratorium (gold standard) untuk mendeteksi Salmonella spp pada bahan makanan adalah dengan menggunakan metode kultur atau biakan pada media agar (BAM 2006). Metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan pekerjaan yang rumit, serta menggunakan berbagai macam bahan uji. Hal ini mengakibatkan pesatnya pengembangan berbagai metode pengujian


(29)

3

cepat untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada makanan, salah satu diantaranya adalah metode uji menggunakan teknik enzyme-linked immunosorbant assay (ELISA).

Sebagai uji serologik, ELISA menggunakan kombinasi antara antibodi spesifik dengan enzim yang berfungsi sebagai pelacak keberadaan antigen. Adanya ikatan antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui penambahan substrat yang akan terurai oleh enzim penanda tersebut dan dapat dilihat secara langsung melalui perubahan warna atau dengan menggunakan spektofotometer.

Saat ini banyak dikembangkan kit ELISA komersial untuk uji tapis terhadap Salmonella salah satunya adalah RIDASCREEN® Salmonella. Sebelum kit tersebut digunakan, maka perlu dilakukan validasi dan evaluasi terhadap sensitivitas dan spesifisitasnya sehingga hasil pengujian yang dilakukan sebagai salah satu dasar tindakan karantina untuk pemeriksaan hati sapi impor terhadap kontaminasi Salmonella menjadi tepat dan akurat.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi cemaran Salmonella spp pada hati impor yang dilalulintaskan di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok dengan menggunakan kit ELISA komersial serta mengevaluasi sensitivitas dan spesifisitas uji tersebut dengan cara membandingkan efektivitas metode pengujian ELISA dengan metode biakan konvensional sebagai uji tapis dalam mendeteksi keberadaan Salmonella spp pada hati impor.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi ilmiah yang sangat berguna bagi institusi terkait seperti Badan Karantina Pertanian (Pusat Karantina Hewan, Pusat Informasi dan Keamanan Hayati, Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian dan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok) dalam melakukan pengawasan terhadap kontaminasi Salmonella pada hati impor serta menentukan teknik dan metode yang cepat, tepat dan akurat yang dilakukan oleh institusi karantina sebagai upaya perlindungan kesehatan masyarakat veteriner. Hasil


(30)

4

penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk membuat petunjuk teknis impor hati dan sebagai bahan pertimbangan untuk melengkapi petunjuk teknis Pengujian Cemaran Mikroba pada Pangan Segar Asal Hewan nomor 468/Kpts/OT.210/L/12/2007.

Hipotesis

1. Hati yang diimpor terkontaminasi oleh Salmonella spp.

2. Kit ELISA merupakan uji tapis yang tidak handal dan tidak memiliki kesesuaian yang baik dengan metode konvensional (kultur) untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada hati sapi impor.

3. Kit ELISA dapat digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada hati sapi impor.


(31)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Jeroan

Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi. Secara teknis, daging adalah otot rangka (sceletal muscle), sedangkan offal adalah seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing dan alat reproduksi. Jeroan (edible offal) disebut juga variety meat atau fancy meat, yaitu organ atau jaringan selain otot rangka yang lazim dan layak dikonsumsi manusia yang tidak mengalami proses lebih lanjut selain dari pendinginan atau pembekuan.

Jeroan (hati, jantung, limpa, ginjal, paru dan usus) kepala, kaki dan kulit terpisah dari karkas karena bagian tersebut merupakan by-products, yaitu hasil sampingan yang berasal dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan kembali. Hasil sampingan tersebut ada yang dapat di konsumsi (edible) dan ada juga yang tidak dapat dikonsumsi (inedible). Hasil sampingan yang dapat ataupun tidak dapat dikonsumsi ditentukan oleh penerimaan konsumen, peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebersihan, tradisi yang berkembang di masyarakat dan agama yang dianut. Jeroan terdiri dari jantung, lidah, hati, daging di kepala, otak, timus dan atau pankreas, babat, usus, ginjal, ekor (Lukman et al. 2007).

Dari beberapa jeroan yang ada hati merupakan pilihan utama yang umum dikonsumsi oleh manusia selain jantung dan organ-organ lainnya. Oleh sebab itu, Indonesia memperbolehkan importasi jeroan hati dan jantung sapi. Hati memiliki nilai ekonomis karena selain diperjual belikan untuk dikonsumsi hati juga dapat digunakan sebagai bahan baku pakan hewan terutama untuk anjing dan kucing.

Karakteristik Hati

Hati tersusun atas sel-sel hati, dan dihubungkan oleh pembuluh darah dan barisan epitel sinusoid yang terletak diantara sel-sel hati. Sel hati tersusun


(32)

6 sedemikian rupa dalam lobus poligon yang saling melekat dengan bantuan jaringan penghubung. Hati melekat pada bagian anterior dinding abdominal dan diafragma oleh ligamen, serta melekat pada lambung di bagian omasum. Ketika hati akan dipisahkan maka semua ligamen tersebut harus dipotong beserta kantong empedu.

Warna hati digunakan untuk menentukan kualitas hati, Hati dengan kualitas baik biasanya berwarna merah kecoklatan sampai coklat tua, sedangkan untuk kualitas yang buruk biasanya berwarna biru sampai kehitaman (Pearson dan Dutson 1988).

Gambar 1 Hati sapi; (1) lobus kanan, (2) lobus kiri, (3) lobus kaudal, (4) lobus kuadral, (5) Arteri hepatica dan Vena porta, (6) Lymphonodus hepatica, (7) kantung empedu.

Pada saat sapi lahir, berat hati mencapai ± 2.2% dari berat hidupnya, sedangkan pada saat usia dewasa berat hati mencapai ± 1.3-1.45% dari berat hidupnya. Pada sapi dengan berat hidup 300-400 kg, perkiraan berat hati sekitar 3000-4600 g, sedangkan sapi dengan berat hidup 450-600 kg maka perkiraan berat hati akan mencapai 4000-8600 g. Berat tersebut dapat berkurang hingga 8% jika sapi diistirahatkan selama 24 jam atau akan berkurang 12% jika sapi diistirahatkan selama empat hari sebelum dilakukan penyembelihan (Pearson dan Dutson 1988).

Komposisi dan kandungan gizi hati menyerupai komposisi dan kandungan gizi daging, yaitu dengan kandungan terbesar adalah air dan protein. Oleh sebab itu, hati merupakan pangan yang sangat baik sebagai sumber protein yang


(33)

7 dibutuhkan oleh manusia. Komposisi dan kandungan gizi hati secara lengkap diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi dan kandungan gizi hati sapi (Pearson dan Dutson 1988)

Komposisi dan kandungan gizi hati Nilai (per 100 gram)

Air (g) 68.99

Protein (g) 20

Lemak (g) 3.85

Karbohidrat (g) 5.82

Energi (Kal) 143

Asam amino (g/gN) Triptofan Treonin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenylalanin Tirosin Valin Arginin Histidin Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Prolin Serin 0.09 0.286 0.286 0.588 0.434 0.158 0.096 0.333 0.248 0.386 0.393 0.171 0.373 0.601 0.847 0.358 0.330 0.300 Vitamin Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg)

Asam pantotenat (mg) B6 (mg)

Folasin (mcg) B12 (mcg)

Vitamin A (I.U) Asam askorbat (mg)

0.258 2.780 12.78 7.618 0.94 248 69.19 35 346 22.4 Mineral (mg/100g) Ca Fe Mg P K Na Zn Co Mn 6 6.82 19 318 323 73 3.92 2.763 0.264


(34)

8 Berat hati sapi dan komposisi kandungan gizi pada berbeda-beda pada setiap hewan dan juga sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu bangsa hewan (breed), jenis kelamin, jenis dan status gizinya, serta manajemen pemeliharaannya. Namun mengingat komposisi tersebut di atas, daging dan hati juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme (Lukman et al. 2007).

Mikroorganisme pada Hati

Produksi hati di rumah pemotongan hewan (RPH) banyak menimbulkan masalah terutama pada saat adanya kesalahan dalam hal penanganan, pendinginan atau pembekuan, pengemasan (pengepakan), penyimpanan, dan transportasi. Hati merupakan salah satu komoditi yang mudah rusak (perishable food) sehingga dibutuhkan penanganan yang tepat agar kualitasnya tetap terjaga sampai pada saat akan dikonsumsi.

Bakteri secara umum terdapat pada hati. Menurut Hanna et al. (1982) jumlah bakteri pada hati setelah pemotongan <104 /cm2. Apabila jumlah bakteri melebihi 105 /cm2, hal tersebut mencerminkan kemungkinan penanganan hati yang buruk atau proses pendinginan yang tidak sempurna.

Penyimpanan hati sapi pada suhu 2 °C selama 3 hari tidak menunjukkan peningkatan jumlah mikroba, tetapi setelah mencapai 4 hari maka terjadi peningkatan jumlah bakteri terutama bakteri coryneform dan Micrococcus sp. Pada hari ke-5 setelah penyimpanan umumnya ditemukan Pseudomonas sp. Penyimpanan pada suhu 30 °C selama 6-12 jam akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme, tetapi apabila disimpan pada suhu -20 °C selama 4 hari maka tidak ada pertambahan jumlah mikroorganisme.

Pada umumnya jeroan memiliki kandungan karbohidrat yang rendah dibandingkan dengan karkas, kecuali pada hati. Karbohidrat pada hati mencapai 5.3% dan sebagian besar berupa glikogen. Menurut Shelef (1975) hati yang masih segar mempunyai pH 6.3. Nilai pH tersebut akan mengalami penurunan hingga 5.9 apabila mikroba mensintesis glikogen menjadi glukosa dan memproduksi asam laktat. Hal ini menyebabkan terjadinya pembusukan pada hati.


(35)

9 Penelitian yang dilakukan Oblinger et al. (1982) dengan membandingkan mikroorganisme pada hati yang masih segar, beku, dan hati yang disimpan pada kondisi yang tidak layak. Pada hati yang masih segar umumnya ditemukan Micrococcus sp, bakteri gram negatif dan Escherichia coli. Pada hati yang disimpan beku ditemukan bakteri gram positif yang lebih dominan dibandingkan dengan Enterobacteriaceae, sedangkan Pseudomonas sp lebih banyak ditemukan pada pada hati yang tidak layak penyimpanannya.

Pada dasarnya sumber pencemaran mikroorganisme pada hati dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, sumber pencemaran dari dalam (intrinsik) dan sumber pencemaran dari luar (ekstrinsik). Hati diperoleh setelah dikeluarkan dari karkas, hati membawa mikroorganisme intrinsik dan ekstrinsik. Mikroorganisme ekstrinsik pada hati didominasi oleh bakteri-bakteri mesofilik Gram positif, terutama Micrococcus. Jenis mikroorganisme intrinsik pada umumnya hampir sama dengan jenis mikroorganisme ekstrinsik yang mengkontaminasi hati. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bakteri-bakteri intrinsik bermigrasi melalui sel-sel sinusoid hati yang terbuka pada saat eviserasi dilakukan (pelepasan hati dari karkas). Sebaliknya, jika pada mulanya terdapat sejumlah kecil bakteri intrinsik yang berada dalam jaringan hati, maka jumlah dari kontaminasi bakteri intrinsik tersebut dapat bertambah akibat adanya bakteri ekstrinsik yang menginvasi ke dalam jaringan selama pemisahan organ berlangsung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bakteri intrinsik yang diisolasi dari jaringan hati kemungkinan juga dapat berasal akibat kontaminasi dari luar.

Jumlah bakteri pada hati yang berasal dari kontaminasi ekstrinsik yaitu antara 103-105 /cm2 sedangkan jumlah kontaminasi bakteri intrinsik adalah 102 /g (Gill yang diacu dalam Pearson dan Dutson, 1988). Berdasarkan penelitian Patterson dan Gibbs (1979), jumlah cemaran mikroba pada hati yang masih segar di rumah potong hewan adalah 3.26 x 105 /cm2, sedangkan hati yang sudah didinginkan mencapai 1.28 x 106 /cm2. Menurut Shelef (1975) hati sapi akan mengalami pembusukan apabila jumlah bakteri mencapai log10 7.7/g.

Hati merupakan salah satu media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, karena hati memiliki pH >6.2 dan kaya akan glukosa (± 6 mg/g). Bakteri


(36)

10 Pseudomonas mendominasi permukaan hati selama masa penyimpanan pada suhu dingin dengan kondisi aerobik. Bakteri pembusuk lainnya yang terdapat pada permukaan hati adalah Acinetobacter, Alcaligenes, Enterobacter dan Brocothrix thermosphacta. Di sisi lain, bakteri aerobik gram negatif, Pseudomonas, Acinetobacter dan Alcaligenes tidak dapat diisolasi dari jaringan internal hati atau bukan merupakan bakteri intrinsik pada hati, tetapi didominasi oleh bakteri Lactobacillus. Bakteri gram negatif yang tumbuh dalam kondisi anaerobik fakultatif misalnya Aeromonas dan Enterobacter merupakan bakteri intrinsik yang mengkontaminasi hati.

Bakteri Lactobacillus dan bakteri fakultatif anaerob lainnya dapat diisolasi dari hati dengan penyimpanan pada suhu dingin yang dikemas menggunakan plastik-gas permeable, tetapi hanya bakteri Lactobacillus, Streptococcus dan Leuconostoc spp yang paling dominan dan dapat diisolasi dari hati yang dikemas menggunakan plastik yang telah divakum (Hanna et al. 1982).

Salmonella

Berdasarkan taksonominya, Salmonella spp dapat digolongkan sebagai berikut (Brenner 2000):

Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Salmonella

Spesies : Salmonella

Nomenklatur Salmonella

Berdasarkan klasifikasi yang diperoleh dari U.S Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO) yang dikutip dari CFSPH (2005) menyatakan bahwa terdapat dua spesies dari genus Salmonella, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica memiliki 6 subspesies yaitu: S. enterica subsp. enterica atau subspesies I; S. enterica subsp.


(37)

11 salamae atau subspesies II; S. enterica subsp. arizonae atau subspesies IIIa; S. enterica subsp. diarizonae atau subspecies IIIb; S. enterica subsp. houtenae atau subspesies IV; dan S. enterica subsp. indica atau subspecies VI.

Gambar 2 Bakteri Salmonella typhi dengan pewarnaan gram.

Sampai saat ini diketahui Salmonella mempunyai 2500 serotipe (Popoff 2001). Nama serotipe ini biasanya dikaitkan dengan tempat ditemukannya bakteri tersebut. Serotipe dari S. enterica subsp. enterica merujuk berdasarkan nama tertentu. Penulisan nama dari serotipe tersebut dapat dipersingkat dari nama lengkapnya menjadi genus dan serotipenya saja. Sebagai contoh Salmonella enterica subsp enterica ser. Enteritidis dapat ditulis menjadi Salmonella ser. Enteritidis atau Salmonella Enteritidis.

Antigen O atau antigen somatik, terdiri dari badan sel bakteri dan diperoleh dengan pemanasan suspensi bakteri selama satu jam pada suhu 80-100 °C atau dengan metode ekstraksi menggunakan alkohol panas. Prosedur ini juga dapat digunakan untuk melepaskan antigen H atau antigen flagelar. Variasi antigen O ditandai dengan nomor 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, dan 10. Berdasarkan hubungan yang erat, kelompok spesies Salmonella ditandai dengan tipe A, B, C, dan seterusnya. Spesies tunggal boleh memiliki lebih dari satu antigen O, yang dapat mempunyai satu kelompok antigen yang pada umumnya mempunyai banyak anggota dalam kelompoknya (Brenner et al. 2000).


(38)

12 Antigen H atau antigen flagelar, terdiri dari sel flagela dan dipersiapkan oleh supensi pokok bakteri ke formalin yang diduga memperbaiki flagelar di luar permukaan bakteri sehingga menutup badan sel antigen O. Antigen ini tidak tahan panas. Antigen H terdiri dari 2 fase yaitu fase spesifik dan fase non-spesifik. Fase spesifik hanya terdiri dari komponen-komponen antigen yang spesifik untuk spesies atau turunan dari organisme tersebut. Antigen-antigen ini ditandai dengan a, b, c, dan seterusnya. Fase non-spesifik ditunjukkan dengan bagian antigen dari spesies lain pada tipe kelompok lain. Antigen-antigen ini ditandai dengan 1, 2, 3, 4, dan seterusnya (Brenner et al. 2000).

Sebagian besar penulisan serotipe dari 5 subspesies S. enterica dan S. bongori merujuk berdasarkan formula antigeniknya. Formula tersebut terdiri dari penggolongan spesies/subspsies (I, II, IIIa, IIIb, IV atau VI untuk Salmonella enterica dan V untuk Salmonella bongori), antigen O (somatik) yang diikuti oleh tanda titik dua, antigen H (flagelar) fase I yang diikuti oleh tanda titik dua, dan antigen H fase 2 (jika ada). Berdasarkan hasil kesepakatan maka S. enterica subsp. houtenae dengan memiliki antigen O menunjuk 45, antigen H menunjuk g dan z51, dan tidak memiliki antigen H fase 2 dapat dituliskan sebagai Salmonella serotipe IV 45:g,z51.

Menurut Brenner et al. (2003), komponen utama dari permukaan Salmonella pada umumnya terdiri dari flagela (disebut sebagai antigen H), dan lipopolisakarida (disebut sebagai antigen O). Kedua antigen ini yang sering menyebabkan reaksi silang diantara mikroba genus Salmonella. Beberapa strain Salmonella dapat bertahan dari aktivitas fagositosis karena adanya mutasi pada gen lipopolisakarida dan kehilangan antigen O nya.

Grup subspesies I termasuk kedalam serotipe penyebab penyakit pada manusia dan hewan berdarah panas seperti S. enterica, S. typhi, S. paratyphi, S. sendai, S. typhimurium, S. enteritidis, S. cholerasuis, S. dublin, S. gallinarum, S. pullorum dan S. abortusovis. Grup subspesies II sampai dengan VI adalah serovar yang biasa ditemukan pada hewan berdarah dingin. Klasifikasi dan deteksi dari bakteri ini didasarkan pada uji serologis dan phage susceptibility assay (Baumler et al. 1998).


(39)

13

Sifat dan Karakteristik Salmonella spp

Salmonella spp adalah bakteri gram negatif yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae berbentuk batang, motil, tanpa spora, dan hidup dalam kondisi aerobik dan anaerobik fakultatif. Spesies Salmonella dibagi menjadi beberapa serotipe yang didasarkan pada lipopolisakarida (O), protein flagelar (H), dan antigen kapsular (Vi).

Salmonella spp dapat hidup secara optimal pada suhu 35-37 °C, tetapi mampu hidup pada kisaran suhu 5-47 °C (D’Aoust 2000). Kondisi pH yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri Salmonella spp sangat bervariasi, pH optimal pertumbuhannya adalah 6.5-6.7, tetapi mampu tumbuh pada kisaran pH 4.5-9.0 (Garbutt 1997).

Dalam larutan asam asetat dengan pH 5.4 dan asam sitrat pH 4.05 bakteri Salmonella spp masih dapat tumbuh (Adams dan Moss 1995). Perubahan pH yang sangat ekstrim menyebabkan bakteri akan mati. Kondisi pH optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan dengan menggunakan asidulan asam laktat dan asam asetat (D’Aoust 2000).

Tabel 2 Batasan suhu, pH, dan aktivitas air (aw) optimal untuk pertumbuhan Salmonella spp (Baumler et al. 1998)

Kondisi Minimal Optimal Maksimal Suhu (°) 5.2 35-43 46.2

pH 3.8 7.0-7.5 9.5

Aktivitas air 0.94 0.99 0.99

Salmonella spp mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit, memproduksi gas dari glukosa, memproduksi gas H2S dari pada triple sugar iron agar, dapat tumbuh pada sitrat. Indol dan urease negatif, lisin, ornitin, dekarboksilase positif. Salisin, inositol, sukrosa, dan amigdalin negatif.

Salmonella spp dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada lingkungan tertentu. Bakteri tersebut memiliki beberapa perbedaan mekanisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Foster dan Spector 1995). Hal ini yang memungkinkan bakteri tersebut mampu mempertahankan hidupnya pada


(40)

14 saat terjadi perubahan lingkungan secara tiba-tiba dan mampu bertahan pada waktu lama di lingkungan yang berbeda-beda.

Salmonella spp dapat diisolasi dari beberapa sumber termasuk dari limbah peternakan, limbah manusia, dan air. Berdasarkan hasil penelitian Forshell dan Ekesbo (1996) dan Baloda (2001), bakteri ini dapat bertahan pada bagian permukaan, kotoran, dan pada feses kering yang tidak terkena sinar matahari. Hasil penelitian menyebutkan bahwa Salmonella dapat bertahan selama 5½ tahun pada lantai tempat defekasi sapi. Salmonella cholerasuis berhasil diisolasi selama 450 hari dari daging babi dan beberapa bulan dari feses. Salmonella Typhimurium dan Salmonella dublin telah ditemukan mampu bertahan lebih dari satu tahun pada lingkungan (CFSPH 2005).

Resistensi Terhadap Antibiotik

Pada industri peternakan, pemberian antimikroba selain untuk pencegahan dan pengobatan penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan untuk memacu pertumbuhan, meningkatkan produksi, dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (Bahri et al.2000). Di Negara-negara Eropa, ada beberapa antimikroba yang diperbolehkan digunakan sebagai imbuhan pakan seperti olaquinodik, basirasin, flavomisin, monensin, salinomisin, tilosin, virginiamisin, avoparsin, dan avilamisin (Witte1997). Di Indonesia, pemanfaatan antimikroba sebagai imbuhan pakan ternak sudah dilakukan, hasil penelitian yang dilakukan Balai Penelitian Veteriner menunjukkan 71.43% (5/7) pabrik pakan di Kabupaten Bogor, Cianjur, Tangerang, Bekasi dan Sukabumi memberikan tambahan golongan tetrasiklin dan sulfonamide pada produk pakannya (Kusumaningsih 2007).

Dari kenyataan di lapangan dapat dipastikan bahwa pemakaian antimikroba sebagai imbuhan pakan ternak cenderung berlebihan dan kurang tepat. Beberapa peneliti mengkhawatirkan bahwa penggunaan antimikroba secara terus menerus dan dalam waktu lama melalui air minum atau pakan dalam konsentrasi rendah akan memicu terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba pada ternak (Bahri et al. 2000). Munculnya fenomena resistensi antimikroba pada bakteri patogen sangat berbahaya. Hal ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan


(41)

15 sifat resistensi antimikroba bakteri pada ternak dan manusia dan dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Munculnya resistensi antimikroba pada bakteri pathogen disebabkan oleh adanya peran gen resistensi baik yang bersifat permanen dalam kromosom bakteri maupun yang dapat berpindah antar bakteri melalui perpindahan plasmid atau transposon. Transfer gen resistensi antimikroba pada bakteri dari ternak ke manusia dapat pula melalui gen resistensi antimikroba yang terdapat pada pathogen komensal dan pathogen asal makanan seperti S. Enteritidis (Kusumaningsih 2007).

Gen resistensi antimikroba merupakan gen yang mengendalikan suatu enzim yang dapat merubah aktivitas kerja antimikroba spesifik menjadi produk yang tidak berbahaya sehingga bakteri tersebut dapat melindungi dirinya dari efek antimikroba yang mematikan. Gen bakteri yang mengendalikan sifat resistensi antimikroba umumnya spesifik terhadap antimikroba atau golongan antimikroba tertentu, tetapi beberapa gen resistensi dapat mengendalikan satu jenis atau golongan antimikroba yang sama. Sebagai contoh pada kloramfenikol terdapat 7 gen resistensi (Chen et al. 2004).

Penyebaran Geografis

Salmonelosis tersebar di seluruh dunia, umumnya terdapat pada lingkungan hewan. Program pemberantasan Salmonella banyak dilakukan terhadap hewan-hewan domestik dan manusia, tetapi penting diingat bahwa hewan-hewan-hewan-hewan liar merupakan reservoir Salmonella. Serotipe yang paling banyak ditemukan dari kasus salmonelosis adalah Salmonella Enteritidis dan Salmonella Typhimurium (CFSPH 2005).

Hasil surveilan di Amerika Serikat pada tahun 2002 terhadap serotipe Salmonella yang telah diisolasi dari manusia adalah Salmonella enteritidis, Salmonella typhimurium, Salmonella montevideo, Salmonella muenchen, Salmonella oranienburg, dan Salmonella saintpaul. Kemudian pada tahun yang sama CDC dan National Veterinary Services Laboratory (NVSL) melaporkan bahwa serotipe Salmonella yang berhasil diisolasi dari hewan yang secara klinis memperlihatkan gejala salmonelosis adalah Salmonella typhimurium, Salmonella


(42)

16 newport, Salmonella agona, Salmonella heidelberg, Salmonella derby, Salmonella anatum, Salmonella cholerasuis, Salmonella montevideo, Salmonella kentucky, Salmonella senftenberg, dan Salmonella dublin (CFSPH 2005).

Di Selandia Baru dan Australia, Salmonella spp telah diisolasi pada manusia dan hewan terutama Salmonella Typhimurium, tetapi Salmonella Typhimurium DT104 yang diketahui sebagai serotipe yang resisten terhadap antibiotik hanya diisolasi dari manusia pada tahun 2003 dan 2004. Prevalensi Salmonella spp pada sapi dan kambing di Selandia Baru mencapai 1-5%. Salmonella dublin merupakan serotipe yang umum terdapat pada sapi dan kambing di beberapa negara di dunia, tetapi belum pernah ditemukan di Selandia Baru (MAFNZ 2006). Di Kanada, S. typhimurium dan S. hadar telah diisolasi dari manusia dan non-manusia selama 10 tahun terakhir, sedangkan S. heidelberg, S. enteritidis, dan S. infantis juga sering diisolasi dari sampel yang diperoleh dari manusia (Kakira et al. 1997).

Sumber Infeksi dan Cara Penularan

Penularan Salmonella spp terutama terjadi melalui rute fecal-oral. Bakteri tersebut umumya terdapat di dalam saluran pencernaan dan kantung empedu hewan tanpa menimbulkan gejala klinis, kemudian secara terus menerus atau kadang-kadang dikeluarkan bersama feses. Salmonella spp dapat tinggal menetap di kelenjar getah bening mesenterika atau tonsil tanpa terjadi shedding, tetapi bakteri tersebut dapat menjadi aktif kembali akibat adanya faktor-faktor pemicu misalnya cekaman atau tekanan tanggap kebal.

S. typhi dan S. paratyphi merupakan penyebab utama salmonelosis pada manusia. Hewan merupakan reservoir dari Salmonella spp. Hampir semua pangan hewani dapat terkontaminasi oleh Salmonella spp dan kemudian dapat menyebabkan infeksi salmonelosis pada manusia. Wahana utama penyebaran Salmonella spp ke manusia adalah daging unggas, daging babi, daging sapi, telur, susu dan hasil olahannya. Pangan nabati yang terkontaminasi oleh produk hewani, ekskreta manusia, atau peralatan kotor, baik dalam proses penanganan industri maupun dapur rumah tangga, merupakan salah satu wahana penularan


(43)

17 salmonelosis pada manusia. Air yang terkontaminasi Salmonella merupakan sumber penting terhadap penularan salmonelosis.

Manusia umumnya menderita salmonelosis akibat dari mengonsumsi pangan yang terkontaminasi Salmonella. Faktor penting yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah kesalahan dalam cara memasak, waktu dan tempat penyimpanan, serta pemanasan kembali sebelum dihidangkan. Manusia dapat terinfeksi secara langsung dari hewan dan hewan kesayangan yang terkontaminasi atau terinfeksi Salmonella seperti kura-kura, monyet, hamster, anjing dan hewan reptil lainnya.

Penularan antar manusia sangat penting bila terjadi di rumah sakit dimana pasien anak-anak menjadi korban utamanya. Lalat merupakan vektor mekanis yang membawa organisme dari lingkungan terkontaminasi ke perumahan penduduk. Berdasarkan hasil penelitian Olsen dan Hammack (2000), beberapa lalat rumah seperti Musca domestica dan Hydrotaea aenescens berpotensi sebagai reservoir dan vektor dari foodborne Salmonella terutama pada unggas dengan prevalensi mencapai 13%.

Penularan dari hewan ke hewan dapat berlangsung melalui ekskreta, pakan, dan sumber air minum yang terkontaminasi oleh Salmonella spp. Di beberapa negara berkembang, sumber infeksi utama adalah kontaminasi lingkungan dan sumber air yang merupakan tempat hewan sering berkumpul. Burung (unggas) dan tikus dapat menyebarkan Salmonella spp ke hewan. Karnivora dapat terinfeksi melalui daging, telur dan produk hewan lainnya yang tidak dimasak atau melalui proses pemasakan yang tidak sempurna sebagai bahan baku pakannya. Penularan dari hewan ke hewan tidak hanya terjadi di lingkungan kandang tetapi dapat terinfeksi selama masa transportasi, pada saat di pasar hewan, dan di tempat penampungan (holding ground) RPH sebelum hewan tersebut disembelih. Penularan secara vertikal dapat terjadi pada unggas, dimana bakteri tersebut dapat menembus membran vitelin, albumen, dan kemudian masuk ke dalam kuning telur. Salmonella spp juga dapat ditransmisikan melalui rahim hewan mamalia (CFSPH 2005).


(44)

18

Salmonelosis pada Manusia

Gejala klinis salmonelosis yang paling umum pada manusia adalah gastroenteritis. Masa inkubasi penyakit pada umumnya mencapai 12 jam sampai dengan 3 hari. Demam enterik biasanya muncul setelah 10-14 hari pasca-infeksi. Pada manusia gejala klinis salmonelosis sangat bervariasi mulai dari gastroenteritis sampai terjadi septisemia. Tingkat keparahan pada setiap individu berbeda-beda, tergantung dari kondisi induk semang (host) dan tingkat virulensi dari Salmonella yang menginfeksi. Infeksi asimtomatik juga dapat terjadi.

Semua serotipe Salmonella dapat menyebabkan terjadinya salmonelosis, tetapi berbeda dalam hal gejala klinis yang dihasilkan, misalnya infeksi pada manusia yang diperoleh dari Salmonella spp yang berasal dari reptil umumnya menimbulkan gejala klinis yang sangat parah yaitu terjadi septikemia dan meningitis. Hampir semua kasus salmonelosis yang berasal dari reptil menyerang anak-anak di bawah umur 10 tahun dan pada manusia yang mengalami imunosupresi.

Gastroenteritis ditunjukkan gejala klinis seperti mual, muntah, sakit perut, diare (berdarah). Sakit kepala, demam, menggigil, dan sakit pada otot juga dapat terlihat. Dehidrasi dapat terjadi pada anak bayi dan orang tua yang terinfeksi. Kematian banyak terjadi pada anak-anak, orang tua, dan orang yang mengalami imunosupresi. Infeksi Salmonella spp. dapat menyebabkan peradangan pada organ-organ tertentu, misalnya septic arthritis, abses, endokarditis dan pneumonia.

Salmonelosis pada manusia dapat ditularkan ke orang lain dan hewan melalui feses. Shedding pada feses dapat terjadi beberapa hari bahkan sampai beberapa minggu. Manusia juga dapat bertindak sebagai carrier selama beberapa bulan. Rata-rata 0.3-0.6% pasien yang terinfeksi non-typhoidal Salmonella dapat mengalami shedding virus pada fesesnya selama satu tahun. Pada beberapa serotipe spesifik seperti Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang diketahui juga sebagai foodborne patogen dapat menyebabkan infeksi sistemik yang dikenal dengan demam tifoid dan demam paratifoid. Penyebaran penyakit ini didominasi oleh adanya kontaminasi feses orang yang sakit dan terkontaminasi pada air dan makanan.


(45)

19 Secara umum dapat dikatakan bahwa dosis infeksi, masa inkubasi, gejala klinis dan cara penularan Salmonella yang disebabkan oleh serotipe yang berbeda adalah sama, yaitu gejala klinis yang dijumpai seperti diare, demam, dan sakit pada daerah abdominal. Pada orang tua, bayi dan orang yang mengalami penurunan sistem imunitas akan terlihat lebih parah.

Salmonella Enteritidis and Salmonella Typhimurium merupakan seroptipe yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab kasus salmonelosis pada manusia. Berdasarkan laporan CDC (2002), kasus salmonelosis pada tahun 2002 disebabkan paling banyak oleh Salmonella Enteritidis yaitu 25% dari kasus yang dilaporkan, kemudian oleh Salmonella Typhimurium sebanyak 12.1%.

Salmonelosis pada Hewan

Salmonella spp telah ditemukan pada semua spesies mamalia, unggas, reptil, dan amfibi. Ikan dan invertebrata dapat juga terinfeksi. Prevalensi salmonelosis paling banyak terdapat pada unggas, babi, dan reptil. Sejauh ini infeksi Salmonella spp pada reptil ditemukan pada kura-kura, penyu, ular, dan kadal (termasuk iguana). Beberapa serotipe mempunyai hubungan yang erat dengan induk semangnya, sebagai contoh bahwa Salmonella choleraesuis menyebabkan penyakit pada babi, Salmonella abortusovis menginfeksi kambing, dan Salmonella pullorum menginfeksi unggas. Bagaimanapun sebagian besar serotipe dapat menyebabkan penyakit pada banyak induk semang (CFSPH 2005).

Masa inkubasi pada hewan sangat bervariasi. Gejala klinis pada hewan umumnya bersifat asimtomatik pada beberapa kasus infeksi salmonelosis. Gejala klinis muncul apabila hewan mengalami stres akibat transportasi, kepadatan populasi di kandang, partus, kedinginan, adanya infeksi virus dan parasit, serta perubahan pakan yang tiba-tiba. Gejala klinis yang muncul juga bervariasi tergantung pada dosis infeksi, status kesehatan hewan, serotipe dari Salmonella yang menginfeksi, dan faktor-faktor lain, misalnya Salmonella cholerasuis yang menimbulkan gejala septikemia sedangkan Salmonella typhimurium akan berhubungan dengan infeksi saluran pencernaan.

Pada sapi, gejala klinis yang umum adalah enteritis dan septikemia. Infeksi salmonelosis ditandai dengan diare, dehidrasi, depresi, rasa sakit pada bagian


(46)

20 abdominal dan anoreksia. Konsistensi feses lembek sampai dengan cair, bau, berisi reruntuhan mukosa membran dan berdarah. Demam terjadi pada awal infeksi, kematian disebabkan karena adanya dehidrasi dan toksemia. Enteritis subakut terjadi pada sapi dewasa ditandai dengan diare yang terus menerus dan kehilangan berat badan. Serotipe Salmonella yang umum dijumpai menginfeksi hewan sapi adalah S. anatum, S. dublin, S. montevideo dan S. typhimurium.

Kontaminasi Salmonella pada Hati

Pada hewan-hewan hidup, permukaan tubuhnya dapat terkontaminasi secara langsung oleh mikroorganisme yang berasal dari lingkungan atau sebaliknya. Berdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa bagian dalam dari jaringan atau karkas yang berasal dari hewan yang sehat dapat terkontaminasi oleh bakteri saprofit, kemudian bakteri tersebut menginvasi ke dalam jaringan tubuh melalui saluran pencernaan sebelum, selama, atau sesudah hewan mati ataupun terkontaminasi pada saat proses pemotongan sedang berlangsung (Pearson dan Dutson 1988).

Mikroorganisme patogen dapat merasuk ke dalam tubuh hewan hidup dan bermanifestasi pada organ-organ spesifik. Mikroba tersebut dapat bertahan untuk beberapa waktu sebelum akhirnya tereliminasi atau berpoliferasi sehingga menimbulkan gejala klinis. Mikroba patogen yang menginfeksi hewan tersebut dapat menimbulkan penyakit, tetapi terdapat pengecualian terhadap mikroorganisme patogen yang terdapat pada hewan sehat, dimana hewan tersebut tidak menimbulkan gejala klinis, sehingga mikroba tersebut disebut sebagai mikroorganisme intrinsik.

Secara umum Salmonella terdapat pada Tractus intestinal dan terbawa pada feses hewan dan manusia yang terinfeksi, sehingga banyak makanan terutama makanan asal hewan, sangat mudah terkontaminasi dan telah diidentifikasi sebagai vehicle/wahana terhadap penularan salmonelosis. Jeroan dan karkas merupakan sumber foodborne salmonelosis (EFSA 2008).

Penyimpanan hati pada kondisi aerobik dengan suhu ruangan menyebabkan E. coli dapat tumbuh dengan baik. Seperti diketahui bahwa E. coli merupakan salah satu bakteri patogen dan dapat digunakan sebagai bakteri indikator untuk


(47)

21 melihat tingkat sanitasi terhadap suatu proses penyiapan pangan asal hewan yang sedang berlangsung. Apabila jumlah E. coli melebihi standar yang sudah ditetapkan maka menunjukkan kondisi sanitasi yang buruk sehingga perlu dilakukan tindakan perbaikan dan pengendalian untuk menurunkan jumlah bakteri tersebut. Kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan E. coli merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan Salmonella dan bakteri patogen lainnya, sehingga hal ini menjadi sangat penting diperhatikan karena akan berdampak terhadap kesehatan masyarakat (Gill dan Harrison 1985).

Berdasarkan laporan dari Gill yang diacu dalam Pearson dan Dutson (1988) mikroorganisme yang telah diisolasi dari hati sapi adalah Clostridia dengan prevalensi bervariasi antara 32-75%, Clostridium perferingens dengan prevalensi 12%, bakteri gram positif berbentuk coccus prevalensinya mencapai 80%, E. coli dengan prevalensi 10% dan Salmonella berkisar 1-5%.

Sumber pencemaran dari luar dapat diperoleh akibat kontaminasi hati dari lingkungan di sekitar RPH, kulit dan isi saluran cerna (Fegan et al. 2005), air, alat-alat yang digunakan selama pemotongan, misalnya pisau dan penggantung karkas (Smeltzer dan Thomas 1981; Kusumaningrum et al. 2002), kotoran/feses (Bell 1997), udara, tangan dan pakaian pelindung pekerja (Smeltzer et al. 1980). Sedangkan sumber pencemaran dari dalam adalah adanya mikroorganisme pada hati yang berasal dari hewan yang terinfeksi pada saat masih hidup.

Perkembangan mikroorganisme pada hati dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi derajat keasaman, aktivitas air (aw), potensial oksidasi dan reduksi, nutrisi, keberadaan antimikroba, dan struktur biologis, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi suhu, kelembaban relatif, keberadaan dan konsentrasi gas, serta proses pengolahan (Garbutt 1997).

EFSA (2008) menyatakan bahwa secara umum proporsi kasus Salmonella positif pada karkas sapi dan produknya pada tahun 2001-2005 mencapai kurang lebih 1%. Proporsi sampel positif pada produk segar pada saat di RPH sekitar 0.6%, tetapi berbeda apabila produk tersebut sudah berada di pasar, yang mana sampel positif Salmonella menjadi 8.3%. Serotipe yang paling sering ditemukan pada karkas sapi dan produknya adalah S. typhimurium, kemudian diikuti oleh S. dublin dan S. enteritidis.


(48)

22 Kontaminasi Salmonella pada hati di RPH umumnya terjadi pada saat proses eviserasi dilakukan atau hewan terinfeksi oleh hewan yang sakit (mengkontaminasi lingkungan) di tempat penampungan sebelum hewan tersebut dipotong (Small et al. 2002). Penelitian yang dilakukan di RPH di Australia membuktikan bahwa kontaminasi Salmonella pada hati berhasil diisolasi sebanyak 32% setelah eviserasi dan 82% setelah pemeriksaan postmortem. Kemudian dari 50 sampel hati sapi yang diperiksa, hanya 1 sampel yang positif Salmonella pada bagian parenchyma hati. Kontaminasi Salmonella kemungkinan berasal dari Tractus gastrointestinal dan Lymphoglandula mesenterica pada saat proses eviserasi dilakukan (Samuel et al. 1980). Menurut Vanderlinde et al. (1998), di Australia dilaporkan 1.4% karkas sapi positif Salmonella di RPH untuk konsumsi domestik dan 0.27% karkas sapi positif Salmonella di RPH untuk kebutuhan ekspor. Di Amerika dilaporkan bahwa prevalensi karkas beku yang terkontaminasi Salmonella sp adalah 2.93% (Qiongzhen et al. 2004). Kontaminasi Salmonella pada karkas di RPH di Ontario Kanada mencapai 1.6 % (Johnson et al. 1999).

Standar Salmonella pada pangan

Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tahun 2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan menetapkan bahwa standar kontaminasi Salmonella sp dalam pangan asal hewan (daging, telur, dan susu) adalah negatif, sedangkan berdasarkan standar international yang mengatur tentang keamanan pangan yaitu Codex Alimentarius Commission (CAC) hanya mengatur batas maksimum kontaminasi Salmonella sp pada pangan yang siap untuk dikonsumsi. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat tidak menetapkan standar maksimal cemaran Salmonella sp, tetapi menerapkan system Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) secara ketat dan melakukan proses pencegahan, eliminasi dan mengurangi kontaminasi Salmonella sp pada pangan asal hewan. Kegiatan tersebut dievaluasi dan dipantau oleh suatu lembaga pemerintah yaitu Food Safety and Inspection Services (FSIS).


(49)

23

Pengujian Salmonella pada Pangan

Kontaminasi Salmonella pada makanan dapat dideteksi dengan mengisolasi bakteri menggunakan metode kultur pada media agar (BAM 2006) Metode ini merupakan metode standar untuk mendeteksi Salmonella spp. Metode tersebut mempunyai sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100% (Burgess 1995). Metode isolasi dan identifikasi Salmonella spp mempunyai prinsip-prinsip baku yang terdiri dari lima tahap yaitu: pra-pengayaan (pre-enrichment), pengayaan (enrichment), seleksi pada media agar, uji biokimia dan uji serologi. Pengujian dengan metode ini membutuhkan waktu yang lama yaitu sekitar 7-10 hari.

Media pra-pengayaan (pre-enrichment) dan pengayaan (enrichment) bertujuan untuk meningkatkan jumlah bakteri yang mengalami depresi atau membangkitkan kembali Salmonella yang mengalami kerusakan, sehingga memungkinkan untuk mengisolasi bakteri tersebut walaupun pada awalnya bakteri terdapat dalam jumlah yang kecil. Salmonella dapat tumbuh pada berbagai media, baik media selektif maupun media non-selektif yaitu pada agar MacConkey, eosine methylen blue, bismuth sulfit, Salmonella-Shigella, dan brilliant green.

Salmonella dapat diidentifikasi dengan uji biokimia menggunakan triple sugar iron, lysine iron, methyl red-voges proskauer, urea, indole, citrate, lysine decarboxylase, phenol red dulcitol, kalium cyanida, malonate, phenol red lactose, phenol red sucrose. Penentuan serotipe dapat dilakukan dengan uji serologi yang menggunakan antibodi terhadap antigen somatik (O), antigen flagelar (H) dan antigen kapsular (Vi). Penentuan lebih lanjut pada beberapa serotipe tertentu memerlukan identifikasi terhadap fase dan plasmid yang ada pada bakteri tersebut. Untuk karakterisasi lebih lanjut, dapat dilakukan pada laboratorium-laboratorium rujukan yang mempunyai kompetensi di bidangnya.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, beberapa ahli mengembangkan berbagai metode pengujian untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada makanan baik metode cepat (rapid test) sampai dengan metode yang sangat kompleks. Metode-metode tersebut misalnya metode yang berdasarkan pada deteksi asam nukleat, deteksi biokimia dan enzimatik,


(50)

24 meggunakan metode filtrasi membran, dan metode yang berdasarkan pada reaksi antigen dan antibodi.

Metode yang sudah dikembangkan untuk mendeteksi asam nukleat saat ini adalah metode hibridisasi dan polymerase chain reaction (Soumet et al. 1997). Pada metode hibridisasi, sekuen DNA Salmonella yang telah diketahui dan saling melengkapi serta dilabel oleh nukleotida probe dengan berbagai cara untuk mendeteksi secara langsung sekuen Salmonella. Ada dua bentuk dari metode hibridisasi yaitu fase solid hibridisasi dan fase likuid hibridisasi. Fase tersebut menunjukkan lokasi dan sekuen target selama proses hibridisasi berlangsung. Salah satu kit komersial untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada makanan dengan menggunakan prinsip hibridisasi adalah GENE-TRAK® Biolab Kanada.

Reaksi rantai polimerase atau Polymerase chain reaction yang disingkat PCR adalah teknologi dalam biologi molekular yang sudah diterapkan secara meluas untuk berbagai macam analisis biologi molekuler. Prinsip dari PCR adalah mengeksploitasi berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses tersebut, polimerase-DNA menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Di laboratorium, cetakan berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah melalui pemanasan DNA berserat ganda pada suhu mendekati titik didih. Polimerase-DNA juga memerlukan suatu wilayah berserat ganda pendek untuk memulai (“prime“) proses sintesis. Pada PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada cetakan sesuai dengan target yang diinginkan (Downes dan Ito 2001). Metode PCR untuk mendeteksi Salmonella pada makanan telah dilaporkan oleh Soumet et al. (1997).

Metode serologik merupakan salah satu metode alternatif yang dapat digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada pangan adalah metode uji aglutinasi dan enzyme linked immunosorbant assay (ELISA). ELISA merupakan teknik biokimia yang digunakan terutama di bidang immunologi untuk mendeteksi keberadaan sebuah antibodi atau antigen dalam sampel baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Adanya ikatan antara antigen dan antibodi yang berpasangan dikenali dengan menggunakan enzim spesifik dan


(51)

25 dideteksi melalui penambahan substrat yang dapat dilihat secara visual melalui perubahan warna atau dengan bantuan alat yang dikenal sebagai ELISA reader berdasarkan panjang gelombang tertentu. Metode ELISA terdiri dari beberapa konfigurasi antara lain: ELISA langsung, ELISA tidak langsung, ELISA penangkap antigen atau ELISA sandwich, ELISA penangkap antibodi, dan ELISA kompetitif atau ELISA pemblok (Burgess 1995).

ELISA langsung merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Antigen secara langsung diadsorbsikan ke suatu substrat padat. Permukaan substrat dicuci dan antibodi yang ditempeli enzim digunakan untuk menunjukkan adanya antigen. Hasilnya akan terlihat bila ditambah substrat. Konfigurasi ini memerlukan antiserum yang spesifik untuk antigen yang dimaksud. Antiserum ini harus dikonjugasikan pada enzim. Keterbatasan konfigurasi ini berkaitan dengan sifat pengikatan substrat padat dan kualitas antibodi indikator. Pembatas utama sistem ini adalah tidak adanya fleksibilitas. Sedangkan keuntungan utama adalah sistem ini sederhana. Konfigurasi ini biasanya digunakan dalam pengujian untuk mendeteksi atau mengenali suatu antigen. Adanya kontaminasi antigen dapat ditunjukkan dengan terdapatnya warna pada supernatan. Warna yang ditunjukkan tergantung dari substrat yang digunakan.

ELISA tidak langsung merupakan konfigurasi paling sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi. Antigen teradsorbsi pada substrat padat. Antibodi primer tidak berlabel dan dapat diperoleh dari serum atau cairan tubuh lain. Antibodi sekunder terikat pada enzim yang sesuai. Antibodi sekunder ini biasanya disebut sebagai konjugat. Hasil akan tampak bila ditambahkan substrat. Antigen dan antibodi sekunder biasanya dibuat konstan dan yang berubah adalah antibodi primer. Kerapatan optik (optical density) berhubungan dengan konsentrasi antibodi primer. Variasi sensitivitas dan spesifisitas dapat diperoleh dengan secara hati-hati menentukan antigen dan konjugat antibodi indikator. Kelemahan utama konfigurasi ini terletak pada tdak adanya spesifitas sebagai akibat bereaksi dengan antigen yang tidak murni.

ELISA penangkap antigen atau ELISA sandwich merupakan konfigurasi yang menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat untuk menangkap antigen secara spesifik, kemudian terdapat sejumlah variasi lebih lanjut. Jika


(52)

26 tingkat antibodi yang terdapat dalam tubuh harus di ukur. Konfigurasi sisanya serupa dengan ELISA tidak langsung. Antibodi penangkap, antigen, dan sistem indikator dibuat konstan dan yang berubah adalah titer antibodi primer untuk antigen spesifik. Jika antigen yang diukur, dapat digunakan konfigurasi serupa atau sistem indikatornya menggunakan antibodi terkonjugasi spesifik untuk antigennya. Antibodi monoklonal makin banyak dipakai untuk antibodi penangkap dan dalam sistem indikator. Konfigurasi ini mempunyai potensi untuk meningkatkan spesifisitas ELISA tidak langsung asalkan antibodi penangkapnya dapat menghindarkan penempelan antigen yang ada dalam jumlah kecil yang dapat mengganggu spesifisitas ELISA tidak langsung. Penggunaan antibodi monoklonal digabung antigen murni atau antigen yang sudah diubah dapat memperbaiki spesifisitas.

ELISA penangkap antibodi menggunakan antiglobulin yang terikat pada substrat padat. Antibodi sampel yang diuji ditangkap dan sistem indikator menempeli antigen berlabel. Spesifisitas teknik ini tidak menyebabkan masalah utama. ELISA kompetitif atau ELISA pemblok dapat digunakan pada sejumlah konfigurasi dasar. Kompetisi dapat terjadi terhadap antigen atau antibodi. Pengujian kompetisi antibodi membutuhkan antigen untuk ditangkap antibodi secara langsung maupun lewat antibodi spesifik ke substrat padat. Antibodi yang telah dikenal bersaing dengan antibodi yang tidak dikenal untuk mendapatkan tempat penempelan pada antigen. Antibodi yang telah diketahui dapat dilabel atau dapat dideteksi menggunakan antibodi spesiesnya (Crowther 1996).

Metode ELISA sebagai metode tapis dalam mendeteksi Salmonella pada makanan harus mempunyai minimal kriteria sebagai berikut, yaitu mampu mendeteksi 2500 serotipe dari Salmonella dan juga mempunyai sensitivitas yang cukup untuk mendeteksi patogen pada level tertentu, umumnya pada tahap pengayaan (enrichment). Metode ELISA sudah banyak digunakan pada bahan pangan misalnya oleh Ng et al. (1996) yang mendeteksi Salmonella pada karkas babi dengan sensitivitas dan spesifisitasnya mencapai 100% dan 99%.

Saat ini telah banyak dikembangkan kit ELISA dalam mendeteksi kontaminasi Salmonella pada makanan. Salah satu kit ELISA yang digunakan adalah RIDASCREEN@ Salmonella yang menggunakan monoclonal antibody


(53)

27 terhada antigen somatic O (dinding sel). Kit ELISA ini dibuat dengan konfigurasi ELISA sandwich untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada makanan, pakan dan sampel lingkungan dalam waktu kurang dari 22 jam. RIDASCREEN@ Salmonella merupakan kit yang fleksibel dapat digunakan untuk mendeteksi Salmonella, baik yang motil maupun yang non-motil, termasuk S. pullorum dan S. gallinarum. Proses pengujian diawali dengan menggunakan tahap pengayaan (enrichment) untuk recovery sel-sel bakteri yang rusak dan meningkatkan jumlah sel bakteri. Selanjutnya pengujian ELISA menggunakan prinsip ELISA Sandwich (R-Biofarm 2007).


(54)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yang dimulai pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2008. Pengambilan sampel dilaksanakan di Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok. Pengujian sampel dilaksanakan di Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP) Jl. Pemuda No. 64, Jakarta Timur.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari gergaji daging, kotak pendingin, tabung reaksi, cawan petri, pipet ukur 1 ml, gelas ukur, ose (sengkelit), labu erlenmeyer, stomacher, ELISA reader, sentrifus, tabung sentrifus, vortex, homogenizer ultra turrax, waterbath (36±1 °C), mikropipet berbagai ukuran, biosafety cabinet class II ESCO, dan inkubator (36±1 °C).

Bahan yang digunakan meliputi plastik sampel steril, plastik stomacher, kit ELISA RIDASCREEN®Salmonella, lactose broth (Oxoid CM0137B) , selenite cystine broth (Oxoid CM0699B), tetrathionate broth (Oxoid CM0029B), Rappaport-Vassilidiasis medium (Oxoid CM0669B), xylose lysine desoxycholate (Oxoid CM0469B), hektoen enteric agar (Oxoid CM0419B), bismuth sulfith agar (Oxoid CM0201B), triple sugar iron agar (Oxoid CM0277B), lysine iron agar (Oxoid CM0381B), methyl red-Voges Proskauer (Oxoid CM0043B), urea broth (Oxoid CM0053B), indole (Oxoid L0042), pereaksi Kovacs (Merck 1.09293.0100), KOH (JT.Baker 3140-01), α-naphtol (Merck 1.06223.0050), indikator methyl red (JT.Baker R086-02), Simmon citrate agar (Oxoid CM0155B), lysine decarboxylase broth (Oxoid CM0308B), phenol red dulcitol broth, kalium cyanida broth, malonate broth, phenol red lactose broth, phenol red sucrose broth, brain heart infusion broth (Oxoid CM0255B), Salmonella O polyvalent (Group Remel A-s) (R30858201), Salmonella H polyvalent phases 1&2 (R30858501), Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan Salmonella typhi ATCC 54136. Kontrol negatif yang digunakan yaitu Staphylococcus aureus ATCC 25923, Eschericia coli ATCC 25922, dan Shigella sonei ATCC 25931.


(55)

28

Metode Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil adalah hati sapi beku. Jumlah sampel yang diambil dihitung dengan menggunakan rumus deteksi penyakit (detect disease) berdasarkan Thrusfield (2005). Rumus untuk mendeteksi penyakit adalah sebagai berikut:

n = [1-(1-p)1/d] [N-d/2]+1] dimana:

N = jumlah populasi n = jumlah sampel

d = jumlah hati sapi yang positif Salmonella dalam populasi (diperoleh dari prevalensi x jumlah populasi)

p = tingkat kepercayaan (confident interval)

Dari data yang diperoleh, rata rata populasi jeroan yang dilalulintaskan melalui pelabuhan Tanjung Priok setiap bulannya adalah sebanyak 1 472 581 kg, dan prevalensi dugaan sebesar 5% berdasarkan laporan Gill (1981) dalam Pearson dan Dutson (1988), sehingga dengan menggunakan rumus di atas maka diperoleh 60 sampel hati. Setiap satu kali impor hati maka jumlah sampel yang diambil sebanyak 6 sampel hati, sehingga frekuensi pengambilan sampel dilakukan sebanyak 10 kali (10 shipment). Jumlah sampel yang diambil dari setiap negara pengekspor dilakukan secara proporsional dengan metode probability proportional to size (McGinn 2004). Berdasarkan data dari Teknik Metode Karantina Hewan (2008), rata-rata frekuensi pemasukan jeroan melalui pelabuhan Tanjung Priok dari setiap negara pengekpor dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Frekuensi rata-rata impor jeroan melalui pelabuhan Tanjung Priok (TMKH 2008)

Negara pengekspor Frekuensi rata-rata pemasukan/bulan Amerika Serikat

Australia Kanada Selandia Baru

4 161

4 170


(56)

29 Dengan menggunakan metode probability proportional to size (McGinn 2004), berdasarkan data pada Tabel 3 maka pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali dari Australia, 6 kali dari Selandia Baru, dan 1 kali dari Kanada sehingga jumlah sampel dari Australia sebanyak 24 sampel, Selandia Baru 30 sampel, dan Kanada 6 sampel. Penentuan 6 sampel hati yang akan diambil di instalasi dilakukan secara acak (random).

Beberapa data pendukung yang dikumpulkan antara lain: nama perusahaan pengekspor, perusahaan pengimpor, Nomor Kontrol Veteriner (NKV), tanggal produksi/pengemasan/pemotongan.

Pengujian Sampel

Sampel hati sapi diperiksa terhadap uji organoleptik atau sensorik, serta uji keberadaan Salmonella dengan metode ELISA dan kultur. Pemeriksaan organoleptik atau sensoris dilakukan dengan menggunakan pancaindra untuk menganalisis warna, bau, konsistensi, tepi hati (kebengkakan), pembendungan, ada tidaknya degenerasi, dan benjolan pada hati.

Pengujian Salmonella

Sebanyak 25 g dari masing-masing sampel dimasukkan ke dalam kantong stomacher steril dan ditambahkan 225 ml lactose broth, kemudian dihomogenkan selama 1-2 menit, dengan kecepatan 10000 rpm sampai dengan 12000 rpm. Setelah selesai, sampel dipindahkan ke dalam tabung erlenmeyer steril dan diinkubasi di inkubator pada suhu 36±1°C selama 16 jam untuk pengujian dengan metode ELISA (duplo), lalu sampel dalam tabung erlenmeyer dimasukkan kembali ke dalam inkubator hingga mencapai waktu inkubasi 24 jam untuk pengujian dengan metode kultur berdasarkan BAM (2006).

Setelah sampel diinkubasi selama 16 jam (pra-pengayaan), sebanyak 100 µl masing-masing sampel, kontrol positif, dan kontrol negatif dimasukkan ke dalam masing-masing sumur pada microplate. Microplate tersebut ditutup dan diinkubasi pada suhu 36±1 °C selama 30 menit. Setelah masa inkubasi selesai, cairan yang ada dalam microplate dibuang dan microplate tersebut dicuci sebanyak 7 kali dengan menggunakan 300 µl larutan buffer pencuci (washing


(1)

Lampiran 2 Skema pengujian Salmonella mengunakan Kit ELISA RIDASCREEN® Salmonella

Homogenisasi 25 g sampel dan 225 ml

lactose broth (inkubasi 16 Jam pada 36±1°C)

Masukkan 100 µl sampel, kontrol positif dan kontrol negatif pada microplate yg sdh dilapisi dgn antibodi somatik O (spesifik) (inkubasi 30 menit pada 36±1°C)

Pencucian 7X

Masukkan 250 µl Salmonella broth (36±1°C), tutup microplate, inkubasi pada suhu36±1°C selama 5,5 jam

Tambahkan 100 µl konjugat, tutup microplate dan inkubasikan pada suhu 36±1°C selama 30 menit

Pencucian 7X

Tambahkan 100 µl substrat khromogen, inkubasikan dalam suhu ruang dan gelap selama 15 menit. Kemudian tanbahkan 100 µl stop solution

Baca dengan ELISA reader filter dan referensi filter 450/620 nm


(2)

Lampiran 3 Skema pengujian Salmonella dengan metode kultur (BAM 2006)

PENGUJIAN SALMONELLA

BSA XLD

1. HOMOGENISASI Sampel

225 ml Lactose broth 25 gram Sampel

2. PRA-PENYUBURAN Inkubasi pada 36±1oC selama 24 jam

3. SELEKSI PENYUBURAN Inkubasi pada 36±1oC selama 24 jam

4. PLATING

Inkubasi pada 36±1oC selama 24-48 jam

6. KONFIRMASI

secara biokimia dan serologi

1 ml

5. SCREENING

diatas agar TSI dan LI Inkubasi pada suhu 36±1oC selama 24 jam (agar TSI) dan (agar LI)

BSA HE XLD 10 ml selenite cystine broth (SCB)

alkalis (merah) miring

asam (kunin) tegak*

Agar TSI Agar LI

alkalis (ungu) tegak* * Dengan atau tanpa penghitaman (produksi H2S) 10 ml

Ravapot

10 ml tetrathionate broth Vasilidiasis

(TTB) broth

(RV )

BSA HE HE XLD

BS = Bismuth sulfite agar HE = Hektoen enteric agar


(3)

Lampiran 4 Penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif dan true prevalensi hati sapi impor

Metode Uji kultur (standar) Jumlah Positif Negatif ELISA kit Positif 3 (a) 1 (b) 4 (a+b)

Negatif 0 (c) 56 (d) 56 (c+d) Jumlah 3 (a+c) 57 (b+d) 60 (n)

a. Sensitivitas = a__

(a+c) = 3 × 100 %

3 = 100%

b. Spesifisitas = d__

(b+d) = 56 × 100 %

57 = 98.24%

c. Nilai pediktif positif = a__ (a+b) = 3 × 100 %

4 = 75%

d. Nilai pediktif negatif = d__ (c+d) = 56 × 100 %

56 = 100%

e. Positif palsu = b__ (a+b) = 1 × 100 %

4 = 25%

f. Negatif palsu = c__ (c+d) = 0 × 100 %

56 = 0%

g. Prevalensi dugaan = a + b__ (n) = 4 × 100 %

60 = 6.7%

g. Prevalensi sebenarnya = a + c__ (n) = 3 × 100 %


(4)

Lampiran 5 Penghitungan kappa Statistic untuk ukuran kesepakatan (Thrusfield 2005)

Metode Uji kultur (standar) Jumlah

Positif Negatif

ELISA Kit Positif 3 1 4

Negatif 0 56 56

Jumlah 3 57 60

Proporsi positif uji baru (Kit ELISA) = 4/60 = 0.067 Proporsi positif uji standar (Kultur) = 3/60 = 0.05 Proporsi negatif uji baru (Kit ELISA) = 56/60 = 0.93 Proporsi negatif uji standar(Kultur) = 3/60 = 0.95 Proporsi Kesesuaian yang nampak = (3+56)/60 = 0.98 Kesesuaian positif yang diharapkan = 0.067 x 0.05 = 0.00335 Kesesuaian negatif yang diharapkan = 0.93 x 0.95 = 0.8835 Jumlah kesesuaian yang diharapkan = 0.88685

Selisih kesesuaian dari yang nampak = 0.98 – 0.88685 = 0.09315 (X) Selisih kesesuaian maksimum = 1 – 0.88685 = 0.11315 (Y)

Kappa = X ; 0.09315 = 0.848


(5)

Lampiran 6 Data hasil pengujian sampel dengan metode ELISA dan Metode kultur

Nomor Sampel Rataan OD Hasil ELISA Metode Kultur 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 0.059 0.057 1.821 0.133 0.058 0.056 0.073 0.063 0.106 0.080 0.080 0.079 0.117 0.128 0.122 0.092 0.077 0.060 0.048 1.625 0.104 0.092 0.051 0.224 0.094 0.072 0.055 0.056 0.061 0.066 0.055 0.073 Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif


(6)

Nomor Sampel Metode ELISA (OD) Hasil ELISA Metode Kultur 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 S. typhi E. coli S. aureus 0.086 0.164 0.070 0.075 0.091 0.061 0.073 0.074 0.044 0.089 0.081 0.080 0.079 0.078 0.064 0.740 0.064 0.048 0.053 0.055 0.077 0.051 0.057 0.102 0.067 0.066 0.058 0.068 1.941 0.054 0.046 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Kontrol Positif : 1.313

Kontrol Negatif : 0.052