Imobilisasi Lipase pada MCM-41 untuk Produksi Biodiesel
IMOBILISASI LIPASE PADA MCM-41 UNTUK PRODUKSI
BIODIESEL
MUTI DIANDA SARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Imobilisasi Lipase pada
MCM-41 untuk Produksi Biodiesel adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Muti Dianda Sari
NIM P051114021
RINGKASAN
MUTI DIANDA SARI. Imobilisasi Lipase pada MCM-41 untuk Produksi
Biodiesel. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan SISWA SETYAHADI.
Biodiesel adalah metil ester asam lemak yang biasanya diproduksi melalui
reaksi transesterifikasi dari trigliserida (minyak) dan metanol dengan katalis basa.
Produk yang dihasilkan memiliki viskositas yang rendah dan biofuel (metil ester)
yang dihasilkan dapat menggantikan petroleum diesel dan dalam penerapannya
pada mesin diesel tidak memerlukan modifikasi mesin. Selain itu, jika
dibandingkan dengan bahan bakar fosil, metil ester yang terbentuk tidak beracun,
aman untuk kesehatan dan mudah terurai serta menghasilkan gas emisi buang
yang lebih rendah.
Lipase (acylhydrolases triasilgliserol, EC 3.1.1.3) adalah enzim yang
digunakan pada reaksi transesterifikasi untuk mengkatalisis hidrolisis trigliserida
menjadi gliserol dan asam lemak. Lipase juga merupakan biokatalis yang efektif
untuk sintesis biodiesel dan memiliki banyak keuntungan lain. Namun, dalam
skala industri penggunaan lipase masih terbatas karena harganya yang relatif
mahal. Imobilisasi enzim adalah metode yang paling banyak digunakan untuk
menjaga kestabilan lipase dan membuat lipase lebih menarik dalam skala industri
dan dalam penggunaannya secara kontinyu.
Material mesopori diketahui memiliki banyak kegunaan dalam aplikasi
sebagai penyangga suatu katalis, antara lain adsorpsi gas dan cairan, imobilisasi
biomolekuler dan pemisahan karena luas permukaan yang tinggi dan pori-pori
besar yang seragam. MCM-41 (Mobile Crystalline Material 41) adalah material
mesopori yang memiliki bentuk heksagonal dan memiliki pori-pori yang seragam,
luas permukaan tinggi dan volume pori yang besar.
Penelitian ini mempelajari penyiapan MCM-41 sebagai support matriks
untuk imobilisasi lipase dengan metode ikatan kovalen untuk produksi biodiesel.
MCM-41 telah disintesis menggunakan metode “liquid crystal templating
mechanism” pada suhu 100 °C selama 96 jam menunjukkan hasil yang memiliki
keseragaman material mesopori yang tinggi. MCM-41 dikarakterisasi
menggunakan X-ray diffraction (XRD), Fourier transform-infra red (FTIR) dan
Scanning electron microscopy (SEM). Imobilisasi lipase pada MCM-41 telah
diamati dan kesesuaiannya sebagai support matriks untuk imobilisasi lipase
dihitung dengan aktivitas enzim, protein loading, dan efisiensi imobilisasi. Lipase
teramobilisasi digunakan sebagai biokatalis untuk produksi biodiesel melalui
reaksi transesterifikasi dari minyak sawit dan metanol 1:3 (rasio molar). Hasil dari
reaksi transesterifikasi yang diperoleh dianalisa menggunakan Gas KromatografiMass Spektra (GC-MS). Imobilisasi dengan metode ikatan kovalen menunjukkan
efisiensi imobilisasi sebesar 94.4% dan protein loading sebesar 79.5 mg/g dengan
aktivitas sebesar 1637 U/g dan 114 U/g setelah imobilisasi. Konversi dari minyak
ke metil ester diperoleh bobot sebesar 48.7% dengan suhu 37 °C selama 24 jam.
Kata kunci: biodiesel, imobilisasi, lipase, MCM-41, transesterifikasi
SUMMARY
MUTI DIANDA SARI. Lipase Immobilization onto MCM-41 for Biodiesel
Production. Supervised by ANI SURYANI and SISWA SETYAHADI.
Biodiesel are methyl esters of fatty acids that usually produced by base
catalyzed transesterification of triglycerida with methanol. The product has low
viscosity and is a biofuel (fatty methyl ester) produced can replace petroleumbased diesel fuel with no need of engine modifications in its application to diesel
engine. Compared to fossil fuel, the formed ester fuels are non-toxic, safe to
handle, biodegradable and produces lower gas emission.
Lipase (acylhydrolases triasilgliserol, EC 3.1.1.3) is an enzyme used in the
transesterification to catalyze the hydrolysis of triglyceride to glycerol and free
fatty acid. Lipase is also an effective biocatalyst for biodiesel synthesis and have
many potential advantages. The high cost of lipase in industrial is still limited use.
Enzyme immobilization is the most widely used method for achieving stability in
lipase and to make them more attractive for industrial use and in its use
continuously.
Mesoporous materials have found a lot of applications in shape-selective
catalysis, adsorption of gases and liquid, biomolecular immobilization and
separation because of their high specific areas and large uniform pore sizes.
MCM-41 (Mobile Crystalline Material number 41) is consisting of hexagonal
arrays of a uniform pore size, high surface area and high pore volume.
This study investigated the preparation of MCM-41 as a support for the
lipase immobilization by the covalent binding for biodiesel production. MCM-41
has been synthesis with “liquid crystal templating mechanism” method at 100 °C
for 96 hours that have highly ordered mesoporous material. MCM-41 has been
characterized by X-ray diffraction (XRD), fourier transform infrared spectra
(FTIR) and scanning electron microscopy (SEM). Lipase immobilization on
MCM-41 support has been observed and the suitability of the support for the
immobilization of lipase was estimated by the enzyme activity, protein loading
and immobilization efficiency. Imobilized lipase used as biocatalyst for biodiesel
production with transesterification reaction of the palm oil and methanol to 1:3
molar ratio. The progress of the reaction of transesterification was monitored by
Gas Chromatography-Mass Spectra (GC-MS). Immobilization with covalent
binding showed immobilization efficiency of 94.4% and protein loading of 79.5
mg/g with lipolytic activity before immobilization of 1637 U/g and 114 U/g after
immobilization. The conversion of oil to methyl esters reached 48.7% within 24 h
at 37 °C.
Keywords: biodiesel, immobilization, lipase, MCM-41, transesterification
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IMOBILISASI LIPASE PADA MCM-41 UNTUK PRODUKSI
BIODIESEL
MUTI DIANDA SARI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MS
Judul Tesis : Imobilisasi Lipase pada MCM-41 untuk Produksi Biodiesel
Nama
: Muti Dianda Sari
NIM
: P051114021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Ani Suryani, DEA
Ketua
Dr Ir Siswa Setyahadi, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Bioteknologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
27 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
imobilisasi enzim, dengan judul Imobilisasi Lipase pada MCM-41 untuk Produksi
Biodiesel.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Ani Suryani DEA dan
Bapak Dr Ir Siswa Setyahadi MSc selaku komisi pembimbing. Disamping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Dadang Suhendar, Ruby
Setiawan (Laboratorium Bioseparasi) dan seluruh staf Laboratorium Teknologi
Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah membantu
selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa
Drs Hi Kurniadi MM, mama Dr Hj Betti Nuraini MM, Lita Aprianda Sari serta
seluruh keluarga, atas doa, cinta dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014
Muti Dianda Sari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Prosedur Kerja
Penentuan Metode MCM-41
Sintesis MCM-41
Karakterisasi MCM-41
Uji Aktivitas Lipase
Analisa Kadar Protein
Imobilisasi pada MCM-41
Transesterifikasi secara Enzimatik
Uji Stabilitas Lipase Amobil pada Pemakaian Berulang
Analisa Konversi Trigliserida dengan GC-MS
9
9
9
9
9
10
11
11
11
11
12
12
12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Mekanisme Pembentukan MCM-41
Hasil Karakterisasi MCM-41 dengan XRD
Hasil Karakterisasi MCM-41 dengan FTIR
Hasil Karakterisasi MCM-41 dengan SEM
Imobilisasi Lipase pada MCM-41
Stabilitas Lipase Amobil pada Pemakaian Berulang
Analisa Produk Metil Ester dengan GC-MS
12
12
14
18
20
21
23
25
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
27
27
27
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
40
DAFTAR TABEL
1 Berbagai metode penentuan sintesis MCM-41
2 Komposisi metil ester dari kromatogram
10
26
DAFTAR GAMBAR
1 Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol
2 Reaksi transesterifikasi secara enzimatik
3 TEM mikrograf dari MCM-41
4 Mekanisme pembentukan MCM-41
5 Ilustrasi sinar X pada XRD
6 Grafik XRD MCM-41 metode Zhou et al. (2012)
7 Grafik XRD MCM-41 metode Suyanta et al. (2012)
8 Grafik XRD MCM-41 metode Wibowo et al. (2004)
9 Grafik XRD MCM-41 menunjukkan 3 puncak refleksi
10 Spektra FTIR dari MCM-41
11 Mikrograf SEM sebelum imobilisasi
12 Mikrograf SEM setelah imobilisasi
13 Kurva hasil pengukuran stabilitas lipase amobil pada pemakaian
berulang
14 Kromatogram biodiesel hasil analisa GC-MS
5
6
8
14
15
16
16
17
17
19
20
21
24
26
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Kurva standar aktivitas lipase (Silva et al. 2005)
Rumus perhitungan aktivitas lipase (Yoza dan Setyahadi 2009)
Kurva Standar Protein dengan Metode Bradford (1976)
Kalkulasi dari protein loading dan efisiensi imobilisasi
Hasil Karakterisasi SEM pada MCM-41 sebelum dan setelah
imobilisasi
6 Kromatogram standar metil palmitat
35
36
36
37
38
39
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini harga minyak dunia semakin melambung tinggi, hal ini cukup
memberikan dampak besar terhadap perekonomian dunia, tak terkecuali negara
berkembang seperti Indonesia. Isu global yang sangat meresahkan manusia dalam
beberapa kurun waktu terakhir adalah pencemaran lingkungan dan menipisnya
cadangan minyak sebagai energi. Hal ini terlihat pada naiknya harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) sehingga biaya transportasi juga semakin melambung, yang juga
mempengaruhi biaya produksi dan distribusi industrial. Seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat maka kebutuhan
akan energi semakin meningkat. Berdasarkan data Direktorat Jendral Energi Baru
Terbarukan dan Konservasi Energi Kementrian ESDM, dalam beberapa tahun
terakhir pertumbuhan konsumsi energi di Indonesia mencapai 7% per tahun,
sementara pertumbuhan konsumsi energi dunia hanya 2.6% per tahun. Konsumsi
energi yang tinggi ini menimbulkan masalah dan ketimpangan, yaitu terjadinya
pengurasan sumber daya fosil seperti minyak dan gas bumi serta batu bara yang
lebih cepat, jika dibandingkan penemuan cadangan baru. Sehingga, tidak tertutup
kemungkinan dalam jangka waktu yang tidak lama lagi, cadangan energi fosil di
Indonesia akan habis dan akan sangat bergantung pada energi impor (Kurniawan
2013).
Salah satu energi alternatif pengganti energi fosil adalah Biodiesel atau
metil ester yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewan, terdiri dari
campuran mono-alkyl ester dari rantai panjang asam lemak serta mengandung
oksigen. Adanya oksigen ini yang membedakan biodiesel dengan petroleum diesel
(solar) yang komponen utamanya hanya hidrokarbon. Hal ini menjadikan
biodiesel dengan petroleum diesel sangat berbeda, biodiesel terdiri dari metil ester
minyak nabati sedangkan petroleum diesel terdiri dari hidrokarbon. Tetapi,
biodiesel mempunyai sifat fisik dan kimia yang serupa dengan petroleum diesel
sehingga dapat digunakan langsung ke mesin ataupun dicampurkan dengan
petroleum diesel. Pencampuran 20% biodiesel dalam petroleum diesel dapat
menghasilkan bahan bakar tanpa mengubah sifat fisik. Energi yang dihasilkan
biodiesel tidak jauh berbeda dengan energi yang dihasilkan petroleum diesel.
Biodiesel memiliki 80.55% efisiensi energi dan petroleum diesel memiliki
83.28% efisiensi energi. Walaupun kandungan kalori biodiesel serupa dengan
petroleum diesel tetapi biodiesel mengandung oksigen maka flash pointnya
menjadi lebih tinggi dan tidak mudah terbakar. Biodiesel juga tidak menghasilkan
uap pada suhu ruang sehingga tidak membahayakan dalam penyimpanan dan
penggunaaannya. Di samping itu biodiesel bersifat biodegreadable dan renewable,
ramah lingkungan karena hampir tidak mengandung sulfur dan senyawa benzen
yang bersifat karsinogenik, tidak mempunyai efek samping terhadap kesehatan
dan dapat menjadi solusi untuk menghadapi kelangkaan energi fosil pada masa
yang akan datang, memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin karena
termasuk kelompok minyak yang tidak mengering (non-drying oil), mampu
mengurangi emisi karbondioksida dan efek rumah kaca (Sheehan et al. 1998).
2
Bahan baku yang biasa digunakan untuk biodiesel adalah minyak nabati.
Minyak nabati dapat dihasilkan dari berbagai macam tanaman yang mengandung
asam lemak. Dalam pengolahan minyak menjadi biodiesel ini diperlukan proses
transesterifikasi trigliserida. Menurut Soontag (1981), transesterifikasi yang biasa
disebut dengan alkoholisis atau metanolisis adalah proses penggantian gugus
alkohol ester (gliserol) dengan alkohol lain dalam suatu proses yang menyerupai
hidrolisis. Pada umumnya alkoholisis lemak menggunakan alkohol rantai pendek
dengan katalis kimiawi (asam atau basa) atau katalis biologis (enzimatik).
Beberapa kelemahan dalam penggunaan katalis kimiawi adalah tingginya
konsumsi energi proses serta masih terikutnya senyawa-senyawa pengotor dalam
metil ester seperti monogliserida, digliserida, gliserol, air dan katalis alkali yang
digunakan (Salis et al. 2005), menimbulkan limbah cair dan diperlukan tambahan
energi dan material untuk pemurnian produk. Untuk mengatasi kerugian
menggunakan katalis kimiawi maka dapat dilakukan teknik lain yaitu
menggunakan katalis biologi. Salah satu katalis biologis dapat digunakan adalah
enzim. Lipase adalah enzim yang dapat digunakan sebagai katalis biologis yang
memiliki aktivitas enzimatik yang cukup tinggi.
Penggunaan lipase sebagai katalis sebenarnya relatif mahal, oleh karena itu
penggunaan katalis biologis tersebut dilakukan dengan cara immobilisasi pada
katalis tersebut. Berkembangnya teknologi imobilisasi enzim disadari dengan
adanya beberapa kelemahan sifat enzim yaitu ketidakstabilan enzim, tingginya
biaya isolasi dan pemurnian serta mahalnya biaya penggunaan enzim karena
enzim yang telah dipakai di dalam larutan sulit untuk dipisahkan atau
dipergunakan lagi (Suhartono 1989). Pada dasarnya prinsip imobilisasi adalah
mengikat enzim secara fisik pada suatu tempat tertentu yang masih memiliki
aktivitas katalitik dan dapat digunakan untuk pemakaian berulang-ulang dan
kontinu (Chibata 1978).
Imobilisasi enzim bisa dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya
adalah metode pengikatan dengan bahan penyangga atau “carrier binding”.
Metode yang paling sering digunakan dengan bahan penyangga adalah adsorpsi
fisik dan ikatan kovalen. Tetapi adsorpsi secara fisik memiliki kekurangan yaitu
mudah terganggu oleh perubahan pH dan suhu pada lingkungan enzim amobil
karena interaksi antara enzim dan bahan penyangga sangat lemah sehingga enzim
amobil mudah lepas dan menjadi enzim bebas kembali (Suhartono 1989).
Sedangkan pada metode ikatan kovalen ikatan antara enzim dan bahan penyangga
stabil sehingga enzim tidak mudah lepas ke dalam larutan dan substrat dapat
dengan mudah berinteraksi karena enzim berada pada permukaan bahan
penyangga (Brena dan Batista 2006).
Salah satu bahan penyangga yang dapat digunakan untuk imobilisasi enzim
adalah MCM-41. MCM-41 atau Mobile Crystalline Material number 41
merupakan suatu jenis material baru yang mempunyai struktur mesopori dan
diameter seragam. Material ini ditemukan oleh ilmuwan dari Mobile Oil Company
pada tahun 1992 (Kresge et al. 1992b; Beck et al. 1992). Kelebihan MCM-41 ini
antara lain memiliki struktur pori heksagonal seperti sarang lebah, volume pori
besar, ukuran pori dapat diatur, mempunyai sifat yang relatif stabil baik terhadap
pengaruh suhu, bahan kimia ataupun pengaruh mekanis (Corma 1997; Davic
1991; Kloestra et al. 1997). Berdasarkan sifat tersebut maka MCM-41 dapat
digunakan sebagai penyangga katalis untuk imobilisasi enzim.
3
Perumusan Masalah
Biodiesel dapat dibuat dengan proses transesterifikasi dari minyak nabati
yang mengandung asam lemak bebas yang tinggi menggunakan katalis kimia.
Namun permasalahan yang dihadapi adalah tingginya konsumsi energi dari katalis
kimia dan masih tertinggalnya senyawa-senyawa pengotor, sehingga dapat
menimbulkan limbah cair dan untuk memurnikannya perlu energi dan material
tambahan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka digunakan katalis
biologi berupa enzim. Enzim yang digunakan adalah lipase komersil koleksi dari
Laboratorium Bioindustri BPPT. Tetapi penggunaan lipase untuk produksi
biodiesel sulit diterapkan karena biayanya yang relatif tinggi karena yang
digunakan masih berupa enzim bebas sehingga semakin lama aktivitas
enzimatiknya akan semakin menurun. Oleh karena itu diperlukan proses
imobilisasi enzim dimana pergerakan molekul enzim dalam ruang tempat reaksi
akan ditahan sehingga terbentuk sistem enzim yang aktif, tidak larut dalam air dan
dapat digunakan berulang-ulang. Dalam imobilisasi enzim diperlukan carrier
untuk terjadinya pengikatan enzim. Pengikatan enzim oleh carrier ini harus terjadi
tanpa kerusakan pada struktur ruang tiga dimensi dari sisi aktif enzim tersebut.
MCM-41 merupakan silika berpori yang dapat digunakan sebagai carrier yang
diameter porinya dapat disesuaikan.
Pada penelitian ini, biodiesel dibuat dari minyak sawit dan metanol yang
diperoleh melalui proses transesterifikasi dengan menggunakan lipase yang
terimobilisasi pada MCM-41.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan penelitian diatas, maka tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini adalah mendapatkan MCM-41 dengan struktur pori yang teratur
dan heksagonal yang dapat digunakan sebagai matriks support untuk imobilisasi
lipase dan menghasilkan biodiesel (metil ester) melalui reaksi transesterifikasi.
Manfaat Penelitian
1.
2.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai:
Informasi mengenai salah satu proses alternatif dalam pembuatan biodiesel
yang lebih baik dari segi kualitas dengan biaya yang lebih ekonomis melalui
reaksi transesterifikasi dengan menggunakan lipase yang teramobil pada
MCM-41.
Masukan dan referensi kepada para peneliti untuk mengembangkan proses
selanjutnya dengan metode penelitian ini.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Biodiesel
Biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang berasal dari sumber terbarukan
untuk mesin diesel yang diproduksi secara kimia dengan mereaksikan minyak
nabati atau hewani dengan alkohol seperti metanol dan mengubah sifat fisik dan
kimianya seperti petroleum diesel. Reaksi ini membutuhkan katalis, katalis yang
digunakan dapat berupa katalis kimia dan katalis biologis. Katalis kimia yang
biasanya digunakan adalah basa kuat seperti natrium hidroksida, dan
menghasilkan komponen kimia yang disebut metil ester. Ester tersebut yang
diketahui sebagai biodiesel (Ma dan Hanna 1999; TCPDA 2009; Van Gerpen dan
Jon 2005).
Secara kimiawi, biodiesel merupakan campuran metil ester dengan asam
lemak rantai panjang yang dihasilkan dari sumber hayati seperti minyak nabati
dan lemak hewani atau dari minyak goreng bekas (Leung et al. 2010; Berchmans
dan Hirata 2008; Demirbas 2003). Biodiesel secara proses kimia menggunakan
minyak nabati dan mengubah sifat fisik dan kimianya seperti petroleum diesel
(TCPDA 2009).
Biodiesel didefinisikan sebagai monoalkil ester (fatty acid methyl
ester/FAME) yang diproses dengan metode transesterifikasi antara trigliserida
yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek
(Krawczyk 1996; Mittelbach dan Reshmidt 2006). Minyak nabati merupakan
sumber bahan baku yang menjanjikan bagi proses produksi biodiesel karena
bersifat terbarukan (renewable), dapat diproduksi dalam skala besar dan ramah
lingkungan (Patil dan Deng 2009). Minyak nabati sendiri terdiri dari minyak
nabati pangan dan non-pangan (Leung et al. 2010). Lebih dari 95% bahan baku
proses produksi biodiesel berasal dari minyak pangan karena umumnya
diproduksi diberbagai daerah dan produk yang dihasilkan lebih sesuai untuk
digunakan sebagai bahan bakar alternatif (Gui et al. 2008).
Biodiesel memiliki beberapa keunggulan diantaranya tidak beracun,
kandungan senyawa sulfur pada biodiesel lebih rendah daripada bahan bakar
diesel sehingga memiliki emisi yang rendah dan sangat ramah lingkungan. Dalam
kasus tertentu, seperti emisi gas polutan dilingkungan tertutup, bahan bakar
biodiesel memiliki potensi untuk mengurangi tingkat polusi dan potensi yang
menyebabkan karsinogenik (Krawczyk 1996). Karbondioksida yang merupakan
produk dari pembakaran biodiesel dapat digunakan untuk fotosintesis sehingga
dapat meminimalisir efek rumah kaca. Titik nyala biodiesel mencapai 150 °C dan
memiliki sifat lubrikasi yaitu dapat memperpanjang umur mesin (Zhang et al.
2003). Selain itu biodiesel juga dapat terdegradasi secara alami, lebih dari 90%
biodiesel dapat terdegradasi secara biologis selama 21 hari (Mudge dan Pereira
1999; Speidel et al. 2000).
Transesterifikasi Secara Enzimatik
Biodiesel dapat diproduksi melalui proses transesterifikasi yang disebut juga
alkoholisis atau metanolisis yaitu merubah senyawa trigliserida yang terkandung
5
dalam minyak atau lemak menjadi metil ester. Dalam transesterifikasi minyak
nabati, trigliserida bereaksi dengan alkohol dengan adanya asam kuat atau basa
kuat sebagai katalis menghasilkan FAME dan gliserol (Freedman et al. 1986) dan
bisa menghasilkan biodiesel hingga 98% dari bahan baku minyak nabati (Bouaid
et al. 2005). Bila bahan baku yang digunakan adalah minyak mentah yang
mengandung kadar asam lemak bebas (free fatty acid – FFA) tinggi (lebih dari
2%) maka proses yang harus dilalui adalah proses esterifikasi (Ramadhas et al.
2005). Reaksi transesterifikasi bertujuan untuk menurunkan viskositas minyak
atau lemak agar dapat memenuhi spesifikasi sebagai bahan bakar (Ma dan Hanna
1999). Nilai viskositas yang tinggi menyebabkan kesulitan pemompaan atau
pemasukan bahan bakar menuju ruang bakar dan menyebabkan atomisasi lebih
sukar terjadi sehingga dapat mengakibatkan pembakaran kurang sempurna
(Hambali et al. 2007). Terdapat berbagai metode reaksi transesterifikasi, jenis
alkohol, katalis, temperatur reaksi, jenis reaktor dan proses pemisahan.
Transesterifikasi umumnya menggunakan alkohol rantai pendek seperti metanol
atau etanol dengan katalis kimia ataupun enzimatik. Perbandingan rasio molar
antara trigliserida dan alkohol merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi rendemen biodiesel (Canakci dan Gerpen 1999).
Gambar 1
Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan
metanol (Rustamaji et al. 2010)
Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi tiga tahap dan reversible dimana
mono- dan digliserida terbentuk sebagai intermediate. Reaksi stokiometri
membutuhkan 1 molar trigliserida dan 3 molar alkohol (Gambar 1). Dalam hal ini
digunakan alkohol berlebih untuk meningkatkan rendemen alkil ester dan untuk
memudahkan pemisahan fasanya dari gliserol yang terbentuk (Freedman et al.
1986; Schuchardt et al. 1998). Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu suhu, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis dan
perbandingan etanol-asam lemak. Proses transesterifikasi akan berlangsung lebih
cepat bila suhu dinaikkan mendekati titik didih alkohol yang digunakan. Semakin
tinggi kecepatan pengadukan akan menaikkan pergerakan molekul dan
menyebabkan terjadinya tumbukan. Pada awal terjadinya reaksi pengadukan akan
menyebabkan terjadinya difusi antara minyak atau lemak sampai terbentuk metil
ester. Pemakaian alkohol berlebih akan mendorong reaksi ke arah pembentukan
6
etil ester dan semakin besar kemungkinan terjadinya tumbukan antara molekulmolekul dan minyak yang bereaksi (Hui 1996).
Faktor utama yang mempengaruhi rendemen ester yang dihasilkan pada
reaksi transesterifikasi adalah rasio molar antara trigliserida dan alkohol, jenis
katalis yang digunakan, suhu reaksi, waktu reaksi, kandungan air, dan kandungan
asam lemak bebas pada bahan baku. Faktor lain yang mempengaruhi kandungan
ester pada biodiesel diantaranya yaitu kandungan gliserol pada bahan baku
minyak, jenis alkohol yang digunakan pada reaksi transesterifikasi, jumlah katalis
sisa dan kandungan sabun.
Lipase (acylhydrolases triasilgliserol, EC 3.1.1.3) merupakan enzim yang
digunakan dalam reaksi transesterifikasi untuk mengkatalisis hidrolisis trigliserida
menjadi gliserol dan asam lemak bebas (Gambar 2). Lipase merupakan salah satu
enzim yang telah diaplikasikan pada proses proses industri baik industri pangan
maupun non pangan. Lipase dikenal sebagai lipolytic enzyme dan didefinisikan
sebagai “long chain fatty acid ester hydrolase” atau sebagai “any esterase
capable of hydrolyzing esters of oleic acid”. Lipase berfungsi sebagai katalis pada
reaksi hidrolisis triasilgliserol dan ester selain dari asilgliserol (Ngom 2000).
Lipase memisahkan lemak (glycerol esters) menjadi di- atau monogliserida dan
asam lemak.
Gambar 2
Reaksi transesterifikasi secara enzimatik
(Kistanto et al. 2012)
Imobilisasi Enzim
Imobilisasi enzim merupakan suatu proses dimana pergerakan molekul
enzim dalam ruang tempat reaksi ditahan sedemikian rupa sehingga terbentuk
sistem enzim yang aktif dan tidak larut dalam air. Dalam Imobilisasi enzim,
pengikatan enzim pada suatu karier harus terjadi tanpa adanya perusakan pada
struktur ruang tiga dimensi dari sisi aktif enzim tersebut, sehingga spesifitas
substrat maupun gugus fungsi aktif tidak terganggu oleh proses ini. Imobilisasi
enzim diketahui memiliki beberapa keunggulan diantaranya stabilitas enzim dan
enzim dapat digunakan berulang-ulang. Aktivitas dan stabilitas enzim dipengaruhi
oleh metoda imobilisasi, jenis enzim maupun jenis matrik yang digunakan. Teknik
imobilisasi bertujuan untuk meningkatkan stabilitas dan produktivitas enzim
sehingga dapat digunakan kembali (Cao 2005).
Metode imobilisasi bisa digunakan tidak hanya pada satu jenis enzim, tetapi
dapat diterapkan bagi suatu multienzim atau bagi mikroorganisme penghasil
enzim. Imobilisasi enzim dapat dilakukan dengan ikatan silang antar molekul
7
enzim atau disebut juga cross linking yang membentuk struktur 3-D yang besar
tanpa matriks, secara kimia (ikatan kovalen) atau fisik (penjebakan). Metode ini
sebenarnya mahal dan tidak efisien karena beberapa molekul enzim dijadikan
sebagai matriks sehingga aktivitas enzimatiknya relatif lebih rendah. Umumnya
metode ini digunakan bersama dengan metode imobilisasi enzim yang lain,
misalnya untuk mencegah hilangnya enzim dari gel poliakrilamid atau
menstabilkan enzim teradsorbsi (Rosevear et al. 2005).
Dibandingkan enzim bebas, enzim amobil memiliki kelebihan yaitu
peningkatan stabilitas, pemanenan, dan purifikasi produk yang lebih mudah, dapat
dipakai berulang dan dapat digunakan dalam proses teknologi yang sinambung
(Zubriene et al. 2003).
Imobilisasi lipase dengan metode kovalen telah dilakukan sebelumnya pada
matriks polimer, seperti kitin (Setyahadi et al. 2011) dan membran
polyethersulfone (Arianto 2008). Imobilisasi lipase juga dapat dilakukan pada
polimer tidak larut seperti MCM41 (Ali dan Katiyar 2012).
MCM-41
Beberapa dekade terakhir perkembangan material nano menjadi topik yang
sangat menarik. Material nano dapat berupa logam, keramik, bahan polimer,
bahan komposit dan material mesopori, yang memiliki ukuran sangat kecil
berkisar antara 1-100 nanometer (nm). Dalam perkembangannya, material nano
diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu material nano dimensi (nano particle),
satu dimensi (nano wire), dan dua dimensi (thin films). Tetapi dari tiga jenis
material nano tersebut, ada satu jenis material nano yang tidak dapat dimasukkan
ke dalam tiga kategori tersebut karena proses sintesis yang berbeda dan lebih sulit
dari pada tiga kategori material nano tersebut. Material nano disebut dengan
material nano khusus (special nanomaterials). Material nano khusus ini sangat
unik karena tidak terdapat dialam dan hanya dapat diperoleh dengan sintesis
dalam laboratorium.
Material pori diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan diameter
porinya yaitu, material mikropori, material mesopori, dan material makropori.
Material mikropori memiliki diameter kurang dari 2 nm. Material mesopori
memiliki diameter antara 2-50 nm, sedangkan material makropori memiliki
diameter lebih dari 50 nm.
Pada tahun 1992 dilaporkan sintesis dari anggota baru keluarga mesopori
(~20-500 Å) molecular sieves (M41S). Silika mesopori dengan daerah permukaan
dan volume pori yang tinggi telah menarik perhatian sejak penemuan molecular
sieves mesopori (M41S) oleh ilmuwan pada Mobil Oil (Beck et al. 1992; Kresge
et al. 1992b). Corak yang menjadi daya tarik utama dari material ini adalah
struktur kimia yang unik yang terdiri dari pasangan gugus fungsi silanol (Si-OH)
dengan ukuran pori dan bentuk yang dapat dibuat melalui proses yang hati-hati
untuk menyesuaikan fungsi host dimana pengenalan molekular diperlukan (Kruk
et al. 1997; Van Der Voort et al. 1998).
Salah satu anggota yang paling diselidiki dari keluarga M41S adalah Mobile
Crystalline of Materials atau MCM41 yang tersusun atas padatan silika amorf
memiliki struktur yang teratur dengan mesopori yang seragam berupa heksagonal
8
dengan luas permukaan yang lebih tinggi dari 1000 m2 g-1 dan susunan struktur
seperti sarang lebah (Beck et al. 1992; Matsumoto et al. 1999) (Gambar 3).
Kelebihan MCM-41 adalah memiliki volume pori yang besar, ukuran pori
dapat diatur, dan memiliki sifat yang relatif stabil, baik terhadap pengaruh suhu,
bahan kimia ataupun pengaruh mekanis (Corma 1997; Davic 1991; Kloestra et al.
1997).
Terdapat dua macam mekanisme pembentukan MCM-41 yaitu liquid crystal
templating mechanism (Kresge et al. 1992b) dan transformasi lamellar (Blin et al.
2000; Vartuli et al. 1994; Huo et al. 1994; Davis dan Burkett 1995). Banyak
faktor yang mempengaruhi proses pembuatan MCM41 antara lain pengaruh waktu,
pH, suhu, surfaktan terhadap rasio silika, sifat surfaktan, stabilitas, morfologi dan
sifat tekstur dari struktur mesopori MCM41. Faktor-faktor tersebut dapat
mempengaruhi diameter pori, ketebalan dinding dan struktur dari senyawa akhir
(Blin et al. 2000). Ukuran diameter pori MCM-41 dapat divariasikan dengan
penambahan molekul organik seperti alkana pada campuran sintesa. Variasi
diameter pori juga ditingkatkan dengan menambahkan konsentrasi surfaktan dan
silikatnya, atau memvariasikan waktu reaksi (Selvam et al. 2001).
Gambar 3
TEM mikrograf dari MCM-41. Mesopori teratur
dalam struktur seperti sarang lebah, dipisahkan
oleh dinding pori silika amorf yang tipis
(hitam). Ukuran pori dari bahan MCM-41
adalah sekitar 3 nm diameter (Nanotechnology
Timeline 2008)
Silika merupakan komponen utama MCM-41 (Siriluk dan Yuttapong 2005),
dimana silika amorf adalah sumber silika yang sangat reaktif, sedangkan silika
kristalin tidak reaktif (Hamdan et al. 1996). Selain silika diperlukan surfaktan
sebagai template.
9
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Maret 2013 − Januari 2014 di
Laboratorium Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT), Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan.
Alat dan Bahan
Alat-alat penelitian yang digunakan meliputi Hot Plate Yellow MAG HS7,
Mini Chiller Huber, Refrigrated Centrifuge Hitachi (Refrigrated Centrifuge
CR226) & Rotor R103A, Refrigrated Microsentrifuges Sorvall Fresco, Shaker
Heidolp UNIMAX 1010, Digital Scales Radwag WPS 510/C/2, Magnetic Stirrer
Bibby B 212, InLab pH meters (USA), Spektro UV-Vis 2001, Vortex SurgentWelch Scientific (USA), Digital Scales Radwag XA-110, Furnace Nabertherm
L5/517, Shimadzu X-Ray Diffraction XRD-7000 using Cu Kα Radiation,
Shimadzu FTIR (Fourier-Transform Infrared Spectra).
Lipase yang digunakan merupakan lipase komersil koleksi dari
Laboratorium Bioindustri LABTIAB, BPPT Serpong. Sintesis MCM-41
menggunakan Natrium Silicate Solution (Na2SiO3) (Sigma-Aldrich) sebagai
sumber silika, CTAB (Hexadecyltrimethyl Ammonium Bromide) (BM =364,46
gr/mol; TCI), HCl dan NaOH sebagai katalis basa. Uji aktivitas enzim dengan
metode spektrofotometri (Silva et al 2005) dengan menggunakan p-Nitrophenil
palmitat (Sigma) sebagai substrat, 2-propanol (BDH-Analar), 0.05 M Tris-HCl pH
8, Triton X-100 (Sigma-Aldrich), Gum Arabic (Sigma). Pembuatan kurva standar
aktivitas lipase menggunakan p-Nitrophenol (Sigma). Uji kadar protein dengan
metode Bradford (1976) diperlukan reagen Bradford 1x dan Bovine Serum
Albumine (Sigma). Imobilisasi lipase dengan metode ikatan kovalen (Wook kim
et al 2006) dengan menggunakan 3-(Aminopropil)trietoksisilan (3-APTES),
glutaraldehida, buffer fosfat 0.05 M pH 7. Pada reaksi transesterifikasi untuk
menghasilkan metil ester digunakan minyak sawit dan metanol. Metil ester dalam
produk ditentukan dengan menggunakan Gas Chromatrography-Mass
Spectrometry (GC-MS).
Prosedur Kerja
Penentuan Metode MCM-41
Pada penentuan metode MCM-41 dilakukan kembali sintesis MCM-41 yang
mengikuti beberapa metode dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
dengan komposisi yang berbeda-beda (Tabel 1).
10
Tabel 1
Berbagai metode penentuan sintesis MCM-41
Komposisi
Na2SiO3
CTAB
HCl
H2SO4
pH
Suhu dan Waktu
Inkubasi
Suhu dan Waktu
Kalsinasi
Zhou et al.
(2012)
18.8 mL
0.6 g
40 mL
3.0
Suyanta et al.
(2012)
6.02 g
2.27 g
10
Wibowo et al.
(2004)
10.93 g
9.11 g
0.7 g
10
Penelitian ini
(2013)
10.93 g
9.11 g
0.7 g
10
20 °C, 8 jam
150 °C, 72 jam
100 °C, 96 jam
100 °C, 96 jam
600 °C, 3 jam
560 °C, 6 jam
600 °C, 4 jam
500 °C, 3 jam
Sintesis MCM-41
Sintesis MCM-41 dilakukan dengan menggunakan metode asam Zhou et al.
(2012). Larutan SiO2 5% (18.8 mL) dilarutkan dalam 100 mL reverse osmosis dan
CTAB 1.5% (0.6 g) dilarutkan dalam 40 mL HCl 2M. Kedua larutan dicampurkan
kedalam 100 mL reverse osmosis, di aduk pada suhu 20 oC. Nilai pH diukur
dengan menambahkan NaOH 40%. Campuran larutan diaduk selama 10 menit
pada suhu 20 oC dan diinkubasi pada suhu 20 oC selama 8 jam. Produk yang
didapat difiltrasi dan dibilas menggunakan air reverse osmosis dan dikeringkan
pada suhu 80 oC. Kalsinasi pada suhu 600 oC selama 3 jam untuk memperoleh
material MCM-41.
Sintesis MCM-41 dengan menggunakan metode Suyanta et al. (2012) yaitu
sebanyak 2.27 g CTAB dicampur dengan 40 mL air reverse osmosis pada
temperatur 60 °C disertai dengan pengadukan selama 30 menit. Ke dalam
campuran tersebut ditambahkan 6.02 g Na2SiO3 sehingga terbentuklah suatu gel.
Ke dalam gel tersebut ditambahkan sejumlah larutan H2SO4 1M tetes demi tetes
sehingga pH-nya turun menjadi 10, kemudian diaduk dengan konstan selama 2
jam pada temperatur kamar. Perlakuan hidrotermal dilangsungkan pada
temperatur 150 °C di dalam botol plastik yang dipanaskan dalam oven selama 72
jam. Padatan hasil sintesis disaring, dicuci dengan air reverse osmosis dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C. Hasil sintesis di kalsinasi pada suhu
560 °C selama 6 jam.
Sintesis MCM-41 dilakukan dengan menggunakan metode dari Wibowo et
al. (2004). Sebanyak 9.11 g CTAB dilarutkan dalam 30 mL air reverse osmosis
kemudian ditambah dengan 0.7 gr H2SO4 dan sebanyak 10.93 g Na2O7SiO3
dilarutkan dalam 20 mL air reverse osmosis. Kedua larutan ini dicampur dan
diaduk selama 60 menit, kemudian dimasukkan dalam botol plastik dan
diinkubasi selama 96 jam pada suhu 90 oC. Produk yang didapat difiltrasi dan
dibilas menggunakan air reverse osmosis dan dikeringkan pada suhu 80 oC.
Kalsinasi pada suhu 600 oC selama 4 jam untuk memperoleh material MCM-41.
Kemudian penelitian ini sendiri menggunakan metode Wibowo et al. (2004) yang
telah dimodifikasi dengan menurunkan suhu dan waktu kalsinasi menjadi 500 °C
selama 3 jam.
11
Karakterisasi MCM-41
Karakterisasi material MCM-41 yang diperoleh menggunakan XRD (X-Ray
Difractometer) Shimadzu XRD-7000 menggunakan radiasi Cu Kα untuk
identifikasi struktur material yang terdapat dalam sampel. Analisa FTIR (Fouriertransform infrared spectra) digunakan untuk karakterisasi bahan polimer dan
analisis gugus fungsi dilakukan di Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. SEM
(Scanning Electron Microscopy) untuk menentukan struktur pori dari material.
Karakterisasi XRD dan SEM dilakukan di Laboratorium XRD dan SEM Bidang
Bahan Industri Nuklir PTBIN Batan Serpong.
Uji Aktivitas Lipase
Pengujian aktivitas lipase dengan metode spektofotometri (Silva et al. 2005)
menggunakan p-Nitrofenil palmitat (p-Npp) sebagai substrat. Larutan A dibuat
dengan melarutkan 3 mg p-Npp dalam 1 mL 2-propanol. Selanjutnya dibuat
larutan B dengan melarutkan 10 mg Gum Arabic dan 40 mg Triton X-100 dalam 9
mL buffer Tris-HCl 0.05 M pH 8. Substrat dibuat dengan cara mencampurkan
larutan A dan B pada saat akan digunakan. Pengujian lipase yaitu dengan
mencampurkan 100 µl sampel lipase dengan 900 µl larutan substrat, kemudian
diinkubasi selama 30 menit pada suhu 45 °C dan disentrifugasi. Serapan panjang
gelombang diukur pada = 410 nm, dengan kontrol bebas enzim.
Satu unit lipase (U) didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 1 µmol p-Nitrofenol/menit (Lampiran 2). Hasil pengukuran
absorbansi kemudian dikonversikan ke dalam aktivitas berdasarkan persamaan
kurva standar p-Nitrofenol (Lampiran 1).
Analisa Kadar Protein
Analisa kadar protein ditentukan dengan menggunakan metode Bradford
(1976), serapan panjang gelombang diukur absorbansinya pada
= 5λ5 nm.
Sebanyak 30 µl sampel enzim direaksikan dengan 1500 µl reagen Bradford dan
diinkubasi selama 20 menit pada suhu ruang. Sebagai kontrol digunakan 30 µl
mili-Q ditambahkan dengan 1500 µl reagen Bradford, diinkubasi selama 20 menit
pada suhu ruang. Hasil pengukuran absorbansi kemudian dikonversikan ke dalam
kadar protein berdasarkan kurva standar BSA (Lampiran 3).
Imobilisasi pada MCM-41
Imobilisasi enzim dilakukan dengan metode ikatan kovalen Wook Kim et al.
(2006). Sebanyak 15% 3-(Aminopropil)trietoksisilan dilarutkan dalam 20 mL
aseton kemudian ditambahkan dengan 1 g MCM-41, campuran tersebut diaduk
dan diinkubasi pada suhu 50 °C selama 2 jam, kemudian dicuci dengan air dan
dikeringkan pada suhu 60 °C selama 2 jam. Lalu disuspensikan menggunakan
buffer fosfat 0.05 M pH 7, kemudian ditambahkan dengan 2% glutaraldehida yang
telah dimodifikasi dengan diinkubasi 64 °C selama 20 menit. Campuran tersebut
diaduk secara konstan pada suhu 20 °C selama 2 jam, saring dan cuci
menggunakan 0.05 M buffer fosfat pH 7, setelah itu resuspensikan kembali dalam
0.05 M buffer fosfat pH 7. Perlakuan ini membuat MCM-41 menjadi aktif.
12
Sebanyak 2 mL lipase ditambahkan dalam suspensi MCM-41 aktif dan diaduk
pada suhu 20 °C selama 2 jam, maka diperoleh lipase amobil. Lipase amobil
disaring, dicuci dengan air, dan diresuspensikan kembali dengan 0.05 M buffer
fosfat pH 7. Produk yang dihasilkan disimpan dengan suhu 4 °C.
Nilai protein loading dan efisiensi imobilisasi setelah imobilisasi lipase
dihitung menggunakan persamaan mengikuti Minovska et al. (2005) dapat dilihat
pada Lampiran 4.
Transesterifikasi Secara Enzimatik
Lipase amobil digunakan sebagai katalis untuk sintesis metil ester dengan
mereaksikan minyak sawit dan metanol dengan perbandingan 1:3 (rasio molar).
Kemudian ditambahkan 1 g lipase amobil kedalam campuran minyak sawit dan
metanol tersebut dan diinkubasi dengan suhu 37 °C selama 24 jam dengan agitasi
150 rpm. Campuran tersebut dipisahkan, residu lipase amobil dibilas
menggunakan n-hexane dan digunakan untuk pemakaian selanjutnya.
Uji Stabilitas Lipase Amobil pada Pemakaian Berulang
Uji stabilitas lipase amobil pada pemakaian berulang dilakukan dengan
menggunakan kembali lipase amobil ke dalam campuran minyak sawit dan
metanol dengan perbandingan 1:3 (rasio molar) pada suhu 37 °C selama 24 jam
dengan agitasi 150 rpm. Pengujian dilakukan sebanyak 4 (empat) kali
pengulangan.
Analisa Konversi Trigliserida dengan GC-MS
Analisis metil ester dilakukan di Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri,
Jakarta Selatan. Tujuan analisa ini untuk menentukan konsentrasi metil ester
sebagai produk dengan menggunakan Gas Chromatography-Mass Spectrometry
(GC-MS) (Hewlett-Packard 5890) dilengkapi dengan detektor MS dan kolom
kapiler 15-m (DB-1 Agilent Technologies Inc, Palo Alto, CA). Bobot metil ester
yang terbentuk kemudian dihitung menggunakan persamaan berikut (Tran et al.
2012):
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Mekanisme Pembentukan MCM-41
MCM-41 dengan keteraturan struktur pori heksagonal yang baik telah
berhasil disintesis secara hidrothermal dengan suhu 100 °C menggunakan
mekanisme pembentukan liquid crystal templating mechanism dengan CTAB
sebagai surfaktan dan sodium silikat sebagai sumber silika. Zhao et al. (2013)
13
menyatakan pemilihan surfaktan merupakan kunci dari pembentukan material
mesopori, struktur dan sifat dari surfaktan sangat mempengaruhi hasil akhir dari
mesostuktur, ukuran pori dan luas permukaan material mesopori. CTAB
merupakan kationik surfaktan yang efisien untuk sintesis material mesoporous
yang teratur, memiliki kelarutan yang baik, memiliki nilai CMT (critical micelle
temperature) yang tinggi dan dapat digunakan dalam media yang asam maupun
basa. Sodium silikat merupakan senyawa yang mengandung anion yang
dikelilingi oleh ligan oksigen elektronegatif. Anion silikat dengan muatan negatif
harus mendapatkan pasangan kation seperti CTAB untuk membentuk senyawa
bermuatan netral. Parlenov dan Kirik (2003) melaporkan sintesis MCM-41
pembentukan dinding pori diawali dengan interaksi supramolekuler antara
surfaktan kationik dengan berbagai polianion silikat.
Dalam penelitian ini dilakukan perlakuan hidrotermal terhadap larutan
utama dengan suhu 100 °C selama 96 jam (4 hari). Menurut Zhao et al. (2013)
perlakuan hidrotermal merupakan salah satu metode yang paling efisien untuk
meningkatkan keteraturan mesopori dari produk. Poin penting yang harus diingat
adalah lamanya waktu perlakuan hidrotermal, biasanya 3-7 hari untuk
meningkatkan struktur yang teratur dan suhu hidrotermal yang normal dibawah
150 °C. Chen et al. (1997) melaporkan suhu yang tinggi di atas 150 °C akan
menyebabkan degradasi keteraturan mesopori dan dekomposisi surfaktan yang
dapat langsung berpengaruh terhadap pembentukan mesopori material.
Nilai pH pada media juga merupakan faktor kunci lain untuk sintesis
mesopori material. Pada umumnya mesopori struktur diolah dengan kondisi asam
ataupun basa. Umumnya, kondisi media yang netral tidak cocok untuk
mendapatkan mesostruktur yang teratur dari mesopori material (Tanev dan
Pinnavaia 1995). Dalam penelitian ini, surfaktan dan sumber silikat yang
digunakan bersifat basa sehingga perlu ditambahkan asam sulfat (H2SO4) agar pH
media turun ke pH optimum untuk pembentukan MCM-41 sekitar pH 10.
Monnier et al. (1993) melaporkan pada kasus pH yang terlalu tinggi diatas 12
pembentukan dinding silikat tidak berlangsung sempurna akibat adanya gaya tolak
elektrostatik antar senyawa silikat yang menyebabkan polimerisasi senyawa
silikat terganggu sehingga dinding silikat tidak terbentuk.Waktu pengadukan juga
menjadi faktor penting untuk pembentukan MCM-41. Menurut Wibowo et al.
(2004) waktu pengadukan yang singkat menyebabkan sebagian surfaktan tidak
larut sehingga akan menggangu polimerisasi senyawa silikat pada lapisan
permukaan surfaktan-silikat yang akan menyebabkan struktur pori MCM-41 yang
terbentuk kurang teratur.
Mekanisme pembentukan MCM-41 dapat dilihat pada Gambar 4.
Pembentukan MCM-41 dimulai dari molekul surfaktan kationik yang memiliki
kepala hidrofilik dan ekor hidrofobik terlarut dalam air akan bergabung menjadi
satu, membentuk suatu misel. Dengan adanya peningkatan konsentrasi surfaktan,
maka akan terbentuk misel silinder yang tersusun paralel dan membentuk suatu
susunan heksagonal, susunan heksagonal ini sangat dipengaruhi oleh pH larutan
yang digunakan. Pada pelarut air orientasi misel pada bagian kepala surfaktan
akan berkumpul didaerah luar dan ekor surfaktan akan berkumpul didaerah dalam,
hal ini disebabkan oleh molekul surfaktan kationik yang memiliki kepala hidofilik
dan ekor hidrofobik. Setelah susunan heksagonal terbentuk dengan sempurna,
penambahan senyawa silika secara bertahap akan melapisi bagian luar dari
14
susunan heksagonal misel dan memperkuat rangka dari struktur heksagonal yang
telah terbentuk, apabila proses tersebut berjalan sempurna maka dilanjutkan
dengan proses inkubasi atau aging, pada proses ini terjadi reaksi pembentukan
jaringan yang lebih kuat dan menyusut didalam larutan. Kristal yang terbentuk
setelah proses aging harus dikeringkan dan dibebaskan dari surfaktan. Surfaktan
yang tidak diinginkan bisa dihilangkan melalui proses kalsinasi (Selvam et al.
2001). Kalsinasi berguna untuk melepaskan templat yang digunakan saat proses
pembentukan mesostruktur material dan untuk mendapatkan struktur mesopori
yang memiliki luas permukaan tinggi (Alfaruqi 2008).
Gambar 4
Mekanisme pembentukan MCM-41
(Yang et al 2012)
Hasil Karakterisasi MCM-41 dengan X−Ray Difractometer
Spektroskopi difraksi sinar−X (X−ray difraction) merupakan salah satu
metode karakterisasi material yang digunakan untuk mengidentifikasi fase
kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta
untuk mendapatkan ukuran partikel yang digunakan dalam analisis kualitatif dan
kuantitatif material. Sebagian sinar−X yang diarahkan ke suatu bidang akan
direfleksikan dengan suatu sudut refleksi yang sama dengan sudut sinar datang
terhadap sudut sinar datang tersebut. Sebagian lagi akan diteruskan ke sisi dalam
dan kemudian direflesikan oleh bidang bagian lebih dalam dan seterusnya.
Ilustrasi sinar−X pada XRD dapat dilihat pada Gambar 5. Hal ini disebabkan
adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom dalam
material tersebut. Berkas sinar−X yang dihamburkan ada yang menghilang karena
fasanya berbeda, namun ada juga yang saling menguatkan karena fasanya sama.
Berkas sinar−X yang saling menguatkan ini yang dideteksi XRD dan disebut
sebagai berkas difraksi.
Hukum Bragg merupakan perumusan matematika tentang persyaratan harus
dipenuhi agar berkas sinar−X tersebut merupakan berkas difraksi. Dasar dari
15
penggunaan difraksi sinar−X untuk mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan
persamaan Bragg:
n = 2 d sin θ
Berdasarkan persamaan Bragg di atas, jika seberkas sinar−X dijatuhkan
pada sampel kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar−X yang
memiliki panjang gelombang ( ) sama dengan jarak antar kisi (n) dalam kristal
tersebut. Sinar dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan
sebagai sebuah puncak difraksi. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam
sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang
muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi
tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari data
pengukuran dicocokkan dengan standar difraksi sinar−X untuk hampir semua
jenis material.
sinar datang
Sinar
refleksi
Gambar 5 Ilustrasi sinar−X pada XRD (Alfaruqi 2008)
Karakterisasi dengan X-Ray Difractometer (XRD) padatan hasil sintesis
MCM-41 menggunakan metode dari Zhou et al. (2012) pada pH 3, waktu
inkubasi 8 jam pada suhu 20 °C dan kalsinasi pada suhu 600 °C selama 3 jam
tidak menunjukkan adanya puncak-puncak yang merefleksikan sistem kristal
heksagonal (Gambar 6). Hal ini mungkin terjadi karena waktu inkubasi (aging)
hanya sebentar (8 jam) sehingga kristal MCM-41 tidak terbentuk secara sempurna.
Menurut Zhao et al. (2013) 3-7 hari merupakan waktu inkubasi yang paling
efisien untuk meningkatkan struktur heksagonal yang teratur pada MCM-41. Zhao
et al. (2013) menyatakan jika padatan hasil sintesis merupakan mesopori dengan
fasa heksagonal maka pola difraksi sinar-X dari padatan hasil sintesis tetsebut
harus dapat diindeks dengan indeks bidang yang menyatakan refleksi bidang hkl
(Miller Indeks) sistem kristal heksagonal, yaitu bidang (100), (110), (200), (210)
dan seterusnya.
16
Gambar 6
Grafik XRD MCM-41 metode Zhou et al.
(2012)
Karakterisasi dengan X-Ray Difractometer (XRD) padatan hasil sintesis
MCM-41 menggunakan metode dari Suyanta et al. (2012) dengan pH 10, waktu
inkubasi 72 jam pada suhu 150 °C dan kalsinasi selama 6 jam pada suhu 560 °C
menunjukkan pucak yang merefleksikan sistem kristal heksagonal tidak terbentuk
(Gambar 7). Zhao et al. (2013) menyatakan suhu inkubasi diatas atau sama
dengan 150 °C tidak direkomendasikan, sesuai dengan Wibowo et al. (2004)
semakin lama waktu sintesis pada suhu yang lebih tinggi akan merusak kristal
MCM-41 yang telah terbentuk.
Gambar 7
Grafik XRD MCM-41 metode Suyanta et al.
(2012)
Karakterisasi dengan X-Ray Difractomet
BIODIESEL
MUTI DIANDA SARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Imobilisasi Lipase pada
MCM-41 untuk Produksi Biodiesel adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Muti Dianda Sari
NIM P051114021
RINGKASAN
MUTI DIANDA SARI. Imobilisasi Lipase pada MCM-41 untuk Produksi
Biodiesel. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan SISWA SETYAHADI.
Biodiesel adalah metil ester asam lemak yang biasanya diproduksi melalui
reaksi transesterifikasi dari trigliserida (minyak) dan metanol dengan katalis basa.
Produk yang dihasilkan memiliki viskositas yang rendah dan biofuel (metil ester)
yang dihasilkan dapat menggantikan petroleum diesel dan dalam penerapannya
pada mesin diesel tidak memerlukan modifikasi mesin. Selain itu, jika
dibandingkan dengan bahan bakar fosil, metil ester yang terbentuk tidak beracun,
aman untuk kesehatan dan mudah terurai serta menghasilkan gas emisi buang
yang lebih rendah.
Lipase (acylhydrolases triasilgliserol, EC 3.1.1.3) adalah enzim yang
digunakan pada reaksi transesterifikasi untuk mengkatalisis hidrolisis trigliserida
menjadi gliserol dan asam lemak. Lipase juga merupakan biokatalis yang efektif
untuk sintesis biodiesel dan memiliki banyak keuntungan lain. Namun, dalam
skala industri penggunaan lipase masih terbatas karena harganya yang relatif
mahal. Imobilisasi enzim adalah metode yang paling banyak digunakan untuk
menjaga kestabilan lipase dan membuat lipase lebih menarik dalam skala industri
dan dalam penggunaannya secara kontinyu.
Material mesopori diketahui memiliki banyak kegunaan dalam aplikasi
sebagai penyangga suatu katalis, antara lain adsorpsi gas dan cairan, imobilisasi
biomolekuler dan pemisahan karena luas permukaan yang tinggi dan pori-pori
besar yang seragam. MCM-41 (Mobile Crystalline Material 41) adalah material
mesopori yang memiliki bentuk heksagonal dan memiliki pori-pori yang seragam,
luas permukaan tinggi dan volume pori yang besar.
Penelitian ini mempelajari penyiapan MCM-41 sebagai support matriks
untuk imobilisasi lipase dengan metode ikatan kovalen untuk produksi biodiesel.
MCM-41 telah disintesis menggunakan metode “liquid crystal templating
mechanism” pada suhu 100 °C selama 96 jam menunjukkan hasil yang memiliki
keseragaman material mesopori yang tinggi. MCM-41 dikarakterisasi
menggunakan X-ray diffraction (XRD), Fourier transform-infra red (FTIR) dan
Scanning electron microscopy (SEM). Imobilisasi lipase pada MCM-41 telah
diamati dan kesesuaiannya sebagai support matriks untuk imobilisasi lipase
dihitung dengan aktivitas enzim, protein loading, dan efisiensi imobilisasi. Lipase
teramobilisasi digunakan sebagai biokatalis untuk produksi biodiesel melalui
reaksi transesterifikasi dari minyak sawit dan metanol 1:3 (rasio molar). Hasil dari
reaksi transesterifikasi yang diperoleh dianalisa menggunakan Gas KromatografiMass Spektra (GC-MS). Imobilisasi dengan metode ikatan kovalen menunjukkan
efisiensi imobilisasi sebesar 94.4% dan protein loading sebesar 79.5 mg/g dengan
aktivitas sebesar 1637 U/g dan 114 U/g setelah imobilisasi. Konversi dari minyak
ke metil ester diperoleh bobot sebesar 48.7% dengan suhu 37 °C selama 24 jam.
Kata kunci: biodiesel, imobilisasi, lipase, MCM-41, transesterifikasi
SUMMARY
MUTI DIANDA SARI. Lipase Immobilization onto MCM-41 for Biodiesel
Production. Supervised by ANI SURYANI and SISWA SETYAHADI.
Biodiesel are methyl esters of fatty acids that usually produced by base
catalyzed transesterification of triglycerida with methanol. The product has low
viscosity and is a biofuel (fatty methyl ester) produced can replace petroleumbased diesel fuel with no need of engine modifications in its application to diesel
engine. Compared to fossil fuel, the formed ester fuels are non-toxic, safe to
handle, biodegradable and produces lower gas emission.
Lipase (acylhydrolases triasilgliserol, EC 3.1.1.3) is an enzyme used in the
transesterification to catalyze the hydrolysis of triglyceride to glycerol and free
fatty acid. Lipase is also an effective biocatalyst for biodiesel synthesis and have
many potential advantages. The high cost of lipase in industrial is still limited use.
Enzyme immobilization is the most widely used method for achieving stability in
lipase and to make them more attractive for industrial use and in its use
continuously.
Mesoporous materials have found a lot of applications in shape-selective
catalysis, adsorption of gases and liquid, biomolecular immobilization and
separation because of their high specific areas and large uniform pore sizes.
MCM-41 (Mobile Crystalline Material number 41) is consisting of hexagonal
arrays of a uniform pore size, high surface area and high pore volume.
This study investigated the preparation of MCM-41 as a support for the
lipase immobilization by the covalent binding for biodiesel production. MCM-41
has been synthesis with “liquid crystal templating mechanism” method at 100 °C
for 96 hours that have highly ordered mesoporous material. MCM-41 has been
characterized by X-ray diffraction (XRD), fourier transform infrared spectra
(FTIR) and scanning electron microscopy (SEM). Lipase immobilization on
MCM-41 support has been observed and the suitability of the support for the
immobilization of lipase was estimated by the enzyme activity, protein loading
and immobilization efficiency. Imobilized lipase used as biocatalyst for biodiesel
production with transesterification reaction of the palm oil and methanol to 1:3
molar ratio. The progress of the reaction of transesterification was monitored by
Gas Chromatography-Mass Spectra (GC-MS). Immobilization with covalent
binding showed immobilization efficiency of 94.4% and protein loading of 79.5
mg/g with lipolytic activity before immobilization of 1637 U/g and 114 U/g after
immobilization. The conversion of oil to methyl esters reached 48.7% within 24 h
at 37 °C.
Keywords: biodiesel, immobilization, lipase, MCM-41, transesterification
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IMOBILISASI LIPASE PADA MCM-41 UNTUK PRODUKSI
BIODIESEL
MUTI DIANDA SARI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MS
Judul Tesis : Imobilisasi Lipase pada MCM-41 untuk Produksi Biodiesel
Nama
: Muti Dianda Sari
NIM
: P051114021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Ani Suryani, DEA
Ketua
Dr Ir Siswa Setyahadi, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Bioteknologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
27 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
imobilisasi enzim, dengan judul Imobilisasi Lipase pada MCM-41 untuk Produksi
Biodiesel.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Ani Suryani DEA dan
Bapak Dr Ir Siswa Setyahadi MSc selaku komisi pembimbing. Disamping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Dadang Suhendar, Ruby
Setiawan (Laboratorium Bioseparasi) dan seluruh staf Laboratorium Teknologi
Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah membantu
selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa
Drs Hi Kurniadi MM, mama Dr Hj Betti Nuraini MM, Lita Aprianda Sari serta
seluruh keluarga, atas doa, cinta dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014
Muti Dianda Sari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Prosedur Kerja
Penentuan Metode MCM-41
Sintesis MCM-41
Karakterisasi MCM-41
Uji Aktivitas Lipase
Analisa Kadar Protein
Imobilisasi pada MCM-41
Transesterifikasi secara Enzimatik
Uji Stabilitas Lipase Amobil pada Pemakaian Berulang
Analisa Konversi Trigliserida dengan GC-MS
9
9
9
9
9
10
11
11
11
11
12
12
12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Mekanisme Pembentukan MCM-41
Hasil Karakterisasi MCM-41 dengan XRD
Hasil Karakterisasi MCM-41 dengan FTIR
Hasil Karakterisasi MCM-41 dengan SEM
Imobilisasi Lipase pada MCM-41
Stabilitas Lipase Amobil pada Pemakaian Berulang
Analisa Produk Metil Ester dengan GC-MS
12
12
14
18
20
21
23
25
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
27
27
27
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
40
DAFTAR TABEL
1 Berbagai metode penentuan sintesis MCM-41
2 Komposisi metil ester dari kromatogram
10
26
DAFTAR GAMBAR
1 Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol
2 Reaksi transesterifikasi secara enzimatik
3 TEM mikrograf dari MCM-41
4 Mekanisme pembentukan MCM-41
5 Ilustrasi sinar X pada XRD
6 Grafik XRD MCM-41 metode Zhou et al. (2012)
7 Grafik XRD MCM-41 metode Suyanta et al. (2012)
8 Grafik XRD MCM-41 metode Wibowo et al. (2004)
9 Grafik XRD MCM-41 menunjukkan 3 puncak refleksi
10 Spektra FTIR dari MCM-41
11 Mikrograf SEM sebelum imobilisasi
12 Mikrograf SEM setelah imobilisasi
13 Kurva hasil pengukuran stabilitas lipase amobil pada pemakaian
berulang
14 Kromatogram biodiesel hasil analisa GC-MS
5
6
8
14
15
16
16
17
17
19
20
21
24
26
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Kurva standar aktivitas lipase (Silva et al. 2005)
Rumus perhitungan aktivitas lipase (Yoza dan Setyahadi 2009)
Kurva Standar Protein dengan Metode Bradford (1976)
Kalkulasi dari protein loading dan efisiensi imobilisasi
Hasil Karakterisasi SEM pada MCM-41 sebelum dan setelah
imobilisasi
6 Kromatogram standar metil palmitat
35
36
36
37
38
39
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini harga minyak dunia semakin melambung tinggi, hal ini cukup
memberikan dampak besar terhadap perekonomian dunia, tak terkecuali negara
berkembang seperti Indonesia. Isu global yang sangat meresahkan manusia dalam
beberapa kurun waktu terakhir adalah pencemaran lingkungan dan menipisnya
cadangan minyak sebagai energi. Hal ini terlihat pada naiknya harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) sehingga biaya transportasi juga semakin melambung, yang juga
mempengaruhi biaya produksi dan distribusi industrial. Seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat maka kebutuhan
akan energi semakin meningkat. Berdasarkan data Direktorat Jendral Energi Baru
Terbarukan dan Konservasi Energi Kementrian ESDM, dalam beberapa tahun
terakhir pertumbuhan konsumsi energi di Indonesia mencapai 7% per tahun,
sementara pertumbuhan konsumsi energi dunia hanya 2.6% per tahun. Konsumsi
energi yang tinggi ini menimbulkan masalah dan ketimpangan, yaitu terjadinya
pengurasan sumber daya fosil seperti minyak dan gas bumi serta batu bara yang
lebih cepat, jika dibandingkan penemuan cadangan baru. Sehingga, tidak tertutup
kemungkinan dalam jangka waktu yang tidak lama lagi, cadangan energi fosil di
Indonesia akan habis dan akan sangat bergantung pada energi impor (Kurniawan
2013).
Salah satu energi alternatif pengganti energi fosil adalah Biodiesel atau
metil ester yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewan, terdiri dari
campuran mono-alkyl ester dari rantai panjang asam lemak serta mengandung
oksigen. Adanya oksigen ini yang membedakan biodiesel dengan petroleum diesel
(solar) yang komponen utamanya hanya hidrokarbon. Hal ini menjadikan
biodiesel dengan petroleum diesel sangat berbeda, biodiesel terdiri dari metil ester
minyak nabati sedangkan petroleum diesel terdiri dari hidrokarbon. Tetapi,
biodiesel mempunyai sifat fisik dan kimia yang serupa dengan petroleum diesel
sehingga dapat digunakan langsung ke mesin ataupun dicampurkan dengan
petroleum diesel. Pencampuran 20% biodiesel dalam petroleum diesel dapat
menghasilkan bahan bakar tanpa mengubah sifat fisik. Energi yang dihasilkan
biodiesel tidak jauh berbeda dengan energi yang dihasilkan petroleum diesel.
Biodiesel memiliki 80.55% efisiensi energi dan petroleum diesel memiliki
83.28% efisiensi energi. Walaupun kandungan kalori biodiesel serupa dengan
petroleum diesel tetapi biodiesel mengandung oksigen maka flash pointnya
menjadi lebih tinggi dan tidak mudah terbakar. Biodiesel juga tidak menghasilkan
uap pada suhu ruang sehingga tidak membahayakan dalam penyimpanan dan
penggunaaannya. Di samping itu biodiesel bersifat biodegreadable dan renewable,
ramah lingkungan karena hampir tidak mengandung sulfur dan senyawa benzen
yang bersifat karsinogenik, tidak mempunyai efek samping terhadap kesehatan
dan dapat menjadi solusi untuk menghadapi kelangkaan energi fosil pada masa
yang akan datang, memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin karena
termasuk kelompok minyak yang tidak mengering (non-drying oil), mampu
mengurangi emisi karbondioksida dan efek rumah kaca (Sheehan et al. 1998).
2
Bahan baku yang biasa digunakan untuk biodiesel adalah minyak nabati.
Minyak nabati dapat dihasilkan dari berbagai macam tanaman yang mengandung
asam lemak. Dalam pengolahan minyak menjadi biodiesel ini diperlukan proses
transesterifikasi trigliserida. Menurut Soontag (1981), transesterifikasi yang biasa
disebut dengan alkoholisis atau metanolisis adalah proses penggantian gugus
alkohol ester (gliserol) dengan alkohol lain dalam suatu proses yang menyerupai
hidrolisis. Pada umumnya alkoholisis lemak menggunakan alkohol rantai pendek
dengan katalis kimiawi (asam atau basa) atau katalis biologis (enzimatik).
Beberapa kelemahan dalam penggunaan katalis kimiawi adalah tingginya
konsumsi energi proses serta masih terikutnya senyawa-senyawa pengotor dalam
metil ester seperti monogliserida, digliserida, gliserol, air dan katalis alkali yang
digunakan (Salis et al. 2005), menimbulkan limbah cair dan diperlukan tambahan
energi dan material untuk pemurnian produk. Untuk mengatasi kerugian
menggunakan katalis kimiawi maka dapat dilakukan teknik lain yaitu
menggunakan katalis biologi. Salah satu katalis biologis dapat digunakan adalah
enzim. Lipase adalah enzim yang dapat digunakan sebagai katalis biologis yang
memiliki aktivitas enzimatik yang cukup tinggi.
Penggunaan lipase sebagai katalis sebenarnya relatif mahal, oleh karena itu
penggunaan katalis biologis tersebut dilakukan dengan cara immobilisasi pada
katalis tersebut. Berkembangnya teknologi imobilisasi enzim disadari dengan
adanya beberapa kelemahan sifat enzim yaitu ketidakstabilan enzim, tingginya
biaya isolasi dan pemurnian serta mahalnya biaya penggunaan enzim karena
enzim yang telah dipakai di dalam larutan sulit untuk dipisahkan atau
dipergunakan lagi (Suhartono 1989). Pada dasarnya prinsip imobilisasi adalah
mengikat enzim secara fisik pada suatu tempat tertentu yang masih memiliki
aktivitas katalitik dan dapat digunakan untuk pemakaian berulang-ulang dan
kontinu (Chibata 1978).
Imobilisasi enzim bisa dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya
adalah metode pengikatan dengan bahan penyangga atau “carrier binding”.
Metode yang paling sering digunakan dengan bahan penyangga adalah adsorpsi
fisik dan ikatan kovalen. Tetapi adsorpsi secara fisik memiliki kekurangan yaitu
mudah terganggu oleh perubahan pH dan suhu pada lingkungan enzim amobil
karena interaksi antara enzim dan bahan penyangga sangat lemah sehingga enzim
amobil mudah lepas dan menjadi enzim bebas kembali (Suhartono 1989).
Sedangkan pada metode ikatan kovalen ikatan antara enzim dan bahan penyangga
stabil sehingga enzim tidak mudah lepas ke dalam larutan dan substrat dapat
dengan mudah berinteraksi karena enzim berada pada permukaan bahan
penyangga (Brena dan Batista 2006).
Salah satu bahan penyangga yang dapat digunakan untuk imobilisasi enzim
adalah MCM-41. MCM-41 atau Mobile Crystalline Material number 41
merupakan suatu jenis material baru yang mempunyai struktur mesopori dan
diameter seragam. Material ini ditemukan oleh ilmuwan dari Mobile Oil Company
pada tahun 1992 (Kresge et al. 1992b; Beck et al. 1992). Kelebihan MCM-41 ini
antara lain memiliki struktur pori heksagonal seperti sarang lebah, volume pori
besar, ukuran pori dapat diatur, mempunyai sifat yang relatif stabil baik terhadap
pengaruh suhu, bahan kimia ataupun pengaruh mekanis (Corma 1997; Davic
1991; Kloestra et al. 1997). Berdasarkan sifat tersebut maka MCM-41 dapat
digunakan sebagai penyangga katalis untuk imobilisasi enzim.
3
Perumusan Masalah
Biodiesel dapat dibuat dengan proses transesterifikasi dari minyak nabati
yang mengandung asam lemak bebas yang tinggi menggunakan katalis kimia.
Namun permasalahan yang dihadapi adalah tingginya konsumsi energi dari katalis
kimia dan masih tertinggalnya senyawa-senyawa pengotor, sehingga dapat
menimbulkan limbah cair dan untuk memurnikannya perlu energi dan material
tambahan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka digunakan katalis
biologi berupa enzim. Enzim yang digunakan adalah lipase komersil koleksi dari
Laboratorium Bioindustri BPPT. Tetapi penggunaan lipase untuk produksi
biodiesel sulit diterapkan karena biayanya yang relatif tinggi karena yang
digunakan masih berupa enzim bebas sehingga semakin lama aktivitas
enzimatiknya akan semakin menurun. Oleh karena itu diperlukan proses
imobilisasi enzim dimana pergerakan molekul enzim dalam ruang tempat reaksi
akan ditahan sehingga terbentuk sistem enzim yang aktif, tidak larut dalam air dan
dapat digunakan berulang-ulang. Dalam imobilisasi enzim diperlukan carrier
untuk terjadinya pengikatan enzim. Pengikatan enzim oleh carrier ini harus terjadi
tanpa kerusakan pada struktur ruang tiga dimensi dari sisi aktif enzim tersebut.
MCM-41 merupakan silika berpori yang dapat digunakan sebagai carrier yang
diameter porinya dapat disesuaikan.
Pada penelitian ini, biodiesel dibuat dari minyak sawit dan metanol yang
diperoleh melalui proses transesterifikasi dengan menggunakan lipase yang
terimobilisasi pada MCM-41.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan penelitian diatas, maka tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini adalah mendapatkan MCM-41 dengan struktur pori yang teratur
dan heksagonal yang dapat digunakan sebagai matriks support untuk imobilisasi
lipase dan menghasilkan biodiesel (metil ester) melalui reaksi transesterifikasi.
Manfaat Penelitian
1.
2.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai:
Informasi mengenai salah satu proses alternatif dalam pembuatan biodiesel
yang lebih baik dari segi kualitas dengan biaya yang lebih ekonomis melalui
reaksi transesterifikasi dengan menggunakan lipase yang teramobil pada
MCM-41.
Masukan dan referensi kepada para peneliti untuk mengembangkan proses
selanjutnya dengan metode penelitian ini.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Biodiesel
Biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang berasal dari sumber terbarukan
untuk mesin diesel yang diproduksi secara kimia dengan mereaksikan minyak
nabati atau hewani dengan alkohol seperti metanol dan mengubah sifat fisik dan
kimianya seperti petroleum diesel. Reaksi ini membutuhkan katalis, katalis yang
digunakan dapat berupa katalis kimia dan katalis biologis. Katalis kimia yang
biasanya digunakan adalah basa kuat seperti natrium hidroksida, dan
menghasilkan komponen kimia yang disebut metil ester. Ester tersebut yang
diketahui sebagai biodiesel (Ma dan Hanna 1999; TCPDA 2009; Van Gerpen dan
Jon 2005).
Secara kimiawi, biodiesel merupakan campuran metil ester dengan asam
lemak rantai panjang yang dihasilkan dari sumber hayati seperti minyak nabati
dan lemak hewani atau dari minyak goreng bekas (Leung et al. 2010; Berchmans
dan Hirata 2008; Demirbas 2003). Biodiesel secara proses kimia menggunakan
minyak nabati dan mengubah sifat fisik dan kimianya seperti petroleum diesel
(TCPDA 2009).
Biodiesel didefinisikan sebagai monoalkil ester (fatty acid methyl
ester/FAME) yang diproses dengan metode transesterifikasi antara trigliserida
yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek
(Krawczyk 1996; Mittelbach dan Reshmidt 2006). Minyak nabati merupakan
sumber bahan baku yang menjanjikan bagi proses produksi biodiesel karena
bersifat terbarukan (renewable), dapat diproduksi dalam skala besar dan ramah
lingkungan (Patil dan Deng 2009). Minyak nabati sendiri terdiri dari minyak
nabati pangan dan non-pangan (Leung et al. 2010). Lebih dari 95% bahan baku
proses produksi biodiesel berasal dari minyak pangan karena umumnya
diproduksi diberbagai daerah dan produk yang dihasilkan lebih sesuai untuk
digunakan sebagai bahan bakar alternatif (Gui et al. 2008).
Biodiesel memiliki beberapa keunggulan diantaranya tidak beracun,
kandungan senyawa sulfur pada biodiesel lebih rendah daripada bahan bakar
diesel sehingga memiliki emisi yang rendah dan sangat ramah lingkungan. Dalam
kasus tertentu, seperti emisi gas polutan dilingkungan tertutup, bahan bakar
biodiesel memiliki potensi untuk mengurangi tingkat polusi dan potensi yang
menyebabkan karsinogenik (Krawczyk 1996). Karbondioksida yang merupakan
produk dari pembakaran biodiesel dapat digunakan untuk fotosintesis sehingga
dapat meminimalisir efek rumah kaca. Titik nyala biodiesel mencapai 150 °C dan
memiliki sifat lubrikasi yaitu dapat memperpanjang umur mesin (Zhang et al.
2003). Selain itu biodiesel juga dapat terdegradasi secara alami, lebih dari 90%
biodiesel dapat terdegradasi secara biologis selama 21 hari (Mudge dan Pereira
1999; Speidel et al. 2000).
Transesterifikasi Secara Enzimatik
Biodiesel dapat diproduksi melalui proses transesterifikasi yang disebut juga
alkoholisis atau metanolisis yaitu merubah senyawa trigliserida yang terkandung
5
dalam minyak atau lemak menjadi metil ester. Dalam transesterifikasi minyak
nabati, trigliserida bereaksi dengan alkohol dengan adanya asam kuat atau basa
kuat sebagai katalis menghasilkan FAME dan gliserol (Freedman et al. 1986) dan
bisa menghasilkan biodiesel hingga 98% dari bahan baku minyak nabati (Bouaid
et al. 2005). Bila bahan baku yang digunakan adalah minyak mentah yang
mengandung kadar asam lemak bebas (free fatty acid – FFA) tinggi (lebih dari
2%) maka proses yang harus dilalui adalah proses esterifikasi (Ramadhas et al.
2005). Reaksi transesterifikasi bertujuan untuk menurunkan viskositas minyak
atau lemak agar dapat memenuhi spesifikasi sebagai bahan bakar (Ma dan Hanna
1999). Nilai viskositas yang tinggi menyebabkan kesulitan pemompaan atau
pemasukan bahan bakar menuju ruang bakar dan menyebabkan atomisasi lebih
sukar terjadi sehingga dapat mengakibatkan pembakaran kurang sempurna
(Hambali et al. 2007). Terdapat berbagai metode reaksi transesterifikasi, jenis
alkohol, katalis, temperatur reaksi, jenis reaktor dan proses pemisahan.
Transesterifikasi umumnya menggunakan alkohol rantai pendek seperti metanol
atau etanol dengan katalis kimia ataupun enzimatik. Perbandingan rasio molar
antara trigliserida dan alkohol merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi rendemen biodiesel (Canakci dan Gerpen 1999).
Gambar 1
Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan
metanol (Rustamaji et al. 2010)
Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi tiga tahap dan reversible dimana
mono- dan digliserida terbentuk sebagai intermediate. Reaksi stokiometri
membutuhkan 1 molar trigliserida dan 3 molar alkohol (Gambar 1). Dalam hal ini
digunakan alkohol berlebih untuk meningkatkan rendemen alkil ester dan untuk
memudahkan pemisahan fasanya dari gliserol yang terbentuk (Freedman et al.
1986; Schuchardt et al. 1998). Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu suhu, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis dan
perbandingan etanol-asam lemak. Proses transesterifikasi akan berlangsung lebih
cepat bila suhu dinaikkan mendekati titik didih alkohol yang digunakan. Semakin
tinggi kecepatan pengadukan akan menaikkan pergerakan molekul dan
menyebabkan terjadinya tumbukan. Pada awal terjadinya reaksi pengadukan akan
menyebabkan terjadinya difusi antara minyak atau lemak sampai terbentuk metil
ester. Pemakaian alkohol berlebih akan mendorong reaksi ke arah pembentukan
6
etil ester dan semakin besar kemungkinan terjadinya tumbukan antara molekulmolekul dan minyak yang bereaksi (Hui 1996).
Faktor utama yang mempengaruhi rendemen ester yang dihasilkan pada
reaksi transesterifikasi adalah rasio molar antara trigliserida dan alkohol, jenis
katalis yang digunakan, suhu reaksi, waktu reaksi, kandungan air, dan kandungan
asam lemak bebas pada bahan baku. Faktor lain yang mempengaruhi kandungan
ester pada biodiesel diantaranya yaitu kandungan gliserol pada bahan baku
minyak, jenis alkohol yang digunakan pada reaksi transesterifikasi, jumlah katalis
sisa dan kandungan sabun.
Lipase (acylhydrolases triasilgliserol, EC 3.1.1.3) merupakan enzim yang
digunakan dalam reaksi transesterifikasi untuk mengkatalisis hidrolisis trigliserida
menjadi gliserol dan asam lemak bebas (Gambar 2). Lipase merupakan salah satu
enzim yang telah diaplikasikan pada proses proses industri baik industri pangan
maupun non pangan. Lipase dikenal sebagai lipolytic enzyme dan didefinisikan
sebagai “long chain fatty acid ester hydrolase” atau sebagai “any esterase
capable of hydrolyzing esters of oleic acid”. Lipase berfungsi sebagai katalis pada
reaksi hidrolisis triasilgliserol dan ester selain dari asilgliserol (Ngom 2000).
Lipase memisahkan lemak (glycerol esters) menjadi di- atau monogliserida dan
asam lemak.
Gambar 2
Reaksi transesterifikasi secara enzimatik
(Kistanto et al. 2012)
Imobilisasi Enzim
Imobilisasi enzim merupakan suatu proses dimana pergerakan molekul
enzim dalam ruang tempat reaksi ditahan sedemikian rupa sehingga terbentuk
sistem enzim yang aktif dan tidak larut dalam air. Dalam Imobilisasi enzim,
pengikatan enzim pada suatu karier harus terjadi tanpa adanya perusakan pada
struktur ruang tiga dimensi dari sisi aktif enzim tersebut, sehingga spesifitas
substrat maupun gugus fungsi aktif tidak terganggu oleh proses ini. Imobilisasi
enzim diketahui memiliki beberapa keunggulan diantaranya stabilitas enzim dan
enzim dapat digunakan berulang-ulang. Aktivitas dan stabilitas enzim dipengaruhi
oleh metoda imobilisasi, jenis enzim maupun jenis matrik yang digunakan. Teknik
imobilisasi bertujuan untuk meningkatkan stabilitas dan produktivitas enzim
sehingga dapat digunakan kembali (Cao 2005).
Metode imobilisasi bisa digunakan tidak hanya pada satu jenis enzim, tetapi
dapat diterapkan bagi suatu multienzim atau bagi mikroorganisme penghasil
enzim. Imobilisasi enzim dapat dilakukan dengan ikatan silang antar molekul
7
enzim atau disebut juga cross linking yang membentuk struktur 3-D yang besar
tanpa matriks, secara kimia (ikatan kovalen) atau fisik (penjebakan). Metode ini
sebenarnya mahal dan tidak efisien karena beberapa molekul enzim dijadikan
sebagai matriks sehingga aktivitas enzimatiknya relatif lebih rendah. Umumnya
metode ini digunakan bersama dengan metode imobilisasi enzim yang lain,
misalnya untuk mencegah hilangnya enzim dari gel poliakrilamid atau
menstabilkan enzim teradsorbsi (Rosevear et al. 2005).
Dibandingkan enzim bebas, enzim amobil memiliki kelebihan yaitu
peningkatan stabilitas, pemanenan, dan purifikasi produk yang lebih mudah, dapat
dipakai berulang dan dapat digunakan dalam proses teknologi yang sinambung
(Zubriene et al. 2003).
Imobilisasi lipase dengan metode kovalen telah dilakukan sebelumnya pada
matriks polimer, seperti kitin (Setyahadi et al. 2011) dan membran
polyethersulfone (Arianto 2008). Imobilisasi lipase juga dapat dilakukan pada
polimer tidak larut seperti MCM41 (Ali dan Katiyar 2012).
MCM-41
Beberapa dekade terakhir perkembangan material nano menjadi topik yang
sangat menarik. Material nano dapat berupa logam, keramik, bahan polimer,
bahan komposit dan material mesopori, yang memiliki ukuran sangat kecil
berkisar antara 1-100 nanometer (nm). Dalam perkembangannya, material nano
diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu material nano dimensi (nano particle),
satu dimensi (nano wire), dan dua dimensi (thin films). Tetapi dari tiga jenis
material nano tersebut, ada satu jenis material nano yang tidak dapat dimasukkan
ke dalam tiga kategori tersebut karena proses sintesis yang berbeda dan lebih sulit
dari pada tiga kategori material nano tersebut. Material nano disebut dengan
material nano khusus (special nanomaterials). Material nano khusus ini sangat
unik karena tidak terdapat dialam dan hanya dapat diperoleh dengan sintesis
dalam laboratorium.
Material pori diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan diameter
porinya yaitu, material mikropori, material mesopori, dan material makropori.
Material mikropori memiliki diameter kurang dari 2 nm. Material mesopori
memiliki diameter antara 2-50 nm, sedangkan material makropori memiliki
diameter lebih dari 50 nm.
Pada tahun 1992 dilaporkan sintesis dari anggota baru keluarga mesopori
(~20-500 Å) molecular sieves (M41S). Silika mesopori dengan daerah permukaan
dan volume pori yang tinggi telah menarik perhatian sejak penemuan molecular
sieves mesopori (M41S) oleh ilmuwan pada Mobil Oil (Beck et al. 1992; Kresge
et al. 1992b). Corak yang menjadi daya tarik utama dari material ini adalah
struktur kimia yang unik yang terdiri dari pasangan gugus fungsi silanol (Si-OH)
dengan ukuran pori dan bentuk yang dapat dibuat melalui proses yang hati-hati
untuk menyesuaikan fungsi host dimana pengenalan molekular diperlukan (Kruk
et al. 1997; Van Der Voort et al. 1998).
Salah satu anggota yang paling diselidiki dari keluarga M41S adalah Mobile
Crystalline of Materials atau MCM41 yang tersusun atas padatan silika amorf
memiliki struktur yang teratur dengan mesopori yang seragam berupa heksagonal
8
dengan luas permukaan yang lebih tinggi dari 1000 m2 g-1 dan susunan struktur
seperti sarang lebah (Beck et al. 1992; Matsumoto et al. 1999) (Gambar 3).
Kelebihan MCM-41 adalah memiliki volume pori yang besar, ukuran pori
dapat diatur, dan memiliki sifat yang relatif stabil, baik terhadap pengaruh suhu,
bahan kimia ataupun pengaruh mekanis (Corma 1997; Davic 1991; Kloestra et al.
1997).
Terdapat dua macam mekanisme pembentukan MCM-41 yaitu liquid crystal
templating mechanism (Kresge et al. 1992b) dan transformasi lamellar (Blin et al.
2000; Vartuli et al. 1994; Huo et al. 1994; Davis dan Burkett 1995). Banyak
faktor yang mempengaruhi proses pembuatan MCM41 antara lain pengaruh waktu,
pH, suhu, surfaktan terhadap rasio silika, sifat surfaktan, stabilitas, morfologi dan
sifat tekstur dari struktur mesopori MCM41. Faktor-faktor tersebut dapat
mempengaruhi diameter pori, ketebalan dinding dan struktur dari senyawa akhir
(Blin et al. 2000). Ukuran diameter pori MCM-41 dapat divariasikan dengan
penambahan molekul organik seperti alkana pada campuran sintesa. Variasi
diameter pori juga ditingkatkan dengan menambahkan konsentrasi surfaktan dan
silikatnya, atau memvariasikan waktu reaksi (Selvam et al. 2001).
Gambar 3
TEM mikrograf dari MCM-41. Mesopori teratur
dalam struktur seperti sarang lebah, dipisahkan
oleh dinding pori silika amorf yang tipis
(hitam). Ukuran pori dari bahan MCM-41
adalah sekitar 3 nm diameter (Nanotechnology
Timeline 2008)
Silika merupakan komponen utama MCM-41 (Siriluk dan Yuttapong 2005),
dimana silika amorf adalah sumber silika yang sangat reaktif, sedangkan silika
kristalin tidak reaktif (Hamdan et al. 1996). Selain silika diperlukan surfaktan
sebagai template.
9
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Maret 2013 − Januari 2014 di
Laboratorium Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT), Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan.
Alat dan Bahan
Alat-alat penelitian yang digunakan meliputi Hot Plate Yellow MAG HS7,
Mini Chiller Huber, Refrigrated Centrifuge Hitachi (Refrigrated Centrifuge
CR226) & Rotor R103A, Refrigrated Microsentrifuges Sorvall Fresco, Shaker
Heidolp UNIMAX 1010, Digital Scales Radwag WPS 510/C/2, Magnetic Stirrer
Bibby B 212, InLab pH meters (USA), Spektro UV-Vis 2001, Vortex SurgentWelch Scientific (USA), Digital Scales Radwag XA-110, Furnace Nabertherm
L5/517, Shimadzu X-Ray Diffraction XRD-7000 using Cu Kα Radiation,
Shimadzu FTIR (Fourier-Transform Infrared Spectra).
Lipase yang digunakan merupakan lipase komersil koleksi dari
Laboratorium Bioindustri LABTIAB, BPPT Serpong. Sintesis MCM-41
menggunakan Natrium Silicate Solution (Na2SiO3) (Sigma-Aldrich) sebagai
sumber silika, CTAB (Hexadecyltrimethyl Ammonium Bromide) (BM =364,46
gr/mol; TCI), HCl dan NaOH sebagai katalis basa. Uji aktivitas enzim dengan
metode spektrofotometri (Silva et al 2005) dengan menggunakan p-Nitrophenil
palmitat (Sigma) sebagai substrat, 2-propanol (BDH-Analar), 0.05 M Tris-HCl pH
8, Triton X-100 (Sigma-Aldrich), Gum Arabic (Sigma). Pembuatan kurva standar
aktivitas lipase menggunakan p-Nitrophenol (Sigma). Uji kadar protein dengan
metode Bradford (1976) diperlukan reagen Bradford 1x dan Bovine Serum
Albumine (Sigma). Imobilisasi lipase dengan metode ikatan kovalen (Wook kim
et al 2006) dengan menggunakan 3-(Aminopropil)trietoksisilan (3-APTES),
glutaraldehida, buffer fosfat 0.05 M pH 7. Pada reaksi transesterifikasi untuk
menghasilkan metil ester digunakan minyak sawit dan metanol. Metil ester dalam
produk ditentukan dengan menggunakan Gas Chromatrography-Mass
Spectrometry (GC-MS).
Prosedur Kerja
Penentuan Metode MCM-41
Pada penentuan metode MCM-41 dilakukan kembali sintesis MCM-41 yang
mengikuti beberapa metode dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
dengan komposisi yang berbeda-beda (Tabel 1).
10
Tabel 1
Berbagai metode penentuan sintesis MCM-41
Komposisi
Na2SiO3
CTAB
HCl
H2SO4
pH
Suhu dan Waktu
Inkubasi
Suhu dan Waktu
Kalsinasi
Zhou et al.
(2012)
18.8 mL
0.6 g
40 mL
3.0
Suyanta et al.
(2012)
6.02 g
2.27 g
10
Wibowo et al.
(2004)
10.93 g
9.11 g
0.7 g
10
Penelitian ini
(2013)
10.93 g
9.11 g
0.7 g
10
20 °C, 8 jam
150 °C, 72 jam
100 °C, 96 jam
100 °C, 96 jam
600 °C, 3 jam
560 °C, 6 jam
600 °C, 4 jam
500 °C, 3 jam
Sintesis MCM-41
Sintesis MCM-41 dilakukan dengan menggunakan metode asam Zhou et al.
(2012). Larutan SiO2 5% (18.8 mL) dilarutkan dalam 100 mL reverse osmosis dan
CTAB 1.5% (0.6 g) dilarutkan dalam 40 mL HCl 2M. Kedua larutan dicampurkan
kedalam 100 mL reverse osmosis, di aduk pada suhu 20 oC. Nilai pH diukur
dengan menambahkan NaOH 40%. Campuran larutan diaduk selama 10 menit
pada suhu 20 oC dan diinkubasi pada suhu 20 oC selama 8 jam. Produk yang
didapat difiltrasi dan dibilas menggunakan air reverse osmosis dan dikeringkan
pada suhu 80 oC. Kalsinasi pada suhu 600 oC selama 3 jam untuk memperoleh
material MCM-41.
Sintesis MCM-41 dengan menggunakan metode Suyanta et al. (2012) yaitu
sebanyak 2.27 g CTAB dicampur dengan 40 mL air reverse osmosis pada
temperatur 60 °C disertai dengan pengadukan selama 30 menit. Ke dalam
campuran tersebut ditambahkan 6.02 g Na2SiO3 sehingga terbentuklah suatu gel.
Ke dalam gel tersebut ditambahkan sejumlah larutan H2SO4 1M tetes demi tetes
sehingga pH-nya turun menjadi 10, kemudian diaduk dengan konstan selama 2
jam pada temperatur kamar. Perlakuan hidrotermal dilangsungkan pada
temperatur 150 °C di dalam botol plastik yang dipanaskan dalam oven selama 72
jam. Padatan hasil sintesis disaring, dicuci dengan air reverse osmosis dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C. Hasil sintesis di kalsinasi pada suhu
560 °C selama 6 jam.
Sintesis MCM-41 dilakukan dengan menggunakan metode dari Wibowo et
al. (2004). Sebanyak 9.11 g CTAB dilarutkan dalam 30 mL air reverse osmosis
kemudian ditambah dengan 0.7 gr H2SO4 dan sebanyak 10.93 g Na2O7SiO3
dilarutkan dalam 20 mL air reverse osmosis. Kedua larutan ini dicampur dan
diaduk selama 60 menit, kemudian dimasukkan dalam botol plastik dan
diinkubasi selama 96 jam pada suhu 90 oC. Produk yang didapat difiltrasi dan
dibilas menggunakan air reverse osmosis dan dikeringkan pada suhu 80 oC.
Kalsinasi pada suhu 600 oC selama 4 jam untuk memperoleh material MCM-41.
Kemudian penelitian ini sendiri menggunakan metode Wibowo et al. (2004) yang
telah dimodifikasi dengan menurunkan suhu dan waktu kalsinasi menjadi 500 °C
selama 3 jam.
11
Karakterisasi MCM-41
Karakterisasi material MCM-41 yang diperoleh menggunakan XRD (X-Ray
Difractometer) Shimadzu XRD-7000 menggunakan radiasi Cu Kα untuk
identifikasi struktur material yang terdapat dalam sampel. Analisa FTIR (Fouriertransform infrared spectra) digunakan untuk karakterisasi bahan polimer dan
analisis gugus fungsi dilakukan di Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. SEM
(Scanning Electron Microscopy) untuk menentukan struktur pori dari material.
Karakterisasi XRD dan SEM dilakukan di Laboratorium XRD dan SEM Bidang
Bahan Industri Nuklir PTBIN Batan Serpong.
Uji Aktivitas Lipase
Pengujian aktivitas lipase dengan metode spektofotometri (Silva et al. 2005)
menggunakan p-Nitrofenil palmitat (p-Npp) sebagai substrat. Larutan A dibuat
dengan melarutkan 3 mg p-Npp dalam 1 mL 2-propanol. Selanjutnya dibuat
larutan B dengan melarutkan 10 mg Gum Arabic dan 40 mg Triton X-100 dalam 9
mL buffer Tris-HCl 0.05 M pH 8. Substrat dibuat dengan cara mencampurkan
larutan A dan B pada saat akan digunakan. Pengujian lipase yaitu dengan
mencampurkan 100 µl sampel lipase dengan 900 µl larutan substrat, kemudian
diinkubasi selama 30 menit pada suhu 45 °C dan disentrifugasi. Serapan panjang
gelombang diukur pada = 410 nm, dengan kontrol bebas enzim.
Satu unit lipase (U) didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 1 µmol p-Nitrofenol/menit (Lampiran 2). Hasil pengukuran
absorbansi kemudian dikonversikan ke dalam aktivitas berdasarkan persamaan
kurva standar p-Nitrofenol (Lampiran 1).
Analisa Kadar Protein
Analisa kadar protein ditentukan dengan menggunakan metode Bradford
(1976), serapan panjang gelombang diukur absorbansinya pada
= 5λ5 nm.
Sebanyak 30 µl sampel enzim direaksikan dengan 1500 µl reagen Bradford dan
diinkubasi selama 20 menit pada suhu ruang. Sebagai kontrol digunakan 30 µl
mili-Q ditambahkan dengan 1500 µl reagen Bradford, diinkubasi selama 20 menit
pada suhu ruang. Hasil pengukuran absorbansi kemudian dikonversikan ke dalam
kadar protein berdasarkan kurva standar BSA (Lampiran 3).
Imobilisasi pada MCM-41
Imobilisasi enzim dilakukan dengan metode ikatan kovalen Wook Kim et al.
(2006). Sebanyak 15% 3-(Aminopropil)trietoksisilan dilarutkan dalam 20 mL
aseton kemudian ditambahkan dengan 1 g MCM-41, campuran tersebut diaduk
dan diinkubasi pada suhu 50 °C selama 2 jam, kemudian dicuci dengan air dan
dikeringkan pada suhu 60 °C selama 2 jam. Lalu disuspensikan menggunakan
buffer fosfat 0.05 M pH 7, kemudian ditambahkan dengan 2% glutaraldehida yang
telah dimodifikasi dengan diinkubasi 64 °C selama 20 menit. Campuran tersebut
diaduk secara konstan pada suhu 20 °C selama 2 jam, saring dan cuci
menggunakan 0.05 M buffer fosfat pH 7, setelah itu resuspensikan kembali dalam
0.05 M buffer fosfat pH 7. Perlakuan ini membuat MCM-41 menjadi aktif.
12
Sebanyak 2 mL lipase ditambahkan dalam suspensi MCM-41 aktif dan diaduk
pada suhu 20 °C selama 2 jam, maka diperoleh lipase amobil. Lipase amobil
disaring, dicuci dengan air, dan diresuspensikan kembali dengan 0.05 M buffer
fosfat pH 7. Produk yang dihasilkan disimpan dengan suhu 4 °C.
Nilai protein loading dan efisiensi imobilisasi setelah imobilisasi lipase
dihitung menggunakan persamaan mengikuti Minovska et al. (2005) dapat dilihat
pada Lampiran 4.
Transesterifikasi Secara Enzimatik
Lipase amobil digunakan sebagai katalis untuk sintesis metil ester dengan
mereaksikan minyak sawit dan metanol dengan perbandingan 1:3 (rasio molar).
Kemudian ditambahkan 1 g lipase amobil kedalam campuran minyak sawit dan
metanol tersebut dan diinkubasi dengan suhu 37 °C selama 24 jam dengan agitasi
150 rpm. Campuran tersebut dipisahkan, residu lipase amobil dibilas
menggunakan n-hexane dan digunakan untuk pemakaian selanjutnya.
Uji Stabilitas Lipase Amobil pada Pemakaian Berulang
Uji stabilitas lipase amobil pada pemakaian berulang dilakukan dengan
menggunakan kembali lipase amobil ke dalam campuran minyak sawit dan
metanol dengan perbandingan 1:3 (rasio molar) pada suhu 37 °C selama 24 jam
dengan agitasi 150 rpm. Pengujian dilakukan sebanyak 4 (empat) kali
pengulangan.
Analisa Konversi Trigliserida dengan GC-MS
Analisis metil ester dilakukan di Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri,
Jakarta Selatan. Tujuan analisa ini untuk menentukan konsentrasi metil ester
sebagai produk dengan menggunakan Gas Chromatography-Mass Spectrometry
(GC-MS) (Hewlett-Packard 5890) dilengkapi dengan detektor MS dan kolom
kapiler 15-m (DB-1 Agilent Technologies Inc, Palo Alto, CA). Bobot metil ester
yang terbentuk kemudian dihitung menggunakan persamaan berikut (Tran et al.
2012):
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Mekanisme Pembentukan MCM-41
MCM-41 dengan keteraturan struktur pori heksagonal yang baik telah
berhasil disintesis secara hidrothermal dengan suhu 100 °C menggunakan
mekanisme pembentukan liquid crystal templating mechanism dengan CTAB
sebagai surfaktan dan sodium silikat sebagai sumber silika. Zhao et al. (2013)
13
menyatakan pemilihan surfaktan merupakan kunci dari pembentukan material
mesopori, struktur dan sifat dari surfaktan sangat mempengaruhi hasil akhir dari
mesostuktur, ukuran pori dan luas permukaan material mesopori. CTAB
merupakan kationik surfaktan yang efisien untuk sintesis material mesoporous
yang teratur, memiliki kelarutan yang baik, memiliki nilai CMT (critical micelle
temperature) yang tinggi dan dapat digunakan dalam media yang asam maupun
basa. Sodium silikat merupakan senyawa yang mengandung anion yang
dikelilingi oleh ligan oksigen elektronegatif. Anion silikat dengan muatan negatif
harus mendapatkan pasangan kation seperti CTAB untuk membentuk senyawa
bermuatan netral. Parlenov dan Kirik (2003) melaporkan sintesis MCM-41
pembentukan dinding pori diawali dengan interaksi supramolekuler antara
surfaktan kationik dengan berbagai polianion silikat.
Dalam penelitian ini dilakukan perlakuan hidrotermal terhadap larutan
utama dengan suhu 100 °C selama 96 jam (4 hari). Menurut Zhao et al. (2013)
perlakuan hidrotermal merupakan salah satu metode yang paling efisien untuk
meningkatkan keteraturan mesopori dari produk. Poin penting yang harus diingat
adalah lamanya waktu perlakuan hidrotermal, biasanya 3-7 hari untuk
meningkatkan struktur yang teratur dan suhu hidrotermal yang normal dibawah
150 °C. Chen et al. (1997) melaporkan suhu yang tinggi di atas 150 °C akan
menyebabkan degradasi keteraturan mesopori dan dekomposisi surfaktan yang
dapat langsung berpengaruh terhadap pembentukan mesopori material.
Nilai pH pada media juga merupakan faktor kunci lain untuk sintesis
mesopori material. Pada umumnya mesopori struktur diolah dengan kondisi asam
ataupun basa. Umumnya, kondisi media yang netral tidak cocok untuk
mendapatkan mesostruktur yang teratur dari mesopori material (Tanev dan
Pinnavaia 1995). Dalam penelitian ini, surfaktan dan sumber silikat yang
digunakan bersifat basa sehingga perlu ditambahkan asam sulfat (H2SO4) agar pH
media turun ke pH optimum untuk pembentukan MCM-41 sekitar pH 10.
Monnier et al. (1993) melaporkan pada kasus pH yang terlalu tinggi diatas 12
pembentukan dinding silikat tidak berlangsung sempurna akibat adanya gaya tolak
elektrostatik antar senyawa silikat yang menyebabkan polimerisasi senyawa
silikat terganggu sehingga dinding silikat tidak terbentuk.Waktu pengadukan juga
menjadi faktor penting untuk pembentukan MCM-41. Menurut Wibowo et al.
(2004) waktu pengadukan yang singkat menyebabkan sebagian surfaktan tidak
larut sehingga akan menggangu polimerisasi senyawa silikat pada lapisan
permukaan surfaktan-silikat yang akan menyebabkan struktur pori MCM-41 yang
terbentuk kurang teratur.
Mekanisme pembentukan MCM-41 dapat dilihat pada Gambar 4.
Pembentukan MCM-41 dimulai dari molekul surfaktan kationik yang memiliki
kepala hidrofilik dan ekor hidrofobik terlarut dalam air akan bergabung menjadi
satu, membentuk suatu misel. Dengan adanya peningkatan konsentrasi surfaktan,
maka akan terbentuk misel silinder yang tersusun paralel dan membentuk suatu
susunan heksagonal, susunan heksagonal ini sangat dipengaruhi oleh pH larutan
yang digunakan. Pada pelarut air orientasi misel pada bagian kepala surfaktan
akan berkumpul didaerah luar dan ekor surfaktan akan berkumpul didaerah dalam,
hal ini disebabkan oleh molekul surfaktan kationik yang memiliki kepala hidofilik
dan ekor hidrofobik. Setelah susunan heksagonal terbentuk dengan sempurna,
penambahan senyawa silika secara bertahap akan melapisi bagian luar dari
14
susunan heksagonal misel dan memperkuat rangka dari struktur heksagonal yang
telah terbentuk, apabila proses tersebut berjalan sempurna maka dilanjutkan
dengan proses inkubasi atau aging, pada proses ini terjadi reaksi pembentukan
jaringan yang lebih kuat dan menyusut didalam larutan. Kristal yang terbentuk
setelah proses aging harus dikeringkan dan dibebaskan dari surfaktan. Surfaktan
yang tidak diinginkan bisa dihilangkan melalui proses kalsinasi (Selvam et al.
2001). Kalsinasi berguna untuk melepaskan templat yang digunakan saat proses
pembentukan mesostruktur material dan untuk mendapatkan struktur mesopori
yang memiliki luas permukaan tinggi (Alfaruqi 2008).
Gambar 4
Mekanisme pembentukan MCM-41
(Yang et al 2012)
Hasil Karakterisasi MCM-41 dengan X−Ray Difractometer
Spektroskopi difraksi sinar−X (X−ray difraction) merupakan salah satu
metode karakterisasi material yang digunakan untuk mengidentifikasi fase
kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta
untuk mendapatkan ukuran partikel yang digunakan dalam analisis kualitatif dan
kuantitatif material. Sebagian sinar−X yang diarahkan ke suatu bidang akan
direfleksikan dengan suatu sudut refleksi yang sama dengan sudut sinar datang
terhadap sudut sinar datang tersebut. Sebagian lagi akan diteruskan ke sisi dalam
dan kemudian direflesikan oleh bidang bagian lebih dalam dan seterusnya.
Ilustrasi sinar−X pada XRD dapat dilihat pada Gambar 5. Hal ini disebabkan
adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom dalam
material tersebut. Berkas sinar−X yang dihamburkan ada yang menghilang karena
fasanya berbeda, namun ada juga yang saling menguatkan karena fasanya sama.
Berkas sinar−X yang saling menguatkan ini yang dideteksi XRD dan disebut
sebagai berkas difraksi.
Hukum Bragg merupakan perumusan matematika tentang persyaratan harus
dipenuhi agar berkas sinar−X tersebut merupakan berkas difraksi. Dasar dari
15
penggunaan difraksi sinar−X untuk mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan
persamaan Bragg:
n = 2 d sin θ
Berdasarkan persamaan Bragg di atas, jika seberkas sinar−X dijatuhkan
pada sampel kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar−X yang
memiliki panjang gelombang ( ) sama dengan jarak antar kisi (n) dalam kristal
tersebut. Sinar dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan
sebagai sebuah puncak difraksi. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam
sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang
muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi
tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari data
pengukuran dicocokkan dengan standar difraksi sinar−X untuk hampir semua
jenis material.
sinar datang
Sinar
refleksi
Gambar 5 Ilustrasi sinar−X pada XRD (Alfaruqi 2008)
Karakterisasi dengan X-Ray Difractometer (XRD) padatan hasil sintesis
MCM-41 menggunakan metode dari Zhou et al. (2012) pada pH 3, waktu
inkubasi 8 jam pada suhu 20 °C dan kalsinasi pada suhu 600 °C selama 3 jam
tidak menunjukkan adanya puncak-puncak yang merefleksikan sistem kristal
heksagonal (Gambar 6). Hal ini mungkin terjadi karena waktu inkubasi (aging)
hanya sebentar (8 jam) sehingga kristal MCM-41 tidak terbentuk secara sempurna.
Menurut Zhao et al. (2013) 3-7 hari merupakan waktu inkubasi yang paling
efisien untuk meningkatkan struktur heksagonal yang teratur pada MCM-41. Zhao
et al. (2013) menyatakan jika padatan hasil sintesis merupakan mesopori dengan
fasa heksagonal maka pola difraksi sinar-X dari padatan hasil sintesis tetsebut
harus dapat diindeks dengan indeks bidang yang menyatakan refleksi bidang hkl
(Miller Indeks) sistem kristal heksagonal, yaitu bidang (100), (110), (200), (210)
dan seterusnya.
16
Gambar 6
Grafik XRD MCM-41 metode Zhou et al.
(2012)
Karakterisasi dengan X-Ray Difractometer (XRD) padatan hasil sintesis
MCM-41 menggunakan metode dari Suyanta et al. (2012) dengan pH 10, waktu
inkubasi 72 jam pada suhu 150 °C dan kalsinasi selama 6 jam pada suhu 560 °C
menunjukkan pucak yang merefleksikan sistem kristal heksagonal tidak terbentuk
(Gambar 7). Zhao et al. (2013) menyatakan suhu inkubasi diatas atau sama
dengan 150 °C tidak direkomendasikan, sesuai dengan Wibowo et al. (2004)
semakin lama waktu sintesis pada suhu yang lebih tinggi akan merusak kristal
MCM-41 yang telah terbentuk.
Gambar 7
Grafik XRD MCM-41 metode Suyanta et al.
(2012)
Karakterisasi dengan X-Ray Difractomet