Tingkat Kejadian Escherichia coli Penghasil Extended Spectrum β-Lactamase di Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Ruminansia Kota Bogor

TINGKAT KEJADIAN Escherichia coli PENGHASIL
EXTENDED SPECTRUM β-LACTAMASE DI FESES SAPI DI
RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA KOTA BOGOR

EDDY SUKMAWINATA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Kejadian
Escherichia coli Penghasil Extended Spectrum β-Lactamase di Feses Sapi di
Rumah Potong Hewan Ruminansia Kota Bogor adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015
Eddy Sukmawinata
NIM B251130011

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
EDDY SUKMAWINATA.
Tingkat Kejadian Escherichia coli Penghasil
Extended Spectrum β-Lactamase di Feses Sapi di Rumah Potong Hewan
Ruminansia Kota Bogor. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN dan
HADRI LATIF.
Escherichia coli merupakan anggota famili Enterobacteriaceae yang biasa
ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Bakteri ini memiliki
kemampuan untuk mendapatkan dan menyebarkan gen resisten terhadap
antibiotik. Salah satu mekanisme resistensi E. coli terhadap antibiotik β-laktam
adalah dengan memproduksi extended spectrum β-lactamase (ESBL). Bakteri

E. coli penghasil ESBL telah resisten terhadap sebagian besar antibiotik golongan
β-laktam termasuk generasi ketiga sefalosporin.
Rumah potong hewan
ruminansia (RPHR) dapat menjadi sumber cemaran E. coli penghasil ESBL pada
daging. Sejauh ini belum ada penelitian mengenai keberadaan E. coli penghasil
ESBL di feses sapi di Indoneisa, sehingga penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat kejadian E. coli penghasil ESBL dari sampel feses sapi di
RPHR Kota Bogor, Jawa Barat.
Penelitian dilakukan menggunakan metode cross sectional study, besaran
sampel dihitung dengan menggunakan asumsi prevalensi 50%, tingkat
kepercayaan 95%, dan tingkat kesalahan 9.13%, sehingga diperoleh besaran
sampel sebanyak 120 sampel feses di RPHR Kota Bogor. Pengujian dilakukan
dengan isolasi dan identifikasi terhadap E. coli penghasil ESBL. Uji konfirmasi
terhadap produksi ESBL dilakukan dengan metode difusi cakram berdasarkan
rekomendasi dari Clinical and Laboratory Standards Institute (2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada feses sapi potong di RPHR Kota
Bogor ditemukan E. coli penghasil ESBL sebanyak 19 sampel dari 120 sampel
yang diperiksa (15.8%). Gen CTX-M diduga lebih dominan ditemukan
dibandingkan dengan tipe yang lainnya, karena seluruh isolat menunjukkan hasil
positif saat diuji dengan sefotaksim dan sefotaksim yang dikombinasi dengan

asam klavulanat.
Keberadaan E. coli penghasil ESBL pada feses, seperti yang dilaporkan
pada penelitian ini dapat mencemari lingkungan dan produk pangan. Sifat
resistensi E. coli penghasil ESBL terhadap antibiotik dapat disebarkan ke bakteri
lain melalui plasmid.
Bakteri E. coli yang resisten terhadap antibiotik
mengakibatkan terbatasnya pilihan pengobatan. Saat ini E. coli diketahui dapat
menyebabkan bermacam penyakit intestinal dan ekstra-intestinal pada manusia,
seperti diare, infeksi saluran kemih, septisemia, dan meningitis neonatal.
Kata kunci: Escherichia coli, extended spectrum β-lactamase, feses sapi, rumah
potong hewan ruminansia

SUMMARY
EDDY SUKMAWINATA. Occurrence of Extended Spectrum β-Lactamase
Producing Escherichia coli Isolated from Cattle Feces in Bogor Slaughterhouse.
Supervised by DENNY WIDAYA LUKMAN and HADRI LATIF.
Escherichia coli belongs to the family of Enterobacteriaceae and is common
in the gastrointestinal microflora in human and animals. This bacteria has
capability to get and disseminate the resistant genes for antibiotics. One of the
currently most important resistance mechanisms in E. coli is production of the

extended spectrum β-lactamases (ESBL). Extended spectrum β-lactamases
producing E. coli confers resistance to the majority of the commonly used
β-lactam antimicrobials, including third generation cephalosporins.
The
slaughterhouse may be one of the major ESBL reservoirs in food animals. This
study was aimed to determine the occurrence of ESBL producing E. coli from
cattle feces in Bogor Slaughterhouse.
This study was conducted using a cross sectional study. The sample size
was calculated based on 95% of convidence level, 9.13% of margin of error, and
50% predicted prevalence and resulted a total of 120 samples for the study. The
study was performed by isolation and identification of ESBL producing E. coli.
Confirmation test for presence of ESBL was performed by disc diffusion test
based on recomendation from Clinical and Laboratory Standards Institute (2014).
The results showed that 19 isolates of E. coli were positive producing ESBL
(15.8%). CTX-M ESBL was presumed more dominant than others because all of
ESBL isolates showed positive results when tested by cefotaxim and cefotaxim
combining with clavulanic acid.
Extended spectrum β-lactamase producing E. coli in feceses could
contaminate the environment and foods. Resistance of ESBL producing E. coli to
antibiotics can be transmitted to other bacteria by plasmid. The presence of

ESBLs causes limited therapeutic options for bacterial infection. Escherichia coli
strains can also cause a wide variety of intestinal and extra-intestinal diseases,
such as diarrhea, urinary tract infections (UTI), septicemia, and neonatal
meningitis.
Key words: cattle feces, Escherichia coli, extended spectrum β-lactamase,
slaughterhouse

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TINGKAT KEJADIAN Escherichia coli PENGHASIL
EXTENDED SPECTRUM β-LACTAMASE DI FESES SAPI DI
RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA KOTA BOGOR


EDDY SUKMAWINATA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Sudarwanto

Prof Dr med vet Drh Mirnawati B

Judul Tesis : Tingkat Kejadian Escherichia coli Penghasil Extended Spectrum

β-Lactamase di Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Ruminansia
Kota Bogor
Nama
: Eddy Sukmawinata
NIM
: B251130011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi
Ketua

Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 9 Juli 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan nikmat dan berkah sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014
ini ialah Escherichia coli penghasil extended spectrum β-lactamase, dengan judul
Tingkat Kejadian Escherichia coli Penghasil Extended Spectrum β-Lactamase di
Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Ruminansia Kota Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya
Lukman, MSi dan Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi selaku pembimbing yang

telah banyak memberi bimbingan. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada
Prof Dr med vet Drh Mirnawati B Sudarwanto selaku Guru Besar di Bagian
Kesahatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan (FKH)
IPB. Ucapan terima kasih kepada staf laboratorium bagian Kesmavet FKH IPB,
serta teman-teman program studi Kesahatan Masyarakat Veteriner (KMV) tahun
ajaran 2013/2014 yang telah berbagi dalam suka dan duka selama kegiatan
perkuliahan dan penelitian (Drh Ai Srimulyati, Drh Siti Istiqomah, dan Khusnul
Khotimah, SSi). Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama,
istri serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan dan selalu memberi
kesehatan kepada mereka semua. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh
dari sempurna. Hal ini karena masih terbatasnya pengetahuan, kemampuan serta
pengalaman dari penulis sendiri. Penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu kedokteran hewan, khususnya mengenai kesehatan
masyarakat veteriner. Untuk itu penulis berterima kasih dan terbuka menerima
kritik dan saran yang membangun guna penulisan selanjutnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015
Eddy Sukmawinata


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


1

Manfaat Penelitian

1

2 TINJAUAN PUSTAKA

2

Escherichia coli dan Resistensinya terhadap Antibiotik β-Laktam

2

Escherichia coli Penghasil ESBL

4

Cemaran Escherichia coli Penghasil ESBL di Rumah Potong Hewan

4

Dampak Cemaran Escherichia coli Penghasil ESBL terhadap Kesehatan
Masyarakat

6

3 METODE

6

Bahan

6

Alat

7

Disain, Waktu, dan Tempat

7

Besaran Sampel

7

Penarikan Sampel

7

Analisis Laboratorium

7

Isolasi dan Identifikasi Escherichia coli Penghasil ESBL

7

Konfirmasi ESBL

9

Analisis Data

10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

10

5 SIMPULAN DAN SARAN

14

Simpulan

14

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

14

DAFTAR TABEL
1

Prevalensi E. coli penghasil ESBL pada feses sapi di beberapa negara

5

2

Hasil reaksi uji biokimia E. coli

8

3

Hasil uji konfirmasi E. coli penghasil ESBL pada feses sapi yang
10
dipotong di RPHR Kota Bogor

4

Persentase E. coli penghasil ESBL yang ditemukan berdasarkan asal sapi

12

5

Persentase E. coli yang positif ESBL berdasarkan jenis antibiotik

12

DAFTAR GAMBAR
1

Transfer gen resisten secara horisontal

3

2

Mekanisme resistensi antibiotik

3

3

Koloni diduga E. coli pada media agar MacConkey. Skala: 1 cm.

8

4

Konfirmasi ESBL dengan metode difusi cakram. ESBL positif (A)
ditunjukkan dengan Z2-Z1 ≥5 mm dan/atau Z4-Z3 ≥5 mm dan/atau
Z6-Z5 ≥5 mm. ESBL negatif (B) ditunjukkan dengan perbedaan zona
≤2 mm (Dimodifikasi dari Mast Group 2014).

9

5

Hasil uji konfirmasi E. coli penghasil ESBL (sampel nomor 45)
menggunakan sefotaksim 30 µg+asam klavulanat 10 µg (A), sefotaksim
30 µg (B), seftazidim 30 µg+asam klavulanat 10 µg (C), seftazidim 30
µg (D), sefpodoksim 10 µg+asam klavulanat 1 µg (E), dan sefpodoksim
10 µg (F). Skala: 1 cm.
12

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu tahapan terpenting dalam rantai penyediaan daging sapi di
Indonesia adalah pemotongan hewan di rumah potong hewan ruminansia (RPHR).
Penerapan higiene dan sanitasi di RPHR berpengaruh terhadap kualitas daging.
Praktik higiene dan sanitasi yang buruk di lingkungan RPHR merupakan sumber
pencemaran mikroorganisme terhadap daging yang dihasilkan (Abubakar 2014).
Escherichia coli (E. coli) merupakan salah satu cemaran yang paling banyak
ditemukan pada daging (Nørrung et al. 2009). Bakteri ini secara umum berhabitat
pada saluran pencernaan dan sering dijadikan sebagai bakteri indikator terhadap
kontaminasi fekal pada produk pangan (Ryu et al. 2012). Zurfluh et al. (2013)
menambahkan bahwa bakteri ini juga mudah menyebar ke lingkungan.
Bakteri E. coli diketahui mampu memperoleh dan mentransfer gen resisten
ke bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia (Ryu et al.
2012). Meningkatnya kejadian resistensi E. coli di dunia, khususnya galur
penghasil extended spectrum β-lactamase (ESBL) menjadi masalah yang sangat
serius (Rocha-Gracia et al. 2014). Escherichia coli penghasil ESBL telah
menunjukkan resistensi terhadap sebagian besar antibiotik golongan β-laktam,
termasuk generasi ketiga sefalosporin dengan cara menghidrolisis cincin β-laktam
(Ryu et al. 2012).
Gen resisten dapat disebarkan E. coli secara horisontal ke anggota famili
Enterobacteriaceae lainnya melalui plasmid.
Kemampuan penyebaran ini
menunjukkan bahwa pentingnya meningkatkan pemahaman mengenai faktor yang
mempengaruhi penyebaran resistensi mikroorganisme diantara manusia dan
hewan.
Evaluasi juga diperlukan terhadap peranan flora fekal dalam
menyebarkan gen resisten antibiotik sebagaimana mekanisme penyebaran
resistensi di lingkungan (Carattoli 2008).
Penelitian di bidang peternakan terkait dengan cemaran E. coli penghasil
ESBL pada sapi potong masih sangat sedikit dilakukan di Indonesia. Oleh karena
itu, penelitian mengenai E. coli penghasil ESBL di RPHR sebagai salah satu
tempat yang berisiko dapat mencemari produk daging sapi yang dihasilkan perlu
dilakukan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kejadian E. coli penghasil
ESBL di feses sapi di RPHR Kota Bogor, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah mengenai
tingkat kejadian E. coli penghasil ESBL di feses sapi di RPHR Kota Bogor.
Informasi ini dapat dijadikan referensi oleh pemerintah untuk mencegah
penyebaran E. coli penghasil ESBL ke rantai makanan dan lingkungan.

2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Escherichia coli dan Resistensinya terhadap Antibiotik β-Laktam
Escherichia coli pertama kali dilaporkan sebagai Bacterium coli commune
oleh Theodor Escherich saat mengamati bakteri berbentuk batang dari flora fekal
seorang bayi. Bakteri ini merupakan anggota famili Enterobacteriaceae dan biasa
ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan hewan (Whagela 2004; Bhunia
2008). Escherichia coli adalah bakteri Gram negatif, tidak membentuk spora,
berbentuk batang dengan ukuran 1.1–1.5 µm × 2.0–6.0 µm, motil atau tidak motil
dengan flagela serta dapat tumbuh dengan atau tanpa oksigen, memfermentasi
laktosa, dan dapat bertahan pada media sedikit nutrisi (Bell dan Kyriakides 2002).
Bakteri ini dapat dijadikan sebagai indikator yang baik dalam menilai
kualitas mikrobiologi pangan dibandingkan dengan bakteri lain. Hal ini
dikarenakan E. coli mampu bertahan pada media yang kurang baik untuk
pertumbuhan bakteri pada umumnya seperti air, lantai, dan permukaan benda mati
lainnya. Keberadaan E. coli pada daging dapat berasal dari feses yang
mengontaminasi daging selama pemotongan (Suandy 2011). Jumlah E. coli dari
setiap gram feses berkisar 106–109 koloni (Whagela 2004).
Escherichia coli dapat berperan sebagai reservoir gen resisten terhadap
antibiotik (Blanc et al. 2006; Suandy 2011). Penyebaran gen resisten oleh E. coli
ke bakteri patogen dapat terjadi pada saluran pencernaan dan lingkungan (Ryu et
al. 2012). Bakteri ini sering digunakan sebagai indikator dalam melakukan
monitoring dan surveilans terhadap keberadaan bakteri resisten antibiotik karena
teknik isolasinya yang mudah dan efesien (Nhung et al. 2014).
Resistensi antibiotik didefinisikan sebagai ketahanan mikroorganisme
terhadap antibiotik yang sebelumnya mikroorganisme tersebut sensitif. Kejadian
resistensi antibiotik merupakan konsekuensi dari kesalahan penggunaan antibiotik
dan perkembangan mikroorganisme dengan bermutasi (Dierikx 2013).
Giedraitienė et al. (2011) menambahkan bahwa resistensi antibiotik yang sering
dilaporkan adalah resistensi terhadap antibiotik β-laktam.
Antibiotik β-laktam masih digunakan secara luas untuk pengobatan hewan
dan manusia. Penamaan β-laktam karena antibiotik ini memiliki struktur cincin
β-laktam yang menjadi bagian aktif dari antibiotik. Antibiotik ini dapat dibagi ke
dalam kelas besar seperti penisilin, sefalosporin (generasi 1, 2, 3, dan 4),
karbapenem, dan monobaktam.
Penggunaan antibiotik ini juga sering
dikombinasikan dengan β-laktamase inhibitor seperti asam klavulanat. Asam
klavulanat tidak memiliki aktifitas antimikroba, namun hanya sebagai penghambat
enzim yang mendegradasi β-laktam (β-laktamase) (Dierikx 2013).
Mekanisme resistensi terhadap antibiotik dapat terjadi secara biokimia atau
genetik. Secara biokimia, resistensi dapat terjadi melalui inaktivasi antibiotik,
modifikasi target, efflux pumps, dan merubah permeabilitas dari outer membrane.
Aspek genetik dari resistensi adalah dengan mutasi dan transfer material genetik
secara horisontal meliputi, transformasi, transduksi, dan konjugasi. Transformasi
terjadi saat bakteri mendapatkan DNA secara pasif dari bakteri sekitar yang telah
mati. Transduksi merupakan pengambilan DNA dengan bantuan bakteriofage
yang memindahkan DNA-nya ke dalam sel bakteri. Konjugasi merupakan

3
pengambilan secara aktif fragmen dari DNA (plasmid) yang berisikan gen bakteri
(Davies dan Davies 2010). Mekanisme terjadinya transfer gen resisten secara
horisontal dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Transfer gen resisten secara horisontal (Todar 2011)
Mekanisme terjadinya resistensi oleh bakteri terhadap antibiotik β-laktam
dapat terjadi melalui empat cara: 1) perubahan penicillin binding protein (PBPs)
pada setiap jalur yang menyebabkan lemahnya afinitas cincin β-laktam terhadap
PBPs, 2) memiliki dinding sel yang tidak mampu ditembus oleh molekul
antibiotik untuk penetrasi ke dalam sel, 3) mengaktifkan mekanisme “efflux
pumps” terhadap antibiotik oleh sel, dan 4) memproduksi enzim yang mampu
menginaktifasi β-laktam (β-laktamase) (Dierikx 2013). Gambar 2 menunjukkan
mekanisme terjadinya resistensi terhadap antibiotik.

Gambar 2 Mekanisme resistensi antibiotik (Todar 2011)

4
Meningkatnya kejadian E. coli penghasil ESBL pada pangan asal hewan
menjadi banyak diperbincangkan. Inaktifasi β-laktam oleh enzim β-laktamase
diketahui mampu menyebabkan bakteri resisten terhadap sefalosporin (Carattoli
2008).
Kejadian ini menimbulkan masalah global terhadap keberhasilan
pengobatan baik pada manusia maupun pada hewan (Davies dan Davies 2010).

Escherichia coli Penghasil ESBL
Organisme penghasil ESBL saat ini menjadi tantangan bagi ahli
mikrobiologi, praktisi, profesional pengendalian infeksi, dan peneliti. Extended
spectrum β-lactamase merupakan enzim yang mampu menghidrolisis penisilin,
sefalosporin spektrum luas, dan monobaktam (Rupp dan Fey 2003). Organisme
ESBL dilaporkan masih sensitif terhadap sefamisin (sefoksitin dan sefotetan) atau
karbapenem (meropenem atau imipenem) (CDC 2010).
Gen ESBL berlokasi pada plasmid yang merupakan potongan
ekstrakromosom dari DNA yang penting untuk pertumbuhan bakteri. Plasmid
mampu bereplikasi sendiri dan berisikan faktor virulensi (gen resisten).
Penyebaran gen resisten melalui plasmid dapat terjadi dari bakteri ke bakteri yang
berbeda spesies (Dierikx 2013). Karakteristik di atas menjadikan ESBL termasuk
ke dalam kategori β-laktamase kelas A (Ghafourian et al. 2014).
Terdapat tiga gen utama pengode ESBL yaitu, TEM, SHV, dan CTX-M
(Johns et al. 2012). Gen ESBL tipe TEM merupakan turunan dari β-laktamase
tipe TEM-1 dan TEM-2. Berbeda dengan ESBL tipe TEM, sebagian kecil
β-laktamase tipe SHV merupakan turunan dari SHV-1 dan sebagian besar melalui
perubahan serin menjadi glisin pada posisi 238. Sebagian SHV lainnya
mengalami perubahan lisin menjadi glutamat pada posisi 240. Residu serin pada
posisi 238 mampu menghidrolisis seftazidim dan residu lisin pada posisi 240
mampu menghidrolisis sefotaksim. Hal yang berbeda juga diperlihatkan oleh
ESBL tipe CTX-M yang tidak memiliki titik mutasi. CTX-M diidentifikasi
berasal dari kromosom Kluyvera spp. dan mengalami perubahan bentuk di
plasmid (Ghafourian et al. 2014). Gen CTX-M merupakan grup baru dari ESBL
dan menjadi emerging secara global dalam dekade terakhir. β-laktamase CTX-M
saat sekarang memiliki tingkat kejadian yang paling tinggi dari tipe ESBL lainnya
di dunia. Cepatnya penyebaran ESBL tipe CTX-M yang dihasilkan E. coli
menjadi masalah yang mendapat perhatian dari bidang kedokteran dan kedokteran
hewan (Tamang et al. 2014).

Cemaran Escherichia coli Penghasil ESBL di Rumah Potong Hewan
Rumah potong hewan (RPH) dapat menjadi sumber cemaran E. coli
penghasil ESBL pada produk daging yang dihasilkan (Reich et al. 2013). Hewan
sehat pada tempat penampungan di RPH dapat terinfeksi E. coli penghasil ESBL
tanpa menunjukkan gejala klinis dan menjadi sumber kontaminasi (Reich et al.
2013; Haenni et al. 2014). Selama proses di RPH, kontaminasi paling sering
terjadi pada saat proses eviserasi (Salvadori et al. 2004; Bhunia 2008;
Horton et al. 2011).

5
Kejadian E. coli penghasil ESBL secara rutin diobservasi dan sering
dilaporkan di beberapa negara. Cemaran E. coli penghasil ESBL di tempat
pemotongan sapi di Swiss pada populasi yang berumur kurang dari dua tahun
menunjukkan prevalensi sebesar 8.4% (84/571) (Reist et al. 2013). Prevalensi
E. coli penghasil ESBL dari hasil penelitian yang dilakukan pada feses sapi perah
di Jerman diketahui sebesar 60% (6/10) (Friese et al. 2013). Tingkat kejadian
E. coli penghasil ESBL pada feses sapi di beberapa negara diringkas pada Tabel 1.
Tabel 1 Prevalensi E. coli penghasil ESBL pada feses sapi di beberapa negara
Lokasi

Prevalensi

Pustaka

Peternakan sapi
potong, Inggris

8.6% (3/35); ESBL
CTX-M

Horton et al. (2011)

Rumah potong
hewan Shizuoka,
Jepang

12.5% (2/16)

Hiroi et al. (2011)

Penggemukan sapi
potong, Inggris

32.9% (29/88)

Cottell et al. (2013)

Peternakan sapi
potong, Perancis

 65.7% (134/204);
ESBL CTX-M-1
 4.0% (8/204); ESBL
CTX-M-2
 26.9% (55/204); ESBL
CTX-M-9

Valat et al. (2012)

Rumah potong
hewan, Swiss

8.4% (84/571)

Reist et al. (2013)

Peternakan sapi
perah, Jerman

60% (6/10)

Friese et al. (2013)

Peternakan sapi
potong; Bavaria
bagian selatan,
Jerman

32.8% (196/598)

Schmid et al. (2013)

Tempat
penampungan sapi di
RPH, Perancis

29.4% (143/489)

Haenni et al. (2014)

Tingkat kejadian E. coli penghasil ESBL di beberapa negara terus
mengalami peningkatan (Rupp dan Fey 2003). Perspektif keamanan pangan
menyebutkan bahwa keberadaan E. coli penghasil ESBL pada hewan potong
meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi pada karkas dan daging ritel
(Ramos et al. 2013). Cemaran E. coli penghasil ESBL ditemukan sebanyak
64.5% (91/141) di tempat penjualan produk daging di Navara, Spanyol dengan
cemaran pada produk daging sapi sebesar 59% (Usoz et al. 2012).

6
Dampak Cemaran Escherichia coli Penghasil ESBL
terhadap Kesehatan Masyarakat
Escherichia coli merupakan bakteri komensal pada manusia dan hewan,
tetapi juga dapat menjadi penyebab diare dan infeksi ekstra-intestinal
(Wu et al. 2013). Bakteri ini telah menimbulkan sejumlah wabah di dunia dan
menjadi tantangan terhadap pengendalian infeksi. Deteksi laboratorium terhadap
infeksi bakteri penghasil ESBL dapat menjadi kompleks, membutuhkan waktu
panjang, dan sering menunjukkan kesalahan (Rupp dan Fey 2003).
Pelepasan gen resisten ke lingkungan merupakan tantangan terhadap
kesehatan masarakat. Keberadaan gen ESBL telah dilaporkan pada air limbah, air
permukaan, sampah, dan sedimen (Ma et al. 2012). Manusia dapat terinfeksi
bakteri resisten antibiotik melalui kontak lansung, konsumsi daging tercemar, dan
lingkungan (FAO 2011). Horton et al. (2011) menambahkan bahwa kontaminasi
fekal merupakan faktor penting dalam penyebaran infeksi bakteri penghasil ESBL
ke manusia.
Ketika seseorang terinfeksi bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik,
pengobatan menjadi lebih sulit karena pengobatan dengan antibiotik standar
menjadi kurang efektif. Ketidakefektifan antibiotik mengakibatkan pengobatan
akan menjadi lebih lama dan dapat menimbulkan komplikasi, kunjungan dokter
akan lebih meningkat, pengobatan dengan obat yang lebih kuat dan mahal disertai
dengan efek samping yang besar, dan tingkat kematian akibat infeksi bakteri
resisten meningkat (FDA 2012). Beberapa infeksi bakteri resisten melalui
makanan dapat mengakibatkan infeksi saluran kemih dan blood poisoning. Anakanak dengan imunitas rendah lebih sering terinfeksi oleh bakteri yang resisten
terhadap antibiotik (FAO 2011).

3

METODE
Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah feses sapi, buffered peptone
water (BPW) 0.1% (Oxoid CM1049, Inggris), sefotaksim 1 mg/l, MacConkey
agar (Merck 1.05465.0500, Jerman), larutan KOH 3%, larutan kristal violet, lugol,
aseton alkohol, safranin, strip tes oksidase (Oxoid MB0266A, Inggris), tryptone
broth (Oxoid LP0042, Inggris), reagen Kovacs (Merck 1.09293.0100, Jerman),
larutan α-naptol, MR-VP medium (Oxoid CM0043, Inggris), indikator methyl red,
Simmon citrate agar (SCA) (Oxoid CM0155, Inggris), tryptic soy broth (TSB)
(Merck 1.05459.0500, Jerman), tryptic soy agar (TSA) (Merck 1.05458.0500,
Jerman), Mueller-Hinton agar (MHA) (Merck 1.05437.0500, Jerman), gliserol
85% (Merck 1.04094.0500, Jerman), McFarland suspension 0.5, NaCl 0.85%,
cakram (disc) antibiotik (diameter 6 mm): sefotaksim 30 μg (Oxoid CT0166B,
Inggris), seftazidim 30 μg (Oxoid CT0412B, Inggris), sefpodoksim 10 μg (Oxoid
CT1612B, Inggris), isolat Escherichia coli ATCC 25922, Klebsiella pneumoniae
ATCC 700603, alkohol 70%, dan kit uji biokimia the analytical profile index
(API) 20E (Biomérieux, Amerika Serikat).

7
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan digital, spatula
steril, gelas erlenmeyer, tabung reaksi (20–50 ml) steril, tube shaker, cawan petri
steril (diameter 100 mm dan tinggi 15 mm), kantung plastik steril, api bunsen,
refrigerator, penangas air, ose, stomacher, autoklaf, label, spidol, waterbath, dan
inkubator.

Disain, Waktu, dan Tempat
Penelitian dilakukan menggunakan metode cross sectional study. Sampel
yang digunakan untuk analisis adalah feses sapi dari RPHR Kota Bogor, Jawa
Barat. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilakukan pada bulan Agustus 2014–April 2015.

Besaran Sampel
Tingkat kejadian E. coli penghasil ESBL yang diisolasi dari feses belum
pernah dilaporkan di Indonesia, sehingga besaran sampel dihitung dengan
menggunakan asumsi prevalensi (p) 50%, tingkat kepercayaan 95%, tingkat
kesalahan (L) 9.13%, dan q = 1 - p. Besaran sampel (n) dihitung menggunakan
rumus ukuran contoh untuk menduga prevalensi n = 4pq/L2 (Martin et al. 1987).
Berdasarkan perhitungan, besaran sampel diperoleh sebanyak 120 sampel.
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak enam tahap dan pada setiap tahapan
diambil 20 sampel.

Penarikan Sampel
Penarikan sampel dilakukan pada setiap tahap pengambilan sampel dengan
teknik penarikan contoh acak sistematis. Sampel diambil pada setiap selang ke-k
berdasarkan jumlah populasi sapi di tempat penampungan RPHR Kota Bogor.
Sampel feses diambil dari rektum sapi yang telah dipotong. Sampel diberi kode
berupa nomor telinga, asal feedlot, dan tanggal pengambilan sampel. Setelah
sampel diambil, sampel disimpan pada cooler box dan dibawa ke laboratorium.

Analisis Laboratorium
Isolasi dan Identifikasi Escherichia coli Penghasil ESBL
Isolasi dan identifikasi E. coli penghasil ESBL dilakukan merujuk pada
Sudarwanto et al. (2015). Homogenisasi sampel dilakukan dengan menambahkan
225 ml buffered peptone water 0.1% untuk setiap 25 g sampel. Sebanyak 10 ml
homogenat dipindahkan ke tabung reaksi steril dan ditambahkan 20 µl sefotaksim
(1 µg/ml) dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C. Selanjutnya bakteri
diisolasi dan dikultivasi pada media agar MacConkey yang mengandung 1 mg/l

8
sefotaksim dan diinkubasi dalam kondisi aerobik pada suhu 37 °C selama 24 jam.
Koloni dengan bentuk bulat, berukuran 3–6 mm, berwarna merah, dan dikelilingi
zona keruh diduga sebagai E. coli (Gambar 3).
Koloni yang diduga E. coli diuji lebih lanjut dengan pewarnaan Gram, uji
KOH, uji oksidase, dan uji biokimia (indol, methyl red, Voges-Proskauer, dan
sitrat/IMViC). Bakteri E. coli ditunjukkan dengan karakteristik hasil uji KOH
positif dan uji oksidase negatif. Hasil reaksi uji biokimia E. coli mengacu pada
Standar Nasional Indonesia (SNI) 2897 Tahun 2008 tentang Metode Pengujian
Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur, dan Susu Serta Hasil Olahannya.
Interpretasi hasil reaksi uji biokimia E. coli dapat dilihat pada Tabel 2.
Keseluruhan koloni disubkultur pada media TSB dan diinkubasi pada suhu 37 °C
selama 24 jam. Isolat dikultivasi pada TSA dan diinkubasi pada suhu 37 °C
selama 24 jam. Isolat disimpan dalam TSB yang mengandung 20% gliserol pada
suhu -20 °C sampai pengerjaan tahap selanjutnya.
Isolat yang diduga E. coli diidentifikasi ke tingkat spesies dengan
menggunakan kit uji API 20E. Isolat dikultivasi pada TSB dan diinkubasi pada
suhu 37 °C selama 24 jam. Selanjutnya untuk mendapatkan koloni terpisah
bakteri dikultivasi pada TSA dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam.
Koloni terpisah sebanyak 1-2 koloni diambil dengan cutton swab steril dan
dicampurkan ke dalam 5 ml NaCL 0.85% steril hingga kekeruhannya menyamai
dengan McFarland 0.5 atau setara dengan 1-2 × 108 cfu/ml. Selanjutnya suspensi
bakteri dimasukkan ke kit uji API 20E dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24
jam. Pembacaan hasil uji menggunakan kit uji API 20E dilakukan melalui
aplikasi ApiwebTM.

Gambar 3 Koloni diduga E. coli pada media agar MacConkey. Skala: 1 cm.
Tabel 2 Hasil reaksi uji biokimia E. coli
Tipe organisme

Indol

Methyl red

VogesProskauer

Sitrat

E. coli spesifik

+

+

-

-

E. coli non-spesifik

-

+

-

-

9
Konfirmasi ESBL
Seluruh isolat E. coli diuji terhadap produksi ESBL dengan metode difusi
cakram berdasarkan panduan Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI)
(CLSI 2014). Isolat dikultivasi pada TSB dan diinkubasi pada 37 °C selama 24
jam. Biakan dimurnikan kembali pada TSA dan diinkubasi dalam kondisi aerobik
pada suhu 37 °C selama 24 jam. Koloni terpisah sebanyak 4-5 koloni diambil
dengan cutton swab steril dan dimasukkan ke TSB dan diinkubasi pada suhu
37 °C dan diamati setiap 2 jam (maksimal selama 8 jam) hingga kekeruhannya
menyamai dengan McFarland 0.5. Biakan pada TSB diambil menggunakan
cutton swab steril dan digoreskan pada MHA dan cakram antibiotik diletakkan
pada permukaan MHA, kemudian diinkubasi pada 35 °C selama 24 jam. Zona
hambat ditentukan terhadap setiap kertas cakram yang berisikan 30 µg sefotaksim,
30 µg seftazidim, dan 10 µg sefpodoksim dengan atau tanpa kombinasi dengan
asam klavulanat dan kemudian dikonfirmasi dengan uji mikrodilusi berdasarkan
rekomendasi CLSI. Hasil positif ESBL ditunjukkan dengan perbedaan zona
hambat antara antibiotik yang dikombinasi dengan asam klavulanat dengan yang
tidak dikombinasi dengan asam klavulanat sebesar ≥5 mm. Escherichia coli
ATCC 25922 dan Klebsiella pneumoniae ATCC 700603 digunakan untuk melihat
performa terhadap deteksi agen penghasil ESBL dan sebagai kontrol pada setiap
uji kepekaan terhadap antibiotik. Konfirmasi ESBL dengan metode difusi cakram
diilustrasikan pada Gambar 4.
A

B

Keterangan: Z1 seftazidim 30 µg, Z2 seftazidim 30 µg+asam klavulanat 10 µg, Z3 sefotaksim
30 µg, Z4 sefotaksim 30 µg+asam klavulanat 10 µg, Z5 sefpodoksim 10 µg, Z6 sefpodoksim
10 µg+asam klavulanat 1 µg.

Gambar 4 Konfirmasi ESBL dengan metode difusi cakram. ESBL positif (A)
ditunjukkan dengan Z2-Z1 ≥5 mm dan/atau Z4-Z3 ≥5 mm dan/atau
Z6-Z5 ≥ 5 mm. ESBL negatif (B) ditunjukkan dengan perbedaan
zona ≤2 mm (Dimodifikasi dari Mast Group 2014).
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Data hasil uji tingkat
kejadian E. coli penghasil ESBL di feses sapi di RPHR Kota Bogor disajikan

10
dalam bentuk tabel dan gambar. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
program Microsoft Excel 2007.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengujian laboratorium terhadap feses sapi potong di
RPHR Kota Bogor ditemukan E. coli penghasil ESBL sebanyak 19 sampel dari
120 sampel yang diperiksa (15.8%). Hasil uji konfirmasi E. coli penghasil ESBL
pada feses sapi di RPHR Kota Bogor disajikan pada Tabel 3. Hasil pengujian
juga menunjukkan bahwa E. coli penghasil ESBL ditemukan sebanyak 17%
(17/100) dari sampel sapi eks impor dan 10% (2/20) dari sapi lokal (Tabel 4).
Hasil penelitian menunjukkan terdapatnya E. coli penghasil ESBL pada
feses sapi yang dipotong di RPHR Kota Bogor. Hal ini tidak jauh berbeda dengan
penelitian Hiroi et al. (2011) di feses sapi di RPH Shizuoka, Jepang yang
menunjukkan tingkat kejadian E. coli pengahasil ESBL sebesar 12.5% (2/16).
Tingkat kejadian E. coli pengahasil ESBL yang lebih tinggi pernah dilaporkan di
feses sapi potong dari 12 RPH di Perancis sebesar 29.4% (143/489)
(Haenni et al. 2014). Butaye et al. (2014) menegaskan bahwa RPH merupakan
reservoir tempat terjadinya pencemaran E. coli penghasil ESBL pada pangan asal
hewan. Selain RPH, bakteri resisten antibiotik juga telah banyak dilaporkan pada
peternakan dan produk daging sapi (Alexander et al. 2010).
Keberadaan E. coli penghasil ESBL di feses sapi yang dipotong di RPHR
Kota Bogor dapat terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat di
peternakan. Penggunaan antibiotik golongan β-laktam khususnya sefalosporin
generasi ketiga dan keempat diakui sebagai faktor risiko terhadap munculnya
bakteri penghasil ESBL pada manusia dan hewan (Johns et al. 2012). Populasi
sapi di RPHR Kota Bogor didominasi oleh sapi eks impor. Informasi dari
ACSQHC (2015) mengatakan bahwa seftiofur (sefalosporin generasi ketiga)
banyak digunakan untuk pengobatan infeksi saluran pernafasan pada sapi potong
di negara Australia yang menjadi negara pengekspor sapi ke Indonesia.
Penggunaan antibiotik golongan β-laktam pada sapi potong di Indonesia
hampir tidak pernah dilakukan, sehingga keberadaan E. coli penghasil ESBL pada
sapi lokal dapat berasal dari lingkungan yang tercemar. Hal ini didukung oleh
penyataan Ma et al. (2012) bahwa keberadaan bakteri resisten antibiotik dapat
berasal dari lingkungan sekitar tempat pemotongan seperti tanah dan air yang
terkontaminasi kotoran atau urin dari sapi. Bakteri E. coli telah menunjukkan
perubahan material genetik dan memungkinkan menyebarkan gen resisten ke
bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia
(Ryu et al. 2012).
Hasil uji konfirmasi ESBL terhadap isolat E. coli dengan menggunakan
antibiotik sefpodoksim dan sefpodoksim yang dikombinasi dengan asam
klavulanat menunjukkan hasil positif sebanyak 19 isolat (100%). Isolat yang diuji
dengan seftazidim dan seftazidim yang dikombinasi dengan asam klavulanat
menunjukkan hasil positif sebanyak 8 isolat (42.1%), sedangkan isolat positif
ESBL yang diuji dengan sefotaksim dan sefotaksim yang dikombinasi dengan
asam klavulanat sebanyak 19 isolat (100%). Persentase E. coli yang positif ESBL

11
berdasarkan jenis antibiotik diringkas pada Tabel 5. Gambar 5 menunjukkan hasil
positif uji konfirmasi E. coli penghasil ESBL pada sampel (nomor 45) dengan
metode difusi cakram.
Tabel 3

a

Hasil uji konfirmasi E. coli penghasil ESBL pada feses sapi yang
dipotong di RPHR Kota Bogor
Diameter zona hambat (mm)

Kode
Sampel

Z1

Z2

Z3

Z4

Z5

Z6

44

0

20

27

28

18

45

0

22

22

28

60

0

0

17

61

0

0

62

0

63

Perbedaan (mm)
Z2-Z1

Z4-Z3

Z6-Z5

Interpre
tasi

28

20

1

10

ESBL

15

30

22

6

15

ESBL

17

19

20

0

0

1

-

19

18

20

21

0

-1

1

-

20

24

27

20

30

20

3

10

ESBL

0

0

20

21

21

22

0

1

1

-

65

8

25

24

30

20

35

17

6

15

ESBL

66

9

26

26

30

18

31

17

4

13

ESBL

67

0

22

23

28

14

32

22

5

18

ESBL

69

0

22

22

28

13

29

22

6

16

ESBL

79

0

24

24

27

16

27

24

3

11

ESBL

80

0

22

21

29

11

30

22

8

19

ESBL

87

0

22

21

29

11

30

22

8

19

ESBL

88

0

20

16

24

10

27

20

8

17

ESBL

89

9

23

24

28

18

30

14

4

12

ESBL

91

9

23

23

27

17

29

14

4

12

ESBL

96

0

0

18

18

20

21

0

0

1

-

100

8

23

23

27

18

30

15

4

12

ESBL

101

10

25

25

28

18

30

15

3

12

ESBL

104

8

23

24

28

17

28

15

4

11

ESBL

107

0

23

23

29

18

30

23

6

12

ESBL

115

9

23

26

28

17

28

14

2

11

ESBL

119

9

24

26

28

16

28

15

2

12

ESBL

Kontrol
positifb

14

22

15

24

24

27

8

9

3

ESBL

Kontrol
negatif

27

27

30

30

33

33

0

0

0

-

a

Z1: Sefpodoksim, Z2: sefpodoksim+asam klavulanat, Z3: seftazidim, Z4: seftazidim+asam
klavulanat, Z5: sefotaksim, Z6: sefotaksim+asam klavulanat.;bKontrol positif: Klebsiella
pneumoniae ATCC 700603, kontrol negatif: Escherichia coli ATCC 25922.

12
Tabel 4 Persentase E. coli penghasil ESBL yang ditemukan berdasarkan asal sapi
Asal sapi
n
Positif ESBL
Eks impor

100

17 (17%)

Lokal

20

2 (10%)

Total

120

19 (15.8%)

Tabel 5 Persentase E. coli yang positif ESBL berdasarkan jenis antibiotik
Jenis Antibiotik
Persentase
Sefpodoksim

100% (19/19)

Seftazidim

42.1% (8/19)

Sefotaksim

100% (19/19)

F

A

E
B

C

D

Gambar 5 Hasil uji konfirmasi E. coli penghasil ESBL (sampel nomor 45)
menggunakan sefotaksim 30 µg+asam klavulanat 10 µg (A),
sefotaksim 30 µg (B), seftazidim 30 µg+asam klavulanat 10 µg (C),
seftazidim 30 µg (D), sefpodoksim 10 µg+asam klavulanat 1 µg (E),
dan sefpodoksim 10 µg (F). Skala: 1 cm.
Penggunaan seftazidim untuk deteksi organisme penghasil ESBL
merupakan indikator paling baik terhadap ESBL tipe TEM dan SHV. Sefotaksim
merupakan indikator paling baik untuk menentukan ESBL tipe CTX-M,
sedangkan sefpodoksim merupakan indikator yang baik terhadap keberadaan

13
seluruh tipe ESBL (Livermore dan Brown 2005). Uji konfirmasi produksi ESBL
menggunakan antibiotik sefalosporin generasi ketiga dan yang dikombinasi
dengan asam klavulanat memiliki spesifisitas >98.3%. Penggunaan seftazidim,
sefotaksim, dan sefepim masing-masing memiliki sensitifitas sebesar 82.9%,
99.2%, dan 91.1% (Polsfuss et al. 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ESBL tipe CTX-M diduga lebih dominan ditemukan dari pada tipe yang lainnya.
Gen ESBL CTX-M merupakan grup baru dari ESBL yang dapat ditularkan
melalui plasmid (Girlich et al. 2007; Carattoli 2008; Ramos et al. 2013;
Korzeniewska dan Harnisz 2013; Tamang et al. 2014).
Jumlah mutasi dari varian ESBL dilaporkan terus meningkat, sehingga
infeksi oleh bakteri penghasil ESBL menjadi emerging terhadap kesehatan
manusia dan produksi pangan asal hewan (Zurfluh et al. 2013). Sekarang sudah
ditemukan lebih dari 300 subtipe ESBL (Korzeniewska dan Harnisz 2013).
Bakteri penghasil ESBL juga sering dikaitkan dengan resistensi terhadap
antibiotik kelas lain seperti fluorokuinolon, aminoglikosida, dan trimetoprimsulfametoksazol (Geser et al. 2012). Zurfluh et al. (2013) menyebutkan bahwa
gen blaESBL pada plasmid juga merupakan tempat berkumpulnya gen resisten
terhadap kuinolon dan aminoglikosida.
Escherichia coli penghasil ESBL pada feses yang ditemukan di RPHR Kota
Bogor berpotensi melepaskan gen-gen resisten ke lingkungan. Kontaminasi
bakteri pada air permukaan, terutama yang disebabkan oleh kontaminasi feses
dapat menjadi sumber penularan penyakit (Ma et al. 2012). Biosekuriti dalam
menangani limbah di RPH harus lebih ditingkatkan untuk mencegah penyebaran
E. coli penghasil ESBL ke lingkungan termasuk sungai (Nhung et al. 2014).
Sungai merupakan reservoir penting terhadap terhadap penyebaran gen resisten ke
bakteri yang berasal dari berbagai sumber (Zurfluh et al. 2013). Lokasi RPHR
Kota Bogor yang dekat dengan sungai memiliki risiko yang tinggi terhadap
penyebaran E. coli penghasil ESBL. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan
limbah di RPHR Kota Bogor yang sudah dilengkapi dengan instalasi pengolahan
air limbah (IPAL) perlu diawasi lebih ketat. Vektor seperti lalat dan tikus juga
diketahui mampu menyebarkan organisme penghasil ESBL ke lingkungan. Oleh
karena itu, pengendalian vektor seperti tikus dan lalat sangat perlu dilakukan
untuk mencegah penyebaran E. coli resisten antibiotik (Von Salviati et al. 2015).
Keberadaan ESBL mengakibatkan terbatasnya pilihan pengobatan terhadap
infeksi bakteri (Nóbrega dan Brocchi 2014). Sebelumnya E. coli penghasil ESBL
hanya dianggap sebagai agen infeksi nosokomial (Doi et al. 2010). Bakteri E. coli
diketahui dapat menyebabkan bermacam penyakit intestinal dan ekstra-intestinal
pada manusia, seperti infeksi saluran kemih, septisemia, dan meningitis neonatal.
Diperkirakan 120 juta kasus infeksi saluran urinari terjadi secara global setiap
tahun. Selain itu, kasus sepsis yang berkaitan dengan infeksi E. coli diperkirakan
terjadi sebanyak 868 000 kasus per tahun di dunia (Wu et al. 2013).
Organisme penghasil ESBL diperkirakan meningkat ke depannya baik pada
hewan maupun pada manusia. Penggunaan antibiotik memerlukan kebijakan
sebagaimana yang telah ditetapkan secara internasional terhadap pengendalian
patogen zoonotik (Carattoli 2008). Hal ini membutuhkan program monitoring
dan surveilans, dan peningkatan praktik manajemen peternakan dengan tujuan
menurunkan penyebaran gen resisten ke rantai makanan. Pelatihan terhadap
konsumen dan orang yang menangani makanan mengenai cara mengolah

14
makanan yang aman dan pemasakan yang tepat, sangat penting dilakukan untuk
menurunkan atau mengeliminasi risiko terjadinya infeksi oleh bakteri yang
resisten terhadap antibiotik (Suandy 2011).

5

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Tingkat kejadian E. coli penghasil ESBL pada feses sapi potong di RPHR
Kota Bogor sebesar 15.8%. Keberadaan E. coli penghasil ESBL dapat menjadi
ancaman terhadap kesehatan masyarakat karena kemampuannya menyebarkan gen
resisten ke lingkungan, makanan, manusia, hewan, dan bakteri patogen lainnya.

Saran
Berdasarkan penelitian ini, disarankan sampel untuk penelitian berikutnya
dapat berasal dari feses hewan di peternakan dan daging di pasar. Selain itu,
disarankan ada penelitian lanjutan ke tingkat genetik untuk mengetahui tipe gen
penghasil ESBL. Pemerintah perlu membuat regulasi hukum (kebijakan) yang
jelas mengenai peredaran, pengawasan, serta penggunaan antibiotik pada hewan.
Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap
sanitasi dan higiene pada rumah potong hewan serta meningkatkan kesadaran dan
kepedulian masyarakat terhadap keamanan pangan asal hewan.

DAFTAR PUSTAKA
Abubakar. 2014. Revitalisasi dan peningkatan kualitas rumah potong hewan
(RPH) mendukung swasembada daging 2014. BB Pascapanen [Internet].
[diunduh 2015 Jan 30]. Tersedia pada: http://pascapanen.litbang.deptan.
go.id/index. php/en/berita/244.
ACSQHC [Australian Commission on Safety and Quality in Health Care]. 2015.
Australian One Health Antimicrobial Resistance Colloquium Background
Paper [Internet].
[diunduh 2015 Jul 09].
Tersedia pada:
http://www.safetyandquality.gov.au/wp-content/uploads/2013/07/Briefingpaper-for-One-Health-AMR-Colloquium-participants-Final-Jul-2013.pdf.
Alexander TW, Inglis GD, Yanke LJ, Topp E, Read RR, Reuter T, McAllister TA.
2010. Farm-to-fork characterization of Escherichia coli associated with
feedlot cattle with a known history of antimicrobial use. Int J Food
Microbiol. 137:40-48. doi:10.1016/j.ijfoodmicro.2009.11.008.
Bell C, Kyriakides A. 2002. Salmonella: A Pratical Approach to the Organism
and Its Control in Food. Iowa (US): Blackwell Sci.
Bhunia AK. 2008.
Foodborne Microbial Pathogens: Mechanisms and
Pathogenesis. New York (US): Springer Pub.

15
Blanc V, Mesa R, Saco M, Lavilla S, Prats G, Miró E, Navarro F, Cortés P,
Llagostera M. 2006. ESBL-and plasmidic class C β-lactamase-producing
E. coli strains isolated from poultry, pig and rabbit farms. Vet Microbiol.
118:299-304. doi:10.1016/j.vetmic.2006.08.002.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 2897:2008 Tentang Metode
Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur, dan Susu Serta Hasil
Olahannya. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Indonesia.
Butaye P, van Duijkeren E, Prescott JF, Schwarz S. 2014. Antimicrobial
resistance in bacteria from animals and the environment. Vet Microbiol.
171:269-272. doi:10.1016/j.vetmic.2014.04.009.
Carattoli A. 2008. Animal reservoirs for extended spectrum β-lactamase
producers [ulas balik].
Clin Microbiol Infect. 14(1):117–123. doi:
10.1111/j.1469-0691.2007.01851.x.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010. Laboratory detection
of extended-spectrum β-lactamases (ESBLs). CDC [Internet]. [diunduh
2015 Feb 22]. Tersedia pada: http://www.cdc.gov/ HAI/settings/lab/
lab_esbl.html.
[CLSI] Clinical and Laboratory Standards Institute. 2014. Performance
Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing: Twenty-Second
Informational Supplement. Wayne (US): Clinical and Laboratory Standards
Institute.
Cottell JL, Kanwar N, Courtade LC, Chalmers G, Scott HM, Norby B, Loneragan
GH, Boerlin P. 2013. blaCTX-M-32 on an IncN plasmid in Escherichia
coli from beef cattle in the United States. Antimicrob Agents Chemother.
57(2): 1096-1097.
Davies J, Davies D. 2010. Origins and evolution of antibiotic resistance [ulas
balik]. Microbiol Mol Biol Rev. 74:417-433. doi:10.1128/MMBR.00016-10.
Dierikx CM. 2013. β-lactamases in Enterobacteriaceae in broiler [tesis]. Utrecht
(NL): GVO [Internet].
[diunduh 2014 Feb 22].
Tersedia pada:
http://dspace.library.uu.nl/handle/1874/275609.
Doi Y, Paterson DL, Egea P, Pascual A, López-Cerero L, Navarro MD, AdamsHaduch JM, Qureshi ZA, Sidjabat HE, Rodríguez-Bańo J. 2010. Extendedspectrum and CMY-type β-lactamase-producing Escherichia coli in clinical
samples and retail meat from Pittsburgh, USA and Seville, Spain. Clin
Microbiol Infect. 16:33-38. doi:10.1111/j.1469-0691.2009.03001.x.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. Antibiotics in farm animal
production. Public health and animal welfare. FAO [Internet]. [diunduh
2015 Feb 22]. Tersedia pada: http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/
animalwelfare/antibiotics_in_animal_farming.pdf.
[FDA] Food and Drug Administration. 2012. Antimicrobial resistance. FDA
[Internet]. [diunduh 2015 Feb 22]. Tersedia pada:http://www.fda.gov/
NewsEvents/PublicHealthFocus/ucm235649.htm.
Friese A, Schulz J, Laube H, von Salviati C, Hartung J, Roesler U. 2013. Faecal
occurrence and emissions of livestock-associated methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (laMRSA) and ESBL/AmpC-producing E. coli from
animal farms in Germany. Berl Münch Tierärztl Wochenschr. 126:175-180.
doi:0.2376/0005-9366-126-175.

16
Geser N, Stephan R, Korczak BM, Beutin L, Hächler H. 2012. Molecular
identification of extended spectrum β-lactamase genes from
Enterobacteriaceae isolated from healthy human carriers in Switzerland.
Antimicrob Agents Chemother. 56(3):1609-1612. doi:10.1128/AAC.0553911.
Ghafourian S, Sadeghifard N, Soheili S, Sekawi Z. 2014. Extended spectrum βlactamases: definition, classification and epidemiology. Curr Issues Mol
Biol. 17:11-22.
Giedraitienė A, Vitkauskienė A, Naginienė R, Pavilonis A. 2011. Antibiotic
resistance mechanisms of clinically important bacteria [ulas balik].
Medicina. 47(3):137-146.
Girlich D, Poirel L, Carattoli A, Kempf I, Lartigue MF, Bertini A, Patrice
Nordmann P. 2007. Extended spectrum β-lactamase CTX-M-1 in
Escherichia coli isolates from healthy poultry in France. Appl Environ
Microbiol. 73(14):4681-4685. doi:10.1128/AEM.02491-06.
Haenni M, Châre P, Mètayer V, Bour M, Signol E, Madec JY, Gay E. 2014.
Comparative prevalence and characterization of ESBL producing
Enterobacteriaceae in dominant versus subdominant enteric flora in veal
calves at slaughterhouse, France.
Vet Microbiol. 171:321-327.
doi:10.1016/j.vetmic.2014.02.023.
Hiroi M, Yamazaki F, Harada T, Takahashi N, Iida N, Noda Y, Yagi M, Nishio T,
Kanda T, Kawamori F, Sugiyama K, Masuda T, Hara-Kudo Y, Ohashi N.
2011. Prevalence of extended spectrum β-lactamase producing Escherichia
coli and Klebsiella pneumoniae in food producing animals. J Vet Med Sci.
74(2): 189-195. doi: 10.1292/jvms.11-0372.
Horton RA, Randall LP, Snary EL, Cockrem H, Lotz S, Wearing H, Duncan D,
Rabie A, McLaren I, Watson E, La Ragione RM, Coldham NG. 2011.
Fecal carriage and shedding density of CTX-M extended spectrum
β-lactamase producing Escherichia coli in cattle, chickens, and pigs:
implications for environmental contamination and food production. Appl
Environ Microbiol. 77 (11): 3715-3719. doi:10.1128/AEM.02831-10.
Johns I, Verheyen K, Good L, Rycroft A. 2012. Antimicrobial resistance in
faecal Escherichia coli isolates from horses treated with antimicrobials: a
longitudinal study in hospitalised and non-hospitalised horses.
Vet
Microbiol. 159:381-389. doi:10.1016/j.vetmic.2012.04.010.
Korzeniewska E, Harnisz M. 2013. Extended spectrum beta-lactamase (ESBL)positive Enterobacteriaceae in municipal sewage and their emission to the
environment.
J
Environ
Man.
128:904-911.
doi:10.1016/
j.jenvman.2013.06.051.
Livermore DM, Brown DFJ. 2005. Detection of β-lactamase-mediated resistance.
BSAC [Internet].
[diunduh 2015 Feb 12].
Tersedia pada:
http://bsac.org.uk/wp-content/uploads/2012/02/Chapter_6.pdf.
Ma J, Liu JH, Lv L, Zong Z, Sun Y, Zheng H, Chen Z, Zeng ZL. 2012.
Characterization of extended spectrum β-lactamase genes found among
Escherichia coli isolates from duck and environmental samples obtained on
a duck farm.
Appl Environ Microbiol. 78(10): 3668-3673.
doi:10.1128/AEM.07507-11.

17
Martin SW, Meek AH, Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology: Principles
and Methods. Iowa (US): Iowa State University Pr.
Mast Group. 2014. ESBL and AmpC detection disc sets. Mast Group [Internet].
[diunduh 2015 Feb 22]. Tersedia pada: http://www.mastgrp.com.
Nhung NT, Cuong NV, Campbell J, Hoa NT, Bryant JE, Truc NTT, Kiet BT,
Jombart T, Trung NV, Hien, Thwaites, Baker S, Carrique-Mas J. 2014.
High levels of antimicrobial resistance among Escherichia coli isolates from
livestock farms and synanthropic rats and shrews in the Mekong Delta of
Vietnam.
Appl Environ Microbiol. 81:812-820. doi:10.1128/AEM.
03366-14.
Nóbrega DB, Brocchi M. 2014. An overview of extended spectrum betalactamases in veterinary medicine and their public health consequences
[ulas balik]. J Infect Dev Ctries. 8(8):954-960. doi:10.3855/jidc.4704.
Nørrung B, Andersen JK, Buncic S. 2009. Main Concerns of

Dokumen yang terkait

Fascioliasis pada Sapi Potong di Rumah Potong Hewan Kotamadya Bogor

0 16 57

Tingkat Kejadian Escherichia Coli Penghasil Extended Spectrum Β Lactamase Pada Feses Ayam Ras Pedaging Di Kota Bogor

0 10 38

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 44 53

Tingkat Kejadian Escherichia coli Penghasil Extended Spectrum Β-Lactamase yang Diisolasi dari Feses Broiler di Kota Bogor | Masruroh | Jurnal Sain Veteriner 22813 43748 1 SM

0 0 8

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 14

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 2

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 3

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 7

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 2 4

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 8